Alergi Obat
-
Upload
syifa-fauziyah -
Category
Documents
-
view
24 -
download
0
description
Transcript of Alergi Obat
1
Skenario 1
Alergi Udang
Seorang anak laki – laki berusia 10 tahun di bawa ke klinik dengan gatal –
gatal. Seluruh badan terasa gatal sejak kemaren dan kulit diwajah serta di
punggung berwarna kemerahan. Sejak pagi ini kulitnya makin kemerahan,
kemarin pasien di ajak tantenya makan udang di warung tenda pinggir pelabuhan.
Ibu pasien memiliki riwayat asma. Dokter menyarankan untuk melakukan
pemeriksaan alergi.
STEP I
a. Gatal
Suatu reaksi akibat serabut monoreseptor sehingga gatal.
b. Alergi
Suatu kondisi yang berlebihan dengan alergen.
c. Asma
Suatu penyakit yang menyerang saluran napas sehingga terjadi
penyempitan.
STEP II
1. Bagaimana mekanisme sistem imun ?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya alergi ?
3. Apa faktor yang menyebabkan alergi?
4. Apa macam-macam penyebab alergi ?
5. Organ mana yang pertama kali terserang alergi ?
6. Bagaimana mekanisme sismtem limfatik ?
7. Kenapa anak tersebut bisa alergi udang ?
8. Bagaimana hubungan riwayat penyakit asma dengan alergi ?
9. Apa penyebab kemerahan di wajah dan di punggung ?
STEP III
1. Sistem imun nonspesifik (bawaan) → monosit
2
→ makrofag
→ neutrofil dan eusonofil
Sistem imun spesifik → limfosit → Sel T
→ Sel B
2. Alergen ( substansi ) : pemicu alergi berasal dari protein yang tidak bisa di
cerna → antibodi.
3. Faktor – faktor penyebab alergi :
a) Genetik
b) Lingkungan
c) Bulu binatang
d) Makanan
e) Zat kimia
4. Penyebab alergi secara patologis :
a) Defisiensi limfosit B
b) Autoimun
c) Umpan balik mediator
d) Zat makanan
e) Lingkungan
f) Genetik
5. Lapisan pertama : kulit, membran mukosa, kel. Ludah, as. Lambung, silia.
Lapisan kedua : protein anti mikroba & respon terhadap inflamasi.
Lapisan ketiga : limfosit dan antigen.
6. Bone narrow → organ limfoid → menghadapi mikroba bone narrow
(primer) → sekunder → pembuluh darah → aliran limfe → duktus
thoracicus → v. Sublcavia sinistra → v. Subclavia dextra.
7. Seafood (tropomiosin) → tidak bisa di pecah (berbahaya) → igE berikatan
dengan mast cell → menyerang tropomiosin → gatal.
8. Termasuk hipersensitivitas I
9. Vasodilatasi, permeabilitas kapiler.
3
STEP IV
1. Non spesifik : bawaan dari tubuh
Di limfoid terdapat (TRL) > melihat adanya bahaya.
Spesifik : ketika bakteri dari luar masuk + sel memori ( basofil ) dan
monosit.
Ketika bahaya masuk lambat akan di bawa oleh sel B dan sel
T.
Sel T akan mengaktivasi sel B > imunoglobin spesifik dan
killer > Tc > aka memasuki sel suspensor.
Imunoglobin pasif : infus dan asi.
Macam – macam imunoglobulin :
a) IgA : mencegah patogen masuk melalui jaringan epitel.
b) IgD : memicu jaringan limfosit A ke plasma dan limfosit B
memori.
c) IgE : merespon reaksi alergi.
d) igG : menembus plasenta pada bayi pada 20 minggu pertama.
e) IgM : antibodi pertama yang memecah antigen.
2. Bakteri masuk → IgE merangsang hismatin → efek.
Reaksi hipersensitivitas tipe I : cepat
Melalui beberapa reaksi :
a) Fase sensitivitas : pembentukan igE bertautan silang oleh reseptor
fc permukaan selmast/ basofil.
b) Fase aktivasi : ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel
mast → sel mast / basofil melepas isinya yang berikatan granul →
menimbulkan reaksi.
c) Fase efektor : efek mediator.
Mediator : Tipe I : histamin (gatal).
4
Tipe II : pelepasan asam
Tipe III : pelepasan digranulasi
Alergen → Th → IgE
Alergen meningkat = IgE meningkat → sel mast.
Alergen → Th2 → sel sitosin.
3. a. Genetik
b. Lingkungan contohnya : bulu binatang , debu
c. Makanan : udang , sayur – sayuran , ayam ,dll.
d. Zat kimia
4. a. Genetik
b. Lingkungan contohnya : bulu binatang , debu
c. Makanan : udang , sayur – sayuran , ayam ,dll.
d. Zat kimia : histamin
e. Diferensiasi IgE : kelebihan IgE
5. Lapisan pertama : kulit, membran mukosa, kel. Ludah, as. Lambung, silia.
Lapisan kedua : protein anti mikroba & respon terhadap inflamasi.
Lapisan ketiga : limfosit dan antigen.
6. Sel darah putih → limfosit
→ basofil : histamin, heparin.
7. Seafood (tropomiosin) → tidak bisa di pecah (berbahaya) → igE berikatan
dengan mast cell → menyerang tropomiosin → gatal.
8. Asma = hipersensitivitas I → keuturnan → IgE → spesifik.
9. –
5
BAGAN
STEP V
1. Bagaimana mekanisme sistem imun pada tubuh manusia?
2. Bagaimanakah mekanisme alergi ?
3. Bagaimana hubungan sistem limfatik dengan alergi ?
STEP VI
Belajar Mandiri
STEP VII
Sistem Imun
Faktor penyebabMekanisme
Jenis - JenisSistem Limfatik
PasifAktif
Spesifik Nonspesifik
Alergi Mekanisme Organ
Faktor Penyebab
6
1. Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau
nonspesifik/natural/innate/native, ataupun nonadaptif dan spesifik atau adaptif.
Pembagian sistem imun spesifik dan nonspesifik hanya dimaksud untuk
memudahkan pengertian saja. Sebenarnya antara kedua sistem tersebut terjadi
kerjasama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain.
(Baratawidjaja, 2014)
A. Sistem imun nonspesifik
Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu
ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh
dan dengan cepat menyingkirkannya. Sistem imun nonspesifik ditujukan
terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir.
Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan
mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem
tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan
berbagai mikroba dan dapat memberikan respons langsung.
(Baratawidjaja, 2014)
a) Pertahanan fisisk atau mekanik
Dalam pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia
saluran nafas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan
terhadap infeksi. Keratinosit dan lapisan epidermis kulit sehat dan
epitel mukosa yang utuh tidak dapat ditembus kebanyakan mikroba.
Kulit yang rusak akibat luka bakar dan selaput lendir saluran nafas
yang rusak oleh asap rokok akan meningkatkan resiko infeksi.
Tekanan oksigen yang tinggi di paru bagian atas membantu hidup
kuman obligat aerob seperti tuberkulosis. (Baratawidjaja, 2014)
b) Pertahanan biokimia
Kebanyakan mikroba tidak dapat menembus kulit sehat, namun
melalui kelenjar sebaseus dan folikel rambut. pH asam keringat dan
sekresi sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunyai
efek denaturasi terhadap protein membran sel sehingga dapat
mencegah infeksi yang dapat terjadi melalui kulit. Lisozim dalam
keringat, ludah, air mata dan air susu ibu, melindungi tubuh terhadap
7
berbagai kuman positif-Gram oleh karena itu dapat menghancurkan
lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Air susu ibu juga mengandung
laktooksidase dan asam neuraminik yang mempunyai sifat
antibakterial terhadap Escherichia coli dan stafilokok. Saliva
mengandung enzim seperti laktooksidase yang merusak dinding sel
mikroba dan menimbulkan kebocoran sitoplasma dan juga
mengandung antibodi serta komplemen yang dapat berfungsi sebagai
opsonin dalam lisis sel mikroba. Asam hidroklorida dalam lambung,
enzim proteolitik, antibodi dan empedu dalam usus halus membantu
menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak
mikroba. (Baratawidjaja, 2014)
Gambar 1. Pertahanan Eksternal Tubuh (Baratawidjaja, 2014)
8
Gambar 2. Mekanisme imunitas nonspesifik terhadap bakteri
pada tingkat sawar fisik seperti kulit atau permukaan mukosa
(Baratawidjaja, 2014)
c) Pertahanan humoral
Sistem imun nonspesifik menggunakan berbagai molekul larut.
Molekul larut tertentu diproduksi ditempat infeksi atau cedera dan
berfungsi lokal. Molekul tersebut antara lain adalah peptida anti
mikroba seperti defensin, katelisidin dan interferon dengan efek
antiviral. (Baratawidjaja, 2014)
a. Komplemen
Berbagai bahan dalam sirkulasi seperti lektin, interferon, C-
Reactive Protein (CRP) dan komplemen berperan dalam
pertahanan humoral. Serum normal dapat memusnahkan dan
menghancurkan beberapa bakteri negatif-gram atas kerja sama
antara antibodi dan komplemen yang ditemukan dalam serum
normal. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila
9
diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi terhadap
infeksi dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen
berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai
faktor kemotaktik dan juga menimbulkan detruksi atau lisis bakteri
dan parasit. Antibodi dengan bantuan komplemen dapat
menghancurkan membran lapisan lipopolisakarida (LPS) dinding
sel. Bila lapisan lipopolisakarida menjadi lemah, lisozim,
mukopeptida dalam serum dapat masuk menembus membran
bakteri dan menghancurkan lapisan mukopeptida. Membrane
attack compleks (MAC) dalam sistem komplemen dapat
membentuk lubang-lubang kecil dalam sel membran bakteri
sehingga bahan sitoplasma yang mengandung bahan-bahan vital
keluar sel dan menimbulkan kematian mikroba. (Baratawidjaja,
2014)
b. Pertahanan selular
Fagosit, sel NK, sel mast dan eosinophil berperan dalam sistem
imun nonspesifik selular. Sel-sel sistem imun tersebut dapat
ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. Contoh sel yang dapat
ditemukan dalam sirkulasi darah ditemukan dalam sirkulasi adalah
neutrophil, eosinophil, basophil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel
darah merah dan trombosit. Sel-sel tersebut dapat mengenal
produk mikroba ensensial yang diperlukan untuk hidup nya.
Contoh sel-sel dalam jaringan adalah eosinophil, sel mast,
makrofag, sel T, sel plasma, dan sel NK. (Baratawidjaja, 2014)
10
Gambar 3. Pengerahan makrofag dan bahan antimicrobial
dari sirkulasi darah (Baratawidjaja, 2014)
B. Sistem imun spesifik
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi
dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera
dikenal oleh sitem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitasi,
sehingga atngen yang sama dan masuk tubuh kedua kalinya akan dikenal
lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Oleh karena itu sistem tersebut
disebut sebgai spesifik. Untuk menghancurkan benda asing yang
berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan
sistem imun nonspesifik. Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral
dan sitem selular. Pada imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk
menyingkirkan mikroba ekstraselular. Pada imunitas selular, sel T
mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan mikroba
atau mengaktifkan sel CTC atau Tc sebagai efektor yang menghancurkan
sel terinfeksi. (Baratawidjaja, 2014)
a) Sistem imun spesifik humoral
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah
limfosit B atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari
11
sel asal multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh
benda asing akan berproliferasi, berdeferensiasi dan berkembang
menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas
dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan
terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan
toksiknya. (Baratawidjaja, 2014)
b) Sistem imun spesifik selular
Limfosit T atau sel T berperan dalam sistem imun spesifik selular.
Sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. 90%
sampai 95% dari semua sel T dalam timus tersebut mati dan hanya 5%
sampai 10% menjadi matang dan selanjutya meninggalkan timus untuk
masuk kedalam sirkulasi. Berbeda dengan sel B , sel T terdiri atas
beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD4+ (Th1
dan Th2), CD8+ atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi
utama sel imum spesifik selular ialah pertahanan terhadap bakteri yang
hidup intraselular, virus, jamur, parasit, dan keganasan. Sel CD4+
mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan mikrofag untuk
menghancurkan mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi.
(Baratawidjaja, 2014)
Sifat imunitas spesifik meliputi:
1) Imunitas Pasif
Imunitas pasif adalah resistensi relatif yang bergantung
pada produksi imunoglobulin oleh orang atau pejamu lain.
Imunitas pasif dibawa oleh antibodi atau limfosit yang sudah
terbentuk dalam pejamu lain. Pemberian antibodi secara pasif
(dalam antiserum) melawan virus tertentu misal (hepatitis B)
bermanfaat selama periode inkubasi untuk membatasi
multiplikasi virus, misalnya setelah setelah cedera tertusuk
jarum pada orang yang belum pernah divaksinasi. Manfaat
utama imunisasi pasif dengan antibodi semacam ini adalah
tersedianya sejumlah besar antibodi dalam waktu cepat.
Sedangkan kerugiannya adalah masa hidup antibodi yang
12
singkat dan kemungkinan terjadi reaksi hipersensitivitas jika
diberikan antibodi (imunoglobulin) dari spesies lain. (Jawetz,
2005)
2) Imunitas Aktif
Imunitas aktif adalah resistensis terhadap suatu imunogen
yang terjadi akibat kontak dengan imunogen asing. Imunitas
aktif dihasilkan setelah kontak dengan antigen asing (misal,
mikroorganisme atau produk-prduknya). Kontak tersebut dapat
berupa infeksi klinis atau subklinis, imunisasi dengan agen
infeksius hidup atau dimatikan atau antigen-antigennya,
pejanan terhadap produk mikroba (misal, toksin, toksoid), atau
transplantasi sel-sel asing. Pada semua keadaan ini pejamu
secara aktif menghasilkan antibodi, dan sel limfoid
mendapatkan kemampuan untuk berespons terhadap antigen.
(Jawetz, 2005)
Keuntungan imunitas aktif adalah pertahanan tunuh jangka
panjang (berdasarkan memori kontak dengan antigen
sebelumnya serta kemampuan berespons lebih cepat dan lebih
hebat setelah kontak dengan antigen yang sama). Sedangkan
kerugiannya adalah awitan resistensi yang lambat dan kontak
harus lama atau berulang-ulang dengan antigen tersebut.
(Jawetz, 2005)
Imunitas aktif terjadi apabila seseorang berkontak dengan
suatu virus seperti virus penyebab cacar air, virus merangsang
respons yang menyebabkan orang tersebut kemudian resisten
atau kebal terhadap pejanan berikutnya. Sebagian atau seluruh
virus yang dilemahkan atau dimatikan, produk-produk
toksiknya atau antigen yang direkayasa secara genetis misalnya
antigen permukaan hepatitis B juga dapat menimbulkan
imunitas aktif melalui vaksinasi. (Jawetz, 2005)
13
Berdasarkan Respon Sistem Imun dibagi menjadi dua:
1. Sistem Imun Humoral
Sistem imun humoral adalah sistem imun yang di perantarai oleh
antibodi dan peran Sel B dalam membantuk antibodi tersebut. Pada
respons imun yang diperantarai antibodi, limfosit T pernbantu (CD4)
mengenali antigen patogen yang membentuk kompleks dengan protein
MHC kelas II di permukaan sel penyaji antigen (makrofag atau sel B)
dan menghasilkan sitokin. Sitokin mengaktifkan sel B yang
mengekspresikan antibodi yang secara spesifik sesuai dengan antigen
tersebut. Sel B mengalami proliferasi klonal dan berdiferensiasi
membentuk sel-sel plasma, yang kemudian menghasilkan
imunoglobulin spesifik (antibodi). Fungsi antibodi sebagai pertahanan
pertama adalah menetralkan toksin dan virus serta opsonisasi
(penyelubungan) patogen, yang membantu ambilan patogen oleh sel-sel
fagositik. Pertahanan yang diperantarai antibodi penting untuk
melawan patogen yang menghasilkan toksin (misal, Clostidium tetani)
atau merniliki kapsul poiisakarida yang mengganggu fagositosis (misal,
pneumokokus). Pertahanan tersebut terutama berlaku untuk patogen
ekstraselular dan toksinnya. (Jawetz, 2005)
Antibodi (imunoglobulin) dibentuk oleh limfosit B. Setiap
individu mempunyai cadangan berbagai limfosit B dalam jumlah besar
(sekitar 109) yang mempunyai masa hidup beberapa hari sampai
minggu dan ditemukan dalam sumsum tulang, kelenjar getah bening,
dan jaringan limfoid di saluran cerna (misal, tonsil atau apendiks). Sel
B memperlihatkan molekul-molekul imunoglobulin (1O5/sel) di atas
permukaannya. Imunoglobulin tersebut berperan sebagai reseptor untuk
antigen spesifik, sehingga setiap sel B dapat memberikan respons
terhadap satu antigen saja atau sekelompok antigen yang sangat terkait.
Semua sel-sel B imatur membawa imunoglobulin IgM pada
permukaannya, dan sebagian besar juga membawa IgD. Sel-sel B juga
mempunyai reseptor permukaan untuk bagian Fc imunoglobulin dan
untuk beberapa komponen komplemen. (Jawetz, 2005)
14
Suatu antigen berinteraksi dengan limfosit B yang
memperlihatkan "kecocokan" paling baik berdasarkan sifat reseptor
permukaan imunoglobulinnya. Antigen berikatan dengan reseptor ini,
dan sel B dirangsang untuk membelah dan membentuk suatu klon
(seleksi klonal). Sel B yang terpilih segera rnenjadi sel-sel plasma
dan menyekresikan antibodi. Karena setiap orang dapat membuat sekitar
1011 molekul antibodi yang berbeda, pada sel B terdapat tempat
pengikatan antigen yang cocok untuk hampir semua determinan
antigen. (Jawetz, 2005)
Langkah awal pembentukan antibodi adalah fagositosis antigen,
biasanya oleh sel-sel penyaji antigen (terutama makrofag atau sel B)
yang memproses dan menyajikan antigen kepada sel T. Sel T yang
teraktivasi ini kemudian berinteraksi dengan sel B. Sel-sel B yang
membawa imunoglobulin permukaan yang sangat cocok dengan antigen
tersebut dirangsang untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel-sel plasma, yang membentuk protein-protein antibodi spesifik atau
berdiferensiasi menjadi sel-sel memori jangka panjang. Sel-sel plasma
menyintesis suatu imunoglobulin dengan spesifisitas yang sama seperti
yang dibawa oleh sel-sel prekursor B. (Jawetz, 2005)
a) Respons Primer
Bila seseorang bertemu antigen untuk pertama kalinya,
antibodi terhadap antigen tersebut dapat dideteksi dalam
serum dalam waktu beberapa hari atau minggu, bergantung
pada sifat dan dosis antigen serta rute pemberian (rnisal,
oral, parenteral). Konsentrasi antibodi serum terus meningkat
selama beberapa minggu kemudian menurun; konsentrasi
antibodi dapat turun sampai kadar sangat rendah. Antibodi
yang pertama terbentuk adalah IgM, diikuti oleh IgG, igA,
atau keduanya. Kadar IgM cenderung menurun lebih cepat
daripada kadar IgG. (Jawetz, 2005)
b) Respons Sekunder
15
Pada kejadian pertemuan kedua dengan antigen yang
sama (atau antigen "reaksi silang" yang terkait erat)
berbulanbulan atau bertahun-tahun setelah respons primer,
respons antibodi akan lebih cepat terbentuk dan meningkat
sampaikadar yang lebih tinggi daripada respons-primer.
Perubahan respons tersebut dihubungkan dengan persistensi
"sel-sel memori" yang sensitif antigen setelah respons imun
pertama. Pada respons sekunder, jumiah IgM yang
dihasiikan secara kualitatif sama dengan yang dihasilkan
setelah kontak pertama dengan antigen; namun, IgG yang
dihasilkan jauh lebih banyak, dan kadar IgC cenderung
menetap lebih lama dibandingkan dengan respons primer.
Dan lagi, antibodi tersebut cenderung mengikat antigen
lebih kuat (yaitu, dengan afinitas yang lebih tinggi)
sehingga lebih sulit berdisosiasi. (Jawetz, 2005)
Kelas lmunoglobulin
a) lgG
Setiap molekul IgG terdiri dari dua rantai L dan
dua rantai H yang dihubungkan oleh ikatan disulfida
(rumus molekul H2L2). Karena mempunyai dua tempat
pengikatan antigen yang identik, imunoglobulin ini
disebut divalen. Terdapat empat subkelas (IgGl sampai
IgG4), berdasarkan perbedaan antigenik pada rantai H
dan jumlah serta lokasi ikatan disulfida. IgG1 mencakup
65% dari IgG total IgG2 digunakan untuk melawan
antigen polisakarida dan mungkin merupakan pertahanan
pejamu yang penting terhadap bakteri berkapsul. IgG
adalah antibodi yang dominan pada respons sekunder dan
merupakan pertahanan penting terhadap bakteri dan
virus. IgG merupakan satu-satunya antibodi yang dapat
melewati plasenta dan dengan demikian merupakan
16
imunoglobulin terbanyak pada bayi baru lahir. (Jawetz,
2005)
b) lgM
IgM adalah imunoglobulin utama yang
dihasilkan pada awal respons imun primer. IgM terdapat
pada hampir semua permukaan sel B tak terikat. IgM
terdiri dari lima unit H2L2, (masing-masing serupa
dengan satu unit IgG) dan satu molekul rantai J (joining).
Pentamer (BM 900.000) mempunyai total sepuluh tempat
pengikat antigen yang identik dan dengan demikian
bervalensi 10. IgM merupakan imunoglobulin yang
paling efisien pada aglutinasi, fiksasi komplemen dan
reaksi antigen-antibodi lainnya serta penting pada
pertahanan melawan bakteri dan virus. Imunoglobulin
tersebut dapat dihasilkan oleh janin yang mengalami
infelai. Karena interaksinya dengan antigen dapat
melibatkan kesepuluh tempat pengikatan, imunoglobulin
tersebut paling sering bereaksi di antara semua
imunoglobulin. (Jawetz, 2005)
c) lgA
IgA merupakan imunoglobulin utama dalam
sekresi seperti susu saliva, dan air mata serta pada sekresi
saluran pernapasan, pencernaan, dan genital. IgA
melindungi selaput lendir dari serangan bakteri dan
virus. Setiap molekul IgA sekretoris (BM 400.000)
terdiri dari dua unit H2L2, dan satu molekul rantai J dan
komponen sekretoris. Komponen sekretoris adalah suatu
protein yang berasal dari pemecahan reseptor poli-Ig.
Reseptor tersebut berikatan dengan dimer IgA dan
mempermudah transpornya melewati sel-sel epitel
mukosa. Beberapa IgA terdapat dalam serum sebagai
suatu monomer HrL, ('BM 170.000). Terdapat
17
sekurangkurangnya dua subkelas, IgAl dan igA2.
Beberapa bakteri (misalnya, Neisseriae) dapat
menghancurkan IgAl dengan cara menghasilkan suatu
protease sehingga dapat mengatasi resistansi yang
diperantarai antibodi pada permukaan mukosa. (Jawetz,
2005)
d) lgE
Regio Fc pada IgE berikatan dengan reseptor di
permukaan sel mast dan eosinofil. IgE yang terikat
tersebut bekerja sebagai suatu reseptor untuk antigen
yang merangsang produksinya, dan kompleks antigen-
antibodi yang terbentuk mencetuskan respons alergik tipe
segera (anafilaktik) melalui pelepasan mediator. Pada
orang-orang dengan hipersensitivitas alergik yang
diperantarai antibodi, konsentrasi IgE meningkat tajam,
dan IgE dapat ditemukan pada sekresi eksternal. IgE
serum juga meningkat secara khas selama infeksi cacing.
(Jawetz, 2005)
e) IgD
IgD bekerja sebagai suatu reseptor antigen pada
permukaan limfosit B tertentu. Di dalam serum hanya
terdapat sedikit IgD. (Jawetz, 2005)
2. Sistem Imun Seluler
Sistem imun seluler adalah sistem imun yang diperantarai oleh sel.
Kemampuan memberikan respons terhadap stimulus imunologi
terutama dimiliki oleh sel-sel limfoid. Selama perkembangan
embrionik, prekursor sel darah ditemukan dalam hati fetus dan
jaringan lain; pada masa postnatal, sel stem terletak di dalam sumsum
tulang. Sel stem dapat berdiferensiasi dengan beberapa cara. Dalam
hati dan sumsum tulang, sel stem dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel
rangkaian sel darah merah atau sel-sel rangkaian limfoid. Sel stem
18
limfoid berkembang menjadi dua populasi limfosit utama, sel B dan
sel T. (Jawetz, 2005)
a. Sel B
Sel B adalah iimfosit yang berkembang dalam sumsum
tulang mamalia. Pada burung, sel tersebut berkembang dalam
bursa Fabricius, suatu usus tambahan. Sel B menyusun kembali
gen-gen imunoglobulinnya dan mengekspresikan suatu reseptor
unik untuk antigen di permukaan selnya. Kemudian, sel ini
bermigrasi ke organ Iimfoid sekunder-misalnya, limpa dan bila
bertemu antigen, sel ini dapat diaktifkan menjadi sel plasma
yang menyekresikan antibodi. (Jawetz, 2005)
Pada respons imun yang diperantarai sei, kompleks
antigen-MlHC kelas II dikenali oleh limfosit T pembantu (CD4),
sementara kompleks antigen-MHC kelas I dikenali oleh
limfosit T sitotoksik (CD8). Setiap kelas sel T menghasilkan
sitokin, menjadi aktif, dan berkembangbiak dengan cara
proliferasi klonal. Aktivitas sel T pembantu, selain rnerangsang
sel B untuk menghasilkan antibodi, membantu terjadinya
hipersensitivitas tipe lambat dan dengan demikian juga berperan
dalam pertahanan tubuh melawan agen-agen intraselular,
termasuk bakteri intrasel (misal, mikobakteri), fungi, protozoa,
dan virus. Aktivitas se1 T sitotoksik terutama ditujukan untuk
destruksi sel pada tandur jaringan, sel-sel tumor, atau sel-sel
yang terinfeksi oleh beberapa virus. Oleh karena itu, sel T
terutama digunakan untuk mengaktifl<an respons sel B dan
melawan patogen intraselular. (Jawetz, 2005)
b. Sel T
Sel T adalah limfosit yang memerlukan maturasi dalam
timus dah membentuk beberapa subkelas dengan fungsi
spesifik. Sel-sel tersebut merupakan sumber imunitas selular.
Beberapa sel limfositik (misal, sel pembunuh alami) tidak
19
memiliki ciri sel B atau T tetapi mempunyai peran imunologi
yang signifikan.
Di dalam timus, sel-sel progenitor sel T mengalami
diferensiasi (di bawah pengaruh hormon timus) menjadi
subpopulasi sel T. Banyak yang telah dipelajari mengenai
proses tersebut dalam tahun-tahun belakangan ini, dan pembaca
dianjurkan membaca teks khusus untuk mendapatkan penjelasan
yang lebih detail. Sel-sel T berdiferensiasi dalam timus menjadi
sel-sel yang mengekspresikan reseptor sel T spesifik dan positif
untuk ekspresi molekul reseptor CD4 maupun CD8. Setelah
berdiferensiasi dalam timus, sel-sel T mengalami proses
pemilihan positif dan negatif sehingga hanya sel-sel dengan
reseptor antigen yang paling berguna yang akan disimpan,
yaitu, sel T yang bersifat spesifik untuk antigen nonself dan
terbatas pada MHC self Klon-klon yang merupakan antiself
potensial akan dihilangkan atau fungsinya diinaktifkan (dibuat
anergi). Proses seleksi ini menyebabkan sekitar 9570 timosit
mati dalam timus. Hanya sedikit sel T yang berkembang dan
mengekspresikan reseptor yang sesuai. Sel inilah yang disimpan
dan dikeluarkan ke perifer tempat sel-sel matur menjadi selsel
T yang efektif. (Jawetz, 2005)
Fungsi sel T
a) Fungsi efektor
Imunitas selular dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
terutama dihasilkan untuk melawan antigen parasit intrasel,
termasuk virus, fungi, beberapa protozoa, dan bakteri (misal,
mikobakteri). Defisiensi imunitas selular terutama
bermanifestasi dalam bentuk kerentanan individu yang nyara
terhadap infelisi oleh mikroorganisme tersebut dan tumor-
tumor tertentu. Dalam merespons allograf atau tumor, sel-sel
CD4-positif dapat mengenali molekul MIIC kelas II asing dan
antigen spesifik, kemudian sel ini menjadi aktif. Sel T
20
sitotoksik CD8-positif kemudian berespons tcrhadap produksi
sitokin oleh sel-sel CD1r, mengenali molekul MHC kelas I
pada sel-sel "asing", dan terus menghancurkan sei-sel
tersebut. Pada kasus sel-sel yang terinfeksi virus, limfosit
CD8 harus mengcnali enrigenantigen yang ditentukan oleh
virus dan molekul MHC kelas I pada sel yang terinfeksi.
(Jawetz, 2005)
b) Fungsi Regulator
Sel T berperan penting dalam rnengatur imunitas
humoral (diperantarai antibodi) maupurn selular (diperantarai
sel). Produksi antibodi oleh sel B biasanya memerlukan
partisipasi sel T helper (respons bergantung pada sel T),
tetapi antibodi terhadap beberapa antigen (misal,
makromolekul yang mengalami polimerisasi seperti
polisakarida kapsular pada bakteri) merupakan hasil respons
yang tidak bergantung pada sel T. Pada respons sei B
terhadap antigen yang bergantung pada sel T, baik sel-sel B
dan T harus mempunyai spesifisit.s MHC kelas II yang
sama. Pada respons semacam ini, antigen berinteraksi
dengan IgM pada permukaan sei B. Kemudian antigen
djinternalisasi dan diproses. Fragmen-fragmen antigen
dikembalikan ke permukaan sel B dalam hubunganya dengan
molekul MHC kelas II. Semuanya berinteraksi dengan
reseptor sel T pada sel T helper, dar.r menghasilkan sitokin
yang membantu pembelahan sel-sel B dan juga membantunya
berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma penghasil antibodi, yang
mengekspresikan imunoglobulin kelas lainnya (misal, IgG,
igA). Sama seperti sel T, sel-sel B memerlukan dua sinyal
untuk aktivasi. Satu sinyal dari reseptor sel B untuk antigen,
dan yang kedua adalah sinyal kostimulasi yang dihasilkan
akibat interaksi CD40 pada sel B dengan CDl54 (ligand
CD40) pada sel T helper. Pada respons selular lainnya.
21
antigen diproses oleh makrofag, dan fragmen-fragmen
disajikan dengan bantuan molekul MHC kelas II pada
permukaan makrofag. Molekul-molekul tersebut berinteraksi
dengan reseptor sel T pada sei T helper, yang menghasilkan
sitokin untuk merangsang pertumbuhan sel-sei CD4 (T
helper) yang sesuai. (Jawetz, 2005)
Gambar 4. Diagram skematik interaksi selular dalam respon imun. (Jawetz,
2005)
2. Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun
yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi
hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan
kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi.
a. Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Reaksi IgE atau Anafilaktik Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul segera setelah
adanya pajanan dengan alergen. Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit
setelah terjadi kombinassi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada
individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen. Reaksi ini seringkali disebut
22
sebagai alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai alergen. Alergen yang
masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan
penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria, asma dan dermatitis atopi. Reaksi
tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling sering terjadi. Reaksi ini disebut
sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga, merupakan
kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan
kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin. Sementara itu, ada istilah
atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi hipersensitifitas tipe I
yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau
tertelan. Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4
yang lebih banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat
dikode sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13
dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA. Hipersensitifitas
tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang ditandai
dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot
polos atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit
sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti pada
rinitis alergi dan asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat yang terjadi
dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat
bertahan dalam beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh
eosinofil, netrofil, basofil, monosit, dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan
yang seringkali bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa. (Syahrurachman,
2007)
Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi, fase
aktivasi dan fase efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan
untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada
permukaan. Fase aktivasi merupakan waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul
yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan
silang antara antigen dan IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang
kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel
mast/basofil dengan aktivitas farmakologik. (Syahrurachman, 2007)
23
1. Fase Sensitisasi: Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap
antigen yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran
nafas, selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi.
Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis setelah terpapat alergen dari
udara. Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen
MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit
CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah
karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts). Jika pemaparan alergen masih
kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan, atau suntikan sementara IgE
sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi.
IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika
beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil
dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu
yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik. (Syahrurachman,
2007)
2. Fase Aktivasi: Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen
menunjukan derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik
kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya
disebabkan alergen yang diujikan. Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I
adalah mastosit yang terdapat pada jaringan ikat di sekitar pembuluh darah,
dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga
berperan. Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil
mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan
alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang
antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa:
1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE
2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE
3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor
Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE
atau reseptornya. Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen
dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan
reaksi anafilaktoid. Faktor fisik seperi suhu panas, dingin dan tekanan dapat
24
mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin.
Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan
perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti
masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam
regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat
degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu,
aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP merupakan
mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis. (Syahrurachman, 2007)
3. Fase Efektor: Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan
farmakologik aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi.
Terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase
efektor. (Syahrurachman, 2007)
Gambar 5. Mekanisme reaksi Tipe I (Baratawidjaja, 2014)
25
Gambar 6. Kejadian biokimiawi pada aktivasi sel mast (Baratawidjaja)
b. Reaksi Hipersensitivitas tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena
dibentuk antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian
sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengakibatkan sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui Antibody Dependent Cell mediated Cytotoxicity (ADCC).
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi,
penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit
autoimun. (Baratawidjaja, 2014)
26
c. Reaksi Hipersensitivitas tipe III
Hipersensitifitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi
yang mengendap dalam jaringan yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada
jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan
dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun
tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan mengikat
komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit
mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan
pada pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor
Fc dan komponen komplemen pada permukaan endotel yang berakibat pada
kerusakan dinding pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis
nekrotikans. (Kumar, 2007)
Gambar 7. Reaksi hipersensitivitas Tipe III (Baratawidjaja, 2014)
27
Gambar 8. Kompleks imun dan hipersensitivitas Tipe III
(Baratawidjaja, 2014)
Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti
protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam
jika seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun).
Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika
terbentuk di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada
organ tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh
darah kecil pada kulit. Reaksi hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu
dalam jaringan kulit individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang
spesifik terhadap antigen pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan
ke dalam individu tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan
membentuk senyawa kompleks imun setempat. Komplek imun tersebut akan
mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen
sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangan setempat disertai
peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas
ini memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil, masuk ke jaringan
ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut. (Kumar, 2007)
28
Hipersensitifitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik
berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness
pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui
reaksi ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum
dari kuda yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang
berlangsung melalui 4 tahap yaitu:
1. Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya
produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut
disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang
masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi. (Kumar, 2007)
2. Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit,
ginjal dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu
deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks
imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang
darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin
dan cairan sinovial lebih sering terserang sehingga meningkatkan kejadian
kompleks imun pada glomerulus dan sendi. (Kumar, 2007)
3. Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan
berkumpul di daerah pengendapan
4. Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi
inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk,
dapat terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi
(atralgia), pembesaran nodus limfa, dan proteinuria. Kerusakan yang
terjadi cukup mirip pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi
nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh darah,
glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi
pada sendi, dan sebagainya. Antibodi yang mengikat komplemen (seperti
IgG dan IgM) dan antibodi yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa
29
subkelas IgG) menginduksi lesi patologis. Karena adanya penggunaan
komplemen, dapat terjadi penurunan level serum C3 yang biasanya
digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit. Jika penyakit berasal dari
eksprosur terhadap antigen tunggal yang besar, lesi cenderung untuk
pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentuk serum
sicknessyang kronis terjadi akibat eksposur antigen berulang atau
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti SLE yang
berkaitan dengan respon antibodi persisten terhadap autoantigen. Pada
beberapa penyakit, meski terdapat perubahan morfologis dan terdapat
temuan deposisi kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak diketahui
dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.
Sementara itu, reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan area
terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang
biasanya terjadi pada kulit. Secara eksprimen, reaksi dapat dihasilkan
dengan injeksi intrakutan suatu antigen pada hewan yang sudah
terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang melawan antigen
tersebut. Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi ikatan
yang ditunjukan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk
secara lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan
menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat
memperburuk cedera berupa iskemik. (Kumar, 2007)
d. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena
aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama
dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi
sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada
daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas
tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak
(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed
type hipersensitivity, DTH). (Kumar, 2007)
30
Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit
T, termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi
hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak
penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis yang
dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel T
CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih
dominan adalah sel T CD8+. (Kumar, 2007)
Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan
kategori hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi
imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis
melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 keduanya berkontribusi dalam
terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana inflamasi merupakan aspek
utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel
TH1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan yang berhubungan dengan
sel TH17 akan didominasi oleh neutrofil. (Kumar, 2007)
Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi
beberapa 2 tahap: Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel T CD4+
mengenali susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan
mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk
menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan antara
antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada
produksi sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan
makrofag) terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi
diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1 dalam
perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan
IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β untuk
menstimulasi diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa dari diferensiasi
sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama
waktu yang lama. (Kumar, 2007)
Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan
antigen yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang
31
dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan sitokin (umumnya
IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari
hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan
memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai
sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II,
yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga
mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi.
Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat respon dari
TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk
mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus
menerus maka inflamasi kan berlanjut dan jaringan yang luka akan menjadi
semakin luas. (Kumar, 2007)
TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga oleh
self-antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan IL17,
IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut
neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17
juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri.
(Kumar, 2007)
Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa
antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari
banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I. CTLs
langsung melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut yang
merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan. Mekanisme dari
CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi
virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks
yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+. Pembunuhan sel yang
telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut dan juga akan
berakibat pada kerusakan sel. (Kumar, 2007)
Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi
oleh sel T melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan granula
seperti lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali sel target akan
32
mensekresikan kompleks yang berisikan perforin , granzymes, dan protein
yang disebut serglycin yang dimana akan masuk ke sel target dengan
endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin memfasilitasi
pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease
yang memecah dan mengaktivasi caspase, yang akan menginduksi
apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan Fas
Ligand, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat berikatan dengan
Fas expressed pada sel target dan memicu apoptosis. (Kumar, 2007)
Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat dalam
reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan
terekspos oleh beberapa agen kontak. (Kumar, 2007)
Sel CD4+
Sel CD4+ adalah semacam sel darah putih atau limfosit dan ini bagian yang
penting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Disebut juga T-4, sel pembantu atau
kadang sel CD4+. Jumlah CD4+ normal adalah 410 sel/mm3 - 1590 sel/mm3, bila
jumlah CD4+ dibawah 350 sel/mm3, atau dibawah 14%, kita anggap terkena AIDS
(Definisi Depkes). Jumlah CD4+ dipakai bersama untuk meramalkan berapa lama
kita akan tetap sehat. (Kumar, 2007)
CD4+ berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV. Sel T melepas
sitokinin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan
respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat.
Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin,
anestesi topikal, antihistamin topical dan steroid topikal. (Kumar, 2007)
Reaksi inflamasi yang dipicu oleh sel T CD4+
Dalam inflamasi, yang dicontohkan oleh hipersensitivitas lambat, sel T
CD4+ dari subset TH1 dan TH17 mensekresi sitokinin, yang mendatangkan dan
mengaktifkan sel lain, terutama makrofag yang merupakan efektor utama pada
jejas.
33
Urutan peristiwa dalam reaksi inflamasi yang diperantarai sel T dimulai
dengan pemajanan pertama mikroba yang bergabung dengan molekul MHC kelas
II pada permukaan sel dendrit (makrofag) yang memproses antigen. Apabila sel
dendrit memproduksi IL-12 maka sel T yang naïf berdiferensiasi menjadi sel
efektor dari jenis TH1. Sitokin IFN-y yang dibuat sel NK dan sel TH1 sendiri,
menunjang diferensiasi sel TH1 lebih lanjut dan membuat lingkaran umpan balik
yang positif. Apabila APC memproduksi II-1, IL-6 atau IL-23, yang seharusnya
IL-12, maka sel CD4+ berdiferensiasi menjadi efektor TH17. Pemajanan kepada
antigen selanjutnya sel efektor yang sudah terjadi ditarik ketempat pemajanan
antigen dan diaktifkan terhadap antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1
mensekresikan IFN-y, yang merupakan sitokin paling kuat yang bersifat
mengaktifkan makrofag. Makrofag yang teraktivasi mempunyai aktivitas fagositik
dan mikrosidal yang meningkat. Makrofag yang teraktivasi juga memaparkan
molekul MHC kelas II dan kostimulator lebih banyak yang menunjang kapasitas
penyajian antigen, mensekresikan IL-12 lebih banyak sehingga meningkatkan
reaksi sel TH1. Pada aktivasi oleh antigen, sel TH17 mensekresikan IL-17 dan
sitokin lain, yang mengaktifkan neutrofil dan monosit yang menyebabkan
inflamasi. Karena sitokin yang dihasilkan sel T meningkatkan pemanggilan dan
aktivitas leukosit maka reaksi radang menjadi kronik kecuali bila penyebabnya
atau siklusnya diputus dengan pengobatan. Tenyata, inflamasi terjadi sebagai
reaksi dini terhadap mikroba dan sel mati, tetapi sangat meningkat dan
diperpanjang bila sel T terlibat. (Kumar, 2007)
Hipersensitivitas lambat atau Delayed Type Hypersensitivity (DTH), yang
diuraikan kemudian, adalah gambaran model inflamasi dan jejas jaringan yang
diperantarai sel T. Reaksi yang sama menjadi dasar timbulnya beberapa penyakit.
Dermatitis kontak adalah adalah suatu contoh jejas jaringan yang dihasilkan sel T.
Pada pemajanan kembali dari individu yang telah terpajan sebelumnya terhadap
tanaman tersebut, sel T CD4+ memupuk didalam dermis dan bermigrasi menuju
antigen didalam dermis. Disini mereka melepaskan sitokin yang merusak
keratinosit, mencerai-beraikan mereka dan membentuk vesikel dan inflamasi yang
berwujud sebagai dermatis vesicular. (Kumar, 2007)
34
Gambar 9. CD4+ dan CD8+ pada reaksi hipersensitivitas Tipe IV
(Baratawidjaja, 2014)
3. A. Organ Limfatik
Sejumlah organ limfoid dan jaringan limfoid yang morfologis dan fungsional
berlainan berperan dalam respons imun. Organ limfoid tersebut dapat dibagi
menjadi organ primer dan sekunder. Timus dan sumsum tulang adalah organ
primer yang merupakan organ limfoid tempat pematangan limfosit.
(Baratawidjaja, 2014)
1. Organ limfoid primer
Walaupun terdapat di semuabagian tubuh, namun limfoid, termasuk sumsum
tulang, timus, limpa, kelenjar getah bening, dan jaringan limfoid terkait organ.
Sumsum tulang dan timus dianggap sebagai organ limfoid primer. Pada tahap
awal perkembangan limfosit dari sel bakal di sumsum tulang, tidak menghasilkan
reseptor untuk bereaksi dengan imunogen. Seiring dengan proses pematangan
karena pengaruh faktor-faktor persangsang koloni, limfosit mulai
mengekspresikan (yaitu, menyajikan di permukaan selnya) reseptor imunogen dan
menjadi peka terhadap rangsang imunogenik; sel-sel ini juga berkembang menjadi
tiga subkelas yang berbeda. Sel-sel T bermigrasi dari sumsum tulang ke kelenjar
timus untuk proses pematangan lenih lanjut dan dianggap limfosit yang
35
“dependen-timus”. Sel B kemungkinan besar tetap berada di sumsum tulang dan
dianggap limfosit yang “ independen-timus”. Sel NK adalah limfosit yang
memiliki sebagian petanda limfosit T. Namun, perbedaan utama antara sel NK
dan sel T adalah bahwa sel NK bersifat”pratimus”; yaitu, sel ini tidak melewati
timus untuk menjadi matang. (Baratawidjaja, 2014)
Timus adalah sebuah organ berlobulus dua yang terletak di mediastinum
anterior dan diatas jantung. Timus adalah organ yang memiliki banyak pembuluh
darah dan pembuluh limfatik yang mengalirkan isinya ke kelenjar-kelenjar getah
bening mediastinum. Timus memiliki korteks di sebelah luar dan medula
disebelah dalam. Korteks mengandung banyak timosit (lifosit T yang di temukan
di timus), sedangkan medula lebih jarang terisi olehsel. Badan hassall, yaitu
kelompok-kelompok sel yang tersusun rapat yang mungkin merupakan tempat
degenerasi sel, di temukan di medula. Timosit limfosit T yang datang dari
sumsum tulang melalui aliran darah dan berada dalam berbagai stadium
perkembangan. (Baratawidjaja, 2014)
2. Organ limfoid sekunder
Organ limfoid sekunder mencakup limpa, kelenjar getah bening, dan
jaringan tidak berkapsul. Contoh-contoh jaringan tidak berkapsul adalah tosil,
adenoid, dan bercak-bercak jaringan limfoid di lamina propria (jaringan ikat
fibrosa yang terletak tepat di bawah epitel permukaan selaput lendir) dan di
submukosa saluran cerna (GI), saluran napas, saluran genitourinaria (GI). Limpa
memiliki dua jenis jaringan utama:pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah
terutama berperan dalam detruksi eritrosit (sel darah merah, SDM) yang sudah
tua, walaupun bagian ini mengandung makrofag, trombosit, dan limfosit (terutama
limfosit B).pulpa putih limpa adalah jaringan limfoid padat yang tersusun
mengelilingi arteriol sentral. Susunan ini sering disebut sebagai selubung limfoid
periatriol (PALS). (Baratawidjaja, 2014)
Limpa adalah tempat utama respon imun terhadap imunogen dalam darah,
sedangkan kelenjar getah bening bertanggungjawab memproses imunogen di
limfoid yang berasal dari jaringan regional. (Baratawidjaja, 2014)
36
B. Mekanisme kerja Sistem Limfatik
Sistem limfatik atau sistem getah bening membawa cairan dan protein yang
hilang kembali ke darah. Cairan memasuki sistem ini dengan cara berdifusi ke
dalam kapiler limfa kecil yang terjalin di antara kapiler-kapiler sistem
kardiovaskuler. Apabila suda berada dalam sistem limfatik, cairan itu disebut
limfa atau getah bening, komposisinya kira-kira sama dengan komposisi cairan
interstisial. Sistem limfatik mengalirkan isinya ke dalam sistem sirkulasi di dekat
persambungan vena cava dengan atrium kanan. Pembuluh limfa, seperti vena ,
mempunyai katup yang mencegah aliran balik cairan menuju kapiler. Kontraksi
ritmik (berirama) dinding pembuluh tersebut membantu mengalirkan cairan ke
dalam kapiler limfatik. Seperti vena, pembuluh limfa juga sangat bergantung pada
pergerakan otot rangka untuk memeras cairan ke arah jantung. Di sepanjang
pembuluh limfa terdapat organ yang disebut nodus (simpul) limfa (lymph node)
atau nodus getah bening yang menyaring limfa. Di dalam nodus limfa terdapat
jaringan ikat yang berbentuk seperti sarang lebah denagn ruang-ruang yang penuh
dengan sel darah putih. Sel-sel darah putih tersebut berfungsi untuk menyerang
virus dan bakteri. (Guyton, 2011)
37
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G. 2014. Imunologi Dasar Edisi ke-11. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Guyton, Arthur C dan Hall John. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC.
Jawetz, M; Adelberg’s. 2005. Imunologi: dalam buku Mikrobiologi Kedokteran
Edisi ke-23. Jakarta. EGC
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi ke-7 Volume 1.
Jakarta. EGC.
Syahrurachman, A. 2007. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Tangerang.
Binarupa Aksara.