aku Web viewMetode penelitian yang dignkan pada makalah ini adalah metode deskriptif ... Strategi...
Transcript of aku Web viewMetode penelitian yang dignkan pada makalah ini adalah metode deskriptif ... Strategi...
PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK USAHA MIKRO
KECIL DAN MENENGAH
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Seminar AkuntansiSyariah
Disusun Oleh :
Eka Amellya Wahyu Hidayat 133403204
Neneng Fitriani Intan Nurmala 133403212
Dewi Astri 133403220
Fanny Yulia Restu Pratiwi 133403228
Eko Purwanto 133403239
PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA
2016
Abstrak
Pembiayaan Syariah Untuk Usaha Mikro Kecil Dan
Menengah
Disusun Oleh :
Eka Amellya Wahyu Hidayat 133403204
Neneng Fitriani Intan Nurmala 133403212
Dewi Astri 133403220
Fanny Yulia Restu Pratiwi 133403228
Eko Purwanto 133403239
Dibawah bimbingan:
Euis Rosidah, SE., M.AK.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengatahui
tentang pembiayaan syariah dapat memberikan pengaruh
terhadap UMKM dan adakan masalah yang timbul dalam
pembiayaan syariah. Metode penelitian yang dignkan pada
makalah ini adalah metode deskriptif sedangkan
pengumpulandata dilakukan melalui studi pustaka.
Berdasarakan hasil pembuatan makalah ini dapat
diketahui bahwa pembiayaan syariah sangat diminati oleh
UMKM sebagai pemberi modal yang dapat diperhitungkan
kemudian pembiayaan syariah yang ditawarkan dapat member
kemudahan bagi para UMKM dalam menjalankan aktivitas
perusahaanya sesuai dengan syariat islam.
Kata Kunci : Pembiayaan Syariah, UMKM.
Abstrak
Pembiayaan Syariah Untuk Usaha Mikro Kecil Dan Menengah
Disusun Oleh :
Eka Amellya Wahyu Hidayat 133403204
Neneng Fitriani Intan Nurmala 133403212
Dewi Astri 133403220
Fanny Yulia Restu Pratiwi 133403228
Eko Purwanto 133403239
Dibawah bimbingan:
Euis Rosidah, SE., M.AK.
The purpose of this study is to know about the Islamic
financing may impact the UMKM and invent problems that arise
in Islamic finance.The research method used in this research is
descriptive method, while the data collection techniques
through literature.
Based on the results of this study can be seen that
Islamic finance is in high demand by UMKM as providers of
capital that can be calculated later offered Islamic finance can
provide convenience for the UMK in running his company
activities in accordance with Islamic Sharia.
Key words: financing sharia, UMKM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt. karena
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah mampu
menyelesaikan makalah berjudul “Pembiayaan Syariah untuk
Usaha Mikro dan UMKM”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Seminar Akuntansi Syariah. Disini
kami akan membahas mengenai pembiayaan syariah dan
usaha mikro (UMKM).
Kami menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini
kami banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Euis Rosidah, SE., M.AK. selaku dosen mata kuliah
Seminar Akuntansi Syariah yang telah membantu kami
dalam penyusunan makalah ini;
2. Rekan-rekan seangkatan yang telah memberikan
motivasi kepada kami untuk menyelesaikan penyusunan
makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena masih
memiliki banyak kekurangan, baik dalam isi maupun sistematika
dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritiknya. Semoga makalah ini bisa
memberikan manfaat bagi penulis dan bagi pembaca. Amin.
Tasikmalaya, 13 September 2016 Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................... i
DaftarIsi ..................................................................................vi
Daftar Tabel............................................................................viii
Daftar Gambar.........................................................................ix
Daftar Lampiran.......................................................................x
BAB I PENDAHULUAN...........................................................1
1.1 LatarBelakangMasalah.................................................1
1.2 RumusanMasalah.........................................................7
1.3 TujuanMakalah.............................................................8
1.4 Manfaat.........................................................................8
BAB II PEMBAHASAN............................................................9
2.1 TinjauanPustaka...........................................................9
2.2 Definisi Usaha Mikro, Kecil, Menengah........................10
2.3 Asas danTujuan Usaha Mikro, Kecil, Menengah..........13
2.4 DefinisiPembiayaanSyariah..........................................14
2.5 Prinsip Pemberian Pembiayaan Syariah......................14
2.6 Tujuan dan Fungsi Pembiayaan...................................17
2.7 Sistem dan Jenis Pembiayaan Syariah........................18
2.8 Hubungan Pembiayaan Syariah dengan BMT dalam
Mengembangkan Usaha Mikro dan Menengah............21
2.9 Pengertian BUS dan UUS............................................28
2.10 Asas Fungsi dan Tujuan BUS dan UUS.......................29
2.11 Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah......................31
2.12 Strategi Peningkatan Minat Masyarakat terhadap
Pembiayaan Syariah....................................................31
2.13 Strategi yang Ditawarkan dalam Upaya Pengembangan
Peranan Pembiayaan Syariah dalam Penumbuhan
UMKM...........................................................................33
2.14 Penyebab Pembiayaan Syariah Bermasalah...............45
2.15 Dampak Pembiayaan Bermasalah...............................50
2.16 Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah.......................56
BAB III PENUTUP...................................................................61
3.1 Kesimpulan...................................................................61
3.2 Saran............................................................................63
3.3 Penutup........................................................................64
LAMPIRAN..............................................................................65
DAFTAR PUSTAKA................................................................67
DAFTAR TABEL
No Tabel Judul Tabel Halaman
1. Perbedaan pembiayaan bank konvensional “bunga vs
bagi hasil”............................................................32
DAFTAR GAMBAR
No Gambar Judul Gambar Halaman
2. SistemPembiayaanSyariah...................................28
DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran Judul Lampiran Halaman
3. Contoh Formulir Aplikasi Pembiayaan Mikro....65
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perbankan Islam saat ini semakin
berkembangseiring dengan bertambahnya kebutuhan
masyarakat akan produk dan jasa yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah Islam. Walaupun nilai total aset
yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam
relatif masih kecil yaitu sekitar 0,5% dari asset keuangan
global, pada Laporan Perbankan Islam Global
diproyeksikan laju pertumbuhan tahunan gabungan asset
keuangan Islam mencapai 24% persen dalamtiga tahun
mendatang (Deutsche Bank, 2011). Sedangkan di
Indonesia, asset perbankan syariah pada Agustus 2012
meningkat hingga 38,3 % menjadi Rp 161, 5 Triliun
dimana jumlah asset perbankan syariah ini merupakan
proporsi yang cukup signifikan dari jumlah PDB Nasional.
Perbankan syariah dengan nilai-nilai Islam yang
diusung, diharapkan dapat menjadi solusi bagi
pembangunan perekonomian nasional.Krisis ekonomi
dunia yang juga melanda Indonesia pada tahun 1997-
1998 menyebabkan Indonesia menjadi ketergantungan
terhadap bantuan luar negeri dalam membangun dan
menjaga stabilitas perekonomian pasca krisis hingga saat
ini.Pembangunan sektor UKM diyakini dapat memperkuat
dan mewujudkan kemandirian perekomian bangsa
karena telah terbukti pada saat krisis sektor UKM mampu
bertahan dan menjadi penyokong
perekonomian.Perbankan syariah memberikan
aksessibilitas keuangan yang lebih luas kepada
pengusaha kecil dan menengah dalam memperoleh
pembiayaan usaha.Hal ini berdasarkan falsafah bahwa
kredit merupakan hak bagi setiap orang termasuk orang
miskin dalam memperoleh kesempatan meningkatkan
pendapatan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia
diikuti pula oleh perkembangan lembaga-lembaga
keuangan mikro syariah.Lembaga keuangan mikro
memberikan pelayanan jasa keuangan bagi masyarakat
yang tidak memiliki akses ke lembaga perbankan.Saat ini
lembaga keuangan mikro diharapkan dapat menjadi
alternative bagi masyarakat dan para praktisi keuangan
mikro memiliki keyakinan bahwa masyarakat miskin
membutuhkan akses yang luas dalam memperoleh
pelayanan jasa keuangan agar dapat meningkatkan taraf
kehidupannya.
Permasalahan yang dihadapi lembaga keuangan
mikro dalam menyalurkan pembiayaan ke sektor UKM
sangat kompleks terkait dengan karakteristik UKM di
Indonesia diantaranya yaitu permasalahan SDM, akses
modal, budaya usaha, tingkat penguasaan teknologi
maupun kemampuan manajemen. Untuk mengatasi
masalah akses modal, bank syariah telah melakukan
kerjasama dalam penyaluran pembiayaan ke sektor
UKM.Kerjasama tersebut berupa kerjasama pembiayaan
yang menggunakan konsep linkage, dimana bank syariah
yang lebih besar menyalurkan pembiayaannya melalui
lembaga keuangan syariah yang lebih kecil, seperti
BPRS dan BMT yang dapat menjangkau langsung pelaku
usaha.
Skema pembiayaan linkage yang dilakukan bank
syariah dengan BPRS atau BMT dapat berupa
channeling, executing atau joint financing. Skema
channeling menempatkan BPRS atau BMT sebagai
intermediator BUS/UUS dengan pelaku UMKM.Skema
executing dilakukan ketika badan usaha syariah/unit
usaha syariah (BUS/UUS) menyediakan pendanaan yang
dapat dimanfaatkan oleh BPRS atau BMT dalam
pembiayaan ke nasabah UKM. Sedangkan skema joint
financing adalah skema dimana BUS/UUS dan
BPRS/BMT bekerja sama dalam memberikan
pembiayaan pada nasabah UKM. Sedangkan untuk
menyelesaikan masalah budaya usaha, tingkat
penguasaan teknologi dan kemampuan manajemen,
lembaga keuangan mikro bekerjasama dengan lembaga-
lembaga pendidikan atau pengelola dana sosial dalam
bentuk program-program pembinaan nasabah.
Skema hutang piutang dengan pengenaan bunga
jika dilihat dari perspektif Islam merupakan bentuk
ketidakadilan/eksploitasi.Lembaga keuangan mikro
syariah menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat
bawah dengan skema bagi hasil
(mudharabah/musyarakah) ataupun bentuk-bentuk
pembiayaan lainnya (murabahah, ijarah, salam, &
istishna’) menggantikan skema hutang piutang dengan
pengenaan bunga yang digunakan di lembaga keuangan
mikro konvensional.Skema bagi hasil menekankan pada
kerjasama serta adanya kesediaan untuk menanggung
resiko bersama-sama dalam mengupayakan suatu
keuntungan usaha.Hal ini sangat berbeda dengan sistem
keuangan kapitalis yang menggunakan instrumen bunga
dalam menggerakkan perekonomian dimana pemilik
modal tidak mau menanggung resiko kerugian dan
menetapkan suatu tingkat bunga dimuka serta
mensyaratkan jaminan untuk mengantisipasi resiko
kerugian. Hossain (2009) menyatakan bahwa jika
seseorang ingin menggunakan uangnya untuk
memperoleh lebih banyak uang maka ia harus bersedia
menempatkan uangnya dalam resiko (al-ghunm bil-
ghurm). Jika seseorang atau suatu negara akan
meminjamkan uang untuk orang atau negara lain untuk
tujuan menolong maka tindakan ini harus berdasarkan
prinsip persaudaraan sehingga secara mutlak tidak dapat
diterima untuk mengenakan bunga apapun dalam hal
ini.Mekanisme yang telah berjalan baik di lembaga
keuangan mikro konvensional akan menjadi sempurna
dengan memasukkan nilai-nilai Islam dan mencari
alternative dari skema hutang piutang dengan pengenaan
bunga kepada skema lain yang lebih sesuai dengan nilai-
nilai Islam.Industri keuangan memiliki karakteristik
tingginya tingkat informasi asimetrik yang disebabkan
oleh adanya permasalahan moral hazard dan adverse
selection. Hal ini menyebabkan bank mensyaratkan
adanya dua hal utama dalam memberikan pembiayaan
yaitu nasabah harus memiliki reputasi yang baik dan
jaminan berupa properti atau asset yang bernilai untuk
mengcover resiko apabila di kemudian hari mengalami
default. Bank yang bersifat menghindari resiko hanya
akan memberikan kredit apabila calon nasabah memiliki
dua kriteria di atas.Adanya dua kriteria ini menyebabkan
masyarakat miskin terutama pada daerah tertinggal tidak
memiliki akses kepada lembaga keuangan. Penerapan
sistem bagi hasil pada lembaga keuangan mikro syariah
turut menimbulkan permasalahan moral hazard dan
adverse selection yang lebih kompleks.Permasalahan
moral hazard pada sistem bagi hasil artinya nasabah
memiliki kecenderungan untuk tidak melaporkan
keuntungan usaha yang diperoleh sebagai dasar
perhitungan bagi hasil.Sedangkan permasalahan adverse
selection artinya nasabah yang memiliki resiko usaha
yang tinggi cenderung memilih skema pembiayaan bagi
hasil dibanding skema hutang dengan bunga yang
bersifat tetap sehingga tidak menguntungkan bagi
lembaga keuangan. Lembaga keuangan mikro syariah
memerlukan pendekatan yang berbeda agar penyaluran
pembiayaan kepada masyarakat miskin dapat berjalan
dengan efektif dengan kata lain resiko pembiayaan dapat
dikelola dengan baik, memberikan keuntungan yang
signifikan, mendukung keberlanjutan lembaga keuangan
mikro, dan terutama dapat meningkatkan taraf sosial
ekonomi masyarakat miskin.
Berdasarkan uraian di atas maka tujuan dibuatnya
makalah ini yaitu untuk membahas bagaimama
pembiayaan syariah dapat membantu mengembangkan
UMKM serta mengetahui perbedaan antara pembiayaan
syariah dengan bank konvensional.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan penulis
dalam latar belakang diatas, maka penulis juga sudah
merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh pembiayaan syariah
dalam perkembangan UMKM?
2. Bagaimana mekanisme penyaluran dana
modal kerja bank syariah terhadap UMKM?
3. Apa saja penyebab pembiayaan syariah tidak
berjalan dengan semestinya dan bagaimana
penyelesaiannya?
1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas,
makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan
mendeskripsikan:
1. Mengetahui pengaruh pembiayaan syariah
dalam perkembangan UMKM
2. Mengatahui mekanisme penyaluran dana
modal kerja bank syariah terhadap UMKM
3. Mengetahui penyebab pembiayaan syariah
tidak berjalan dengan semestinya dan
bagaimana penyelesaiannya
1.4 Manfaat
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan
manfaat bagi pembaca, antara lain:
1. Sebagai wahana penambah pengetahuan dan
konsep keilmuan khususnya tentang pembiayaan
syariah dan UMKM.
2. Sebagai media informasi tentang pembiayaan
syariah dan UMKM.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Menurut M. Syafi’I Antonio menjelaskan bahwa
pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank
yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi
kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.
Menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang
Perbankan menyatakan:
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
atau bagi hasil.”
Dalam UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan
syariah pasal 1 poin ke 25 menjelasakan bahwa:
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk
mudharabah dan musyarakah;
b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk
ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik;
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang
murabahah, salam, dan istishna’;
d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk
piutang qardh; dan
e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam
bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas
dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa
imbalan, atau bagi hasil
2.2 Definisi Usaha Mikro, Kecil, Menengah
Undang-undang No. 20 Tahun 2008 memberikan
definisi secara terpisah terhadap usaha mikro,
usahakecil, dan usaha menengah.Undang-undang No.
20 Tahun 2008 juga menetapkan kriteria-kriteria khusus
(dalam pasal 6) untuk masing-masing kategori usaha
tersebut. Pasal 1 menjelaskan usaha mikro adalah
usaha produktif milik orang perorangan atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria: memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
Pengertian usaha kecil adalah usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian langsung
maupun tidak langsung dari usaha menengah atau
usaha besar. Kriteria untuk usaha kecil yaitu: memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp
2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Selanjutnya, usaha menengah mempunyai definisi
sebagai usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari
usaha kecil atau usaha besar. Usaha menengah
memiliki kriteria sebagai berikut: memiliki kekayaan
bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau
memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp ASSETS:
2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00
(lima puluh milyar rupiah).
World Bank dalam tulisan di web departemen
koperasi menetapkan kriteria usaha mikro, kecil, dan
menengah berdasarkan jumlah tenaga kerja, jumlah
pendapatan, dan jumlah aset. Kriteria usaha kecil dan
menengah menurut World Bank meliputi:
1. Medium Enterprise, dengan kriteria :
a. Jumlah karyawan maksimal 300 orang
b. Pendapatan setahun hingga sejumlah 15 juta
c. Jumlah asset hingga sejumlah 15 juta
2. Small Enterprise, dengan kriteria :
a. Jumlah karyawan kurang dari 30 orang
b. Pendapatan setahun tidak melebihi 3 juta
c. Jumlah asset tidak melebihi 3 juta
3. Micro Enterprise, dengan kriteria :
a. Jumlah karyawan kurang dari 10 orang
b. Pendapatan setahun tidak melebihi 100 ribu
c. Jumlah asset tidak melebihi 100 ribu
2.3 Asas dan Tujuan Usaha Mikro, Kecil, Menengah
Ada beberapa asas yang dijadikan landasan oleh
UMKM dalam menjalankan operasional usaha. Asas-
asas tersebut meliputi kekeluargaan, demokrasi
ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
keseimbangan kemajuan, dan kesatuan
ekonominasional (pasal 2 UU.No.21 Tahun 2008). Lalu
tujuan dari UMKM sebagaimana terdapat dalam pasal 3
UU.No.21 Tahun 2008 adalah menumbuh kan dan
mengembangkan usaha nyadalam rangka membangun
perekonomian nasional berdasarkan demokrasi
ekonomi yang berkeadilan.
2.4 Definisi Pembiayaan Syariah
Pembiayaan dapat diartikan sebagai pendanaan
yang dikeluarkan sebagai pendanaan yang dikeluarkan
untuk mendukung investasi yang telah direncanakan
baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang
lain.
Pembiayaan juga dapat diartikan pula pemberian
fasilitas penyediaan dan untuk mendukung investaasi
yang telah direncankan berdasarkan kesepakatan
antara banj dengan pihak lain yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
2.5 Prinsip Pemberian Pembiayaan Syariah
Dalam melakukan penilaian permohonan
pembiayaan bank syariah bagian marketing harus
memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan
dengan kondisi secara keseluruhan calon nasabah. Di
dunia perbankan syariah prinsip penilaian dikenal
dengan 5 C + 1 S , yaitu :
a. Character
Yaitu penilaian terhadap karakter atau
kepribadian calon penerima pembiayaan dengan
tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa
penerima pembiayaan dapat memenuhi
kewajibannya.
b. Capacity
Yaitu penilaian secara subyektif tentang
kemampuan penerima pembiayaan untuk
melakukan pembayaran.Kemampuan diukur
dengan catatan prestasi penerima pembiayaan di
masa lalu yang didukung dengan pengamatan di
lapangan atas sarana usahanya seperti toko,
karyawan, alat-alat, pabrik serta metode kegiatan.
c. Capital
Yaitu penilaian terhadap kemampuan modal
yang dimiliki oleh calon penerima pembiayaan
yang diukur dengan posisi perusahaan secara
keseluruhan yang ditujukan oleh rasio
finansial dan penekanan pada komposisi
modalnya.
d. Collateral
Yaitu jaminan yang dimiliki calon penerima
pembiayaan. Penilaian ini bertujuan untuk lebih
meyakinkan bahwa jika suatu resiko kegagalan
pembayaran tercapai terjadi , maka jaminan dapat
dipakai sebagai pengganti dari kewajiban.
e. Condition
Bank syariah harus melihat kondisi ekonomi
yang terjadi di masyarakat secara spesifik melihat
adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang
dilakukan oleh calon penerima pembiayaan. Hal
tersebut karena kondisi eksternal berperan besar
dalam proses berjalannya usaha calon penerima
pembiayaan.
f. Syariah
Penilaian ini dilakukan untuk menegaskan
bahwa usaha yang akan dibiayaai benar-benar
usaha yang tidak melanggar syariah sesuai
dengan fatwa DSN “Pengelola tidak boleh
menyalahi hukum syariah Islam dalam
tindakannya yang berhubungan dengan
mudharabah.”
2.6 Tujuan dan Fungsi Pembiayaan
a. Tujuan Pembiayaan
Tujuan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah adalah untuk meningkatkan kesempatan
kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai dengan
nilai-nilai Islam.Pembiayaan tersebut harus dapat
dinikmati oleh sebanyak-banyaknya pengusaha
yang bergerak dibidang industri, pertanian, dan
perdagangan untuk menunjang kesempatan kerja
dan menunjang produksi dan distribusi barang-
barang dan jasa-jasa dalam rangka memenuhi
kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
b. Fungsi pembiayaan
Keberadaan bank syariah yang menjalankan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah bukan
hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan
bisnis perbankan di Indonesia, tetapi juga untuk
menciptakan lingkungan bisnis yang aman,
diantaranya :
Memberikan pembiayaan dengan prinsip
syariah yang menerapkan sistem bagi hasil
yang tidak memberatkandebitur.
Membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh
oleh bank konvensional karena tidak mampu
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
bank konvensional.
Membantu masyarakat ekonomi lemah yang
selalu dipermainkan oleh rentenir dengan
membantu melalui pendanaan untuk usaha
yang dilakukan.
2.7 Sistem dan Jenis Pembiayaan Syariah
Prinsip syariah dalam kegiatan pemberian
pembiayaan untuk para UMKM mengikuti sebuah
prosedur atau sistem, dimana bank tidak meninjamkan
sejumlah uang pada nasabah, tetapi membiayai proyek
keperluan nasabah.Dalam hal ini bank berfungsi
sebagai intermediasi uang tanpa meminjamkan uang
dan membungakan uang tersebut. Sebagai gantinya,
pembiayaan usaha nasabah tersebut dapat dilakukan
dengan cara membelikan barang yang dibutuhkan
nasabah, lalu bank menjual kembali pada nasabah,
atau dapat pula dengan cara bank mengikutsertakan
modal dalam usaha nasabah.
Jenis-Jenis Pembiayaan Syariah
1. Pembiayaan dengan prinsip jual beli (BA’I)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan
dengan adaanya perpindahan kepemilikmya barang
atau benta (transfer of property), tingkat keuntungan
ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas
barang yang dijual.
Transaksi jual beli dapat dibedakan
berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu
penyerahan yakni sebagai berikut:
a. Pembiayaan Murabahah
b. Pembiayaan Salam
c. Pembiayaan Istisnah
2. Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi Ijarah dilandasi oleh adanya
perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip Ijarah
sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya
terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli
objek transaksinya adalah barang, pada ijarah objek
transaksi adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual
barang yang disewakan kepada nasabah.
3. Prinsip Bagi Hasil
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan atas
prinsip bagi hasil adalah sebagai berikut :
1) Pembiayaan Musyarakah
2) Pembiayaan Mudharabah
4. Pembiayaan Dengan Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan,
biasanya diperlukan akad pelengkap. Akad pelengkap
ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, tetapi di
tujukan untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan, meskipun tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan
untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk melaksanakan akad ini. Adapun jenis-jenis akad
pelengkap ini adalah sebagai berikut:
1) Hiwalah (Alih Hutang-Piutang)
2) Rahn (Gadai)
3) Qardh
4) Wakalah (Perwakilan)
5) Kafalah (Garansi Bank)
Sedangkan menurut sifat penggunaannya,
pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu:
a. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi
dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha
baik usaha produksi, perdagangan, maupun
investasi.
b. Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan
yang dipergunakan untuk memenuhi konsumsi,
yang akan habis digunakan untuk memenuhi
kebutuhan.
2.8 Hubungan Pembiaayan Syariah Dengan BMT Dlm
Mengembangkan Usaha Mikro Dan Menengah
Menurut Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah, yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK),
termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha
yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan
tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara
itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha
milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan
bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp
10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan
bangunan.Sistem permodalan syariah yang ada di
Indonesia pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi
dua.
Perbankan Syariah, mencakup Bank Umum
Syariah BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Sampai dengan bulan Februari
2012, industri perbankan syariah telah mempunyai
jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24
Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS, dengan
total jaringan kantor mencapai 2.380 kantor yang
tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara. (Halim,
2012).
BMT (Baitul Mal wa Tamwil) dikenal juga sebagai
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Pengaturan
BMT berdasarkan UU baru, yaitu UU No 17 tahun 2012
tentang Perkoperasian dan UU No 1 tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). UU
Perkoperasian dan UU LKM secara eksplisit menaungi
atau mengatur BMT, baik dalam aspek izin usaha,
wilayah operasi maupun jenis produk.Jumlah BMT yang
saat ini telah mencapai lebih dari 5500 unit menyebar
kepelosok wilayah, baik di area urban maupun rural.
(OJK, 2013).
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) atau
yang dikenal juga dengan Baitul Mal wa Tamwil (BMT)
menjadi lembaga yang juga penting peranannya
disamping Bank Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS). Apalagi pada taraf binis mikro-
kecil.Secara kemanfaatan dan luas jangkauan kepada
usaha mikro-kecil, model kemitraan bank syariah dan
BMT relatif lebih berdaya guna.Jumlah BMT yang saat
ini telah mencapai lebih dari 5500 unit menyebar
kepelosok wilayah, baik di area urban maupun rural.
(OJK, 2013).
Kemitraan diyakini mampu menjawab beberapa
masalah penting seperti: (i) Akses keuangan yang
rendah dari masyarakat khususnya kelompok usaha
mikro-kecil, meskipun kontribusi dan peran usaha
mikro-kecil yang cukup signifikan bagi perekonomian
nasional; (ii) Pelayanan bagi masyarakat usaha mikro-
kecil yang relatif belum berkualitas mengedepankan
kenyamanan dan keamanan; dan (iii) belum
terintegrasinya industri keuangan mikro karena masih
berada di sektor informal. (OJK, 2013).
Saat ini terdapat 4 (empat) bentuk kemitraan yang
dilakukan antara bank syariah dengan BMT, yaitu: (i)
executing, kemitraan langsung antara bank syariah
dengan BMT; (ii) executing holistik, kemitraan executing
yang diikuti dengan program-program pembinaan atau
pendampingan baik bagi BMT maupun bagi nasabah;
(iii) channeling, kemitraan tidak langsung antara bank
syariah dengan BMT karena melalui lembaga
penghubung (intermediary) seperti Inkopsyah (pusat)
atau Puskopsyah (daerah); (iv) channeling holistik,
kemitraan channeling yang diikuti dengan program-
program pembinaan atau pendampingan baik bagi BMT
maupun bagi nasabah. (OJK, 2013).
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD),
Indept Interview, survey dan olah data primer
menggunakan pendekatan Analytic Network Process
(ANP), disimpulkan bahwa:
Mayoritas BMT yang sudah establish telah
melakukan kemitraan dengan bank syariah;
Model kemitraan yang dilakukan oleh BMT
berdasarkan pertimbangan kemanfaatan dan
kebutuhan, sehingga BMT tidak terpaku pada
satu model kemitraan (satu BMT dapat
melakukan beberapa model kemitraan);
Model kemitraan yang paling banyak dilakukan
adalah model kemitraan executing karena
pertimbangan pricing;
BMT yang masih baru dan belum memiliki
jaringan cenderung memilih model kemitraan
channeling melalui BMT sekunder;
Kemitraan channeling relatif ditentukan oleh
lembaga BMT sekunder, dimana
aksesabilitasnya belum terbuka bagi semua
BMT;
Kemitraan masih bersifat pragmatis pada aspek
keuangan karena belum banyak program
pembinaan atau pendampingan;
Program pembinaan dan pendampingan
mayoritas tidak menjadi satu paket dalam
kesepakatan kemitraan bank syariah dan BMT;
dan
BMT yang telah besar dan mapan umumnya
relatif tidak membutuhkan bantuan dari bank
syariah, kemitraan dilakukan lebih atas alasan
menjaga jaringan.
BMT yang telah besar dan mapan umumnya relatif
tidak membutuhkan bantuan dari bank syariah,
kemitraan dilakukan lebih atas alasan menjaga
jaringan; dan perlu dilakukan kajian lebih jauh
khususnya tentang persepsi bank syariah menyikapi
model kemitraan bersama BMT.Berdasarkan studi
terkesan belum ada titik temu antara preferensi BMT
dengan preferensi bank syariah. Hal seperti volume
dana kemitraan, birokrasi-prosedur dan pricing masih
menjadi isu utama dalam mewujudkan kemitraan yang
ideal antara bank syariah dan BMT. (OJK, 2013)
Terlepas dari permasalahan pencarian hubungan
kemitraan yang paling ideal untuk dibakukan secara
formal antara perbankan Syariah dengan BMT,
hubungan yang telah terjalin selama ini telah
menunjukkan sebuah potensi besar bagi
pengembangan permodalan syariah. Peranannya
semakin penting bukan hanya bagi bisnis level
menengah, tetapi khususnya juga bagi bisnis skala kecil
dan bahkan mikro. Pada bisnis level mikro ini, semakin
terakomodir dengan semakin luasnya jangkauan
permodalan syariah melalui kemitraan antara
perbankan Syariah dan BMT. Pelaku UMKM semakin
memiliki banyak pilihan dalam menentukan lembaga
pemodalnya. Pemilihannya dapat disesuaikan dengan
level kebutuhan modal yang dibutuhkan bagi unit
usahanya.
Permohonan bantuan modal dapat diajukan
kepada perbankan Syariah terdekat jika memang
dibutuhkan modal yang cukup besar, atau cukup
mengajukan permodalan ke BMT jika dana yang
dibutuhkan tidak terlalu besar. Pada BMT-BMT yang
telah mapan dan memiliki keuangan yang kuat maka
akan semakin luas juga kemampuan pemeberian
modalnya kepada UMKM. Selain itu, pemilihan dapat
juga didasarkan pada kedekatan dengan pemodal yang
telah terjalin selama ini serta kebutuhan permodalan
yang mendesak. BMT yang lebih bersifat lokal dapat
berperan dalam hal ini dimana dapat menawarkan alur
birokrasi yang lebih pendek dan pencairan dana modal
yang lebih cepat.
Gambar 1. Langkah Mendapatkan Pembiayaan
2.9 Pengertian Bus Dan Uus
Menurut UU. No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, mendifinisikan Bank Umum Syariah
adalah bank syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Definisi Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dari
kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah.
2.10 Asas Fungsi Dan Tujuan Bus Dan Uus
Berdasarkan Undang-Undang No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, Bab III Pasal 2, Pasal 3,
dan Pasal 4 menjelaskan asas, tujuan, dan fungsi bank
syariah, sebagai berikut:
Asas Perbankan Syariah
Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan
usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi
ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.
Tujuan Perbankan Syariah
Perbankan syariah bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan
kesejahteraan rakyat.
Fungsi Perbankan Syariah
1) Bank syariah dan UUS wajib menjalankan
fungsi menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat.
2) Bank syariah dan UUS dapat menjalankan
fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal,
yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,
infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya
dan menyalurkannya kepada organisasi
pengelola zakat.
3) Bank syariah dan UUS dapat menghimpun
dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola wakaf
(nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi
wakaf (wakif).
4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2.11 Prinsip-prinsip Dasar Transaksi Syariah
Tidak boleh ada gharar ((keraguan yang
merugikan).
Tidak boleh ada maysir (spekulasi).
Tidak boleh ada unsur riba (tambahan/bunga).
Tidak boleh memperdagangkan uang (sebagai
komoditas).
Bersifat universal.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas,
maka bank syariah yang paling sesuai karena
mengganti mekanisme bunga dengan prinsip
bagi hasil.
2.12 Strategi Peningkatan Minat Masyarakat terhadap
Pembiayaan Syariah
Pembiayaan syariah memounyai strategi yang
ditawarkan kepada masyarakat ataupun kepada
UMKM, salah satunya yaitu dengan tidak adanya bunga
dan menerapkan sistem bagi hasil. Berikut ini terdapat
beberapa perbedaan antara bunga vs bagi hasil:
BUNGA BAGI HASIL
1. Penentuan bunga
dibuat pada waktu
akad dengan asumsi
harus selalu untung.
1. Penentuan
besarnya rasio/
nisbah bagi hasil
dibuat pada waktu
akad dengan
berpedoman pada
kemungkinan
untung dan rugi.
.
2. Besarmya
presentase
berdasarkan pada
jumlah uang (modal)
yang dipinjamkan.
2. Besarnya rasio
bagi hasil
bedasarkan pada
jumlah keuntungan
yang diperoleh
3. Pembayaran bunga
tetap seperti yang
dijanjikan tanpa
pertimbangan
apakah proyek yang
dijalankan oleh
pihak nasabah
untung atau rugi.
3. Bagi hasil
bergantung pada
keuntungan proyek
yang dijalankan.
Bila usaha merugi,
kerugian akan
ditanggung
bersama oleh
kedua belah pihak.
4. Jumlah pembayaran
bunga tidak
meningkat sekalipun
jumlah keuntungan
berlipat atau
keadaan ekonomi
sedang “booming”
4. Jumlah pembagian
laba meningkat
sesuai dengan
peningkatan
jumlah
pendapatan.
5. Eksistensi bunga
diragukan (kalau
tidak dikecam) oleh
semua agama,
termasuk islam.
5. Tidak ada yang
meragukan
keabsahan bagi
hasil
Tabel 1. Perbedaan pembiayaan bank konvensional
“bunga vs bagi hasil”
2.13 Strategi yang Ditawarkan dalam Upaya
Pengembangan Peranan Pembiayaan Syariah dalam
Penumbuhan UMKM
Strategi-strategi yang dapat diterapkan Dari best
practice yang ada, beberapa strategi berikut dapat
diterapkan dalam upaya pengembangan peranan
permodalan syariah dalam penumbuhan UMKM.
1. Perbaikan kualitas terus menerus pada internal
management
Kualitas internal management dari sistem
permodalan merupakan suatu hal yang penting
untuk dilakukan sebelum mencari dan menseleksi
calon penerima modal. Hal ini harus menjadi
perhatian utama semua unit permodalan syariah,
baik bagi Bank Syariah, Unit Usaha Syariah,
BPRS dan juga bagi Koperasi Syariah / BMT.
Setiap kegiatan menejerial harus disertai dengan
standard operasional procedure (SOP) yang
lengkap dan jelas dan tertulis.
Dengan adanya SOP, setiap karyawan,
sesuai dengan jabatan, posisi, dan fungsinnya
dapat mengetahui cara dan langkah-langkah
melakukan suatu pekerjaan sesuai SOP yang
ditetapkan. Baik dari cara menysun laporan, cara
melayani calon customer, cara melakukan
monitoring pelaku usaha penerima modal, cara
melakukan survey dan evaluasi kelayakan
pemberian permodalan kepada pelaku usaha, dan
lain sebagainya. Termasuk juga kemampuan-
kemampuan minimal yang harus dimiliki karyawan
sesuai fungsi dan jabatannya dapat diatur dalam
SOP. Jika belum memenuhi persyaratan maka
dapat diberikan training sertifikasi dan
pembekalan-pembekalan lainnya dalam
penugasan khusus.
SOP-SOP ini nantinya harus dievaluasi
kinerja dan efektivitasnya secara berkala atau
secara insidentil.Hal ini dalam rangka
improvement sistem kerja sehingga tercipta
continuous improvement. Jika memungkinkan,
dapat juga dilakukan pembandingan dengan SOP-
SOP dari unit permodalan syariah lain.
Dalam suatu wilayah operasi, jika di wilayah
tersebut terdapat beberapa unit permodalan
syariah, baik yang berupa BUS, UUS, BPRS, dan
BMT, maka dapat dilakukan saling memberi saran
dan masukan terhadap masing-masing SOP yang
ada di masing-masing unit permodalan syariah.
Hal ini juga akan berhubungan dengan upaya
penguatan hubungan kemitraan unit-unit
permodalan syariah yang ada di satu wilayah
operasi yang sama.
Semua hal ini perlu dialkukan dalam rangka
semakin meningkatkan kualitas manajerial sistem
permodalan syariah dan juga sekaligus
meningkatkan pelayanan kepada customer. SOP-
SOP yang terintegerasi antara unit permodalan
syariah yang satu dengan yang lain yang berada
dalam satu wilayah operasi akan semakin
membantu kegiatan operasional serta strategi
masing-masing unit permodalan syariah.
2. Peningkatan dan Penguatan Kemitraan
Peningkatan dan penguatan kemitraan dan
jaringan Kemitraan antara unit permodalan syariah
yang satu dengan yang lain merupakan hal yang
juga penting. Baik antara unit permodalan syariah
yang setara, misalkan Bank syariah dengan bank
syariah atau BMT dengan BMT, atau juga antara
yang tidak setara, misal Bank Syariah dengan
BMT, BPRS dengan BMT.UUS dan BMT, dan
seterusnya.
Hubungan kemitraan dan jaringan ini akan
menjadi sangat penting terutama pada level lokal,
pada suatu wilayah operasi tertentu. Jika dalam
satu wilayah terdapat beberapa unit permodalan
syariah seperti kantor cabang Bank Syariah,
BPRS, Unit Usaha Syariah, dan BMT, maka
semua unit permodalan syariah ini harus selalu
berada dalam satu koordinasi. Melalui organisasi
kemitraan dimana di dalamnya semua unit
permodalan syariah di suatu wilayah operasi yang
sama bersatu padu, maka hal ini dapat semakin
memperkuat peranan permodalan syariah di
wilayah tersebut. Antara unit permodalan syariah
yang satu dengan yang lain dapat saling bertukar
database pelaku usaha UMKM yang ada. Hal ini
dapat mempercepat peroses evaluasi kelayakan
usaha untuk pemberian modal.
Selain itu, antara unit permodalan yang satu
dengan yang lain di suatu wilayah yang sama
dapat saling bertukar strategi dan
mengkoordinasikannya dalam rangka
meningkatkan benefit semua pihak. Misalnya
dalam upaya sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat.
3. Penyederhaaan alur birokrasi
Sebagaimana best practice yang dilakukan
BRI Syariah Cabang Pembantu Cipulir, penekanan
utama dalam evaluasi kelayakan pemberian modal
usaha cukup ditekankan hanya pada tiga aspek
yaitu aspek character, capacity dan syariah.
Sementara komponen 6C yang lain yakni capital,
condition of economy dan collateral dijadikan
pertimbangan pendukung. Hal ini dalam rangka
penyederhanaan evaluasi kelayakan pendanaan.
Penyederhanaan alur birokrasi lainnya
dapat dilakukan secara bertahap. Melalui adanya
kemitraan dan jaringan yang kuat antar semua unit
permodalan syariah yang ada di suatu wilayah
yang sama, maka alur birokrasi seharusnya lebih
dapat dipangkas lagi sehingga menjadi lebih
singkat. Misalnya melalui adanya saling betukar
database track record pelaku UMKM, maka proses
evaluasi personal pelaku UMKM terhadap
kelayakan pemeberian permodalan dapat
dipersingkat. Termasuk juga pada aspek capacity.
4. Meningkatkan peranan sistem mudharabah dan
musyarakah
Seperti diketahui, sistem pembiayaan dan
permodalan syariah yang berkembang hingga
sejauh ini masih didominasi oleh akad murabahah
(jual beli dengan sistem kredit sesuai
syariah).Padahal seharusnya sistem mudharobah
dan musyarakah yang harus banyak
berperan.Keduanya merupakan prinsip
permodalan bagi hasil, baik untung maupun rugi
dimana dengan konsep seperti ini seharusnya
dapat mendorong perkembangan UMKM secara
signifikan.
Dalam kasus ini pertimbangan resiko
barangkali masih menjadi pertimbangan utama
mengapa sistem permodalan syariah secara
umum masih mengedepankan praktek murabahah
dibandingkan mudharobah dan
musyarakah.Menyikapi hal ini, pemahaman
mengenai kewirausahaan harus dikembalikan lagi
kepada pemahaman dasar ke-Islaman yang
dilandaskan kepada keimanan dan ketakwaan
kepada Allah.
Sebagai seorang muslim harus percaya
akan janji Allah bahwa Allah tidak akan menyia-
nyiakan pahala orang-orang yang bermal saleh.
Kita harus percaya bahwa masing-masing orang
telah memiliki takaran rezekinya masing-
masing.Kita harus percaya pada ikhtiar kita,
bahwa jika ikhtiar tersebut dijalankan sesuai
prinsip syar’i, maka apapun hasilnya adalah suatu
kebaikan.
Maka dari itu, selama suatu unit UMKM
telah memenuhi ketentuan sistem usaha yang
sesuai syar’i dan juga pelaku usahanya adalah
seorang yang soleh dan kompeten, maka
seharusnya lembaga pemodal harus berani
mengambil resiko untuk menamkan modalnya.Ini
adalah bagian dari ikhtiar. Dalam berbisnis,
tidaklah harus selalu mendapatkan keuntungan,
tetapi terkadang pemodal juga akan mengaggung
kerugian. Hanya saja, kita harus terus berikhtiar
untuk meningkatkan keuntungan dan
meminimalkan kerugian.Setelah ikhtiar ditunaikan,
maka mengenai hasil penanaman modalnya harus
diserahkan kepada Allah.Baik rugi atau untung
semuanya adalah baik karena merupakan
ketentuan Allah.Inilah bentuk tawakkal.
5. Sosialisasi dan Edukasi
Kurangnya pemahaman masyarakat
mengenai hukum syariah dalam perdagangan dan
jual beli merupakan pekerjaan rumah bagi semua
unit permodalan syariah.Bank Syariah, UUS,
BPRS, BMT, semuanya harus bahu membahu
dalam melakukan sosialisasi dengan tujuan agar
masyarakat paham dan sadar mengenai
keharusan sebagai umat Muslim untuk
menjalankan perniagaan sesuai prinsip syariat
Islam.Jadi sosialisai dan edukasi bukan hanya
mengenai pelayanan-pelayan permodalan syariah
yang mereka tawarkan kepada pelaku UMKM.
Apabila pemahaman masyarakat telah terbangun,
maka dengan penuh kesadaran, dengan
sendirinya masyarakat akan lebih mengutamakan
penggunaan prinsip syariah dalam perniagaan
mereka dan akan meninggalkan praktek
permodalan yang berlandaskan prinsip riba.
Salah seorang Sahabat Utama Nabi
Muhammad, Umar bin Khatab, pada saat Beliau
menjabat sebagai Amirul Mukminin, Beliau pernah
berkata, “Janganlah seseorang berdagang di
pasar kami sampai dia paham betul mengenai
seluk beluk riba.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310).
Hal ini menunjukkan pentingnya
pemahaman mengenai hukum syariat dalam
perniagaan bagi kaum muslimin.Bahkan menjadi
suatu hal yang harus dipernuhi terlebih dahulu
sebelum terjun ke dunia perniagaan atau
kewirausahaan.Maka dari itu upaya membangun
pondasi sistem permodalan syariah haruslah
mengutamakan bagaimana caranya membuat
masyarakat Muslim paham mengenai hukum-
hukum perniagaan yang sesuai syar’i.Sosialisasi
secara massif dan berulang harus terus
digalakkan.
Upaya sosialisasi dan edukasi mengenai
hal tersebut dapat dilakukan dengan mendorong
lembaga pengurus Mesjid di setiap Mesjid yang
lokasinya terdekat dengan lembaga permodalan
syariah untuk dapat memfasilitasi Ustad-Ustad
yang dapat menyampaikan tauziah mengenai
hukum jual beli dan perniagaan serta permodalan
yang sesuai syariah.Atau setidaknya selalu
menyisipkan pesan-pesan ini dalam setiap tauziah
yang disampaikan.Baik dalam kajian rutin atau
dalam khotbah Jum’at.
Buletin dan brosur-brosur yang berisi
nasehat-nasehat agama tentang hukum
perniagaan dan juga info-info kemudahan
pembiayaan syariah dapat disebarkan di setiap
mesjid.Dapat juga ditempel di tempat-tempat
umum.Atau diberikan secara door to door.Hal ini
dalam rangka mendorong terbentuknya
pemahaman masyarakat mengenai pembiayaan
syariah sekaligus menginformasikan tersedianya
lembaga pembiayaan syariah terdekat dengan
sistem yang mudah.Selain itu disertai pula dengan
hot line untuk konsultansi tentang pembiyaan
syariah.Media sosial juga dapat dimanfaatkan
sebagai sarana penyampaian informasi yang
efektif.
Penyampaian dakwah perniagaan syar’i
dan informasi penyedia modal syariah juga dapat
dilakukan langsung dengan cara bersilaturrahmi
kepada kepala-kepala desa, lurah-lurah, ketua RT
dan RW, tokoh masyarakat, termasuk juga kepada
warga Muslim terutama yang berprofesi sebagai
pengusaha. Bagi warga Muslim yang belum
berprofesi sebagai pengusaha, dapat juga
dilakukan silaturrahmi semacam ini dimana
diharapkan dapat menumbuhkan semangat
berwirausaha dalam prinsip syar’i.
Tujuan sosialisasi dan edukasi dari semua
lini seperti ini tentunya nantinya diharapkan bukan
hanya untuk menarik minat pelaku UMKM yang
sudah ada tetapi juga diharapkan dapat menarik
minat masyarakat secara umum untuk dapat
merealisasikan minatnya berwirausaha.Hal ini
tentunya harus dipadukan dengan pelayanan yang
prima dari penyedia permodalan syariah untuk
terus melakukan pendampingan terhadap para
pelaku UMKM.Bukan hanya dalam rangka
memastikan kegiatan usaha mereka berada dalam
prisnip syar’i tetapi juga membantu pertumbuhan
dan perkembangannya.
Sosiliasasi dan edukasi juga dapat berupa
pembimbingan bagi para pelaku UMKM mengenai
bagaimana cara meningkatkan efektifitas dan
efisiensi mereka dalam berbisnis. Pelatihan,
seminar, workshop, forum group discussion, dapat
menjadi sarana dalam rangka meningkatkan
upaya pendampingan secara terus menerus
kepada pelaku UMKM.
2.14 Penyebab Pembiayaan Syariah Bermasalah
Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran
dana yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti
bank syariah yang dalam pelaksanaan pembayaran
pembiayaan oleh nasabah itu terjdi hal-hal seperti
pembiayaan yang tidak lancer, pembiayaan yang
debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan,
serta pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal
angsuran. Sehingga hal-hal tersebut memberikan
dampak negative bagi kedua belah pihak (debitur dan
kreditur).
Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu
dari resiko dalam suatu pelaksanaan pembiayaan.
Adiwarman A. Karim menjelaskan bahwa resiko
pembiayaan merupakan resiko yang disebabkan oleh
adanya counterparty dalam memenuhi kewajibannya.
Dalam bank syariah, resiko pembiayaan mencakup
resiko terkait produk dn resiko terkait dengan
pembiayaan korporasi.
Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu
resiko yang pasti diahadapi oleh setiap Bank karena
resiko ini sering juga disebut dengan resiko kredit.
Robert Tampubolon menjelaskan bahwa resiko kredit
adalah eksposur yang timbul sebagai akibat kegagalan
pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya.
Disatu sisi resiko ini dapat bersumber dari berbagai
aktivitas fungsional bank seperti penyaluran pinjaman,
kegiatan tresuri dan investasi, dan kegiatan jasa
pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam buku
bank. Disisi lain resiko ini timbul karena kinerja satu
atau lebih debitur yang buruk. Kinerja debitur yang
buruk ini dapat berupa ketidak mampuan atau ketidak
mauan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh
perjanjian kredit yang telah disepakati bersama
sebelumnya. Dalam hal ini yang menjadi perhatian bank
bukan hanya kondisi keuangan dan nilai pasar dari
jaminankredit termasuk collateral tetapi juga karakter
dari debitur.
Ada beberapa faktor penyebab pembiayaan
bermasalah:
1. Faktor intern (berasal dari pihak bank)
o Kurang baiknya pemahaman atas bisnis
nasabah
o Kurang dilakukan evaluasi keuangan
nasabah
o Kesalahan setting fasilitas pembiayaan
(berpeluang melakukan sidestreaming)
o Perhitungan modal kerja tidak didasarkan
kepada bisnis usaha nasabah
o Proyeksi penjualan terlalu optimis
o Proyeksi penjualan tidak memperhitungkan
kebiasaan bisnis dan kurang
memperhitungkan aspek kompetitor
o Aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek
marketable
o Lemahnya supervisi dan monitoring
o Terjadinya erosi mental: kondisi ini
dipengaruhi timbali balik antara nasabah
dengan pejabat bank sehingga
mengakibatkan proses pemberian
pembiayaan tidak didasarkan pada praktek
perbankan yang sehat
2. Faktor ekstern
o Karakter nasabah tidak amanah (tidak jujur
dalam memberikan informasi dan laporan
tentang kegiatannya)
o Melakukan sidestreaming penggunaan dana
o Kemampuan pengelolaan nasabah tidak
memadai sehingga kalah dalam persaingan
usaha
o Usaha yang dijalankan relatif baru
o Bidang usaha nasabah telah jenuh
o Tidak mampu menanggulangi masalah/
kurang menguasai bisnis
o Meninggalnya key person
o Perselisihan sesama direksi
o Terjadi bencana alam
o Adanya kebijakan pemerintah: peraturan
suatu produk atau sektor ekonomi atau
industri dapat berdampak positif maupun
negatif bagi perusahaan yang berkaitan
dengan industri tersebut.
Kualitas pembiayaan ditetapkan menjadi 5 (lima)
golongan yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus,
Kurang Lancar, Diragukan dan Macet, yang
dikategorikan pembiayaan bermasalah adalah kualitas
pembiayaan yang mulai masuk golongan dalam
perhatian khusus sampai golongan Macet. Bank syariah
wajib untuk menggolongkan kualitas aktiva
produktif. Sesuai dengan kriterianya dan dinilai secara
bulanan, sehingga jika bank syariah tidak
melakukannya maka akan dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud Pasal 56 Undang-
Undang Perbankan Syariah.
Bilamana terjadi pembiayaan bermasalah maka
Bank syariah akan melakukan upaya untuk menangani
pembiayaan bermasalah tersebut dengan melakukan
upaya penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan
bermasalah, agar dana yang telah disalurkan oleh bank
syariah dapat diterima kembali. Akan tetapi mengingat
dana yang dipergunakan oleh bank syariah dalam
memberikan pembiayaan berasal dari dana masyarakat
yang ditempatkan pada bank syariah maka bank
syariah dalam memberikan pembiayaan wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank
Syariah dan/atau Unit Usaha Syari’ah(UUS) dan
kepentingan nasabahnya yang telah mempercayakan
dananya.
2.15Dampak Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan bermasalah bagaimanapun akan
berdampak negatif baik secara mikro (bagi bank dan
nasabah) maupun secara makro (sistem perbankan dan
perekonomian Negara). Dampak pembiayaan
bermasalahnya terhadap:
1) Bank syariah
a. Likuiditas
Likuiditas adalah nafas kehidupan bagi
setiap perusahaan, begitu juga bank. Jika hutang
atau kewajiban meningkat, maka bank perlu
mengusahakan untuk meningkatkan sisi aktiva
lancar antara lain dengan meningkatkan kas
melalui penerimaan pembiayaan yang jatuh
tempo.
b. Solvabilitas
Solvabilitas adalah kemampuan bank untuk
memenuhi kewajiban jangka panjangnya.Adanya
pembiayan bermasalah dapat menimbulkan
kerugian bagi bank.Kerugian dapat mengganggu
neraca bank, sehingga mengurangi kemampuan
aktivanya.Jika kerugian tersebut cukup bersar,
maka bukan tidak mungkin mengalami likuidasi.
c. Rentabilitas
Rentabilitas adalah kemampuan bank untuk
memperoleh penghasilan berupa bagi hasil. Jika
pembiayaan lancar, maka bank akan memperoleh
penghasilan dengan lancar pula.
d. Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan bank
untuk memperoleh keuntungan. Hal itu terlihat
pada perhitungan tingkat produktivitasnya yang
dituangkan dalam rumus Return on Equity(ROE)
dan Return on Asset(ROA). Jika kredit tidak
lancar, maka rentabilitasnya menjadi kecil.
2) Karyawan Bank
a. Mental
Jatuhnya moral bankir dan karyawan,
seperti hilangnya rasa percaya diri, saling
menyalahkan, cuci tangan bagi sebagian
orang dan mencari kambing hitam.
b. Karir
Rusaknya karier pegawai, sehingga dapay
merusak masa depan mereka
c. Waktu dan Tenaga
Bertambahnya pekerjaan bagi karyawan
dan bankir karena harus menyisihkan waktu
dan tenaga guna menghadapi kredit
bermasalah.
3) Pemilik Saham
a. Deviden
Keuntungan yang kecil akan mengecilkan
perolehan deviden. Bahkan jika bank rugi,
pemilik saham dapat kehilangan kesempatan
dalam memperoleh devidennya.
b. Moral
Jika terus menerus bank rugi, maka pemilik
saham akan kehilangan gairah memiliki saham
bank tersebut.
4) Nasabah Sendiri
a. Nama Baik
Citra dan nama baik dikalangan perbankan
dan dunia bisnisnya. Apabila jika berkembang
menjadi pembiayaan yang bermasalah, maka
selanjutnya akan masuk dalam Daftar Hitam
Bank Indonesia yang disiarkan keseluruh
Indonesia.
b. Kepercayaan Luar Negri
Hilangnya kepercayaan pihak luar dan
relasi bisnis.Ingat, modal utama dalam
berbisnis adalah kepercayaan. Jika
kepercayaan hilang, maka akan membuat
pengusaha yang bersangkutan “mati langkah”.
5) Nasabah Lain
a. Penyediaan Dana
Dana yang tersedia menjadi menurun
dengan kata lain peluang bagi nasabah lain
untuk memperoleh pinjaman jadi menurun
pula.
b. Perolehan Pelayanan Bank
Bankir dan karyawan bank menjadi trauma,
sehingga sering melakukan pengetatan
terhadap permohonan pembiayaan yang
mungkin ditafsirkan sebagai tindakan
mempersulit permohonan pembiayaan
tersebut.
6) Pemilik Dana
a. Keresahan
Para pemilik dana yang belum jatuh tempo
ikut gelisah dan ingin menarik dananya kembali
b. Rush
Jika masyarakat trauma dengan beberapa
bank, bukan tidak mungkin jadi trauma kepada
dunia perbankan. Mereka akan mencari
peluang non bank dalam menyimpan dananya
lalu mereka menarik dana mereka dari bank.
7) Sistem Perbankan
a. Kredibilitas
Dapat merusak kredibilitas bank nasional
dimata internasional. Pada gilirannya juga
merusak system keuangan nasional dimata
perdagangan internasional.
b. Kesinambungan Usaha
Tingginya biaya dana dapat mengancam
likuiditas bank, bahkan bisa membuat bank
yang lemah menjadi gulung tikar.
8) Otoritas Moneter
a. Pembangunan Moneter
Dapat menghambat pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi Negara secara
keseluruhan yang pada gilirannya menghambat
pembanguana di bidang moneter.
b. Sosial Ekonomi
Terjadinya hambatan dalam pembangunan
yang dapat merusak tatanan sosila
ekonomi.Bukan tidak mungkin dapat berakibat
negative terhadap situasi sosila umumnya.
2.16 Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
Secara umum strategi yang dijalankan sebagai
upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Stay Strategy adalah strategi saat Bank masih
ingin mempertahankan hubungan bisnis dengan
nasabah dalam konteks waktu jangka panjang.
a. Penagihan intensif
b. Rescheduling
o Memperpanjang jangka waktu pembiayaan
Dalam hal ini si debitur diberikan
keringanan dalam masalah jangka waktu
pemiayaan misalnya perpanjangan jangka
waktu pembiayaan dari 6 bulan menjadi
satu tahun sehingga si debitur mempunyai
waktu yang lebih lama untuk
mengembalikannya.
o Memperpanjang jangka waktu angsuran
Memperpanjang angsuran hampir
sama dengan jangka waktu pembiayaan.
Dalam hal ini jangka waktu angsuran
pembiayaannya diperpanjang
pembayarannya pun misalnya dari 36 kali
menjadi 48 kali dan hal ini tentu saja jumlah
angsuran pun menjadi mengecil seiring
dengan penambahan jumlah angsuran
c. Reconditioning
o Dengan cara mengubah berbagai
persyaratan yang ada seperti;
- Penundaan pembayaran marjin sampai
waktu tertentu.
Dalam hal penundaan pembayaran
marjin sampai waktu tertentu,
maksudnya hanya marjin yang dapat
ditunda apembayarannya, sedangkan
pokok pinjamannya tetap harus dibayar
seperti biasa.
- Penurunan marjin
Penurunan marjin dimaksudkan agar
lebih meringankan beban
nasabah.Sebagai contoh jika marjin per
tahun sebelumnya dibebankan 20 %
diturunkan menjadi 18 %.Hal ini
tergantung dari pertimbangan yang
bersangkutan.
Penurunan marjin akan
mempengaruhi jumlah angsuran yang
semakin mengecil, sehingga diharapkan
dapat membantu meringankan nasabah.
- Pembebasan marjin
Dalam pembebasan marjin diberikan
kepada nasabah dengan pertimbangan
nasabah sudah akan mampu lagi
membayar pembiayaan tersebut. Akan
tetapi nasabah tetap mempunyai
kewajiban untuk membayar pokok
pinjamannya sampai lunas.
d. Restructuring
o Dengan menambah jumlah pembiayaan
o Dengan menambah equity
2. Phase out Strategy adalah strategi saat pada
prinsipnya Bank tidak ingin melanjutkan hubungan
bisnis lagi dengan nasabah yang bersangkutan
dalam konteks waktu yang panjang,kecuali bila
ada faktor-faktor lain yang sangat mendukung
kemungkinan adanya perbaikan kondisi
nasabah. Strategi yang umumnya dijalankan,
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2
(dua) macam pendekatan, yaitu: (1) Soft
Approach; (2) Hard Approach.
Apabila cara Soft Approach tidak dapat
menyelesaikan pembiayaan bermasalah yang
terjadi, selanjutnya akan ditempuh cara Hard
Approach yang melibatkan jalur hukum, yaitu
dapat berupa:
a. BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah
Nasional), penyelesaian tersebut dilakukan
melalui keadaan setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
b. Pengadilan, dapat berupa:
(i) Eksekusi Hak Tanggungan (HT) atas
agunan;
(ii) Eksekusi agunan yang diikat secara Fidusia
yang didaftarkan ke Kantor Pendaftaran
Fidusia (KPF); Melakukan gugatan
terhadap aset-aset lainnya milik nasabah;
baik yang berlokasi di dalam maupun di luar
negeri;
(iii) Pelaporan pidana terhadap nasabah, dan
sebagainya.
c. Melibatkan pihak kepolisian
Alternatif terakhir ini (hard approach) dilakukan
apabila:
- Nasabah tidak dapat dihubungi.
- Nasabah melarikan diri.
- Nasabah tidak mempunyai itikad baik untuk
menyelesaikan kewajibannya sementara
sesungguhnya nasabah memiliki
kemampuan untuk itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan diatas maka
dapat disimpulkan:
1. Bank syariah terhadap umkm yaitu memberikan
bantuan berupa modal untuk pengembangan
umkm dengan tidak memberatkan umkm tersebut
dalam pembayarannya. Jadi pada intinya bank
syariah memeberikan kemudahan kepada
nasabahnya dan juga kepada umkm.
2. Ada empat langkah yang digunakan dalam
penyaluran dana bank syariah kepada umkm
yaitu;
1) Channeling
2) Executing
3) Join Finanncing
3. Ada beberapa faktor penyebab pembiayaan
bermasalah:
Faktor intern (berasal dari pihak bank)
o Kurang baiknya pemahaman atas bisnis
nasabah
o Kurang dilakukan evaluasi keuangan
nasabah
o Kesalahan setting fasilitas pembiayaan
(berpeluang melakukan sidestreaming)
o Perhitungan modal kerja tidak didasarkan
kepada bisnis usaha nasabah
o Proyeksi penjualan terlalu optimis
o Proyeksi penjualan tidak memperhitungkan
kebiasaan bisnis dan kurang
memperhitungkan aspek kompetitor
o Aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek
marketable
o Lemahnya supervisi dan monitoring
o Terjadinya erosi mental: kondisi ini
dipengaruhi timbali balik antara nasabah
dengan pejabat bank sehingga
mengakibatkan proses pemberian
pembiayaan tidak didasarkan pada praktek
perbankan yang sehat
Faktor ekstern
o Karakter nasabah tidak amanah (tidak jujur
dalam memberikan informasi dan laporan
tentang kegiatannya)
o Melakukan sidestreaming penggunaan dana
o Kemampuan pengelolaan nasabah tidak
memadai sehingga kalah dalam persaingan
usaha
o Usaha yang dijalankan relatif baru
o Bidang usaha nasabah telah jenuh
o Tidak mampu menanggulangi masalah/
kurang menguasai bisnis
o Meninggalnya key person
o Perselisihan sesama direksi
o Terjadi bencana alam
o Adanya kebijakan pemerintah: peraturan
suatu produk atau sektor ekonomi atau
industri dapat berdampak positif maupun
negatif bagi perusahaan yang berkaitan
dengan industri tersebut.
3.2 Saran
Makalah ini dibuat agar pema dapat memahami
dan dapat dikembangkan kembali dengan informasi
yang lebih fresh dan up to date.
3.3 Penutup
Makalah ini disusun agar pembaca lebih bisa
memahami tentang bagaimana pembiayaan syariah itu
memberikan manfaat kepada UMKM dan penulis
mengucapkan terimakasih kepada pihak pihak yang
sudah membantu dalam penyusunannya. Penulis sadar
bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kekurangan oleh karena itu penulis berharap
pem,baca bisa memberikan kritik dan saran.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh Formulir Aplikasi Pembiayaan Mikro
Ini merupakan contoh formulir aplikasi pembiayaan
mikro pada suatu perusahaan perbankan syariah,
yaitu bank Mandiri.
Daftar Pustaka
Azhar, Ummi Paridah.(2015). PengaruhPembiayaan Usaha Mikro Keil
UMKM Nasabah Bank Mandiri.[Online]. Tersedia:
http://Auliaahyan.blogspot.co.id/2015/04/proposal/skripsi.html.
[13 September 2016].
Suni, Danif. (2014). Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah.
[Online]. Tersedia:
http://danifsuni.blogspot.co.id/2014/05/pembiayaan-
bermasalah-perbankan-syariah.html. [13 September 2016].
Suryomurti, Wiku. (2012). Peran Perbankan Syariah untuk UMKM.
[Online]. Tersedia: http://Slideshare.net/wiku/peran-perbankan-
syariah-untuk-umkm-wiku. [13 Semptember 2016]
Bangkoertak. (2012). Sistem Bagi Hasil vs Sistem Bunga. [Online].
Tersedia: http://bangkoertak.wordpress.com/2012/06/06/tugas-
review-judul-sistem-bagi-hasil-vs-sistem-bunga. [13
September 2016].
Nurhayati,Sri dan Wasilah. (2015). Akuntansi Syariah di Indonesia.
Jakarta: Salemba Empat.
Abidin, Yunus. et al. (2013). Kemampuan Menulis dan Berbicara
Akademik. Bandung: RIZQI Press.