al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou...kemampuan memahami dan...

22
Nuansa Etis Dalam Surat al-Balad (Sebuah Penafsiran Linguistik Model Bint al-Syati’) Oleh H. Imam Taufiq* Kata Kunci: Al-Qur’an, Tafsir, etika, linguistik, dan sosial Pendahuluan Al-Qur’an, sebuah kitab suci yang diturunkan Allah, diyakini merupakan inspirasi setiap gerak langkah umat Islam dalam kehidupan ini. Maka untuk benar-benar menjadikan al-Qur’an sebagaiamana mestinya, diperlukan upaya kreatif penggalian makna-makna al-Qur’an. Namun untuk mengungkapkan dan menjelaskan itu semua, tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca dan menyanyikan al- Qur’an dengan baik. Diperlukan bukan sekedar itu, tapi lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip- prinsip yang dikandungnya. Kemampuan seperti inilah yang disebut tafsir. 1 Sebab itu dikatakan “tafsir adalah kunci untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam al-Qur’an. Tanpa tafsir orang tidak akan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkan mutiara dan permata yang ada didalamnya.” 2 Sejalan dengan perjalanan waktu dan perluasan wilayah Islam, al- Tafsir al-Qur’an secara umum bercirikan analisis- linguistik yang hadir dalam kebutuhan keseharian umat tidak jarang luput dari pertimbangan etik. Padahal tafsir dan proses penafsiran al-Qur’an semestinya memiliki keterkaitan yang erat dengan unsur etika. Sebab, semua perbuatan manusia tidak hanya diukur dari sisi lahiriyah, melainkan juga diukur berdasarkan pertimbangan etika yang pada dasar- nya memilki obyek perbuatan baik dan buruk manusia. Pertimbangan akal dengan pertimbangan baik dan buruk ini menjadi watak analisa kebahasaan yang dikembangkan oleh Aisyah Bint al-Syati’. Model tafsiran ini memungkinkan lahirnya tafsir yang diwarnai nilai-nilai lokal dan temporal sekaligus, memiliki bobot nilai-nilai yang abadi dan universal. al-Qur’an

Transcript of al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou...kemampuan memahami dan...

Nuansa EtisDalam Surat al-Balad

(Sebuah Penafsiran Linguistik Model Bint al-Syati’)

Oleh H. Imam Taufiq*

Kata Kunci: Al-Qur’an, Tafsir, etika, linguistik, dan sosial

Pendahuluan

Al-Qur’an, sebuah kitab suci yang diturunkan Allah, diyakinimerupakan inspirasi setiap gerak langkah umat Islam dalam kehidupanini. Maka untuk benar-benar menjadikan al-Qur’an sebagaiamanamestinya, diperlukan upaya kreatif penggalian makna-makna al-Qur’an.Namun untuk mengungkapkan dan menjelaskan itu semua, tidaklahmemadai bila seseorang hanya mampu membaca dan menyanyikan al-Qur’an dengan baik. Diperlukan bukan sekedar itu, tapi lebih padakemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya. Kemampuan seperti inilah yang disebuttafsir.1 Sebab itu dikatakan “tafsir adalah kunci untuk membuka gudangsimpanan yang tertimbun dalam al-Qur’an. Tanpa tafsir orang tidakakan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkanmutiara dan permata yang ada didalamnya.”2

Sejalan dengan perjalanan waktu dan perluasan wilayah Islam, al-

Tafsir al-Qur’an secara umum bercirikan analisis-linguistik yang hadir dalam kebutuhan keseharianumat tidak jarang luput dari pertimbangan etik.Padahal tafsir dan proses penafsiran al-Qur’ansemestinya memiliki keterkaitan yang erat denganunsur etika. Sebab, semua perbuatan manusia tidakhanya diukur dari sisi lahiriyah, melainkan juga diukurberdasarkan pertimbangan etika yang pada dasar-nya memilki obyek perbuatan baik dan burukmanusia. Pertimbangan akal dengan pertimbanganbaik dan buruk ini menjadi watak analisa kebahasaanyang dikembangkan oleh Aisyah Bint al-Syati’. Modeltafsiran ini memungkinkan lahirnya tafsir yangdiwarnai nilai-nilai lokal dan temporal sekaligus,memiliki bobot nilai-nilai yang abadi dan universal.

al-Qur’an

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200564

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

Qur’an telah diterjemahkan dan ditafsirkan sejalan dengan kebutuhanwaktu dan tempat bersangkutan, mengingat kaum musliminberkeyakinan bahwa al-Qur’an merupakan rahmat dan petunjuk bagisegenap bangsa yang berlaku sepanjang waktu dan disemua tempat.

Konsekuensinya adalah bahwa kaum muslimin akan terusmenciptakan masa depan dengan al-Qur’an. Itulah sebabnya setiap tokohyang memerankan dirinya sebagai pembaharu, akan menyusun sebuahtafsir al-Qur’an-nya sendiri, meskipun tidak dapat dikatakan bahwasetiap penyusun tafsir itu adalah seorang pembaharu.3 Pada zaman modernini, terlebih setelah semakin berkurangnya kemampuan dalam tafsirmusalsal atau tartil telah memunculkan tafsir al-Qur’an yang tidakmencakup seluruh al-Qur’an. Tafsir yang bersifat parsial itu, mengambilbagian khusus dalam al-Qur’an baik berupa ayat-ayat maupun surat-surat tertentu. Belum lagi perkembangan terkini dengan merebaknyajenis tafsir al-Maudhu’i.4

Dari diskursus yang meramaikan peta pemikiran dalam tafsir al-Qur’an, telah menunjukkan lahirnya berbagai jenis tafsir al-Qur’andari tanah intelektual Muslim yang subur. Namun, pada prinsipnyakesemua tafsir itu bisa dikelompokkan dalam tiga sudut pandangan;pertama, tafsir yang dipenuhi pengadopsian temuan-temuan keilmuanmutakhir, tafsir ilmi; kedua, tafsir yang “dibasahi” analisis linguistikdan filologik; dan ketiga, tafsir yang bersinggungan dengan persoalan-persoalan keseharian umat.5 Menurut Jansen, maraknya model penafsirantersebut (khususnya diparoh awal abad dua puluh) merupakan imbasintelektual dan barat muslim dengan Barat pasca renaisance, meskipunbila dilacak lebih jauh, embrio penafsiran ini sudah ada semenjakmasa Abbasiyah pada saat umat bersentuhan dengan kemajuanpengetahuan yang merupakan condito sine qua non dalam kehidupanumat, dan mencapai “kematangannya” pada awal abad dua puluh seperiterlihat dalam karya monumental Muhammad Tanthawi al-Jauharidalam Tafsir al Jawahir, tafsir berjilid-jilid yang sarat akan pengadopsianpenemuan-penemuan ilmu alam mutakhir.

Watak tafsir yang secara umum bercorak analisis-linguistik bahkanilmi yang hadir dan dikonsentrasikan dalam kebutuhan keseharian umattidak jarang luput dari pertimbangan etik. Padahal tafsir dan prosespenafsiran al-Qur’an semestinya memiliki keterkaitan yang erat denganunsur etika, Sebab semua perbuatan manusia tidak hanya diukur darisisi lahiriyah, melainkan juga diukur berdasarkan pertimbangan “etika”yang pada dasarnya memilki obyek “perbuatan baik dan buruk manusia”,yang berlandaskan akal pikiran manusia dan berdasarkan pertimbangamnaqliyah. Pertimbangan akal memungkinkan lahirnya tafsir yangdiwarnai oleh nilai-nilai lokal dan temporal, sedangkan pertimbangan

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 65

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

syar’iyah menghasilkan tafsir yang diwarnai dengan nilai-nilai yang abadidan universal. Dengan demikian nuansa etis dimaksudkan adalah suatubobot yang sarat dengan nilai-nilai etis sebagai pijakan berpikir. Makalahini mengarah pada pengertian etis yang lebih mendasar daripada yangterdapat dalam perucapan sehari-hari. Dengan kata lain dikatakanbahwa etis dimaksudkan sebagai konsep dan ajaran yang serba meliputidan komprehensif, yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baikdan buruk.

Adalah A’isyah Abd al-Rahman bint al-Syati’ salah satu mufassirperempuan yang menulis kitab tafsir, dalam perspektif perempuan-nyamencoba membubuhkan nilai etika ke dalam tubuh tafsir al-Qur’an.Pengamatan sekilas terhadap “magnum opus”nya, Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, akan membuahkan kesan bahwa dalam memahami,menganalisa bahkan mengamalkan produk-produk keislaman (terlebihtafsir al-Qur’an), seseorang tidak boleh melepaskan pertimbangan-pertimbangan etika. Tafsir al-Qur’an modern yang berisikan surat-suratpendek dalam al-Qur’an semisal al-Dhuha, al-Zalzalah dan al-Takatsurini tidak mengikuti pola suatu penafsiran al-Qur’an secara tartil.

Menurut Issa J. Boullata, metode yang dikembangkan Bint al-Syatitampak mengandung kehati-hatian yang sengaja dipatok agar dapatmembiarkan al-Qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri, dan agarKitab Suci itu dipahami dengan cara yang paling langsung sebagaimanaorang-orang Arab pada masa kehidupan Nabi Muhammad.6 Rujukan-rujukan al-Qur’an kepada orang-orang yang hidup pada masa itudiminalkan hanya sebagai data sejarah, dengan harapan agar signifikansireligius orang-orang maupun kejadian-kejadian tersebut dipahami padakonteks pesan al-Qur’an dalam totalitasnya. Dengan demikian, tekanandiletakkan pada apa yang menjadi maksud Tuhan dengan sebuahpewahyuan, yang melampaui dan berada diatas peristiwa sejarahtertentu yang menjadi latar belakangnya.

A’isyah Bint Syati’ memulai penelitian terhadap al-Qur’an denganupaya menggeser wilayah hermeneutik teks dari unthinkable menjadithinkable. Hal ini di wujudkan dengan memperlakukan teks sakralsebagai kitab sastra Arab terbesar, sehingga segala bentuk analisismerupakan upaya niscaya untuk mengungkap pesan moral dan hidayahal-Qur’an. Ia juga melihat bahwa tafsir yang merupakan wujud riilpemahaman umat terhadap al-Qur’an, harus memberikan pengaruhsampai pada ranah affektif dan psikomotorik, karena demikianlahseharusnya menjadi jangkauan bidang etika.

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200566

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

Metodologi Tafsir Bint al-Syati’

Nama lengkapnya adalah Aisyah Abd al-Rahman. Ia terlahir diDameitta (Dumyat), wilayah di sebelah barat Delta Nil, sekitar 15kilometer dari Mediterranean pada tanggal 6 Nopember 1913, dan tumbuhdewasa di tengah sebuah lingkungan yang taat dan ketat dalammelaksanakan ajaran-ajaran Islam.

Ayahnya, Abd al-Rahman, semula berasal dari Subra Bakhum, sebuahdesa kecil indah di tepian Manufiyyah. Setelah menamatkanpendidikannya di Universitas al-Azhar Mesir, Abd al-Rahman diangkatmenjadi guru pada sekolah teologi di Demeitta. Disana ia bertemu danakhirnya menikah dengan anak seorang syaikh terkenal yang juga jebolanal-Azhar, al-Syaikh Ibrahim Damhuji al-Kabir.

Sejak kecil Bint al-Syati’ sudah terbiasa dengan mendengarkan al-Qur’an yang dilantunkan oleh Ayah dan koleganya, sebab ia sering diajakAyahnya ke ruang pribadinya di rumah atau di kantornya di Jami’ al-Bahr. Kebiasaan ini amat berbeda dengan umumnya anak-anak seusianyayang terbiasa dalam suasana canda dan bermain-main dengan sebayanya.Maka di usia yang ke-5, Aisyah memulai belajar membaca dan menulisdengan karib ayahnya yaitu Syaikh al-Mursi di Subra Bakhum. Kemudiandilanjutkan dengan belajar kaedah bahasa Arab dan tauhid bersamasang Ayah tercinta sendiri sampai akhirnya ia mampu menghapal al-Qur’an secara keseluruhan pada tahun 1920.

Di tahun yang sama, dalam menanggapi pertanyaan ayahnya mengapadia tidak terlihat bahagia, Aisyah untuk pertama kalinya berterus terangmenyatakan keinginannya untuk belajar di sekolah formal. Akan tetapidengan tegas ayahnya menolak dan mengatakan “tidak ada alasan bagianak-anak perempuan untuk belajar di sekolah yang mengajarkankebobrokan moral, mereka harus belajar di rumahnya masing-masing”.Pada waktu itu ayahnya memintanya untuk membaca surat al-Ahzabayat 33 dan 34 sebagai alasan penolakan, sebab bagi ayahnya pendidikannon Islami adalah bentuk pengajaran yang selayaknya tidak diikuti olehorang Islam, apalagi bagi keluarga syaikh.

Melihat sikap keras Abd Rahman terhadap keinginan Aisyah tersebut,timbul rasa simpati ibunya, yang kemudian mengadukan kepadakakeknya, syaikh Ibrahim Damhuji. Setelah melalui diskusi dengan buyutAisyah, akhirnya ayahnya menyetujui keinginan putrinya untuk belajardi sekolah dengan beberapa syarat yang ditentukan.

Setelah merampungkan studinya di Sekolah Dasar dan tingkatmenengah dengan nilai yang sangat memuaskan dan dilanjutkan dengansekolah keguruan di Tanta selama satu tahun, Aisyah pulang kembalike kampung halaman dan berhenti sekolah, yang semestinya diselesaikan

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 67

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

dalam tiga tahun, sebab buyutnya telah meninggal dan ayahnya kembalimemaksa untuk tinggal di rumah bersama keluarganya. Aisyah dan ibunyamerasa bahwa mereka telah kehilangan seorang yang sangat pentingyang mau mendukung studinya. Untuk itu, hanya ada satu jalan baginyauntuk melanjutkan pendidikannya dengan jalan meminjam buku-bukuwajib untuk tahun kedua dan ketiga sekolah keguruan dari teman-temanya dan untuk menyiapkan ujian akhir keguruan.

Setelah lulus tes akhir di sekolah keguruan dan mencapai rankingpertama dari 130 peserta, pada tahun 1931, ia melanjutkanpendidikannya di SMA. Dengan tanpa hadir di kelas, satu tahunberikutnya ia berhasil mendapat ijazah SMA. Dua tahun kemudian, 1934,dia memperoleh gelar baccalaureat di bidang sastra Arab. Pada tahun1939, ia menyelesaikan program lisence pada disiplin ilmu bahasa dankesusanteraan Arab di Universitas Fuad I Kairo, dan kemudian mendapatgelar master pada bidang yang sama pada tahun 1941. Dan terakhir, diamendapat gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1950.

Keterterikannya kepada “dunia” al-Qur’an sangat dipengaruhi olehlingkungan sufistik yang mengitarinya, dimana salah satu ajaran pokoktarekat yang dianut oleh ayah dan masyarakatnya adalah membaca al-Qur’an. Apalagi, Aisyah di sekitar usia delapan dan sembilan tahunpernah mendapatkan mimpi yang penting dan amat mengesankan, yaitusaat dirinya belajar di kamarnya, datang Malaikat dari langit yangmembawakannya satu buah cover biru. Setelah dibuka pemberianMalaikat itu ternyata isinya adalah lembar-lembar dari mushaf al-Qur’an.Stelah kejadian itulah, dia menjadi lebih aktif dalam mengikuti ayahnyaberaktivitas dengan koleganya di Jami al-Bahr dalam kajian dan halaqahsufistik mereka.

Secara khusus, Aisyah menjadi lebih tertarik kepada tafsir al-Qur’an,bermula dari kuliah perdana tafsir al-Qur’an di Universitas Kairo yangdiberikan oleh Professor Amin al-Khuli, yang dikemudian hari menjadisuaminya pada tanggal 6 Nopember 1936.

Aisyah yang mempunyai nama samaran Bint al-Syati’, sejak masamudanya dikenal sebagai seorang penulis yang handal. Penggunaansebutan Bint al-Syati’ dilakukannya saat ia berada pada fase yang cukupaktif dan produktif dalam menulis ide dan gagasannya dalam majalahdan surat kabar bonafide di Kairo. Minat dan bakat Bint al-Syati’ dalammenulis dimulai saat ia pertama kali berhubungan dengan surat kabarketika masih berada di sekolah tingkat lanjutan. Tradisi menulis inidimulai sejak ia biasa membeli surat kabar untuk buyutnya. Ia juga seringmembantu menulis artikel dengan mengambil diktat sang kakek. Kadang-

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200568

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

kadang kakeknya memintanya untuk mengedit dan memperbaiki bentukartikel yang dibuatnya.

Pada Desember 1932, Bint al-Syati’ mencoba merealisasikan minattersebut dengan mengirim puisi perdanannya ke Majalah al-Nahdah al-Nisa’iyah. Setelah puisinya diterima dan di publikasikan, ia berusaha agarartikel-artikelnya dapat dan terus dipublikasikan di majalah yang sama.

Bulan Oktober 1933, ia dipercaya menjadi pimpinan dewan redaksidan editor majalah al-Nahdah al-Nisa’iyah, dan ia juga diberi kehormatanmenulis pada penerbitan majalah untuk kepentingan publikasi. Disamping bekerja di majalah tersebut Bint al-Syati’ juga mengirimkancerita-cerita pendek, artikel, dan puisi ke berbagai surat kabar danmajalah seperti al-Hilal. Pada masa inilah, dengan maksud agar tidakdikenal oleh ayahnya, ia mulai menggunakan nama samaran dengansebutan Bint al-Syati’, yang sebelumnya memakai nama ibnat al-Syati’atau berarti putri pantai.

Masa kecil yang dihabiskannya di desa dan sekitarnya, ia menyaksikankondisi riil masyarakat yang mayoritasnya adalah petani. Dengan menaruhperhatian kepada mereka ia mulai menulis artikel yang bertemakankeadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat desa. Ia seringmengedepankan desakan kepada pemerintah dan para tuan-tuan tanahuntuk memberikan perhatian serius kepada nasip petani, termasuk jugaladang dan ternak mereka. Atas usaha tidak mengenal lelah inilah, ia ditahun 1936 menerima penghargaan pemerintah Mesir terutama atasartikelnya yang berjudul “Tarqiyah al-Rif Ijtima’iyyan” .

Karya Bint al-Syati’ yang pertama di terbitkan dalam bentuk bukuyaitu al-Rif al-Misr pada tahun 1936. Secara keseluruhan, ia menulis lebihdari enam puluh risalah penerbitan yang berkaitan dengan bidangkeislaman dan sekitar ratusan artikel berhubungan dengan bahasa Arab,sastra, isu-isu sosial dan emansipasi wanita. Pada tahun 1950, Bint al-Syati’ diberi penghargaan untuk bidang studi-studi tekstual oleh AkademiBahasa Arab dan pada tahun 1954 ia juga menerima penghargaan untukcerita pendek dan berikutnya, ia menjadi anggota Dewan Tinggi Senidan Sastra di Mesir pada tahun 1960.

Adapun karier profesionalnya, dimulai ketika ia menjadi guru diMadrasah tingkat dasar al-Masyurah khusus putri pada tahun 1929,kemudian atas usul pengawas pengajaran di Kementrian Pendidikan,agar memperoleh kesempatan menggunakan laboratorium untuk belajarbahasa Inggris dan Perancis, ia di pindah ke perguruan tinggi khususputri pula pada tahun 1932. Setelah bekerja sebagai juru tulis, dua tahunkemudian, tahun 1934, ia diangkat menjadi sekretaris di perguruan tinggitersebut.

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 69

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

Pada tahun 1939, Bint al-Syati’ menjadi asisten dosen di UniversitasKairo, kemudian tahun 1942 disamping menjadi peneliti bahasa arabdan sastra di Kementrian Pendidikan, ia juga menjabat sebagai kritikussatra untuk surat kabar al-Ahram. Tahun 1950 -1957 ia membantu sebagaidosen bahasa Arab di Universitas ‘Ain al-Syam. Dari tahun 1957 sampaitahun 1962, ia menjadi asisten professor sastra Arab di universitas yangsama, dan pada tahun 1962 ia diangkat menjadi guru besar sastra Arabuntuk u niversitas khusus wanita. Dan pada tahun 1967, Bint al-Syati’ditetapkan menjadi guru besar penuh bidang bahasa Arab danKesusasteraan di Universitas ‘Ain al-Syam. Secara periodik, ia diundanguntuk membantu sebagai guru besar tamu di Universitas Islam UmmDurman di Sudan serta sebagai guru besar studi-studi al-Qur’an diUniversitas Qarawiyyin di Maroko, ia juga sering menghadiri berbagaiseminar dan kongres, seperti konferensi tentang internasional tentangpertanian di Kairo tahun 1936, kongres internasional tentang bahasaArab di Munich Jerman tahun 1957. Kemudian berturut-turut, tahun1960 seminar tata bahasa Rab di Ghana, Kuwait dan Baghdad. Tahun1961, seminar sastra Arab di Roma, Itali, serta berbagai seminar dankongres internasional tentang bahasa Arab, satra dan al-Qur’an lainnya.

Secara jujur Bint al- Syati’ dalam menafsirkan al-Qur’an mengakuimenggunakan metode yang dikembangkan oleh suaminya yaitu Aminal-Khuli (wafat tahun 1966), yang tertuang dalam buku Manahij tajdid fian Nahwi wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al Adab. Menurut al-Khuli,pertama kali, al-Qur’an mesti dilihat sebagai karya agung dalam bahasaarab yang telah ter-eksternalisasi dalam bahasa arab itu sendiri dan jugamasyarakat yang mengitarinya. Maka untuk memahami arti kata-katayang termuat dalam kitab suci itu, harus dicari arti linguistik aslinyayang memiliki rasa keakraban kata tersebut dalam berbagai penggunaanmaterial dan figuratif. Maksudnya al-Qur’an sebagai teks sakral mestidiperlakukan sebagai kitab sastra arab terbesar, al-Kitab al-Arabiyah al-Akbar, sehingga analitis linguistik dan filologis teks merupakan upayaniscaya untuk menangkap pesan moral dan hidayah al-Qur’an.

Setelah mendudukan al-Qur’an sebagai a sacred Arabic literaty textseperti di atas, al-Khuli menekankan pentingnya tertib al-Qur’an dalammenafsirkan ayat-ayatnya. Al-Qur’an bukanlah karya ilimiyah yangtersusun secara sitematis berdasarkan tema atau issue, bukan pulatersusun menurut tatanan kronologis pewahyuan. Masing-masing suratmemuat beberapa tema yang berbeda yang mungkin dapat dijumpai disurat-surat yang lain. Karena itu untuk memahami gagasan tertentu yangterkandung dalam al-Qr’an. Mesti dilihat menurut konteksnya dan ayat-ayat disekitar gagasan itu harus disusun menurut kronologispewahyuannya. Berbicara tentang kisah Adam as. misalnya, tidak akan

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200570

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

mendapat gambaran yang komplit bila hanya merujuk al- Baqarah 30saja, tanpa menengok cerita-ceritanya yang ada dalam surat al-A’raf 10-13, al-Hijr 20-42 atau al-Kahfi 48.

Untuk mencapai sasaran tersebut, al-Khuli membagi kajian teks al-Qur’an menjadi dua tahap, yakni kajian sekitar al-Qur’an, Dirasah mahaul al-Qur’an atau a contextual study of Qur’an, dan kajian terhadap al-Qur’an itu sendiri, Dirasah fi al-Qur’an Nafsih atau Textual study on theQur’an itself. Kajian kontekstual terhadap al-Qur’an mencakup sebab alNuzul (sosio historis), kodifikasi, tatacara tilawah dan bidang-bidangyang termasuk dalam lingkup ulum al-Qur’an. Tahapan pertama inidiarahkan kepada investigasi aspek fisik dan lingkkungan spirituil danstruktur sosial masyarakat Arab di mana al-Qur’an diturunkan.

Tahapan kedua adalah study tekstual al-Qur’an itu sendiri. Kajianini dimulai dengan menganalisa kata-kata redaksi al-Qur’an. Bagi al-Khuli, seorang mufassir harus memahami evolusi makna dari setiap term,frasa dalam al-Qur’an dan pengaruh kebahasaannya. Langkah pertamadalam tahapan ini, mufassir melakukan telaah leksikografis terhadap kata-kata yang hendak ditafsirkan. Hal ini dimaksudfkan dalam rangkamendapatkan pengertian kata yang paling tepat dan memastikan apakahia kata dan bahasa arab asli atau saduran dari bahasa non arab. Langkahini dilanjutkan dengan studi terhadap kata-kata tersebut denganmelakukan komparasi dengan kata-kata yang sama dam sisnonimnya,untuk memperolrh pengertian dan mewakili kata tersebut dalamterminologi al-Qur’an. Setelah langkah ini barulah ayat dikaji denganpendekatan gramatikal.

Tawaran metodologis al-Khuli tersebut di atas diaplikasikan secaraapik oleh Bint al Syati’ dalam kitab tafsirnya. Hal ini terlihat setiapmemulai telaahnya tentang satu bahasan, ia mengungkapkan waktu dantempat di mana al-Qur’an diturunkan. Bagi Bint al Syati’ pemahamanterhadap asbab al Nuzul ini dimaksudkan untuk mendapat batas situasiyang behubungan dengan teks khusus al-Qur’an yang sesuai dengankaidah al ibrah bi umum al lafd la bikhusus al sabab.

Dengan menekankan pendekatan tahliliyah, Bint al Syati’ memberikananalisis linguistik terhadap ayat al-Qur’an, khususnya yang berhubungandengan kata sisnonimnya. Ia tidak hanya menekankan pembahasan daritinjauan ini, tetapi juga berusaha untuk menemukan arti etimologiskata dari telaah leksikografis dan proses pembentukan makna kata. Ketikamenjelaskan kata al-Dhalal dan al Huda misalnya, dia mengatakanbahwa arti dasar kata al Dhalal adalah kehilangan arah atau menjadibingung dan al Huda memiliki arti yang berlawanan. Dalam bahasa Arabkata al Huda asal mulanya digunakan untuk mengungkapkan batu yangmenonjol dalam air yang dapat mengamankan seseorang dari

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 71

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

keetergelinciran. Kemudian dua kata tersebut diberlakukan untuk kata-kata yang bernuansa abstrak yang akhirnya digunakan digunakan dalamdunia keberagamaan untuk menjelaskan ari percaya, iman dan tidakpercaya, tersesat atau kafir.

Di samping itu ia juga menjelaskan cara menjelaskan al-Qur’an,misalnya ketika mengkaji kata wadda’a dalam surat al-Dhuha, ia jugamenelusuri akar kata tertentu apakah memang termasuk bahasa Arabasli atau tidak, lihat ketika mengungkapkan kata Nashithat yang adadalam surat al-Naz’iah, ia juga mengkaji panjang lebar tentang tatabahasa al-Qur’an, semisal saat menjelaskan partikel bi dalam surat al-Qalam.

Dengan metode yang dikembangkan ini, tampak jelas bahwa yangmenjadi dasar metode Bint al Syati’ adalah bahwa al-Qur’an harusdipelajari dalam keseluruhannya sebagai suatu kesatuan dengan karakterdan gaya yang khas. Ia membiarkan al-Qur’an berbicara mengenai dirinyasendiri dan agar kitab suci itu dipahami dengan cara-cara yang palinglangsung sebagaimana masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad,“al-Qur’an yufassiru ba’dhuhum ba’dhan”. Dengan merujuk pandangan paramufassir masa lalu terutama al-Thabari, al-Zamakhsyari, al-Razi, al-Asfihani, al-Syuyuthi, al-Naisaburi, Ibn Qayyim, al-Andalusi danMuhammad Abduh menunjukkan sikap apresiatif terhadap tradisi tafsiral-Qur’an masa lampau, meski tidak jarang ia melakukan kritik terhadappenjelasan mereka.

Unsur-unsur Etis Surat Al-Balad

Sebagaimana uraian terdahulu bahwa etis tidak dimaksudkan sekedarsebagai sesuatu yang hanya mengisyaratkan masalah kesopanan semata,melainkan dimaksudkan sebagai konsep dan ajaran yang serba meliputiatau komprehensif, yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baikdan buruk, benar dan salah. Oleh karena itu ajaran etis dalam maknayang seluas-luasnya, sebenarnya akan mencakup keseluruhan pandangandunia (weltanschauung) dan pandangan hidup (liebenanschauung).

Berikut ini merupakan contoh-contoh bagaimana gambaran tafsir al-Qur’and dengan warna pendekatan etik yang terdapat dalam karyanyaal-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim dengan fokus telaah yang terdapatdalam surat al-Balad.

1. Tafsiran tentang Sumpah.Surat al-Balad merupakan salah satu dari dua buah surat yang dimulai

dengan lafal qasam secara terang-terangan dan di dahului lafal la (untukpenegasan). Surat lain selain surat yang tergolong Makkiyah ini yang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200572

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

juga tersusun atas lafal qasam dan la adalah surat al-Qiyamah, yakni (Saya benar-benar bersumpah dengan hari kiamat).7

Semua ayat sumpah ini merupakan ayat-ayat Makkiyah. Dan semua fi’ilqasam (kata kerja sumpah) di dalamnya disandarkan pada Allah Swtsebagai pembicara.

Bint al-Syati’ dalam menjelaskan makna sumpah khususnya yangmenggunakan la uqsimu memulai dengan menyebutkan berbagai pendapatpara mufassir pendahulunya, seperti Muhammad Abduh dan AbuHayyan. Menurutnya, maksud dari la uqsimu (aku tidak bersumpah)adalah uqsimu (aku bersumpah). La ditambahkan untuk penegasan, tanpatuntutan keterangan untuk penyimpangan dari uqsimu menjadi la uqsimu.

Muhammad Abduh mengatakan, “Sesungguhnya la uqsimu merupakansalah satu ungkapan orang Arab dalam bersumpah. Dimaksudkandengannya adalah mengukuhkan berita, seakan-akan karena tetapnyadan jelasnya tidak memerlukan sumpah. Dan dikatakan bahwa iadidatangkan di dalam qasam untuk membesarkan al-muqsam bih (yangdipakai dalam bersumpah). Seakan-akan orang yang bersumpahmengatakan, “Sesungguhnya aku tidak membesarkannya dengan qasamsebab dia sendiri sudah besar.”8

Tentang la uqsimu terdapat pendapat lain, yang disebutkan oleh AbuHayyan di antara pendapat-pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut.Yaitu bahwa al-nafyu di sini adalah hakiki dan bukan untuk mengukuhkanal muqsam. Arah ungkapan tersebut menurutnya adalah penafian,“Bahwa negeri ini tidak digunakan Allah untuk bersumpah karenapenduduknya telah melakukan perbuatan-perbuatan yang mewajibkanpelepasan kehormatannya.”9

Menyikapi keberbedaan tersebut Bint al-Syati’ terlihat mengedepan-kan sisi etis dari sebuah makna kebahasaan, artinya ia mencobamenjelaskan letak dan faktor yang menyebabkan munculnya kebedaantersebut. Ia tidak serta merta berpendapat sesuai dengan lahiriyah ilmutata bahasa arab, akan tetapi menjelaskannya lewat bagaimana bahasaArab yang dipakai oleh para penggunannya saat al-Qur’an dirutunkan.

Dalam kasus ini, ia menambahkan bahwa dalam al-Qur’an fi’il qasamsecara keseluruhan tidak disandarkan kepada Allah, kecuali yang datangbeserta la penafian. Lebih lanjut ia melengkapi argumentasinya denganmembedakan penafsiran antara uqsimu dengan lafal uhlifu (akubersumpah). Menurut Bint al-Syati’, dalam penggunaannya, orang arabsering menyama-artikan penggunaan kedua lafal tersebut dalam praktikkeseharian. Misalnya, al-Nabigah mengatakan uzurnya kepada an-Nu’man: halaftu falam atruk linafsika raibah(Aku bersumpah sehinggaaku tidak membiarkan keraguan pada dirimu). Al-A’sya mengatakanhalaftu birabbi al-raqishat ila Minna (Aku bersumpah kepadanya dengan

اقسم بيوم القيامةال

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 73

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

apa pemilik para penari wanita pergi ke Mina). Termasuk juga ujar Syasbin ‘Abdah, saudara lelaki ‘Alqamah al-Fahl yang mengatakan “Akubersumpah dengan yang mengumpulkan para haji ke Mina “(halaftubima dham al-hajij ila mina). Yang terakhir dalam al-Qamus disebutkanpula bahwa bahwa halafa berarti aqsama (bersumpah).10

Akan tetapi penelitian terhadap kedua lafal ini mengantarkan kepadapengertian bahwa al-Qur’an telah membedakan antara keduanya. Kataahlafa terdapat dalam al-Qur’an dalam 13 tempat, kesemuanyaberhubungan dengan dosa dan kesalahan akibat telah melanggar sumpah.Enam ayat di antaranya berisi celaan terhadap orang-orang munafik,dan disebutkan dalam surat Al-Taubah ayat 42 yang mengungkapkankeadaan orang munafik setelah peperangan Tabuk. 11

Adapun lafal al-qasam pada umumnya digunakan dalam sumpahsumpah yang benar.Lihat misalnya kata sifatnya datang dan disifati dengankebesaran di dalam ayat surat al-Waqi’ah: Fi’ilnyajuga datang dalam kesaksian serupa, dimana tidak ada tempat lagi bagial-hins bi al-yamin seperti kesaksian atas wasiat.12 Dan ketika al-qasamdisandarkan di dalam al-Qur’an kepada orang-orang yang berdosa,menurut persangkaan mereka, meraka tidak berdosa.13 Termasuk dalamkategori ini adalah ketika orang-orang kafir bersumpah dengan namaAllah dengan segala kesungguhan, mereka puas dengan kebenaransumpah itu meski pada hakikatnya yang demikian itu adalah kedustaan.14

Dengan penafsiran yang sedemikian rupa ini Bint al-Syati’ terlihatmerupaya mengantarkan pemahaman kepada makna yang mendasar darisebuah konsep dalam al-Qur’an. Sumpah seperti yang dipahami Bint al-Syati’ memiliki muatan yang tidak saja terpaku dalam diskurusus ilmutata bahasa akan tetapi sudah beranjak pada bagaimana kata-kata itudiresapi oleh masyarakat Arab dan juga respon serta gambaran al-Qur’anterhadap penggunaan bahasa tersebut.

Nuansa etik dalam tafsiran tentang sumpah ini semakin terlihattatkala Bint al-Syati’ mulai menjelajah lafal selanjutnya yaitu:

Bint al-Syati’ mengatakan sumpah yang adadalam ayat ini pada dasarnya adalah untuk mengagungkan kehormatannegeri dan menganggap besar tradisi penduduknya yang turun temurun,dan tidak sesuai dengan keagungan kehormatannya. Ayat yang pertama

berhubungan dengan ayat sesudahnya daridua segi: wawu al-hal, yakni qaid (pengikat) kalimat pertama; kemudiantikrar (pengulangan) bi hadza al-balad sebagai pengukuhan hubunganantara kedua ayat tersebut.

Bint al-Syati, saat membahas makna hillun melihatkan posisinya sepertiatau setidaknya mendekati penggunaan kata tersebut seperti yangdigunakan masyarakat Arab kala itu. Ia juga terlihat amat apresiatif

نه لقسم لوتعلمون عظيموا

اقسم ذا البلد وانت حل ذا البلدال

نت حل ذا البلدوا اقسم ذا البلدال

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200574

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

kepada para ahli bahasa sebelumnya, dengan menjadikan analisa merekamenjadi bagian dari penafsirannya, seperti saat menyebutkan pendapatIbn al-Qayyim, Muhammad Abduh, Abu Hayyan, al-Zamakhjari dan al-Raghib al-Isfihani.

Ada empat pendapat para mufassir tentang makna hillun: pertamamenafsirkannya sebagai sesuatu pelanggaran terhadap kehormatan Rasuldi negeri suci, yang merasa aman di dalamnya seperti burung, binatanglainnya dan juga para penjahat. Pengertian ini diungkapkan oleh IbnQayyim dalam al-Tibyan, Muhammad Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma,Abu Hayyan dalam al-Bahr, dan al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf.

Abu Hayyan menulis: Sesungguhnya la meniadakan qasam yangmerupakan pengagungan. Ibn al-Qayyim mengatakan: Maknanyaterkandung dalam pengagungan rumah Allah dan Rasul-Nya.15

Muhammad Abduh pernedapat: Arti hill (pelanggaran) karenapelanggaran yang dilakukan penduduk Makkah. Mereka melanggardengan tidak menolong, mengusir beliau, dan memaksa beliai untukberhijarah. Ini menunjukkan bahwa Makkah mempunyai kedudukanyang besar dalam semua keadaan, bahkan hingga keadaan sekarang inidimana penduduknya tidak menjaga kehormatan yang diperintahkanAllah.16

Arti kedua, konon hill ini bermakna Allah mengizinkan Rasul-Nyauntuk memperlakukan Makkah dan penduduknya seperti apa yang Nabikehendaki. “Engkau akan menguasainya di masa datang. Engkau bolehmelakukan apa yang engkau kehendaki baik membunuh ataupunmenawan musuh. Yang demikian disebabkan Allah telah membukakanMakkah bagi beliau dan menghalalkannya kepada beliau. Ia tidak pernahdibukakan dan dihalalkan bagi seorang pun sebelumnya, Allahmenghalalkan apa yang dikehendaki dan mengharamkan apa yangdikehendaki.17

Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa hillun termasuk al-ihlal(penghalalan) lawa al-ihram (pengharaman).18 Keempat, pendapat bahwaia berasal dari al-hulul dengan makna al-iqamah (tinggal) lawan dari al-zda’n (bepergian), sebagaimana disebutkan al-Raghib dalam al-Mufradat.Menurutnya, sumpah dengan kehormatan tempat dan tinggalnya Rasulmerupakan sumpah dengan sebaik-baiknya tempat karena ia hambaterbaik.19

Melihat berbedanya tafsiran diatas, Bint al-Syati’ mulai tafsirannyadengan analisa etimologis dan proses berkembangnya kata hill selanjutnyamemberikan pendapat pribadinya. Bagi Bint al-Syati’ al-hill menurutbahasa memungkinkan banyak pendapat yang disebutkan oleh paramufassir. Ia termasuk, al-hulul sebagai lawan al-zda’n, atau dari al-ihlalsebagai lawan dari al-ihram, atai dari al-istihlal (pelanggaran) kehormatan

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 75

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

dan perusakannya. Dan mungkin makna asalnya adalah hill al-uqdah(melepaskan ikatan).20 Kemudian dikatakan halaltu yang berati nazaltu.Ia berasal dari hill al-ahmal, ketika menurunkan bawaan ketika telahsampai.21 Kemudian ia dipindahkan menjadi istilah keagamaan dansebagai petunjuk keislaman. Misalnya al-hill dan al-halal, sebagai lawandari al-haram. Ia sering juga dipakai sebagai al-ihlal sebagai lawan darial-ihram seperti dalam Q.S. al-Ma’idah/5 ayat 2.

Dengan latar perkembangan bahasa tersebut, Bint al-Syati’ cenderungsepakat dengan pengertian yang dibawa oleh Abu Hayyan yakni al-hululatau berada, sebab maknanya akan seiring dengan pemahaman ini.Sedangkan pertimbangan dari petunjuk dilanggarnya kehormatan Rasuldi negeri inimemalingkan kepada keadaan-keadaan yang menonjol padanegeri tersebut dan penduduknya. Maka segala gangguan yang terjadibagi Rasul hadir dan dapat disaksikan, dilihat dengan mata kepala, dandialami oleh Rasul Muhammad. Maka, menurut Bint al-Syati’ tidaklahtepat makna al-ihlal sebagai lawan dari al-ihram, sebab konteksnya tidakmenunjang dan tidak ada indikasi yang mengarah pada pengertiantersebut.

Melihat paparan tersebut diatas, terlihat dengan jelas cara Bint al-Syati menafsirkan kata-kata dalam al-Qur’an yang setidaknya merupayamendudukkan konstelasi kata tersebut dalam wacana masyarakat Arabdan dalam ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan. Maka sebuah analisakebahasaan yang menonjolkan sisi setting perkembangan, penggunaan,dan berikut perbandingan dengan ayat-ayat yang lain, termeasuk pulamemperbandingkan tafsiran mufassir sebelumnya, adalah termasuk dalamkonteks penafsiran yang etis, seperti yang dimaksudkan dalam bahasanini.

2. Pengertian al-Kabad (susah payah)Dalam menjelaskan ayat: Sesunggunya Kami telah menciptakan manusia

berada dalam susah payah, Bint al-Syati’ kembali mengikuti polapenafsirannya dengan meneliti penggunaan kata tersebut, juga denganmenyebutkan uraian mufassir pendahulunya.

Asal al-kabad menurut bahasa adalah penyakit hati, kemudian iadigunakan bagi arti “kesakitab” secara keseluruhan. Maka dikatakankabida (dia sakit). Dan kemudian dari pengertian tersebut diambil maknakekerasan dan kesulitan. Seperti kedinginan telah menyulitkan sebuahkaum). Maka al-mukabadah berarti menghadapi dengan keras danmenderita.

Para ahli tafsir tidak berselisih pendapat dalam menafsirkannya sebagaial-syiddah. Akan tetapi pendapata mereka bermacam-macam dalammenentukan kekerasan ini. Misalnya, al-Zamakhyari mengatakan,

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200576

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam keadaanberpenyakit, yakni hati dan kerusakan batin”. Ibn Abbas jugamengatakan, “yang dimaksud dengan al-kabad adalah ketika dalamkandungan, mengandung, dilahirkan, disusui, disapih, tumbuh giginya,hidup yang berat, kemudian terakhir mati, semuanya itu merupakanmusibah”.

Menurut Muhammad Abduh, pengertian ayat tersebut adalah“Sesungguhnya manusia kelelahan untuk mencurahkan kekuatan dalamberkarya. Bahkan ia letih untuk makan, minum, menjaga keluarga dangolongannya, sebab manusia adalah jenis yang melahirkan dan dilahirkan.Pantas jika dia diciptakan dalam kesengsaraan, kesusahan, danmenderita. Yang diderita Rasul berupa pukulan dari pelanggarankehormatan beliau yang ia rasakan saat berada di Makkah.”

Namun Bint al-Syati mengatakan dengan merujuk pada pendapatal-Hasan yang dikutip dalam al-Bahr al-Muhit bahwa “Allah tidakmenciptakan suatu makhluk dengan keadaan menderita, seperti deritaanak adam.” Dan semuanya boleh saja ditafsirkan begitu, akan tetapimesti dikaitkan dengan penggunaan qasam sebelumnya.

Lebih lanjut Bint al-Syati’ menjelaskan bahwa al-kabad dalam ayatini yang berarti penyakit hati dan kerusakan batin, adalah sebuah tafsiryang terlalu jauh. Ia mengartikan dengan sesbuah kesiapan bagi manusiasesuai dengan fitrahnya, berupa pemikulan tanggungjawab dan kesulitanmemilih antara kebaikan dan keburukan. Segi keterkaitan dengansumpah sebelumnya —dengan keadaan penduduk Makkah dan yangmereka pilih untuk diri sendiri berupa penghalalan kepada Rasul ketikatinggal di kota suci—jelas sekali. Itulah keterkaitan yang saling jelasdengan ayat-ayat sesudahnya, berupa kesesatan, ketertipuan manusiayang dikaruniai sarana pemahaman, dan telah dijelaskan kepadanyajejak-jejak jalan kebaikan dan keburukan.

Penjelasan ini setidaknya memberikan pengertian bahwa dalamtafsiran Bint al-Syati’ tersebut, merupakan uraian yang human artinyamencoba mendudukkan dalam konteks manusia dan keberadaannyadalam dunia yang nyata, tidak semata-mata didasarkan pada analisakebahasaan yang cenderung formalistik. Tafsiran ini juga dapatdikategorikan sebuah gambaran penjelasan yang etis, tidak saja karenatelah menyertakan dimensi kemanusiaan, akan tetapi juga telahmendiskripsikan sebuah pola kekhususan manusia yang diberi wewenangpenuh untuk menentukan hidupnya antara arus kebaikan atau aruskeburukan, yang ini menjadi tema sentral etika.

Gambaran etis dalam kesimpulan tersebut semakin kuat denganmelihat tafsir terhadap firman-Nya khalaqna (Kami telah menciptakan)sebagai kata ganti dari ja’alna (Kami telah membuat). Sebab pemakaian

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 77

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

kata ini merupakan isyarat bahwa manusia diciptakan —menurutfitrahnya—untuk menderita, yang menjadi landasan pertanggunganjawab terhadap beban, amanat, dan cobaan antara memilih yang burukdan baik menurut naluri dan visi kemanusiaannya.

3. Tentang Petunjuk Tuhan (al-huda)Sesudah Allah memberikan bekal berupa sarana-sarana pemahaman

yang bersifat fisik, berupa alat penglihatan dan pengucapan: BukankahKami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir),karunia Allah kepada manusia selanjutnya adalah berupa pengetahuanyang dapat membedakan kualitas kebaikan dan keburukan, sebagaimanayang difirmankan pada ayat berikutnya yang berbunyi : “Dan Kami telahmenunjukkan kepadanya dua jalan”.

Uraian Bint al-Syati’ terhadap ayat tersebut terlihat kembalimenguatkan pada dimensi kemanusiaan manusia yang juga sekaligusdapat dimasukkan dalam kategori penafsiran yang etis. Menurutnyapenggunaan kata al-huda22 tersirat bahwa Allah mengilhamkan fitrahkemanusiaan yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan.Dan Dia menjadikan alat-alat indrawi untuk pengetahuan ini. Kata al-najdain23 merupakan satu-satunya kata yang disebutkan dalam al-Qur’andan tidak ada yang lainnya, hal ini mengandung makna kejelasan danketerangan, di mana manusia terlihat dua buah jalan dan memahamikeduanya, dengan apa yang telah disiapkan untuknya yakni petunjukAllah dan ilham fitrah.

Uraian diatas juga menunjukkan hubungan dengan dua ayatsebelumnya secara simultan. Manusia diciptakan Allah untuk dan harussiap menderita dalam memilih salah satu dari dua jalan itu. Allah swttelah membekali manusia sarana-sarana pemahaman indrawi,menunjukkan jejak-jejak kebaikan dan keburukan manusia secara jelas,gamblang dan nyata di hadapannya. Manusia dapat melihat dua jalan disiang hari, memahami apa yang telah disiapkan di dalam fitrahnya, sertamampu membedakan antara kebenaran dan kesesatan.

Dengan demikian uraian tentang ayat ini juga menyisaratkan parparanetis terhadap ayat al-Qur’an, artinya Bint al-Syati telah mendekatinyasecara sistemik dengan mendudukkan ayat-ayat sebelumnya dengan apikdan saling keterkaiatan, yang kesemuanya dalam landas pijak yang human.

4. Visi Keadilan SosialDi bagian terakhir uraian terhadap surat al-Balad, dapat dikatakan

bahwa Bint al-Syati’ terlihat menguraikan kata al-aqabah secarakomprehensif. Ketika menafsirkan: Maka tidakkah sebaiknya ia menempuhjalan yang mendaki lagi sukar?), terlebih dahulu ia menguraikan pengertian

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200578

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

al-iqtiham dan al-aqabah. Sambil merujuk penafsiran al-Raghib yangmengartikan al-iqtiham dengan menempuh bencana yang menakutkan,ia mengatakan bahwa makna dasar al-qahmah adalah sebuah kesulitandi jalan, atau tiga malam terakhir dari bulan karena di dalamnya sulitmenempuh perjalanan, dan jalan menyesatkan.24 Sedangkan pengertianal-aqabah adalah tempat yang sulit untuk bergerak di pegunungan. Al-Uqab adalaah yang terbang dan terluka, batu besar dan keras di puncakpegunungan, atau batu keras di dalam sumur yang memecahkan ember.

Menurut Bint al-Syati’ al-iqtiham adalah kata yang paling sesuai untukal-aqabah karena diantara keduanya terdapat kesesuaian yaknikekerasan, kesungguhan, dan memikul kesulitan. Kesesuaian antaraiqtiham al-aqabah dengan diciptakannya manusia terlihat dengan jelas.Manusia yang diciptakan dalam keadaan kesulitan berpeluang untukmenempuh kesusahan paling berat, menembus padang pasir yang palingkeras, dengan bermodal sarana-sarana yang telah diberikan kepadamereka baik berupa fisik maupun pemahaman serta fitrah yang diciptakan,yakni kemampuan untuk memikul dan menderita.

Namun ketika menjelaskan maksud al-aqabah yang dituangkan dalamal-Qur’an, Bint al-Syati’ kelihatan agak berbeda dengan para mufassirsebelumnya. Al-Tabari mengatakan al-aqabah dengan kesulitan, kerjakeras manusia untuk menghadapi dirinya, hawa nafsu dan setan. Pendapatini juga berdekatan dengan apa yang ditafsirkan oleh al-Zamakhsyaridan Muhammad Abduh. Dikatakan pula bahwa al-aqabah adalah nerakajahanam atau sebuh gunung yang ada didalamnya. Tidak ada yangmampu menyelematkan diri darinya kecuali amal saleh. Inilah pendapatAbu Hayyan di dalam al-Bahr al-Muhit dan Ibn Abbas.

Menurut Bint al-Syati maksud kata tersebut sesungguhnya telahdiapresiasikan sendiri oleh al-Qur’an dalam ayat-ayat berikutnya, halini sejalan dengan salah satu kaidah ilmu tafsir al-Qur’an yang berbunyial-Qur’an yufassiru ba’dhuhum ba’dha.

Bagi Bint al-Syati’ inilah penjelasan terinci tentang al-aqabah. Sebabapa yang diderita masyarakat Makkah berupa perbudaan, pertentangankelas, kejahatan dan penindasan hingga melanggar kehormatan Rasuldi tanah suci tidak lain karena kedurhakaan manusia ini. Manusia yangtertipu oleh kekuatannya, telah memperbudak makhluk-makhluk lainseperti dirinya sendiri, pada orang lain. Dan akibat harta kekayaan,mereka lupa dan tidak merasa perlu melihat anak yatim yang ada didekatnya, atau orang miskin yang membutuhkan.

Seandainya manusia ini kembali kepada fitrah, mengikuti petunjuk,perasaan, dan suara hatinaaya, tentu akan mengenali jejek-jejak kebaikandan keburukan yang ada di hadapannya. Ia akan mengetahui bahwadirinya —meski tampaknya berkuasa— lemah di depan Penciptanya

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 79

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

Yang Maha Kuasa. Dia yang tertipu oleh hartanya akan diperhitungkandan dimintai pertanggunganjwab atas kejahatan yang diperbuat di duniaini.

Sebagai implikasi dari pengertian diatas, Bint al-Syati mengungkapkanuntuk menapaki jalan-jalan yang sulit tersebut, manusia mesti dibekalilangkah-langkah konkret sebagai tahapan dalam menghadapi kesulitantersebut langkah tersebut dimulai dengan memerdekakan budak, halini dilakukan untuk membebaskan dari keterbelengguan manusia sertauntuk mewujudkan kemuliaan dan kelayakan bagi manusia. Kemudiandisusul dengan anjuran-anjuran yang berorientai keadilan sosial.Sasaranya memperbaiki kondisi yang terjadi di tengah masyarakat dengantujuan hidup dinamis antara orang-orang yang kaya-raya dengan parayatim piatu yang sekerabat, serta hidup berdampingan secara proporsioanldengan fakir miskin yang membutuhkan makan dan bantuan lainnya.Al-Qur’an meletakkan keadilan sosial ini sesudah memerdekakan budak.Ayat tersebut turun dengan adanya kesulitan, dan bertujuan memperbaikikondisi yang rusak serta mendobrak perbudakan yang zalim.

Penutup

Dari paparan di atas, terlihat bagaimana Bint al-Syati’ menjelaskansebuah ayat al-Qur’an, disamping harus dipahami secara historis, dalamkonteks penggunaan bahasa Arab oleh masyarakat kala itu, juga mestimemperhatikan sisi-sisi kemanusiaan yang ada dalam diri manusia.Kriteria ini terlihat dari uraian terhadap ayat-ayat yang terdapat dalamsurat al-Balad ini, dan bahkan dalam telaah terhadap makna al-aqabah,ia menambahkan beberapa penafsiran yang mengarah pada tindkan riilkepada kehidupan, dengan berorientasi perbaikan kondisi sosialsebagaimana yang dijelaskan sendiri oleh ayat-ayat al-Qur’an. Uraianyang tawarkan oleh Bint al-Syati’ ini menunjukkan sebuah gambaranyang sarat akan unsur-unsur etika, yang mengedepankaan visi yang palingdasar dari ajaran Islam terutama yang menjadi dasar dari pengertianbaik dan buruk.[]

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200580

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

Catatan Akhir:*Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.1Arti tafsir adalah penjelasan, uraian atau komentar. Kata ini hanya

terdapat satu kali dalam al-Qur’an, yakni Q.S. al-Furqan/25: 33,Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’anal-Karim (Beirut: Dar al-Sya’ab: 1945), h. 519.

2Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Daral-Fikr, tt.), h. 21.

3Muhammad Abduh misalnya menyusun tafsir al-Manar; dalam duniaSyi’ah terdapat tafsir al-Mizan sebagai karya ulama Syi’ah, yaitu AyatullahHossein Thabathaba’I, lihat J.M.S. Baljon, Modern Muslim KoranInterpretation (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 19-30.

4Yaitu kajian terhadap satu tema tertentu yang kemudian dikumpulkanseluruh ayat-ayat yang berbicara dalam tema tersebut kemudian dianalisasecara historis sesuai masa turunnya. Komaruddin Hidayat, MemahamiBahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996),h. 193.

5J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalem,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 9-13.

6Issa J. Boullata, “Modern Qur’anic Exegesis: A Atudy of Bint al-Syati’sMethod, The Muslim World, vol. LXIV, 1974, h. 6.

7Selain dalam dua ayat diatas, la uqsimu termuat pula pada enamtempat di permulaan ayat-ayat, namun bukan sebagai permulaan suratyaitu: Q.S. al-Haqqah/69: 38-39; al-Waqi’ah/56: 75-76; al-Ma’arij/70:40;al-Qiyamah/75: 2; al-Takwir/81:15-18; al-Insyiqaq/84: 16-18.

8Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma (Mesir: Dar al-Kutub al-Arabiyah, tt), h.78.

9Muhammad Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, Juz VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 445.

10Dr. ‘Aisyah Abd al-Rahman Bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, Vol. I: (Dar al-Ma’arif, 1977), h. 166-167.

11Ayat-ayat lain yang termuat dalam Q.S. Al-Taubah/9: 56; 62; 74; 96; dan 107. Sedangkan lafal lainnya terdapat dalam Q.S.Al-Mujadalah/58; 14; 18; Al-Qalam/68:10-12; Al-Nisa/61-64; dan Al-Ma’idah/5: 89.

12Lihat Al—Ma’idah/5: 76.13Lihat Q.S. Al-Rum/30: 55.14Misalnya yang disebutkan dalam Q.S. Al-An’am/6: 109; Al-A’raf/7:

49; Ibrahim/5: 44; Al-Ma’idah/5: 53; Al-Nahl/16: 38; Al-Nur/24: 53; danFathir/35: 42.

15Ibn al-Qayyim, al-Tibyan, h. 37.16Sayyid Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, h. 87.

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 81

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Baqî, Muhammad Fu’âd, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’ân,Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.

Abd al-Jabbâr, Ahmad bin al-Hamaz’ani, Mutasyâbih al-Qur’ân, Mesir:Dâr al-Turâs, 1969.

Abduh, Muhammad, Tafsîr al-Manâr, Kairo: Dar al-Fikr, tt.

Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995.

Ali, A. Mukti, “Metodologi Ilmu Agama Islam” dalam Taufik Abdullahdan Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama: SebuahPengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1984.

Amin, Muhammad, A Study of Bint al-Shati’s Exegesis, Jakarta: DepartemenAgam RI, 1992.

17Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, Juz IV (Beirut: Dar al-Fikr), h. 201.18Ibn al-Qayyim, al-Tibyan, h. 37.19Al-Raghib al-Isfihani, al-Mufradat, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah,

tt., h. 44.20Seperti do’a Musa: Dan lepaskanlah ikatan dari lidahku (Q.S. Thaha/

20: 27).21Dalam al-Qur’an makna ini disebutkan dalam Q.S. al-Ra’d/13: 31;

Q.S. Ibrahim/14: 28; Q.S. Fathir/35: 35.22Asal kata al-huda adalah batu menonjol di dlam air, mengamankan

dari ketergelinciran; dan terangnya siang di mana orang yang berjalanmengetahui jalannya sehingga tidak tersesat. Kemudian ia digunakanbagi unta-unta yang ada di depan. Misalnya al-hadi yakni al-dalil (pemberipetunjuk) yang ada di depan kaum dan menunjukkan jalan mereka.Dan setelah itu ia dipakai secara majaz bagi al-hidayah (petunjuk) sebagailawan dari al-dhalal (kesesatan). Dr. ‘Aisyah Bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani, h. 181.

23Secara etimologis al-najd berarti bumi yang luas dan apa yang tinggidan sekaligus jelas. Dan al-nujud adalah unta yang panjang lehernya,berjalan dan maju serta mendekam di tempat yang tinggi. Selainkejelasan dan ketinggian, al-najd juga bermakna al-dalil, Dr. ‘Aisyah Bintal-Syati’, al-Tafsir al-Bayani, h. 181.

24Dr. ‘Aisyah Bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani, h. 183.

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200582

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998.

Boullata, Issa J., “Modern Qur’an Exegesis: A Study of Bint al-Shati’sMethod”, The Muslim World, No. 64, 1974.

———, “The Rhetorical Interpretation of the Qur’an : I’jaz and RelatedTopic” dalam Andrew Rippin, Approaches to the History ofInterpretation of the Quran, London : Oxford University, 1982.

Calder, Norman, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir, Problem in Descriptionof Genre, ilustrated with reference to the story of Abraham,” dalamApproaches to the Qur’an, GR. Hawting and Kader A. Shareef (ed.),London : and New York : Routledge, 1993.

Al-Dahabi, Muhammad Husain, AL-Tafsir wa al-Mufassirun , Beirut:Dar al-Fikr, 1982.

——, Al-Ittijahah al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an, Dawafi’uh wa daf’uh,Mesir: Dar al-I’tisham, 1978.

Farid, Malik Ghulam (ed.), The Holy Qur’an: English Translation andCommentary, Rabwah: The Oriental and Religious Pub. Ltd., 1969.

Al-Farmawi, Abd al-Hayyi, Al-Bidayah fi Tafsir al-MAudhu’i, Mesir:Maktabah al-Jumhuriyah, 1977.

Faudah, Muhammd Basuni, Al-Tafsir wa Manahijuh, Mesir: Math

Hourani, George F., Reason & Tradition in Islamic Ethics, Cambridge:Cambidge University Press, 1985.

Jansen, J.J.G., The Interpretation of the Quran in Modern Egypt (Leiden:E.J. Brill, 1974).

Hidayat, Komaruddin, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika” dalamJohan H. Meuleman (ed.), Tradisi Kemodernan danMetamodernisme: Memperbicangkan Pemikiran Mohammed Arkoun,Yogyakarta: LKiS, 1996.

Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam al-Qur’an, terj. M.Djoely,Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

————, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, terj. Agus F. Husein dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana,1997.

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, Mesir: Mustafa Babi al-Halabi, tt.

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 83

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq

Ibn Manzûr, Lisân al-Arab, Mesir: Dar al-Misriyah al-Ta’lif wa al-Tarjamah,1968.

Kooij, C., “Bint al-Shati’ : A Suitable Case for Biography ?” dalam IbhaimEl-Sheikh at.al., The Challange of the Middle East, Amsterdam :University of Amsterdam, 1982.

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: RakeSarasin, 1998).

Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer, terj. M.M. Wachid, Bangil: al-Izzah, 1997.

Musa, Muhammad Yusuf, al-Qur’an wa Falsafah, Mesir: Dar al-Ma’arif:,1958.

Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1975.

———, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. AhsinMuhammad, Bandung: Pustaka, 1985.

———, Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliotheca Islamica,1980.

Sutopo, Hubertus, Pengantar Penelitian Kualitatif, Surakarta: PusatPenelitian Universitas Sebelas Maret, tt..

al- Syâti’, Bint, Alâ al-Jisr Bain al-Hayâh wa al-Maut, Kairo : al-Hai’ahal-Misriyah li al-Kitâb, 1986.

———, Al-Qur’ân wa al-Tafsîr al-‘Asrî : Haza Balag li al-Nâs, Kairo : Saral-Ma’arif, 1970.

———, Al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-Karim, Mesir : Dar al-Ma’arif,1977.

———, Maqâl fî al-Insân, Dirâsah Qur’âniyah, Mesir : Dar al-Ma’arif,1979.

———,al-Qur’ân wa Qadâyâ al-Insân, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Ma;ayin,1972.

———, Al-Syakhsyiah al-Islâmiyah: Dirâsah Qur’anioyah, Beirut: Dar ‘Ilmal-Malayin, 1977.

al-Tabari, Muhammad, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an, Beirut :Dar al-Fikr, tt.

Tanahi, Tahir, “Bint al-Shati”, dalam al-Hilal, No. 59, 1951.

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 200584

Nuansa Etis dalam Surat al-Balad... H. Imam Taufiq