Algoritma Pendekatan Diagnosis Hiponatremia
description
Transcript of Algoritma Pendekatan Diagnosis Hiponatremia
1. Algoritma Pendekatan Diagnosis Hiponatremia
Manajemen hiponatremia membutuhkan pendekatan untuk mengidentifikasi penyebab
terjadinya gangguan elektrolit. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan berupa
penilaian bertahap tonisitas serum, osmolalitas urin, status volume, dan kadar Natrium
urin.
a. Penilaian tonisitas serum
Natrium merupakan elektrolit predominan di kompartemen cairan ekstraseluler,
dan merupakan determinan utama dalam menentukan tonisitas serum. Penurunan
kadar Natrium serum (hiponatremia) secara luas dapat memberikan gambaran
keadaan hipotonisitas. Adanya peningkatan konsentrasi zat yang tidak melewati
membrane sel (seperti glukosa, atau manitol) dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremia translokasional sebagai akibat adanya perpindahan air dari sel
menuju ruang ekstraseluler. Pada keadaan tersebut, pasien dapat memiliki
osmolalitas serum yang normal, atau bahkan meningkat. Keadaan lain dimana
hiponatremia berhubungan dengan tonisitas serum yang normal terjadi pada
keadaan kadar lipid atau protein yang tinggi. Keadaan demikian dapat disebut
sebagai pseudohiponatremia, dan merupakan hasil dari peningkatan proporsi
volume serum yang ditangkap oleh zat – zat tersebut. Osmolalitas serum tetap
normal pada pseudohiponatremia, dan dapat digunakan untuk membantu dalam
menegakan diagnosis.
b. Penilaian Osmolalitas urin
Saat keadaan hipotonisitas sudah ditegakkan, maka osmolalitas urin dapat
digunakan untuk membedakan antara pasien yang mengalami dan tidak
mengalami gangguan dalam mekanisme pengenceran urin ginjal. Osmolalitas
urin di bawah 100 mOsm/kg menandakan mekanisme pengenceran urin yang
normal, dimana hiponatremia terjadi sebagai akibat jumlah intake air yang
melebihi kapasitas pengenceran normal (polidipsia psikogenik). Keadaan
demikian dapat pula diamati pada bayi yang diberi susu formula. Sebaliknya,
osmolalitas urin yang melebihi 100 mOsm/kg menandakan gangguan pada
mekanisme pengenceran ginjal pada saat urin seharusnya diencerkan secara
maksimal. Keadaan tersebut biasanya dapat terjadi sebagai konsekuensi adanya
vasopressin sirkulasi yang menetap.
c. Penilaian status volume dan konsentrasi Natrium urin
Pada pasien yang memiliki osmolalitas urin melebihi 100 mOsm/kg, penilaian
status volume dibutuhkan untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya
hiponatremia. Pada pasien hipovolemik dengan hiponatremia, kadar Natrium
urin yang melebihi 20 mmol/L menandakan terjadinya kehilangan natrium
ginjal, sedang kadar Natrium urin di bawah 20 mmol/L menandakan terjadinya
kehilangan natrium diluar ginjal.
Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis hiponatremia
Pasien dengan hiponatremia hipervolemik (akibat gagal jantung, sirosis, dan
sindroma nefrotik) biasanya disertai gangguan dalam mempertahankan natrium
sebagai tambahan terhadap retensi air yang ditandai dengan berkurangnya
Natrium serum.
Hiponatremia hipervolemik biasanya kurang sering terjadi dibandingkan dengan
hiponatremia yang lain, terjadi pada pasien gagal ginjal tahap lanjut yang tidak
dapat menyimpan natrium, sehingga memiliki kadar Natrium urin > 20 mmol/L.
Pada hiponatremia euvolemik, terdapat kelebihan relatif total air dalam tubuh
terhadap jumlah total natrium tubuh normal. Pasien tersebut ditandai dengan
adanya kadar Natrium urin > 20 mmol/L, yang menandakan intake natrium
mereka.
Thompson C, Berl T, Tejedar A, Johannsson G. Differential diagnosis of
hyponatremia. Best practice & research clinical endocrinology & metabolism.
2012;26:S7-15