Aliran Dan Corak Tafsir,

31
BAB I PENDAHULUAN Al Qur’anul Karim merupakan kalamullah yang menjadi pedoman hidup seorang muslim. Adapun penafsiran makna yang terkadung didalam al Qur’an sudah barang tentu dimulai sejak Rasulullah Saw menyampaikan risalah kenabiannya. Ketika jumlah wahyu yang disampaikan bertambah banyak yang diringi pula dengan pertumbuhan orang-orang yang beriman, maka Nabi mendelegasikan sebagian tugasnya pada para sahabatnya untuk menyebarkan wahyu tersebut ke daerah tertentu sebagai bentuk menyebarluaskan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Adapun setelah wafatnya Rasulullah Saw, orang- orang yang didelegasikan Rasul tersebut akhirnya membentuk pusat-pusat studi al Qur’an. Sebagai akibat perbedaan karakter dan kepribadian guru yang didelegasikan Rasulullahi Saw, maka lahirlah perbedaan- perbedaan antara mufassir yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan penafsiran dalam banyak hal ditentukan oleh karakter kepribadian, kapasitas imtelektual serta lingkungan mufassirnya. Dengan semakin banyaknya cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia islam dengan sendirinya menjadikan pluralitas penafsiran dan 1

description

menjelaskan aliran dan cvorak tafsir al quran

Transcript of Aliran Dan Corak Tafsir,

BAB IPENDAHULUAN

Al Quranul Karim merupakan kalamullah yang menjadi pedoman hidup seorang muslim. Adapun penafsiran makna yang terkadung didalam al Quran sudah barang tentu dimulai sejak Rasulullah Saw menyampaikan risalah kenabiannya. Ketika jumlah wahyu yang disampaikan bertambah banyak yang diringi pula dengan pertumbuhan orang-orang yang beriman, maka Nabi mendelegasikan sebagian tugasnya pada para sahabatnya untuk menyebarkan wahyu tersebut ke daerah tertentu sebagai bentuk menyebarluaskan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.Adapun setelah wafatnya Rasulullah Saw, orang-orang yang didelegasikan Rasul tersebut akhirnya membentuk pusat-pusat studi al Quran. Sebagai akibat perbedaan karakter dan kepribadian guru yang didelegasikan Rasulullahi Saw, maka lahirlah perbedaan-perbedaan antara mufassir yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan penafsiran dalam banyak hal ditentukan oleh karakter kepribadian, kapasitas imtelektual serta lingkungan mufassirnya. Dengan semakin banyaknya cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia islam dengan sendirinya menjadikan pluralitas penafsiran dan karakternya menjadi semakin terbuka luas kemungkinannya.[footnoteRef:2] [2: Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 2.]

Makalah ini akan memaparkan aliran-aliran yang berkembang di dalam penafsiran al Quran beserta loan (corak) dari suatu aliran tasir tersebut sebagai akibat dari perbedaan setiap karakter dan kepribadian para mufassir dalam memahami makna yang terkandung didalam al Quranul karim sebagai pedoman hidup seorang muslim.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Sejarah Kunci Perkembangan Aliran Tafsir al QuranAl Quranul Karim merupakan salah satu dasar hukum yang menjadi rujukan atas setiap problematika sosial umat manusia. Sebagai implikasinya, al Quran selalu dikaji dan dipahami agar dapat menyingkap dan menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat didalamnya untuk dijadikan sebagai rujukan dan mitra dialog dalam menyelesaikan problem kehidupan yang mereka hadapi. Pemahaman al Quran melalui mufassir yang memiliki karakteristik dan latar belakang kurtural yang berbeda satu sama lain, menghasilkan suatu metode dan produk tafsir yang berbeda satu sama lain dan sebagai impilkasinya akan menghasilkan aliran dan corak yang berbeda dari setiap mufassir.Sebelum berbicara tentang aliran dan corak mufassir, di sini penulis merasa perlu untuk menghadirkan sejarah munculnya aliran tafsir dalam menafsirkan ayat suci al Quran. Hal ini penting dilakukan karena dengan menghadirkan perkembangan aliran tafsir al Quran dari masa ke masa, akan membantu para membaca memahami apa yang melatar belakangi munculnya aliran dan corak dalam tafsir al Quran. 1. Tafsir Era Formatif dengan Nalar Quasi-KritisTafsir nalar quasi-kritis merupakan sebuah model atau cara berfikir yang kurang memaksimalkan penggunaan rasio (rayi) dalam menafsirkan al Quran dan juga belum juga mengemukakan budaya kritisme. Tafsir era formatif yang berbasis pada nalar quasi-kritis sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad Saw hingga kurang lebih sampai abad kedua Hijriyah.Adapun karakteristik dari aliran quasi nalar kritis memiliki cirri-ciri seperti:[footnoteRef:3] [3: Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis Group, 2011), hlm. 35.]

a. Penggunaan simbol-simbol tokoh dalam mengatasi persoalan. Dalam konteks penafsiran, simbol tokoh seperti nabi, parasahabat dan bahkan para tabiin cenderung dijadikan sebagai rujukan utama dalam penafsiran al Quran.b. Cenderung kurang kritis dalam menerima produk penafsiran. Posisi teks menjadi sangat sentral sehingga model berfikir deduktif lebih mengemuka dari pada induktif.c. Dalam priode ini, model tafsir bi ar-riwayah lebih dominan, sedangkan tafsir bi ar-rayi cenderung dihindari bahkan dicurigai.Nalar quasi kritis dalam konteks penafsiran Nabi tidak dimaksudkan untuk menunjukkan kesan negatif, tetapi sekedar menunjukkan bahwa penafsiran Nabi tidak pernah salah dan dipercaya bergitu saja tanpa kritik. Sebab, ada satu keyakinan bahwa seluruh tafsir Nabi adalah wahyu, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah QS. an Najm ayat 3 sampai 4. Padahal sebenarnya tidak semua yang keluar dari bibir Nabi adalah wahyu sebab beliau juga berijtihad. Dengan demikian nalar quasi-kritis cenderung menggunakan otoritas dan ketokohan Nabi, para sahabat, dan juga para tabiin dimana validitas sebuah penafsiran diukur berdasarkan ketokohannya, mengingat mereka dianggap sebagai orang yang secara otoritatif lebih dekat dengan pengarang teks (Tuhan).[footnoteRef:4] [4: Ibid, hlm. 36.]

Ahmad asy Syirbasyi menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak menafsirkan (menjelaskan makna) ayat-ayat al Quraan mengikuti fikiran beliau semata, tetapi menurut wahyu ilahi.[footnoteRef:5] Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmannya: [5: Ahmad Asy Syirbasi, Sejarah Tafsir Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm 67.]

keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An Nahl [016]: 44

dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. An Nahl [016]: 44)Setalah Nabi wafat, tradisi penafsiran al Quran dilakukan oleh para sahabat seperti Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Masud, Ubay ibn Kaab, Zayd ibn Tsabit, dll. Adapun tradisi penafsiran al Quran di era sahabat apabila mereka tidak menemukan riwayat dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran, mereka menempuh metode penafsiran dengan menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lainnya yang mempunyai relevansi. Sebab ada keyakinan bahwa ayat-ayat al Quran itu saling menafsirkan satu sama lainnya.Setelah berakhirnya masa sahabat, tradisi penafsiran al Quran dilanjutkan oleh generasi tabiin dengan pola yang relative sama. Hal yang membedakan antara tradisi penafsiran era sahabat dengan era tabiin barangkali hanya pada persoalan sekretarianisme. Pada era sahabat belum muncul sekretarianisme aliran-aliran tafsir secara tajam, sementara di era tabiin sudah mulai muncul aliran-aliran tafsir berdasarkan kawasan. Paling tidak ada tiga aliran yang menonjol di era tabiin: a. Aliran Makkah yang dipelopori oleh Said bin Jubair, Ikrimah dan Mujahid ibn Jabarb. Aliran Madinah, yang dipelopori oleh Muhammad bin Kaab, zaid ibn Azlam al Qurazhi dan Abu Aliyah.c. Aliran Irak, dimana tokoh-tokohnya adalah Alqamah ibn Qays, Amir asy Syabi, Hasan al Bashri dan Qatadah ibn Diamah as Sadusid. Aliran Basrah, tokoh-tokhnya antara lain ibn Sirin, Jabir ibn Zayd al Azdi dan Abu Syasaya

2. Tafsir Era Afirmatif dengan Nalar IdeologisSetalah selesainya masa tabiin, pada priode brikutnya perkemabangan tafsir memasuki era afirmatif yang berbasis nalar ideologis, yaitu ketika tradisi penafsiran al Quran lebih di dominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, madzhab atau ideologi keilmuan tertentu, sehingga al Quran seringkali diperlakukan sekedar sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tersebut.Pada era ini, penafsiran akan bertahan lama jika didukung oleh penguasa. Kegiatan penafsiran al Quran seolah tidak dilandasi oleh tujuan bagaimanan menjadikan al Quran sebagai hidayah, melainkan sekedar sebagai alat legitimasi bagi disiplin ilmu tertentu yang dikuasai mufassirnya, atau untuk mendorong kekuasan dan madzhab tertentu. Sebagai implikasinya, tolak ukur kebenaran penafsiran tergantung pada siapa penguasanya. Nashr Hamid Abu Zaid memandang tradisi penafsiran era pertengahan ini bersifat talwiniyyah mughridhah (pewarnaan ideologis-tandensius). Akibatnya, ketika ada penafsiran yang berbeda denagn mainstream dan kepentingan penguasa atau madzhab tertentu maka ia akan dianggap sebagai bentuk penyimpangan tafsir (at tafsir al munharif).[footnoteRef:6] [6: Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis Group, 2011), hlm.50.]

Kecenderungan truth claim sangat menonjol di era ini, sehingga yang berbeda dengan mainstream penafsiran umat islam sering kali dianggap sebagai tafsir yang tercela (at tafsir al madzmum). Tidak hanya itu, muncul pula tradisi pengkafiran apabila terjadi perbedaan penafsiran diantara ulama. Salah satu contohnya adalah tafsir Haqaiq at Ttafsir karya Abu Abdurrahman as Sulami, yang dinilai oleh Ibn Shalah dan az Zahabi sebagai tafsir yang banyak cacat, dituduh bidah, berbau syiah dan didalamnya banyak hadits maudhu.Terkait dengan hal ini, Ibn Shalah menyatakan, saya temukan pendapat dari Imam al Wahidi bahwa Abdurrahman telah menulis kitab Haqaiq at Tafsir, apabila ia berkeyakinan bahwa kitabnya itu adalah tafsir maka ia benar-benar telah kufur. Komentar Ibn Shalah merupakan salah satu bukti klaim kufur terhadap para mufassir yang berbeda dengan ideologi madzhabnya yang cukup mengemuka di abad pertengahan.[footnoteRef:7] [7: Ibid,hlm. 46.]

3. Tafsir era reformatif dengan nalar kritisPerkembangan sejarah tafsir selanjutnya adalah penafsiran al Quran yang berbasis pada nalar kritis dan bertujuan transformatif. Era reformatif dengan nalar kritis ini dilatarbelakangi oleh sikap-sikap sekreatarianisme di era afirmatif yang mendorong lahirnya kritik dari para pemikir dan mufassir modern. Mereka berupaya mendekontruksi dan merekontruksi model penafsiran yang dinilai terlalu jauh menyimpang dari tujuan al Quran. Era ini dimulai dengan tokoh-tokoh Islam seperti Sayyid Ahmad Khan dengan karyanya Tafhim al Quran dan Muhammad Abduh dengan karya tafsirnya Al Manar yang terpanggil melakukan kritik terhadap produk penafsiran ulama terdahulu yang dianggap tidak relevan. Langkah Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh kemudian dilanjutkan oleh para mufassir kontemporer seperti, Fazlul Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammed Akroun dan Hassan Hanafi.[footnoteRef:8] [8: Ibid, hlm 52.]

Kecenderungan dari tafsir kontemporer meniscayakan al Quran untuk terus ditafsirkan seiring dan senafas dengan perubahan, perkembangan serta problem yang dihadapi manusia modern-kontemporer. Para mufassir kontemporer memegang asumsi bahwa prinsip-prinsip al Quran akan senantiasa relevan dengan waktu dan tempat (Shalih li kulli zaman wa makan). Salah satu diktum yang selalu menjadi jargon para mufassir kontemporer berbunyi: al Quran itu abadi, namun penyajiannya selalu konstektual sehingga meskipun ia turun di Arab dan menggunakan bahasa Arab, tetapi ia berlaku universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia.[footnoteRef:9] Dengan demikian, para mufassir kontemporer berusaha menafsirkan ayat-ayat al Quran dengan semangat zamannya. [9: Ibid, hlm. 63. ]

Aliran tafsir kontemporer cenderung mengandung arti bahwa paradigma tafsir era formatif adan afirmatif yang cenderung deduktif-normatif-tekstual perlu diubah dan diganti dengan paradigma induktif-kritis-konstektual. Konsekuensinya, akan muncul adanya perubahan, perbedaan, dan bahkan mungkin kontradiksi antara hasil penafsiran yang menggunakan paradigma baru dengan hasil penafsiran terdahulu yang telah dibukukan dalam liteatur kitab tafsir.Selain itu, corak dari tafsir di era kontemporer ini memiliki karakteristik ilmiah, kritis dan non-sekretarian. Dikatakan ilmiah karena produk tafsirnya dapat diuji kebenarannya berdasarkan metodologi yang dipakai mufassir dan siap menerima kritik dari komunitas akademik. Dikatakan kritis dan non-sekretarian karena karena umumnya para mufassir tidak terjebak pada kungkungan madzhab. Mereka justru mencoba bersikap kritis terhadap pendapat-pendapat para ulama klasik maupun kontemporer yang dianggap sudah tidak kompatibel dengan era sekarang.[footnoteRef:10] [10: Ibid, hlm 65.]

Adapun salah satu contoh dari mufassir kontemporer adalah gagasan cerdas Muhammad Thaha yang mencoba mendekontruksi teori naskh konventional barangkali adalah salah satu contoh yang baik bagi produk penafsiran kontemporer dalam merespons problematika kontemporer, khususnya terkait dengan upayanya menghilangkan deskriminasi terhadap manusia atas perbedaan ras, agama, dan gender.[footnoteRef:11] Hal ini juga dilakukan oleh mufassir feminis yang bertujuan memposisikan laki-laki dan perempuan sama secara seterata dan derajatnya, seperti Asghar Ali Engineer yang mengajukan bukti-bukti bahwa posisi laki-laki dan perempuan sama di dalam al Quran.[footnoteRef:12] Selain itu ada juga Muhammad Syahrur, seorang mufassir yang menggunakan tawil ilmi sebagai metodologinya, yaitu pemanfaatan ilmu-ilmu pengetahuan dalam penafsiran ayat suci al Quran. [11: Ibid, hlm 79.] [12: Ibid, hlm. 71.]

Produk-produk dari mufassir di era kontemporer dapat diterima oleh umat islam jika ia memang dapat memberikan solusi konkret atas problem sosial yang dihadapi umat manusia, karena pada hakikatnya, penafsiran ayat suci al Quran tidak hanya bertujuan untuk memahami ayat, melainkan juga untuk diamalkan dan dijadikan solusi alternatif atas problem yang dihadapi umat islam. Dengan kata lain, kebenaran sebuah produk penafsiran tidak lagi hanya diukur secara teoritis diatas meja, melainkan dibuktikan secara praktis dilapangan, dalam arti sejauh mana produk penafsiran itu mampu memberikan solusi alternatif atas problem sosial umat islam

B. Corak TafsirPerkembangan penafsiran al Quran dari masa ke masa akhirnya menghadirkan suatu aliran tafsir yang beraneka ragam dalam memahami makna yang terkandung dalam setiap ayat-ayat al Quran yang nantinya akan dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan problematika umat. Perkembangan penafsiran al Quran yang juga dipengaharui oleh latar belakang keilmuan dan budaya mufassir menghasilkan aliran dan corak yang beraneka ragam dalam penafsiran ayat suci al Quran, sehingga memunculkan adanya perubahan, perbedaan, dan bahkan mungkin kontradiksi antara hasil penafsiran yang menggunakan paradigma baru dengan hasil penafsiran terdahulu yang telah dibukukan dalam literatur kitab tafsir.Corak tafsir merupakan kecenderungan yang dimiliki oleh masing-masing mufassir mengenai sudut pandang mereka dalam menafsirkan ayat-ayat suci alquran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Corak tafsir merupakan kecenderungan para mufassir yang muncul didalam metode tafsir tahlili. Al Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir yaitu corak tafsir al Masur, al Rayu, Sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi Ijtimai.[footnoteRef:13] [13: Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 24.]

1. Tafsir bi al MatsurMerupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khasanah intelektual islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al Quran al Karim ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan riwayat Nabi Saw, para sahabat dan juga dari tabiinDiantara kitab-kitab tafsir yang disusun berdasarkan metode ini adalah Jamial Bayan fi Tafsir al Quran buah karya Ibn Jabir al Thabari dan tafsir al Quran al Adzhim oleh Ibnu Katsir.2. Tafsir bi al RayMerupakan kecenderungan mufassir dalam menafsirkan al Quran dengan ijtihad dan penalaran. Tafsir bi al ray muncul sebagai sebuah metodologi pada priod akhir pertumbuhan tafsir al matsur. Tidak tertutup kemungkinan kalau sejak zaman Rasulullah Saw benih-benih tafsir bi al ray telah tumbuh dikalangan umat Islam. Perlu ditegaskan bahwa tafsir bi al ray tidak semata-mata didasari pada penalaran akal dengan mengabaikan sumber riwayat secara mutlak.Dalam konteks ini, penafsiran dengan metode ray bersifat lebih selektif terhadap riwayat. Sehingga, secara kuantitas porsi riwayat di dalam tafsirnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar ijtihad. Begitu pula halnya dengan tafsir yang mengikuti metode riwayat, tidak sama sekali terleps dari penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil.Ada sejumlah kualifikasi yang dibuat ulama sehubungan dengan penafsiran al Quran dengan metode ini. Persyaratan-persyaratan tersebut secara umum terdiri atas dua aspek, yaitu intelektual dan moral. Dari segi intelektual seorang mufassir diharuskan benar-benar memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk penafsiran ini. Pengetahuan-pengetahuan tersebut mulai dari ilmu bahasa arab yang mencakup ilmu gramatika dan sastra , ilmu ushuluddin, hukum, hadis dan ilmu-ilmu al Quran lainnya. Penafsir yang menggunakan metode ray juga dituntut harus memiliki aspek mental dan moral terpuji, jujur, ikhlas, loyal, bertanggung jawab serta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi dan kecenderungan terhadap aliran madzhab tertentu.[footnoteRef:14] [14: Ibid, hlm. 44.]

Diantara kitab-kitab tafsir yang mengikuti mtode ini adalah Mafatif al Ghaib karya Fakhrudin al Razi dan Anwar al Tamzil wa Azrar al Tawil karya al Baidhawi 3. Tafsir al ShufiMerupakan corak tafsir yang identik dengan al Isyari, yaitu suatu metode penafsiran al Quran yang lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris. Penafsiran yang mengikuti kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan persoalan-persoalan moral batin dibandingkan dengan masalah zahir dan nyata. Diantara tafsir yang mengikuti corak ini adalah Tafsir al Quranil al Karim oleh al Tusturi dan Haqaiq al Tafsir karya al Salami 4. Tafsir al FiqhiMerupakan salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum kalam. Tafsir jenis ini banyak sekali terdapat dalam sejarah islam terutama setelah mazhab fiqih berkembang pesat. Sebagian di antaranya memang disusun untuk membela suatu mazhab fiqh tertentu.Diantara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Ahkam al Quran oleh al Jashash dan al Jami li Ahkam al Quran karya al Qurthubi5. Al Tafsir al-FalsaliMerupakan corak tafsir yang berusaha menafsirkan ayat al-Quran dengan pendekatan teori-teori filsafat, baik yang berusaha melakukan sintesis (paduan) dan siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat al-Quran maupun yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan al-Quran. Diantara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb karya al-Razi yang menggunakan ilmu kalam dan semantik (logika) dalam kitab tafsirnya.6. Al- Tafsir al-IlmiMerupakan corak tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan pendekatan ilmiah yakni berusaha mencarai makna yang terkandung di dalam al quran dengan pendekatan berbagai ilmu pengetahuan.Diantara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Jawahir fi al-Quran oleh Tantawi Jauhari, Al- Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah karya Hafmi Ahmad, dan al Ghida wa al-Dawa karya Dr. Jamaluddin al-Fandi.7. Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtimai, al-Adabi Merupakan salah satu corak tafsir yang lebih menekankan pada permasalahan social kemasyarakatan. Adapun salah satu kitab tafsir yang masuk dalam kategori ini adalah Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridho dan Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Quran Karim karya Mahmud Syaltut.

C. Tokoh-Tokoh MufassirAdapun aliran serta corak tafsir dalam al Quran terlihat dari beberapa tokoh mufassir yang karyanya sering dijadikan rujukan bagi orang-orang yang ingin mendalami kandungan ayat suci al Quran diantaranya:1. Al FarraAbu Zakariaya Yahya Ibn Ziyad Ibn Abdillah Ibn Manzur al Dailani adalah nama lengkapanya. Al Farra adalah penulis kitab tafsir Maani al Quran. Ia dilahirkan pada tahun 144 Hijriyah. Menurut Ibn al Anbari, gelar al Farra adalah untuk penghargaan baginya lantaran kepiawaiannya dalam mensistematisasi persoalan.[footnoteRef:15] [15: Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm.4.]

Semasa hidupnya, al Farra hidup dilingkungan yang mendukung perkembangan intelektualnya terutama kapasitasnya sebagai peminat studi bahasa telah mempengaharui secarasignifikan atas karya tafsirnya ini. Kapasitas intelektualnya di bidang gramatikal bahasa menjadikannya sebagai seorang tokoh besar Kuffah pasca al Kissai.[footnoteRef:16] [16: Ibid, hlm 6.]

Adapun karakteristik penafsiran al Quran seperti dalam karyanya Maani al Quran lebih menekankan pada pemecahan problem Irabi al Quran di samping pemaknaannya.ia lebih berminat pada penggalan ayat-ayat tertentu. Kadang yang menrik perhatiannya itu berupa syakal dari kalimat tertentu saja. Misalnya dalam kasus tertentu dalam surat al Fatihah, adalah harakah lazaf al hamdu atau tidak diberi vokalnya huruf-huruf muqattaah di awal beberapa surat seperti di awal surat al baqarah.[footnoteRef:17] [17: Ibid, hlm. 16.]

Disini terlihat bahwa al Farra memilih obyek kajiannya pada satu kata saja atau bagian-bagian tertentu saja dalam sebuah ayat sebagai sasaran bidik kupasan penafsirannya. Akan tetapi pada uraian mengenai ayat-ayat dalam surat-surat akhir dalam mushaf tampaknya ia perlu menuliskan keseluruhan ayat secara lengkap dalam satu surat seperti dalam kasus surat al Aldiat.[footnoteRef:18] Selain itu, tafsir al farra cenderung bercorak tradisionalis menggunakan metode periwayatan (deduktif), yaitu karya tafsir yang disajikan melalui sistem periwayatan dan disertai sedikit analisis, sebatas kaidah-kaidah kebahasaan, mengingat al Farra hidup dimasa tabiin [18: Ibid, hlm.17]

2. Ibn Jabir at ThabariIbnu Jabir at Thabari memiliki nama lengkap Abu Jafar Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalib al Tabari al Amuli. Tanah kelahirannya di kota Amul, ibu kota Thabaristan, Iran. Kitab tafsir karya at Thabari memiliki nama ganda yang dijumpai di berbagai perpustakaan; pertama, Jami al Bayan An Tawil Ay Al Quran (Beiru: Dar al Fikr, 1995 dan 1998), dan kedua bernama Jami al Bayan fi Tafsir al Quran (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1992), terdiri dari 20 juz/jilid besar. Al Thabari mencoba mengelabrasi terma takwil dan tafsir menjadi sebuah konstruksi pemahaman yang utuh dan holistik. Baginya kedua istilah itu adalah mutaradhif (sinonim). Keduanya merupakan piranti intelektual untuk memahami kitab suci al Quran yang pada umumnya tidak cukup hanya dianalisis melalui kosakatanya, tetapi memerlukan peran aktif logika dan aspek-aspek penting lainnya, seperti munasabah ayat, dan atau surat, tema (maudu), asbab al nuzul dan sebagainya.Adapun corak dari karakteristik imam at Thabari adalah sebagai berikut:[footnoteRef:19] [19: Ibid, hlm. 33]

a. Menempuh jalan tafsir dan atau takwilb. Melakukan penafsiran ayat dengan ayat (munasabah) sebagai aplikasi norma tematis al Quran yufassiru baduhu badc. Menafsirkan al Quran dengn as Sunanh/ al Hadits (bi al Masur)d. Bersandar pada analisis bahasa (lugah) bagi kata yang riwayatnya diperselisihkane. Mengeksplorasi syair dan menggali prosa Arab (lama) ketika menjelasakan makna kosa kata dan kalimatf. Dalam menentukan makna yang paling tepat dalam sebuah lafadz, ia juga menggunakan ar rayu.g. Memperhatikan aspek irab dengan peruses pemikiran analogis untuk ditashih dan tarjihh. Pemaparan ragam qiraat dalam rangka mengungkapkan (al kasyf) makna ayati. Membeberkan perdebatan di bidang fiqh dan teori hokum islam (ushul fiqh) untuk kepentingan analisis dan istinbat hukumj. Mencermati korelasi (munasabah) ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam kadar yang relative lebih kecil.k. Melakukan sinkronisasi antar makna ayat untuk menangkap maksa secara utuh.l. Melakukan kompromi (al jamu) antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif (taarud) dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.

3. Al ZamakhsyariAbd al Qasim Mahmud Ibn Muhammad Ibn Umar al Zamakhsyari merupakan nama lengkap dari al Zamaksyari. Ia dilahirkan di Zamkhsyar, sebuah kota kecil di kota Khawariami pada hari Rabu 27 Rajab 467 H, atau 18 Maret 1075 M. Adapun karyanya adalah kitab tafsir al Kasysyaf an Haqaiq al Tanzil wa Uyun al Aqawil fi Wujuh al Tawil yang terkenal dengan sebutan kitab tafsir al Khasysyaf.[footnoteRef:20] [20: Ibid, hlm. 44]

Adapun corak dari karakterisitik penafsiran imam al Zakakhsyari adalah sebagai berikut:[footnoteRef:21] [21: Ibid, hlm.54]

a. Sebagian besar penafsirannya berorientasi pada rasio (rayu), sehingga tafsir al Khasysyaf bercorak tafsir bi al rayi, meskipun dalam beberapa penafsirannya menggunakan dalil Naqli seperti dalam penafsirannya tentang surah al Baqarah ayat 144.b. Penafsiran Imam al Zamakhsyari lebih banyak berorientasi pada aspek balaghah, untuk menyingkap keindahan dan rahasia yang terkandung dalam al Quran dengan menguraikan makna secara jelas dan tidak bertele-tele.c. Perinsip-perinsip penafsirannya sangat dipengahrui oleh prinsip-perinsip muktazilah seakan-akan tafsir al Kasysyafnya merupakan pembelaan mazhab mutazilah. Bahkan beberapa cendekian muslim seperti Ibn Khaldun, Imam Busykal, Haidar al Harawi, Muhammad Husein al Zahabi menilai bahwa tafsir al Kasysyaf karya imam al Zamakhsyari tidak lebih dari sebagai tafsir yang fanatisme terhadap paham mutazilah. Hal ini terlihat ketika Imam al Zamakhsyari menafsirkan QS. Al Qiyamah [75]: 22-23 sebagai berikut.

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS. Al Qiyamah [75]: 22-23)

Al Zamakhsyari mengesampingkan makna lahir nazirah (melihat), sebab menurut Mutazilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata nazirah diartikan dengan al raza (menunggu, mengharapkan).[footnoteRef:22] [22: Ibid, hlm. 56.]

4. Imam al QurtubiAbu Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibn Farh al Ansari al Khazraji al Qurtubi al Maliki adalah nama lengkap dari al Imam al Qurtubi. Imam al Qurtubi dianggap sebagai salah satu tokoh yang bermazhab Maliki.[footnoteRef:23] Ia adalah penulis kitab tafsir al Jami li Ahkam al Quran wa al Mubayyin Lima Tadammanah min al Sunnah wa Ay al FurQan,[footnoteRef:24] atau yang lebih sering kita kenal dengan tafsir al Qurtubi. [23: Ibid, hlm. 65.] [24: Ibid, hlm. 67.]

Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al Qurtubi ke dalam tafsir yang mempunyai corak (laun) Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam karena dalam menafsirkan al Quran lebih banyak dikaitkan dengan permasalahan hukum. Tafsir Imam al Qurtubi cenderung bercorak mazhab Fiqh al Maliki namun tidak terlalu terikat dengan mazhabnya seperti dalam penafsiran firman Allah

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'. (QS. Al Baqarah [02]: 43)

Imam al Qurtubi membagi ayat ini menjadi 34 bahasan masalah. Diantara masalah yang manarik adalah pada masalah ke-16. Ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam solat. Diantara tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al Sauri, Malik dan Ashab al Ray. Dalam masalah ini, al Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya dengan pernyataannya, Anak kecil boleh menjadi imam solat jika memilki bacaan yang baik.

5. Ibn TaimiyyahTaqqiyuddin Abul Abbas Ahmad Ibn Abdul Halim Ibn Muhammad Ibn Taimiyyah al Harrani atau yang lebih dikenal sebagai Ibn Taimiyah. Ia dilahirkan pada tanggal 10 Rabiul Awal 661 H/ 22 Januari 1263 M di Harran dekat Damaskus Syiria.[footnoteRef:25] Ibn Taimiyah merupakan penulis tafsir al Quran yang secara keseluruhan dihimpun oleh Abdurrahman Muhammad Ibn Qasim al Ashimi Anajdi al Hanbali dalam empat jilid. Tafsir tersebut dimuat dalam Majmu Fatawa Syaikh al Islam Ahmad Ibn Taimiyah jilid 14 sampai dengan 17. [25: Ibid, hlm. 80.]

Tafsir Ibn Taimiyah tidak menggunakan penafsiran kecuali dengan penafsiran masur. Ia berhenti menafsirkan jika tidak menemukan hadits yang diriwayatkan para sahabat dan tabiin.[footnoteRef:26] Ia mencurahkan perhatian pada ikhtiar menemukan solusi al Quran terhadap permasalahan yang dihadapi dilingkungannya. Untuk itu terkadang Ia menghimpun berbagai ayat yang tersebar dalam al Quran mengenai persoalan tertentu dan menghadirkan sejumlah hadits yang menjelaskan persoalan tersebut, mengutip nash-nash dari ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabiin. Corak tafsir yang demikian, seperti disebut Muhammad al Junaid, mendekati apa yang dewasa ini dikenal dengan tafsir al Quran al maudui (tematik).[footnoteRef:27] Hamim Ilyas menanbahkan bahwa tafsir Ibn taimiyyah memadukan naql dan rayu secara harmonis.[footnoteRef:28] Ibn Taimiyyah menggunakan akal secara kritis dalam menyimpulkan pesan al Quran tersebut. [26: Ibid, hlm. 86.] [27: Ibid, hlm. 89.] [28: Ibid, hlm. 99.]

6. Ibn KasirImad al Din Ismail Ibn Umar ibn Kasir al Qurasy al Dimasyqi adalah nama lengkap dari pengarang kitab Ibn Kasir. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Abu al Fida. Ia lahir di Basrah tahun 700H/ 1300 M. mengenai nama tafsir ini, Ibnu Kasir tidak menyebutkan judul/nama bagi kitab tafsirnya, akan tetapi para penulis sejarah tafsir al Quran seperti Muhammad Husain al Zahabi dan Muhammad Ali al Sabuni menyebut tafsir Ibn Kasir ini dengan sebutan Tafsir al Quran al Azim. Dalam berbagai setakan yang terbit pun pada umumnya diberi judul Tafsir al Quran al Azim, namun ada pula yang memakai nama Tafsir Ibn Kasir.[footnoteRef:29] [29: Ibid, hlm 135.]

Kitab Ibn Kasir ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al laun wal al ittijah) tafsir bi al masur/ tafsir al riwayah, karena dalam tafsir ini ia sangat dominan memakai riwayat/hadis, pendapat sahabat dan tabiin. dapat dikatakan bahwa dalam tafsir ini yang paling dominan ialah pendekatan normative-historis yang berbasis utama kepada hadis (riwayah). Namun, Ibn Kasir pun terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat-ayat suci al Quran tertentu.

BAB IIIKESIMPULAN

Al Quran sebagai sebagai pedoman hidup yang bersifat universal akan senantiasa relevan dengan waktu dan tempat (Shalih li kulli zaman wa makan). Penafsiran dan pemahaman makna dibalik ayat-ayat al Quran sejak dari zaman Rasullah Saw sampai masa kontemporer saat ini selalu mengalami perkembangan sesuai dengan semangat zaman. Hal ini mendorong lahirnya aliran-aliran tafsir sebagai salah satu alternative dalam menyelesaikan probelmatika masyarakat meski kadang kala berbeda satu sama lain baik dalam hal Tartib (sitematika), manhaj (metode), loan (corak tafsir),dll.Penafsiran al Quran akan berlangsung terus menerus hingga akhir zaman. Hal ini tentu sangatlah penting agar al Quran tidak kehilangan relevansinya dengan perkembangan zaman. Meskipun selama ini sudah banyak kitab tafsir yang ditulis oleh mufassir, maka tidaklah perlu ada sakralisasi terhadap penafsiran karena sakralisasi penafsiran al Quran akan menyebabkan dinamika pemikiran umat Islam mengalami stagnasi.Suatu produk tafsir dapat diterima oleh umat islam jika ia dapat memberikan solusi konkret atas problem sosial yang dihadapi umat manusia, karena pada hakikatnya, penafsiran ayat suci al Quran tidak hanya bertujuan untuk memahami ayat, melainkan juga untuk diamalkan dan dijadikan solusi alternatif atas problem yang dihadapi umat islam. Dengan kata lain, kebenaran sebuah produk penafsiran tidak lagi hanya diukur secara teoritis diatas meja, melainkan dibuktikan secara praktis dilapangan, dalam arti sejauh mana produk penafsiran itu mampu memberikan solusi alternatif atas problem sosial umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004.Mustaqim, Abdul, Epistimologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis Group, 2011.Asy Syirbasi, Ahmad, Sejarah Tafsir Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.

20