AKFAR Surabaya

40

Transcript of AKFAR Surabaya

Page 1: AKFAR Surabaya
Page 2: AKFAR Surabaya
Page 3: AKFAR Surabaya
Page 4: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

4

Jurnal Ilmiah Ilmu Farmasi dan Sains (Kimia, Biologi, Fisika)

Volume 1, Nomor 1, Juli 2016

Journal of Pharmacy and Science yang diterbitkan sejak 2016 berisi kumpulan artikel

yang telah ditelaah dari hasil penelitian dan studi kepustakaan berbasis pengetahuan dan

terkait dengan bidang farmasi, biologi, kimia, dan kesehatan. Artikel berasal dari

penulis yang berafiliasi dengan perguruan tinggi, badan penelitian dan pengembangan,

lembaga penelitian non-departemen (LPND) atau lembaga lain yang memiliki aktifitas

dalam riset, ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap naskah yang diterima redaksi

Journal of Pharmacy and Science akan ditelaah oleh penelaah ahli dan anggota redaksi.

Journal of Pharmacy and Science terbit 2 kali dalam setahun, pada bulan Juli dan

Januari.

Alamat Redaksi:

AKADEMI FARMASI SURABAYA

Jl. Ketintang Madya 81 Surabaya Telp. (031) 828 0996

Email: [email protected].

Dicetak dan diterbitkan oleh PENERBIT GRANITI

Perum Kota Baru Driyorejo, Jl. Granit Kumala 1/12, Gresik, Jatim 61177

Telp : 081357827429, email : [email protected].

Kesalahan penulisan (isi) diluar tanggung jawab percetakan

Journal of Pharmacy and Science

Page 5: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

5

Penanggung Jawab : Abd. Syakur, M. Pd.

Pimpinan Redaksi : Prasetyo Handrianto, S.Si., M.Si.

Ketua Penyunting : Ratih Kusuma Wardani, S.Si., M.Si.

Anggota Penyunting : Djamilah Arifiyana, S.Si., M.Si.

Umarudin, S.Si., M.Si

Editor/Layout : M.A. Hanny Ferry Fernanda, S.Farm., Apt.

Dewi Setiowati, A.Md.

Rosita Dwi Chrisnandari, S.Si., M.Si.

Rahmad Aji Prasetya, S.Farm., Apt.

Nuria Reni, S.Pd., M.Pd.

Kesekretariatan : Suci Reza Syafira, SE.I.

Penelaah Ahli : Dr. Sulfahri, M.Si.

(Universitas Hasanudin Makasar)

Dr. Agus Muji Santoso, M.Si

(Universias PGRI Kediri)

Fitriana Ikhtia Rinawati, M.Kes.

(Universitas Islam Lamongan)

Anita Purnamayanti, M.Farm-Klin., Apt.

(Universitas Surabaya)

Emsal Yanuar, M.Si.

(Universitas Teknologi Sumbawa)

Cicik Herlina Yulianti, S.T., M.Si.

(Akademi Farmasi Surabaya)

Ilil Maidatuz Zulfa, S.Farm., M.Si., Apt.

(Akademi Farmasi Surabaya)

Vika Ayu Devianti, S.Si., M.Si.

(Akademi Farmasi Surabaya)

Tamara Gusti Ebtavanny, S.Farm., M.Farm., Apt.

(Akademi Farmasi Surabaya)

Surahmaidah, S.Si., M.T.

(Akademi Farmasi Surabaya)

Tri Puji Lestari, S.Si., M.Si.

(Akademi Farmasi Surabaya)

Damaranie Dipahayu, S.Farm., M.Farm., Apt.

(Akademi Farmasi Surabaya)

Galuh Gondo Kusumo, S.Farm., M.Farm., Apt..

(Akademi Farmasi Surabaya)

Intan Kurnia Permatasari, S.E., Ak., M.A

(Akademi Farmasi Surabaya)

Dra. Endang Martiniani, S.Si., M.Pharm., Apt.

(RSUD Dr, Soetomo Surabaya)

Hilya Nur Imtihani, S.Farm., M.Farm., Apt.

(Akademi Farmasi Surabaya)

DEWAN REDAKSI JURNAL PHARMASCI

Page 6: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

6

Halaman Kosong

Page 7: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

7

Journal of Pharmacy and Science .................................................................................................................. 4

Dewan Redaksi Jurnal Pharmasci ................................................................................................................. 5

Daftar Isi ......................................................................................................................................................... 7

Pengaruh Lama Waktu Pengadukan Terhadap Pengikatan Impuritis untuk Meningkatkan Kadar NaCl Pada

Garam Rakyat .................................................................................................................................................. 9

Rika Puji Astuti, Cicik Herlina Yulianti, Rahmad Aji Prasetya ............................................................... 9

Analisis Kadar Kafein Dari Serbuk Teh Hitam, Teh Hijau dan Teh Putih (Camellia sinensis L.) .......................15

Ratih Kusuma Wardani, M. A. Hanny Ferry Fernanda...........................................................................15

Studi Hubungan Kuantitatif Sifat Lipofilik (π HANSCH), Elektronik (σ HAMMET), dan Sterik (ES TAFT)

dengan Aktivitas Antibakteri (Diameter Daerah Hambatan ) Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027 dari Turunan

N-Benzoil Sefaleksin .......................................................................................................................................18

Damaranie Dipahayu, Bambang Soekardjo, Ruly Susilowati ..................................................................18

Profil Peresepan Penyakit Mata Glaukoma pada Pasien BPJS Rawat Jalan (Studi dilaksanakan di RS Mata

Masyarakat JawaTimur Periode Januari - Desember 2015) ...............................................................................27

Achmad Mustofa,Ninik Mas Ulfa, Mercyska Suryandari ........................................................................27

Uji Aktifitas Ekstrak Jamur Lingzhi (Ganoderma Lucidum) Menggunakan Pelarut Air Destilasi Terhadap Zona

Hambat Escherichia coli ..................................................................................................................................34

Prasetyo Handrianto..................................................................................................................................34

DAFTAR ISI

Page 8: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

8

Halaman Kosong

Page 9: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

9

Artikel Penelitian

Rika Puji Astuti1, Cicik Herlina Yulianti

2*), Rahmad Aji Prasetya

3

1Mahasiswa D III Farmasi, Akademi Farmasi Surabaya 2Bidang Ilmu Kimia, Akademi Farmasi Surabaya

3Bidang Ilmu Farmasi Klinik, Komunitas, dan Manajemen, Akademi Farmasi Surabaya

*)Email: [email protected]

ABSTRAK

Garam dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan senyawa kimia yang bagian utamanya adalah Natrium

Chlorida (NaCl) dengan zat-zat pengotor terdiri dari MgCl2, MgSO4, CaSO4, dan lain-lain. Dalam penelitian ini

digunakan sampel garam rakyat dari Pasar Larangan Sidoarjo yang memiliki kualitas dibawah standar, dengan

kadar NaCl 81,88% b/b. Oleh karena itu, diperlukan pemurnian garam dengan menggunakan metode

rekristalisasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama waktu pengadukan (15, 30, dan 45

menit) terhadap penambahan beberapa senyawa kimia, seperti natrium hidroksida (NaOH), natrium karbonat

(Na2CO3) dan barium klorida (BaCl2) untuk mengurangi ion polutan (Ca2+, Mg2+ dan SO42-). Sehingga kadar

NaCl dalam garam rakyat akan meningkat. Kadar NaCl dihitung sebelum dan setelah diberi perlakuan dengan

menggunakan metode titrasi argentometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar NaCl tertinggi diperoleh

pada rekristalisasi dengan lama waktu pengadukan 45 menit, dengan kadar 98,86% b/b. Kemurnian ini sesuai untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat dan industri.

Kata Kunci: Garam Rakyat, Kadar NaCl, Lama Waktu Pengadukan

ABSTRACT

Salt can be defined as chemical compounds which the main substance is Sodium Chloride (NaCl) with impurity substances consist of MgCl2, MgSO4, CaSO4, etc. This study used public salt from Larangan Market Sidoarjo

which has sub-standard quality, and the concentration of NaCl is about 81,88%b/b. Hence, salt purification is

needed using recrystallization method. This study was conducted to determine the influence of stirring time (15,

30, and 45 minutes) of the addition of several chemical compounds, such as sodium hydroxide (NaOH), sodium

carbonate (Na2CO3) and barium chloride (BaCl2) in order to reduce the pollutant ions (Ca2+, Mg2+ and SO42-).

Eventually the percentage of NaCl concentration in public salt will increase. NaCl concentration was calculated

before and after treatment was using argentometry titration. The results shows that the highest NaCl

concentration is obtained at recrystallization with stirring time 45 minutes, concentration 98,86% b/b. This purity

suitable to meet the needs of society and industry demands.

Keywords: Stirring Time, The Concentration Of NaCl, Public Salt.

1. PENDAHULUAN

Garam adalah benda padatan berwarna putih

berbentuk Kristal yang merupakan kumpulan

senyawa dengan bagian terbesar natrium klorida

(>80%) serta senyawa lainnya seperti magnesium

klorida, magnesium sulfat, kalsium klorida dan lain-

lain. Selama ini garam di Indonesia diproduksi oleh

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam hal ini

PT. Garam (Persero), dan petani-petani garam atau

yang dikenal sebagai penggaraman rakyat. Sebagian

besar sumber garam di Indonesia didapat dari air laut,

dan sebagian kecil dari air garam dalam

tanah.Teknologi pembuatan garam yang digunakan

adalah dengan sistem penguapan air laut

menggunakan sinar matahari (solar energy) diatas

lahan tanah (Burhanuddin, 2001).

Garam merupakan salah satu kebutuhan

strategis baik penggunaan dalam masyarakat (rumah

tangga) atau industri. Walaupun wilayah Indonesia

sebagian besar adalah lautan, tetapi kualitas air laut

untuk menghasilkan garam kurang maksimal. Hal

tersebut dikarenakan air laut masih banyak

mengandung impuritis. Masyarakat pesisir berpotensi

dalam pengolahan air laut menjadi produk garam,

tapi masih sedikit yang mengetahui cara pengolahan

garam agar memiliki kualitas yang tinggi,

kebanyakan petani garam Indonesia memproduksi

garam dengan cara tradisional tanpa memperhatikan

kualitas produk garam yang dibuatnya. Kemurnian

garam terganggu karena adanya zat pengotor atau

impuritis dalam garam. Dalam produksivitas garam

mungkin hanya mencapai kualitas 80-85% (Aji,

2012).

Pengaruh Lama Waktu Pengadukan Terhadap Pengikatan Impuritis

untuk Meningkatkan Kadar NaCl Pada Garam Rakyat

Page 10: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

10

Tabel 1.Rata-rata kualitas garam rakyat di Jawa

Timur

Jenis Kualitas

Natrium Chlorida (NaCl) 86,0 % db

Air (H2O) 10,0 % db

Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) 1,5 % db

Sulfat (SO42-) 1,4 % db

Sumber : Balai Industri Surabaya

Keterangan : db = Dry base (basis kering)

Untuk meningkatkan kualitas garam dapat

dilakukan dengan cara kristalisasi bertingkat,

rekristalisasi, dan pencucian garam. Cara lain untuk

meningkatkan kualitas garam adalah pemurnian

dengan penambahan bahan pengikat pengotor. Tanpa

adanya proses pemurnian, maka garam dapur yang

dihasilkan melalui penguapan air laut masih

bercampur dengan senyawa lain yang terlarut, seperti

MgCl2, MgSO4, CaSO4, CaCO3 dan KBr, KCl dalam

jumlah kecil (Jumaeri, 2003).

Pemurnian garam adalah salah satu upaya untuk menghilangkan impuritis (pengotor) yang

menempel pada kristal garam. Unsur - unsur yang

menentukan kualitas garam antara lain (Wafiroh,

1996) :

1. NaCl

Garam yang berasal dari penguapan air laut

mempunyai kadar 97% lebih, akan tetapi dalam

praktek umumnya lebih rendah. Hal ini

disebabkan oleh kualitas air, cara pembuatan, dan

cara-cara lain yang mempengaruhi kristal garam.

Garam yang mengandung NaCl tinggi, umumnya

putih bersih, tetapi kadang-kadang ditemukan

garam yang berwarna putih bersih ternyata

mengandung kadar gips (CaSO4) yang tinggi

sedangkan kadar NaCl nya sendiri relatif rendah.

2. Ca

Sebagai kotoran, unsur Ca yang ada dalam bentuk

gips CaSO4.2H2O, sedangkan senyawa lain

adalah senyawa CaCO3. Kristal gips sangat halus,

mengendap sangat lambat sehingga pada masa

pertumbuhan kristal NaCl, kristal gips ikut

mengendap. Hal ini menjadi salah satu sebab

garam yang diperoleh dari penguapan air laut

dengan tenaga matahari kemurniannya lebih

rendah.

3. Mg

Magnesium sebagai kotoran-kotoran terdapat

dalam bentuk larutan induk, sehingga melekat di

bagian luar kristal NaCl. Garam MgCl2, MgSO4

tidak dikehendaki dalam garam, karena selain

sifatnya higroskopik juga rasanya pahit.

4. SO4

Terutama sebagai CaSO4.2H2O dan sedikit

MgSO4. Untuk mendapatkan kadar sulfat yang

rendah diperlukan pemurnian garam.

Peningkatan kualitas garam rakyat bertujuan

untuk meningkatkan konsentrasi NaCl pada produk

garam, sehingga garam tersebut dapat dipergunakan

untuk memenuhi kebutuhan baik kegiatan industri

maupun masyarakat umum. Peningkatan kualitas

garam rakyat dapat dilakukan dengan berbagai

metode yaitu :

a. Metode pencucian dengan larutan garam jenuh.

Peningkatan kualitas garam rakyat dengan

metode pencucian mempergunakan larutan

garam jenuh telah banyak dilakukan di berbagai

industri. Pada proses ini garam rakyat dicuci

secara langsung dengan mempergunakan

larutan garam jenuh yang bertujuan untuk

menghilagkan kotoran, menurunkan konsentrasi

impuritis-impuritis magnesium chlorida

(MgCl2), magnesium sulfat (MgSO4), kalsium

chloride (CaCl2), kalsium sulfat (CaSO4), dan

kalium chlorida (KCl). Kelemahan pada proses

ini adalah kotoran impuritis yang terletak pada

bagian dalam garam rakyat tidak dapat

dihilangkan sehingga kualitas garam masih

rendah dengan kadar <85%.

b. Metode rekristalisaasi.

Peningkatan kualitas garam rakyat dengan

metode rekristalisasi dilakukan dengan

melarutkan garam rakyat menggunakan air,

selanjutnya dilakukan pemurnian untuk

mengikat impuritis-impuritis magnesium

chlorida (MgCl2), magnesium sulfat (MgSO4),

kalsium chloride (CaCl2), kalsium sulfat

(CaSO4), dan kalium chlorida (KCl), setelah

dilakukan pemurnian selanjutnya dilakukan

proses kristalisasi kembali atau disebut

“rekristalisasi”. Konsep pemurnian garam

dengan rekristalisasi ini sudah cukup banyak

dilakukan penelitian yang berfokus pada

pemisahan impuritis-impuritisnya.

Menurut Ketut Sumada, dkk (2012), Faktor-

faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kualitas

garam dengan metode rekristalisasi yaitu :

1. Kelarutan garam, kelarutan garam yang terbaik

berada pada tingkat kelarutan jenuhnya.

Page 11: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

11

2. Pemilihan Jenis Bahan Kimia Pengikat impuritis,

jenis bahan kimia yang dipergunakan untuk

mengikat impuritis berpengaruh terhadap jenis

bahan yang terendapkan atau jenis endapan yang

dihasilkan. Diusahakan memilih bahan kimia

yang dapat mengikat impuritis dan padatan yang

dihasilkan dapat dimanfaatkan.

3. Waktu dan Kecepatan Pengadukan, semakin lama

waktu pengadukan akan meningkatkan

pengikatan impuritis (reaksi) dan pada waktu

tertentu akan stabil (konstan). Kecepatan

pengaduk juga berpengaruh, semakin besar

kecepatan pengadukan akan meningkatkan

pengikatan impuritis (reaksi) tetapi jika terlalu

cepat ukuran padatan yang dihasilkan berukuran

kecil dan dapat menghambat proses filtrasi.

4. Konsentrasi Bahan kimia Pengikat Impuritis,

semakin besar konsentrasi maka semakin besar

impuritis yang terikat. Jika konsentrasi bahan

pengikat terlalu besar berpengaruh terhadap

kualitas garam yang dihasilkan. Penentuan

konsentrasi bahan pengikat dapat dihitung

berdasarkan konsentrasi impuritis dan kebutuhan

bahan kimia ditentukan berdasarkan stoikiometri

reaksi yang terjadi.

Ukuran kristal yang terbentuk selama

pengendapan, tergantung pada dua faktor penting

yaitu :

1. Laju pembentukan inti (nuckleasi). Dapat

dinyatakan dengan jumlah inti yang terbentuk

dalam satuan waktu.

2. Laju pertumbuhan kristal.Merupakan faktor

lainnya yang mempengaruhi ukuran kristal yang

terbentuk selama pengendapan berlangsung

(Svehla, 1990).

2. METODE PENELITIAN

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah

garam rakyat yang dijual di Pasar Larangan Sidoarjo

dimana untuk variabel bebas yang digunakan adalah

lama waktu pengadukan terhadap pengikatan

impuritis yaitu 15 menit, 30 menit dan 45 menit

sedangkan variabel terikatnya adalah kadar NaCl

pada garam rakyat.

Rancangan penelitian yang dilakukan adalah

dengan melakukan rekristalisasi garam rakyat dengan

proses pemurnian yang ditunjukan pada gambar 1,

menggunakan bahan pengikat pengotor (NaOH,

Na2CO3, dan BaCl2) untuk mengendapkan impuritis

seperti magnesium (Mg), kalsium (Ca), dan sulfat

(SO4). Kemudian dilakukan perhitungan kadar

terhadap garam sebelum dan sesudah diberi

perlakuan dengan analisa kuantitatif menggunakan

titrasi argentometri metode Mohr (Gambar 2). Baku

sekunder yang digunakan adalah AgNO3 0,1 N yang

telah dibakukan dengan NaCl 0,1 N dengan bantuan

indicator kalium kromat. Kemunculan awal endapan

perak kromat berwarna kemerah-merahan diambil

sebagai titik akhir dari titrasi.

Alat dan bahan yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu:

1. Alat

– Statif dan klem

– Erlenmayer 250 ml

– Gelas ukur 100 ml

– Gelas ukur 250 ml

– Sendok tanduk

– Thermometer

– Corong

– Magnetic stirrer

– Labu ukur 100 ml

– Labu ukur 250 ml

– Labu ukur 1000 ml

– Pipet volume 25 ml

– Neraca Analitis

– Batang pengaduk

– Kaca arloji

– Kompor listrik

– Botol aquades

– Oven

2. Bahan

– Garam rakyat (krosok)

– NaOH p.a

– Na2CO3 p.a

– BaCl2 p.a

– AgNO3 p.a

– NaCl p.a

– K2CrO4 p.a

– Aquadest

Proses Pemurnian :

1. Timbang seksama 35 gram garam, larutkan

dengan aquadest sebanyak 100 ml.

2. Aduk dengan magnetic stirer dengan kecepatan

pada skala 1 hingga larut lalu saring.

1 2 3 4

8 7 6 5

9 10 11 12

Gambar 1. Proses Pemurnian

Page 12: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

12

3. Pada perlakuan 1, tambahkan bahan pengikat

pengotor yaitu NaOH sebanyak 2 gram. Lakukan

pengadukan untuk mengikat impuritis

menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan

pada skala 1 selama 15 menit lalu saring.

4. Filtrat yang dihasilkan ditambah Na2CO3

sebanyak 1,5 gram. Lakukan pengadukan untuk

mengikat impuritis menggunakan magnetic stirer

dengan kecepatan pada skala 1 selama 15 menit

lalu saring.

5. Kemudian filtrat yang dihasilkan ditambah BaCl2

sebanyak 2,5 gram. Lakukan pengadukan untuk

mengikat impuritis menggunakan magnetic stirer

dengan kecepatan pada skala 1 selama 15 menit

lalu saring.

6. Filtrat diuapkan pada suhu ± 100OC sambil

diaduk-aduk hingga terbentuk kristal garam.

7. Keringkan dengan menggunakan oven pada suhu

160OC selama 10 menit.

8. Dihasilkan NaCl yang lebih murni.Timbang

rendemennya.

Perlakuan 2 dan 3 dilakukan diatas dengan waktu

pengadukan untuk pengikatan impuritismasing-

masing selama 30 menit dan 45 menit.

Setelah dilakukan proses pemurnian akan

dihasilkan rendemen garam yang kemudian akan

digunakan sebagai sampel untuk uji kuantitatif.

Proses Titrasi Argentometri

1. Pembakuan.

Timbang seksama 1,46 gram NaCl, larutkan

dengan aquadest sebanyak 250ml. Aduk hingga

larut. Timbang seksama 17 gram AgNO3,

larutkan dengan aquadest sebanyak 1000 mL.

Aduk hingga larut.Timbang seksama 5 gram

K2CrO4, lalu larutkan dengan aquadest sebanyak

100 mL. Aduk hingga larut. Pipet larutan NaCl

0,1 N sebanyak 25ml, lalu tambahkan indikator

K2CrO4 5% sebanyak 3 tetes, titrasi dengan

AgNO3 hingga timbul endapan merah bata tetap

dengan latar belakang putih.

2. Penetapan Kadar

Timbang seksama 0,25 gram garam (sebelum dan

sesudah perlakuan), larutkan dengan aquadest

sebanyak 100ml pada labu ukur. Aduk hingga

larut. dipipet sebanyak 25ml, lalu tambahkan

indikator K2CrO4 5% sebanyak 3 tetes, titrasi

dengan AgNO3 hingga timbul endapan merah bata

tetap dengan latar belakang putih.

3.HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode yang digunakan untuk pemurnian garam

NaCl yaitu dengan teknik rekristalisasi, dimana

pelarut (solven) yang digunakan berupa aquadest.

Prinsip dasar dari rekristalisasi adalah perbedaan

kelarutan antara zat yang akan dimurnikan dengan

kelarutan zat pencampur atau pencemarnya. Hasil

pengamatan proses pemurniaan ditampilkan pada

tabel 2.

Tabel 2. Pengamatan Proses Pemurnian

No Perlakuan Hasil

1 Timbang 35 gram garam

krosok, larutkan dengan aquadest 100 ml, aduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan pada skala 1 hingga larut.

Garam melarut,

larutan berwarna kecoklatan dan keruh

2 Saring larutan Filtrat bening dan

residu berwarna coklat.

3 Filtrat ditambahkan dengan

NaOH sebanyak 2 gram, aduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan pada skala 1 hingga larut.

Larutan menjadi

kental dan berwarna putih serta sedikit keruh.

4 Saring larutan.

Filtrat bening sedangkan residu

berwarna putih keruh dan kental.

5 Filtrat ditambahkan dengan Na2CO3 sebanyak 1,5 gram, aduk menggunakan magnetic

stirrer dengan kecepatan pada skala 1 hingga larut.

Larutan menjadi sedikit keruh.

6 Saring larutan.

Filtrat bening dan

residu berwarna putih.

7 Filtrat ditambah dengan

BaCl2 sebanyak 2,5 gram, aduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan pada skala 1 hingga larut.

Larutan berwarna

putih susu (putih pekat).

AgNO3 0,1 N AgNO3 0,1 N

25 ml NaCl 0,1 N +

3 tetes K2CrO4 5% (Pembakuan)

25 ml sampel +

3 tetes K2CrO4 5% (Penetapan Kadar)

Gambar 2.Titrasi Argentometri

Page 13: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

13

Pemilihan penggunaan beberapa bahan pengikat

pengotor pada proses pemurnian memiliki fungsi

yang berbeda-beda, dimana : Penambahan NaOH

berfungsi untuk mengendapkan Mg+

pada senyawa

MgCl2 dan MgSO4 dalam bentuk Mg(OH)2. Berikut

reaksi yang terjadi:

MgCl2(aq) + 2NaOH(s)→Mg(OH)2(s)↓+ 2NaCl(aq)

MgSO4(aq) + 2NaOH(s)→Mg(OH)2(s)↓+ Na2SO4 (aq)

Penambahan Na2CO3 berfugsi untuk mengendapkan

Ca2+ pada senyawa CaCl2 dan CaSO4dalam bentuk

CaCO3. Berikut reaksi yang terjadi:

CaCl2 (aq) + Na2CO3 (s) →CaCO3 (s)↓ + 2NaCl(aq)

CaSO4 (aq) + Na2CO3 (s)→CaCO3 (s)↓ + Na2SO4 (aq)

Penambahan BaCl2 berfungsi untuk mengendapkan

SO42- pada senyawa Na2SO4 dalam bentuk BaSO4.

Berikut reaksi yang terjadi:

Na2SO4 (aq) + BaCl2 (s)→BaSO4 (s)↓ + 2NaCl(aq)

Setelah dilakukan poses pemurnian dengan

penambahan beberapa bahan kimia (pengikat

pengotor) akan menghasilkan garam dengan mutu

fisik yang putih, bersih dan lebih halus dibandingkan

dengan mutu fisik awal yang kotor, berwarna

kehitaman, dan berbentuk bongkahan. Garam hasil

pemurnian tersebut dihitung guna mengetahui besar

rendemen yang didapat dari tiap perlakuan.

Pada proses pemurnian terdapat 2 faktor yang

mempengarui terbentuknya kristal. Pertama, laju

pertumbuhan inti merupakan jumlah inti yang

terbentuk dalam satuan waktu. Jika laju pertumbuhan

inti ini tinggi, maka kristal yang terbentuk dalam

jumlah besar tetapi tidak satupun dari ini akan

tumbuh menjadi kristal yang bentuknya besar.

Kedua, laju pertumbuhan kristal merupakan

ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan

berlangsung. Jika laju ini tinggi, kristal yang

terbentuk menjadi besar-besar. Dari kedua faktor

tersebut dapat diketahui bahwa kristal yang terbentuk

berukuran kecil dengan jumlah yang cukup banyak

sehingga dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan

inti lebih tinggi dari laju pertumbuhan kristal. Hal

tersebut dipengaruhi karena larutan memiliki derajat

lewat jenuh yang tinggi, dimana makin tinggi derajat

lewat jenuh suatu larutan maka makin besar

kemungkinan untuk membentuk inti baru.

Gambar 3. Rendemen dan Kadar Rata-rata NaCl

Setelah Pemurnian

Berdasarkan gambar 3, dapat dilihat bahwa pada

lama waktu pengadukan 15 menit rendemen yang

dihasilkan sebanyak 74,66% dengan kadar rata-rata

NaCl 92,26 % b/b, waktu pengadukan 30 menit

rendemen yang dihasilkan sebanyak 66,96% dengan

kadar rata-rata NaCl 97,62 % b/b, dan pengadukan 45

menit rendemen yang dihasilkan sebanyak 55,26%

dengan kadar rata-rata NaCl 98,86 % b/b.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan semakin

lama waktu pengadukan, maka bobot garam yang

dihasilkan akan semakin sedikit dikarenakan semakin

banyaknya impuritis atau pengotor yang dapat

terpisahkan dari zat utama yang ingin dipisahkan

yaitu NaCl. Sedangkan semakin lama waktu

pengadukan, kadar NaCl yang dihasilkan akan

semakin tinggi. Hal tersebut sesuai dengan teori pada

penelitian yang dilakukan oleh Ketut Sumada, dkk

(2012) menyebutkan bahwa waktu pengadukan akan

mempengaruhi tingkat pengikatan impuritis, dimana

semakin lama waktu pengadukan maka pengikatan

impuritis (reaksi) akan semakin banyak.

8 Saring larutan.

Filtrat bening dan residu berwarna putih.

9 Penguapan pada suhu ± 100oC sambil diaduk-aduk.

Pelarut menguap dan kristal berwarna putih bersihyang masih basah.

10 Pengeringan dengan oven pada suhu 160oC selama 10 menit.

Dihasilkan garam setelah pemurnian yang putih bersih dan kering.

Page 14: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P.ISSN : 2527-6328

14

Apabila hasil rendemen dihubungkan dengan

kadar rata-rata NaCl dapat disimpulkan bahwa hasil

rendemen berbanding terbalik dengan kadar NaCl

pada garam setelah diberi perlakuan, yang artinya

semakin sedikit rendemen garam hasil pemurnian

akan memiliki kadar yang relatif lebih tinggi

dikarenakan reaksi pada saat pengadukan telah

berjalan dengan maksimal untuk mengikat impuritis-

impuritis yang ada.

KESIMPULAN

1. Terdapat pengaruh lama waktu pengadukan untuk

meningkatkan kadar NaCl pada garam rakyat.

2. Semakin lama waktu pengadukan akan

menghasilkan kadar NaCl yang relatif lebih

tinggi. Hal tersebut didukung berdasarkan uji

kuantitatif, diperoleh kadar rata-rata NaCl pada

garam rakyat sebelum perlakuan yaitu 81,88 % b/b. Sedangkan kadar rata-rata NaCl garam hasil

perlakuan 1 (pengadukan 15 menit) yaitu 92,26 % b/b.. Hasil perlakuan 2 (pengadukan 30 menit)

yaitu 97,62 % b/b. Dan hasil perlakuan 3

(pengadukan 45 menit) yaitu 98,86 % b/b.

SARAN

1. Pada saat proses penguapan pelarut sebaiknya

menggunakan cawan porselen yang lebih besar

agar pada saat solven mulai menguap, letupan-

letupan garam hasil pemurnian tidak banyak yang

keluar dari cawan yang menyebabkan

berkurangnya bobot garam hasil pemurnian.

2. Penggunaan lama waktu pengadukan sebaiknya

lebih bervariasi, tidak hanya konstan selama 15,

30, dan 45 menit untuk sekali pemurnian agar

penggunaan waktu pengadukan lebih optimal.

Serta diperlukan percobaan pemurnian dengan

lama waktu lebih dari 45 menit untuk

mendapatkan kadar NaCl yang lebih tinggi.

3. Diperlukan pengujian lanjutan untuk menentukan

kadar impuritis-impuritis yang dihasilkan selama

proses pemurnian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aji, D., 2012, Peningkatan Kualitas garam rakyat

Dengan Proses Rekristalisasi, SKRIPSI,

Fakultas Teknologi Industri, Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur,

Surabaya.

2. Basset, J., dkk, 1994, Buku Ajar Vogel Kimia

Analisis Kuantitatif Anorganik, Edisi ke 4,

(diterjemahkan oleh : A. Hadyana Pudjaatmaka),

Buku Kedokteran ECG, Jakarta.

3. Brady, E. S., 1982, General Chemistry Principles

and Strukture, 2nd Ed, John Wily & Sons, New

York.

4. Burhanuddin, Safri., 2001, Forum Pasar Garam

Indonesia, Badan Riset Kelautan dan Perikanan,

Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

5. Day, R. A., dan Underwood, 2002, Analisis Kimia

Kuantitatif, Edisi ke 6, (diterjemahkan oleh : Dr.

Ir. Lis Sopyan, M.Eng), Erlangga, Jakarta.

6. Departemen Perindustrian, 2009,Peta Panduan

Pengembangan Klaster Industri Prioritas

Industri Kecil dan Menengah Tahun 2010-

2014, Jakarta.

7. Djutikah, Emmy., 1990, Proses Pencucian Garam

Curai / Rakyat, Balai Penelitian dan

Pengembangan Industri, Surabaya.

8. Gandjar, I. G., dan Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi

Analisis, Cetakan II, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

9. Hamazaro, 2009, Penggunaan NaOH Dalam

Pembentukan Gel Rumput Laut, Skripsi,

Universitas Sumatra Utata.Sumatra.

10. Harjadi, W., 1986,llmu Kimia Analitik Dasar, PT

Gramedia, Jakarta.

11. Jumaeri, dkk, 2003, Pengaruh Penambahan Bahan

Pengikat Impurities terhadap Kemurnian

Natrium Klorida Pada Proses Pemurnian

Garam Dapur Melalui Proses Kristalisasi,

Laporan Penelitian,Lembaga Penelitian

UNNES, Semarang.

12. Khopkar, S. M., 2010.Konsep Dasar Kimia Analitik.

(diterjemahkan oleh : A. Saptorahardjo),

UniversitasIndonesia Press, Jakarta.

13. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia, 2004, Ketentuan Impor Garam,

Jakarta.

14. Menteri Perindustrian Republik Indonesia. 2014,

Perubahan Atas Peraturan Menteri

Perindustrian Nomor 134/M-

IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan

(Road Map) Pengembangan Kluster Industri

Garam, Jakarta.

15. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Laut

dan Pesisir, 2013, Penerapan IPTEK untuk

Pengembangan Model Kawasan Industri

Garam Rakyat. Jakarta.

16. Sumada, Ketut., 2012, Kajian Removal Impuritis

Garam Rakyat Dengan Metode Rekristalisasi,

Seminar Nasional Teknik Kimia Soebardjo

Brotohardjono IX, Universitas Pembangunan

Nasional (UPN) “Veteran” Jawa Timur,

Surabaya.

17. Svehla, G., 1990, Vogel Buku TeksAnalisis

Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro,

Edisi ke 5, (diterjemahkan oleh : Ir. L. Setiono

dan Dr. A. Hadyana Pudjaatmaka), PT. Kalman

Media Pusaka, Jakarta.

18. Wafiroh, Siti., 1996, Pemurnian Garam Rakyat

Dengan Kristalisasi Bertingkat,Lembaga

Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya.

Page 15: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

15

Artikel Penelitian

Ratih Kusuma Wardani1*)

, M. A. Hanny Ferry Fernanda1

1Bidang Ilmu Kimia, Akademi Farmasi Surabaya

*)E-mail : [email protected].

ABSTRAK

Teh diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu teh hitam, teh hijau dan teh putih. Teh mengandung senyawa kafein yang dapat bermanfaat dan merugikan bagi tubuh. Senyawa kafein dalam teh dapat dipisahkan dengan metode

ekstraksi cair-cair menggunakan kloroform dan penambahan CaCO3. Penentuan kadar kafein menggunakan

metode spektrofotometri UV diukur pada panjang gelombang 275 nm. Kadar kafein dipengaruhi oleh suhu dan

waktu penyeduhan. Semakin tinggi suhu dan lama waktu penyeduhan, kadar kafein dalam teh semakin meningkat.

Kadar kafein dari berbagai jenis teh dari kadar yang tinggi ke rendah berturut-turut yaitu serbuk teh hitam, teh

putih dan teh hijau dengan suhu penyeduhan 95ᵒC selama 10 menit.

Kata Kunci: Teh hitam, teh hijau, teh putih, kafein, spektrofotometri UV

ABSTRACT

Tea is classified into three type, which are black tea, green tea and white tea. Tea contains caffeine compound

that can be beneficial and harmful for the body. Caffeine compound in tea can be separated by liquid extraction

method using chloroform and addition of CaCO3. The determination of the caffeine content measured by UV spectrophotometry at 275 nm. Caffeine level is influenced by temperature and brewing time. The higher

temperature and the longer brewing time, the level of caffeine in tea increase. The caffeine content of various

types of tea from high to low level respectively are black tea powder, white tea and green tea with temperature of

95ᵒC and 10 minutes brewing time.

Keywords: Black tea, green tea, white tea, caffeine, UV spectrophotometry

1.PENDAHULUAN

Teh merupakan minuman yang paling banyak

dikonsumsi setelah air. Teh memiliki banyak

manfaat, namun juga memiliki senyawa yang

berdampak negatif bagi tubuh yaitu senyawa kafein.

Dampak negatif dari senyawa kafein jika dikonsumsi

secara berlebihan dapat menimbulkan insomnia,

gelisah, delirium, pernapasan meningkat, tremor otot,

dan diuresis (Nurkholis, 2006). Berdasarkan Surat

Keputusan Kepala Badan POM No.

HK.00.05.23.3644 tentang Ketentuan Pokok

Pengawasan Suplemen Makanan (2004), bahwa batas

maksimum konsumsi kafein adalah 150 mg/hari yang

dibagi minimal dalam 3 dosis.

Teh diklasifikasikan berdasarkan proses

pengolahannya menjadi 4 jenis, yaitu teh hitam, teh

hijau, teh oolong dan teh putih. Pengolahan teh

terdiri dari proses pelayuan, penggilingan atau

penggulungan, sortasi basah, fermentasi,

pengeringan, sortasi kering dan penyimpanan.

Pengolahan teh hitam, teh hijau dan teh oolong

melalui proses fermentasi dengan lama waktu

fermentasi yang berbeda-beda. Lamanya waktu

fermentasi daun teh mempengaruhi kadar kafein

yang terkandung dalam teh. Teh hitam mengalami

proses fermentasi paling lama dan teh oolong

mengalami proses fermentasi paling cepat. Teh putih

adalah teh yang dipanen ketika daun teh masih

berbentuk pucuk (belum sepenuhnya terbuka) dan

tertutupi oleh rambut putih halus. Daun yang telah

dipetik dikeringkan dan dilayukan dengan bantuan

sinar matahari (Haryono dan Kurniati, 2013).

Faktor yang mempengaruhi kadar kafein dalam

daun teh yakni wilayah penanaman tanaman teh,

varietas tanaman teh, kondisi tanah, jumlah curah

hujan, umur tanaman, umur daun dan proses

pengolahan teh. Proses pengolahan teh merupakan

faktor yang paling berpengaruh karena terdapat

proses fermentasi yang dapat mempengaruhi kadar

kafein dalam teh (Putri dan Ulfin, 2015).

Rahayuningsih (2014) menganalisis kadar kafein

pada teh celup dengan variasi suhu 70, 85 dan 100 °C

selama 5, 10 dan 15 menit. Pada suhu 70°C kadar

kafein meningkat pada waktu penyeduhan 5 dan 10

menit serta menurun pada menit ke 15.

Analisis Kadar Kafein Dari Serbuk Teh Hitam, Teh Hijau dan Teh

Putih (Camellia sinensis L.)

Page 16: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

16

Pada penelitian ini dilakukan penentuan kadar kafein

dari teh hitam, teh hijau dan teh putih pada suhu 70

dan 95 °C dengan waktu penyeduhan 5 dan 10 menit

menggunakan metode spektrofotometri Ultra Violet

(UV). Pada penelitian ini serbuk teh yang digunakan

berasal dari perkebunan teh Wonosari, Lawang.

2.METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental

dengan sampel berupa serbuk teh hitam, teh putih dan

teh hijau. Sampel tersebut berasal dari perkebunan

teh Wonosari Lawang. Pengukuran kadar kafein

dilakukan dengan metode spektrofotometri

ultraviolet.

Sebelum dilakukan pengukuran kadar kafein,

terlebih dahulu dibuat kurva linieritas larutan standar

kafein dengan konsentrasi larutan 2, 3, 5, 8, 12 dan

16 ppm.

Serbuk teh diseduh dalam 200 mL akuades

dengan suhu penyeduhan 70 dan 95 °C dan waktu

penyeduhan 5 dan 10 menit.

Ekstraksi kafein dilakukan dengan menambahkan

1,5 gram CaCO3 dan 25 mL kloroform ke dalam

corong pisah yang berisi filtrat teh hitam. Kocok

campuran tersebut hingga membentuk 2 lapisan.

Penambahan 25 mL kloroform diulang sebanyak 3

kali. Langkah tersebut juga dilakukan pada filtrat teh

putih dan teh hijau. Ektraksi kafein direplikasi 3 kali.

Hasil ekstrak kafein yang didapatkan diukur

kadarnya dengan spektrofotometer UV pada panjang

gelombang 275 nm.

Alat yang digunakan adalah seperangkat alat

gelas yang biasa digunakan dalam laboratorium,

neraca analitik, corong pisah Spektrofotometri UV,

kertas saring Whatman, hot plate, filler. Bahan yang

digunakan adalah serbuk teh hitam, serbuk teh hijau,

serbuk teh putih, kloroform, akuades, CaCO3, dan

baku standar kafein.

1. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel serbuk teh hitam, teh putih dan teh hijau

yang digunakan pada penelitian ini berasal dari

perkebunan the Wonosari Lawang. Sebelum

dilakukan penentuan kadar kafein pada sampel dari

tiga jenis teh tersebut, terlebih dahulu dibuat kurva

linieritas larutan standar kafein dengan konsentrasi 2,

3, 5, 8, 12, 16 ppm. Kurva linieritas larutan standar

kafein ditunjukkan pada Gambar 1.

Kandungan kafein dalam daun teh dipengaruhi

beberapa faktor antara lain jenis daun teh, tempat

tumbuhnya tanaman teh, ukuran partikel teh, serta

metode dan lamanya waktu penyeduhan (Artanti dkk,

2016). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini.

Kadar kafein pada teh hitam, teh putih dan teh hijau

berbeda-beda..

Gambar 1. Kurva Linieritas Larutann Standar Kafein

Analisis kadar kafein pada sampe teh hitam, teh

putih dan teh hijau menggunakan metode

spektrofotometri ultraviolet pada panjang gelombang

275 nm. Kadar kafein pada tiga jenis teh tersebut

ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data Kadar Kafein (mg)

Sampel Suhu

(°C)

Waktu

(menit)

Rata-rata

kadar

(mg)

Teh hitam 70 5 50.9247

10 53.9853

95 5 53.3867

10 78.9357

Teh putih 70 5 27.5713

10 31.2973

95 5 45.003

10 55.5157

Teh hijau 70 5 24.5773

10 32.494

95 5 37.3517

10 42.2753

Pada penelitian ini teh hitam memiliki kandungan

kafein paling tinggi dan teh hijau memiliki kadar

kafein paling rendah. Hal tersebut dikarenakan

adanya perbedaan proses produksi dari ketiga sampel

teh tersebut yakni pada proses pemetikan kuncup

daun teh, proses pelayuan, fermentasi dan proses

Page 17: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

17

penggulungan. Dalam proses pengolahan, teh hitam

melewati proses pelayuan, penggilingan, fermentasi,

pengeringan dan sortasi. Proses penggilingan pada

pembuatan teh hitam bertujuan untuk memecah

dinding sel-sel pada daun teh sehingga proses

fermentasi dapat berlangsung secara merata (Fitri

2009).

Proses pengolahan teh hijau hampir sama dengan

pengolahan teh hitam namun ada sedikit perbedaan

dalam proses pelayuan, penggilingan dan

fermentasinya. Dalam pengolahan teh hijau, proses

pelayuan dilakukan dengan pemanasan menggunakan

uap panas. Langkah tersebut bertujuan untuk

menginaktif enzim oksidase atau fenolase yang

terdapat dalam pucuk daun teh segar. Dengan

menginaktif enzim oksidase atau fenolase tersebut

maka proses oksidasi enzimatik akan terhambat.

Proses penggilingan berjalan lebih cepat

dibandingkan dengan teh hitam, sekitar 30 menit.

Hasil proses penggilingan diusahakan tidak sampai

membuat daun teh remuk dan hancur (Rukmana,

2015).

Waktu penyeduhan juga berpengaruh terhadap

kadar kafein. Dari data pada Tabel 1 diketahui bahwa

kadar kafein teh hitam, teh putih dan teh hijau pada

waktu penyeduhan 10 menit lebih tinggi

dibandingkan waktu penyeduhan 5 menit. Hal

tersebut dikarenakan waktu interaksi antara zat

terlarut dan pelarut semakin lama sehingga akan

semakin banyak zat terlarut (kafein) yang terekstrak

ke dalam pelarut (Putri dan Ulfin, 2015).

Selain jenis teh dan waktu penyeduhan, suhu

penyeduhan juga berpengaruh terhadap kadar kafein

dalam sampel teh hitam, teh putih dan teh hijau.

Sampel teh hitam, teh putih dan teh hijau yang

diseduh pada suhu 95 °C memiliki kadar kafein yang

lebih tinggi dibandingkan dengan suhu penyeduhan

70 °C. Hal tersebut dikarenakan suhu penyeduhan teh

yang tinggi dapat memperlebar jarak antar molekul

dalam daun teh. Lebarnya jarak antar molekul dalam

daun teh dapat mempermudah molekul air untuk

menembus padatan daun teh sehingga kafein akan

mudah terekstrak dalam pelarut air (Putri dan Ulfin,

2015).

2. KESIMPULAN

Perbedaan kadar kafein dalam teh hitam, teh putih

dan teh hijau dipengaruhi oleh proses pengolahan

teh, suhu penyeduhan, dan waktu penyeduhan. Kadar

kafein tertinggi terdapat pada teh hitam dan kadar

kafein terendah terdapat pada teh hijau. Selain itu,

Perlu dilakukan pengamatan kadar kafein pada teh

oolong dan penambahan variabel dalam proses

penyeduhan teh yang mungkin akan mempengaruhi

kadar kafein.

3. DAFTAR PUSTAKA

1. Artanti, A.N., Nikmah, W. R., Setiawan, D. H., Prihapsara, F., 2016, Perbedaan Kadar Kafein

Daun Teh (Camellia Sinensis (L.) Kuntze)

Berdasarkan Status Ketinggian Tempat Tanam Dengan Metode HPLC , Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research

ITS, Vol. 1, Hal. 37-44. 2. Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Republik

Indonesia, 2004, Ketentuan Pokok

Pengawasan Suplemen Makanan, No.HK.00.05.23.3644, Jakarta.

3. Fitri, N.S., 2009, Pengaruh Berat dan Waktu

Penyeduhan Terhadap Kadar Kafein dari Bubuk Teh, Skripsi, Universitas Sumatera

Utara, Medan 4. Haryono, B., dan Kurniati, D., 2013, Seri Tanaman

Bahan Baku Industri TEH, Jakarta: PT. Trisula Adisakti.

5. Nurkholis, Majid. 2006. Pembuatan Teh Rendah

Kafein Melalui Proses Ekstraksi Dengan Pelarut Etil Asetat. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro

6. Putri, D.D. dan Ulfin, I., 2015, Pengaruh Suhu dan

Waktu Ekstraksi terhadap Kadar Kafein dalam Teh Hitam, Jurnal Sains dan Seni ITS, Vol. 4, No.2, Hal. 2337-3520.

7. Rahayuningsih, D., 2014, Pengaruh Suhu dan Waktu

Penyeduhan Teh Celup Terhadap Kadar Kafein, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

8. Rukmana, R. dan Yudirachman, H., 2015, Untung

Selangit dari Agribisnis Teh, Jakarta: Andi Publisher.

Page 18: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

18

Artikel Penelitian

Damaranie Dipahayu1*)

, Bambang Soekardjo2, Ruly Susilowati

2

1 Bidang Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi,Akademi Farmasi Surabaya

2Kimia Farmasi, Farmasi, Universitas Airlangga

2Kimia Farmasi, Farmasi, Universitas Airlangga

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan kuantitatif antara parameter sifat lipofilik ((π Hansch), elektronik

(σ Hammet) dan sterik (ES Taft) dengan aktivitas antibakteri yang ditunjukkan dengan diameter daerah hambatan

Pseudomonas aeroginosa ATCC 90277 dari turunan N-Benzoil Sefaleksin. Turunan N-Benzoil Sefaleksin yang

digunakan dalam penelitian ini adalah N- Benzoil sefaleksin; N-[4- metilbenzoil] sefaleksin; N-[4- klorobenzoil]

sefaleksin and N-[3,4- diklorobenzoil] sefaleksin. Aktivitas antibakteri dilakukan secara uji mikrobiologi

menggunakan difusi silinder logam pada media Antibiotika-1. Data penelitian dianalisa secara regresi dengan

derajat kepercayaan (α = 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang liner antara variabel

bebas yaitu parameter sifat lipofilik ((π Hansch), elektronik (σ Hammet) dan sterik (ES Taft) dari turunan N-

Benzoil Sefaleksin dengan variabel tergantung yaitu diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri

Pseudomonas aeroginosa ATCC 90277. Hubungan tersebut dinyatakan dengan suatu persamaan.

Kata kunci : turunan N-Benzoil Sefaleksin, lipofilik (π Hansch), elektronik (σ Hammet),sterik (ES Taft),

hubungan kuantitatif struktur dan aktivitas, diameter zona hambat

ABSTRACT

The aims of this research are to studies the quantitative relationship between lipophilicity (π Hansch); electronicity

(σ Hammet); stericity (ES Taft) parameters and antibacterial activity of N- Benzoil cephalexin derivate (inhibit

area diameter) on Pseudomonas aeroginosa ATCC 90277. The N- Benzoil cephalexin derivate which used in this

research are N- Benzoil cephalexin; N-[4- methylbenzoil] cephalexin; N-[4- chlorobenzoil] cephalexin and N-

[3,4- dichlorobenzoil] cephalexin. Antibacterial activity was done through assessment microbiological using metal

cylinder diffusion on antibiotic-1 media.The experimental data was carried out by regression analyzed with α =

0.05. The result showed that there are linier relationship between lipophilicity (π Hansch); electronicity (σ

Hammet); stericity (ES Taft) parameters of N- Benzoil cephalexin derivate (as independent variable) and

inhibitation zone (diameter against Pseudomonas aeroginosa ATCC 90277 as dependent variable). The

relationship are represented by equation.

Keywords : N- Benzoil cephalexin derivate (lipophilicity (π Hansch), electronicity (σ Hammet) and stericity (ES

Taft) parameter); quantitative structure activity relationship; antibacterial activity (inhibit area diameter)

1. PENDAHULUAN

Infeksi merupakan penyakit utaman di seluruh negara

berkembang termasuk Indonesia. Antibiotika

merupakan senyawa antibakteri yang memiliki

peranan penting dalam mengobati berbagai jenis

infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri. Antibiotika

merupakan suatu zat yang dibentuk oleh suatu

mikroorganisme (bakteri, fungi dan actinomycetes )

yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme lain. Terdapat beberapa golongan

antibiotika yang diklasifikasikan berdasar sifat fisika,

kimia dan aktivitas farmakologi yaitu spektrum

antimikroba dan mekanisme aksi (Goodman and

Gilmann, 2006) Terdapat dua jenis asal antibiotika

yaitu dari alam dan sintesis parsial yang memiliki

sifat lebih baik (Goodman and Gilmann, 2006)

Studi Hubungan Kuantitatif Sifat Lipofilik (π HANSCH), Elektronik

(σ HAMMET), dan Sterik (ES TAFT) dengan Aktivitas Antibakteri (Diameter Daerah Hambatan ) Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027

dari Turunan N-Benzoil Sefaleksin

Page 19: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

19

Salah satu gologan antibiotika adalah antibiotika β -

lactam yaitu turunan penisilin, sefalosporin dan

carbapenems. Antibiotika jenis ini bekerja dengan

cara menghambat sintesis dinding sel bakteri

(bakterisid).Turunan Sefalosporin digunakan untuk

pengobatan infeksi oleh bakteri yang resisten

terhadap penisilin. Mekanisme kerja turunan

sefalosporin adalah dengan menghambat biosintesis

peptidoglikan sehingga menyebabkan dinding sel

bakteri kehilangan kekuatan dan kekakuan dan

berujung pada kematian bakteri. Bagian struktur

sefalosporin mirip dengan bagian rangkaian asam

amino pada peptidoglikan bakteri yaitu D-alanil-D-

alanin dan L-alanil-D-asam glutamat.

Sefaleksin merupakan turunan sefalosporin generasi

pertama. Turunan sefalosporin tahan terhadap β-

laktamase luar sel yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus (bakteri gram positif) namun

tidak tahan bila dihasilkan dari bakteri gram negatif.

Sefaleksin digunakan terutama untuk pengobatan

infeksi saluran seni karena sedikit diikat oleh protein

plasma dan sebagian besar diseksresikan melalui

ginjal dalam bentuk tidak berubah. Sefaleksin juga

digunakan untuk pengobatan infeksi pada saluran

napas, kulit dan jaringan lunak (Siswandono dan

Soekardjo,B, 2000)

Modifikasi struktur Sefaleksin dilakukan dalam

upaya untuk mengoptimalkan kinerja antibiotika

Sefaleksin. Modifikasi tersebut adalah asilasi gusus

amino sefaleksin dengan turunan benzoil klorida

dengan substituen bervariasi sehingga diperoleh

turunan N- benzoilsefaleksin. Turunan N-

benzoilsefaleksin diharapkan memiliki aktifitas

antibakteri terhadap bakteri gram negatif yaitu

Pseudomonas aeroginosa ATCC 90277 yang lebih

tinggi dibanding sefaleksin (Hardjono, 2002)

Pendekatan hubungan struktur dan aktivitas biologis

mulai berkembang pesat setelah tahun 1960 dengan

dipelori oleh Corwin Hansch dan kawan-kawan.

Hanch dkk menghubungkan struktur kimia dan

aktivitas bilogis melalui sifat kimia fisika umum

seperti kelarutan lemak, derajat ionisasi atau ukuran

molekul. Dalam studi hubungan kuantitatif dengan

sifat kimia fisika, parameter yang menggambarka

perubahan sifat kimia fisika adalah parameter

lopofilik, elektronik dan sterik (Siswandono dan

Soekardjo, B, 1995). Parameter kimia fisika

merupakan petunjuk untuk mengetahui pengaruh

suatu gugus kimia terhadap sifat kimia fisika

senyawa induk (Smith, H,J dan William, H, 1988).

Sifat lipofilik adalah kelarutan relatif senyawa dalam

fase lemak dan fase air. Sifat lipofilik yang sering

digunakan dalam studi Hubungan Kuantitatif

Struktur dan Aktivitas (HKSA) model Hansch adalah

nilai logaritmakoefisien partisi (log P), tetapan π

Hansch, tetapan fragmentasi f Rekker dan tetapan

kromatografi(RM).

Sifat elektronik adalah sifat kemampuan senyawa

untuk terionisasi dalam berbagai lingkungan pH ,

kemampuan menarik atau mendorong elektron,

menangkap atau melepaskan proton dalam sistem

lingkungan redoks. Sifat elektronik yang sering

digunakan dalam studi HKSA model Hansch adalah

tetapan σ Hammet, tetapan σ Charton, tetapan σ *

Taft, tetapan F, R Swain-Lupton dan tetapan disosiasi

(pKa).

Sifat sterik adalah sifat kemeruahan molekul dalam

ruang. Sifat sterik yang sering digunakan dalam studi

HKSA model Hansch adalah Es Taft, tetapan Van

Der Waals, tetapan U Charton, tetapan sterimol

Verloop, Refraksi Molar (RM) dan Parakor

(Siswandono dan Soekardjo, B, 1995).

Pada proses distribusi atau pengangkutan obat,

penembusan membran biologis sangat dipengaruhi

oleh kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat

ionisasi (pKa) sehingga parameter kimia fisika dalam

HKSA yang berperan adlah parameter lipofilik dan

elektronik. Sifat sterik sangat dipengaruhi oleh ikatan

kimia, kerapatan elektron, ukuran molekul dan efek

stereokimia. Oleh karena itu dalam proses interaksi

obat- reseptor, ketiga parameter sifat kimia fisika

tersebut ikut dilibatkan (Siswandono dan Soekardjo,

B, 1995).

Sehubungan dengan pentingnya sifat lipofilik,

elektronik dan sterik dalam menentukan aktivitas

biologis suatu senyawa, maka dalam penelitian ini

perlu dilakukan studi hubungan antara parameter

tersebut dengan aktivitas antibakteri turunan N-

benzoilsefaleksin dengan menggunakan metode

Hansch.

Senyawa yang digunakan dalam penelitian ini adalah

hasil modifikasi molekul sefaleksin yaitu N- Benzoil

sefaleksin; N-[4- metilbenzoil] sefaleksin; N-[4-

klorobenzoil] sefaleksin dan N-[3,4- diklorobenzoil]

sefaleksin. Sebagai senyawa baru, data mengenai

turunan N-benzoilsefaleksin masih kurang lengkap

sehingga dengan melakukan studi hubungan struktur

kimia dan aktivitas biologis diharapkan dapat

diketahui sifat- sifat kimia fisika yang berguna untuk

Page 20: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

20

melengkapi informasi tentang senyawa antibakteri

turunan N-benzoilsefaleksin.

Pada penelitian ini, sifat lipofilik yang dipilih adalah

metode π Hansch karena meode ini dapat digunakan

untuk menentukan sifat lipofilik tanpa mengukur log

P melalui percobaan sehingga pengerjaannya menjadi

lebih praktis. Sifat elektronik ditentukan dengan

metode σ Hammet dan sifat sterik ditentukan dengan

cara ES Taft . π Hansch , σ Hammet dan ES Taft

merupakan parameter kimia fisika yang paling sering

digunakan dalam HKSA dan nilai parameter tersebut

dapat diperoleh dari tabel yang telah tersedia

(Siswandono dan Soekardjo, B, 1995).

Uji penentuan sensitivitas mikroba terhadap suatu

antibiotika idealnya dilakukan sebelum pemakaian

antibiotika tersebut secara klinis ((Pelezar, 1986).).

Penentuan aktivitas antibakteri dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu in vivo dan in vitro. Metode in

vivo lebih rumit dibanding metode in vitro sebab

adanya hubungan timbal balik antara obat,

mikroorganisme dan kondisi atau keadaan pasien

(Pelezar, 1986). Metode in vitro dapat dilakukan

dengan cara difusi dan dilusi. Metode difusi sering

digunakan dengan alasan faktor ketelitian lebih baik,

rentang konsentrasi zat uji lebih besar, keterulangan

tinggi dan lebih ekonomis. Uji aktivitas antibakteri

senyawa antibiotika metode difusi , dilakukan pada

media pertumbuhan bakteri yang sesuai dan hasil

yang diperoleh berupa kadar hambat minimal atau

diameter daerah hambatan (Jawetz et al,1986).

Pada penelitian ini, penentuan aktivitas turunan N-

benzoilsefaleksin secara mikrobiologis dilakukan

dengan metode difusi pada media agar Antibiotika-1.

Aktivitas yang diteliti dinyatakan dalam diameter

daerah hambatan pertumbuhan bakteri. Diameter

daerah hambatan adalah daerah jernih yang

mengelilingi tempat antibiotika diletakkan. Zona

jernih tersebut merupakan zona terjadinya hambatan

pertumbuhan bakteri.

Bakteri uji yang digunakan adalah Pseudomonas

aeroginosa ATCC 90277 yaitu suatu bakteri Gram-

negatif yang menyebabkan infeksi pada luka dan luka

bakar, infeksi telinga yang bernanah, meningitis,

infeksi saluran kemih dan saluran pernafasan

(Bonang,G dan Enggar,S,K, 1982).

2. METODE

Uji kualitatif senyawa turunan N-benzoil

sefaleksin

Uji kualitatif meliputi pemeriksaan organoleptis,

penentuan titik lebur dan penentuan Rf. Pemeriksaan

organoleptis meliputi bentuk, warna dan bau.

Penentuan titik lebur menggunakan alat

“ Electrothermal Melting Point Apparatus” dengan

cara sedikit serbuk senyawa turunan N- benzoil

sefaleksin yang telah digerus halus dimasukkan ke

dalam pipa kapiler yang salah satu ujungnya terturup,

pengamatan dilakukan saat pipa kapiler dimasukkan

ke dalam alat yaitu saat mulai melebur hingga serbuk

habis melebur. Penentuan nilai Rf dilakukan dengan

metode KLT. Larutan uji dibuat dengan melarutkan

serbuk pada pelarut aseton, totolan latutan uji pada

plat KLT kemudian dimasukkan pada masing masing

chamber yang telah jenuh dengan eluen aseton:

metanol:kloroform = 1:1:3 dan aseton: etanol:

kloroform = 2:2:1. Setelah plat jenuh eluen, plat

dikeluarkan dari chamber dan diperiksa dibawah

sinar UV dan diukur nilai Rf nya yaitu jarak totolan

noda dibagi jarak tempuh eluen.

Penentuan parameter lipofilik

Parameter lipofilik yang digunakan adalah π Hansch.

Nilai tetapan lipofilik turunan N- benzoil sefaleksin

ditentukan secara teoritis dengan cara memperoleh

nilai π dari tabel (Siswandono dan Soekardjo, B,

1995).

Penetuan parameter elektronik

Parameter elektronik yang digunakan adalah σ

Hammet, nilai tetapan elektronik turunan N- benzoil

sefaleksin ditentukan secara teoritis dengan cara

memperoleh nilai σ Hammet dari tabel σ Hammet

(Siswandono dan Soekardjo, B, 1995).

Penetuan parameter Sterik

Parameter sterik yang digunakan adalah tetapan

sterik Es Taft. Nilai tetapan sterik (Es) turunan N-

benzoil sefaleksin ditentukan secara teoritis dengan

cara memperoleh nilai Es dari tabel (Siswandono dan

Soekardjo, B, 1995).

Pembuatan media agar Antibiotika- 1

Media agar Antibiotika-1 ditimbang 30,0 gram,

dilarutkan dalam 1 liter air suling, dipanaskan dan

diaduk hingga larut dan homogen. Media disterilkan

dengan otoklaf suhu 121 0C selama 15 menit

Pembuatan inokulum Pseudomonas aeroginosa

ATCC 90277

Biakan Pseudomonas aeroginosa ATCC 90277

(didapat resmi dari Lab. Bakteriologi dan Mikologi

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga)

ditanam pada media miring Antibiotika-1 secara

merata, diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam.

Biakan Pseudomonas aeroginosa ATCC 90277

Page 21: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

21

tersebut disuspensikan dalam larutan NaCl isotonis

5,0 mL dan dikocok hingga homogen. Suspensi

tersebut diencerkan sedemikian rupa dan diukur

serapannya dengan spektrofotometer visible pada λ

580 nm hingga diperoleh transmisi 25 %. Larutan

NaCl isotonis digunakan sebagai blanko. Suspensi

inolukum transmisi 25 % digunakan untuk uji

aktivitas (FI Ed IV, 1995)

Pembuatan larutan uji

Ditimbang 100,0 mg senyawa N- Benzoil sefaleksin

ditambah metanol ad tepat larut kemudian ditambah

aquadest ad 25,0 mL hingga didapat kadar 4.000

ppm.

Ditimbang senyawa N-[4- metilbenzoil] sefaleksin;

N-[4- klorobenzoil] sefaleksin dan N-[3,4-

diklorobenzoil] sefaleksin masing- masing 100,0 mg

dan masing- masing dilarutkan dengan aseton ad 25,0

mL hingga didapat kadar 4.000 ppm.

Penentuan diameter daerah hambatan

Suspensi inokulum kuman 50,0 µL dimasukkan ke

dalam cawan petri steril dengan teknik aseptis

kemudian ditambahkan media Antibiotika-1 steril

sebanyak 18 mL (suhu 45-50) 0C. Cawan petri

tersebut digerak-gerakkan sedemikian rupa hingga

campuran homogen dan ditunggu hingga memadat

pada suhu kamar.

Silinder logam diletakkan pada permukaan agar yang

memadat kemudian dituang larutan uji sebanyak 150

µL , tahapan yang sama dilakukan untuk blanko

pelarut metanol dan aseton. Masing- masing tahapan

dilakukan replikasi sebanyak 4 kali.

Analisis hubungan kuantitatif parameter kimia

fisika dengan aktivitas antibakteri turunan N-

benzoil sefaleksin terhadap Pseudomonas

aeruginosa ATCC 9027

Hubungan kuantitatif parameter lipofilik, elektronik

dan sterik (sebagai struktur kimia) dari masing

masing substituen senyawa turunan N-benzoil

sefaleksin dengan nilai aktivitas biologis senyawa

turunan N-benzoil sefaleksin terhadap Pseudomonas

aeruginosa ATCC 9027, dihitung dengan

menggunakan statistik SPPS 11.0 for Windows.

Parameter sifat kimia fisika sebagai variabel bebas

( nilai X) dan log diameter daerah hambatan sebagai

variabel tergantung (nilai Y)

Perhitungan HKSA melalui parameter sifat kimia

fisika menggunakan analisis regresi liner dan non

linier

Regresi linier untuk satu parameter :

Log A = Ax + b

Regresi linier untuk dua parameter :

Log A = aX1 + bX2 + c

Regresi non linier untuk satu parameter :

Log A = a(X)2 + b

Log A = a(X)2 + bX +c

Regresi non linier untuk dua parameter :

Log A = -a(X1)2 + bX1+cX2+d

Log A = - a(X1)2 + bX1+cX2+dX3+e

Kemaknaan persamaan yang dilihat yaitu kriteria

statistik r dan F.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji kualitatif turunan N-benzoil sefaleksin

Pada penelitian ini senyawa uji yang digunakan

terlebih dahulu diuji secara kualitatif meliputi

pemeriksaan organoleptis, penentuan jarak lebur dan

pemeriksaaan nilai retensi faktor (Rf) dari noda

totolan dengan metode KLT. Uji kualitatif ini

dilakukan untuk memastikan bahwa benar senyawa

yang digunakan pada penelitian ini adalah senyawa

turunan N-benzoil sefaleksin yang dimaksud. Hasil

uji kualitatif akan dibandingkan dengan Laporan

Hasil Pemeriksaan Senyawa yang telah dikerjakan

sebelumnya oleh Drs. Suko Hardjono, MS pada

tahun 2002. Data uji kualitatif dapat dilihat pada

tabel 1:

Tabel 1. Pemeriksaan kualitatif turunan N-

benzoil sefaleksin

1 2 3 4 5

Bentuk Amorf Amorf Amorf Amorf Amorf

Bau Khas Khas Khas Khas Khas

Warna Putih

Tulang

Putih

Tulang

Putih

Tulang

Putih

sedikit Kuning

Putih

Tulang

Jarak

Lebur (oC)

183-186 195-198 188-191 189-192 196-199

Rf Fase

Gerak 1

0,14 0,15 0,16 0,16 0,18

Rf Fase

Gerak 2

0,61

0,69 0,70 0,70 0,73

Keterangan tabel 1 :

1. N- Benzoil sefaleksin

2. N-[4- metilbenzoil] sefaleksin

Page 22: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

22

3. N-[4- klorobenzoil] sefaleksin

4. N-[2,4- diklorobenzoil] sefaleksin

5. N-[3,4- diklorobenzoil] sefaleksin

Untuk penentuan Rf:

1. Fase gerak 1 KLT : aseton: metanol: kloroform = 1:1:3

2. Fase gerak 2 KLT : aseton: etanol: kloroform = 2:2:1

Dari hasil uji kualitatif pada tabel 1, diketahui bahwa

senyawa uji yang digunakan adalah benar senywa N-

benzoil sefaleksin dan turunannya.

Penentuan nilai parameter lipofilik, elektronik,

sterik dari senyawa turunan N- benzoil sefaleksin

Nilai parameter lipofilik (π Hansch), elektronik (σ

Hammet) dan sterik (Es Taft) dari masing masing

subtituen, diperoleh dari tabel nilai substituen

(Siswandono dan Soekardjo, B, 2000). Nilai tersebut,

diperlihatkan pada tabel 2.

Tabel 2. Nilai parameter lipofilik, elektronik dan sterik gugus turunan N- benzoil sefaleksin

Senyawa Gugus

Sebagai Nilai X

π (ar) π (ar) σ σp

σ σm+p

σ2

Es Es2

N- benzoil sefaleksin H 0,00 0,00 0,00 0,00 1,24 1,54

N- N-[4- metilbenzoil] sefaleksin CH3 0,56 0,31 -0,17 0,03 0,00 0,00

N-[4- klorobenzoil] sefaleksin Cl 0,71 0,50 0,23 0,05 0,27 0,07

N-[2,4- diklorobenzoil] sefaleksin 2Cl 1,42 2,02 0,23 0,05 0,54 0,29

N-[3,4- diklorobenzoil] sefaleksin 2Cl 1,42 2,02 0,60 0,36 0,54 0,29

Keterangan :

π (ar) : nilai parameter lipofilik π Hansch pada senyawa aromatis σp : nilai parameter elektronik σ Hammet pada posisi para σm+p : nilai parameter elektronik σ Hammet pada posisi meta+ para Es : nilai parameter sterik Es Taft

Nilai tiap parameter pada tabel 2 digunakan sebagai

nilai x yaitu nilai variabel bebas. Nilai tersebut

nantinya digunakan untuk mencari persamaan regresi.

Hasil penentuan aktivitas antibakteri turunan N-

benzoil sefaleksin terhadap Pseudomonas

aeruginosa ATCC 9027

Penentuan aktivitas antibakteri dengan cara difusi

silinder logam, menggunakan campuran media agar

padat Antibiotika-1 sebanyak 18 mL dan inokulum

kuman 50 µL. Volume larutan uji yang ditambahkan

pada silinder logam adalah sebanyak 150 µL

konsentrasi 4.000 ppm. Pengukuran luas diameter

daya hambat dilakukan setelah diinkubasi suhu 37 0C

selama 24 jam. Diameter daya hambat diperlihatkan

pada tabel 3.

Log nilai diameter daerah hambatan pada tabel 3,

merupakan nilai Y, yang akan digunakan untuk

mencari persamaan regresi linier

Hasil analisis hubungan kuantitatif parameter

kimia fisika dengan aktivitas antibakteri turunan

N- benzoil sefaleksin terhadap Pseudomonas

aeruginosa ATCC 9027

Analisa data nilai X dan Y dengan program SPPS

11,0 dinyatakan dengan hasil analisa HKSA pada

tabel 4.

Tabel 3. Hasil pengukuran aktivitas senyawa turunan N- benzoil sefaleksin (diameter daerah hambatan)

terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027

Senyawa Sebagai Nilai Y

Aktivitas antibakteri (A) (Diameter

Daerah Hambatan)

Log A

1 2 3 4 1 2 3 4

N- benzoil sefaleksin 12,20 12,32 11,70 12,40 1,09 1,09 1,07 1,09

N-[4- metilbenzoil] sefaleksin 13,38 12,84 13,34 12,80 1,13 1,11 1,13 1,11

N-[4- klorobenzoil] sefaleksin 11,20 11,28 11,18 11,38 1,05 1,05 1,05 1,06

N-[2,4- klorobenzoil] sefaleksin 13,04 12,96 13,34 13,56 1,12 1,11 1,13 1,13

Page 23: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

23

Senyawa Sebagai Nilai Y

Aktivitas antibakteri (A) (Diameter

Daerah Hambatan)

Log A

1 2 3 4 1 2 3 4

N-[3,4- klorobenzoil] sefaleksin 11,30 11,30 11,26 11,38 1,05 1,05 1,05 1,06

Metanol 0 0 0 0 - - - -

Aseton 0 0 0 0 - - - -

Tabel 4. Hasil perhitungan HKSA senyawa N- benzoil sefaleksin dan turunannya terhadap

Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027

Parameter Persamaan Regresi Parameter Statistik

r hitung r tabel F hitung F tabel Sig

π Log A= - 0,002π + 1,088 0,030 0,433 0,016 4,41 0,90

σ Log A= -0,076σ+1,100 0,624 0,433 11,497 4,41 0,003

Es Log A= -0,012Es+1,093 0,152 0,433 0,428 4,41 0,521

π σ

Log A= 0,054π – 0,159σ +1,071 0,885 0,444 30,795 3,59 0,0000

π Es

Log A= -0,006π – 0,014Es +1,099 0,177 0,444 0,276 3,59 0,762

σ

Es Log A= -0,075 σ – 0,007Es +1,104 0,632 0,444 5,640 3,59 0,013

π

σ Es

Log A= 0,081π – 0,206σ +0,038Es+1,037 0,966 0,456 75,167 3,24 0,000

π2 Log A= -0,001π2+1,087 0,019 0,433 0,006 4,41 0,937

π

π2 Log A= 0,005π2- 0,009 π +1,089 0,047 0,444 0,018 3,59 0,982

π2

σ Log A= 0,042π

2 – 0,186σ +1,079 0,964 0,444 110,583 3,59 0,000

π2

Es Log A= -0,001π2 – 0,012Es +1,094 0,157 0,444 0,214 3,59 0,810

π2

π

σ Log A= 0,059π

2- 0,027 π – 0,188 σ+ 1,085 0,972 0,456 89,664 3,24 0,000

π2

π

Es

Log A= 0,286π2- 0,493 π – 0,178Es+ 1,306 0,675 0,456 4,457 3,24 0,019

π2

σ Es

Log A= 0,044π2- 0,193 σ + 0,009Es+ 1,073 0,971 0,456 89,056 3,24 0,019

π2

π

σ

Es

Log A= 0,055π2- 0,020 π – 0,189 σ +0,003 Es

+ 1,082 0,972 0,468 63,100 3,06 0,000

σ2 Log A= -0,128 σ2 + 1,099 0,534 0,433 7,194 4,41 0,015

σ2

σ Log A= 0,003 σ2 – 0,078 σ+ 1,100 0,624 0,444 5,430 3,59 0,015

σ2

π Log A= 0,215 σ2 +0,032 π+1,081 0,680 0,444 7,308 3,59 0,005

σ2

Es Log A= - 0,131 σ2 - 0,014 Es+ 1,107 0,567 0,444 4,031 3,59 0,037

Page 24: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

24

σ2

σ

π Log A= - 0,015 σ2 – 0,152 σ + 0,054 π + 1,071 0,886 0,456 19,444 3,24 0,000

σ2

σ

Es

Log A= - 0,011 σ2 – 0,070 σ- 0,008 Es+ 1,104 0,632 0,456 3,546 3,24 0,039

σ2

π Es

Log A= - 0,214 σ2 + 0,032 π- 0,001 Es+ 1,082 0,680 0,456 4,591 3,24 0,017

σ2

σ

π Es

Log A= 0,050 σ2 – 0,231 σ+ 0,083 π+ 1,033 0,972 0,468 63,100 3,06 0,000

Es2 Log A= - 0,003 Es2 + 1,088 0,047 0,433 0,040 4,41 0,843

Es2

Es Log A= 0,060 Es2 – 0,089 Es+ 1,107 0,358 0,444 1,249 3,59 0,312

Es2

π Log A= - 0,060 Es2 – 0,005 π+ 1,093 0,087 0,444 0,065 3,59 0,937

Es2

σ Log A= - 0,009 Es2 – 0,079 σ+ 1,105 0,645 0,444 6,062 3,59 0,010

Es2

π σ

Log A= 0,032 Es2 + 0,087 π- 0,198 σ + 1,035 0,970 0,456 85,630 3,24 0,000

Es2

Es π

Log A= 0,330 Es2 – 0,393 Es+ 0,097π+ 1,066

0,675 0,456 4,457 3,24 0,019

Es2

Es σ

Log A= -0,202 Es2 + 0,261 Es- 0,194σ+ 1,074 0,800 0,456 9,470 3,24 0,001

Es2

Es

π

σ

Log A= 0,064 Es2 – 0,393 Es- 0,094π- 0,189 +

1,035 0,972 0,468 63,100 3,06 0,000

Dari tabel 4 Hasil perhitungan HKSA senyawa N-

benzoil sefaleksin dan turunannya terhadap

Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027 terdapat 31

persamaan regresi linier. Semua persamaan tersebut

telah meliputi semua aspek parameter lipofilik,

elektronik dan sterik secara keseluruhan.

Dari 31 persamaan regresi linier tersebut terdapat 8

(delapan ) persamaan regresi terpilih (tercetak tebal).

Alasan kedelapan pesamaan regresi tersebut terpilih

adalah selain memiliki nilai r (koefisien korelasi)

mendekati satu, didukung dengan nilai F yang tinggi

dibanding dengan persamaan regresi lainnya, Nilai F

menunjukkan kemaknaan hubungan bila

dibandingkan dengan tabel F. Nilai F adalah indikator

untuk menunjukkan bahwa persamaan regresi yang

didapat adalah benar atau merupakan suatu kebetulan,

semakin tinggi nilai F maka semakin kecil persamaan

regresi tersebut merupakan suatu kebetulan.

Didukung pula angka signifikan paling kecil yaitu

0,000.

Untuk melihat dan membandingkan parameter mana

yang berpengaruh, dapat dilihat dari persamaan

regresi linier no 1-3, dari ketiga persamaan tersebut,

persamaan no. 2 memiliki nilai r dan F paling tinggi,

sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas

antibakteri senyawa N- benzoil sefaleksin dan

turunannya paling dipengaruhi oleh sifat elektronik

(σ ).

Untuk mempertegas pernyataan di atas, dapat dilihat

kembali persamaan regresi linier no 4- 7. Berdasar

persamaan regresi tersebut, hanya persamaan regresi

linier no. 5 yang menunjukkan hasil tidak memiliki

hubungan bermakna. Hal ini menguatkan pernyataan

bahwa sifat elektronik (σ ) yang paling dominan

dibanding sifat lipofilik (π) dan sterik (Es). Namun

demikian, bila dilihat antara persamaan regresi linier

no. 4 dan 6 dibanding no. 7, terlihat bahwa pada

persamaan no 7 yang memiliki nilai r dan F paling

tinggi dan nilai signifikan paling rendah. Hal ini

menunjukkan bahwa meskipun sifat lipofilik (π) dan

sterik (Es) sedikit mempengaruhi aktivitas antibakteri

senyawa N- benzoil sefaleksin dan turunannya namun

juga memiliki peran pada aktivitas antibakterinya.

Page 25: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

25

Untuk persamaan regresi non linier dengan parameter

(π2), yaitu pada persamaan no. 10- 15, terlihat bahwa

persamaan no. 10,12,14 dan 15 memiliki nilai r

(korelasi mendekati 1) dan nilai Didukung dengan

data bahwa persamaan no. 13 tidak memiliki

parameter sifat elektronik (σ). Kemaknaan hubungan

(nilai F) cukup tinggi dan berbeda jauh dengan

persamaan no. 13, hal ini didukung dengan data

bahwa persamaan no. 10 hanya sedikit lebih rendah

dan memiliki nilai kemaknaan hubungan paling tinggi

dibanding persamaan no. 12, 14 dan 15, hal ini

menunjukkan bahwa parameter dibanding persamaan

no. Hal ini menunjukkan bahwa parameter sifat

elektronik (σ ) memiliki pengaruh yang sangat

bermakna dalam mempengaruhi aktivitas antibakteri

senyawa N- benzoil sefaleksin dan turunannya

terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027.

Untuk persamaan regresi non linier dengan parameter

(σ2), dapat dilhat pada persamaan no. 16- 23.

Persamaan regresi linier no 16 dibanding no. 19

memiliki nilai koefisien korelasi dan kemaknaan

hubungan yang tidak jauh berbeda, hal ini

menunjukkan bahwa adanya parameter Es tidak

terlalu berpengaruh pada aktivitas antibakteri

senyawa N-benzoil sefaleksin dan turunannya

terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027.

Persamaan no.23 memiliki koefisien korelasi dan

kemaknaan hubungan paling tinggi dibandingkan

persamaan no. 17, 18, 20, 21 dan 22, hal ini

menunjukkan bahwa ketiga parameter yaitu π, σ dan

Es masing- masing secara berkesinambungan

memiliki pengaruh terhadap aktivitas antibakteri

senyawa N-benzoil sefaleksin dan turunannya

terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027.

Untuk persamaan regresi non linier dengan parameter

(Es) dapat dilihat pada persamaan no. 27-31.

Persamaan regresi non linier no. 31 memiliki nilai

koefisien korelasi lebihibakteri tinggi dan nilai

kemaknaan hubungan yang tidak jauh berbeda

dibanding persamaan n0. 28, hal ini menunjukkan

bahwa meskipun parameter Es memiliki pengaruh

kecil namun tetap memiliki peran dalam aktivitas

antibakteri senyawa N-benzoil sefaleksin dan

turunannya terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC

9027.

4. KESIMPULAN

1. Parameter elektronik σ Hammet merupakan

parameter paling dominan, substitusi gugus

yang memiliki nilai σ negatif meningkatkan

aktivitas antibakteri senyawa turunan N-

benzoil sefaleksin terhadap Pseudomonas

aeruginosa ATCC 9027.

2. Parameter lipofilik (πurunan ) dan sterik (Es)

meskipun memiliki pengaruh kecil, namun

tetap dibutuhkan dalam peningkatan aktivitas

antibakteri senyawa turunan N-benzoil

sefaleksin terhadap Pseudomonas aeruginosa

ATCC 9027 .

3. Terdapat hubungan linier dan non linier antara

parameter sifat kimia fisika (π Hansch, σ

Hammet dan Es Taft) dengan aktivitas

antibakteri senyawa turunan N- benzoil

sefaleksin yang dinyatakan dengan diameter

daerah hambatan terhadap Pseudomonas

aeruginosa ATCC 9027 pada α = 0,05 yang

dinyatakan dengan nilai koefisien korelasi (r)

mendekati 1 dan memiliki persamaan

hubungan dengan nilai kemaknaan hubungan

yang tinggi dan signifikan yaitu :

1. Log A= 0,081π – 0,206σ +0,038Es+1,037

(n= 20, r= 0,966, F= 75,167, sig= 0,000)

2. Log A= 0,042π2 – 0,186σ +1,079

(n= 20, r= 0,964, F= 110,583, sig= 0,000)

3. Log A= 0,059π2- 0,027 π – 0,188 σ+ 1,085

(n= 20, r= 0,972, F= 89,664, sig= 0,000

4. Log A= 0,044π2- 0,193 σ + 0,009Es+ 1,073

(n= 20, r= 0,971, F= 89,056, sig= 0,019)

5. Log A= 0,055π2- 0,020 π – 0,189 σ + 0,003

Es + 1,082

(n= 20, r= 0,972, F= 63,100, sig= 0,000)

6. Log A= 0,050 σ2 – 0,231 σ+ 0,083 π+ 0,042

Es+ 1,03)

(n= 20, r= 0,972, F= 63,100, sig= 0,000)

7. Log A= 0,032 Es2 + 0,087 π- 0,198 σ+1,035

(n= 20, r= 0,970, F= 85,630,sig= 0,000)

8. Log A= 0,064 Es2 – 0,393 Es- 0,094π-

0,189 σ+ 1,03

(n= 20,r= 0,972,F= 63,100, sig=0,000)

5. SARAN

Disarankan agar senyawa- senyawa baru turunan N-

benzoil sefaleksin yang akan disintesis, mempunyai

lilai parameter elektronik (σ) negatif sebagai

parameter yang dominan. Karena semakin kecil nilai

parameter elektronik (σ) maka akan semakin

meningkatkan aktivitas antibakteri.

Page 26: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

26

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta

: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2. Bonang, G dan Enggar, S,K. 1982. Mikrobiologi

Kedokteran Untuk Laboratorium dan Klinik, Jakarta: CV. EGC

3. Goodman and Gillman’s. 2006. The Pharmacological

Basic of Therapeutics, 11th Ed, New York: McGraw-Hill Medical Publishing Medical .

4. Hardjono, S. 2002. Sintesis Senyawa Baru Turunan

Benzoil –N- Sefaleksin untuk meningkatkan

Aktivitas Antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa, Jakarta : Kementrian Riset dan Tekhnologi Republik Indonesia.

5. Jawetz, E., Melnick, L.J., dan Adelberg, A.E.1986.

Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan, diterjemahkan oleh Tonang, Edisi 16, Jilid 2, Jakarta: EGC.

6. Siswandono dan Soekardjo,B. 1995. Kimia Medisinal,

Surabaya : Airlangga University Press. 7. Siswandono dan Soekardjo,B. 2000. Kimia Medisinal,

Surabaya : Airlangga University Press. 8. Smith, H,J. 1998. Smith and William’s Introduction

to the Principles of Drug Design, 2nd

ed, London : Wright PSG.

9. Soekardjo,B. 1995. Parameter Lipofilik Untuk

Prediksi Sifat Farmakokinetika Obat. Cermin

Dunia Farmasi Ed 25 10. Pelezar,M,J., Chan, E,C,S.,dan Krieg,N,R. 1986.

Microbiology, Internal Student Edition, 5 th, New

York: McGraw-Hill Boo.

Page 27: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

27

Artikel Penelitian

Achmad Mustofa1,Ninik Mas Ulfa

2*), Mercyska Suryandari

3

1Mahasiswa Program Studi D III Farmasi, Akademi Farmasi Surabaya. 2Bidang Ilmu Farmasi Klinik, Komunitas dan Manajemen Farmasi, Akademi Farmasi Surabaya

3Bidang Ilmu Farmakognosi, AkademiFarmasi Surabaya

*)E-mail : [email protected].

ABSTRAK Glaukoma adalah penyakit kerusakan saraf optik mata, penyebabnya adalah tingginya tekanan bola mata,

diatas 20mmHG. Rata-rata penderita glaukoma adalah glaukoma primer sudut terbuka (POAG) danglaukoma

primer sudut tertutup (PACG). Di Rumah Sakit Mata Masyarakat (RSMM) JawaT imur, glaukoma

menempati urutan ketiga dalam daftar 10 penyakit terbanyak. Sehingga dilakukan penelitian profil peresepan

penyakit mataglaukoma pada pasien BPJS rawat jalan di RSMM Jatim periode Januari- Desember

2015.Penelitian ini bersifat observasional, pengambilan data bersifat retrospektif, penyajian data secara

deskriptif. Observasi dengan mengumpulkan resep dokter mata, mencatat usia, golongan obat, nama generik,

bentuk sediaan, prosentase obat glaukoma POAG dan glaukoma PACG. Hasil inklusi 2050 resepdan 1461

pasien glaukoma, terdapat 420 pasien glaukoma POAG, 190 pasien glaukoma PACG, dan 851 pasien

glaukoma yang lain. Pasien terbanyak usia 61-80 tahun (52,50%), terendah usia ≥81 tahun sebanyak 49

pasien (3,35%). Bentuk sediaan terbanyak, yaitu tetes mata sebanyak 3766 (69,01%). Penggolongan obat

terbanyak adalah penyekat β non selektif yaitu Timolol 1783 (32,67%), terendah golongan prostaglandin

analog yaitu Travoprost 35 (0,64%). Pada glaukoma POAG, golongan terbanyak adalah golongan penyekat β

non selektif yaitu Timolol 203 (29,29%), terendah adalah prostaglandin analog yaitu Latanoprost 83

(11,98%). Pada glaukoma PACG, terbanyak adalah penyekat β yaitu Timolol 81 (29,03%), terendah adalah

golongan agonis kolinergik yaitu Pilokarpin 26 (9,32%). Pada penelitian ini disarankan agar dilakukan

penelitian lebih lanjut tentang efektifitas peresepan penyakit mata glaukoma di RSMM Jatim.

Kata kunci : peresepan glaukoma, glaukoma primer sudut terbuka, glaukoma primer sudut tertutup,

klasifikasi obat.

ABSTRACT

Glaucoma is an eye disease that causes damages to the optic nerve, because high intraocular pressure, above

20mmHg.Glaucoma ranks third in the list of ten most diseases in RSMM. It is important to study the

prescription profile of BPJS glaucoma patient in outpatient Eye Hospital in East Java Community period

from January to December 2015. The inclusion in 2050 of a prescription, there are 1461 glaucoma patients.

420 with open-angle glaucoma(POAG), 120 patients with close-angle glaucoma (PACG), and 851 patients

with others glaucoma. Based on the patient’s age, most patients aged 61-80 years (52.50%), lowest age of

≥81 years in 49 patients (3.35%). Based on the modest dosage forms, namely eye drops as much as 3766

(69.01%). Based on the classification of drugs, most were non-selective β-blockers ie Timolol 1783 (32.67%),

the least class of prostaglandin analogues were Travoprost 35 (0.64%). In POAG, the modest group was

non-selective β-blockers ie Timolol 203 (29.29%), carbonic anhydrase inhibitors group, ie Acetazolamide

181 (26.12%), prostaglandin analogues group ie Latanoprost 83 (11.98%). In PACG the modest group was

β-blockers, ie Timolol 81 (29.03%), carbonic anhydrase inhibitors group ie Acetazolamide 70 (25.09%),

cholinergic agonist group ie Pilocarpine 26 (9.32%). In this study’s suggested that further research on the

effectiveness of the prescription of eye disease glaucoma in Community Eye Hospital East Java.

Keywords: Glaucoma prescription, primary open angle glaucoma, primary angle-closure glaucoma, drug

classificatio

Profil Peresepan Penyakit Mata Glaukoma pada Pasien BPJS Rawat

Jalan

(Studi dilaksanakan di RS Mata Masyarakat JawaTimur Periode Januari - Desember 2015)

Page 28: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

28

1.PENDAHULUAN

Penyakit glaukoma adalah penyakit mata

dimana terjadi kerusakan saraf optik yang diikuti

gangguan pada lapang pandang yang khas. Kondisi ini

utamanya diakibatkan oleh tekanan bola mata yang

meninggi, biasanya disebabkan oleh hambatan

pengeluaran cairan bola mata (humour aquous).

Penyebab lainnya adalah kerusakan saraf optik,

antara lain gangguan suplai darah ke serat saraf optik

dan kelemahan, atau masalah saraf optiknya itu

sendiri (Kemenkes RI,

2015).

Pada observasi data yang diperoleh di Rumah

Sakit Mata Masyarakat (RSMM) Jawa Timur

didapatkan bahwa, kasus glaukoma menempati posisi

ke 3 dalam daftar 10 penyakit terbanyak tahun 2015,

khususnya pada pasien rawat jalan. Berdasarkan uraian

di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang profil peresepan penyakit mata

glaukoma rawatjalandi RSMM JATIM.

1. METODE

Arah pengambilan data pada penelitian ini

dilakukan secara retrospektif, yaitu pengamatan resep

dari dokter mata pada pasien BPJS rawat jalan bulan

Januari – Desember tahun 2015 untuk mengetahui

golongan obat, dosis, aturan pakai, bentuk sediaan

serta presentase pada penggunaan obat untuk

glaukoma primer sudut terbuka dan glaukoma primer

sudut tertutup berdasarkan data rekam medis RSMM

Jawa Timur. Penelitian dan pengambilan data

dilakukan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan BPJS

Rumah Sakit Mata Masyarakat Jawa Timur yang

berlokasi di Jl. Gayung Kebonsari Timur No. 49

Surabaya. Pelaksanaan penelitian selama 4 bulan

yaitu bulan Februari – Mei 2016, pengamatan dan

pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan

selama periode 1 tahun yaitu periode Januari-

Desember 2015

TeknikSamplingPenelitianmenggunakan teknik

non random (non probability) sampling dengan

metode total sampling dengan tujuan peneliti untuk

mengetahui profil peresepan glaukoma, glaukoma

primer sudut terbuka dan glaukoma primer sudut

tertutup di RSMM JATIM. Populasi penelitian ini

jelas mempunyai karakteristik yang spesifik.Oleh

sebab itu, pengambilan sampelnya pun harus

diarahkan kepada resep glaukoma, glaukoma primer

sudut terbuka dan glaukoma primer sudut tertutup

dengan dokter spesialis mata serta data rekam medis.

Cara pengambilan data dengan skrining resep dan

penggolongan resep glaukoma, glaukoma primer

sudut terbuka dan glaukoma primer sudut tertutup

yang ditulis oleh dokter spesialis mata periode

Januari-Desember 2015, yang meliputi : Memilih resep dokter spesialis mata di rawat

jalan BPJS. Memilih resep yang mengandung obat anti

glaukoma di rawat jalan BPJS. Mengelompokkan menurut golongan obat, dosis,

aturan pakai, bentuk sediaan obat glaukoma.

Rekapitulasi dari data yang telah diketahui

dan melakukan persentasegolongan obat,

dosis, aturan pakai, bentuk sediaan serta

presentase pada penggunaan obat untuk

glaukoma primer sudut terbuka dan glaukoma

primer sudut tertutup. Mengambil kesimpulan dari persentase yang

telah diketahui

2. HASIL DAN PENELITIAN

Penelitian ini bersifat observasional dengan

pengumpulan data secara retrospektif dan

dianalisis secara deskriptif. Pada penelitian ini

total resep yang diamati yaitu 2050 resep dan

1461 pasien glaukoma. Dari 1461 pasien terdapat

pasien glaukoma primer sudut terbuka sebanyak

420, glaukoma primer sudut tertutup sebanyak

190, dan glaukoma yang lain sebanyak 851

pasien. Pengambilan data dilakukan pada resep

dokter mata pada bulan Januari-Desember tahun

2015 dengan mengetahui nama generik, golongan

obat, dan bentuk sediaan obat yang dituliskan

oleh dokter spesialis mata untuk penyakit

glaukoma serta prosentase penggunaan obat

glaukoma untuk glaukoma primer sudut terbuka

dan glaukoma primer sudut tertutup yang selama

ini diberikan kepada pasien di RSMM JATIM.

2.1 Profil demografi pasien penyakit mata

berdasarkan kelompok usia.

Tabel 1. DistribusiBerdasarkanUsiaPasien

Usia

(tahun)

Jumlah

Pasien

Prosentse

(%)

61-80 tahun 767 52,50

41-60 tahun 560 38,33

21-40 tahun 85 5,82

>81 tahun 49 3,35

total 1461 100

Page 29: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

29

Gambar 1. Distribusi Berdasarkan Usia

Pasien

Dari 1461 pasien BPJS dengan diagnosa

glaukoma tertinggi yaitu usia 61-80 tahun sebanyak

767 pasien (52,50%), selanjutnya usia 41-60 tahun

sebanyak 560 pasien (38,33%), usia 21-40 tahun

sebanyak 85 paisen (5,82%), dan usia ≥81 tahun

sebanyak 49 pasien (3,35%).

3.2 BerdasarkanGolonganObatGlaukoma Distribusi berdasarkan golongan obatglaukoma

pada peresepan penyakit mata glaukoma dari dokter

spesialis di RSMM Jawa Timur dapat

dilihatsebagaiberikut :

Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Golongan

No Nama

Generik

Jumlah

Penggunaan

Prosentase

(%)

1 Timolol 1783 32,67 2 Acetazolamide 1691 30,99

3 Latamoproat +

Timolol

1119 20,51

4 Latanoprost 484 8,87

5 Pilokarpine 2

%

114 2,09

6 Carteolol 105 1,92 7 Betaxolol 0,5% 69 1,26

8 Brinzolamide 57 1,04

9 Travoprost 35 0,64

Total 5457 100

Dari hasil penelitian berdasarkan golongan obat

yang diresepkan oleh dokter spesialis mata dapat

diketahui bahwa golongan penyekat β non selektif

sebanyak 1888 (34,60%), golongan penghambat

karbonik anhidrase sebanyak 1784 (32,03%),

golongan penyekat β non selektif + prostaglandin

analog sebanyak 1119 (20,51%), golongan

prostaglandin analog sebanyak 519 (9,51%), agonis

kolinergik sebanyak 114 (2,09%), dan penyekat β

selektif sebanyak 69 (1,26%). 3.3 Berdasarkan Nama GenerikObat.

Distribusi berdasarkan nama generik obat pada

peresepan penyakit mata glaukoma dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 3. DistribusiBerdasarkan Nama Generik

No Golongan

Obat

Jumlah

Penggunaan

Prosentase

(%)

1 Penyekat Beta Non Selektif

1888 34,60

2 Penghambat

Karbonik

Anhidrase

1748 32,03

3 Penyekat non selektif +

Prostaglandin

Analog

1119 20,51

4 Prostaglandin

Analog

519 9,51

5 Agonis

Kolinergik

114 2,09

6 Penyekat Beta

Selektif

69 1,26

Total 5457 100

Gambar 3. Distribusi Berdasarkan Nama Generik

Obat

Distribusi berdasarkan nama generik obat pada

peresepan penyakit mata glaukoma dari dokter

spesialis di RSMM Jawa Timurdapat diketahui

bahwa Timolol 0,5% sebanyak 1783 (32,67%),

Acetazolamide 250mg sebanyak 1691 (30,99%),

Latanoprost + Timolol sebanyak 1119 (20,51%),

Latanoprost 0,005% sebanyak 484 (8,87%),

Gambar 2. Distribusi Berdasarkan Golongan

Page 30: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

30

Pilokarpin 2% sebanyak 114 (2,09%), Carteolol

20mg sebanyak 105 (1,92%), Betaxolol 0,5%

sebanyak 69 (1,26%), Brinzolamide 1% sebanyak 57

(1,04%), dan Travoprost sebanyak 35 (0,64%).

3.4 BerdasarkanDosisatauAturanPakai

Dari hasil penelitian berdasarkan bentuksediaan

obat yang diresepkan oleh dokter spesialis mata dapat

diketahui:

Tabel 4. BerdasarkanBentukSediaan

No Golongan

Obat

Jumlah

Penggunaan

Prosentase

(%)

1 Tetes Mata 3766 69,01

2 Tablet per Oral 1691 30,99

Total 5457 100

Gambar 4. Berdasarkan Bentuk Sediaan Obat Dari hasil penelitian menunjukkan, berdasarkan

bentuk sediaan pada pengobatan penyakit mata

glaukoma yang paling banyak digunakan adalah obat

tetes mata yaitu sebanyak 3766 (69,01%), sedangkan

untuk obat tablet per-oral yaitu sebanyak 1691

(30,99%).

3.5 BerdasarkanDiagnosa POAG Berdasarkan diagnosa POAG didapatkan :

Tabel 5. Berdasarkan Diagnosa POAG

Nama Generik Jumlah

Penggunaan

Prosentase

(%)

Timolol 0,5% 203 29,29 Acetazolamide 250

mg

181 26,12

Latamoproat +

Timolol

136 19,62

Latanoprost 0,05 mg 83 11,98

Carteolol 20 mg 31 4,47

Betaxolol 0,5 % 22 3,17

Brinzolamide 1 % 18 2,60

Travoprost 17 2,45 Pilokarpine 2% 2 0,29

Total 693 100

Gambar 5. Berdasarkan Diagnosa POAG

Berdasarkan diagnosa POAG didapatkan obat

tertinggi yang diresepkan oleh dokter spesialis mata

terbanyak adalah Timolol 0,5% sebanyak 203

(29,9%), Acetazolamide 250mg sebanyak 181

(26,12%), Latanoprost + Timolol sebanyak 136

(19,62%), Latanoprost 0,005% sebanyak 83

(11,98%), Carteolol 20mg sebanyak 31 (4,47%),

Betaxolol 0,5% sebanyak 22 (3,17%), Brinzolamide

1% sebanyak 18 (2,60%), Travoprost sebanyak 17

(2,45%), dan Pilokarpin 2% sebanyak 2 (0,29%). 3.6 BerdasarkanDiagnosa PACG

Berdasarkan diagnosa PACG didapatkan :

Tabel 6. Berdasarkan Diagnosa PACG

No Nama Generik Jumlah

Penggunaan

Prosentase

(%)

1 Timolol 0,5% 81 29,03 2 Acetazolamide 250

mg

70 25,09

3 Latamoproat +

Timolol

53 19,00

4 Pilokarpine 2% 26 9,32

5 Carteolol 20 mg 15 5,38 6 Brinzolamide 1 % 10 3,58

7 Latanoprost 0,05 mg 10 3,58

8 Betaxolol 0,5 % 9 3,23

9 Travoprost 5 1,79

Total 693 100

Gambar 6. Berdasarkan Diagnosa PACG

Page 31: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

31

Berdasarkan diagnosa PACG didapatkan obat

tertinggi yang diresepkan oleh dokter spesialis mata

terbanyak adalah Timolol 0,5% sebanyak 81

(29,03%), Acetazolamide 250mg sebanyak 70

(25,09%), Latanoprost + Timolol sebanyak 53

(19.00%), Pilokarpin 2% sebanyak 26 (9,32%),

Carteolol 20mg sebanyak 15 (5,38%), Latanoprost

0,005% sebanyak 10 (3,58%), Brinzolamide 1%

sebanyak 10 (3,58%), Betaxolol 0,5% sebanyak 9

(3,23%), dan Travoprost sebanyak 5 (1,79%).

Berdasarkan usia mayoritas pasien yang

menderita glaukoma adalah pasien berusia 61-80

tahun sebanyak 767 orang (52,50%), sedangkan

pasien berumur 41-60 tahun sebanyak 560 orang

(38,33%), usia 21 – 40 tahun sebanyak 85 orang

(5,82%), dan pasien dengan usia diatas 80 tahun

sebanyak 49 orang (3,35%). Dapat diketahui dari

prosentase tersebut pada usia 61-80 tahun (52,50%)

orang rentan menderita glaukoma karena disebabkan

banyak faktor yaitu salah satunya adalah faktor usia

(Magdalena, 2006).

Berdasarkan nama generik obat glaukoma pada

penelitian ini, obat terbanyak yang digunakan adalah

Timolol 0,5% sebanyak 1783 (32,67%),

Acetazolamide 250mg sebanyak 1691 (30,99%),

Latanoprost + Timolol sebanyak 1119 (20,51%),

Latanoprost 0,005% sebanyak 484 (8,87%),

Pilokarpin 2% sebanyak 114 (2,09%), Carteolol

20mg sebanyak 105 (1,92%), Betaxolol 0,5%

sebanyak 69 (1,26%), Brinzolamide 1% sebanyak 57

(1,04%), dan Travoprost sebanyak 35 (0,64%).

Berdasarkan penggolongan obat glaukoma pada

penelitian ini, golongan obat glaukoma terbanyak

digunakan adalah golongan penyekat β non selektif

sebanyak 1888 (34,60%), golongan penghambat

karbonik anhidrase sebanyak 1784 (32,03%),

golongan penyekat β non selektif + prostaglandin

analog sebanyak 1119 (20,51%), golongan

prostaglandin analog sebanyak 519 (9,51%), agonis

kolinergik sebanyak 114 (2,09%), dan penyekat β

selektif sebanyak 69 (1,26%). Mekanisme kerja

penyekat β adalah menurunkan produksi akuos dan

dapat diserap secara sistemik, Timolol merupakan

salah satu penyekat β yang paling umum digunakan

sampai saat ini dan merupakan obat yang digunakan

sebagai pembanding pada peneliti klinis terhadap

obat anti glaukoma baru. Timolol menginhibisi

aktivitas β 1 dan β 2, Timolol merupakan penyekat β

non selektif yang memiliki efek menurunkan tekanan

terutama karena menurunkan produksi akuos dengan

memblok reseptor β-2 dalam proses siliaris. Timolol

dapat bekerja secara langsung pada epitel siliaris

untuk memblok transport aktif atau ultrafiltrasi.

Indikasi dari penggunaan Timolol pada glaukoma sudut

terbuka primer dan sekunder sebagai terapi inisial baik

secara tunggal atau kombinasi dengan miotik. Dosis

yang digunakan satu tetes larutan 0,25% atau 0,5% dua

kali sehari waktu kerjanya berlangsung lebih dari 7 jam,

efek samping topikal berupa iritasi okular,

konjungtivitis, blefaritis, keratitis, penurunan

sensitivitas kornea, gangguan penglihatan termasuk

perubahan refraksi, keratopati punglata supertisial,

gejala mata kering diplopia clan ptosis. Toksisitas

sistemik timolol lebih sering terjadi dibandingkan

dengan toksisitas lokal dan dapat mempengaruhi

sistem pulmoral, cardiac dan sistem saraf seperti

bronkospasme, bradikardia, hipertensi, sinkop,

aritmia, gagal jantung kongestif,infark miokard, blok

jantung, iskemia serebral, palpitasi, henti jantung,

dispena, gagal nafas, nyeri kepala, kelelahan, depresi

seksual, hypokalemia, mulut kering dan perubahan

tingkah laku (Sukandar, 2008).

Golongan tertinggi kedua adalah dari golongan

penghambat karbonik anhydrase sistemik yaitu

Acetazolamide 250mg sebanyak 1691 (30,99%),

Obat ini memblok enzim karbonik anhidrase secara

reversibel pada badan siliar sehingga mensupresi

produksi cairan akuos, cairan akuos kaya akan

natrium dan ion bikarbonat yang hiperosmotik

dibandingkan plasma, air di tarik kebilik mata

belakang sebagai akibat proses osmosis dan terjadi

dilusi pada konsentrasi tinggi bikarbonat, ketika

diberikan secara oral konsentrasi puncak pada plasma

diperoleh dalam 2 jam, bertahan 4-6 jam menurun

secara cepat karena ekskresi pada urin. Tersedia

dalam bentuk tablet dan kapsul dengan dosis umum

125-250mg empat kali sehari. Acetazolamide

digunakan sebagai monoterapi atau sebagai

pengobatan tambahan pada glaukoma simpel kronik,

glaukoma sekunder, preoperasi dan glaukoma sudut

tertutup akut ketika penundaan operasi membutuhkan

penurunan TIO. Pasien dengan penyakit respirasi

perlu mendapatkan perhatian lebih karena

kemungkinan efek asidosis respirasi (pada

penggunaan sistemik), juga pada penderita dengan

kadar serum natrium dan kalium yang menurun,

gangguan ginjal dan hati serta insufisiensi

adrenokortikal. Efek samping yang ditimbulkan dari

Acetazolamide antara lain malaise, kelelahan,

depresi, penurunan berat badan, penurunan libido,

mual, muntah, hematuri, glikosuria, peningkatan

dieresis, insufisiensi hati, mengantuk, linglung, nyeri

kepala, parestestia ekstremitas, neropati perifer,

miopia, urtikaria, gatal, asidosis metabolik,

Page 32: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

32

diskrasiadarahclan reaksi hipersensitif (Virgana,

2007).

Pada golongan penyekat beta + prostaglandin

analog yaitu Timolol + Latanoprost sebanyak 1119

(20,51%), diberikan sediaan kombinasi agar tingkat

kepatuhan pasien dan ketepatan waktu penggunaan

obat pada pasien bisa tercapai. Pada peresepan

golongan penyekat beta + prostaglandin analog, di

berikan juga tambahan penyekat beta yaitu Timolol

dengan aturan pemakaian satu kali sehari pada pagi

hari dan golongan penyekat beta + prostaglandin

analog yaitu Timolol + Latanoprost satu kali sehari

satu tetes pada malam hari.

Pada golongan prostaglandin analog yang sering

digunakan adalah Latanoprost, yaitu sebanyak 484

(8,87%), mekanisme kerja prostaglandin analog

adalah menurunkan tekanan intra okular dengan

meningkatkan aliran akuos humor, meskipun

mekanisme pasti belum diketahui. Latanoprost

merupakan salah satu obat anti glaukoma terbaru

paling efektif, obat ini ditoleransi dengan baik tanpa

efek samping sistemik. Obat ini mengalami hidrolis

enzimatik di kornea dan diaktifkan dalam bentuk

asam latanoprost, responnya diperkirakan dimediasi

reseptor prostanoid. Latanoprost adalah agonis

prostanoid selektif reseptor PF (reseptor

Prostaglandin F2a) yang meningkatkan indeks

terapetik di mata. Latanoprost lebih selektif

dibandingkan PGF 2a pada keadaan tersebut

sehingga memiliki profil terapetik yang lebih baik

(Ilyas, S.2007).

Penurunan TIO dimulai kira-kira 3-4 jam setelah

pemberian dan efek maksimal diperoleh setelah 8-12

jam. Lama kerja obat ini berkisar antara 20-24 jam.

Mekanisme kerja Latanoprost bekerja dengan

meningkatkan aliran keluar uveoskleral daripada

mempengaruhi aliran akuos melalui jalur

konvensional trabekulo-kanalikular. Efektif sebagai

pengobatan tunggal atau sebagai tambahan dengan

obat glaukoma yang lain (Timolol maleat, Pilokarpin

dan Asetazolamide). Latanoprost diindikasikan untuk

menurunkan TIO pada pasien dengan glaukoma

sudut terbuka dan hipertensi okular yang tidak

toleran dengan anti glaukoma lain. Dapat digunakan

sebagai monoterapi dan memiliki efikasi yang baik

ketika dikombinasi dengan obat penurun TIO lain

termasuk Acetazolamide sistemik. Dapat digunakan

dengan aman pada pasien glaukoma yang mengidap

asma bronkial, dosis Latanoprost tersedia dalam

larutan topikal 0,005% yang harus disimpan di

lemari es pada suhu 2-8 derajat Celcius selama 6

minggu, dosis umum 1 tetes (15mg) sehari,

dianjurkan pada malam hari. Dosis Latanoprost

disarankan tidak melebihi 1 kali sehari karena dapat

menurunkan efek penurunan TIO. Efek samping

yang sering di timbulkan adalah pigmentasi iris dan

pada penggunaan jangka panjang dapat terjadi

hiperemi konjungtiva ringan, erosi kornea, pungtata,

pemanjangan dan penebalan bulu mata, penglihatan

kabur, sensasi terbakar dan pedih, gatal, keratopati

epitelial pungtata, lakrimasi, nyeri mata, krusta

kelopak mata, edema dan eritema kelopak aquos

melalui trabekula, sehingga tekanan pada bola mata

bisa turun (Ilyas, S. 2007).

3. KESIMPULAN

Profil peresepan penyakit mata glaukoma

berdasarkan golongan obat serta nama generik

obat yang sering diresepkan oleh dokter spesialis

mata selama periode januari-desember 2015 di

RSMM Jatim :Berdasarkan hasil penelitian

diperoleh formulasi resep dokter spesialis mata

untuk penyakit mata glaukoma sebagai berikut :

R/Penyekat β non Selektif (Timolol0,5%)

Penghambat Karbonik Anhydrase

(Acetazolamide 250mg) Penyekat β + Prostaglandin Analog (Timolol 0,5% + Latanoprost 0,005%) dengan atau tanpa Agonis Kolinergik (Pilokarpin 2%)

Hasil penelitian berdasarkan diagnosa

Glaukoma Primer Sudut Terbuka (POAG)

diperoleh formulasi resep dokter spesialis mata

sebagai berikut :

R/Penyekat β non Selektif (Timolol 0,5%)

Penghambat Karbonik Anhydrase

(Acetazolamide 250Mg) Penyekat β + Prostaglandin Analog (Timolol 0,5% + Latanoprost0,005%)

Hasil penelitian berdasarkan diagnosa

Glaukoma Primer Sudut Tertutup (PACG)

diperoleh formulasi resep dokter spesialis mata

sebagai berikut :

R/ Penyekat β non Selektif (Timolol 0,5%)

Penghambat Karbonik Anhydrase

(Acetazolamide 250Mg) Penyekat β + Prostaglandin Analog (Timolol 0,5% + Latanoprost 0,005%) Agonis kolinergik (Pilokarpin 2%).

4. SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang

efektifitas peresepan penyakit mata glaukoma di

Rumah Sakit Mata Masyarakat Jawa Timur.

Page 33: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

33

5. DAFTAR PUSTAKA

1. Freddy W dan Gan, Sulistyo. dkk. 2012. Analgesik,

Antipiretik, Antiinflamasi Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya, dalam Farmakologi dan Terapi. DepartemenFarmakologidanTerapeutikFakultasKedokteran Universitas Indonesia Tahun 2012, Edisikelima. Jakarta: FKUI, hal 237-239.

2. Ilyas, S. 2000. Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hal.67.

3. Ilyas, S, dkk. 2002. Ilmu Penyakit mata. Cetakan Pertama.Jakarta: Penerbit CV. Sagung Seto.

4. Ilyas, S. 2003. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi II.Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

5. Ilyas, S. 2007. Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi). Edisi III. Jakarta: Penerbit CV. Sagung Seto.

6. Kementrian Kesehatan RI. 2015. Situasi dan Analisis Glaukoma. Jakarta.

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007.

8. Magdalena, C. 2006. Besar Resiko Kejadian

Glaukoma Pada Penderita Hipertensi. Surabaya.

9. Mahrani, H. 2009. Karakteristik Penderita Glaukoma di RSU. DR Pirngadi. Medan: Universitas Sumatra Utara.

10. Misbach, J. 1999. Neuro-Ofthalmologi Pemeriksaaan Klinis dan Interprestasi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

11. Notoadmojo, Soekidjo. 2010. Macam-macam Metode Penelitian, dalam Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Hal 124-131.

12. Saaddine, dkk. 2002. Prevalence of Visual

Impairment and Selected Eye Diseases Among Persons Aged ≥50 Years With and Without Diabetes. Jakarta.

13. Satiza, O. 2002. Tekanan Intra Okular pada Penderita Miopia Ringan dan Miopia Sedang. Medan: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

14. Sangadji. 2010. Pendekatan Praktis Dalam

Penelitian. dalam Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit Andi Ofset. hal 24.

15. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset

Keperawatan, dalam Metodologi Penelitian. Jakarta: Penerbit Graha Ilmu. hal.129.

16. Suhardjo. 2014. Seminar of the Indonesian Opthalmic Assistant. Edisi Pertama. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

17. Sukandar, dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: Penerbit PT. Ikatan Sarja Farmasi Indonesia. hal 344-348.

18. Vaughan, DG, Eva, RP. 2012. Glaukoma. Dalam

Vaughan, DG, Eva, RP.Ophtalmologi Umum. Jakarta: Widya Medika.

19. Virgana, R. 2007. Ocular Pharmacotherapy in Glaukoma.Bandung: Skripsi. Universitas Padjajaran.

20. WHO. 2008. Global Trends in the Magnitude of

Blindness and Visual Impaintment. http://www.who.int/topics/blindness/en/&sn=x&oi=translate.

Page 34: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

34

Artikel Penelitian

Prasetyo Handrianto1*)

1Bidang Ilmu Mikrobiologi, Akademi Farmasi Surabaya. *)E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering muncul di tengah masyarakat Indonesia yang

disebabkan infeksi bakteri. Salah satu upaya untuk penanggulangan diare adalah pengembangan antimikroba

dari tanaman dan herbal yang disebut obat tradisional. Pengembangan antimikroba herbal yang lebih diminati

karena efek samping dari obat tradisional yang relatif kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek ekstrak

Jamur Lingzhi dalam berbagai konsentrasi dalam menghambat Escherichia coli. Metode yang digunakan adalah

metode kertas cakram. Hasil menunjukkan ekstrak Jamur Lingzhi dapat menghambat Escherichia coli dalam

kategori inaktif pada konsentrasi 20μg / ml; 40μg / ml, kategori kurang aktif pada 60μg / ml; 80μg / ml; serta kategori aktif pada 100μg / ml.

Kata Kunci : Jamur Lingzhi (Ganoderma Lucidum), Antibakteri, Air Destilasi.

ABSTRACT

Diarrhea is one of the health problems that often occur in people in Indonesia are caused by a bacterial

infection. One way to handle it is to antimicrobial derived from plants and herbs called traditional medicine is

selected and demand because of the side effects of traditional medicine is relatively small. This study aims to

determine the effect of the concentration of Lingzhi mushroom extracts against the bacteria Escherichia coli.

The method used in determine the effect of concentration Lingzhi mushroom extract is a paper disc method. The

results of this study indicate that Lingzhi mushroom extract against Escherichia coli in the category of inactive

at a concentration of 20μg / ml; 40μg / ml and less active categories in the category of 60μg / ml; 80μg / ml and

active categories in the category of 100μg / ml.

Keywords : Lingzhi Mushroom, (Ganoderma Lucidum), Antibacterial, Destilated Water.

1. PENDAHULUAN

Diare adalah salah satu masalah kesehatan yang

sering terjadi pada masyarakat di Indonesia.

Menurut (Chasanah, 2010) kondisi seseorang yang

mengalami buang air besar secara terus menerus

dapat dikatakan sebagai diare, dalam satu hari

penderita dapat buang air besar 3 kali atau lebih, tinja

yang keluar masih memiliki kandungan air yang

berlebih (encer), sedikit berampas, kadang disertai

dengan darah atau lendir. Rasa mual dan muntah

sering mendahului diare yang disebabkan oleh

infeksi virus, sedangkan tinja yang mengandung

darah atau tubuh penderita mengalami demam tinggi

disebabkan karena gangguan bakteri dan parasit.

Diare dapat menyebabkan kehilangan cairan tubuh

dan elektrolit, sehingga menyebabkan dehidrasi.

Dehidrasi sangat berbahaya karena dapat

menurunkan kesadaran penderita.

Diare dapat disebabkan oleh infeksi beberapa

bakteri (Diemert, 2006). Bakteri yang menginfeksi

manusia melalui makanan dan minuman yang

tercemar. Bakteri yang sering menimbulkan wabah

diare salah satunya adalah bakteri Escherichia coli

(Enjtang, 2001). Diare dapat terjadi pada balita,

anak-anak, dan orang dewasa. Bakteri patogen pada

saluran cerna merupakan golongan bakteri yang

dapat menyebabkan penyakit infeksi pada saluran

cerna. Jenis bakteri yang paling sering menyebabkan

penyakit infeksi saluran cerna adalah bakteri

Escherichia coli byang berasal dari famili

Enterobacteriaceae (Radji, 2011).

Di zaman modern ini penggunaan obat

tradisional semakin dipilih dan diminati karena efek

samping yang ditimbulkan dari obat tradisional

relatif kecil. Obat bahan alam yang lebih dikenal

dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan

bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,

bahan mineral, sediaan sari atau galenik atau

campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-

temurun telah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman. Obat tradisional telah lama

dikenal dan digunakan oleh semua lapisan

Uji Aktifitas Ekstrak Jamur Lingzhi (Ganoderma Lucidum) Menggunakan Pelarut Air Destilasi Terhadap Zona Hambat

Escherichia coli

Page 35: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

35

masyarakat di Indonesia untuk tujuan pengobatan

maupun perawatan kesehatan (Wasito, 2011).

Bahan tumbuhan merupakan bahan yang dapat

dimanfaatkan sebagai obat. Salah satu bahan

tumbuhan yang dapat dimanfaatkan adalah jamur.

Menurut Suratno, (2005) jamur merupakan tumbuhan

yang hidup ditempat tertentu, waktu tertentu, dan

sering dijumpai pada kayu, jamur tersebut termasuk

spesies Ganoderma yang memiliki banyak jenis dan

ciri tubuh bertekstur seperti kayu, keras, dan

berbentuk seperti kipas. Salah satu jenis yang paling

banyak dipelajari khasiat obatnya adalah Ganoderma

lucidum.

Ganoderma lucidum dapat disebut dengan

jamur lingzhi yang telah digunakan dalam obat-

obatan tradisional di banyak negara Asia. Jamur

lingzhi dikenal memiliki banyak khasiat, salah

satunya sebagai antimikroba. Sifat antimikroba dapat

berfungsi sebagai antibakteri, antivirus dan

antijamur. Antibakteri pada jamur lingzhi disebabkan

karena mengandung polisakarida dapat bermanfaat

memperkuat proses kemampuan penyembuhan

secara alami dalam tubuh, triterpenoid yang

bermanfaat untuk meningkatkan sistem pencernaan

(Lim, 2000). Senyawa lain yang terkandung yaitu

kumarin, alkaloid, germanium anorganik, steroid,

asam lemak tak jenuh, asam amino, peptida, dan

asam ganoderik (Hendritomo, 2010). Untuk

mendapatkan senyawa berkhasiat tersebut diperlukan

ekstraksi dengan menggunakan pelarut air destilasi

yang aman digunakan karena tidak meninggalkan

sisa pelarut yang bersifat racun.

Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh

(Singh et al., 2014) tentang In-vitro Evaluation of

Antimicrobial Activity of Ganoderma lucidum

menyebutkan bahwa ekstrak jamur lingzhi memiliki

sifat antimikroba. Penelitian sebelumnya

menyebutkan bahwa konsentrasi ekstrak jamur ingzhi

sebanyak 50µg/ml dengan kategori hambatan pada

bakteri Escherichia coli dengan pelarut air destilasi

adalah tidak aktif.

Berdasarkan data tersebut, maka perlu diadakan

penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana

aktivitas antibakteri ekstrak Ganoderma lucidum

menggunakan pelarut air destilasi dengan

menggunakan konsentrasi sampai dengan 100 µl/ml

sebagai penghambat bakteri Escherichia coli yang

diekstraksi dengan metode kertas cakram dan metode

soxhlet untuk mendapatkan ekstrak dari jamur

lingzhi. Hasil penelitian diharapkan dapat

memberikan informasi ilmiah tentang aktivitas

antibakteri dari esktrak Ganoderma lucidum sebagai

penghambat bakteri Escherichia coli yang sering

menimbulkan penyakit seperti diare.

2. METODE

Bahan dan Mikroorganisme.

Ganorma lucidum (jamur lingzhi) segar

diperoleh dari petani jamur di Jl. Parangtritis

Panggung Harjo Km 5,8 Sewon, Bantul, Yogyakarta.

Biakan murni bakteri Escherichia coli yang diperoleh

dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga.

Pembuatan Ekstrak Jamur Lingzhi

Menggunakan Pelarut Air Destilasi.

Jamr lingzhi segar dipotong kecil-kecil kemudian

digiling hingga menjadi serbuk. Serbuk jamur lingzhi

dengan bobot 10 gram, diekstraksi dengan 100 ml

aquadest menggunakan metode soxhlet selama 10

jam (Singh et al., 2014). Hasil soxhlet dikentalkan

menggunakan evaporator. Ekstrak disimpan pada

suhu 35˚C untuk analisis lebih lanjut jika tidak

digunakan langsung. Kemudian diencerkan pada

beberapa konsentrasi yaitu 20µg/ml, 40µg/ml,

60µg/ml, 80µg/ml, 100µg/ml.

Uji Aktivitas Antibakteri

Alat yang digunakan untuk membuat ekstrak

jamur lingzhi yaitu alat soxhlet dan botol vial steril.

Bahan yang digunakan yaitu 10 gram serbuk jamur

lingzhi dan 100 ml air destilasi. Sampel yang

diekstraksi sebanyak 10 gram jamur lingzhi dengan

air destilasi sebanyak 100 ml, pelarut dipanaskan

untuk mendapat uap yang akan dialirkan pada serbuk

jamur lingzhi. Akan terjadi proses kondensasi dari

fase gas ke cair. Hasil ekstraksi ditampung dalam

botol vial steril. Hasil soxhletasi (ekstrak)

dikentalkan menggunakan alat evaporator untuk

menghilangkan sisa pelarut dalam ekstrak jamur

lingzhi. Ekstrak kental dimasukkan kedalam botol

vial steril dan disimpan pada LAF.

Pembuatan suspensi bakteri Escherichia coli. Bahan

yang digunakan yaitu media NB steril dimasukkan

kedalam tabung reaksi sebanyak 9 ml, biakan bakteri

Escherichia coli diambil dengan menggunakan kawat

ose 1 goresan kemudian disuspensikan dengan NB

steril dan di inkubasi pada suhu 33°C selama 24 jam.

Pembuatan Media Nutrien Agar steril digunakan

sebagai tempat pembiakan bakteri Escherichia coli

yang sudah dihomogenkan dalam NB dipipet 100 µl

bakteri kemudian ratakan didalam cawan petri

Page 36: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

36

dengan cara spreadplate. Inkubasi selama 24 jam

pada inkubator dengan suhu 33˚C.

Pembuatan konsentrasi ekstrak jamur lingzhi yang

digunakan yaitu sampel ekstrak jamur lingzhi

sebanyak 50 mg dan air destilasi sebanyak 100 ml.

Kemudian dilakukan pembuat pengenceran ekstrak

dengan konsentrasi 20µg/ml, 40µg/ml, 60µg/ml,

80µg/ml, 100µg/ml.

Pengujian aktivitas antibakteri dengan

meletakkan 6 kertas cakram dengan diameter 6 mm

pada media agar. Tetesi kertas cakram dengan

masing-masing konsentrasi ekstrak jamur lingzhi.

Kemudian diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam

dengan suhu 33˚C. Zona hambat yang terbentuk

diamati menggunakan jangka sorong untuk dilakukan

pengambilan data sebagai hasil pengamatan dan

dikelompokkan sesuai kategori berdasarkan Mukhtar

et al., (2012).

Amati zona hambat pada masing-masing

konsentrasi catat dan dokumentasi, hasil data

penelitian dianalisa menggunakan statistik uji anova

one way.

3. HASIL

Hasil Pengamatan dan Pengukuran Aktivitas

Antibakteri

Berikut adalah data yang diperoleh dari hasil

pengamatan dan pengukuran aktivitas antibakteri dari

ekstrak jamur lingzhi (Ganoderma lucidum) dengan

metode soxhlet pada berbagai konsentrasi terhadap

bakteri Escherichia coli yang terbentuk setelah

inkubasi selama 24 jam. Data disajikan dalam bentuk

tabel seperti berikut :

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Diameter Zona

Hambat

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, diperoleh nilai rata-rata zona hambat yang

terbentuk. Pada konsentrasi 20µg/ml zona hambat

yang terbentuk sebesar 3,58 mm dengan kategori

hambatan tidak aktif, sedangkan pada konsentrasi

100µg/ml zona hambat yang terbentuk sebesar 14,23

mm dengan kategori aktif. Pada kontrol negatif

kertas cakram ditetesi dengan menggunakan air

destilasi, didapatkan hasil yaitu tidak terbentuknya

zona bening pada sekitar kertas cakram. Untuk

mengetahui konsentrasi yang aktif dalam

menghambat bakteri Escherichia coli dapat dilihat

dan dihitung menggunakan persamaan garis linier

pada gambar dibawah ini.

Jika di buat persamaan garis linear maka

didapatkan nilai r yaitu 0,98 yang artinya hasil

tersebut memiliki garis yang linier. Pernyataan ini

didukung oleh pendapat (Walpole, 1995) jika hasil r

didapat 0.90 maka dapat dikatakan terdapat

hubungan besar zona hambat terhadap pada masing –

masing konsentrasi ekstrak jamur lingzhi terhadap

bakteri Escherichia coli. Semakin tinggi konsentrasi

semakin besar zona hambat yang terbentuk,

ditunjukkan pada konsentrasi 100µg/ml yang

memiliki nilai rata – rata daya hambat yang terbaik

yakni 14,23 mm dengan kategori hambatan kurang

aktif.

Data hasil pengamatan didukung dengan adanya

statistika SPSS 18 yang menggunakan Uji Anova one

way.

Hasil uji anova one way yang telah dilakukan,

jika diperoleh signifikan <0,05 maka H0 tidak

terdapat zona hambat (ditolak) dan H1 terdapat zona

hambat (diterima). Dapat diartikan bahwa terdapat

pengaruh konsentrasi ekstrak jamur lingzhi

menggunakan pelarut air destilasi terhadap zona

hambat bakteri Escherichia coli. Hasil data yang

telah dilakukan menggunakan uji Anova one way,

maka dapat dilanjutkan pengujian selanjutnya yaitu

pengujian BNT dengan uji Duncan’s.

Replikas

i

Kontro

l

Negati

f

Konsentrasi (µg/ml)

20 40 60 80 100

1. - 3,1 6,9 12,2 12,2 14,1

2. - 3,1 6,3 11,7 13,1 14,5

3. - 3,9 5,1 10,6 11,2 12,1

4. - 4,1 5,1 10,6 11,0 14,6

5. - 3,1 5,5 10,1 10,7 14,4

6. - 4,2 5,5 9,7 10,1 15,7

Rata-

rata

(mm) - 3,58 5,73 10,81 11,38

14,2

3

Kategori

Tida

k

aktif

Tida

k

Aktif

Kuran

g

Aktif

Kuran

g

Aktif

Aktif

Tabel 4.3 Uji Anova one way

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

616,982 5 123,396 99,131 ,000

Within

Groups

37,343 30 1,245

Total 654,326 35

Page 37: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

37

T

erda

pat

perb

edaa

n

yang

signi

fikan

dari

masi

ng – masing konsentrasi dan terdapat 4 golongan

yang menunjukkan A (0µg/ml) berbeda nyata dengan

konsentrasi B (20µg/ml), C (40µg/ml). A (0µg/ml)

berbeda nyata dengan konsentrasi D (60µg/ml), E

(80µg/ml). A (0µg/ml) berbeda nyata dengan

konsentrasi F (100µg/ml). Pada konsentrasi B

(40µg/ml), C (40µg/ml) berbeda nyata dengan

konsentrasi D (60µg/ml), E (80µg/ml). Konsentrasi B

(20µg/ml), C (40µg/ml) berbeda nyata dengan F

(100µg/ml). Sedangkan pada konsentrasi B

(20µg/ml) tidak memiliki perbedaan nyata dengan

konsentrasi C (40µg/ml). Pada konsentrasi C

(40µg/ml), D (60µg/ml), dan E (80µg/ml) juga sama

tidak memiliki perbedaan yang nyata. Konsentrasi D

(60µg/ml), dan E (80µg/ml) memiliki beda nyata

pada konsentrasi F (100µg/ml). Konsentrasi E

(80µg/ml) tidak memiliki beda nyata dengan

konsentrasi F (100µg/ml).

4. PEMBAHASAN

Penelitian mengenai pengaruh konsentrasi

ekstrak jamur lingzhi menggunakan pelarut air

destilasi terhadap zona hambat bakteri Escherichia

coli, dilakukan untuk mengamati aktivitas antibakteri

ekstrak jamur lingzhi. Aktivitas antibakteri ekstrak

jamur lingzhi di tunjukan dengan adanya zona

bening yang terbentuk dalam media Nutrient Agar.

Bakteri uji yang digunakan pada penelitian ini adalah

bakteri Escherichia coli. Bakteri tersebut memiliki

dampak buruk pada kesehatan manusia yang dapat

menginfeksi saluran cerna (diare), apabila makanan

yang dikonsumsi tercemar oleh bakteri Escherichia

coli.

Metode yang digunakan untuk mengamati

aktivitas antibakteri yaitu menggunakan metode

difusi kertas cakram, untuk memperoleh ekstraknya

menggunakan metode sokhletasi. Proses sokhletasi

menggunakan pelarut air destilasi. Pelarut air

destilasi dapat melarutkan senyawa antibakteri yang

ada didalam jamur lingzhi. Senyawa antibakteri

tersebut adalah fenol dan senyawa turunan dari

triterpenoid yaitu saponin. Senyawa saponin dapat di

ikat oleh pelarut air destilasi (Singh, 2013).

Sedangkan senyawa fenol merupakan senyawa

antibakteri golongan fenolik mempunyai gugus OH

sama seperti gugus air destilasi sehingga senyawa

fenol mudah larut dalam air destilasi (Yasni, 2013).

Senyawa antibakteri fenol dan saponin

berdasarkan daya kerjanya bersifat bakteriostatik

yaitu dengan menghambat pertumbuhan bakteri.

Kedua senyawa tersebut dalam menghambat

pertumbuhan bakteri dengan cara merusak struktur

dinding sel setelah terbentuk atau mengubahnya

setelah terbentuk, dan permeabilitas sel bakterinya

dirusak. Maka terjadi kebocoran nutrisi di dalam sel

sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya

pertumbuhan sel atau matinya sel (Pelczar and chan,

1998).

Terhambatnya pertumbuhan bakteri

menghasilkan zona bening yang berbeda – beda di

setiap konsentrasinya. Pada konsentrasi terendah

yaitu 20µg/ml dan 40µg/ml memiliki zona hambat

tidak aktif sedangkan pada konsentrasi 60µg/ml dan

80µg/ml menghasilkan zona hambat dengan kategori

kurang aktif. Sedangkan untuk konsentrasi 100µg/ml

menghasilkan zona hambat dengan kategori aktif.

Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya

pada konsentrasi yang sama yaitu 60µg/ml yang

dilakukan oleh (Singh et al., 2014) tentang In-vitro

Evaluation of Antimicrobial Activity of Ganoderma

lucidum memiliki hasil yang berbeda. Pada penelitian

sebelumnya hasil zona hambat yang terbentuk

sebesar 7,3 mm dengan kategori tidak aktif,

sedangkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini

sebesar 10,81 mm dengan kategori kurang akif.

Perbedaan tersebut terjadi karena diduga adanya

pengaruh oleh faktor lingkungan tempat tumbuh

diantaranya iklim, kualitas tanah, dan mutu air yang

mempengaruhi kualitas dan kuantitas senyawa alami

tumbuhan (Saifudin dkk, 2011).

5. KESIMPULAN

Ekstrak jamur lingzhi dengan pelarut air

destilasi berpengaruh terhadap zona hambat bakteri

Escherichia coli dengan kategori menghasilkan zona

hambat yang berbeda pada masing – masing

konsentrasi yaitu 20µg/ml; 40µg/ml dengan kategori

tidak aktif, 60µg/ml; 80µg/ml dengan kategori tidak

aktif, 100µg/ml dengan kategori aktif.

6. DAFTAR PUSTAKA

Tabel 4.4 Uji Duncan’s

K

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

A 6 ,000

B 6 8,917

C 6 10,067 10,067

D 6 10,883

E 6 11,367 11,367

F 6 12,400

Sig. 1,000 ,084 ,065 ,119

Page 38: AKFAR Surabaya

Journal of Pharmacy and Science

Vol. 1, No.1, (Juli 2016), P-ISSN : 2527-6328

38

1. Chasanah, Risdiyani. 2010. Pengobatan &

Pencegahan Penyakit Pencernaan. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka.

2. DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. 3. Diemer, David. 2006. Prevention and Self-Treatment

of Traveler's Diarrhea. Journal List Clin Mikrobiologi.

4. Dwijoseputro., dalam Elfidasari. 1978. Perbandingan

Kualitas Es di Lingkungan Universitas Al Azhar

Indonesia dengan Restoran Fast Food di Daerah

Senayan dengan Indikator Jumlah Escherichia coli Terlarut.Vol .1.No. 1.Jurnal Al-Azhar

Indonesia Seri Sains Dan Teknologi. 5. Entjang, Indah., 2001. Mikrobiologi & Parasitologi

Untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah

Tenaga Kesehatan Yang Sederajat. Cetakan Pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti.

6. Gambar Bakteri Escherichia coli. www.biologimu.com/2011/03/bakteri-dan-archaebacteria.html. 23 Desember 2015.

7. Handrianto, Prasetyo. 2015. Mikrobiologi Dasar-

Dasar Mikrobiologi. Cetakan Pertama. Ponorogo: Wade Group.

8. Heinrich, Michael., Joanne, Barnes., Simon, Gibbons., Elizabeth M. Williamson., Ahlibahasa, Winny R. Syarief. et al; editor edisi bahasa Indonesia. Amalia H. Hadinata. 2009. Farmakognosi dan Fitoterapi. Jakarta: Kedokteran EGC.

9. Hendritomo, Henky Isnawan., 2010. Jamur Konsumsi

Berkhasiat Obat. Edisi I. Yogyakarta: ANDI Publisher.

10. Lim, Siow. 2000. Ganotherapy Raja Herbal Yang

Ajaib.Jakarta: SIP. 11. Kamra, Anita., 2012. Evaluation Of Antimicrobial

and Antioxidant Acti vity of Ganoderma

lucidum Extracts Against Human Pathogenic

Bakteri. volume 4. India: Internasional Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences.

12. Mukhtar, S., Ghori, I. 2012.Antibacterial Activity of

Aqueous and Ethanolic Extracts of Garlic,

Cinnamon and TumericAgainst Escherichia coli and Bacillus subtilis.volume3. Pakistan: International Journal of Applie Biology and Pharmaceutical Technology (IJABPT).

13. Pelczar, Michael J. 1988. Penerjemah, Ratna Sri

Hadioetomo., Teja Imas., S. Sutarmi Tjitrosomo., Sri Lestari Angka. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

14. Radji, Maksum., 2011. Buku Ajar Mikrobiologi

Panduan Mahasiswa Farmasi & Kedokteran. Jakarta: Kedokteran EGC.

15. Syaifudin, Aziz., Rahayu, Viesa., Teruna, Hilwan Yuda. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam. Hal

13-18. Yogyakarta : Graha Ilmu. 16. Singht, Rajeet., Dingra Gurpaul., Shri Richa. 2013. A

Comparatif Study Taxonomy, Physycocemical

Parameters, and Cemical Constituent of

Ganoderma lucidum and G. Phylippi from

uttarakhan. India. 17. Singh, Jaya., Saurabh Gupta., Sonam Malviya., and

Bharti Ahrwar. 2014. In-Vitro Evaluation Of

Antimicrobial Of Ganoderma lucidum. Vol. 2. Internasional journal of advances research.

18. Suratno. 2005. Budidaya Jamur Lingzhi. Tugas

Akhir. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 19. Suryanto, Dwi. 2006. Uji Bioaktivitas Penghambatan

Ekstrak Metanol Ganoderma spp. Terhadap Pertumbuhan Bakteri dan Jamur. Jurnal Sains

Kimia. Vol.10. Medan: Universitas Sumatera Utara.

20. Walpole, Ronald. E. 1995. Pengantar Statistika Edisi

ke-3, Alih bahasa oleh Ir. Bambang Sumantri. Hal 372. Jakarta: PT. Grahamedia Putaka Utama.

21. Wasito, Hendri. 2011. Obat Tradisional Kekayaan

Indonesia. Cetakan pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.

22. Yasni, S. 2013. Teknologi Pengolahan dan

Pemanfaatan Produk Ekstrak Rempah. Bogor: PT. Penebit IPB Press

Page 39: AKFAR Surabaya
Page 40: AKFAR Surabaya