Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

8
1 Pemanfaatan Inovasi Hasil Penelitian Dan Pengembangan (studi kasus pabrik gula di Indonesia dalam tinjauan ekonomi) Ahmad Zafrullah Tayibnapis Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya Kampus Ubaya, Tenggilis Mejoyo Surabaya HP : 081331623941 e-mail : [email protected] ABSTRAK Dewasa ini pabrik gula makin kesulitan memperoleh laba marjin karena tingginya biaya operasional, sementara harga gula ditentukan pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberdayakan petani tebu dan pabrik gula, agar tetap berada dalam pasar, namun hingga kini pabrik gula merugi sebagai akibat dari inefisiensi pada tingkat on farm dan off farm serta rendahnya tingkat produktivitas. Pabrik gula sebaiknya melakukan usaha diversifikasi melalui bisnis turunan tebu non gula, seperti ampas tebu digunakan untuk menghasilkan energi listrik, briket dan bahan bakar sebagaimana yang telah dilaksanakan India, Mauritius, Brazil dan Hawaii. Pada industri berbasis tebu yang modern, setiap 1 ton tebu setelah diproses akan mampu menghasilkan surplus power 100 kw, bioethanol 12 liter dan biokompos 40 kg. Pabrik gula BUMN rata-rata menghasilkan 7,32 juta ton ampas atau 32 % dari jumlah tebu giling dan 1,12 juta ton tetes (4,9%) serta 800.000 ton blotong (3,5%). Pengusahaan energi listrik dari ampas tebu melalui cogeneration patut dipertimbangkan Kementerian BUMN, karena dapat dijadikan sandaran hidup pabrik gula untuk menghasilkan laba usaha dengan maksimal. Apabila diasumsikan setiap 1 ton dapat menghasilkan 300 kg ampas tebu, maka diperoleh listrik rata-rata 100 kw, dan kalau ada 10 pabrik gula BUMN, maka akan diperoleh listrik 225 megawatt. Produksi listrik juga dapat diperoleh dari etanol untuk menghasilkan 37.440 MWH dan sangat ramah lingkungan. (Kata kunci : Pabrik Gula-Industri Berbasis Tebu-Cogeneration Plant) 1. Pendahuluan Tebu merupakan salah satu tanaman perkabunan yang mempunyai peranan dan posisi penting dalam sektor industri pengolahan di Indonesia. Tanaman tebu merupakan bahan baku untuk industri gula, dan tidak hanya menghasilkan gula untuk masyarakat, tetapi juga gula sebagai bahan baku industri makanan-minuman serta produk-produk lain, seperti energi, serta, blotong, tetes, dan lain-lain yang merupakan hasil ikutannya. Industri gula, tanaman tebu, dan hasil ikutannya mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan mampu menyerap tenaga kerja begitu besar. Pengembangan tanaman tebu dan hablur tanaman tebu serta efisiensi pabrik gula yang berkesinambungan menjadi kebutuhan utama, mengingat peluang untuk mengembangkan industri gula masih terbuka lebar. Hanya saja kecurigaan atara petani tebu dengan pabrik gula mengenai penetapan rendemen tebu masih menjadi permasalahan sensitif di lapangan, dan rentan potensi konflik. Petani tebu hingga kini masih diliputi kondisi ketidak sejahteraan, ketidak adilan, ketidak percayaan dan ketidak berdayaan di tengah- tengah harga gula dan kebutuhan nasional sangat tinggi.

Transcript of Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

Page 1: Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

1

Pemanfaatan Inovasi Hasil Penelitian Dan Pengembangan

(studi kasus pabrik gula di Indonesia dalam tinjauan ekonomi)

Ahmad Zafrullah Tayibnapis

Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya

Kampus Ubaya, Tenggilis Mejoyo – Surabaya

HP : 081331623941

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Dewasa ini pabrik gula makin kesulitan memperoleh laba marjin karena tingginya biaya operasional, sementara harga gula ditentukan pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberdayakan petani tebu dan pabrik gula, agar tetap berada dalam pasar, namun hingga kini pabrik gula merugi sebagai akibat dari inefisiensi pada tingkat on farm dan off farm serta rendahnya tingkat produktivitas.

Pabrik gula sebaiknya melakukan usaha diversifikasi melalui bisnis turunan tebu non gula, seperti ampas tebu digunakan untuk menghasilkan energi listrik, briket dan bahan bakar sebagaimana yang telah dilaksanakan India, Mauritius, Brazil dan Hawaii. Pada industri berbasis tebu yang modern, setiap 1 ton tebu setelah diproses akan mampu menghasilkan surplus power 100 kw, bioethanol 12 liter dan biokompos 40 kg. Pabrik gula BUMN rata-rata menghasilkan 7,32 juta ton ampas atau 32 % dari jumlah tebu giling dan 1,12 juta ton tetes (4,9%) serta 800.000 ton blotong (3,5%). Pengusahaan energi listrik dari ampas tebu melalui cogeneration patut dipertimbangkan Kementerian BUMN, karena dapat dijadikan sandaran hidup pabrik gula untuk menghasilkan laba usaha dengan maksimal. Apabila diasumsikan setiap 1 ton dapat menghasilkan 300 kg ampas tebu, maka diperoleh listrik rata-rata 100 kw, dan kalau ada 10 pabrik gula BUMN, maka akan diperoleh listrik 225 megawatt. Produksi listrik juga dapat diperoleh dari etanol untuk menghasilkan 37.440 MWH dan sangat ramah lingkungan.

(Kata kunci : Pabrik Gula-Industri Berbasis Tebu-Cogeneration Plant)

1. Pendahuluan

Tebu merupakan salah satu tanaman perkabunan yang mempunyai peranan dan

posisi penting dalam sektor industri pengolahan di Indonesia. Tanaman tebu merupakan bahan baku untuk industri gula, dan tidak hanya menghasilkan gula untuk masyarakat, tetapi juga gula sebagai bahan baku industri makanan-minuman serta produk-produk lain, seperti energi, serta, blotong, tetes, dan lain-lain yang merupakan hasil ikutannya. Industri gula, tanaman tebu, dan hasil ikutannya mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan mampu menyerap tenaga kerja begitu besar.

Pengembangan tanaman tebu dan hablur tanaman tebu serta efisiensi pabrik gula yang berkesinambungan menjadi kebutuhan utama, mengingat peluang untuk mengembangkan industri gula masih terbuka lebar. Hanya saja kecurigaan atara petani tebu dengan pabrik gula mengenai penetapan rendemen tebu masih menjadi permasalahan sensitif di lapangan, dan rentan potensi konflik. Petani tebu hingga kini masih diliputi kondisi ketidak sejahteraan, ketidak adilan, ketidak percayaan dan ketidak berdayaan di tengah-tengah harga gula dan kebutuhan nasional sangat tinggi.

Page 2: Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

2

Peran pabrik gula sangat menentukan dalam rangka pencapaian peningkatan rendemen dan hablur serta memberdayakan petani tebu agar tercipta sinergitas antara pabrik gula, petani tebu dan pemerintah ; termasuk hubungan harmonis dan saling menguntungkan dengan pengusaha gula, pedagang, dan para pemangku kepentingan.

Permasalahan mendasar saat ini dan ke depan adalah kesulitan pabrik gula di Indonesia untuk memperoleh laba margin, dan sebagian lagi sudah merugi karena tingginya biaya operasional, inefisiensi pada tingkat on farm dan off farm, serta rendahnya tingkat produktivitas. Harga gula tidak mengikuti mekanisme pasar, dan wajib mengikuti penetapan pemerintah karena gula merupakan salah satu komoditi kebutuhan pokok rakyat dan berpengaruh cukup signifikan terhadap inflasi. Apalagi harga gula impor ternyata lebih murah dan menarik setelah ada di pasar.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberdayakan petani tebu dan pabrik gula agar tetap bertahan di dalam pasar, seperti revitalisasi industri berbasis tebu, program bongkar ratoon, peningkatan rendemen dan hablur tanaman tebu, dan lain-lain. Namun strategi dan sasaran revitalisasi selalu gagal dan lunglai di tengah jalan. Hal yang berbeda terjadi di Brazil, India dan Thailand yang justru berjaya karena kemampuan melakukan diversifiksi usaha dengan menggarap produk turunan tebu yang dimanfaatkan secara ekonomis dan keberhasilan melakukan transformasi menjadi industri berbasis tebu secara terintegrasi dari hulu ke hilir.

Pemerintah Indonesia tampaknya tetap menginginkan optimalisasi dengan cara mengoperasikan pabrik gula pada kapasitas tertentu dengan mempertimbangkan keseluruhan stasiun sebagai suatu kesatuan dan antar stasiun di harmonisasikan dalam satu kesatuan gerak untuk mencapai kinerja yang paling optimal. Namun para pemangku kepentingan mungkin lupa kalau ada resiko yang seharusnya diperhitungkan, seperti tingkat kehilangan gula, kualitas produk yang menurun, meningkatnya biaya perawatan, melubernya nira kental, kenaikan harga bahan bakar minyak, harga gula yang dikendalikan pemerintah, harga gula impor yang relatif lebih murah di pasar, dan lain-lain. Dengan demikian harus ada keberanian untuk melakuakn terobosan agar pabrik gula tidak tergantung pada produksi gula saja sebagai sumber penciptaan laba usaha, dan saatnya menggarap produk-produk turunan tebu yang bernilai ekonomi tinggi, seperti ampas tebu dipergunakan untuk menghasilkan energi listrik, briket, bahan bakar, pulp, kertas, kardus, papan partikel dan papan serat.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini masuk dalam kategori deskriptif-kualitatif, yakni menganalisis secara keekonomian kondisi eksisting pabrik gula di Indonesia, dan penelitian ini tertuju pada kondisi obyek yang alamiah di mana peneliti meupakan instrumen kunci. Analisis data bersifat induktif dengan senatiasa menekankan pada makna daripada generalisasi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini dalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumbernya yakni pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri dan pabrik gula Pesantren Baru Kota Kediri. Selanjutnya data sekunder berasal dari PTPN X (Persero) dan menggali dari literatur atau jurnal. Data yang berhasil dikumpulkan, baik primer maupun sekunder, dikompilasi untuk melakukan analisis secara deskriptif dari interpretasi obyek yang dipelajari guna memperoleh kesimpulan.

3. Hasil dan Diskusi

3.1 Dilema Industri Tebu Di Indonesia

Industri tebu di Indonesia pada 2012 telah memproduksi gula sebagai produk utama sebesar 2,5 juta ton dan mengalami peningkatan di banding 2011 yang sekitar 2,2 juta ton. Produksi gula 2,5 juta ton sejatinya di bawah target pemerintah yakni 3,1 juta ton gula

Page 3: Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

3

konsumsi. Selanjutnya biaya produksi gula di PTPN rata-rata sekitar Rp. 6.860,- per kilogram, padahal seharusnya sekitar Rp. 5.800,- karena ketergantungan pada BBM, penggunaan teknologi yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini, dan tingginya kebocoran serta tumpahan dalam mata rantai produksi di pakrik gula.

Kapasitas giling dari 62 pabrik gula yang ada di Indonesia seharusnya mampu mencapai 205.000 ton tebu per hari. Apabila diasumsikan 170 hari giling dan rendemen 9% atau 3,1 juta ton gula per ton. Kenyataan hanya mampu merealisasi 2,5 juta ton pada 2012, dan itu berarti Indonesia tetap harus impor gula setiap tahun dari Brazil, India dan Thailand. Sebagai komoditas yang diatur sangat ketat di negeri ini membuat pabrik gula (PG) berada dipersimpangan jalan, yakni di satu sisi biaya produksi gula senantiasa meningkat seiring dengan kenaikan harga tebu yang harus dibeli dari petani tebu dan peningkatan UMK setiap tahun; di sisi lain harga gula tidak bisa dibentuk pada tingkat yang menjanjikan marjin memadai karena perhitungan daya beli konsumen dan intervensi pemerintah pada saat harga gula merangkak naik, padahal kalau mencermati perkembangan harga gula kristal putih ( GKP) sejak tahun 2007 hingga tahun 2012 menunjukkan harga impor dunia masih lebih rendah dibanding harga GKP, ini berarti harga gula nasional sulit bersaing dengan gula impor. Apalagi pemerintah dengan mudahnya menurunkan bea masuk gula impor.

Beranjak dari situasi dan kondisi tersebut maka tidak mudah bagi pabrik gula untuk memperoleh hasil marjin, dan pendapatan dari produksi gula dalam satu musim giling hanya cukup untuk gaji karyawan, operasional perusahaan, dan dividen kepada pemegang saham. Jadi tidaklah mengherankan kalau beberapa pabrik gula membukukan kerugian. Dalam kehidupan berbisnis yang sehat, marjin usaha diperlukan untuk modal melakukan ekspansi dan peningkatan kapasitas produksi gula guna memenuhi jumlah kebutuhan gula di dalam negeri yang terus meningkat.

Saat ini terdapat 62 pabrik gula di Indonesia dengan kapasitas pabrik berkisar 2500 ton tebu per hari (TCD) sampai 6000 TCD. Ada beberapa pabrik gula yang berkapasitas 12.000 TCD sampai 14.000 TCD seperti, PG. Indo Lampung dan PG. Gunung Madu; namun ada pula pabrik gula yang memiliki kapasitas kecil, yakni 1000 TCD sampa 1.500 TCD dengan teknologi yang digunakan relatif ketinggalan jaman. Patut dicermati bahwa ada sejumlah pabrik gula yang memiliki stasiun gilingan dengan kapasitas terpasang 10.000 TCD, namun boiler, stasiun pemurnian, dan stasiun puteran hanya berkapasitas maksimal 6000 TCD. Manakala pabrik gula dipaksa beroperasi pada kapasitas 10.000 TCD maka dapat dipastikan akan terjadi tingkat kehilangan gula, jam berhenti giling, dan kerusakan alat akan terjadi dengan intensitas tinggi sehingga kemungkinan besar hanya akan bisa beroperasi pada kapasitas 10.000 TCD selama 2 hari saja, dan hari berikutnya pabrik gula harus memberhentikan operasinya karena nira kental meluber (Subiyono, 2013).

Keinginan pemerintah untuk mengoptimalkan kapasitas giling ke tingkat 10.000 TCD dapat saja diwujudkan apabila tersedia dana investasi berskala besar, melakukan desain ulang terhadap alat-alat perpipaan dan perpompaan, serta mengubah lay out pabrik gula. Ketiga hal tersebut tampaknya tidak mudah diwujudkan saat ini, mengingat pabrik gula di Indonesia saat ini yang memiliki teknologi dan peralatan usang sebanyak 33 PG, dan kategori sedang berjumlah 14 PG. Jadi sebenarnya hanya 15 PG saja yang memiliki teknologi dan peralatan sangat baik.

Kajian P3GI (2007) menyimpulkan bahwa ada 10 jenis produk hilir tebu yang dapat dikategorikan sebagai produk unggulan, dan 6 jenis diantaranya berbahan baku tetes. Selanjutnya ada 1 jenis produk bisa didapatkan dari tetes atau nira, dan 3 jenis produk lainnya didapatkan dari ampas tebu. Lebih jauh P3GI menjelaskan bahwa produk-produk turunan tebu yang potensial hanya membutuhkan proses teknologi dalam skala yang medium saja, namun membutuhkan nilai investasi yang tinggi, yakni sekitar USD 3000

Page 4: Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

4

hingga USD 8000 per ton bahan per tahun. Secara keekonomian, nilai investasi yang tinggi itu layak karena perolehan laba usaha sangat menjanjikan dan memiliki prospek yang baik untuk pasar produk turunan komoditas tebu. Toharisman dan Kurniawan (2012) menjelaskan bahwa ada 45 pabrik ko produk tebu yang menghasilkan 14 jenis produk, dan 60% dari pabrik-pabrik tersebut sama sekali tak bergerak dalam bisnis pengolahan tebu.

Temuan P3GI, Toharisman dan Kurniawan dapat dijadikan acuan bahwa pabrik gula di Indonesia harus menjadi beyond sugar dan bertransformasi menjadi industri berbasis tebu terintegrasi dari hulu ke hilir. Diversifikasi produk turunan tebu dapat menjadi sandaran kinerja perusahaan gula atau dengan kata lain kinerja keuangan pabrik gula akan lebih banyak ditopang oleh pengembangan pasar produk hilir tebu non gula karena mampu berkontribusi hingga 60% terhadap jumlah pendapatan pabrik gula.

3.2 Co-generation Sebagai Sandaran Pendapatan Pabrik Gula

Produk turunan tebu per satuan luas lahan dapat mencetak pendapatan 2 hingga 4 kali lipat dibanding pendapatan dari produksi gula. Bahkan ada produk hilir tebu tertentu yang mampu mencapai nilai 500% sampai 700% dibanding harga gula. Dalam industri berbasis tebu yang modern mampu mewujudkan setiap satu ton tebu setelah diproses ternyata bisa menghasilkan surplus power 100 KW, bioethanol sebanyak 12 liter, dan biokompos 40 kg (Subiyono, 2013).

Sebagai ilustrasi, pada 2010 luas tanam tebu pabrik gula BUMN bisa mencapai sekitar 286,6 ribu hektar dengan tebu giling 22,87 juta ton dan mampu menghasilkan 7,32 juta ton ampas atau 32% dari jumlah tebu giling serta 1,12 juta ton tetes atau 4,9% dan 800.000 ton blotong atau 3,5%. Dalam pemanenan tebu juga masih bisa dihasilkan 2,8 juta ton pucuk dan serasah. Ini berarti bahwa bahan baku tersebut ternyata cukup besarnya jumlahnya untuk diproses lebih lanjut menjadi produk dengan nilai tambah ekonomi yang tinggi.

Salah satu produk turunan tebu yang berpotensi pasar tinggi adalah bioethanol dan cogeneration. Bioethanol dapat diproduksi dari tetes tebu atau molases, dan cogeneration berasal dari pengolahan amapas tebu menjadi listriuk. Menurut WADE (2004) bahwa 26% pembangkitan listrik di Mauritius dan 10% di Hawaii berasal dari pabrik gula. Pengalaman di India adalah sangat berharga bagi Indonesia untuk tidak lagi berfokus ke energi fosil yang saat ini masih mendominasi sekitar 94% dengan rincian 47% berasal dari minyak bumi, kemudian 24% berasal dari gas bumi, dan 23% berasal dari batubara. Sementara itu, pemanfaatan energi baru terbarukan hanya 6% saja. Patut direnungkan bahwa pemadaman listrik masih terjadi di banyak kawasan di Indonesia, dan lebih dari 20% keluarga di Indonesia belum memiliki akses terhadap listrik. Pangkal persoalan kelistrikan ini adalah ketergantungan yang tinggi pada pembangkit berbahan bakar fosil.

Status energi nasional dewasa ini makin ke arah suram karena stok minyak crude ataupun produk-produk lain sudah pada titik kritis dan rentan terhadap gangguan dalam skala apapun. Kapasitas terpasang instalasi listrik juga diambang batas kritis tanpa cadangan. Sementara itu, permintaan akan listrik terus meningkat tajam dan pengembanagan energi alternatif berjalan lamban serta menghadapi banyak rintangan dan ketidakpastian.

Brazil dan India merupakan contoh negara yang berhasil menjadikan tebu sebagai sandaran utama energi terbarukan di mana tebu menyumbang sekitar 18% dari jumlah kebutuhan energi di Brazil dan lebih dari setengah kebutuhan gasoline di Brazil telah diganti oleh bioethanol berbasis tebu. Hal yang sama juag terjadi di India di mana banyak pabrik gula berkapasitas menengah pada kisaran 4500 TCD telah terintegrasi dengan produksi ko

Page 5: Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

5

produk, khususnya co-generation dan bioethanol. Sebagai contoh NSL Sugars Limited dan Boumar Amman yang ada di Karnataka State yang sudah mampu menghasilkan listrik 30 MW dan etanol 120 kilo liter per hari, padahal di India terdapat 500 pabrik gula yang diperkirakan akan mampu mengimbangi tingkat konsumsi gula sebanyak 28,5 juta ton pada 2017 dengan melibatkan sedikitnya 50 juta petani.

Di India, cogeneration (produksi listrik asal ampas tebu) menjadi andalan industri pertebuan. Berdasarkan data 2007 diperoleh gambaran bahwa sekitar 492 pabrik gula, ternyata ada 145 di antaranya telah terinstalasi dengan fasilitas cogeneration. Bahkan saat ini potensi listrik asal cogeneration telah mencapai 10.500 MW, dan untuk memenuhi operasional pabrik sendiri sekitar 3500 MW, hal ini berarti terdapat potensi listrik yang bisa dijual mencapai 7000 MW.

Pengalaman program cogeneration di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri dapat dijadikan panduan untuk melaksanakan cogeneration di Indonesia, sekaligus dapat dijadikan dasar Kajian Akademik untuk menyusun Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang energi non fosil. Peraturan perundang-undangan sangat penting dan strategis agar tidak terjadi tindak kriminalisasi terhadap pimpinan pabrik gula dengan tuduhan merugikan negara, seperti kasus yang menimpa CHEVRON dan IM2.

Nilai investasi untuk program cogeneration di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri sekitar Rp. 310,40 miliar untuk 5 gilingan, ketel Takuna, ketel Stork, boiler dan TA ECT 40 MW. Apabila perkiraan nilai jual listrik sebesar Rp. 104, 89 miliar, maka periode waktu pengembalian adalah 3 tahun.

Berdasarkan tabel I maka, cogeneration yang mengolah ampas tebu menjadi listrik andaikata diberlakukan untuk 10 pabrik gula di lingkungan PTPN X (Persero) saja maka dapat diperoleh pendapatan sekita Rp. 633,89 miliar hingga Rp. 684,51 miliar dengan asumsi bahwa setiap 1 ton tebu akan menghasilkan 300 kg ampas tebu dan produk listrik rata-rata 100 KW serta potensi listrik yang dihasilkan mecapai 225 megawatt (MW).

Sesuai dengan namanya, cogeneration plant (CP) atau Combine Heat and Power Plant (CHP) adalah produksi panas atau uap dan power listrik secara bersamaan atau simultan dari satu sumber bahan bakar, dengan memaksimalkan pemanfaatan energi. Uap panas nantinya akan digunakan untuk kebutuhan produksi di pabrik dan energi listrik yang dihasilkan akan dijual kepada PLN untuk selanjutnya dialirkan ke masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa ampas tebu termasuk bioenergi yang terbarukan, dan selama proses budidaya tebu dan produksi pabrik gula tetap berjalan, di mana sumber energi dari ampas tebu tidak akan habis. Berbeda dengan batubara dan minyak bumi yang sekian tahun lagi akan habis dan tidak dapat tergantikan. Cogeneration selain ramah lingkungan, juga telah terbukti lebih efisien dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional karena pada pembangkit konvensional terbukti energi yang terbuang bisa mencapai 60-70%. Keadaan ini jauh berbeda dibandingkan CHP Plant, yang mana energi listrik dan panas untuk bisa digunakan mencapai 90% atau energi yang terbuang hanya 10%.

Di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri memiliki kapasitas ketel sebesar 175 ton per jam dan kapasitas terpasang turbin alternator sebesar 8 MW. Dengan kebutuhan listrik untuk operasional pabrik gula sebesar 4,5-5 MW, maka di dapatkan potensi yang bisa di ekspor ke jaringan PLN sebesar 2-2,5 MW. Di samping PG. Ngadirejo, PTPN X juga menetapkan PG. Pesantren Baru Kota Kediri sebagai pilot ptoject dan prototype CHP Plant. Ampas tebu PG. Pesantren Baru sekitar 30% dan uap sekitar 52%. Kemampuan kapasitas giling saat ini sekitar 6200 TCD dengan produksi ampas sebesar 1860 ton per hari atau 77,5 ton per jam ampas. Kebutuhan ampas yang diperlukan untuk produksi sebesar 60 ton per jam ampas sehingga di dapatkan surplus 17,5 ton per jam ampas. Dengan perhitungan

Page 6: Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

6

tertentu maka di dapatkan potensi pembangkitan sebesar 3,2 MW atau sekitar 3 MW dengan asumsi dilaksanakan saat musim giling atau kurang lebih selama 150 hari.

Tabel 1

Investasi untuk Program Cogeneration di PG Ngadirejo

Barang Nilai Investasi (Rp Miliar)

Gilingan 1 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12

Gilingan 2 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12

Gilingan 3 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12

Gilingan 4 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12

Gilingan 5 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12

CC 1 : 450 KW 0,65

CC 2 : 10.000 KW 1,5

Unigrator : 1.300 KW 4,1

Ketel Takuma

1. IDF – 200 KW Inverter FVD

2. FDP – 90 KW Inverter FVD

3. FWP – 355 KW Inverter FVD

0,74

0,36

0,60

Ketel Stork

1. IDF – 550 KW Inverter FVD

2. FDP – 120 KW Inverter FVD

1. FWP – 355 KW Inverter FVD

1,50

0,45

0,50

Boiler 160 Ton per Jam 80 Bar 160

TA ECT 40 MW (Extraction Condensing Turbin Generator)

80

Jumlah 310,40

Sumber : PTPN X, 2013

Untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal tentu dibutuhkan serangkaian proses, yakni mulai dari kelancaran pasokan bahan baku tebu hingga kelancaran produksi di pabrik agar menghasilkan ampas yang banyak, hal ini berarti dibutuhkan kecermatan mulai dari

Page 7: Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

7

kebun hingga pabrik dan harus dikelola dengan baik agar cogeneration bisa berjalan dengan baik, termasuk kemampuan pabrik gula harus bisa menghemat pemakaian energi uap di saat processing. Kondisi ideal yang harus dipenuhi untuk mengembangkan cogeneration adalah keberlangsungan pasokan tebu harus tetap terjaga agar tetap lancar, tepat waktu dan terpenuhi kebutuhannya. Pabrik gula harus berjalan lancar, jam berhenti rendah dan efisien dalam penggunaan energi tinggi. Syarat lain yang harus juga dipenuhi yaitu ekstraksi gilingan berjalan prima, pol ampas di bawah 2% dan Zk di atas 49%. Selanjutnya boiling house dapat hemat energi, hari giling panjang, dan permintaan energi untuk proses mekanik 16 KWH/t come. Efisiensi panas boiler berada di angka 85%, efisiensi isentropis turbin uap 80%, efisiensi isentropis pompa 80%, efisiensi generator listrik 96%, dan efisiensi mesin listrik gilingan 89%. Syarat-syarat tersebut hanya dapat dipenuhi dari ketel yang bertekanan tinggi, yakni lebih dari 80 bar (Totok Sarwo Edi, 2013).

Di balik semangat untuk mewujudkan cogeneration plant dan bioethanol sebagai sandaran baru pendapatan pabrik gula, ternyata masih ada sejumlah kendala yang dihadapi pabrik gula di Indonesia, yakni : (1) masih ada PG yang mengalami defisit dalam ketersediaan ampas sehingga harus di suplai dari PG lain ; (2) belum adanya kesepakatan dari PLN membeli energi listrik dari bahan baku ampas ; (3) pasokan tebu yang masih kurang dan tidak lancar serta pabrik yang boros energi ; dan (4) Pemerintah Daerah belum siap untuk menerbitkan Izin Usaha Kelistrikan Sendiri (IUKS) karena belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya.

4. Kesimpulan

Ternyata industri gula nasional sudah saatnya berani beyond sugar dan bertransformasi menjadi industri berbasis tebu dari hulu ke hilir, mengingat biaya produksi terus meningkat, sulit memperoleh hasil marjin, harga gula senantiasa fluktuatif, kran impor gula sangat terbuka dengan dalih memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mencegah inflasi, sehingga pabrik gula sebaiknya fokus menggarap bisnis turunan tebu non gula, seperti ampas tebu dipergunakan untuk menghasilkan energi listrik, briket, bahan bakar, serat, bioethanol, amonia, pakan ternak, dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan dapat dijadikan sandaran pendapatan pabrik gula ke depan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Panitia Seminar Nasional Pengembangan Iptek 2013 – Pappiptek LIPI sehingga penelitian ini dapat diseminarkan pada tingkat nasional. Terima kasih kepada Ir. Subiyono, MMA. dan Ir. Cipto Budiono yang begitu banyak memberikan informasi tentang industri berbasis tebu, khususnya terkait cogeneration Plant dan bioethanol.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muin, Lampu Kuning Energi, Kompas, 11 Juni 2013, hal. 7

Adig Suwandi, Pemantau Independen Produksi Gula, Kompas, 20 Agustus 2010, hal. D

International Sugar Organization, 2009. Cogeneration: Opportunities in the World Sugar Industry.

Kartodirjo, Sartono dan Djoko Suryo, 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

Page 8: Ahmad Zafrullah_pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang

8

Night, G.R., Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad Ke-19: Studi dari Karesidenan Pekalongan 1830-1870. dalam Booth, Anne (et al), 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), 2008. Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional. Pasuruan: P3GI

Subiyono dan Rudi Wibowo, 2005. Agribisnis Tebu: Membuka Ruang Masa Depan Indusrti Berbasis Tebu Jawa Timur. Jakarta: Perhepi

Subiyono, 2013. Strategi Terpadu Membangun Kembali Kejayaan Industri Berbasis Tebu di Indonesia, Makalah, Kuliah Umum di Universitas Negeri Jember, 6 Februari 2013.

Toharisman, Aris dan Yahya Kurniawan, 2012. Prospek dan Peluang Koproduk Berbasis Tebu. Dalam Khrisnamurti, Bayu (ed), 2012. Ekonomi Gula. Jakarta: Gramedia Putaka Utama

Totok Sarwo Edi, 2013. Coger Tidak Perlu Dana Besar, ptpn X mag, vol. 007/Th. III, Januari-Maret 2013, hal. 47

WADE, 2004. Bagasse Cogeneration: Global Review and Potential.

Wahyuni, Sri, dkk, 2009. Industri dan Perdagangan Gula di Indonesia: Pembelajaran dari Kebijakan Zaman Penjajahan-Sekarang. Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian