BAB 1 Dan Bab 2 All Ini One
description
Transcript of BAB 1 Dan Bab 2 All Ini One
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit asma berasal dari kata “asthma” dari bahasa yunani yang berarti “ sukar
bernafas “, asma merupakan penyakit yang ditandai dengan variasi luas dalam
waktu yang pendek terhambatnya aliran udara dalam saluran napas paru yang
bermanifestasi sebagai serangan batuk berulang atau mengi, (Oemiati,
Sihombing&Qomariah, 2010). Menurut Corwin, (2009) Asma adalah penyakit
pernapasan obstruktif yang ditandai inflamasi saluran napas dan spasme akut
otot polos bronkiolus. Kondisi ini menyebabkan produksi mukus yang berlebihan
dan menumpuk penyumbatan aliran udara, dan penurunan ventilasi alveolus.
Asma bronkial merupakan kelainan saluran napas kronik yang merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat di dunia, (Meiyanti&Mulia, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa serangan asma umumnya
timbul karena adanya pejanan terhadap faktor pencetus, gagalnya upaya
pencegahan, atau gagalnya tatalaksana asma jangka panjang, (Karinna, 2010).
Menurut World Health Organization, (WHO, 2010) memperkirakan 100-150 juta
penduduk dunia adalah penderita asma dan diperkirakan terus bertambah
sekitar 180.000 orang setiap tahun. Asma dapat menyerang semua tingkat umur
terjadi pada laki- laki maupun perempuan dan paling banyak pada usia anak.
Asma tersebar hampir seluruh pelosok dunia baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Peningkatan penyakit ini disetiap negara berbeda- beda dan
terjadi peningkatan pada negara berkembang. Penyebab peningkatan prevelens
asma tidak terlepas dari semakin kompleks dan variasinya faktor pencetus dan
faktor yang mendasarinya. Meskipun asma jarang menimbulkan masalah
kematian tetapi sering menimbulkan masalah absen disekolah pada anak dan
remaja, (Widodo & Djajalaksana, 2010). Data yang didapat dari riset kesehatan
Universitas Muhammadiyah Magelang1
2
dasar tahun 2013 menunjukkan prevelensi asma pada anak usia 1-4 tahun 3,8%
dari 1.027.763 sampel.
Dari data yang diperoleh di RSU PKU Muhammadiyah Purworejo pada tahun
2013 terdapat 99 kasus asma bronkial pada semua umur dengan persentase
mencapai 1,58%, sedangkan di ruang perawatan anak terdapat 55 kasus asma
bronkial dengan persentase mencapai 0,88% dari data kasus keseluruhan 6272.
Dari data tahun 2014 terjadi peningkatan menjadi 122 kasus asma bronkial
dengan persentase 1,71%, sedangkan di ruang anak terdapat 79 kasus asma
bronkial dengan persentase mencapai 1,11% dari jumlah data kasus keseluruhan
sebanyak 7132 kasus.
Saluran pernapasan penderita asma sangat sensitf dan memberi respons yang
sangat berlebihan jika mengalami rangsangan atau gangguan. Saluran
pernapasan tersebut bereaksi dengan cara menyempit dan menghalangi udara
yang masuk. Penyempitan atau hambatan ini bisa mengakibatkan salah satu atau
gabungan dari berbagai gejala mulai dari batuk, sesak, napas pendek, dan
tersengal- sengal, (Hadibroto & Alam, 2006).
Dunia kesehatan telah mencapai kemajuan yang sangat signifikan dalam
pemahaman mengenai asma sebagai penyakit. Namun ironisnya, jumlah
penderita asma di seluruh dunia terus meningkat dari tahun ke tahun,
(Hadibroto & Alam, 2006).
Upaya yang paling penting dalam penyembuhan dengan perawatan yang tepat
merupakan tindakan yang utama dalam menghadapi pasien dengan asma
bronkial untuk mencegah komplikasi yang lebih fatal dan diharapkan pasien
dapat segera pulih kembali. Intervensi yang utama adalah mencegah
ketidakefektifan jalan nafas. Agar perawatan berjalan dengan lancar maka
Universitas Muhammadiyah Magelang
3
diperlukan kerjasama dengan tim kesehatan yang lain, serta dengan melibatkan
pasien dan keluarga. Berhubungan dengan hal tersebut dan studi kasus yang
telah dilakukan pada tanggal 3-5 Oktober 2014 di RSU PKU Muhammadiyah
Purworejo mengenai pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada An. A dengan asma
bronkial, didapatkan data An. A sesak nafas, batuk, dahak sulit keluar dan
terdapat bunyi nafas tambahan mengi ( wheezing ), maka berdasarkan adanya
berbagai data dan pertimbangan maka penulis melakukan penulisan Laporan
Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Asma Bronkial di Ruang Nusa Indah RSU
PKU Muhammadiyah Purworejo.
1.2 Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah memberikan gambaran nyata mengenai
asuhan keperawatan yang dilakukan secara komperhensif pada anak dengan
asma bronkial.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatan pada anak dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada asma bronkial.
1.2.2.2 Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada anak dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada asma bronkial.
1.2.2.3 Penulis mampu menyusun rencana keperawatan pada anak dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada asma bronkial.
1.2.2.4 Penulis mampu melakukan implementasi keperawatan pada anak dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada asma bronkial.
1.2.2.5 Penulis mampu melakukan evaluasi keperawatan pada anak dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada asma bronkial.
Universitas Muhammadiyah Magelang
4
1.3 Pengumpulan Data
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini digunakan metode diskriptif dimana
metode diskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual,
dan akurat mengenai fakta- fakta, dan sifat- sifat populasi tertentu, (Suryana,
2010)
Dalam pengumpulan data penulis melaksanakan pengkajian langsung pada
pasien, keluarga, perawat, dan data medik. Teknik dari pengumpulan data yang
dilakukan oleh penulis pengkajian sampai dengan evaluasi dilakukan dengan
pendekatan keperawatan pada pasien dan keluarga secara langsung. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam laporan ini yaitu :
1.3.1 Tempat, waktu
Pengambilan kasus di lakukan di Ruang Nusa Indah RSU PKU Muhammadiyah
Purworejo pada tanggal 3 Oktober 2014 sampai dengan 5 Oktober 2014.
1.3.2 Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data penulis melaksanakan pengkajian langsung pada
pasien, keluarga, perawat,dan data medik. Teknik dari pengumpulan data yang
dilakukan oleh penulis pengkajian sampai dengan evaluasi dilakukan degan
pendekatan keperawatan pada pasien dan keluarga secara langsung. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam laporan ini menurut Suryani (2010)
adalah sebagai berikut :
1.3.2.1 Teknik Observasi dan Partisipasi
Penulis secara langsung melakukan pengumpulan data dengan pengamatan
secara langsung terhadap perilaku klien sehari-hari dan ikut terlibat dalam
perawatan.
1.3.2.2 Teknik Wawancara
Universitas Muhammadiyah Magelang
5
Penulis melakukan tanya jawab terhadap keluarga, perawat, dan tenaga medis
yang dapat memberikan data mengenai kondisi dari klien.
1.3.2.3 Studi Kepustakaan
Penulis membaca referensi yang berhubungan dengan asuhan keperawatan pada
anak dengan asma bronkial.
1.3.2.4 Dokumentasi
Penulis mengumpulkan data dari status klien, catatan perawatan serta
melakukan diskusi dengan tim kesehatan untuk menganalisa dan kemudian
dijadikan sebagai data yang mendukung masalah klien.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi profesi keperawatan
Mendapatkan pengetahuan dan pemecahan khusus yang dalam bidang/ profesi
keperawatan. Agar dapat mengaplikasikan teori keperawatan ke dalam praktik
pelayanan kesehatan di Rumah sakit. Sebagai bahan kepustakaan dan
perbandingan pada penanganan kasus pemenuhan kebutuhan oksigenasi di
lapangan dan dalam teori.
1.4.2 Manfaat bagi institusi
1.4.2.1 Pendidikan
Sebagai informasi kepada mahasiswa dalam kegiatan proses belajar mengajar
tentang asuhan keperawatan anak dengan asma bronkial dan juga dapat
dijadikan sebagai sumber acuan dalam pembelajaran tentang asuhan
keperawatan pada klien dengan asma bronkial.
1.4.2.2 Rumah sakit
Universitas Muhammadiyah Magelang
6
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi perawat yang ada di Rumah Sakit
dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan khususnya dengan
anak yang menderita asma bronkial.
1.4.2.3 Manfaat bagi penulis
a. Menambah pengalaman, wawasan, dan ilmu pengetahuan mengenai asma
bronkial.
b. Mampu mengaplikasikan standar asuhan keperawatan tentang asma bronkial
di ruang Nusa Indah RSU PKU Muhammadiyah Purworejo untuk pengembangan
praktik keperawatan.
BAB 2
Universitas Muhammadiyah Magelang
7
TINJAUAN TEORI
2.1 Teori Asma Bronkial
2.1.1 Pengertian
Asma adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai inflamasi saluran
napas dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi ini menyebabkan produksi
mukus yang berlebihan dan menumpuk penyumbatan aliran udara, dan
penurunan ventilasi alveolus, (Corwin, E.J, 2009).
Asma adalah ganggun inflamasi kronik pada saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi tersebut berkaitan dengan hiperesponsif
saluran napas yang menyebabkan gejala episode berulang berupa mengi, sesak
napas, rasa berat di dada, dan batuk, terutapma pada malam atau pagi hari.
Episode berulang tersebut berhubungan denga n obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi, dan seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan, (Widodo &
Djajalaksana, 2012).
Asma adalah satu keadaan klinik ditandai oleh tejadinya penyempitan bronkus
yang berulang namun reversibel, dan diantara episode penyempitan bronkus
tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal. Keadaan ini pada orang-
orang yang rentan terkena asma mudah ditimbulkan oleh berbagai rangsangan,
yang menandakan suatu keadaa hypereaktivitas bronkus yang khas, (Price &
Wilson, 2005).
Asma Bronkial adalah penyakit saluran nafas bagian bawah yang disebabkan oleh
alergi. Alergi terjadi akibat adanya reaksi alergen terhadap anti body (IgE pada
orang yang menderita alergi) sehingga terjadi pelepasan histamin, yaitu zat yang
menyebabkan penyempitan atau pembengkakkan pada dinding saluran
Universitas Muhammadiyah Magelang
7
8
pernafasan. Akibatnya, produksi lendir yang berlebihan dan terjadi gangguan
pernapasan, (Widjaja, 2005).
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Gambar 2.2 Organ Pernapasan
2.1.2.1 Anatomi sistem pernapasan menurut Nurachmah & Angriani, (2011)
a. Nasal cavity (hidung)
Nasal cavity (hidung) adalah jalan masuk udara utama dan terdiri atas rongga
berukuran besar yang tidak beraturan yang dibagi menjadi dua lubang yang
sama besar oleh suatu septum. Bagan posteriortulang septum dibentuk oleh
lempeng perpendikular tulang etmoid dan vomer. Di bagian anterior, nasal
Universitas Muhammadiyah Magelang
9
terdiri atas kartilago hialin. Fungsi hidung menghangatkan, melembabkan, dan
menyaring udara.
b. Faring
Faring adalah saluran yang memiliki panjang 12-14 cm dan memanjang dari dasar
tenggorok hingga veterba servikalis ke enam. Faring berada di belakang hidung,
mulut, dan laring serta lebih lebar di bagian atasnya. Faring berfungsi untuk
saluran napas dan makanan, penghangat dan pelembab udara, dan sebagai
perlindungan karena tonsil laring menhasilkan antibodi dalam berespon
terhadap antigen. Untuk alasan deskriptif, faring dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
1) Nasofaring, adalah bagian nasal faring terletak dibelakang hidung dan dia atas
pelatum molle. Pada dinding lateral, terdapat dua saluran auditori, tiap saluran
mengarah ke masing- masing bagian tengah telinga.
2) Orofaring, adalah bagian oral faring terletak di belakang mulut, memanjang
dari bagian bawah palatum molle hingga bagian vertebra servikalis ke tiga.
3) Laringofaring, adalah bagian laringeal faring menanjang dari atas orofaring dan
berlanjut ke bawah esofagus, yakni dari vertebra servikalis ke tiga hingga enam.
c. Laring adalah organ yang terdiri atas beberapa kartilago yang berbentuk tidak
beraturan dan melekat satu sama lain oleh ligamen dan membran. Laring
berfungsi sebagai produksi suara, pelindung saluran napas bawah,dan jalan
masuk udara. Kartilago utama, meliputi :
1) Kartilago tiroid, adalah bagian yang paling menonjol dan terdiri atas dua
potongn piph kartilago hialin atau lamina, yang bersatu di bagian anteriornya,
membentuk tonjolan laring.
2) Kartilago krikoid berada di bawahkartigo tiroid dan juga terdiri atas kartilago
hialin. Kartilago ini berbentuk menyerupai cincin stempel yang melingkar
memenuhi laring dengan bagian anterior yang sempit danbagian posterior yang
luas.
Universitas Muhammadiyah Magelang
10
3) Kartilago aritnoid ini merupakan dua kartilago hialin yang berbentuk piramida
dan berada di puncak bagian yang luas dari kartilago krikoid yang membentuk
bagian dinding posterior laring.
4) Epiglotis merupakan kartilago fibroelastik berbentuk daun yang melekat pada
permukaan dinding anterior kartilago tiroid tepat di bawah simpul tiroid.
d. Trakea
Trakea merupakan kelanjutan dari faring dan memanjang ke bawah hingga
sekitar vertebra torasik ke lima di mana trakea mengalami bifurkasi
(percabangan) menjadi bronkus primer kiri dan kanan, dimana tiap bronkus
menuju ke tiap paru. Panjang trakea sekitar 10-11 cm dan terutama terletak di
bidang median di depan esofagus. Trakea berfungsi sebagai penunjang dan
menjaga kepatenan jalan napas.
e. Paru
Terdapat dua paru, dimana masing- masing terletak di samping garis medialis di
rongga thoraks. Bentuk paru menyerupai kerucut dan terdiri dari atas bagian
apeks, basal, permukaan kosta, dan permukaan medialis. Permukaan medialis
berbentuk cekung dan meiliki area yang menyerupai segitiga yang tidak
sempurna, disebut hilum. Area di antara paru dinamakan mediastinum, terdapat
jantung, pembuluh besar, trakea, bronkus kiri dan kanan, esofagus, nodus limfe,
pembuluh limfe, dan serta saraf. Paru kanan dibagi menjadi tiga lobus yaitu
superior, medialis, dan inferior. Paru kiri berukuran lebih kecil daripada paru
kanan jantung menempati ruang kiri garis medialis. Lobus kiri terdiri atas dua
lobus yaitu superior dan inferior.
f. Pleura dan rongga pleura
Pleura terdiri dari atas kantong membran serosa yang tertutup dan berisi sedikit
cairan serosa. Paru- paru terdesak ke dalam kantong ini sehingga membentuk
dua lapisan, lapisan yang melekat pada paru dan lapisan lainnya melekat pada
dinding rongga toraks.
Universitas Muhammadiyah Magelang
11
1) Pleura visera, yaitu pleura yang melekat pada paru, membungkus tiap lobus
dan melalui visera yang memisahkan lobus ini.
2) Pleura parietal, yaitu pleura yang melekat di dalam dinding dada dan
permukaan torasik diafragma. Pleura tetap terpisah dari struktur yang
berdekatan di mediastinum dan bersambungan dengan pleura visera di tepi
hilum.
3) Rongga pleura, yaitu satu- satunya ruang kosong. Dalam kondisi sehat, dua
lapis pleura dipisahkan oleh selaput cairan serosa yang memungkinkan lapisan
bergerak bebas satu sama lain, dan mencegah gesekan antara lapisan saat
bernapas. Cairan serosa disekresi oleh sel eptelial membran.
g. Bronkus
Dua bronkus primer terbentuk oleh trakea yang membentuk percabangan, yaitu
sekitar veterba torasik ke lima. Bronkus berfungsi sebagai pengendali udara yang
masuk.
1) Bronkus kanan
Bronkus ini lebih lebar, lebih pendek, dan lebih vertikel daripada bronkus kiri
sehingga cenderung sering mengalami obstruksi oleh benda asing. Panjangnya
sekitar 2,5 cm. Setelah memasuki hilum, bronkus kanan terbagi menjadi tiga
cabang, satu untuk tiap lobus. Tiap cabang kemudian terbagi menjadi banyak
cabang kecil.
2) Bronkus kiri
Panjangnya sekitar 5cm dan lebih sempit daripada bronkus kanan. Setelah
sampai di hilum paru, bronkus terbagi menjadi dua cabang, satu untuk tiap lobus.
Tiap cabang kemudian terbagi menjadi saluran- saluran kecil dalam substansi
paru.
h. Bronkiolus dan alveoli pernapasan
Dalam tiap lobulus, jaringan paru lanjut terbagi menjadi selubung halus jaringan
ikat, yaitu lobulus. Tiap lobulus disuplai oleh udara yang berasal dari bronkiolus
terminal, yang lebih lanjut bercabang menjadi bronkiolus respiratorik, duktus
Universitas Muhammadiyah Magelang
12
alveolus, dan banyak alveoli (kantong- kantong udara). Bronkiolus berfungsi
sebagai pertahanan terhadap mikroba dan pelembab dan penghangat udara
yang masuk.
2.1.2.2 Terdapat perbedaan pernapasan pada anak dan dewasa menurut Malisie,
(2013) yaitu :
a. Jalan napas
Jalan napas anak sangat berbeda dengan dewasa. Perbedaan paling dramatis
terlihat pada waktu bayi dan makin berkurang di masa anak seiring dengan
pertumbuhannya dan perkembangannya. Jalan napas anak usia 8 tahun secara
karakteristik sudah menyerupai dewasa. Perbedaan paling mencolok adalah
dalam hal ukuran diameter karena saluran napas anak jelas lebih kecil. Selain
lebih sempit, jalan napas mulai dari rongga hidung mudajh sekali tersumbat oleh
sekret, edema, darah bahkan tertutup oleh sungkup ( face mask ) yang
menyebabkan peninggian usaha napas ( work of brathing ). Mengikuti hukum
Hagen-Poiseuille, reduksi diameter jalan napas berbanding lurus dengan
peningkatan 4 kali aliran udara.
Jalan napas anak berbentuk terowongan seperti corong dengan ujung ng
menyempit/ funnel shape, berbeda dengan dewasa yang berbentuk silinder.
Bagian paling sempit pada jalan napas bayi dan anak terletak pada aerea di
bawah level pita suara dan tulang rawan krikoid, sedangkan pada dewasa
setentang pita suara. Konfigurasi anatomis inilah yang menjadi dasar
penggunaan tube trakeal tanpa balon pengembang cukup efektif pada bayi dan
anak. Jalan napas subglotis bayi dan anak tersusun atas jaringan ikat longgar
yang dapat dengan mudah mengalami ekstensi akibat inflamasi dan edema.
Pada anak, laring berlokasi di setentang level veterbra C2-C3 dan relatif lebih
cefalad dari leher bila dibandingkan dewasa yang terletak setinggi C4-C5
sehingga lebih mudah untuk menutupi langit- langit. Lidah juga merupakan
Universitas Muhammadiyah Magelang
13
penyebab paling sering obstruksi jalan napas., terutama pada bayi dan anak yang
mengalami penurunan kesadaran. Oksiput pada bayi dan anak lebih besar dan
menonjol, sedangkan leher dan bahunya cenderung pendek, sehingga akan
membatasi visualisasi glotis pada saat laringoskopi.
b. Otot pernapasan
Tulang dada bayi dan anak masih lunak dan cenderung tidak stabil karena
pergerakan iga. Pada bayi dan anak, tingginya komplians dari tulang iga
menyebabkan posisi tulang iga cenderung lebih mendatar dan otot- otot sela iga
kurang mengembang sehingga membatasi pernapasan torakal. Diargama
merupakan otot pernapasan paling penting pada masa bayi dan anak, sehingga
mudah terjadi kegagalan pernapasan apabila fungsi diafragma terganggu oleh
berbagai sebab diantaranya proses pembedahan, distensi abdomen ataupun
hiperinflasi paru.
c. Parenkim paru
Jaringanm ikat elastis yang membatasi dan menjadi sekat antar alveoli
memungkinkan udara masuk dan keluar dari jalan napas berdasarkan recoil
elastiknya. Pada hari- hari pertama kehidupan, alveoli gampang sekali menjadi
kolaps. Dengan bertambahnya usia, jaringan ikat menjadi sekat antar alveoli ini
akan bertambah lentur dan elastis. Faktor imaturitas menjadi penyebab utama
defisiensi surfaktan yang menyebabkan kurangny akemampuan alveoli untuk
mengembang/ inflasi dan tidak dapat mempertahankan agar alveoli tidak
mengempis. Konsekuensiny akan terjadi penurunan elastic recoil, paru menjadi
kolaps dan anteleksis. Jalur ventilasi kolateral baru terbentuk setelah usia 3
tahun sehingga bayi dan anak cendeung mudah mengalami hipoksemia dan
hiperkapnia akibat obstruksi jalan napas.
Universitas Muhammadiyah Magelang
14
2.1.2.3 Fisiologi sistem pernapasan menurut Malisie, (2013)
a. Mekanika paru
Fungsi primer sistem pernapasan adalah menghantarkan oksigen dari udara
atmosfir sampai ke dalam sel dan mengeluarkan karbondioksida dari dalam
tubuh. Paru merupakan organ ventilasi. Tahap awal penghantaran oksigen
adalah proses ventilasi kedalam paru. Satu siklus pernapasan terdiri atas fase
inspirasi ( inflasi ) dan ekspirasi ( deflasi ). Gaya elastis ( elastic recoil ), resistensi
atau tahanan pada sistem jalan napas, inertensi dan tekanan transpulmonar
( perbedaan tekanan antar alveoli dan pleura ) dibutuhkan agar aliran udara
lancar selama fase inflasi paru. Diperlukan keseimbangan dinamik untuk
mempertahankan gar tidak terjadi overinflasi atau sebaliknya. Pengaruh
kekuatan tarik- menarik intermolekuler dan tegangan permukaan diatur oleh
surfaktan, yaitu suatu kompleks protein fosfolipid. Peran penting surfaktan
dalam mempertahankan kestabilan volume paru dengan mempertahankan
tegangan permukaan alveoli.
Paru mempunyai kecenderungan alami untuk kempres/ kolaps.otot pernapasan
dan dinding dada melawan tendensi ini dengan mengaplikasikan suatu tekanan
yang kontinyu pada struktur paru dan mempertahankan volume paru pada saat
akhir ekspirasi, (Malisie, 2013)
b. Pertukaran gas paru
Pertukaran gas paru menggambarkan proses ambilan ( uptake ) oksigen dan
eliminasi karbondioksida oleh paru, untuk memasok kebutuhan metabolisme
tubuh. Sel memerlukan oksigen untuk metabolisme aerob agar dapatr
mempertahankan fungsi sel secara normal. Karena oksigen tidak dapat disimpan
di dalam sel, diperlukan suplai oksigen yang tetap dan dapat memenuhi
kebutuhan metabolsime. Kegagalan menyediakan suplai oksigen yang cukup bagi
jaringan akan menyebabkan kegagalan organ seperti pda pasien syok yang tidak
diresusitasi dengan baik, (Malisie, 2013).
Universitas Muhammadiyah Magelang
15
c. Pasokan oksigen ( oxygen delivery )
Menurut Malisie, (2013) pasokan oksigen merupakan proses penghantaran
oksigen dari atmosfir ke sel suatu organ dan terdiri dari 3 cara :
1) Konveksi, yaitu masuknya udara luar ke dalam paru- paru, dan hantaran
oksigen dari jantung ke target organ
2) Difusi : masuknya oksigen dari alveolar ke dalam darah dan keluarnya oksigen
dari darah dam jaringan.
3) Reaksi kimia : terikatnya oksigen dengn hemoglobin.
d. Fungsi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan mempunyai fungsi terpisah menurut Corwin, (2009), yaitu :
1) Ventilasi
Ventilasi adalah pergerakan udara dari atmosfir masuk dan keluar paru. Ventilasi
berlangsung secara bulk flow. Bulk flowadalah perpindahan atau pergarakkan gas
atau cairan dari dari tekanan tinggi ke tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Ventilasi dikendalikan pusat pernapasan di batang otak bagian bawah di area
medula dan pons. Di medula, terdapat neuron inspirasi dan ekspirasi yang
melepaskan muatan pada waktu yang berbeda dalam suatu pola kecepatan dan
irama yang telah ditentukan. Neuron respirasi menjalankan ventilasi dengan
menstimulasi neuron motorik yang mempersarafi otot- otot utama pernapasan
( diafragma ) dan otot otot aksesoris ( otot interkosta ).
2) Respirasi
Respirasi adalah difusi gas antara alveolus dan kapiler yang melakukan fungsi
perfusi. Respirasi berlangsung melalui difusi, yaitu perpindahan gas sesuai
penurunan gradien konsentrasi.
3) Perfusi
Untuk sistem respirasi, perfusi adalah gerakan darah di dalam sistem vaskular
paru untuk melewati kapiler alveolus. Perfusi, seperti aliran darah dan seperti
ventilasi, terjadi berdasarkan bulk flow. Di dalam paru, perfusi dan ventilasi
biasanya ekuivalen. Hal ini memastikan bahwa persedian oksigen cukup untuk
Universitas Muhammadiyah Magelang
16
masing- masing alveolus mengisi darah yang melewati alveolus dan aliran darah
adekuat untuk masing- masing alveolus.
e. Oksigen yang Dibawa dalam Darah
Oksigen yang dibawa dalam darah dalam bentuk terlarut dan berkaitan dengan
hemoglobin. Jumlah oksigen udara yang terlarut dalam darah bergantung pada
tekanan pasrial oksigen udara yang masuk ke alveolus dan daya larut oksigen.
Jumlah normal oksigen yang larut hanya dalam jumlah kecil ( sekitar 3ml/l).
Sebaliknya, kebanyakan oksigen (98 %) yang dibawa beikatan dengan
hemoglobin. Hemoglobin adalah molekul protein yang terdiri dari empat subunit,
masing- masing adalah gabungan molekul protein dengan molekul zat besi.
Masing- masing molekul besi meiliki sisi yang berkaitan dengan oksigen, (Corwin,
2009).
2.1.3 Klasifikasi asma menurut Wijaya & Putri (2013), yaitu
2.1.3.1 Berdasarkan episodik serangan asma, dapat dibedakan:
1) Asma episodik yang jarang
Biasanya terjadi pada anak usia 3- 6 tahun, serangan umumnya dicetuskan oleh
infeksi virus pada saluran napas. Frekuensi serangan 3-4x/ tahun. Lamanya
serangan beberapa hari dan langsung menjadi sembuh. Gejala menonjol pada
malam hari dapat berlangsung 3-4 hari, sedangakan batuk 10-14 hari, serangan
tidak ditemukan kelainan.
2) Asma episodik sedang
Golongan ini serangan pertama timbul pada usia 1 bulan- 3 tahun, serangan
berhubungan dengan infeksi saluran napas akut, pada usia 5-6 tahun dapat
terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas.
3) Asma kronik/ persisten
Serangan pertama terjadi pada usia 6 bulan ( 25% ), sebelum usia 3 tahun (75%),
pada 2 tahun pertama (50%) biasanya serangan episodik pada usia 5-6 tahun
akan lebih jelas terjadi obstruksi jalan napas yang persisten dan hampir selalu
Universitas Muhammadiyah Magelang
17
terdapat wheezing setiap hari. Pada malam hari sering terganggu oleh batuk/
wheezing dan waktu ke waktu serangan yang berat dan sering memerlukan
perawatan rumah sakit.
2.1.3.2 Secara klinis dapat dibagi menjadi 3 stadium :
1) Stadium I
Waktu terjadi edema dinding bronchus, batuk paroksimal karena iritasi dan
batuk kering, sputum yang kental dan menggumpal merupakan benda asing yang
merangsang batuk.
2) Stadium II Sekrtesi broncus bertambah batuk dengan dahak jernih dan
berbusa pada stadium ini mulai terasa sesak napas berusaha bernapas lebih
dalam, ekspirasi memanjang dan ada wheezing otot nafas tambahan turut
bekerja terdapat retraksi supra sternal epigastrium.
3) Stadium III
Obstruksi/ Spasme broncus lebih berat. Aliran darah sangat sedikit sehingga
suara nafas hampitr tidak terdengar, stadium ini sangat berbahaya karena sering
disangka ada perbaikan pernapasan dangkal tidak teratur dan frekuensi napas
menjadi tinggi.
2.1.4 Etiologi
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus
asma :
2.1.4.1 Pemicu asma ( Trigger )
Pemicu menganggu saluran pernapasan dan mengakibatkan bronkokontriksi.
Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Banyak kalangan kedokteran yang
menganggap pemicu dan bronkokontriksi adalah gangguan pernapasan akut,
yang belum berarti asma, tapi bisa menjurus menjadi asma jenis intrinsik
Gejala- gejala dan bronkospasme yang diakibatkan oleh pemicu cenderung
timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan mudah diatasi pada
waktu singkat. Namun, saluran pernapasan akan bereaksi lebih cepat terhadap
Universitas Muhammadiyah Magelang
18
pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi peradangn.mengakibatkan
bronkokontriksi termasuk stimulus sehari- hari seperti perubahan cuaca dan
suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran pernapasan, gangguan
emosi, olahraga yang berlebihan, (Hadibroto & Alam, 2006).
2.1.4.2 Pemicu asma (Inducer)
Kebalikan dari faktor pemicu (trigger), penyebab asma (inducer) bisa
menyebabkan peradangan (inflammation), dan sekaligus hyperresponsivitas
(respons yang berlebihan) dari saluran pernapasan.
Oleh kebanyakan kalangan kedokteran, inducer dianggap sebagai penyebab
asma yang sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik.
Penyebab asma (inducer) dengan demikian mengakibatkan gejala- gejala yang
umumnya berlangsung lebih lama (kronis akibatkan oleh pemicu), dan lebih sulit
diatasi, dibanding gangguan pernapasan yang diakibatkan oleh pemicu (trigger).
Umumnya penyebab (inducer) asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk :
Ingestan : Alergen yang masuk tubuh melalui mulut (dimakan/ diminum)
Inhalen : Alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut.
Kontak dengan kulit, (Hadibroto & Alam, 2006)
2.1.5 Manifestasi klinis
2.1.5.1 Banyak penderita asma mengalami peningkatan mengi dan dyspnea
(napas pendek yang abnormal) setiap mengerahkan tenaga, (Price & Wilson,
2005).
Mengi disebabkan gerakan udara berkecepatan tinggi melalui jalan napas yang
sempit. Mengi dapat terjadi saat inspirasi, ekspirasi, atau keduanya, (Potter &
Perry, 2005).
Universitas Muhammadiyah Magelang
19
2.1.5.2 Batuk, terutama pada malam hari.
Refleks batuk mengeluarkan benda asing dan mikroorganisme, serta
mengeluarkan mukus yang terakumulasi sebagai mekanisme perlindungan di
sepanjang saluran napas untuk mencegah infeksi, (Corwin, 2009).
Batuk merupakan pengeluaran udara dari paru- paru yang tiba- tiba dan dapat
didengar. Saat individu menhirup napas, maka glotis akan menutup sebagian dan
otot bantu bantu pernapasan berkontraksi untuk mengeluarkan udara secara
paksa. Batuk merupakan refleks untuk membersihkan trakhea, bronkus, dan
paru- paru untuk melindungi organ- organ tersebut dari iritan dan sekresi.
Karena, titik difusi pada batang utama bronkus kanan dan kiri, merupakan
daerah yang paling peka untuk memproduksi batuk. Batuk produktif akibat
produksi sputum , materi yang dibatukkan dari paru- paru yang tertelan atau
dicairkn. Sputum mengandung mucus, debris selular, dan mikroorganisma, juga
dapat mengandung pus/ darah, (Potter&Perry, 2005).
2.1.5.3 Demam
Adanya infeksi sekunder yang bermakna dimanifestasikan dengan timbulnya
demam, (Price&Wilson, 2005).
2.1.5.4 Bersin
Salah satu cara mngeluarkan benda asing dan mikroorganisme (Corwin, 2009).
2.1.5.5 Kongesti nasal
Terdapat lapisan mukosiliaris yang terdiri dari sel sel yang berlokasi dari bronkus
ke atas dan memproduksi mukus, serta sel- sel silia yang melapisi sel- sel
penghasil mukus. Sel penghasil mukus menangkap pertikel benda asing, dan silia
bergerak secara ritmis untuk mendorong mukus dan semua partikel yang
terperangkap, ke atas cabang pernapasan nasofaring tempat mukus tersebut
dapat dikeluarkan sebagai sputum , dikeluarkan melalui hidung, atau ditelan,
(Corwin, 2009).
Universitas Muhammadiyah Magelang
20
2.1.5.6 Penggunaan otot- otot aksesori pernapasan
Disebabkan karena ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi,
(Wijaya & Putri, 2013).
2.1.5.7 Sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat, (Wijaya & Putri, 2013).
2.1.5.8 Adanya gejala- gejala retensi karbondioksida, seperti berkeringat,
takikardi, dan pelebaran tekanan nadi, (Wijaya & Putri, 2013).
2.1.5.9 Gagal napas
Obstruksi saluran pernapasan yang berat, mampu menyebabkan gagal napas,
yang merupakan gambaran yang khas bronkolitis pada anak, (Price & Wilson,
2005).
2.1.6 Patofisiologi
Patofisiologi menurut Price & Wilson, (2013).
Asma adalah obstruksi jalan napas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh
satu atau lebih dari konsentrasi otot- otot yang mengelilingi bronki, yang
menyempitkan jalan napas, atau pembengkakan membran yang melapisi bronki,
atau pengisian membesar, sputum yang kental. Selain ituu, otot- oto bronkhian
dankelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan
alveoli menjadi hyperventilasi, dengan udara terperangkap di dalam jaringan
paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum diketahui, tetapi ada yang
paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologi dan sistem otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel- sel
mast dalam oaru. Pemejanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi menyebabkan pelepasan produk sel – sel mast (disebut
mediator) seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafiksis dari
substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan
paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan
Universitas Muhammadiyah Magelang
21
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus
yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls
saraf vagal melaui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau npn- alergik,
ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan
fisik, suhu yang dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetikolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetikolin ini secara langsung menyebabkan
ronkokonstriksi juga merangsang pembentukkan mediator kimiawi yang dibahas
diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap
respon parasimpatis.
Selain itu, sereptor α- dan β- adrenegik dari sistem saraf simpatis terletak dalam
bronki. Ketika reseptor α- adrenegik dirangsang terjadi bronkokontriksi,
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adrenegik yang dirangsang.
Keseimbangan antara reseptor α- dan β- adrenegik dikendalikan terutama oleh
siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan
penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel mast bronkokontriksi. Stimulasi reseptor beta adrenergik
mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan
mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan ada;ah
bahwapenyekatan β- adenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya,
asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan kontriksi
otot polos.
Universitas Muhammadiyah Magelang
22
2.1.7 Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada asma bronkial menurut Wijaya & Putri, (2013) .
2.1.7.1 Sinar X ( Rö. Thorax ) : terlihat adanya hiperventilasi paru- paru diafragma
mendatar.
2.1.7.2 Tes fungsi paru
a. Menentukan penyebab dyspnea
b. Volume residu meningkat
c. FEV1/ FVC : Rasio volume ekspirasi kuat dan kapasitas vital.
2.1.7.3 Gas Darah Arteri (GDA)
a. PaO2 (tekanan parsial 02 arteri) normal menurun, PaCO2 (tekanan parsial CO2
arteri) normal menurun,
b. pH nomal/ meningkat
2.1.7.3 Sputum ( Lab ) : Menentukan adanya infeksi biasanya pada asma tanpa d
sertai infeksi.
2.1.8 Komplikasi
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang
mengancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dapat terjadi
pada beberapa individu. Pada kasus ini, kerja pernapasan sangat meningkat.
Apabila kerja pernapasan meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat. Karena
individu yang mengalami serangan asma tidak dapat memenuhi kebutuhan
oksigen yang sangat tinggi yang dibuuhkan untuk berinspirasi dan berekspresi
melawan spasme bronkiolus, pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang kental.
Situasi ini dapat menyebabkan pneumothorakx akibat besarnya tekanan untuk
melakukan ventilasi. Apabila individu kelelahan dapat terjadi asidosis
respiratorik, gagal napas, dan kematian, (Corwin,2009).
Menurut Widjaja, ( 2005) jika sering terjadi dan telah berlangsung cukup lama,
serangan asma akan mengakibatkan paru-paru basah dan perubahan bentuk
Universitas Muhammadiyah Magelang
23
rongga dada (toraks). Toraks membungkuk ke depan dan jantung menyempit.
Jika banyak sekali jumlahnya, lendir akan menyumbat paru- paru dan akan
mengakibatkan kontraksi paru- paru. Serangan asma yang akan berlanjut
berhari- hari disebut asmatikus. Jika tidak ditolong penderita akan mengalami
gangguan pada jantung. Pada anak sekolah, asma menyebabkan anak sering
tidak masuk sekolah. Akibat psikilogis yang terjadi di antaranya adalah anak
kehilangan inisatif, merasa rendah diri dan mengalami gangguan emosional.
Akibat jarang masuk sekolah adalah anak menjadi lebih bergantung pada orang
lain atau menjadi manja akibat butuh perhatian. Serangan asma pada usia dini
lebih ringan dibandingkan dengan serangan pada usia dewasa. Biasanya,
serangan asma pada usia dewasa lebih berat dan menetap, sehingga penderita
tidak dapat melakukan kegiatan sehari- hari dan tidak produktif. Akibatnya,
kualitas hidup penderita menurun, (Widjaja, 2005).
2.1.9 Penatalaksanaan terapeutik
2.1.9.1 Penatalaksanaan nonfarmakologi
Pada masa anak terjadi proses tumbuh- kembang fisis, faal, imunologi, dan
perilaku yang memberi peluang sangat besar bagi kita untuk melakukan upaya
pencegahan, kontrol, self-management, dan pengobatan asma. Walaupun
medikamentosa selalu merupakan unsur penting pengobatan asma anak, harus
tetap diingat bahwa hal tersebut hanyalah merupakan salah satu dari berbagai
komponen utama penatalaksanaan asma. Penatalaksanaan asma yang baik harus
disokong oleh pengertian tentang peran genetik, alergen, polutan, infeksi virus,
serta lingkungan sosioekonomi dan psikologis pasien beserta keluarga.
Pendidikan dan penjelasan tentang asma pada pasien dan keluarga merupakan
unsur penting penatalaksanaan asma pada anak. Perlu penjelasan sederhana
tentang proses penyakit, faktor risiko, penghindaran pencetus, manfaat dan cara
kontrol lingkungan, cara mengatasi serangan akut, pemakaian obat dengan
benar, serta hal lain yang semuanya bertujuan untuk meminimalkan morbiditas
Universitas Muhammadiyah Magelang
24
fisis dan psikis serta mencegah disabilitas. Bila ditangani dengan baik maka
pasien asma dapat memperoleh kualitas hidup yang sangat mendekati anak
normal, dengan fungsi paru normal pada usia dewasa kelak walaupun tetap
menunjukkan saluran napas yang hiperresponsif, (Akib, 2008).
2.1.9.2 Penatalaksanaan farmakologi
Pengobatan asma pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan dan menjaga
status aktivitas anak normal dan faal paru normal, mencegah timbulnya asma
kronik, serta mencegah pengaruh buruk tindakan pengobatan. Berikut
penatalaksanaan asma secara farmakologi:
a. Inhaler dosis terukur
Alat ini menggunakan bubuk tabur dan disebarkan melalui alat yanng disebut
diskhaler, turbohaler, dan rotahaler. Alat ini diaktifkan dengan pernapasan, dan
anak perlu menginhalasi secepat dan sedalam mungkin untuk keefektifan
penggunaan. Bayi dan anak yang masih kecil biasanya mengalami kesulitan
dalam menggunakan inhaler, (Wong, 2009)
b. Nebulizer
Obat tersebut dicambur dengan salin, kemudian dinebulisasi dengan udara yang
terkompres. Anak- anak di intruksikan untuk bernapas normal dengan mulut
terbuka agar rute langsung ke trakea terbuka, (Wong, 2009).
c. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik mampu mengurangi lama rawat dirumah
sakit. Inhalisi kortikosteroid tidak terbukti efektif secara klini sbegitu juga
pemberian secara enteral. Metilprednisolon merupakan steroid yang paling
umum digunakan, dosis inisial 2 mg/ kg BB diikuti 0,5-1 mg/kg BB/ kali diberikan
setiap 6 jam. Deksametason dan hidrokortison juga dapat digunakan. Durasi
pemberian tergantung pada derajat keparahan asma, (Malisie, 2013).
d. Agonis beta inhalasi
Agnis beta merupakan agen simpatomimetik yang dapat menyebabkan relaksasi
otot polos bronkus secara langsung, merupakan komponen kunci dalam terapi
Universitas Muhammadiyah Magelang
25
asma. Albuterol dan terbutalin paling umum dipakai karena tersedia luas, awitan
kerja pendek, agonis β2 selektif dan diberikian secara inhalasi. Inhalasi albuteron
tersedia dalam dua bentuk, yaitu salbutamol atau levalbuterol. Pemberian
nebulisasi konitnyu lebih memperhatikan dosis intermiten. Dosis albuterol untuk
nebulisasi kontinu adalah 0,15- 0,5 mm/ Kg BB/ Jam atau 10-20 mg/ jam. Jika
akan disapih, dapat diberikan albuterol intermiten dengan Metered Dose Inhaler
(MDI) dengan dosis 4-8 puffs tiap dosisnya. tiap puffs berisi 90 mcg, (Malisie,
2013).
e. Agonis beta intervena dan subkutan
Paling baik dalam memberikan perbaikan klinis. Terbutalin terbukti efektif, dapat
diberikan baik secara intervena/ subkutan jika akses vaskular tidak tersedia.
Dosis intervena dimualai dengan loading dose 10mcg/ kg BB selama 10
menitdiikuti infus kontinu o,1 – 10 mcg/ kg BB/ Menit. Dosis subkutan 0,01 mg/
kg BB kali dengan dosis maksimal 0,3 mg/ kali, dapat diulang tiap 15- 20 menit
hingga 3 kali, (Malisie, 2013).
f. Methylxanthine
Penggunaan methylxanthine pada anak sakit kritis dengan status asmatikus
sudah mulai ditinggalkan sejak agonis beta selektif tersedia luas. Berbagai uji
klinis membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan berbaikan klinis dan lama
rawat di PICU pada pasien status asmatikus yang diberikan terapi teofilin
dibandingkan farmakoterapi lainnya. Teofilin mungkin dapat membantu
perbaikan klinis pada kasu status asmatikus yang tidak responsif terhadap
steroid, inhalasi dan intravena agonis beta dan terapi oksigen. Teofilin diberikan
dengan loading dose bolus intraven 5-7 mg/ kg BB selama 20 menit, dilanjutkan
infus kontinu dengan laju 0,5- 0,9 mg/ Kg BB/ jam. Kadar teofilin serum
sebaiknya diperiksa berkala, untuk menghindari timbulnya efek samping,
(Malisie, 2013).
g. Antikolonigerik
Ipratropium bromida merupakan agen yang umum dipakai untuk menimbulkan
Universitas Muhammadiyah Magelang
26
efek antikolinergik pada penderita asma. Pemberian ipratropim glorida diruang
emergensi dapat m,engurangi kebutuhanrawat inap diruang sakit. Inhalasi
ipratropium bromida tidak efektif untuk asma sedang sampai berat dan status
asmatikus, (Malisie, 2013).
h. Magnesium sulfat
Magnesium merupakan agen penghambat kanal kalsium (Calcium Canel Blocker)
cara kerja magnesium adalah dengan menghambat kontraksi ootot polos
bronkus dan menyebabkan bronkodilatasi. Pemakaian magnesium dalam
tatalaksana status asmatikus masih kontroversial. Dosis yang bisa dipakai 25- 50
mg/ kg BB/ kali selama 30 menit, diberikan setiap 4 jam. Dapat diberikan dengan
infus kontinu 10- 20 mg/ kg BB/ jam. Kadar magnesium serium harus selalu
dipantau, (Malisie, 2013).
i. Ventilasi mekanik non- invasif
Non- invasif positif pleasure ventilation (NIPPV) merupakan alternativ pilihan
selain ventilator konvensional yang telah bisa dikenal. Masih sedikit penelitian
NIPPV dibandingkan ventilator konvensional pada anak dengan status asmatikus
sehingga penggunaanya belum direkomendasikan, (Malisie, 2013).
j. Ventilasi mekanik
Intubasi endotrakeal diindikasikan pada kondisi hipoksemia refrakter, pasca henti
jantung paru atau asidosis respiratorik yang tidak responsive dengan
farmakoterapi tunjangan ventilasi mekanik pada status asmatikus bertujuan
untuk memenuhi kecukupan oksigenasi, permisif hiperkarbia dan penyesuaian
ventilasi semenit (tekanan puncak, volume tidak dan laju napas). Guna
mempertahankan kesamaan darah arteri (pH > 7,2). Strategi manajemen
ventilasi mekanik yang diteraokan harus dapat mereduksi hiperinvlasi dinamik
dan air trapping, diantaranya dengan mengurangi laju napas, memanjangkan
waktu ekspirasif atau mempersingkat waktu inspirasi dan meminimalkan tekanan
akhir ekspirasi, (Malisie, 2013).
Universitas Muhammadiyah Magelang
27
k. Fisoterapi dada
Fisioterapi dada mencakup latihan bernapas daan latihan fisik. Terapi ini
membantu relaksasi fisik dan mental, memperbaiki postur, memperkuat otot-
otot pernapasan, dan membentuk pola pernapasan yang lebih efisien. Untuk
anak yang termotivasi, latihan bernapas dan pengendalian napas sangat
bermanfaat dalam mencegah inflasi berlebih dan meningkatkan keefektifan
batuk, (Wong, 2009)
l. Terapi oksigen
Menurut Malisie, (2013) terapi oksigen bertujuan untuk meningkatkan tekanan
oksigen alveolar, menurunkan usaha napas yang diperlukan untuk
mempertahankan tekanan oksigen alveolar, dan menurunkan kerja miokardium
yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri. Alat pemberian
teapi oksigen, yaitu
1) Kanula nasal
2) Oksigen mengalir dari kanula menuju nasofaring yang bertindak sebagai
reservoar anatomis, dengan kecepatan aliran antara 0,1-6 L/ menit. Kanula nasal
dapat menghasilkan oksigen dengan konsentrasi antara 24-50%.
3) Kateter nasofaring
4) Oksigen mengalir melalui kateter ke dalam orofaring yang bertindak sebagai
reservoar anatomis. Alat ini jarang dipergunakan karena perawatannya yang
sulit.
5) Sungkup sederhana
6) Kecepatan aliran yang diperlukan berkisar antara 6-10 L/menit. Konsentrasi
oksigen yang dihasilkan bervariasi antara 35-55%.
7) Sungkup non-rebreathing
8) Sungkup jenis ini dilengkapi dengan kantong reservoar dan sistem pengatur
aliran gas dengan 2 buah katup searah, yang terletak diantara sungkup dan
reservoar dan pada salah satu sisi ekshalasi, sehingga udara ekspirasi akan
Universitas Muhammadiyah Magelang
28
dieliminasi dan setiap inspirasi akan berisi oksigen. Sungkup non-breathing dapat
menghasilkan konsentrasi oksigen sampai 100%.
9) Sungkup partial rebreathing
10) Sungkup ini juga dilengkapi dengan kantong reservoar dan sistem pengatur
gas. Perbedaannya dengan sungkup non-breathing adalah tidak terdapat katup
diantara sungkup dan reservoar, maka sebagian dari udara ekspirasi atau volume
udara dalam ruang rugi anatomis dimungkinkan untuk masuk kembali kedalam
kantong reservoar. Untuk mencegah agar pada saat bernapas tidak menghirup
CO2, maka aliran gas inspirasi harus dipertahankan pada atau lebih dari 6 L/
menit.
11) Sungkup venturi
Sungkup venturi mempunyai katup dengan ukuran yang berbeda dan kode
warna yang berbeda, setiap alat memerlukan aliran gas tertentu untuk
menghasilkan konsentrasi oksigen yang tetap. Dengan sungkup venturi, dapat
dihasilkan oksigen dengan konsentrasi antara 24-50%.
12) Oxygen hood (head box)
Merupakan teknik pemberian oksigen sistem aliran tinggi yang dapat diberikan
pada bayi yang berusia 0-6 bulan.
2.2.1 Konsep asuhan keperawatan klien dengan asma
2.2.1.1 Pengkajian
a. Pengkajian fokus menurut Wijaya & Putri ( 2013 : 193 )
b. Identitas klien, meliputi nama, usia, jenis, ras, dll.
c. Informasi dan diagnosa medik yang penting.
d. Data riwayat kesehatan.
e. Riwayat kesehatan dahulu, pernah menderita penyakit asma sebelumnya,
menderat kelelahan yang amat sangat dengan sianosis pada ujung jari.
Universitas Muhammadiyah Magelang
29
f. Riwayat kesahatan sekarang :
1) Biasanya klien sesak napas, batuk- batuk, lesu tidak bergairah, pucat tidak ada
nafsu makan, sakit pada dada dan pada jalan napas.
2) Sesak setelah melakukan aktivitas/ Menghadapi suatu krisis emosional.
3) Sesak napas karena perubahan udara dan debu.
4) Batuk dan susah tidur karena nyeri dada.
g. Riwayat kesehatan keluarga
1) Riwayat keluarga ( + ) asma.
2) Riwayat keluarga ( + ) menderita penyakit alergi, seperti rinitis alergi, sinusitis,
dermatitis, dan lain- lain.
h. Aktivitas/ Istirahat
Gejala :
1) Keletihan, kelelahan, malaise.
2) Ketidakmampuan untuk melakuakan kegiatan sehari- hari karena uslit
bernapas.
3) Ketidakmampuan untuk tidur perlu tidur dalam posisi duduk tinggi dspnea
pada saat istirahat aktivitas dan hiburan.
i. Sirkulasi
Gejala :
1) Pembengkakan pada ektremitas bawah.
j. Intergritas ego
Gejala :
1) Nafas pendek, dada terasa tertekan dan ketidak mampuan bernapas.
2) Batuk dengan produksi sputum berwarna keputihan.
k. Keamananan
Gejala :
1) Riwayat reaksi alergi/ sensitif terhadap zat.
Universitas Muhammadiyah Magelang
30
2.2.1.2 Diagnosa keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d bronkospasme, akumulasi sekret.
2) Ketidakefektifan pola napas b/d denngan bronkospasme.
3) Gangguan pertukaran gas b/d dengan gangguan suplai oksigen.
4) Resiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuatnya pertahanan utama atau
imunitas.
5) Cemas b/d hospitalisasi.
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang berlebih.
7) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik
2.2.1.3 Intervensi Keperawatan menurut Wilkinson&Ahern, (2012).
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret.
Tujuan: Jalan napas menjadi efektif.
Kriteria hasil: Jalan napas bersih, sesak berkurang, dapat mengeluarkan sekret.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital dan auskultasi bunyi napas.
Rasional: beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas.
2) Berikan pasien untuk posisi yang nyaman.
Rasional: peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan.
3) Pertahankan lingkungan yang nyaman .
Rasional: pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger episode
akut.
4) Tingkatkan masukan cairan, denganmemberi air hangat.
Rasional: membantu mempermudah pengeluaran sekret.
5) Dorong atau bantu latihan napas dalam dan batuk efektif.
Rasional: memberikan cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea,
mengeluarkan sekret. .
6) Dorong atau berikan perawatan mulut .
Universitas Muhammadiyah Magelang
31
Rasional: higiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan mencegah bau
mulut .
7) Kolaborasi: pemberian obat dan humidifikasi, seperti nebulizer .
Rasional: menurunkan kekentalan sekret dan mengeluarkan sekret .
b. Ketidakefektifan pola napas b/d denngan bronkospasme.
Tujuan: Pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil: Pola napas efektif. Bunyi napas normal kembali, Batuk berkurang.
Intervensi:
1) Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada.
Rasional: kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernapasan bervariasi
tergantung derajat gagal napas
2) Auskultasi bunyi nafas.
Rasional: Ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan napas.
3) Tinggikan kepal dan bentuk mengubah posisi.
Rasional: Memudahkan dalam eksansi paru dan pernapasan.
4) Tingkatkan masukan cairan, denganmemberi air hangat.
Rasional: Membantu mempermudah pengeluaran sekret
5) Kolaborasi dalam pemberian oksigen.
Rasional: Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas.
c. Gangguan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen.
Tujuan: Dapat mempertahankan pertukaran gas.
Kriteria hasil: Tidak ada dsypnea, dan pernapasan normal.
Intervensi:
1) Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada.
Rasional: Berguna dalam evaluasi derajat di stress pernapasan dan atau
kronisnya proses penyakit.
Universitas Muhammadiyah Magelang
32
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang
nyaman untuk bernapas
Rasional: Ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan napas.
3) Tinggikan kepala dan bentuk mengubah posisi.
Rasional: pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan
latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
4) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa
Rasional: Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentra (terlihat
sekitar bibir atau daun telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral
mengindikasikan beranya hipoksemia.
5) Kolaborasi dalam pemberian oksigen.
Rasional: dapat memperbaiki memburuknya hipoksia.
d. Cemas b/d hospitalisasi.
Tujuan: Kecemasan pasien dapat berkurang.
Kriteria hasil: Pasien terlihat tenang, cemas berkurang, dan ekspresi wajah
tenang.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kecemasan.
Rasional: mengetahui skala kecemasan pasien
2) Berikan terapi bermain.
Rasional: afektif mengurangi kecemasan pada anak.
3) Pertahankan kontak maksimal selama prosedur berlangsung.
Rasional: mengurangi kecemasan pada anak.
4) Anjurkan orang tua berada disamping anak saat berlangsungnya prosedur
invasive.
Rasional: agar anak merasa tenang dan mengurangi kecemasan anak karena
orang tua berada di dekatnya.
Universitas Muhammadiyah Magelang
33
e. Gangguan pola tidur b/d batuk yang berlebihan.
Tujuan: Pola tidur dapat terpenuhi.
Kriteria hasil: Menunjukkan waktu tidur yang adekuat ( 6-7 ) jam per hari dan
menunjukkan perasaan segar saat bangun tidur.
Intervensi:
1) Kaji pola tidur pasien setiap hari.
Rasional: mengetahui perubahan pola tidur yang terjadi.
2) Beri posisi yang nyaman.
Rasional: memudahkan dalam beristirahat.
3) Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional: menciptakan suasana yang tenang.
4) Anjurkan kepada keluara da pengunjung untuk tidak ramai.
Rasional: menciptakan suasana yang tenang.
f. Intoleran aktivitas b/d kelemahan fisik.
Tujuan: aktivitas kembali normal.
Kriteria hasil: Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan aktivitas.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan aktivitas pasien.
2) Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas. Catat perubahan tanda vital
selama dan setelah aktivitas.
Rasional: menetapkan kebutuhan/ kemampuan pasien dan memudahkan pilihan
intervensi.
3) Observasi adanya kelelahan dalam melakukan aktivitas.
Rasional: mengetahui adanya tanda kelelahan dalam melakukan aktivitas.
4) Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional: menciptakan suasana yang tenang.agar emudahkan untuk beristirahat.
Universitas Muhammadiyah Magelang
34
g. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama atau imunitas.
Tujuan : Tidak mengalami infeksi nosokomial.
Kriteria hasil : Tidak ada tanda- tanda infeksi., mukosa mult lembab, dan batu
berkurang.
Intervensi :
1) Monitor tanda vital.
Rasional: demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi
2) Observasi warna, karakter, dan jumlah sputum.
Rasional : kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru
3) Tinggikan kepala dan bentuk mengubah posisi.
Rasional : pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan
latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
4) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa
Rasional : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentra (terlihat
sekitar bibir atau daun telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral
mengindikasikan beranya hipoksemia.
5) Kolaborasi dalam pemberian antibotik.
Rasional : antibiotik dapat mencegah masuknya kuman ke dalam tubuh.
Universitas Muhammadiyah Magelang
35
Universitas Muhammadiyah Magelang
36
DAFTAR PUSTAKA
Akib, A. ( 2008 ). Asma Pada Anak, Sari Pediatri, Vol : 10, No : 2.
Alimul, Aziz ( 2007 ). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika.
Corwin, E. J. ( 2009 ). Buku Saku Patofisologi. Jakarta : EGC.
Hadibroto & Alam ( 2006 ). Asma. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Karinna Haq, Rosma. ( 2010 ). Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Serangan Asma pada Penderita Asma Bronkial di BP4 Semarang. JurnalKesMaDaSka, Vol : 1, No : 1, ISSN : 2087-5002.
Karsono, Edy ( 2006 ). Struktur Anatomi Tubuh Manusia. Bandung : PT Sarana Panca Nusa.
Mboi, Nafsiah ( 2013 ). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian dan pengembangan kesehatan.
Meiyanti., Mulia, J. I. ( 2005 ). Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma Bronkial. Jurnal Kedokteran Trisakti, Vol : 19, No : 3.
Oemiyat., R., Sihombing, M & Qomariah ( 2010 ). Faktor- Faktor yang berhubungan dengan Penyakit Asma di Indonesia, Media Litbang Kesehatan, Vol : XX, No : 1.
Price & Wilson ( 2005 ). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Pudjiadi, A. H. ( 2013 ). Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ridha, H. N. ( 2014 ). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta : Pustaka Pekajar.
Ross & Wilson ( 2009 ). Dasar- dasar Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : Medika.
Widodo & Djajalaksana. ( 2012 ). Patofisiologi dan Marker Airway Remodeling pada Asma Bronkial. Jurnal Respir Indo, Vol : 32, No : 2.
Wijaya dan Putri ( 2013 ). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika.
Wilkinson & Ahern (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
Universitas Muhammadiyah Magelang
37
Wistiani., Notoatmojo, H. ( 2011 ). Hubungan Pejanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi Pada Anak. Sari Pediatri, Vol : 13, No : 3.
Wong ( 2009 ). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Jakarta : EGC.
Yunus, Faisal. ( 2010 ). Jurnal Respirologi Indonesia, Vol : 30, No : 2, ISSN : 0853-7704.
Universitas Muhammadiyah Magelang