All Bab Skripsi (Repaired).doc

download All Bab Skripsi (Repaired).doc

of 82

Transcript of All Bab Skripsi (Repaired).doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kebijakan otonomi daerah menjadi pemicu banyaknya lahir Perda di berbagai tingkatan propinsi dan kabupaten. Kebijakan tersebut memunculkan berbagai peraturan pendukung untuk melegitimasi konsep otonomi daerah antara lain : UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 1 tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Instrument hukum dari Pemerintahan Pusat inilah yang dijadikan landasan dan acuan dalam penyusunan aturan di tingkat daerah dalam bentuk Perda.

Sejalan dengan konsep otonomi daerah yang memberikan porsi yang lebih besar kepada setiap daerah untuk mengatur daerahnya masing masing, Salah satu faktor utama dalam merealisasikan konsep otonomi daerah ialah dengan produk hukum (Perda). Kota Makassar yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia dengan kompleksitas masalah dan karaktersistik masyarakatnya sangat perlu untuk mengatur segala problematika perkotaan. Salah satu yang dianggap perlu untuk diatur ialah mengenai konsep perdagangan dalam hal ini persaingan industri ritel.

Semenjak Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998 yang mengharuskan diterapkannya segala program liberalisasi. Hal tersebut berujung pada ditandatanganinya letter of intent dengan IMF yang memberikan peluang besar kepada investasi asing untuk masuk di Indonesia. Salah satunya di bidang industri ritel. Sejak saat itu, peritel-peritel asing atau pasar modern mulai berdatangan dan meramaikan industri ritel Indonesia. Pengusaha pasar modern sangat aktif untuk melakukan investasi baik itu dalam skala Hypermarket, Supermarket dan Minimarket. Salah satu contohnya adalah Continent, Carrefour, Hero, Walmart, Yaohan, Lotus, Mark & Spencer, Sogo, Makro, Seven Eleven, dan Circle K.

Berdasarkan data AC Nielsen tahun 2008, diketahui bahwa pertumbuhan pasar modern setiap tahunnya mencatat kisaran angka 10 % hingga 30 %. Hal ini ditunjukkan dengan ekspansi pasar modern sangat agresif hingga masuk ke wilayah pemukiman rakyat. Pasar tradisional yang berada di wilayah pedesaan maupun pemukiman rakyat secara langsung terkena imbasnya dengan berhadapan langsung dengan pasar modern tersebut. Persaingan diantara keduanya pun tidak terhindari. Tidak hanya itu, karena minimnya aturan zonasi dari pembangunan pasar modern maka pasar tradisional yang berada di kota-kota besar pun terkena imbasnya. Persaingan head to head akibat menjamurnya pasar modern membawa dampak buruk terhadap keberadaan pasar tradisional.. Salah satu dampak nyata dari kehadiran pasar modern di tengah tengah pasar tradisional adalah turunnya omzet dan pendapatan terhadap pedagang pasar setiap harinya.

Merespon keresahan tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan. Adapun arah kebijakan yang ingin dicapai antara lain pemberdayaan pasar tradisional agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat, serta saling menguntungkan; memberikan pedoman bagi penyelenggaraan ritel tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern; memberikan norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern; pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen. Untuk menegaskan Perpres 112, pemerintah kembali mengeluarkan aturan pendukung yaitu Permendag No. 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Aturan ini, lebih rinci mengatur mengenai zonasi, perjanjian perdagangan (traiding term) dan perizinan.

Berangkat dari Perpres 112 tahun 2007 dan Permendag No.58 Tahun 2008, beberapa kota di Indonesia mulai menerapkan regulasi turunan untuk mendukungnya lewat Peraturan Daerah (Perda). Beberapa daerah diantaranya Jawa Timur, Bandung, Manado, Solo, Makassar, Tangerang dan Bekasi. Menarik dicermati, beberapa daerah yang telah terlebih dahulu membuat Perda tentang perlindungan pasar tradisional masih mengalami permasalahan serius dalam mengimplementasikannya di lapangan. Seperti yang ada di Provinsi Jawa Timur. Sejak Perda tentang penataan pasar tradisional dan pusat perbelanjaan di sahkan tahun 2008, efek positif terhadap perlindungan pasar tradisional belum nampak. Bahkan beberapa tahun setelah terbitnya Perda tersebut, ekspansi pasar modern dan toko modern justru semakin mendominasi. Beberapa alasan yang mengemuka dikarenakan dalam Perda hanya mengatur secara normatif keberadaan pasar tradisonal dan pasar modern. Sehingga dalam penegakkannya, pemerintah daerah dianggap tidak serius.

Untuk kota Makassar sendiri, aturan mengenai industri ritel tertuang dalam Perda No.15 Tahun 2009 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern. Perda ini merupakan produk hukum dari legislatif. Tujuan dari terbitnya Perda ialah ingin melindungi pasar tradisional dan ekonomi kecil dari gencarnya pembangunan pasar modern di kota Makassar. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Hj. Sri Rahmi, anggota DPRD Kota Makassar yang juga menjadi salah satu Panitia Khusus (Pansus) pembuatan Perda No.15 Tahun 2009 di kota Makassar. Regulasi mengenai perlindungan pasar tradisional menjadi suatu angin segar bagi para pedagang pasar tradisional, aktifis, NGO dan pemerhati pasar tradisional dalam melindungi pasar tradisional yang ada di Indonesia, khususnya di Kota Makassar. Mengingat kontribusi pasar tradisional sendiri terhadap masyarakat dan pemerintah kota Makassar tidak bisa dianggap sepele. Dari total 16 pasar resmi yang ada di Kota Makassar, omzet yang disumbangkan untuk pendapatan asli daerah dibidang retribusi baik sampah dan kios terbilang besar. Bahkan secara historis, keberadaan pasar tradisional punya banyak sejarah perkembangan Kota Makassar. Seperi pasar Boetoeng yang berdiri pada tahun 1917, merupakan pasar resmi pertama bentukan dari kolonial Belanda dan menjadi objek pasar pertama pada saat itu dalam penerapan retribusi.

Selama proses pembentukan sampai menghasilkan Perda yang sah, memakan waktu kurang lebih tiga bulan terhitung dari bulan Juli sampai dengan September 2009. Dalam proses penyusunan, berbagai pihak menilai bahwa keterlibatan publik dan stakeholder yang terkait dirasa sangat kurang. Walaupun keterlibatan publik tidak menjadi suatu kewajiban tetapi menjadi ironi ketika suatu aturan yang tujuan dasarnya melindungi keberadaan pasar tradisional, justru tidak melibatkan peran pedagang pasar tradisional dalam perumusan suatu Perda. Pemerintah Kota Makassar yang didalamnya terdapat berbagai Satuan Perangkat Kerja Dinas memiliki kewenangan dan tugas untuk melaksanakan Perda ini. Sesuai dengan amanat dari UU.No.32 Tahun 2004, dimana pemerintah daerah berkewajiban untuk melaksanakan berbagai Perundang-undangan yang dihasilkan. Menarik untuk dicermati bahwa Perda No. 15 ini, semenjak diterbitkannya hampir tiga tahun lalu, belum mempunyai dampak positif terhadap eksistensi pasar tradisional dan UMKM (Unit Mikro, Kecil, dan Menengah). Melihat fenomena yang terjadi, ekspansi pasar modern di Kota Makassar justru semakin tidak terkendali. Hal tersebut bisa dilihat dari data yang dikeluarkan lembaga Nielsen, dimana sepanjang tahun 2010 pertumbuhan minimarket meningkat 42 %, dimana menjadi 16.922 unit dibanding sebelumnya sebesar 11.927 unit. contoh kasusnya. Pembukaan gerai-gerai minimarket baru seperti Alfamart, Indomaret, Alfa Midi dan Alfa Express juga turut berperan dalam marginalisasi pasar lokal. Bahkan khusus untuk AlfaMart, saat ini sudah membuka kurang lebih 60 gerai.

Alih alih meningkatkan daya saing pasar tradisional lewat aturan Perda, kenyataan justru sebaliknya. Implementasi Perda dilapangan dirasa tidak berjalan sesuai harapan. Secara garis besar pemerintah daerah dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Dinas yang berperan penting dalam hal penegakkan hukum masih lemah. Dimana dalam Perpres ditekankan bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan penuh dalam mengatur pemberian izin usaha dan pendirian pasar modern. Alasannya, pemerintah daerah adalah pihak yang paling mengetahui kondisi setempat dan mampu melakukan pemantauan secara berkala. Sehingga banyak orang menilai bahwa aturan yang tertulis di dalam Perda serasa menjadi aturan ompong belaka karena tidak di implementasikan secara serius.

Berangkat dari pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji implementasi dari Perda No.15 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Kota Makassar dan dampaknya terhadap eksistensi pasar tradisional di Kota Makassar. Adapun judul skripsi yang dimajukan ialah tentang Eksistensi Pasar Lokal di Kota Makassar studi tentang Implementasi Perda No.15 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang akan diteliti terkait eksistensi pasar lokal Kota Makassar dengan studi tentang implementasi perda no.15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern, maka peneliti membatasi penelitian ini pada perumusan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi perda no.15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern oleh pemerintah Kota Makassar?

2. Bagaimana dampak implementasi perda tersebut terhadap eksistensi pasar lokal di tengah maraknya pasar modern di Kota Makassar? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian1. Penelitian ini bertujuan :

a. Menjelaskan dan mengetahui implementasi dari kebijakan Perda No.15 tahun 2009 di Kota Makassar. b. Menjelaskan dampak dari kebijakan Perda No.15 tahun 2009, terhadap perlindungan pasar lokal yang ada di Kota Makassar.

2. Manfaat penelitian

a. Manfaat Teoritis

1) Mengetahui implementasi dari setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kota, khususnya yang berhubungan dengan Perda no. 15 Tahun 2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisonal dan Penataan Pasar Modern .2) Mengetahui pengaruh dari hasil kebijakan Perda tersebut terhadap keberadaan pasar lokal di kota Makassar.3) Memperkaya khasanah kajian ilmu politik untuk perkembangan keilmuan khususnya dalam penerapan kebijakan publik.b. Manfaat Praktis

1) Sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi pemerintah kota Makassar dalam setiap implementasi kebijakan , khususnya yang berhubungan dengan perlindungan pasar tradisional.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini, peneliti terlebih dahulu menjelaskan pendekatan institusional baru sebagai suatu pendekatan untuk menjelaskan secara luas mengenai institusi dan cara kerjanya. Dalam institusional baru dikenal banyak varian untuk melihat cara institusional bekerja. Salah satu varian yang dipakai pada institusional baru ialah institusional pilihan rasional yang melihat kecenderungan apa yang menyebabkan institusi bekerja terutama dalam mengimplementasikan kebijakannya. Setelah itu menjelaskan tentang konsep dari kebijakan publik dan model-model implementasi menurut beberapa ahli. Setelah itu menggambarkan konsep dan pemaknaan tentang pasar. Terakhir, merumuskan pendekatan dan model implementasi dalam suatu kerangka pemikiran dalam melihat dan menganalisis kecenderungan institusi dalam mengimplementasikan kebijakan. A. Pendekatan Institusionalisme Baru

Rhodes, R. (1997) dalam Marsh & Stoker mengatakan pendekatan institusional adalah suatu subjek masalah yang mencakup peraturan, prosedur, dan organisasi formal pemerintahan. Ia memakai alat-alat ahli hukum dan sejarahwan untuk menjelaskan batas-batas pada perilaku politik maupun efektifitas demokratis . Dalam perjalanannya, pendekatan Institusional mengalami semacam paradigma baru karena tidak tahan dengan berbagai kritikan yang datang dari kubu behavioral dan strukturalisme yang mengatakan pendekatan institusionalisme tradisional hanya berkutat pada organisasi politik dan pemerintahan formal saja tetapi tidak keluar terhadap batasan yang lebih luas mengenai pemerintahan.

Berangkat dari desakan tersebut, para pemikir Institusionalisme mengembangkan suatu paradigma baru yang dikenal dengan aliran Institusionalisme Baru. Pemikir yang mengembangkan paradigma ini ialah March dan Olsen, yang melihat para pemikir ilmu politik mainstream sebagai reduksionis karena menganggap institusi sudah tidak menarik lagi untuk di kaji dalam ranah ilmu politik mainstream . March dan Olsen menegaskan bahwa institusi politik memainkan suatu peran yang lebih otonom dalam membentuk hasil politik, menyatakan bahwa organisasi kehidupan politik membuat suatu perbedaan.

Berangkat dari pertanyaan yang sangat menarik tentang apa yang menyusun suatu institusi politik dan cara institusi politik itu bekerja dan menentukan serta mempertahankan kepentingan, March dan Olsen mengemukakan suatu hipotesa. March dan Olsen melihat kemampuan actor individu mempengaruhi bentuk dan berfungsinya institusi politik yang relative otonom. Perubahan ini menarik pada saat perubahan institusional secara cepat. contohnya di Inggris, inovasi institusional seperti privatisasi atau devolusi mempengaruhi perilaku politik, dan bagaimana itu mempengaruhi politik yang sudah ada di institusi lama, pelayanan publik dan kedaulatan parlementer. Ataukah di Negara bekas komunis Eropa Timur dan Tengah, bisakah desain institusi politik baru mengubah perilaku politik kearah pengharapan demokrasi liberal.

Tidak ada respon terhadap pertanyaan tersebut. Jika institusionalis lama meremehkan teori, institusionalis baru justru sangat antusias mengembangkan beraneka ragam proyek teoritis. Jika institusionalis tradisional menggunakan metode deskriptif-induktif (menarik kesimpulan dari penyelidikan empiris), Institusional-baru bereksperimen dengan pendekatan deduktif yang berawal dari dalil-dalil teoritis tentang cara institusi bekerja. Peralihan institusionalis dalam ilmu politik sesungguhnya merupakan suatu rangkaian perkembangan, yang setidaknya pada awalnya terjadi secara relatif independen satu sama lain. Sekarang telah banyak sekali pendekatan institusional yang dikembangkan oleh para ahli, antara lain:

1. Institusionalis normatif mempelajari bagaimana norma dan nilai yang dikandung dalam institusi politik membentuk perilaku individu ( lihat March dan Olsen (1984) dalam Marsh, David & Stoker (2011))

2. Institusionalis pilihan rasional menyatakan bahwa institusi politik adalah system aturan dan desakan yang di dalamnya individu berusaha untuk memaksimalkan kegunaan (kepentingan dan keuntungan) mereka (lihat Weingast (1986) dalam Marsh, David & Stoker (2011))

3. Institusionalis historis melihat pada bagaimana pilihan yang dibuat tentang desain institusional sistem pemerintahan mempengaruhi pembuatan keputusan individu di masa depan (lihat Hall dan Taylor (1996) dalam Marsh, David dan Stoker (2011))

4. Institusionalis empiris, yang paling mirip dengan pendekatan tradisional, mengelompokkan berbagai jenis institusional dan menganalisis dampak praktisnya terhadap kinerja pemerintah (lihat Peters (1996) dalam David dan Stoker (2011))

5. Institusionalis internasional menunjukkan bahwa perilaku negara disetir oleh desakan struktural (formal dan informal) atau kehidupan politik internasional (lihat Rittberger (1993) dalam David dan Stoker (2011))

6. Institusionalis sosiologis mempelajari cara institusi menciptakan makna bagi individu, memberikan batu-bata teoritis yang penting bagi institusionalisme normative dalam ilmu politik (lihat Meyer dan Rowan (1991) dalam David dan Stoker (2011))

7. Institusionalis jaringan menunjukkan bagaimana pola-pola interaksi yang diatur tapi seringkali informal antara individu dan kelompok bisa membentuk perilaku politik (lihat Mars dan Rhodes (1992) dalam David dan Stoker (2011))

B. Konsep Kebijakan Publik

Dunn, menjelaskan bahwa secara etimologis, istilah kebijakan (policy) berasal dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta polis (Negara-kota) dan pur (kota) yang dikembangkan dalam bahasa Latin menjadi politea (Negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris policie, yang berarti mengani masalah masalah publik atau administrasi pemerintahan. Laswell dan Kaplan dalam Thoha, Miftah memberikan definisi tentang kebijakan yaitu sebagai program pencapaian tujuan, nilai nilai dalam praktek yang terarah.

Menurut Anderson (1979) dalam Winarno menyatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh suatu actor atau sejumlah actor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Konsep kebijakan ini mempunyai implikasi yaitu: (1)titik perhatian dalam membicarakan kebijakan berorientasi pada maksud dan tujuan, bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan sudah direncanakan oleh aktor aktor yang terlibat dalam sistem politik, (2) suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan lainnya dalam masyarakat, (3) kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah, (4) kebijakan dapat bersifat positif dan negative, dan (5) kebijakan harus berdasarkan hukum sehingga memiliki kewenangan masyarakat untuk mematuhinya.

Kebijakan dapat dilihat sebagai konsep filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan; sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi; sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya; dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya.

Menurut Friedrick dalam Kismartini, mengartikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksana usulan kebijakan tersebut dalam mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan definisi diatas, berarti pemerintah harus mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan untuk merespon dan menaggulangi permasalahan yang ada dengan memperhatikan sumberdaya yang dimiliki serta menerima masukan dari seseorang/kelompok, sehingga ada jalan keluar yang terbaik dan dihasilkan melalui proses yang fair.

Dunn dalam Dwidjowijoto menjelaskan tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Fase penyusunan agenda, dimana para pejabat baik itu yang dipilih lewat pemilu maupun diangkat, mengangkat isu tertentu menjadi agenda publik.

2. Fase formulasi kebijakan, dimana didalamnya pejabat merumuskan alternative kebijakan untuk mengatasi masalah yang dirumuskan.

3. Adopsi kebijakan; disini alternative kebijakan dipilih dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas dan consensus kelembagaan.

4. Implementasi kebijakan, yang didalamnya kebijakan yang diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi dengan memobilisasi sumberdaya yang dimilikinya, terutama financial dan manusia.

5. Penilaian kebijakan;di sini unit-unit pemeriksaan dan akuntansi menilai apakah lembaga pembuatan kebijakan dan pelaksana kebijakan telah memenuhi persyaratan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.

Menurut Chander dan Plano (1988:107) dalam Keban kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan yang diambil telah banyak membantu para pelaksana ditingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Bahkan, Chandler dan Plano juga beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan bentuk intervensi yang terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok masyrakat tertentu agar dapat berperan dalam pembangunan maupun setiap tindakan yang dikerjakan oleh pemerintah.

Sementara itu Islamy dalam Kismartini, telah mengumpulkan beberapa pengertian kebijakan publik seperti pendapat Thomas R. Dye, George C. Edwards dan Ira Sharkansky, James Anderson dan David Easton. Dimana terdapat beberapa sudut pandang dari para ilmuwan administrasi publik yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1). Kebijakan publik dipandang sebagai tindakan pemerintah. Thomas R. Dye, mengemukakan kebijakan publik sebagai apa pun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan. Dalam upaya mencapai tujuan Negara, pemerintah perlu mengambil pilihan langkah tindakan yang dapat berupa melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Tidak melakukan sesuatu apa pun merupakan sesuatu kebijakan publik karena merupakan upaya pencapaian tujuan dan pilihan tersebut memiliki dampak yang sama besarnya dengan pilihan langkah untuk melakukan sesuatu terhadap masyarakat.

Senada dengan pandangan Dye adalah George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, yaitu : kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau dilakukan oleh pemerintah yang dapat ditetapkan dalam peraturan-paraturan perundang-undangan atau dalam bentuk policy statement yang berbentuk pidato-pidato dan wacana yang diungkapkan pejabat politik dan pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan program-program dan tindakan pemerintah. Sementara itu, James E. Anderson memeberikan definisi kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.2) Kebijakan publik dipandang sebagai pengalokasian nilai-nilai masyarakat yang dilakukan pemerintah. Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah. Sedangkan David Easton mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai sevcara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyrakat.

3) Kebijakan publik dipandang sebagai rancangan program-program yang dikembangkan pemerintah untuk mencapai tujuan. James E. Anderson mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Sementara itu, Edwards III dan Sharkansky mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah suatu tindakan pemeriintah yang berupa program-program pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan.

Dwidjowijoto telah merumuskan definisi yang lebih sederhana, yaitu kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan Negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyrakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyrakat yang dicita-citakan.

Berdasarkan berbagai sudut pandang terhadap pengertian kebijakan publik di atas, tampaklah bahwa kebijakan publik hanya dapat ditetapkan pemerintah, pihak-pihak lain atau yang lebih dikenal dengan sebutan aktor-aktor kebijakan publik hanya dapat memepengaruhi proses kebijakan publik dalam kewenangannya masing-masing. Menurut Dye dalam Kismartini, hal ini disebabkan oleh 3 hal dari kewenangan yang dimiliki pemerintah, yaitu:

a) Hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memberlakukan kebijakan publik secara universal kepada publik yang menjadi sasaran (target group).

b) Hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melegitimasi atau mengesahkan kebijakan publik sehingga dapat diberlakukan secara universal kepada publik yang menjadi sasaran (target group).

c) Hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan kebijakan publik secara paksa kepada publik yang menajdi sasaran (target group)

Sementara Broomley (1989:3) telah menyusun model kebijakan berdasarkan hirarki dalam pengambilan keputusan. Terdapat tiga tingkatan yang berkaitan dengan proses penyusunan kebijakan dalam kelembagaan yaitu tingkat kebijakan (policy level), tingkat organisasi (organizational level) dan tingkat operasional (operational level).

Pada tingkat kebijakan pernyataan umum dibahas dan diformulasikan oleh lembaga legislative. Pada tingkat oraganisasi, kekuasaan dipegang oleh lembaga eksekutif dan selanjutnya tingkat operasional merupakan operasionalisasi kegiatan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi atau lembaga masing-masing sebagai petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dari kebijakan untuk menghasilkan outcome yang diharapkan. Suatu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah harus mendapatkan respon positif dari masyarakat pengguna kebijakan.

Dalam tingkat operasional, ada anggapan bahwa ketika pemerintah membuat suatu kebijakan tertentu, maka kebijakan tersebut dengan sendirinya akan dengan mudah dapat dilaksanakan oleh pembuat kebijakan dan hasilnya akan mendekati seperti apa yang dharapkan oleh pembuat kebijakan. Menurut Smith dalam Wahab, pandangan demikian tidak seluruhnya benar sebab di negara-negara dunia ketiga, implementasi kebijakan publik justru merupakan batu sandungan terberat dan serius bagi efektifitas pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang sosial dan ekonomi. Hal ini juga ditegaskan oleh Dwidjowijito bahwa implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena disini pada masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep muncul dilapangan.

C. Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.

Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang membawa dampak pada warga negaranya. Dalam literatur Negara klasik, politik dan administrasi dipisahkan. Politik, menurut Frank Goodnow dalam Subarsono, yang menulis pada tahun 1900, berhubungan dengan penetapan kebijakan yang akan dilakukan oleh Negara. Ini berhubungan dengan nilai keadilan, dan penentuan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan administrasi, berhubungan dengan implementasi apa yang harus dilakukan oleh negara dan apa yang efisien untuk dalam mengimplementasikan kebijakan publik.

Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut street level bureaucrats untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran (target group). Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing masing variabel pengaruh tersebut saling berinteraksi satu sama lain.

Dalam penerapannya terdapat berbagai model dalam Implementasi kebijakan yang dihasilkan oleh para ahli. Seperti George C. Edwards III (1980) yang memandang implementasi dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Dan keempat variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.

Berbeda dengan pandangan Mazmanian dan Sabatier (1983) , yang mengatakan ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni (1) karakteristik dari masalah (trac-tability of the problems), (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation), (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation)

Menurut Meter dan Horn, ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni; (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik.

Model implementasi yang dikemukakan oleh Merilee S. Grindle (1980). Menurutnya, ada dua variabel besar yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yakni; isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups, sebagai contoh, masyarakat di slum areas lebih suka menerima program air bersih atau pelistrikan daripada menerima program kredit sepeda motor; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan merubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan kepada kelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Adapun model implementasinya digambarkan dengan skema berikut ini:

Skema 2.1

Model Implementasi Grindle, Merilee S, 1980:11

Untuk memudahkan peneliti dalam kefokusan menganalisis masalah, maka peneliti mengambil model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Merilee S. Grindle. Alasan memilih model ini karena dinilai cocok dalam menggambarkan cara cara institusi dalam mengimplementasikan kebijakan terutama mengenai Perda no. 15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan pentaan pasar modern. D. Konsep dan Pemaknaan Tentang Pasar

Dikotomi antara pasar tradisional dan pasar modern sesungguhnya tidak hanya bersumber dari arsitektur bangunan atau manajemen pengelolaannya, melainkan bersumber dari pemaknaan tentang konsepsi pasar sebagai tempat berlangsungnya transaksi ekonomi. Konsep tentang pasar dapat dipahami dari berbagai perspektif, seperti perspektif ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Dalam perspektif ekonomi, konsep tentang pasar (dalam pengertian luas, sebagai tempat bertemunya permintaan dan penawaran) terbentuk sebagai salah satu implikasi dari proses perubahan masyarakat menuju masyarakat kapitalis. Boeke (1910) merupakan salah satu ahli ekonomi yang mencoba menerangkan fenomena terbentuknya pasar dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik. Menurutnya, perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik terletak dalam hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat dalam tingkatan prakapitalistik berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang diperolehnya, sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya untuk mendapatkan laba maksimum .

Perbedaan orientasi ekonomi tersebut melahirkan nilai-nilai sosial dan budaya yang membentuk pemahaman terhadap keberadaan pasar dalam kedua kategori masyarakat tersebut. Dalam masyarakat kapitalistik, individu secara otonom menentukan keputusan bebas. Dalam masyarakat seperti itu, pasar merupakan kolektivitas keputusan bebas antara produsen dan konsumen . Jika keputusan produsen ditentukan oleh biaya alternatif, harapan laba, dan harapan harga pasar, maka keputusan konsumen ditentukan oleh daya beli, pendapatan minus tabungan, harga dan harapan harga komoditas, serta faktor individual (minat, kebutuhan, dll). Dalam masyarakat prakapitalistik, sebaliknya, kolektivisme menentukan keputusan individual. Pasar dalam masyarakat seperti itu merupakan pertemuan sosial, ekonomi, dan kultural. Jika keputusan produsen lebih ditentukan oleh harapan untuk mempertahankan posisi pendapatan yang telah dicapai, maka keputusan konsumen lebih dekat pada nilai kolektif yang dapat diraihnya.

Nilai kolektivitas menjadi pembeda dalam pemahaman tentang konsepsi pasar di kalangan masyarakat prakapitalistik dan masyarakat kapitalistik. Bagi masyarakat prakapitalistik yang ciri cirinya tampak dalam kelompok masyarakat yang masih berpatokan pada kolektivitas, kegiatan ekonomi yang berlangsung di pasar (dalam arti tempat bertemunya penjual dan pembeli) masih sangat diwarnai oleh nuansa kultural yang menekankan pentingnya tatap muka, hubungan personal antara penjual dan pembeli (yang ditandai oleh loyalitas langganan), serta kedekatan hubungan sosial (yang ditandai konsep tawar-menawar harga dalam membeli barang atau konsep berhutang). Karakteristik semacam ini pada kenyataannya tidak hanya ditemukan dalam masyarakat perdesaan sebagaimana ditesiskan Boeke, tapi juga dalam masyarakat perkotaan, yang bermukim di kota-kota besar di Indonesia. Kondisi semacam inilah yang kemudian memunculkan dualisme sosial, yang tampak dalam bentuk pertentangan antara sistem sosial yang berasal dari luar masyarakat dengan sistem sosial pribumi yang hidup dan bertahan di wilayah yang sama.

Secara sosiologis dan kultural, makna filosofis sebuah pasar tidak hanya merupakan arena jual beli barang atau jasa, namun merupakan tempat pertemuan warga untuk saling interaksi sosial atau melakukan diskusi informal atas permasalahan kota . Pemaknaan ini merefleksikan fungsi pasar yang lebih luas, namun selama ini kurang tergarap pengelolaannya dalam berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pasar, seperti kebijakan perdagangan, tata ruang, dan perizinan lebih banyak berorientasi pada dimensi ekonomi dari konsep pasar. Pengabaian terhadap fungsi sosial-kultural pasar inilah yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk pasar modern yang bernuansa kapitalistik, yang lebih menonjolkan kenyamanan fisik bangunan, kemewahan, kemudahan, dan kelengkapan fasilitas namun menampilkan sisi lain yang individualistis, dingin, dan anonim.

Masuknya nilai-nilai baru, seperti kolektivitas rasional atau otonomi individu yang menjadi karakteristik masyarakat kapitalistik ternyata tidak diimbangi oleh pelembagaan nilai-nilai ini dalam dimensi kehidupan masyarakat. Kebiasaan sosial di kalangan masyarakat perkotaan yang seyogianya menampakkan ciri-ciri masyarakat kapitalistik, pada kenyataannya masih menunjukkan kebiasaan masyarakat prakapitalistik. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan fenomena dualisme, seperti berkembangnya para pedagang kaki lima di sekitar mall. Dualisme sosial ini selanjutnya mengarah pada pola relasi yang timpang di mana salahsatu pihak mendominasi pihak lain dan pihak lain berada dalam posisi termarginalkan, baik dalam kerangka struktural maupun kultural. Friedman dalam Sastradipoera, menjelaskan bahwa kesenjangan dalam pola relasi tersebut disebabkan oleh ketimpangan dalam basis kekuasaan sosial. Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar menawar di pasar terutama disebabkan oleh ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial tersebut. Beberapa penyebabnya adalah ketidaksamaan untuk memperoleh modal atau aktiva produktif, ketidaksamaan dalam memperoleh sumber-sumber finansial, ketidaksamaan dalam memasuki jaringan sosial untuk memperoleh peluang kerja, dan ketidaksamaan akses untuk menguasai informasi.

Ketimpangan yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan dalam kekuatan tawarmenawar setidaknya memunculkan dua akibat, yakni: (1) hilangnya harga diri (self-esteem) karena pembangunan sistem dan pranata sosial dan ekonomi gagal mengembangkan martabat dan wibawa kemanusiaan; dan (2) lenyapnya kepercayaan pada diri sendiri (self-reliance) dari masyarakat yang berada dalam tahapan belum berkembang karena ketidakmandirian. Kondisi ketidakseimbangan dalam hal bargaining position sebagaimana diuraikan di atas juga menjadi salahsatu penyebab melemahnya kapasitas pasar tradisional dalam persaingan dengan pasar modern. Ruang bersaing pedagang pasar tradisional kini semakin terbatas. Bila selama ini pasar modern dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik, skala ekonomis pengecer, area pasar modern yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Akibatnya, keunggulan biaya rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis.

Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan bagi pasar tradisional.

Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan pasar tradisional dengan pasar modern belum secara konkret dilakukan karena tidak ada kebijakan yang mendukung pasar tradisional, misalnya dalam hal pembelian produk pertanian tidak ada subsidi dari pemerintah sehingga produk yang masuk ke pasar tradisional kalah bersaing dalam hal kualitas dengan produk yang masuk ke pasar modern. Bahkan dewasa ini berkembang pengkategorian pasar yang cenderung memarginalkan masyarakat, seperti pasar tradisional untuk masyarakat berdaya beli menengah ke bawah tapi kualitas barang yang dijual tidak sesuai standar, sementara pasar modern untuk masyarakat menengah ke atas dengan kualitas produk sesuai bahkan melebihi standar minimal.

Kategorisasi semacam itu memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial bukan hanya antara pasar tradisional dengan pasar modern, tapi semakin meluas mengarah pada konflik horizontal di masyarakat. Pembedaan kategori pasar tradisional dan pasar modern juga menunjukkan stigmatisasi dan diskriminatif. Padahal konsep pasar modern kenyataannya lebih sarat dengan makna konsumtif dibandingkan makna sebagai ruang sosial lintas strata masyarakat.E. Kerangka Pemikiran

Proses dalam implementasi kebijakan merupakan kajian yang memiliki kaitan yang sangat erat dalam aliran institusional. Karena melibatkan organisasi politik baik itu formal dan non-formal serta aktor aktor yang terlibat didalamnya. Dalam proses implementasi kebijakan biasanya memiliki banyak faktor pendukung sehingga implementasinya berjalan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Grindle bahwa setidaknya ada dua variabel besar yang mendukung, yaitu: isi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Isi kebijakan meliputi: (1) kepentingan kelompok sasaran yang termuat dalam isi kebijakan; (2) manfaat yang diterima oleh target groups; (3) perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) letak program sudah tepat; (5) apakah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan baik; dan (6) sumberdaya yang memadai. Sedangkan lingkungan kebijakan meliputi: (1) kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsifitas kelompok sasaran.

Adanya variabel tersebut, maka kajian mengenai implementasi kebijakan mengharuskan untuk meneliti tentang isi dari kebijakan, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam kebijakan tersebut, institusi institusi baik formal dan non formal beserta aktor aktor yang terlibat didalamnya, dan kepentingan apa yang melandasi dari setiap keputusan.

Pada poin ini, penulis mencoba menggambarkan skema kerangka pemikiran dalam menganalisis implementasi Perda No.15 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Kota Makassar. Dalam menganalisis implementasi Perda tersebut terlebih dahulu menjelaskan isi dari Perda dan tujuan yang ingin dicapai serta sasarannya (target groups). Setelah itu penulis berusaha menjelaskan proses implementasinya dengan melihat institusi institusi dalam pemerintahan daerah Kota Makassar yang terlibat serta aktor aktornya dan kepentingan apa yang bermain didalamnya. Disini peneliti mencoba memakai aliran institusionalis Baru dengan model pilihan rasional. Dimana dalam metode ini, peneliti melihat cara institusi atau aktor aktor didalamnya bekerja didasari oleh kecenderungan pemaksimalan kepentingan. Dan terakhir, peneliti berusaha untuk menjelaskan dampak dari implementasi Perda No.15 tersebut terhadap eksistensi pasar lokal yang ada di Makassar. Secara umum, kerangka pemikiran ini dapat dilihat dalam skema berikut : F. Skema Berpikir

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini menguraikan tentang perangkat-perangkat penelitian, mulai dari pemilihan lokasi penelitian, tipe dan dasar penelitian, teknik pengumpulan data, analisa data serta konsep operasional yang sangat membantu dalam kelangsungan penelitian ini.

A. Lokasi dan Objek Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Makassar. Alasan memilih Kota Makassar sebagai lokasi penelitian karena Makassar adalah satu-satunya daerah di Sulawesi Selatan yang memiliki Perda tentang perlindungan pasar tradisional. Selain itu, di Makassar terdapat 16 pasar resmi dan 23 pasar darurat dan lingkungan, yang keberadaannya akan terancam oleh maraknya pertumbuhan dan pembangunan pasar pasar modern.

Objek penelitian adalah Perda No. 15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota Makassar. Alasan memilih Perda No. 15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota Makassar, karena dalam Perda ini memuat aturan aturan tentang pendirian pasar modern, yang selama ini oleh berbagai kalangan banyak dilanggar oleh pasar pasar modern dalam pembangunannya, contohnya: pada pasal 7, dimana dalam pendirian pasar modern harus membuat analisa dampak sosial ekonomi masyarakat dan kebertahanan pasar tradisional. Alasan lainnya ialah peneliti mau melihat sampai sejauh mana tahapan implementasi Perda tersebut dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Makassar.B. Tipe dan Dasar Penelitian

Tipe penelitian yang dipergunakan ialah deskriptif analisis, yaitu penelitian yang menggambarkan secara jelas dan menganalisis mengenai implementasi dari kebijakan Perda No. 15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota Makassar oleh pemerintah daerah serta dampak dari implementasi tersebut bagi eksistensi pasar tradisional di Kota Makassar.

Dasar penelitian yang digunakan ialah kualitatif yang menggambarkan secara jelas mengenai variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, seperti isi kebijakan dalam hal ini tujuan dan sasaran, aktor aktor yang terlibat, mulai dari pemerintah daerah dalam hal ini dinas terkait, DPRD, Organisasi Pedagang Pasar Tradisional, pengusaha pasar modern, dll, khususnya dalam penerapan Perda No.15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota Makassar.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan data sekunder. Adapun yang dimaksud sebagai berikut: a. Data Primer

Data Primer dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara yaitu data yang diperoleh langsung dari informan melalui wawancara secara mendalam untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya terutama yang berkaitan dengan penerapan kebijakan perda No.15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota Makassar. Proses wawancara ini menggunakan pedoman wawancara (interview guide), agar wawancara tetap berada pada fokus penelitian. Informan yang akan penulis wawancarai dalam pengumpulan data, ada lima yaitu:

a. DPRD Kota Makassar

b. Perusahaan Daerah Pasar Kota Makassar

c. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Makassar

d. Kepala Perizinan Kota Makassare. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kota Makassar f. Ketua Persaudaraan Pedagang Pasar Terong

g. Kamar Dagang Indonesia Provinsi Sulawesi Selatanb. Data Sekunder

Data sekunder dilakukan dengan studi pustaka dengan mengumpulkan dan menganalisis arsip atau dokumen mengenai berbagai informasi yang berkaitan dengan kajian dan fokus penelitian. Arsip dan dokumen yang dimaksud dapat berupa artikel dan berita di surat kabar ataupu di internet, peraturan perundang undangan terkait, dokumen dokumen perencanaan Kota Makassar, data statistik, dan tulisan tulisan yang dapat memperkaya data yang dikumpulkan.D. Teknik Analisis DataAnalisa data akan berlangsung hampir bersamaan dengan pengumpulan data. Hal ini untuk membantu peneliti melihat sejumlah kekurangan penelitian ini, sekaligus untuk menarik dugaan-dugaan sementara yang akan dikaji lebih mendalam. Proses ini akan dimulai dengan penulisan data yang lebih teratur dari proses pengumpulan informasi yang dilakukan melalui proses wawancara, pencatatan lapangan serta observasi. Hal ini untuk memudahkan peneliti mencermati sejumlah informasi tersebut. Informasi ini selanjutnya akan di triangulasi untuk memastikan keabsahan (validity) data. Langkah selanjutnya adalah penyajian data yang diperoleh dari hasil analisis serta interpretasi terhadap sejumlah informasi selama penelitian. Penggunaan penyajian data ini untuk memudahkan peneliti memahami data. Selain itu, juga akan membantu dalam menentukan tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut, seperti melakukan proses analisis lebih dalam. Kesimpulan sementara ini selanjutnya akan dicermati untuk menghasilkan kesimpulan penelitian, dan akan dituliskan secara deskriptif-analitis. Penelitian ini akan berakhir ketika data sudah mencukupi untuk menjawab pertanyaan penelitian. BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Kondisi Geografis dan Kependudukan Kota Makassar

Penelitian ini dilakukan di Makassar. Makassar adalah ibukota dari provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Makassar sebagian besar merupakan kawasan pesisir dengan ketinggian 0-20 meter dari permukaan laut, dengan luas wilayah 175,77 km. Luas wilayah tersebut secara administratif terbagi dalam 14 Kecamatan dengan 143 kelurahan, dan pada tahun 2009 tercatat dengan jumlah penduduk terbanyak di Sulawesi Selatan, yakni 1.271.870 jiwa. Dari jumlah tersebut, 617.747 jiwa merupakan laki-laki dan 654.123 jiwa adalah perempuan yang tersebar dengan kepadatan sekitar 7.235/km. Tabel 01: Luas Wilayah Dan Persentase Terhadap Luas Wilayah Menurut Kecamatan Di Kota MakassarKode WilayahKecamatanLuas Area(km2)Persentase terhadap luas Kota Makassar(%)

-1-2-3-4

10Mariso1,821,04

20Mamajang2,251,28

30Tamalate20,2111,50

31Rappocini9,235,25

40Makassar2,521,43

50Ujung Pandang2,631,50

60Wajo1,991,13

70Bontoala2,101,19

80Ujung Tanah5,943,38

90Tallo5,833,32

100Panakkukang17,059,70

110Manggala24,1413,73

101Biringkanaya48,2227,43

111Tamalanrea31,8418,11

7371MAKASSAR175,77100,00

Sumber : Makassar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik MakassarTabel 02 : Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin diKota Makassar pada tahun 2009.

Kelompok Umur

Laki-LakiPerempuanJumlah

-1-2-3-4

0 467.30956.306123.615

9 May63.49466.162129.656

10 1461.488 56.04117.528

15 1960.28572.389132.674

20 2466.806 87.28154.086

25 2956.27271.356127.628

30 3455.52156.561112.082

35 3945.49152.30497.795

40 4437.01429.526 66.540

45 4925.72929.16454.893

50 5418.45624.18342.639

55 5915.29619.56334.859

60 6418.55817.17935.737

65 +18.55124.06642.617

Jumlah/Total610.27662.0791.272.349

Sumber: Makassar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik MakassarB. Kondisi Perekonomian Masyarakat Kota MakassarPerkembangan Kota Makassar juga memicu kegiatan ekonomi yang kian pesat, hal ini misalnya dapat terlihat dengan meningkatnya jumlah perusahaan perdagangan yang mencapai 14.584 unit usaha, dengan rincian 1.460 perdagangan besar, 5.550 perdagangan menengah, dan 7.574 perdagangan kecil. Untuk perkembangan industri, di Makassar terdapat 21 industri besar dan 40 industri sedang yang menempati Kawasan Industri Makassar di kecamatan Biringkanaya, serta selebihnya di kecamatan Tamalanrea dan Panakkukang yang masing-masing terdiri dari 5 unit.

Selain Sejumlah industri diatas, di Makassar, pembangunan ekonomi ditopang dengan sejumlah akses masuk, yaitu pelabuhan Sukarno-Hatta dan Bandar Udara Sultan Hasanuddin, serta dua terminal angkutan darat, Terminal Umum Mallenkeri dan Terminal Regional Daya. Sektor perekonomian masyarakat kota Makassar pada umumnya bergerak disektor jasa, perdagangan, perikanan (nelayan) serta industri melalui salah satu kawasan industrinya, Kawasan Industri Makassar (KIMA). Sementara sektor perdagangan, khususnya kebutuhan rumah tangga di kota ini berlangsung di pusat-pusat perbelanjaan modern serta pasar-pasar lokal (tradisional).

Sebagaimana perkembangan kota pada umumnya, sebagai salah satu pusat perekonomian, Makassar juga menjadi tujuan masyarakat dari sejumlah daerah di Sulawesi Selatan dalam memasarkan produk-produk pertaniannya. Mereka yang datang dari sejumlah daerah ini, pada umumnya bergerak disektor informal seperti menjadi pedagang di pasar lokal dan pagadde-gadde. Namun munculnya sejumlah pusat perbelanjaan modern dalam satu dekade terakhir berpengaruh pada keberadaan dan keberlangsungan perekonomian masyarakat di sektor informal tersebut. Dimana pasar lokal dan gadde-gadde tidak lagi menjadi penyangga utama dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

Di Makassar sendiri, terdapat sekitar 65 pasar lokal, baik resmi ataupun darurat yang menjadi tempat transaksi pemenuhan kebutuhan masyarakat kota Makassar. Pasar-pasar lokal ini menempati sejumlah tempat di Makassar, baik ditengah-tengah perkotaan seperti pasar Terong, pasar Grosir Butung, dan pasar Pabbaeng-baeng. Ataupun yang menempati jalan-jalan pemukiman warga, seperti pasar di perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Sebagai salah satu sektor perekonomian masyarakat, keberadaan pasar lokal kini kian terancam dengan sejumlah pasar-pasar modern, seperti Carrefour, Hypermart dan GiantBAB V

PEMBAHASAN

Bab ini akan menjelaskan temuan penelitian tentang bagaimana implementasi dari Perda No. 15 tahun 2009 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern dijalankan oleh pemerintah kota Makassar dan dampaknya terhadap pasar lokal yang ada di kota Makassar. Hal ini sangat perlu untuk membantu menganalisis kecenderungan apa yang mendasari aktor aktor di pemerintahan dalam hal ini Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) melakukan setiap tindakannya dalam mengimplementasikan Perda. A. IMPLEMENTASI PERDA NO.15 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN PASAR TRADISONAL DAN PENATAAN PASAR MODERN DI KOTA MAKASSAR

Dalam konteks perlindungan pasar tradisional di Indonesia, terlepas dari ideal atau tidaknya peraturan per-undang undangan yang mengaturnya. Ada satu penyakit kronis yang sampai saat ini tidak terobati. Penyakit tersebut adalah implementasi dan penegakan hukumannya. Contoh kasus di beberapa daerah di Indonesia seperti Jakarta dan Bandung. Setelah terbitnya Perpres No.112 Tahun 2007 serta peraturan turunannya lewat Permendagri No.58 Tahun 2008 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, tidak lantas memberikan suatu payung hukum yang jelas kepada nasib pasar tradisional dan para pedagang di dalamnya. Untuk kasus kota Jakarta, terdapat enam pasar yang dikategorikan mati antara lain Pasar Sinar Utara, Pasar Karet Pedurenan, Pasar Blora, Pasar Cipinang Baru, Pasar Muncang, dan Pasar Prumpung Tengah. Kematian beberapa pasar tersebut terjadi karena dalam lima tahun terakhir, pendirian ritel modern dalam hal ini Hypermarket terjadi semakin massif. Dari data yang dikeluarkan oleh APPSI, penurunan omzet pasar tradisional di DKI Jakarta merosot tajam sampai dengan 60 %, setelah hadirnya Hypermarket.

Lain halnya yang terjadi di kota Bandung. Daerah yang menjadi ikon wisata Jawa Barat ini, semakin hari semakin bertumbuh pesat terutama dalam bidang perdagangannya. Hal ini memberikan efek terhadap gaya hidup masyarakatnya dalam hal berbelanja. Gaya hidup berbelanja tersebut disokong dengan maraknya pembangunan beberapa pusat perbelanjaan dan toko modern yang berada disana. Sehingga membuat beberapa pasar tradisional mengalami penurunan omzet yang sangat tajam. Hal tersebut mendorong pemerintah Kota Bandung untuk menerbitkan Perda No. 2 Tahun 2009 tentang Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam perjalannanya, Perda tersebut tidak lantas membuat aktivitas persaingan antara pasar tradisional dan ritel modern tersebut semakin membaik. Dari 50 pasar tradisional yang ada di kota Bandung tidak berimbang dengan populasi ritel modern yang mencapai 147 unit. Ini menandakan perkembangan ritel modern cukup signifikan di Kota Bandung.

Dalam perjalanannya, banyak kalangan mengharapkan agar Perpres 112 Tahun 2007 dan permendagri No. 53 Tahun 2008 menjadi salah satu solusi terhadap konflik antara pasar tradisional dengan pasar modern. Tetapi saat ini masih terdapat ketidakjelasan tentang implementasi Perpres untuk tujuan perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional. Banyak daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak pelaksanaan tidak melakukan apa apa karena ketidakpahaman tentang implementasi dari Perpres dan Permendagri tersebut. Seperti apa sesungguhya implementasi tentang zonasi dari pasar modern terhadap pasar tradisional dan pemberdayaan pasar tradisional serta UMKM dapat dilaksanakan secara optimal. Kejelasan konsep yang dibangun oleh Perpres 112 Tahun 2007 dan Permendagri Tahun 53 Tahun 2008 menjadi sandaran utama banyak kalangan sehingga mereka mengharapkan penjelasan yang lebih rinci terkait hal tersebut.

Ketidakjelasan konsep lantas memberikan stimulus kepada beberapa daerah untuk membuat suatu peraturan turunan dari Perpres 112 Tahun 2007 dan Permendagri No. 53 Tahun 2008. Salah satu daerah yang membuat Peraturan tentang perlindungan pasar tradisional ialah Kota Makassar. Lewat Perda No. 15 Tahun 2009 Tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisonal dan Penataan Pasar Modern diharapkan mampu untuk memecahkan masalah persaingan di antara pasar modern dan tradisional yang ada di kota Makassar. Hal itu seperti diungkapkan dalam wawancara bersama Hasanuddin Leo, yang merupakan anggota komisi B Bidang Perekonomian dan Keuangan DPRD kota Makassar.

realitas pasar tradisional saat ini, di tengah maraknya pasar modern yang berkembang di kota Makassar, merupakan tuntutan kota Makassar sebagai kota metro. Untuk mengantisipasi terpuruknya pasar tradisional maka pemerintah dan DPRD mengeluarkan Perda tentang perlindungan pasar tradisonal

Kebijakan publik, menurut William Dunn merupakan alat dalam menangani masalah masalah publik atau administrasi pemerintahan. Begitupun Dwidjowijoto telah merumuskan definisi yang lebih sederhana, yaitu kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan Negara yang bersangkutan. Kebijakan publik dipandang juga sebagai strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. Berdasarkan definisi kebijakan publik tersebut, tampaklah bahwa kebijakan publik hanya dapat ditetapkan pemerintah, pihak-pihak lain atau yang lebih dikenal dengan sebutan aktor-aktor kebijakan publik, yang dapat memepengaruhi proses kebijakan publik dalam kewenangannya masing-masing.

Senada dengan itu, politisi partai PKS Hj. Sri Rahmi mengatakan bahwa konsep pembuatan Perda ialah untuk menjaga keberlangsungan pasar tradisional agar konsumennya tidak diambil oleh pasar modern dan toko modern. Baginya keberlangsungan pasar tradisional di kota Makassar semakin hari semakin berada pada ambang gulung tikar. Pernyataan tersebut sangat beralasan melihat fenomena saat ini, dimana pendirian pasar modern berada dekat dengan keberadaan pasar tradisional. Sehingga pemerintah dalam melakukan tanggung jawabnya, dalam melindungi pasar tradisional harus di dukung oleh suatu aturan yang mengikat setiap masyarakat agar patuh.

Perda No.15 Tahun 2009 mengemukakakan bahwa kepentingan kelompok sasaran (target groups) yang dituju berasal dari pasar tradisional dan pasar modern. Dalam konsep impelementasi kebijakan, Merilee S. Grindle, mengemukakan bahwa terdapat dua hal penting dalam terealisasinya suatu kebijakan. Pertama, melingkupi isi kebijakan. Dalam isi kebijakan, Merilee S. Grindle mengemukakan enam variabel yang mempengaruhinya, antara lain tercakupnya kepentingan kelompok sasaran (target groups); tipe manfaat; derajat perubahan yang diinginkan; letak pengambilan keputusan; pelaksana program; dan sumberdaya yang dilibatkan. Kedua, lingkungan implementasi. Ada tiga variabel yang mempengaruhi antara lain : kekuasaan, kepentingan dan strategi actor yang terlibat; karakteristik lembaga dan penguasa; dan kepatuhan serta daya tanggap.

Merujuk pada Pasal 21 mengenai perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional dikatakan pada ayatnya yang ke 2 bahwa penyelenggaraan pasar tradisional harus menyediakan fasilitas yang menjamin pasar tradisional yang bersih, sehat, higienis, aman, tertib dan ruang publik yang nyaman. Selanjutnya pada ayatnya yang ke empat dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan tersebut, pemerintah daerah bertanggung jawab penuh di dalamnya. Merujuk pada ayat tersebut, saat ini pengelolaan pasar Tradisional di Makassar diberikan kepada PD. Pasar Makassar Raya, dimana sebelumnya dikelola oleh Dinas Perpasaran. Tetapi setelah diterbitkannya Perda kota Makassar No. 12/2004 tentang Pengurusan Pasar Dalam Daerah Kota Makassar maka hak pengelolaan pasar diberikan kepada pihak swasta demi terciptanya pengembangan pasar tradisional yang lebih maju dan tertata rapi.

Dari data yang di keluarkan oleh PD. Pasar Makassar Raya, terdapat 16 pasar tradisional resmi yang ada di kota Makassar. Sedangkan dari data yang dikeluarkan oleh AcSI menunjukkan selain 16 pasar resmi tersebut, di kota Makassar terdapat kurang lebih 34 pasar tidak resmi atau yang biasa disebut pasar darurat. Berikut beberapa pasar yang dikategorikan resmi dan tidak resmi. Nama Pasar Tradisional Yang Ada di Kota Makassar (versi AcSi 2009)NoKecamatanPasar Tradisional

ResmiTidak resmi

1Biringkanaya Pusat Niaga Daya

Bulu-bulu Daya

Seputar Mesjid

2Tamalanrea Wesabbe

Pasar BTP

Pasar Blok A

3Panakkukang Toddoppuli Karuwisi

Tamamaung

Panaikang

Tello baru

Belakang Profesional

Paropo

4Makassar Kerung-kerung Rimo

5Mamajang Maricaya Harimau

6Ujung Pandang Baru Sawah

7Bontoala Terong

Kalimbu Tinumbu

Tette Kulantu

8Tallo Pannampu Galangan

Rappokalling

9Ujung Tanah Pelelangan

10Wajo Sentral

Butung

Sentral Jaya

Cidu Bonerate

Irian

11Mariso Sambung Jawa Kokolojia

Senggol

Tanjung

12Tamalate Pabaeng-baeng

Hartaco Barombong

Kanal

Bontomanai

Manuruki

13Rappocini Jipang Raya

Skarda

Rappocini Raya

14Manggala Antang

Borong Raya

Kassi

Pemberian label resmi dan tidak resmi pada pasar tradisional dikarenakan perbedaan dalam terjadinya pasar dan dalam pengelolaannya. Ada dua alasan terbentuknya pasar tradisional. Pertama, pasar tradisional dibentuk oleh masyarakat setempat dikarenakan kebutuhan akan tempat untuk aktifitas jual-beli. Kedua, pasar tradisonal terbentuk karena perintah atau intruksi dari pemerintah. Itu bisa kita lihat dari pasar Inpres (Intruksi Presiden). Sedangkan dalam pengelolaannya, pasar resmi dikelola oleh Pd. Pasar Makassar sedangkan untuk pasar tidak resmi dikelola oleh masyarakat sekitar atau juga pemilik dari lahan pasar.

Dalam perjalanannya, peran pasar tradisional untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak bisa dibilang kecil. Seperti yang diungkapkan oleh Syamsul Bahri, kepala Bag. Keuangan PD. Pasar Makassar Raya, bahwa dari 16 pasar tradisional yang ada di kota Makassar, setiap tahunnya menyumbangkan omzet untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkisar 5 miliar rupiah. Itu belum termasuk pengelolaan retribusi dan pajak untuk 34 pasar tidak resmi, yang juga dikelola oleh PD. Pasar dibantu dengan warga sekitar.

Selain menjadi penyumbang aset PAD bagi pemerintah, beberapa pasar juga diantaranya menyimpan banyak history bagi perkembangan kota Makassar di masa lalu. Seperti contohnya Pasar Boetoeng yang merupakan salah satu pasar tertua di Makassar, yang pertama kali menerapkan sistem retribusi bagi pedagangnya. Itu bisa dilihat dari Surat edaran tertanggal 1 September 1917 No. 15 tertanda W. Fryling. Pada saat itu, pasar Boetoeng juga menjadi salah satu bagian terpenting dari konsep penataan kota bagi kolonial Belanda untuk menata kesemrawutan yang dilakukan pedagang yang menggelar dagangannya di badan badan jalan (stret vendor).

Menurut PD. Pasar Makassar Raya yang diwakili oleh Syamsul Bahri mengungkapkan bahwa saat ini kondisi pasar tradisional yang ada di kota Makassar sangat memprihatinkan. Dari 16 pasar tradisional, sekitar setengahnya berada dalam posisi kritis. Ini diakibatkan kondisi pasar tradisional sendiri yang sudah semakin tua, kotor, dan mengakibatkan ketidak nyamanan pembeli yang masuk ke dalam pasar. Maraknya pendirian Hypermarket dan supermarket juga menjadi salah satu penyebab matinya keberadaan pasar tradisional di kota Makassar. Dimana hal tersebut mengakibatkan konsumen dari pasar tradisional menurun tajam.

pengaruh yang terjadi akibat pendirian pasar modern dan toko modern di kota Makassar terhadap pasar tradisional bisa dilihat dari kurangnya konsumen yang datang ke pasar tradisional. keadaan itu semakin diperparah dengan kondisi pasar tradisonal yang semakin semrawut. Mulai dari fasilitas yang tidak memadai sampai pada soal kebersihannya.

Terkait dengan disahkannya Perda No. 15 Tahun 2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Kota Makassar, bagi PD. Pasar sendiri merupakan angin segar bagi keberlangsungan pasar tradisional di kota Makassar. Lebih jauh lagi, di pasar tradisional merupakan tempat berbagai macam pekerjaan dan aktifitas yang menyokong ribuan orang yang hidup disana. Jika dibandingkan dengan pasar modern dan toko modern dalam hal penyerapan tenaga kerja, pasar tradisional lebih banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan pasar modern.

Pasar tradisional harus dipertahankan karena disana terdapat banyak orang yang menaruh hidupnya dan bekerja disana

Terkait dengan hal tersebut, dalam kajian Miftah Wirahadikusumah disebutkan bahwa, sektor informal (pedagang pasar tradisional dan UMKM) dapat berfungsi sebagai katup pengaman atas konflik kapitalis dan borjuis dalam hubungan pemodal-pekerja di level industry kota. Bahkan lebih jauh dari sekedar katup pengaman bagi relasi pekerja-pemodal, sektor informal juga mampu memberi peluang kerja yang jauh lebih lebar dari pada yang dapat ditampung oleh sektor informal.

Dari data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (APRINDO) mengungkapkan bahwa di Indonesia terdapat 13.000 pasar tradisional yang menghidupi 12,5 juta pedagang kecil. Ini menguatkan bahwa keberadaan pasar tradisional di Indonesia sangat penting dan harus di lindungi. Perlindungan tersebut bisa saja tidak berarti jika penerapan Peraturan mengenai perlindungan pasar tradisional baik tingkat nasional dan daerah tidak dijalankan secara tegas.

Perda No. 15 tahun 2009 mengatakan bahwa perlindungan adalah segala upaya pemerintah daerah dalam melindungi pasar tradisional, usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dari persaingan yang tidak sehat dengan pasar modern, toko modern dan sejenisnya, sehingga tetap eksis dan mampu berkembang menjadi lebih baik sebagai layaknya suatu usaha.

Definisi perlindungan menurut Perda diartikan bahwa pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan kepada pasar tradisional, antara lain: status hak pakai lahan pasar, lokasi usaha yang strategis dan menguntungkan, kepastian hukum dalam status hak sewa terhadap penggusuran, dan perlindungan terhadap timbulnya persaingan usaha tidak sehat/seimbang dengan pelaku usaha di pasar modern dan toko modern. Disini dijelaskan bahwa, pemerintah kota merupakan aktor yang paling berpengaruh dalam menjalankan setiap aspek yang berhubungan dengan status hukum seperti hak pakai lahan pasar dan status hak sewa yang berkibat pada penggusuran di kemudian hari.

Beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini berbanding terbalik dengan harapan yang ada. Sejak pengelolaan pasar diserahkan secara penuh kepada PD. Pasar, beberapa pasar tradisional mengalami pemoderenan atau yang biasa disebut revitalisasi pasar. Dengan berlandaskan konsep otorianisme (tidak melibatkan pedagang dalam pengambilan keputusan seperti penetapan harga kios dan model pasar), perusahaan daerah menggaet beberapa investor asing untuk berinvestasi membangun pasar tradisional yang lebih modern. Lihat saja pasar Terong yang pada tahun 1996 dirombak total menjadi empat tingkat atas kerjasama dengan developer PT. Prabu Sejati. Begitu pula pasar Sentral yang dirubah namanya menjadi Makassar Mall, dan beberapa pasar tradisional lainnya seperti pasar Kampung Baru dan pasar Niaga Daya. Konsep pemoderenan tersebut menjadi sia-sia karena gagal menampung seluruh pedagang kecil untuk berjualan di dalam area gedung baru.

Gagalnya menarik para pedagang untuk berjualan di dalam area gedung baru disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kultur pasar lokal adalah hamparan dan mengubah kultur itu menjadi modern menyebabkan kesulitan para pedagang kecil, bermodal kecil, dan pola permodalan harian, untuk bertahan di dalam pasar. Alasannya, harga yang dipatok developer terhadap kios dan lapak sangat mahal sehingga membuat beberapa pedagang bermodal kecil lebih memilih berjualan di luar gedung baru.

Kedua, pilihan ini, ditempuh oleh para pedagang kecil berkaitan dengan budaya berbelanja warga kota (konsumen) yang tidak mau terlalu direpotkan oleh kesulitan akses ke pedagang (naik tangga, pengap, lorong sempit, copet, lain-lain). Ketiga, adanya dualisme kepemimpinan dalam pasar yakni Kepala Unit Pasar (Perusahaan Daerah) dan direktur pengelola atau developer (Perusahan Swasta). Dua model manajemen ini tumpang tindih. Sebut saja, peran kepala pasar adalah pelayanan terhadap pedagang (pedagang kios dan pedagang kecil), sementara pihak developer adalah melakukan penjualan atas petak-petak bangunan pasar (ruko, lods, basement).

Keinginan PD. Pasar dan Developer agar para pedagang menempati area gedung pasar banyak ditolak para pedagang. Hal tersebut membuat PD. Pasar dan Developer melakukan beberapa langkah seperti melabeli pedagang yang berjualan di luar area pasar sebagai pedagang liar (illegal) atau mengirim preman dan tentara untuk menakut nakuti pedagang. Hal tersebut dialami oleh Daeng Jama. Pedagang di pasar Terong yang sehari harinya menjual asam ini, memiliki banyak pengalaman berhadapan dengan tentara dan preman utusan Developer. Ia seringkali diancam untuk digusur secara paksa jika permintaan untuk masuk ke gedung pasar tidak di indahkan. Walaupun Daeng Jama memiliki lapak hamparan di lantai dua gedung pasar tetapi ia tetap saja menolak untuk masuk dikarenakan kondisi lantai dua sudah tidak berfungsi layaknya suatu area jual beli.

Konsep tentang pasar dapat dipahami dari berbagai perspektif, seperti perspektif ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Dalam perspektif ekonomi, konsep tentang pasar (dalam pengertian luas, sebagai tempat bertemunya permintaan dan penawaran) terbentuk sebagai salah satu implikasi dari proses perubahan masyarakat menuju masyarakat kapitalis. Boeke (1910) merupakan salah satu ahli ekonomi yang mencoba menerangkan fenomena terbentuknya pasar dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik. Menurutnya, perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik terletak dalam hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat dalam tingkatan prakapitalistik berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang diperolehnya, sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya untuk mendapatkan laba maksimum .

Walaupun Daeng Jama dan beberapa pedagang lainnya di pasar Terong menolak untuk pindah, tetap saja mereka dipungut retribusi oleh pengelola pasar. Hal tersebut banyak dikeluhkan pedagang pasar Terong kepada pengelola dimana kewajiban untuk membayar retribusi setiap harinya dipenuhi tetapi hak untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan dalam berdagang tidak didapatkan. Keluhan dari pedagang pasar juga dibenarkan oleh Hasanuddin Leo. Legislator dari partai PDK tersebut mengatakan dalam wawancara bahwa pemerintah jangan hanya tahunya memungut retribusi saja. Karena hakekat retribusi bisa dilakukan jika pelayanan sudah diterapkan. Layanan yang dimaksud berbentuk insfrastruktur yang layak bagi pedagang dan kenyamanan bagi pembeli dalam berbelanja di pasar tradisional.

pemerintah jangan hanya memungut retribusi saja. Karena sesungguhnya retribusi itu, kalau kita kembali dari definisi bahwa retribusi dipungut setelah ada layanan. Ini yang perlu disadari oleh pemerintah bahwa berikan dulu layanan dalam bentuk insfrasturktur yang layak sehingga pedagang dapat menjual dengan baik dan bisa dikunjungi oleh pembeli dengan nyaman pula. Ini akan mempunyai sebab-akibat karena dengan baiknya pasar tradisional, pengunjung akan tetap eksis di pasar tradisional.

Menanggapi hal tersebut, PD. Pasar yang diwakili oleh kepala Bagian Keuangan, Syamsul Bahri mengungkapkan bahwa anggaran perbaikan untuk 16 pasar tradisional di kota Makassar mencapai Rp.192 miliar. Pemerintah kota hanya memberikan porsi sangat kecil untuk perbaikan pasar tradisional sehingga biaya perbaikan biasanya didapat dari hasil kerjasama dengan developer atau bantuan dari pihak donor. Seperti yang terjadi pada pasar Sambung Jawa yang mendapatkan bantuan dari World Bank untuk memperbaiki beberapa fasilitas penunjang pasar. untuk memperbaiki 16 pasar tradisional di kota Makassar dibutuhkan anggaran Rp.192 miliar dan pemerintah tidak mempunyai anggaran sebesar itu. PD. Pasar dan pemerintah biasanya bekerjasama dengan investor dan pihak donor untuk memperbaiki beberapa pasar yang ada

Kendala lain yang dihadapi ketika pengelolaan pasar diberikan sepenuhnya kepada pihak swasta dalam hal ini PD.Pasar dan Developer ialah penetapan biaya kepemilikan kios dan lods. Contoh kasus di pasar Terong, untuk harga satu lods berkisar 10 20 juta rupiah. Sementara kios yang berukuran 2 x 1,5m bisa mencapai Rp. 60 juta dan untuk ukuran 2 x 2m dipatok dengan harga Rp. 80 juta. Dengan jangka waktu yang sangat pendek dalam mencicilnya yang kurang lebih 4 tahun. Bisa dibayangkan, bagaimana pedagang-pedagang kecil mampu bersaing dalam mengakses lods yang demikian mahal itu.

Melihat kondisi yang tidak menguntungkan bagi pedagang pasar lokal maka diperlukan peran lebih dari pemerintah untuk mengatur dan menjembatani persoalan yang berhubungan dengan biaya sewa kios atau lods. Ketika konsep rent seeker (mencari untung besar) yang diberlakukan oleh PD.Pasar beserta Developer, maka jangan harap pedagang akan tertib untuk tidak menjual di badan badan jalan di luar area gedung pasar.

Pendekatan yang sesuai dengan fenomena tersebut bisa didapat dalam teori institusionalisme baru. March dan Olsen mengemukakan bahwa aktor individu dalam hal ini developer dapat mempengaruhi suatu keputusan politik yang dibuat oleh aktor politik. Keputusan politik yang dimaksud ialah seperangkat peraturan perundang-undangan yang ada. Kebijakan yang seharusnya bersifat otonom berubah menjadi peraturan yang bersifat kondisional. Itu dikarenakan negara yang seharusnya bertanggung jawab secara penuh dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam hal bekerja terusik oleh kekuatan kapital yang sangat besar. Sehingga pemerintah yang tadinya memiliki kekuatan penuh dalam mengendalikan setiap keputusan berubah menjadi lemah akibat sumber daya yang dimiliki tidak ada. Hasilnya terjadi apa yang dinamakan swastanisasi. Perpindahan tanggung jawab dari negara kepada pihak luar (pengusaha).

Melihat kondisi dalam pengelolaan pasar lokal yang masih carut marut, menyebabkan kerugian kepada pihak swasta sendiri dalam hal ini developer sebagai pembangun gedung pasar, Dimana setiap lods dan kios yang dibangun tidak terisi. Bukan itu saja, dampak yang sama pun akan menghinggapi pemerintah kota. Dikarenakan beberapa pedagang mengancam tidak mau lagi membayar retribusi yang ditetapkan. Jika hal tersebut terjadi maka pendapatan yang masuk lewat retribusi ke PAD akan berkurang. Kecenderungan itu bisa dilihat dari pemasukan PD. Pasar untuk tahun 2011, dimana target pemasukan dari 16 pasar tradisional yang di kelola berkisar Rp. 5.477.348.550 dan sampai pada bulan September masih berkisar pada angka Rp.3.485.080.000,-.

Sementara itu di dalam berbagai pertemuan, potensi tumpang tindih peran antara daerah dan pusat sangat besar terjadi. Hal ini sering terlihat dari saling lempar tanggung jawab keduanya dimana dinyatakan oleh pusat bahwa pengembangan pasar di daerah sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah daerah. Tetapi pada saat yang sama Pemerintah Daerah merasa mereka harus menunggu peran Pemerintah Pusat terkait dengan upaya pengembangan pasar. menyikapi hal tersebut, Departemen Perdagangan menyatakan bahwa mereka memiliki anggaran bagi pengembangan pasar, tapi tidak cukup untuk memperbaiki seluruh pasar. Karena itu mereka kemudian hanya membuat pasar contoh dan cara pengelolaan pasar tradisional yang baik dan benar.

Selain pemberdayaan yang masih harus ditata dengan serius, konsep perlindungan juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang harus dibenahi. Sejak diterbitkannya Perda No.15 tahun 2009 di kota Makassar, populasi pasar modern sampai saat ini justru meningkat tajam. Dari hasil data terakhir yang diperoleh dilapangan terdapat 10 golongan Hypermarket yang berada di kota Makassar. Berikut nama-nama golongan Hypermarket dan lokasinya di kota Makassar. Nama Hypermarket Yang Ada di Kota Makassar (observasi per-Oktober 2011)No.Nama PerusahaanJumlahLokasi

1.Carefour6Panakkukang Square

Pengayoman Makassar

Tamalanrea Makassar

Trans Studio

Karebosi Link

MTC Karebosi

2.Lotte Mart1Mall Panakkukang

3.Makro1Sultan Alauddin Makassar

4.Hypermart1Mall Panakkukang

5.Gyant1Panakkukang Makassar

Dari hasil positioning paper KPPU mengungkapkan bahwa yang paling mempengaruhi keberadaan pasar tradisional ialah hypermarket dan supermarket. Itu dikarenakan pasar tradisional dan hypermarket/supermarket menjual produk yang serupa, yaitu jenis produk seperti sembako, ikan, sayur, daging, dan kebutuhan sandang lainnya. Sedangkan keberadaan minimarket berjejaring seperti Alfamart, Alfamidi, Alfa Express dan Indomaret mempunyai dampak tetapi tidak terlalu signifikan terhadap pasar tradisional. Dampak keberadaan minimarket berjejaring tersebut lebih kepada toko kelontong atau pagadde-gadde. Hal tersebut seperti diungkapkan juga dalam wawancara bersama Abdul Hakim Pasaribu selaku ketua Komisi Pengawas Daerah (KPD) KPPU daerah Makassar. Ia mengatakan :

dari kajian yang dilakukan oleh KPPU, keberadaan minimarket berjejaring dalam hal ini Alfamart, Alfamidi, Alfaexpress, dan Indomaret lebih mempunyai dampak kepada toko kelontong dibanding pasar tradisional karena karaktersitik produk yang dijual di minimarket sama dengan yang dijual di toko kelontong. sedangkan yang paling mempengaruhi pasar tradisional ialah hypermarket dan supermarket

Dari data KPD KPPU kota Makassar, terdapat sekitar 155 minimarket berjejaring yang sudah mempunyai izin. Jumlah minimarket di kota Makassar dalam kurun waktu 2009 -2011 tren pertumbuhannya meningkat drastis. Berikut data jumlah minimarket berjejaring yang sudah ada dan mendapatkan izin untuk membangun di kota Makassar. Nama nama minimarket berjejaring yang ada di kota Makassar (KPPU,data per Juli 2011)

No.Nama PerusahaanJumlah

1.Alfa Express25

2.Alfa Midi29

3.Alfa Mart66

4.Indomaret35

Jumlah155

Pernyataan KPPU bahwa tren pertumbuhan pasar modern dan toko modern dalam dua tahun terakhir meningkat tajam bisa menjadi suatu ironi penegakkan kebijakan Perda No. 15 tahun 2009. Pemerintah sebagai lembaga resmi yang ditunjuk dalam operasionalisasi kegiatan belum berjalan secara maksimal. Hal tersebut bisa dilihat dari riset yang dilakukan oleh Lembaga Nielsen yang menyebutkan pertumbuhan minimarket sepanjang 2010 di Indonesia meningkat 42 persen menjadi 16.922 unit dibanding tahun sebelumnya sebesar 11.927 unit. Saat ini di seluruh Indonesia minimarket nyaris menembus angka 17 ribu. Data Nielsen juga menunjukkan toko atau pasar tradisional di kota besar dan pedesaan menurun masing-masing 2 4 persen di tahun 2010.

Dalam pelaksanaan suatu Perda membutuhkan setidaknya tiga tingkatan institusi yang saling terkait. Broomley , membagi tiga tingkatan tersebut antara lain tingkat penyusunan kebijakan (policy level), tingkat organisasi (organizational level) dan tingkat operasional (operational level). Pada tingkatan kebijakan, pernyataan umum dibahas dan diformulasikan oleh lembaga legislatif. Pada tingkat organisasi, kekuasaan dipegang oleh lembaga eksekutif dan selanjutnya pada tingkatan operasional merupakan tingkat teknis dalam operasionalisasi suatu kebijakan. Dalam tingkat operasional biasanya tergabung dalam instansi atau lembaga formal yang ditunjuk sesuai fungsi dan tugas masing masing. Disinilah tujuan atau outcome yang diharapkan dari suatu kebijakan berperan penting karena bersentuhan langsung dengan target groups.

Laju pertumbuhan pasar modern dan toko modern yang semakin massif di Makassar sebenarnya bisa dikendalikan didalam Perda No.15 Tahun 2009 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern. Pada pasal 7 ayat 2 huruf I dijelaskan mengenai pendirian Hypermarket harus memenuhi analisis mengenai dampak sosial ekonomi dari pasar tradisional yang berada di sekitarnya. Dari pasal tersebut saja sebenarnya mampu membatasi pendirian pasar modern jika dijalankan dengan baik. Pengetahuan yang memadai dari segenap institusi pemerintah dalam menjalankan konsep Perda sangat dituntut.

Sebagai kota jasa dan perdagangan, kota Makassar berusaha melengkapi segala fasilitas yang mendukung ke arah pengembangan kota. Konsep pembangunan menjadi hal utama. Salah satu konsep yang saat ini di usung oleh pemerintah kota Makassar adalah menjadikan kota Makassar sebagai kota dunia. Untuk mendukung hal tersebut, harus ditopang oleh segala simbol modernitas. Pembangunan perumahan elite, pertokoan, hotel, arena rekreasi, pusat perbelanjaan, Mall, dan pasar modern dilakukan secara serampangan. Paradigma pemerintah yang selalu menganggap keberhasilan kota bisa dilihat dari bangunan modern apa yang sudah berdiri menjadi suatu ironi menyedihkan. Masyarakat yang bekerja dengan modal kecil dan mikro tergerus oleh pengusaha yang mempunyai kapital besar. Bahkan beberapa orang yang duduk di dalam lembaga formal yang selakunya netral terhadap semua pelaku usaha menganggap para ekonomi kecil dan mikro sebaiknya ditiadakan saja. Karena tidak memberikan konstribusi besar kepada PAD.

Dalam wawancara bersama bapak Hary selaku Kepala Seksi Usaha dan Sarana Perdagangan di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindagdal) kota Makassar, mengungkapkan bahwa keberadaan pasar dan toko modern di kota Makassar merupakan hal yang sangat wajar. Itu dikarenakan kota Makassar merupakan kota metropolitan dan mempunyai visi menjadi kota dunia. Hal tersebut harus di topang dengan segala modernitas yang ada, salah satunya pasar dan toko modern. Di beberapa kota modern di dunia sudah tidak ada lagi pasar tradisional yang menurutnya sudah ketinggalan jaman. Konsumen membutuhkan kepastian harga yang selama ini tidak diperoleh melalui kios-kios baik di rumahan maupun di pasar lokal.konsekuensi dari kota metropolitan ialah pembangunan pasar dan toko modern dimana mana. Kalau tidak mau adanya pasar modern, yah tinggal di hutan saja. Di beberapa negara modern di dunia, pasar tradisional sudah tidak ada lagi karena dianggap sudah ketinggalan jaman

Selain itu, pertumbuhan pasar moderen berimplikasi langsung pada meningkatnya Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar. Ia mencontohkan penjual tomat yang dilapak-lapak itu tidak memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Artinya, kalau pedagang yang tidak memiliki SITU berarti tidak memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Sementara pasar modern memiliki SITU, jadi memberikan kontribusi terhadap PAD.

Pernyataan dari Disperindagdal tersebut, sangat jelas keberpihakannya kepada pasar dan toko modern untuk pendiriannya secara massif di kota Makassar. Dukungan serupa juga dilontarkan oleh Kadin Provinsi Sulawesi Selatan. Lewat ketuanya, Zulkarnain Arief mengatakan kehadiran minimarket yang ada di kota Makassar menjadi suatu indikator tingkat perekonomian sebuah kota sudah maju. Keberadaan minimarket seharusnya menjadi pemantik bagi pedagang tradisional dan toko kelontong untuk mengembangkan usahanya.

Dilihat dari aspek persaingan semata maka kita akan memperoleh fakta bahwa kehadiran ritel modern sangat sesuai dengan prinsip-prinsip universal persaingan usaha yang sehat, dimana kehadiran mereka telah menyebabkan terciptanya beberapa nilai positif yakni hadirnya alternatif tempat belanja yang sesuai dengan tuntutan konsumen (nyaman dan mudah), harga yang cenderung bergerak turun (sebagian dihasilkan oleh efisiensi distribusi), kualitas barang semakin beragam dan sebagainya.

Tetapi dalam analisis terdahulu, selain nilai positif juga terdapat efek negatif, terkait dengan munculnya permasalahan sosial di sisi lain. Hasil analisis paling tidak menyimpulkan ada tiga potensi besar yang mengarah kepada terjadinya hal tersebut antara lain tersingkirnya pelaku usaha ritel kecil/tradisional, potensi ambruknya produsen dalam negeri terutama pemasok yang masuk dalam kelompok usaha kecil dan menengah, dan terakhir adalah tersingkirnya pelaku usaha distributor lokal oleh system yang mengedepankan efisiensi yang muncul dalam bentuk hubungan langsung antara peritel modern dengan pabrikan/manufaktur.

Pandangan berbeda muncul dari KPD KPPU kota Makassar lewat ketuanya Abdul Hakim Pasaribu. Ia menganggap bahwa persaingan antara Hypermarket dan pasar Tradisional, , merupakan persaingan yang tidak sehat. Itu dikarenakan perbedaan modal antara keduanya, dimana Hypermarket dan Minimarket adalah perusahaan dengan modal yang sangat besar yang mampu menerapkan strategi dagang apapun. Sedangkan di pasar tradisional adalah usaha yang bermodal kecil yang rentan mengalami kebangkrutan. Konsep inilah yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

konsep dari persaingan usaha tidak sehat ialah tidak diperbolehkannya persaingan secara head to head antara usaha yang memiliki modal kecil vs usaha yang memiliki modal besar. Karena ketika itu dilagakan maka otomatis usaha yang memiliki modal besar akan dengan mudah memenangkan persaingan dengan usaha modal kecil

Regulasi yang patut menjadi bahan perhatian serius ialah mengenai izin pendirian dari pasar modern. Dalam pemberian izin pembangunan pasar dan toko modern, terdapat beberapa SKPD yang berwenang didalamnya. SKPD tersebut antara lain Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindagdal), Dinas Tata Ruang dan Bangunan (Distarub), dan Kantor Perizinan. Ketiga SKPD masing masing mempunyai tugas dalam proses perizinan suatu pasar dan toko modern untuk berdiri. Dari observasi dan penelitian dilapangan, peneliti menyusun alur pemberian izin kepada pasar dan toko modern untuk berdiri. Berikut alur alur pemberian izin pembangunan pasar dan toko modern.Alur Perizinan Pembangunan Pasar & Toko Modern (Observasi)

Dari alur yang telah disajikan diatas menunjukkan masing masing SKPD memiliki tugas yang berbeda-beda. Dari wawancara dengan Dinas Tata Ruang dan Bangunan (Distarub), yang diwakili oleh Dony, mengatakan bahwa tugas dari Distarub sendiri dalam proses perizinan pembangunan pasar modern dan toko modern ialah dengan penerbitan Izin Membangun Bangunan (IMB). Dalam proses penerbitannya, Distarub selalu mengacu kepada Satuan Operasional Program (SOP) dan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Makassar. Dimana dalam RTRW tersebut dijelaskan mengenai klasifikasi tata ruang wilayah kota Makassar, antara lain lokasi perdagangan, perindustrian, pendidikan, wisata, dan perkantoran. Untuk pendirian pasar dan toko modern diupayakan untuk diarahkan ke wilayah perdagangan. Lanjutnya ia mengatakan, bahwa saat ini pembangunan pasar dan toko modern yang marak di kota Makassar juga dipengaruhi oleh Perda RTRW kota Makassar yang belum rampung. Karena mengacu pada aturan pemerintah pusat yang mengharuskan setiap daerah mengajukan Perda RTRW untuk 20 tahun kedepan, sedangkan untuk beberapa daerah di Indonesia dan juga termasuk Makkassar masih memiliki Perda RTRW yang masih didasarkan pada jangka waktu 10 tahun. Sehingga hal tersebut membuat beberapa wilayah di kota Makassar mengalami kesemrawutan pembangunan.

Sebagai regulasi yang lebih tinggi, Perpres No.112 Tahun 2007 mengatur setiap daerah untuk tidak memberikan izin pendirian kepada pasar modern dan pasar tradisional jika dalam suatu daerah tersebut belum memiliki RTRW. Untuk kasus kota Makassar, saat ini memang belum mempunyai Perda revisi RTRW yang dimaksud. Sehingga ketika pemerintah jeli dan menjalankan fungsinya sebagai pengawas seperti yang tertera dalam Perda No.15 tahun 2009, seharusnya banyak pasar modern yang bisa ditinjau lagi keberadaannya. Perda RTRW menjadi sangat penting sebagai arahan dalam pembangunan suatu kota di masa depan.

Tugas Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindagdal) berbeda pula. Menurut Hery, selaku Seksi Usaha dan Sarana Perdagangan di Disperindagdal, mengungkapkan tugas dinasnya dalam pemberian izin pasar dan toko modern ialah penerbitan Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Dalam proses penerbitan SITU, Disperindagdal selalu melakukan tinjauan ke lapangan terhadap usaha yang akan diberikan izin, tujuannya untuk mengetahui seberapa besar kontribusi dari tempat usaha tersebut terhadap pemasukan daerah (PAD). Baginya, pasar modern yang ada di kota Makassar lebih mempunyai manfaat dari segi ekonomis dibandingkan dengan lapak lapak yang ada di pasar tradisional. pasar modern saat ini lebih memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan pasar tradisional. contohnya penjual tomat dan pedagang kecil lainnya di pasar tradisional yang tidak memiliki SITU. Kalau yang tidak memiliki SITU berarti tidak memberikan kontribusi bagi PAD. Kalau pasar modern itu ada SITU nya sehingga memberikan kontribusi bagi PAD sedangkan lapak lapak di pasar tradisional tidak memiliki SITU

Peran Kantor Perizinan menurut Kepala Seksi Perizinan bapak A. Pangerang, ialah lebih bersifat administratif saja. Dalam artian, ketika persyaratan dari Distarub dan Disperindagdal sudah selesai, Kantor Perizinan memverifikasi berkas dari pemohon (paengusaha pasar dan toko modern) dan mengesahkannya lewat penerbitan izin usaha. Tetapi ketika berkas pemohon tersebut belum rampung, akan dikembalikan lagi kepada pemohon tersebut untuk melengkapinya. Misalnya, ketika minimarket akan dibangun di suatu lokasi yang berada tepat di jalan raya, Kantor Perizinan melihat perlu untuk pengusaha minimarket untuk menyertakan izin gangguan lalu lintas yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan, dan ketika persyaratan rampung barulah kantor Perizinan menerbitkan izin usahanya.

Kantor perizinan bertugas hanya sebatas kajian administrasi bukan bagian teknis. Bagian teknis itu berlangsung di disperindagdal. Meliputi izin usaha. Kajian administrasi melingkupi verifikasi berkas pemohon dan setelah berlangsung di bagian teknis lalu di eksekusi disini, berawal dari sini dan berakhir disini. Di kantor perizinan hanya mengeksekusi barang jadi setelah diolah di dinas yang bertugas secara teknis

Melihat fenomena dalam dua tahun terakhir, dimana pasar dan toko modern yang hampir mengisi sudut sudut kota Makassar, Hj. Sri Rahmi berpendapat bahwa hal tersebut terjadi karena para SKPD yang terliba