Aksi 313 Dituding Gerakan Politik untuk Menjegal Ahokgelora45.com/news/SP_20170330_02.pdfadalah...

1
[JAKARTA] Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dikhawatirkan menjadi ladang persemaian bibit intoleransi. Hal ini merujuk pada marak- nya kampanye yang secara terang-terangan menonjolkan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sehingga semakin memper- tebal politik identitas. Pola kampanye semacam ini dite- ngarai sengaja dimobilisasi pihak-pihak tertentu. Demikian pandangan pengamat politik dari UI Arbi Sanit. Dia menilai, politik identitas masih dianggap sebagai senjata paling efektif dalam kontestasi politik di Indonesia. Kampanye berbau SARA sangat terasa dalam Pilgub DKI Jakarta saat ini. “Orang-orang semakin fanatik SARA, merasa berhak memperjuangkan SARA. Lebih celakanya lagi dimo- bilisasi sedemikian masif di sejumlah kesempatan, terma- suk melalui media sosial,” ujar Arbi dalam diskusi ber- tema Makin Ketat di Putaran Kedua: Kok Masih Main SARA? di Jakarta, Rabu (29/3). Dia menambahkan, pihak-pihak yang sengaja mengusung tema kampanye berbau SARA, merupakan kelompok yang antiterhadap cagub petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. “Ada rekayasa sistematis, menye- luruh, dan massal. Ini semakin kuat dan besar. Sebenarnya sejak 2014 waktu Ahok jadi wakil (wakil gubernur), itu sudah mulai aktif gerakan penolakan, puncaknya seka- rang,” tandasnya. Terkait gerakan anti-Ahok, menurutnya, dua kubu saling berhadapan, yakni antara kelompok agama dan nasio- nalis. “Yang lebih tajam lagi adalah cita-cita menghidupkan kembali negara Islam. Kalau dipertajam lagi, satu ingin khalifah, satu lagi NKRI,” katanya. Pada kesempatan yang sama, Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengatakan negara berkewajiban mence- gah isu SARA hidup dan berkembang. “Sampai hari ini juga belum ada aksi-aksi nyata yang sifatnya sangat masif dan sistematis untuk mengem- balikan toleransi,” ujarnya. Dia juga menyayangkan sikap penyelenggara pilgub yang seolah tidak peka terha- dap gejala menguatnya poli- tik identitas selama kampanye. Kok KPU (Komisi Pemilihan Umum) terus memperpanjang kampanye yang sama, kayak tawuran dan menyuburkan intoleransi,” katanya. Usep sepakat jika kampa- nye putaran kedua dimaksud- kan untuk pendidikan politik. “Tapi kampanye yang kita lihat tidak memberikan pen- didikan politik. Kita juga belum dengar ada partai atau paslon diberi sanksi karena mengangkat politik identitas,” ujarnya. Tolak Aksi 313 Terkait hal tersebut, seke- lompok massa berencana menggelar aksi seusai salat Jumat pada 31 Maret (Aksi 313). Mereka berencana menuntut Presiden Joko Widodo untuk memberhenti- kan Ahok dari jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta karena menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama. Menanggapi rencana aksi tersebut, Direktur Eksekutif Wahid Institute, Ahmad Suedy menilainya, tidak realistis. Sebab, saat ini proses hukum sedang berlangsung. “Kalau sekarang Ahok diberhentikan, pemerintah justru melanggar hukum. Mungkin maksudnya untuk menekan pengadilan agar memvonis berat. Tapi peng- adilan, saya kira tidak akan terpengaruh,” kata Suedy kepada Suara Pembaruan, Kamis (30/3). Jika dilihat dari Konteksnya, menurut Suedy, Aksi 313 kental muatan poli- tik, terutama berkaitan dengan agenda Pilgub DKI Jakarta putaran kedua. “Saya kira itu memang sengaja,” ucapnya. Untuk itu, dia mengimbau agar tidak ada aksi semacam itu, dan masyarakat memper- cayakan kepada proses hukum serta ikut menjaga indepen- densi hakim. Direktur Riset Ma'arif Institute, Muh Abdullah Darraz juga menilai, Aksi 313 meru- pakan tindakan yang tidak relevan, dan tidak perlu dila- kukan. Dia meminta ormas yang menggagas Aksi 313 untuk menghormati proses hukum yang berlaku. “Saya menengarai aksi-ak- si semacam ini ditujukan untuk menjegal salah satu paslon yang sedang bertarung dalam Pilgub DKI putaran kedua. Kalau tidak suka Ahok, cukup tidak usah pilih dia saat pemungutan suara nanti. Tapi tidak usah melakukan peng- galangan massa dan melaku- kan tekanan-tekanan melalui aksi massa,” tandasnya. Darras menambahkan, jangan sampai demokrasi yang sedang berjalan dirusak oleh aksi mobokrasi yang dilaku- kan sekelompok massa yang mengatasnamakan mayoritas. Dia juga mengimbau tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk memberi pencerahan kepada umat dan masyarakat, bahwa agama tidak boleh dijadikan alat politik untuk menjegal atau mendukung seseorang dalam proses demo- krasi yang terjadi. “Biarkan rakyat menilai berdasarkan visi, misi, kiner- ja, dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan atau direnca- nakan oleh calon-calon yang bertarung dalam pilkada, bukan didasarkan pada sentimen agama yang hanya akan mengkerdilkan bangsa ini pada persoalan primordial,” ujarnya. Senada dengan itu, Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai, rencana Aksi 313 tidak ada masalah. Sebab, sesuai UUD 1945, warga negara berhak untuk menyam- paikan pendapat di muka umum. Namun, dia menegas- kan, tuntutan aksi agar Presiden Jokowi memberhen- tikan Ahok sebagai gubernur DKI jelas bermuatan politik. “Boleh dikatakan rencana Aksi 313 merupakan gerakan politik, terutama jika dikaitkan dengan posisi Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta,” katanya. Menurutnya, secara yuri- dis tuntutan massa mustahil dipenuhi. Pasalnya, Ahok sedang menjalani proses hukum sebagai terdakwa dugaan penodaan agama. Selain itu, ada aturan yang tidak memungkinkan peme- rintah memberhentikan Ahok, yakni terkait ancaman pidana yang didakwakan kepadanya. “Ada kesan rencana Aksi 313 selain politis, juga menim- bulkan kesan memaksakan kehendak,” tandasnya. Ketua Nurcholish Madjid Society, M Wahyuni Nafis menilai, rencana Aksi 313 dan aksi serupa sebelumnya, seperti yang digelar pada 4 November dan 2 Desember 2016, tak bisa dilepaskan dari agenda politik Pilgub DKI Jakarta. “Kerumunan massa cenderung memudahkan orang diarahkan pada hal-hal buruk. Karena begitu mudahnya, kalau itu tidak diperlukan, maka lebih baik dihindari,” tegasnya. Dia mengingatkan, jika dibiarkan, aksi unjuk rasa semacam itu berpeluang menjadi kebiasaan. “Jika aksi-aksi semacam 212 hing- ga 313 berlanjut, jadi satu kebiasaan atau tradisi penge- rahan kekuatan yang menga- rah pada pemaksaan kehen- dak,” katanya. Sedangkan, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakir berpendapat, Aksi 313 berkaitan dengan kepen- tingan pragmatis, yakni menggunakan isu agama untuk kepentingan Pilgub. “Ini politis, berkaitan kepenting- an-kepentingan jangka pendek saja,” ucapnya. [FAT/C-6] Utama 2 Suara Pembaruan Kamis, 30 Maret 2017 Terkait halaman >28 D ua kubu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dikabarkan bersatu mendukung pasangan Basuki T Purnama-Djarot Saiful Hidajat (Ahok- Djarot) pada putaran kedua Pilgub DKI 2017. Seberapa besar dukungan kubu Djan Farid dan Romahurmuziy tersebut sangat bergantung pada bagaimana mengge- rakkan para kader. Dengan demikian dukungan bukan hanya sekadar pernyataan pers melainkan benar-be- nar terlaksana di lapangan di mana kantong-kantong partai berlambang Kabah ini memenangkan pasang- an petahana. Sumber SP mengungkapkan, dukungan PPP kepada pasangan petahana tidak mulus di internal partai. Karena itu, sejumlah ang- gota DPR dari PPP tengah berusaha mengonsolidasi- kan para kader. Pasalnya masih banyak kader yang menganggap dukungan tersebut tidak rasional untuk kepentingan partai. Para kader di daerah bahkan mengingat- kan dan mengim- bau agar DPP menarik dukung- an. “Seluruh fungsionaris didesak mengambil lang- kah-langkah organisasi agar segera menyelengga- rakan muktamar luar biasa untuk mengembalikan dan menyelamatkan PPP. Nah, kami masih melakukan dia- log dengan kawan-kawan. Kalau bisa diselesaikanlah secara mufakat. Secara baik-baik. Tak perlu muk- tamar,” kata sumber terse- but. Karena itu, lanjutnya, kader yang ada di DPR tengah berusaha meyakin- kan para kader di bawah agar tetap tenang. “Kami pastikan jalan terbaik untuk solusi konflik PPP,” katanya. [W-12] Benih Intoleransi Disemai di Pilgub DKI Aksi 313 Dituding Gerakan Politik untuk Menjegal Ahok Konsolidasi Dukungan PPP

Transcript of Aksi 313 Dituding Gerakan Politik untuk Menjegal Ahokgelora45.com/news/SP_20170330_02.pdfadalah...

Page 1: Aksi 313 Dituding Gerakan Politik untuk Menjegal Ahokgelora45.com/news/SP_20170330_02.pdfadalah cita-cita menghidupkan kembali negara Islam. Kalau dipertajam lagi, satu ingin khalifah,

[JAKARTA] Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dikhawatirkan menjadi ladang persemaian bibit intoleransi. Hal ini merujuk pada marak-nya kampanye yang secara terang-terangan menonjolkan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sehingga semakin memper-tebal politik identitas. Pola kampanye semacam ini dite-ngarai sengaja dimobilisasi pihak-pihak tertentu.

Demikian pandangan pengamat politik dari UI Arbi Sanit. Dia menilai, politik identitas masih dianggap sebagai senjata paling efektif dalam kontestasi politik di Indonesia. Kampanye berbau SARA sangat terasa dalam Pilgub DKI Jakarta saat ini.

“Orang-orang semakin fanatik SARA, merasa berhak memperjuangkan SARA. Lebih celakanya lagi dimo-bilisasi sedemikian masif di sejumlah kesempatan, terma-suk melalui media sosial,” ujar Arbi dalam diskusi ber-tema Makin Ketat di Putaran Kedua: Kok Masih Main SARA? di Jakarta, Rabu (29/3).

Dia menambahkan, pihak-pihak yang sengaja mengusung tema kampanye berbau SARA, merupakan kelompok yang antiterhadap cagub petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. “Ada rekayasa sistematis, menye-luruh, dan massal. Ini semakin kuat dan besar. Sebenarnya sejak 2014 waktu Ahok jadi wakil (wakil gubernur), itu sudah mulai aktif gerakan penolakan, puncaknya seka-rang,” tandasnya.

Terkait gerakan anti-Ahok, menurutnya, dua kubu saling berhadapan, yakni antara kelompok agama dan nasio-nalis. “Yang lebih tajam lagi adalah cita-cita menghidupkan kembali negara Islam. Kalau dipertajam lagi, satu ingin khalifah, satu lagi NKRI,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Populi Center

Usep S Ahyar mengatakan negara berkewajiban mence-gah isu SARA hidup dan berkembang. “Sampai hari ini juga belum ada aksi-aksi nyata yang sifatnya sangat masif dan sistematis untuk mengem-balikan toleransi,” ujarnya.

Dia juga menyayangkan sikap penyelenggara pilgub yang seolah tidak peka terha-dap gejala menguatnya poli-tik identitas selama kampanye. “Kok KPU (Komisi Pemilihan Umum) terus memperpanjang kampanye yang sama, kayak tawuran dan menyuburkan intoleransi,” katanya.

Usep sepakat jika kampa-nye putaran kedua dimaksud-kan untuk pendidikan politik. “Tapi kampanye yang kita lihat tidak memberikan pen-didikan politik. Kita juga belum dengar ada partai atau paslon diberi sanksi karena mengangkat politik identitas,” ujarnya.

Tolak Aksi 313Terkait hal tersebut, seke-

lompok massa berencana menggelar aksi seusai salat Jumat pada 31 Maret (Aksi 313). Mereka berencana menuntut Presiden Joko Widodo untuk memberhenti-kan Ahok dari jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta karena menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama.

Menanggapi rencana aksi tersebut, Direktur Eksekutif Wahid Institute, Ahmad Suedy menilainya, tidak realistis. Sebab, saat ini proses hukum sedang berlangsung.

“Kalau sekarang Ahok diberhentikan, pemerintah justru melanggar hukum. Mungkin maksudnya untuk menekan pengadilan agar memvonis berat. Tapi peng-adilan, saya kira tidak akan terpengaruh,” kata Suedy kepada Suara Pembaruan, Kamis (30/3).

J i k a d i l i h a t d a r i Konteksnya, menurut Suedy, Aksi 313 kental muatan poli-tik, terutama berkaitan dengan

agenda Pilgub DKI Jakarta putaran kedua. “Saya kira itu memang sengaja,” ucapnya.

Untuk itu, dia mengimbau agar tidak ada aksi semacam itu, dan masyarakat memper-cayakan kepada proses hukum serta ikut menjaga indepen-densi hakim.

Direktur Riset Ma'arif Institute, Muh Abdullah Darraz juga menilai, Aksi 313 meru-pakan tindakan yang tidak relevan, dan tidak perlu dila-kukan. Dia meminta ormas yang menggagas Aksi 313 untuk menghormati proses hukum yang berlaku.

“Saya menengarai aksi-ak-si semacam ini ditujukan untuk menjegal salah satu paslon yang sedang bertarung dalam

Pilgub DKI putaran kedua. Kalau tidak suka Ahok, cukup tidak usah pilih dia saat pemungutan suara nanti. Tapi tidak usah melakukan peng-galangan massa dan melaku-kan tekanan-tekanan melalui aksi massa,” tandasnya.

Darras menambahkan, jangan sampai demokrasi yang sedang berjalan dirusak oleh aksi mobokrasi yang dilaku-kan sekelompok massa yang mengatasnamakan mayoritas. Dia juga mengimbau tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk memberi pencerahan kepada umat dan masyarakat, bahwa agama tidak boleh dijadikan alat politik untuk menjegal atau mendukung seseorang dalam proses demo-

krasi yang terjadi.“Biarkan rakyat menilai

berdasarkan visi, misi, kiner-ja, dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan atau direnca-nakan oleh calon-calon yang bertarung dalam pilkada, bukan didasarkan pada sentimen agama yang hanya akan mengkerdilkan bangsa ini pada persoalan primordial,” ujarnya.

Senada dengan itu, Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai, rencana Aksi 313 tidak ada masalah. Sebab, sesuai UUD 1945, warga negara berhak untuk menyam-paikan pendapat di muka umum. Namun, dia menegas-kan, tuntutan aksi agar Presiden Jokowi memberhen-

tikan Ahok sebagai gubernur DKI jelas bermuatan politik.

“Boleh dikatakan rencana Aksi 313 merupakan gerakan politik, terutama jika dikaitkan dengan posisi Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta,” katanya.

Menurutnya, secara yuri-dis tuntutan massa mustahil dipenuhi. Pasalnya, Ahok sedang menjalani proses hukum sebagai terdakwa dugaan penodaan agama. Selain itu, ada aturan yang tidak memungkinkan peme-rintah memberhentikan Ahok, yakni terkait ancaman pidana yang didakwakan kepadanya.

“Ada kesan rencana Aksi 313 selain politis, juga menim-bulkan kesan memaksakan kehendak,” tandasnya.

Ketua Nurcholish Madjid Society, M Wahyuni Nafis menilai, rencana Aksi 313 dan aksi serupa sebelumnya, seperti yang digelar pada 4 November dan 2 Desember 2016, tak bisa dilepaskan dari agenda politik Pilgub DKI Jakarta. “Kerumunan massa cenderung memudahkan orang diarahkan pada hal-hal buruk. Karena begitu mudahnya, kalau itu tidak diperlukan, maka lebih baik dihindari,” tegasnya.

Dia mengingatkan, jika dibiarkan, aksi unjuk rasa semacam itu berpeluang menjadi kebiasaan. “Jika aksi-aksi semacam 212 hing-ga 313 berlanjut, jadi satu kebiasaan atau tradisi penge-rahan kekuatan yang menga-rah pada pemaksaan kehen-dak,” katanya.

Sedangkan, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakir berpendapat, Aksi 313 berkaitan dengan kepen-tingan pragmatis, yakni menggunakan isu agama untuk kepentingan Pilgub. “Ini politis, berkaitan kepenting-an-kepentingan jangka pendek saja,” ucapnya. [FAT/C-6]

Utama2 Sua ra Pem ba ru an Kamis, 30 Maret 2017

Terkait halaman >28

Dua kubu Partai Persatuan Pembangunan

(PPP) dikabarkan bersatu mendukung pasangan Basuki T Purnama-Djarot Saiful Hidajat (Ahok-Djarot) pada putaran kedua Pilgub DKI 2017. Seberapa besar dukungan kubu Djan Farid dan Romahurmuziy tersebut sangat bergantung pada bagaimana mengge-rakkan para kader. Dengan demikian dukungan bukan hanya sekadar pernyataan

pers melainkan benar-be-nar terlaksana di lapangan di mana kantong-kantong partai berlambang Kabah ini memenangkan pasang-an petahana.

Sumber SP mengungkapkan, dukungan PPP kepada pasangan petaha na tidak mulus di internal partai. Karena itu, sejumlah ang-gota DPR dari PPP tengah berusaha mengonsolidasi-kan para kader.

Pasalnya masih banyak kader yang menganggap dukungan tersebut tidak rasional untuk kepentingan partai. Para kader di daerah

bahkan mengingat-kan dan mengim-bau agar DPP menarik dukung-

an. “Seluruh fungsionaris

didesak mengambil lang-kah-langkah organisasi agar segera menyelengga-rakan muktamar luar biasa untuk mengembalikan dan

menyelamatkan PPP. Nah, kami masih melakukan dia-log dengan kawan-kawan. Kalau bisa diselesaikanlah secara mufakat. Secara baik-baik. Tak perlu muk-tamar,” kata sumber terse-but.

Karena itu, lanjutnya, kader yang ada di DPR tengah berusaha meyakin-kan para kader di bawah agar tetap tenang. “Kami pastikan jalan terbaik untuk solusi konflik PPP,” katanya. [W-12]

Benih Intoleransi Disemai di Pilgub DKIAksi 313 Dituding Gerakan Politik untuk Menjegal Ahok

Konsolidasi Dukungan PPP