Alergi Tes

22
Pemeriksaan Tes Alergi I. PENDAHULUAN Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang tidak di harapkan. (1) Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah tersensitisasi dengan antigen bersangkutan. (2) Penyakit alergi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering didapatkan dalam praktek sehari-hari. (3) dalam 20 – 30 tahun terakhir telah terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi, bahkan di negara berkembang alergi atopik dapat dijumpai pada 20 % populasi yang mencakup berbagai kelainan yang dikaitkan dengan IgE, misalnya asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain. Peningkatan prevalensi alergi di duga disebabkan berbagai faktor, diantaranya perubahan gaya hidup, misalnya penggunaan sistem pengatur suhu ruangan di dalam rumah disertai ventilasi yang kurang, penggunaan antibiotik spektrum luas , infeksi virus, diet dan lain-lain. (2) Sejak awal tahun dari abad terakhir, sebelum penyebab dari reaksi alergi di temukan, tehnik in vivo termasuk conjunctival instillation dan tes kulit, telah digunakan untuk mengidentifikasi faktor penyebab dari reaksi alergi. (4) Hingga saat ini sudah banyak perkembangan dalam metode laboratorium untuk menunjang diagnosis

description

j

Transcript of Alergi Tes

Pemeriksaan Tes Alergi

I.       PENDAHULUAN

Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang tidak di

harapkan.(1) Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906

yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan

seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan

menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap

antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah

tersensitisasi dengan antigen bersangkutan.(2)

Penyakit alergi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering didapatkan

dalam praktek sehari-hari.(3) dalam 20 – 30 tahun terakhir telah terjadi peningkatan

dalam angka kejadian alergi, bahkan di negara berkembang alergi atopik dapat dijumpai

pada 20 % populasi yang mencakup berbagai kelainan yang dikaitkan dengan IgE,

misalnya asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain.

Peningkatan prevalensi alergi di duga disebabkan berbagai faktor, diantaranya

perubahan gaya hidup, misalnya penggunaan sistem pengatur suhu ruangan di dalam

rumah disertai ventilasi yang kurang, penggunaan antibiotik spektrum luas , infeksi virus,

diet dan lain-lain.(2)

Sejak awal tahun dari abad terakhir, sebelum penyebab dari reaksi alergi di

temukan, tehnik in vivo termasuk conjunctival instillation dan tes kulit, telah digunakan

untuk mengidentifikasi faktor penyebab dari reaksi alergi.(4)Hingga saat ini sudah banyak

perkembangan dalam metode laboratorium untuk menunjang diagnosis dan evaluasi

penderita alergi. Sebagian metode laboratorium lebih banyak digunakan untuk

menunjang riset pada penderita alergi dan belum banyak digunakan untuk pelayanan

laboratorium secara rutin.(2)

Pemeriksaan laboratorium rutin seperti penetapan jumlah eosinofil dan kadar IgE

serum dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam menegaskan diagnosis gangguan

alergi. Namun interprestasi dari nilai eosionofil agak sulit karena eosinofil dipengaruhi

oleh ekskresi obat-obat tertentu seperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu

pengambilan, dan tehnik peneraan, serta juga oleh kinetiknya.(1)

Tes alergi sering digunakan untuk membedakan suatu penyakit yang disebabkan

oleh alergi ataupun oleh sebab lain. Dikenal beberapa metode pemeriksaan alergi

diantaranya secara in vivo dan secara in vitro.(1,3,4,5,6)

II.      REAKSI ALERGI

Reaksi alergi semula dibagi dalam 2 golongan berdasarkan kecepatan timbulnya reaksi,

yaitu :

1.    Tipe cepat (immediate type, antibody mediated)

2.    Tipe lambat (delayed type, cell mediated)(7)

Sedangkan Combs dan Gell (1975) membagi reaksi ini menjadi 4 jenis yaitu reaksi

hipersensitivitas tipe I, II, III dan IV.(1,5,7)

Reaksi Tipe I

Pada paparan pertama, allergen masuk sampai kedalam mukosa dan di tampilkan oleh

sel B dan sel T. Respon imun yang di dapat akan memproduksi proliferasi populasi sel

yang spesifik terhadap antigen dan membangun sel memori dan sel plasma. IgE spesifik

untuk allergen tersebut di bentuk dan berikatan dengan sel mast di dalam tubuh. Pada

paparan kedua allergen masuk kembali ke dalam mukosa dan melepas ikatan antara

IgE dan mast sel. Sehingga mast sel akan melepaskan mediator seperti heparin dan

histamin. Pengaktifan metabolisme asam arakidonat menghasilkan prostaglandin dan

leukotrien yang nantinya akan menimbulkan gejala.

Reaksi Tipe II

Pada paparan pertama alergen menginduksi respon sel B dengan memproduksi

antibodi. Pada paparan berikutnya antibodi berikatan dengan permukaan sel untuk

menampilkan alergen. Kemudian, sistem komplemen lainnya diaktifkan dan sel menjadi

lisis atau antibodi yang terbentuk bertindak sebagai opsonin dan sel fagosit yang

tertarik. Kerusakan jaringan khusus, tergantung pada distribusi dari permukaan sel

alergen. Belum jelas jika reaksi tipe II terlibat dalam pembentukan gejala alergi.

Reaksi Tipe III

Pada paparan pertama, alergen mempengaruhi respon dari sel B dengan memproduksi

antibodi. Pada paparan kedua, alergen beredar dalam sirkulasi darah berikatan dengan

antibodi untuk membentuk kompleks imun. Ketika jumlah antigen yang lebih besar

tampak, kompleks imun tadi menjadi banyak, besar dan irregular dan mereka tidak

dapat disingkirkan secara cepat oleh sistem retikuloendotelial. Kompleks tadi berikatan

dengan endothelium dari pembuluh darah kecil dan membentuk respon inflamasi

(edema, Infiltrat selular) sampai komplemen menjadi aktif. Efek samping dari kerusakan

jaringan tergantung dari jumlah deposit dari kompleks tadi.

Reaksi Tipe IV hipersensitivitas tipe lambat

Pada paparan pertama alergen merangsang sel T. pada paparan kedua allergen

ditemukan pada permukaan sel target. Sebelumnya merangsang sel T kemudian sel

target lisis dan respon inflamasi terbentuk.(5)

III.    INDIKASI PEMERIKSAAN TES ALERGI(3,8)

Secara umum indikasi pemeriksaan alergi pada seseorang berdasarkan kondisi yang

dialami.

Tabel 1.

Indikasi untuk pemeriksaan tes alergi

Kondisi Indikasi

Rhinitis Gejala tidak dapat dikontrol dengan pemberian medikamentosa dan diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis alergen sehingga kemudian hari alergen dapat dihindari

Asma Asma persisten pada pasien yang terpapar alergen di dalam ruang

Dugaan alergi makanan Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap makanan

Dugaan alergi obat Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap obat dan indikasi klinis untuk obat yang diduga

Dugaan alergi gigitan binatang

Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap sengatan binatang

IV.    PEMERIKSAAN TES ALERGI

Pemeriksaan untuk diagnosis alergi inhalan dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro

untuk alergi terhadap alergen yang spesifik. Tes ini diindikasikan tidak hanya pada

pasien alergi saja, namun juga pada terkena alergen yang spesifik. Tes pada inhalasi

relatif lebih sederhana, sejak mekanisme terjadinya diketahui (IgE – mediator reaksi tipe

I) dan reaksi alergi inhalasi bisa didapatkan dalam beberapa menit. Bagaimanapun bisa

didapatkan sebuah hasil yang positif walaupun tanpa gejala klinik.(5)

A.   METODE IN VIVO

Berbagai metode in vivo digunakan dalam penelitian sistem immunoglobulin maupun

sistem seluler.(1)  tes alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan uji

tantangan pada organ (tes provokasi).(9) Uji kulit merupakan cara in vivo utama dalam

mengenali IgE atau antibodi reagenik. Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah

masuknya alergen. Alergen berinteraksi dengan antibodi reagenik yang melekat pada

sel pelepas zat mediator. Akibatnya terjadi suatu peradangan atau pembengkakan

segera, demikian pula suatu reaksi fase lambat. Pengujian dapat dilakukan dengan

menggunakan suatu jarum atau garukan dan injeksi intradermal.(1)

1.    Pemeriksaan Tes Kulit

Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis alergi

terhadap alergen-alergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan secara massal dalam

waktu singkat dengan hasil cukup baik. Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada

permukaan basofil atau sel matosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamin,

leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan

pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol (wheal) dan

kemerahan (flare).(2,8) Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun

pemeriksaan dengan cara lain berhasil positif, terutama alergi terhadap obat.(2)

Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk menentukan macam alergen sehingga

dikemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian

imunoterapi.(8)

Macam tes kulit untuk mediagnosis alergi antara lain :

  Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena

allergen inhalan, makanan atau bisa serangga.

  Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga.

  Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak.(8,10)

a.    Scracth : Epicutaneus Tes

Ini merupakan tehnik yang paling awal ditemukan oleh Charles Blackley pada tahun

1873. Pemeriksaan ini didasari dengan membuat laserasi superficial kecil dari 2 mm

pada kulit pasien dan diikuti dengan menjatuhkan antigen konsentrat.

Keuntungan :

o   Aman, jarang menyebabkan reaksi sistemik

o   Terdapat kekurangan pada reaksi kulit tipe lambat

o   Konstrate yang digunakan  nilai ekonominya lebih baik dan mempunyai daya hidup yang

lama.

Kerugian :

o   Terjadi false positif (akibat iritasi pada kulit dibandingkan dengan reaksi alergi)

o   Lebih menyakitkan

o   Tidak reproducible sebagai intradermal skin test

Karena kurang reproducibility  dan berbagai gambaran dibelakang, bentuk tes ini tidak

direkomendasikan lagi sebagai prosedur diagnostik pada Alergi panel dari AMA Council

Of Scientific Affairs.(5)

      

b.    Prick : Epicutaneus

            Tehnik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1926. Hal ini

digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit . kemudian jarum

steril 26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit bagian superficial sehingga

tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan menggunakan applikator sekali pakai

dengan delapan mata jarum yang bisa digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6

antigen dan control positif (histmin) dan kontrol negative (glyserin). (5)

                                                                          (a)     

                                                               (b)

                                                               (c)

Gambar 1. Keterangan :

a.    Lengan  atas yang diteteskan zat allergen

b.    Penetesan allergen

c.    Reaksi pada pemeriksaan skin prick test(9)

Keuntungan :

o   Cepat

o   Mempunyai korelasi yang baik dengan tes intradermal

o   Relative lebih aman

Kerugian :

o   Hanya memberikan penilaian kualitatif pada alergi

o   Bisa terjadi kesalahan pada keadaan alergi yang lemah (false – negatif)

o   Grade pada kulit bersifat subjektif

Prick tes merupakan jalan cepat untuk menyeleksi antigen yang banyak. Jika skin tes

positif, kemudian pasien lebih sering alergi, tetapi konversi yang didapat tidak benar.

Jika pasien mempunyai sejarah yang positif dan negative pada prick test, maka dokter

harus menggabungkan prosedur dengan pemeriksaan tes intradermal.(5)

Kontraindikasi Skin Prick Test (8,11)

  Penderita dengan riwayat yang meyakinkan adanya reaksi anafilaksis terhadap allergen.

  Penderita dengan gejala alergi terhadap makanan sampai dengan gejala yang timbul

stabil.

  Penderita dengan penyakit kulit  misalnya urtikaria, SLE dan lesi yang luas pada kulit.

Persiapan tes   cukit (Skin Prick Test)

Sebagai dokter pemeriksa kita perlu menanyakan riwayat perjalanan penyakit pasien,

gejala dan tanda yang ada yang membuat pemeriksa bisa memperkirakan jenis alergen,

apakah alergi ini terkait secara genetik dan bisa membedakan apakah justru penyakit

non alergi, misalnya infeksi atau kelainan anatomis atau penyakit lain yang

gambarannya menyerupai alergi.(8)

Persiapan yang harus dilakukan antara lain(3,8,11) :

1.    Persiapan bahan/material ekstrak alergen :

  Gunakan material yang belum kadaluwarsa

  Gunakan esktrak alergen yang terstandarisasi

2.    Persiapan penderita :

  Menghentikan pengobatan antihistamin 3 hari sebelum tes(11) atau 5 – 7 hari sebelum tes.(8)

  Menghentikan pengobatan lain seperti trisiklik antidepressant, stabilizer sel mast,

ranitidine, anti muntah atau beta bloker, antihistamin topical, cream imunomodulator,

dan topical steroid minimal 7 hari sebelum tes. Steroid oral dan obat inhalasi untuk asma

tidak perlu dihentikan.

  Usia : Pada bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi, walaupun

sebenarnya tes ini tidak mempunyai batasan umur.

  Pada penderita dengan keganasan, limfoma, sarkoidosis, diabetes neuropati juga terjadi

penurunan terhadap reaktivitas terhadap tes kulit ini.

3.    Persiapan pemeriksa :

  Tehnik dan keterampilan pemeriksa perlu dipersiapkan agar tidak terjadi interprestasi

yang salah akibat tehnik dan pengertian yang kurang dipahami oleh pemeriksa.

  Keterampilan tehnik melakukan cukit

  Tehnik menempatkan lokasi cukitan karena ada tempat yang reaktivitas tinggi dan ada

yang rendah. Berurutan dari lokasi yang reaktifitasnya tinggi sampai rendah : bagian

bawah punggung >  lengan atas > siku > lengan bawah sisi ulnar > sisi radial >

pergelangan tangan.

Prosedur Tes Cukit (4,8,11)

Sebelum melakukan tes cukit pada penderita dilakukan terlebih dahulu inform consent.

Pada penderita dewasa yang telah mengerti dapat dijelaskan secara langsung prosedur

pemeriksaan dan apa yang akan mereka rasakan. Sedangkan pada penderita yang

masih kecil maka diberikan penjelasan kepada orang tua mereka.

Tes cukit sering kali dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Pertama dilakukan

desinfeksi dengan alkohol pada area volar dan ditandai area yang akan ditetesi dengan

ekstrak allergen. Tanda yang diberikan mempunyai jarak antara satu dengan yang lain

sekitar 2-3 cm. Ekstrak allergen diteteskan satu tetes larutan allergen (histamine/control

positif) dan larutan kontrol (buffer/control negative) menggunakan jarum ukuran 26 ½ G

atau 27 G atau blood lancet.

Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 45 0 menembus lapisan epidermis

dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini

mengakibatkan sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15 – 20 menit

dengan menilai bentol yang timbul.

A

                                                     

Gambar 2. Keterangan :

A.    Sudut melakukan cukit pada kulit dengan lancet

B.    Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit

Interprestasi tes cukit (4,8)

Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee of Northern

(Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol yang timbul akibat

alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun

penilaiannya sebagai berikut :

-          Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)

-          Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)

-          Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara

bentol histamin dan larutan kontrol.

-          Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin dinilai +++

+ (+4).

Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip

Rusmono  sebagai berikut :

            - 0        : reaksi (-)

            - 1+      : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)

            - 2+      : diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-)

            - 3+      : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-)

            - 4+      : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema.

B

Kesalahan yan sering terjadi pada Skin Prick Test (8)

a.    Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm )

b.    Terjadi perdarahan, yang memungkinkan terjadi false positive.

c.    Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke kulit kurang,

memungkinkan terjadinya false-negative.

d.    Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes.

Kelebihan Skin Prick Test Dibandingkan dengan Tes Kulit yang lain (8) :

1.    karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan dengan zat

pembawa berupa air.

2.    Mudah dilaksanakan dan bisa diulang bila perlu.

3.    Tidak terlalu sakit dibandingkan suntikan intradermal

4.    Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke kulit sangat

kecil.

5.    Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu dilaksanakan

kurang dari 1 jam.

c.    Intradermal test

Tes intradermal atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan ketika terdapat

kenaikan sensitivitas merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika skin

prick test memberikan hasil negatif walaupun mempunyai riwayat yang cocok terhadap

paparan). Tes intradermal lebih sensitive namun kurang spesifik dibandingkan dengan

skin prick test terhadap sebagian besar alergen, tetapi lebih baik daripada uji kulit

lainnya dalam mengakses hipersensitivitas terhadap Hymenoptera (gigitan serangga)

dan penisilin atau alergen dengan potensi yang rendah.(3,9,)

Robert Cooke memberikan gambaran pertama kali untuk tes intradermal pada tahun

1915. Tehnik pemeriksaannya mengalami beberapa modifikasi sejak saat itu. Pada saat

ini prosedur tes intradermal digambarkan dengan menggunakan jarum 26 G untuk

menyuntikkan secara intradermal sebagian dari antigen, berbagai macam laporan

mengatakan batasannya 0,01 – 0,05 ml. batasan dari konsentrasi ekstrak adalah 1 : 500

sampai 1 : 1000. Test di nilai setelah 10 – 15 menit. Pada kasus tertentu baru dapat

dibaca setelah 24 – 48 jam.(10) Eritem dan bentol merupakan tanda dan tingkatan dalam

skala subjektif adalah 0 - +4.(5,12)

Gambar 3. Intradermal skin test

http://www.allergycapital.com.au/Pages/alltest.html

Keuntungan :

  Lebih sensitive (dapat mendeteksi alergi dengan kadar rendah)

  Lebih reproducible dalam satu tempat

Kerugian :

  Lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif

  Tingkat dalam respon lebih bersifat subjektif

  Tidak ada standarisasi dalam banyaknya dosis atau konsentrasinya

  Mungkin dapat muncul reaksi positif palsu pada sensitivitas tinggi

Tes intradermal merupakan tes yang baik, sensitive dan lebihreproducible. Keakuratan

lebih jelas didapatkan pada percobaan dengan berbagai macam dilusi dari ekstrak

allergen. Tetapi mempunyai kekurangan dalam standarisasi protokol tes.(5)

d.    Pacth Test

Tes pacth merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi zat yang memberikan

alergi  jika terjadi kontak langsung dengan kulit. Metode ini sering digunakan oleh para

ahli kulit untuk mendiagnosa dermatitis kontak yang merupakan reaksi alergi tipe

lambat, dimana reaksi yang terjadi baru dapat dilihat dalam 2 – 3 hari.(9,10,13)

Pemeriksaan pacth tes biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan menggunakan skin

prick tes memberikan hasil yang negative.(10)Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan

25 – 150 material yang dimasukkan ke dalam kamar plastic atau aluminium dan di

letakkan di belakang punggung. Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-

tempat yang akan ditempelkan bahan allergen tersebut. Setelah ditempelkan, kemudian

dibiarkan selama 48 sampai 72 jam. Kemudian diperiksa apakah ada tanda reaksi alergi

yang dilihat dari bentol yang muncul dan warna kemerahan.(10,14)

                  A

B

http://www.allergyclinic.co.uk/tests_skin.htm

Gambar 4. Keterangan :        

                        A. Alergen dimasukkan ke dalam ruang aluminium

                        B. Logam aluminium di tempelkan di punggung

Hasil yang dinilai atau didapatkan bisa berupa :

  Negatif (-)

  Reaksi iritasi (IR)

  Meragukan/tidak pasti (+/-)

  Positif lemah (+)

  Positif kuar (++)

  Reaksi yang ekstrem (+++)

Reaksi iritasi terdiri dari sweat rash, follicular pustules dan reaksi seperti terbakar.

Reaksi yang meragukan berupa warna merah jambu dibawah kamar tes. Reaksi positif

lemah berupa warna merah jambu yang sedikit menonjol atau plak berwarna merah.

Reaksi positif kuat berupa papulovesicle dan reaksi ekstrem berupa kulit yang melepuh

atau luka. Reaksi yang relevan tergantung dari jenis dermatitis dan allergen yang

spesifik. Interprestasi dari hasil yang didapatkan membutuhkan pengalaman dan latihan.(14)

                      

http://www.dermnetnz.org/procedures/patch-tests.html

Gambar 5. Keterangan :        

                        A & B Hasil positif dari tes tempel (Pacth Tes)

                        C. Reaksi ++

                        D. Reaksi +++

Yang harus dipersiapkan pada saat melakukan pemeriksaan adalah :

Persiapan penderita

  Bagian punggung tempat akan dilakukan pemeriksaan jangan terkena sinar matahari

kurang lebih 4 minggu sebelum pemeriksaan.

  Memakai baju yang sudah tua ; tanda dari ujung pulpen dapat melumuri baju

  Jangan berenang, menggaruk atau melakukan latihan, sebab tempelan bisa lepas.

  Biarkan punggung tetap kering, jadi jangan mandi, jangan berkeringat jika tidak

dibutuhkan

  Hindari pemakaian kosmetik, cream dan detergen untuk sementara waktu supaya tidak

memberikan hasil positif palsu.

  Menyuruh seseorang untuk mengatakan jika ada perubahan pada tanda yang telah

diberikan dipunggung.(13,14)

Persiapan Bahan

Untuk mempersiapkan bahan yang akan digunakan biasanya penderita mendiskusikan

dulu dengan pemeriksa. Terkadang penderita disuruh membawa bahan yang akan

digunakan sendiri dari rumah.

  Bawa atau kirim bahan yang akan dites paling lambat 1 minggu sebelum pertemuan

pertama dilakukan sehingga pemeriksa bisa mempersiapkan untuk tes jika dibutuhkan.

  Jumlah yang dibutuhkan sedikit hanya beberapa tetes atau butir.

  Bahan diberikan label dan nama dan buatlah lembaran daftar bahan jika memungkinkan.

  Identifikai jenis makanan dan tumbuhan (jika relevan) kalau bisa beli yang masih segar

untuk pertemuan pertama; gunakan es untuk lebih membantu.

  Bawa kosmestik yang telah diseleksi untuk dites (lebih dari 10 jenis) termasuk cat kuku,

pelembab, cream matahari, parfum, sampho. Sabun tidak biasa digunakan untuk tes

(karena biasa menyebabkan reaksi jika diletakkan di kulit untuk 2 hari)

  Bawa semua ointment, cream dan lotion yang biasa digunakan baik yang diresepkan

maupun yang tidak diresepkan.

  Bagian dari pakaian seperti sarung tangan karet dan kaus kaki untuk di tes: 1 cm dari

bahan tersebut perlu diambil.(14)

2.    Pemeriksaan Uji Provokasi Hidung (Nasal Provocation Test)

Tes ini merupakan cara menilai yang paling baik untuk rhinitis alergi. Hanya ini metode

yang digunakan dengan menempatkan secara langsung allergen spesifik terhadap

mukosa hidung. Metode ini menimbulkan gejala utama atau tanda dari pasien  dengan

cara mengontrol antigen yang diduga dapat menimbulkan alergi dengan aplikasi

langsung ke membrane mucous hidung. Dan evaluasi dari respon pasien di catat.

Tehnik ini meliputi aplikasi yang selektif atas solution allergen ke kepala turbin inferior.

Sebelumnya dilakukan rhinomanometri dan 20 menit setelah pemberian allergen. Untuk

mengkonfirmasi efek alergi dari zat yang dites dengan menampakkan reduksi yang

significant dari kemampuan hidung untuk pembengkakan mukosa yang reaktif. Sejak tes

provokasi meliputi penempatan allergen secara langsung pada turbin, mungkin dapat

menimbulkan reaksi alergi yang hebat atau mungkin syok anafilaksis, dan sepantasnya

alat emergency tersedia pada ruang pemeriksaan.(6,15) 

B.   METODE IN VITRO

Setelah sifat-Sifat IgE diketahui pada tahun 1968, Maka dimungkinkan pembentukan

antisera terhadap kelas immunoglobulin ini. Hal ini membuka jalan untuk pelaksanaan

peneraan imun.(1) Telah ditemukan beberapa cara pemeriksaan in vitro terhadap alergi,

yang pertama sekali yaitu metode uji Radioalergosorbent (RAST) yang kemudian

mendapat modifikasi, Enzyme-linked immunoassay(ELISA)(1,3,4) dan beberapa metode

baru yang terus ditemukan sesuai dengan perkembangan teknologi. Namun pada

penulisan ini hanya dibahas mengenai metode pemeriksaan RAST dan ELISA.

Indikasi untuk tes secara in vitro

  Pasien yang tidak respon terhadap control lingkungan dan pengobatan konservatif.

  Kekhawatiran pada bayi dan anak yang sensitive terhadap reaksi atopi

  Pasien yang tidak mungkin diberhentikan pengobatan yang mungkin mempengaruhi pada

pemeriksaan uji kulit

  Pasien dengan reaksi yang jelek pada imunoterapi

  Evaluasi individu yang sensitive ketika diprakarsai imunoterapi pada pasien atopi.

  Pemindahan pasien alergi pada imunoterapi

  Sensitive terhadap racun

  Diagnosis reaksi sensitive IgE pada makanan(5)

Kontra indikasi untuk tes secara invitro

  Pasien dengan positif riwayat sensitivitas dimana dengan terapi non spesifik dapat efektif

untuk mengurangi gejala.

  Pasien atopi yang asimtomatik terutama dalam imunoterapi

  Pasien dengan gejala namun pada uji kulit negative

  Pasien dengan total IgE level dibawah 10 U/ml

  Pasien dengan diagnosis gangguan penghantar non IgE(5)

1.    Metode RAST

Merupakan metode yang sering dipakai dengan menggunakan allergen tidak larut ke

dalam suatu cakram kertas selulosa (alegosorben) yang mengikat IgE spesifik (dan klas

antibody lain) dari serum selama masa inkubasi pertama. Fase padat terikat

immunoglobulin kemudian dicuci dan pada inkubasi kedua ditambahkan suatu anti IgE

berlabel isotop I-125 (fc) atau anti IgE berlabel enzim (fc). Setelah pencucian

selanjutnya radioaktivitas yang terikat IgE pada cakram kemudian dihitung, atau pada

antibody yang berlabel enzim, dilakukan suatu inkubasi substrat agar dihasilkan suatu

produk berwarna atau berfluoresensi. Radioaktivitas terikat cakram atau kuantitas

produk yang dihasilkan aktivitas enzim dihubungkan dengan IgE terikat cakram

memakai sumber serum rujukan dari specimen yang tidak diketahui diinterpolasikan

terhadap serum ini. Perlu ditekankan bahwa system penilaian untuk semua proses ini

belum sepenuhnya dikaitkan dengan gambaran klinis. Secara umum nilai yang tinggi

dapat ditemukan pada beberapa pasien non alergi namun dapat pula tidak ditemukan

pada individu alergi. Demikian pula nilai yang rendah dapat ditemukan pada individu

alergi seperti juga individu non alergi. Seluruh hasil perhitungan harus diinterprestasikan

dalam kaitannya dengan anamnesis.(1,5)

Setelah dimodifikasi selama bertahun-tahun, RAST orisinil kini telah dipasarkan untuk

pengukuran IgE spesifik dalam serum manusia. Hasil-hasil relative dari system yang

lebih baru ini masih belum dinilai. Pada dasarnya, kebanyakan system peneraan

mempunyai system yang serupa dengan RAST.(1)

Bermacam-macam modifikasi tehnik radioimmumoassay (RIA) telah dikembangkan

untuk menyederhanakan dan memudahkan penggunaannya serta meningkatkan

sensitivitas maupun spesifitas. Dalam garis besar ada 2 macam metode, yaitu metode

yang berdasarkan reaksi antigen antibody dalam larutan (liquid fase) dan yang

berdasarkan reaksi antigen antibody pada benda padat atau partikel (solid phase). Pada

umumnya tehnik RIA dalam larutan menggunakan prinsip kompetitif, yaitu mereaksikan

antigen (Ag) yang tidak dilabel dan terdapat dalam specimen, bersama Ag yang

dilabel125I (Ag*) dengan antibody (Ab) spesifik, sehingga Ag berlabel (Ag*) dan Ag dalam

specimen akan berkompetisi untuk mengikat Ab membentuk kompleks Ag*-Ab-Ag.

Apabila kadar Ag* sebelum reaksi diketahui, maka sisa Ag* yang tidak bereaksi atau

yang terikat pada kompleks dapat diukur radioaktivitasnya dan hasilnya merupakan

parameter kadar Ag dalam specimen. Di samping tehnik kompetitif, ada juga tehnik non

kompetitif dengan cara melekatkan Ag atau Ab pada suatu partikel kemudian

mereaksikannya dengan specimen yang diuji. Apabila yang diuji adalah antigen, maka

partikel dilapisi dengan Ab spesifik, kemudian direaksikan dengan specimen. Setelah itu

ditambahkan Ab berlabel 125I (Ab*), kemudian kompleks Ab-Ag-Ab* dipisahkan dan

diukur radioaktivitasnya. Banyaknya Ab* yang terikat merupakan ukuran untuk kadar Ag

dalam specimen. Tehnik ini disebut tehnik sandwich dan merupakan tehnik yang banyak

digunakan. Suatu modifikasi tehnik sandwich adalah setelah specimen direaksikan

dengan partikel berlapis Ab, ditambahkan Ab spesifik yang tidak berlabel, baru

kemudian dibubuhkan anti – Ig universal berlabel 125I (anti – Ig*).(2)

  

2.    Metode Elisa (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Prinsip tehnik ELISA sama dengan tehnik RIA, hanya saja pada tehnik ELISA indicator

(label) yang digunakan adalah enzim dan bukan radioisotope. Kelebihan tehnik ELISA

adalah : cukup sensitive, reagen mempunyai waktu paruh yang lebih panjang

dibandingkan reagen RIA, dapat menggunakan spektrofotometer biasa dan mudah

dilakukan automatisasi, dan yang paling penting adalah tidak mengandung bahaya

radioaktif. Seperti halnya pada tehnik RIA, pada tehnik ELISA juga dikenal metode

kompetitif dan non kompetitif. Apabila Ab digunakan untuk melapisi partikel maka

metode ini sering disebutcapture, karena antigen dalam specimen seolah ditangkap oleh

matriks yang dilapisi Ab. Fase solid atau partikel yang dapat digunakan bermacam-

macam, diantaranya plastic, nitroselulosa, agarose, gelas, polyacrylamida, dan

dekstran.

Bergantung pada apa yang ingin diuji, pada tehnik ELISA harus ada antibody atau

antigen yang dikonjugasikan dengan enzim dan substrat yang sesuai. Enzim yang

paling disukai untuk digunakan adalah fosfatase alkali (AP) dan horseradish

peroxidase (HRP) sedangkan substrat yang paling sering digunakan adalah o-

phenylenediamine(OPD), dan tetramethylbenzidine (TMB). Substrat para-

nitrophenylphospate (pNPP) dapat dipilih apabila enzim yang digunakan adalah

fosfatase alkali. Hidrolisis substrat oleh enzim biasanya berlangsung dalam waktu

tertentu dan reaksi dihentikan dengan membubuhkan asam atau basa kuat. Karena

banyaknya antibody berlabel enzim (AbE) yang terikat pada kompleks Ag - AbEsesuai

dengan kadar Ag dalam specimen, maka banyaknya enzim yang terikat pada kompleks

dan intensitas warna yang timbul setelah substrat dihidrolisis oleh enzim yang terikat

pada kompleks Ag - AbEmerupakan untuk kadar Ag yang diuji.(2)

Keuntungan tes secara in vitro

-          Mengurangi variabilitas dari respon kulit

-          Mengurangi efek dari obat

-          Dapat selesai dalam satu tes darah; mengurangi tes kulit yang lama

-          Lebih spesifik daripada tes uji kulit

-          Menyediakan penilaian kuantitatif dari alergi sehingga dapat digunakan sebagai dasar

menetapkan dosis awal imunoterapi

-          Aman pada pasien dengan penggunaan beta bloker

Kekurangan tes secara invitro

-          Lebih mahal dalam biaya

-          Dibutuhkan alat laboratorium khusus dan pelatihan terhadap tehnisi

-          Kurang sensitif dibandingkan dengan tes uji kulit.

     KESIMPULAN

  Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada

dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang

terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit.

  Penyakit alergi umum didapatkan dalam praktek sehari-hari, dan akhir-akhir ini telah

terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi.

  Diperlukan metode yang baik dalam mendeteksi alergi dan dikenal dua jenis pemeriksaan

yaitu secara in vivo dan secara invitro

  Pemeriksaan secara in vivo terdiri dari uji kulit (scratch test, skin prick test, intradermal

test, dan patch test) dan uji provokasi.

  Sedangkan secara in vitro banyak jenis metode yang telah dikembangkan namun yang

sering digunakan adalah metode RAST (RIA) dengan menggunakan radioisotope dan

metode ELISA yang menggunakan enzim.

  Pemeriksaan secara in vivo lebih sensitive daripada secara invitro.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Malcolm N. Blumenthal, M.D, Kelainan Alergi Pada Pasien THT dalam Buku Ajar Ilmu

Penyakit THT BOIES, Edisi 6, Cetakan ke – 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,

1997. Hal : 190 – 199

2.    Siti Boedina Kresno, Penyakit Alergi dalam IMUNOLOGI : Diagnosis dan Prosedur

Laboratorium, Edisi Keempat, Cetakan ke – 3  Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, Hal : 315 – 338.

3.    James T.Lim MD, PH.D Allergy Testing dalam Journal American Family Physician,

volume 66, nomor 4, Mayo Clinic and Foundation, Rochester, Minnesota, 15 Agustus,

2002. Hal : 621 – 624. www.aafp.org/afp

4.    Richard M. O’Brien, Abnormal Laboratory Result Skin Prick Testing and In Vitro Assays

for Allergic Sensitivity, dalam Australian Prescriber, volume 25, nomor 4, 2002.

5.    K.J.LEE, MD, FACS,  Immunology dan Allergy in Essential Oto laryngology Head and

Neck Surgery, Eight Edition in International Edition, Medical Publishing Division

McGraw-Hill company, Inc. 2003. Page : 273 - 301

6.    Rudolf Probst, Gerhard Grevers and Heinrich Iro, Special Rhinologic Test in Basic

otorhinolaryngology.

7.    Sujudi, Suharto, A. Soebandrio, Hipersensitivitas dalam BUKU AJAR MIKROBIOLOGI

KEDOKTERAN, Edisi Revisi, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994

8.    Henny Kartikawati, Tes Cukit (Skin Prick Test) Pada Diagnosis Penyakit Alergi, Bagian

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan – Bedah Kepala Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Dipenogoro RS. Kariadi Semarang,

2007. http://hennykartika.wordpress.com/2007/03/08/skin-test/

9.    Anonymous, Alergy Testing in CIGNA HEALTHCARE COVERAGE POSITION.

10.  Jonathan Brostoff, Prof. Michael Radcliffe, Dr. in Allergy Skin

Test.http://www.allergyclinic.co.uk/tests_skin.htm

11.  Adrian Morris, Dr. Allergen Skin Prick Testing in Allsa Position Statement. Current

Allergy & Clinical Immunology, Vol 19 No. 1. March 2006

12.  Anonymous, Alergy Testing in www.allergyinatlanta.com

13.  G Lowe Dr. Pacth Testing, National Eczema Society Hiil House, Highgate Hill London,

N19 5NA. www.Eczema.org

14.  Anonymous, Patch Test (Contac Allergy Testing), New Zealand Dermatology Society

Incorporated. www.dermnetnz.org

15.   Anonymous, Allergy Testing Description of Procedure or Service, Corporate Medical

Policy, Blue Cross Blue Shield Of North Carolina.