Aliran Syi'Ah

17
BAB I PENDAHULUAN Ilmu Kalam biasanya disebut dengan beberapa nama, antara lain: Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tauhid, Fikih Al-Akbar dan Teologi Islam. Disebut Ilmu Ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama dan disebut Ilmu Tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah Swt dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Secara objektif ilmu kalam sama dengan ilmu Tauhid tetapi argumentasi Ilmu Kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Secara terperinci bahwa Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian Ilmu Kalam adalah keTuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Yang dikaji disini tentang asma’ (nama-nama) dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, dan jaiz juga sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Rasul-Nya. Ilmu Kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh Ilmu Pengetahuan karena berada di luar atau di atas jangkauannya), atau tentang Tuhan. Berdasarkan pemahaman tentang ilmu kalam ini, yaitu tentang sifat dan zat Tuhan, terdiri dari beberapa aliran atau paham yang masing-masing mempunyai pemahaman yang berbeda sesuai dengan alirannya. Salah satu aliran tersebut adalah aliran Syi’ah, yaitu suatu aliran yang mengikuti Ali bin Abi 1

Transcript of Aliran Syi'Ah

Page 1: Aliran Syi'Ah

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu Kalam biasanya disebut dengan beberapa nama, antara lain: Ilmu

Ushuluddin, Ilmu Tauhid, Fikih Al-Akbar dan Teologi Islam. Disebut Ilmu

Ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama dan disebut Ilmu

Tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah Swt dan hal-hal yang berkaitan

dengan-Nya. Secara objektif ilmu kalam sama dengan ilmu Tauhid tetapi

argumentasi Ilmu Kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika.

Secara terperinci bahwa Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf mempunyai

kemiripan objek kajian. Objek kajian Ilmu Kalam adalah keTuhanan dan segala

sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Yang dikaji disini tentang asma’ (nama-

nama) dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, dan jaiz juga

sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Rasul-Nya.

Ilmu Kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran

tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri

pula, berusaha menghampiri kebenaran baik tentang alam maupun manusia (yang

belum atau tidak dapat dijangkau oleh Ilmu Pengetahuan karena berada di luar

atau di atas jangkauannya), atau tentang Tuhan.

Berdasarkan pemahaman tentang ilmu kalam ini, yaitu tentang sifat dan

zat Tuhan, terdiri dari beberapa aliran atau paham yang masing-masing

mempunyai pemahaman yang berbeda sesuai dengan alirannya. Salah satu aliran

tersebut adalah aliran Syi’ah, yaitu suatu aliran yang mengikuti Ali bin Abi Thalib

yang lawannya adalah Khawarij yaitu yang keluar dari barisan Ali. Aliran ini

semula berawal dari terjadinya peristiwa tahkim sewaktu perang Siffin yang

memecah pengikut Ali menjadi dua bagian yang kemudian menjadi sekelompok

yang mempunyai pemahaman tentang keagamaan.

Dan untuk lebih mengenal lebih jauh mengenai aliran Syi’ah ini, dalam

makalah yang sederhana ini penulis telah menguraikannya dengan judul

“ALIRAN SYI’AH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA” yang meliputi latar

belakang timbulnya aliran Syia’h, tokoh-tokoh aliran Syi’ah dan hal-hal yang

berkaitan dengan Syi’ah.

1

Page 2: Aliran Syi'Ah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan Syi’ah

Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau

kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang

dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi

Muhammad Saw, atau orang yang selalu disebut ahl al-bait. Point penting dalam

doktrin syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari

ahl al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat

yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.1

Masih dalam buku yang sama, yaitu Thabathbai sebagaimana dijelaskan

dalam bukunya Rosihan Anwar, bahwa istilah Syi’ah untuk pertama kalinya

ditunjukkan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl al-bait

pada masa Nabi Muhammad Saw. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di

antaranya adalah Abu Dzar al-Ghiffari, Miqad bin al-Aswad, dan Ammar bin

Yasir.

Pengertian bahasa dan terminologis di atas hanya merupakan dasar yang

membedakan Syi’ah dengan kelompok Islam yang lain. Di dalamnya belum ada

penjelasan yang memadai mengenai Syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun

demikian, pengertian di atas merupakan titik tolak penting bagi mazhab Syi’ah

dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segala

aspek kehidupan, seperti imamain, taqiyah, mut’ah, dan sebagainya.

Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat

di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahra sebagaimana dikuti oleh Rosihan

Anwar juga bahwa Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman

bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin

Abi Thalib.2 Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika

berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyyah yang dikenal dengan Perang

Siffin. Dalam peperangan ini sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap

arbitrase yang ditawarkan Muawiyyah. Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi

dua, satu kelompok mendukung sikap Ali, kelak disebut Syi’ah, dan kelompok

lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.

Perang Shiffin adalah peperang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah.

Muawiyah adalah anak Abu Sufyan paman Utsman. Pemuka Bani Umaiyyah

yang amat disegani dan dipatuhi oleh lasykarnya. Perang ini terjadi karena

1Rosihan Anwar & Abdul Rozak, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 89. 2Ibid, hlm. 90.

2

Page 3: Aliran Syi'Ah

hasutan dari Muawiyyah kepada penduduk Syam untuk menentang pembunuh-

pembunuh Utsman. Dan Ali yang sudah jadi Khalifah masa itu dituduh memberi

perlindungan kepada pembunuh-pembunuh Utsman. Muawiyah tidak setuju Ali

dibai’ah jadi Khalifah, karena dia menginginkan jabatan Khalifah itu padanya,

sehingga dia menghasut penduduk Syam. Akhirnya penduduk Syam menolak

memberikan jabatan Khalifah pada Ali, mereka berpendapat bahwa jabatan

Khalifah itu hak kaum Muslimin. Dan mereka memihak kepada Muawiyah karena

kehidupan mereka bertambah baik dan makmur dibawah pemerintahannya.

Mereka ingin berketerusan dengan keadaan yang demikian.

Akibat dari Muawiyah tidak menerima Ali dibai’ah, maka terjadilah

Perang Shiffin. Tapi sebelumnya Ali sudah meminta supaya mereka berdamai,

tetapi Muawiyah menolak dan tidak mendengarnya.3

Pertempuran terjadi antara kedua lasykar beberapa hari lamanya. Ali

dengan keberanian pribadinya dapat membangkitkan seangat dan kekuatan

lasykarnya, sehingga kemenangan sudah membayang baginya. Mu’awiyyah yang

sudah cemas dan kehilangan akal, buru-buru memanggil ‘Amr ibnul ‘Ash dan

berkata: “mana simamananmu wahai ‘Amr ibnul ‘Ash ? Keluarkanlah ! Kita

sudah hampir binasa !”.

‘Amr ibnul ‘Ash berseru kepada lasykar-lasykarnya: “Barang siapa yang

membawa mushhaf (kitab Alqur’an) supaya diangkatnya dengan tombaknya ke

atas! Mendengar seruan itu beberapa orang lasykar ‘Amr ibnul “ash

mengangkatkan mushhaf dengan ujung tombaknya, dengan seruan yang ditujukan

kepada lasykaar Ali” Inilah Kitabullah yang akan menjadi hakim antara kami dan

kamu!”.

Seruan lasykar Mu’awiyyah ini mendapat sambutan hanbat dari lasykar

Ali. Banyak dari mereka yang tadinya hendak meneruskan peperangan, akan

tetapi oleh karena kehidupan mereka telah morat-marit, lantas memperkenankan

seruan itu. Tetapi, Ali berusaha sungguh-sungguh menghasung lasykarnya

meneruskan perjuangan, sehingga kemenangan yang hampir ditangannya itu

sempurna. Tetapi, seruan Ali tidak mendapat perhatian, malahan mereka

memaksa Ali supaya mengumumkan bahwa peperangan dihentikan.

Ada riwayat, bahwa diantara pengikut-pengikut yang menantang Ali, ada

yang sampai mengucapkan kata: “Orang-orang itu menyeru kita supaya kembali

kepada Kitabullah, tetapi kamu menyeret kami ke ujung pedang”. Mereka

3Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 515-516

3

Page 4: Aliran Syi'Ah

mengancam Ali akan membalikkan senjata kepadanya, jika masih belum mau

juga menerima ajakan Mu’awiyyah.

Ahli-ahli sejarah yang mempelajari sejarah hidup Ali di bidang

kemiliteran, menemukan bahwa dalam setiap pertempuran Ali selalu menang.

Memang dalam peperangan Jamal, dalam peperangan Shiffin dan beberapa

peperangan dengan Khawarij. Tetapi beliau kalah dengan diplomasi, tak dapat

mengelakkan tipu daya.

Menurut kami pemakalah, bahwa hal itu disebabkan, karena Ali tidak mau

membelakangi akhirat untuk mengharapkan sesuatu hal duniawi. Tambahan lagi,

Ali tiada mempunyai kewibawaan yang penuh terhadap pengikut-pengikutnya.

Mereka tidak dapat dipersatukannya. Hal itu bukanlah kesalahan Ali, tetapi

keadaan dan suasana yang menyebabkan demikian.4

B. Aliran Syi’ah dan Doktrin-doktrinnya

Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl –

al-bait di hadapan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Syi’ah juga mengembangkan

doktrin-doktrinnya sendiri. Berkenaan dengan teologi, mereka mempunyai lima

rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan kepada keesaan Allah), mubuwwah

(kepercayaan kepada kenabian); ma’ad (kepercayaan akan adanya hidup di

akhirat); imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan hak ahl

al-bait); dan adl (keadilan Ilahi). Meskipun mempunyai landasan keimanan yang

sama, Syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalan sejarah

kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte atau lairan. Perpecahan

ini terutama dipicu oleh masalah doktrin Imamah. Di antara sekte-sekte Syi’ah itu

adalah:

1. Syi’ah Istina’ ‘Asyariyah (Syi’ah dua belas/Syi’ah Imamiyah)

Golongan aliran Syi’ah ini ialah (golongan) Rafidhah, disebut begitu

karena para pengikutnya menolak kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq dan

‘Umar ibn Khatthab. Merekapun beranggapan bahwa Nabi Muhammad Saw

telah mengangkat dan menetapkan ‘Ali ibn Abu Thalib sebagai khalifah,

sebagaimana yang dinyatkan Nabi Saw, tetapi setelah Nabi wafat banyak para

sahabat yang tidak mau mengakui ‘Ali ibn Abu Thalib sebagai panutan dan

pemimpin. Padahal, menurut anggapan mereka, kepemimpinan (imamah) itu

tidak boleh terjadi melainkan harus melalui nasb ataupun ketetapan dogmatis,

dan mereka sepakat bahwa kepemimpinan itu merupakan pengabdian, bahkan

4A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 302.

4

Page 5: Aliran Syi'Ah

seorang imam dibolehkan bohong demi keselamatan diri (taqiyyah), seperti

dia menyatkan dirinya bukanlah seorang imam. Di samping itu merekapun

membatalkan adanya ijtihad dalam suatu hukum; dan menurut anggapan

mereka, seorang imam itu merupakan orang yang utama. Adapun di antara

(imam) yang paling utama adalah ‘Ali ibn Abu Thalib, sehingga apapun yang

diperbuat ‘Ali senantiasa benar dan tidaklah mungkin dia berbuat salah dalam

menetapkan (hukum) agama.5

Dan adapun doktrin-doktrin (pemikiran-pemikiran) dari aliran Syi’ah

ini adalah dikenal dengan konsep Usul ad-Din. Konsep ini menjadi akar atau

fondasi pragmatisme agama, yaitu:

a. Tauhid (The Devine Unity).

Tuhan adalah Esa baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan

Tuhan adalah mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah

qadim. Maksudnya, Tuhan bereksisten dengan sendirinya sebelum ada

ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh Tuhan. Tuhan Maha

Mengetahui, Maha Mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa,

selalu benar dan bebas berkehendak. Keesaan Tuhan tidak murakkah

(tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak

dibatasi oleh ciptaan-Nya. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

b. Keadilan (The Devine Justice).

Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan

keadilan. Ia tidak pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan.

c. Nubuwwah (Apostleship).

Setiap makhluk sekalipun telah diberi insting, masih membutuhkan

petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul

merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus

untuk memberikan acuan dalam membedakan antara yang baik dan yang

buruk di alam semesta. Dalam keyakinan Syi’ah Itsna Asy’ariyah, Tuhan

telah mengutus 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk kepada

manusia.

d. Ma’ad (The Last Day).

Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan

Tuhan di akhirat. Setiap muslim harus yakin akan keberadaan kiamat dan

kehidupan suci setelah dinyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan

5Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Maqalaat al-Islamiyyiin waikhtilaff, (Diterjemahkan oleh Nasir Yusuf dkk), (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 78-79.

5

Page 6: Aliran Syi'Ah

Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan dunia menuju

kehidupan akhirat.

e. Imamah (The Devine Guidance).

Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk

memberikan petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan

didelegasikan kepada keturunan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul

terakhir.6

2. Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)

Istilah Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh) dianalogikan dengan Syi’ah

Itsna Asyariyah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah

Sab’iyah hanya mengakui tujuh Imam, yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal

Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, dan Ismail bin Ja’far. Karena

dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far ash-Shadiq, Syi’ah Sab’iyah

disebut juga Syi’ah Ismailiyah.

Dalam aliran Syi’ah ini percaya bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar

seperti dijelaskan Al-Qadhi an-Nu’man sebagaimana dikuti oleh Rosihan

Anwar dan Abdul Rozak, yaitu iman, thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan

jihad.

Dalam pandangan aliran Syi’ah ini, bahwa keimanan hanya dapat

diterima bila sesuai dengan keyakinan mereka, yakni melalui walayah

(kesetiaan) kepada imam zaman. Imam adalah seseorang yang menuntun

umatnya kepada pengetahuan (ma’rifat). Dengan pengetahuan tersebut,

seorang muslim akan menjadi seorang mukmin yang sebenar-benarnya. Untuk

itu mereka berpendapat bahwa manusia akan memasuki kehidupan spiritual,

kehidupan formal-materi sebagai individu dan kehidupan sosial yang

semuanya memerlukan aturan.

Kemudian aliran ini juga berpendapat bahwa syarat-syarat seorang

imam adalah:

a. Imam harus berasal dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan

Fatimah yang kemudian dikenal dengan ahlul bait.

b. Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash. Aliran ini meyakini

bahwa penunjukan khusus yang dilakukan Nabi sebelum beliau wafat.

Suksesi keimanan menurut doktrin dan tradisi Syi’ah harus berdasarkan

nash oleh imam terdahulu.

6Rosihan Anwar & Abdul Rozak, Op.cit., hlm. 94-95.

6

Page 7: Aliran Syi'Ah

c. Keimaman jatuh kepada anak tertua, aliran ini menggariskan bahwa

seorang imam memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (keturunan).

Jadi ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paling tua.

d. Imam harus maksum, yaitu seorang imam harus terjaga dari salah dan

dosa. Bahkan lebih dari itu mereka berpendapat bahwa sungguhpun imam

berbuat salah, perbuatannya itu tidak salah. Keharusan maksum bagi imam

dapat ditelusuri dengan pendekatan sejarah.

e. Imam harus dijabat oleh dijabat seorang yang paling baik. Dalam

pandangan golongan Syi’ah ini perbuatan dan ucapan imam tidak boleh

bertentangan dengan syari’at. Sifat dan kekuasaan seorang imam hampir

sama dengan Nabi.7

3. Syi’ah Zaidiyah

Disebut Zaidiyah karena aliran ini mengakui Zaid bin Ali sebagai

imam kelima, putra imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda

dengan aliran Syi’ah lain yang mengakui Muhammad al-Baqir putra Zainal

Abidin yang lain, sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, nama

Zaidiyah diambil. Syi’ah Zaidiyah merupakan aliran Syi’ah yang moderat.

Dan aliran ini merupakan aliran yang lebih dekat dengan Sunni.8

Golongan Zaidiyah mengharuskan imamah pada putera Ali dari

Fatimah. Namun bukan dengan jalan wasiat. Harus diangkat melalui

pemilihan ahlul Halli wal Aqdi dan dapat diangkar segala Fathimi yang

berilmu luas yang mempunyai keberanian bertindak, yang bersifat murah

tangan yang tidak gemar kepada kemewahan dunia. Dan dapat menjadi

khalifah segala Fathimi yang menghendaki supaya diangkat atau diakui

sebagai kepala negara, baik dia dari keturunan al-Hasan maupun al-Husain.9

4. Syi’ah Ghulat

Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw, artinya

bertambah dan naik. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan menjadi

ekstrim sehingga melampaui batas. Syi’ah Ghulat adalah kelompok

pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim. Kelompok

ini menempatkan Ali pada derajat keTuhanan, dan ada pula yang mengangkat

pada derajat keNabian, bahkan lebih tinggi daripada Muhammad.10

7Ibid, hlm. 98. 8Ibid, hlm. 101. 9T.M. Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 2009), hlm. 116-117. 10Rosihan Anwar & Abdul Rozak, Op.cit., hlm. 105.

7

Page 8: Aliran Syi'Ah

Aliran Syi’ah Ghulat berpendapat bahwa ke-Nabian sebenarnya adalah

hak Ali. Jibril telah khilaf sewaktu datang membawa wahyu. Jibril datang

kepada Muhammad lantaran ada kemiripan antara keduanya, seperti buruk

gagak yang menyerupai burung gagak yang lainnya.11

Secara umum ada empat doktrin yang membuat aliran ini ekstrim,

yaitu tamasukh, bada’, raj’ah, dan tasbih. Tamasukh adalah keluarnya roh

dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham ini diambil

dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu yang berkeyakinan bahwa roh

disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi

pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang

lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya,

sehingga ada yang menyatakan seperti berpindah kepada Abdullah bin

Muawiyyah bin Abdullah bin Ja’far, bahwa roh Allah berpindah kepada

Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.

Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya

sejalan dengan perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan suatu

perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya. Sedangkan Raj’ah ada

hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa imam

Mahdi al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini

merupakan ajarah seluruh Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang

siapa yang akan kembali. Sebagian menyatakan bahwa yang akan kembali itu

adalah Ali, sedangkan sebagian menyatakan bahwa yang datang adalah Ja’far

ash-Shadiq, Muhammad bin al-Hanafiyah, bahkan ada yang mengatakan

Mukhtar ats-Tsaqafi.

Tasbih, artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat

menyerupakan salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan

Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh

dengan khalik.

Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan

semua bahasa, dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah

Ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus

disembah.

11T.M. Hasbi ash-Shiddiqy, Op.cit., hlm. 118.,

8

Page 9: Aliran Syi'Ah

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa:

1. Aliran Syi’ah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan

keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad Saw, atau

orang yang selalu disebut ahl al-bait.

2. Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali

dan Muawiyyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini

sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan

Muawiyyah. Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok

mendukung sikap Ali, kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak sikap

Ali, kelak disebut Khawarij.

3. Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah tidak dapat

mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalan sejarah kelompok ini akhirnya

terpecah menjadi beberapa sekte atau lairan. Perpecahan ini terutama dipicu

oleh masalah doktrin Imamah. Di antara sekte-sekte Syi’ah itu adalah:

a. Syi’ah Istina’ ‘Asyariyah (Syi’ah dua

belas/Syi’ah Imamiyah)

b. Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)

c. Syi’ah Zaidiyah

d. Syi’ah Ghulat

4. Aliran Syi’ah Ghulat berpendapat bahwa ke-Nabian sebenarnya adalah hak

Ali. Jibril telah khilaf sewaktu datang membawa wahyu. Jibril datang kepada

Muhammad lantaran ada kemiripan antara keduanya, seperti buruk gagak

yang menyerupai burung gagak yang lainnya

5. Golongan Zaidiyah mengharuskan imamah pada putera Ali dari Fatimah.

6. Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah tidak dapat

mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalan sejarah kelompok ini akhirnya

terpecah menjadi beberapa sekte atau lairan. Perpecahan ini terutama dipicu

oleh masalah doktrin Imamah.

7. Syarat-syarat Imam menurut Aliran Syi’ah Sab’iyah adalah:

a. Imam harus berasal dari keturunan Ali.

b. Imam harus berdasarkan penunjukan atau

nash.

c. Keimaman jatuh kepada anak tertua.

9

Page 10: Aliran Syi'Ah

d. Imam harus maksum.

e. Imam harus dijabat oleh dijabat seorang

yang paling baik.

B. Saran-saran

Setelah mempelajari dan mengetahui pembahasan tentang Aliran Syi’ah

ini, maka penulis menyarankan:

1. Sebagai umat Islam yang mempunyai keyakinan

(akidah) yang sama, bahwa Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan kita

jangan terpengaruh terhadap paham-paham atau aliran yang berpendapat yang

salah terhadap sifat dan Zat Allah Swt.

2. Walaupun berbeda dalam pandangan syari’at, kita

tidak boleh berbeda pandangan terhadap akidah yang telah digariskan oleh

Alqur’an dan hadis.

3. Janganlah kita mencari suatu hukum tertentu seperti

yang dilakukan oleh beberapa aliran hanya untuk mencapai tujuan politik

tertentu.

10

Page 11: Aliran Syi'Ah

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Asy’ari, Abul Hasan Ali bin Ismail. Maqalaat al-Islamiyyiin waikhtilaff, (Diterjemahkan oleh Nasir Yusuf dkk), Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Anwar, Rosihan & Abdul Rozak, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Ash-Shiddiqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Sou’yb, Joesoef Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000.

11