Agribisnis Jagung Hibrida

6
Agribisnis Jagung Hibrida Di Indonesia Pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk mendukung industri, namun sampai saat ini kita masih mengimpor beberapa komoditas pertanian yang diperlukan oleh industri pakan ternak dan makanan, seperti kedele, kacang tanah , jagung, dan beberapa komoditas pertanian lainnya. Dalam tulisan ini saya batasi pada soal kondisi produksi jagung dalam negeri , karena merupakan salah satu komoditas strategis yang perlu disentuh oleh kebijakan pembangunan pertanian. Sehingga dalam memenuhi kebutuhan komoditas ini, kita tidak bergantung lagi pada negara eksportir yang hanya akan menguras devisa negara saja. Data tahun 1994 Indone-sia masih mengimpor jagung sekitar 1,1 juta ton dengan nilai 153,5 juta dollar AS, dan tahun 1996 angka impor itu naik menjadi 1,5 juta ton. Khusus untuk industri pakan ternak Jawa Barat saja, harus diimpor 700.000 ton jagung per tahun untuk memenuhi kebutuhannya. Meskipun daerah ini memiliki areal 172.969 hektar yang potensial untuk ditanami jagung, namun baru sekitar 34.673 hektar yang dimanfaatkan. Sehingga kegiatan impor jagung masih tetap berlangsung sampai saat ini. Sementara persediaan jagung dunia akan merosot, karena selain produksi negara pengekspor menurun, juga mundurnya Cina dari kelompok negara pengekspor jagung dunia. Kondisi ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga harus berupaya untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri. Secara statistik, sejak Pelita I- V, produksi jagung meningkat rata-rata 8,12 persen, areal panen meningkat 1,24 persen, dan produktivitas meningkat sekitar 5,3 persen per tahun. Pada awal Pelita VI (1994) produksi jagung meningkat 1-6 persen, sedangkan permintaan mencapai angka 20 persen. Artinya, Indonesia masih defisit sekitar 14 persen. Pemerintah telah menargetkan swasembada jagung untuk dicapai pada akhir Pelita VI. Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah melakukan beberapa upaya, diantarannya, melakukan kerjasama

Transcript of Agribisnis Jagung Hibrida

Page 1: Agribisnis Jagung Hibrida

Agribisnis Jagung Hibrida

Di Indonesia Pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk mendukung industri, namun sampai saat ini kita masih mengimpor beberapa komoditas pertanian yang diperlukan oleh industri pakan ternak dan makanan, seperti kedele, kacang tanah , jagung,  dan beberapa komoditas pertanian lainnya.  Dalam tulisan ini saya batasi pada soal kondisi produksi jagung dalam negeri , karena merupakan salah satu komoditas strategis yang perlu disentuh oleh kebijakan pembangunan pertanian.  Sehingga dalam memenuhi kebutuhan komoditas ini, kita  tidak bergantung lagi pada  negara eksportir  yang hanya akan  menguras devisa negara saja. Data tahun 1994 Indone-sia masih mengimpor jagung sekitar 1,1 juta ton dengan nilai 153,5 juta dollar AS, dan tahun 1996 angka impor itu naik menjadi 1,5 juta ton. Khusus untuk industri pakan ternak Jawa Barat saja,    harus diimpor 700.000 ton jagung per tahun untuk memenuhi kebutuhannya. Meskipun daerah ini memiliki areal 172.969 hektar yang potensial untuk ditanami jagung, namun baru sekitar 34.673 hektar  yang dimanfaatkan. Sehingga kegiatan impor jagung masih tetap berlangsung sampai saat ini. Sementara persediaan jagung dunia akan merosot, karena selain produksi negara pengekspor menurun, juga mundurnya Cina dari kelompok negara pengekspor jagung dunia. Kondisi ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga  harus berupaya untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri.

Secara statistik, sejak Pelita I- V, produksi jagung meningkat rata-rata 8,12 persen, areal panen meningkat 1,24 persen, dan produktivitas meningkat sekitar 5,3 persen per tahun.  Pada awal Pelita VI (1994) produksi jagung meningkat 1-6 persen, sedangkan permintaan mencapai angka 20 persen. Artinya, Indonesia masih defisit sekitar 14 persen.

Pemerintah telah menargetkan swasembada jagung untuk dicapai pada akhir Pelita VI. Untuk merealisasikan  hal tersebut, pemerintah melakukan beberapa upaya, diantarannya, melakukan kerjasama dengan pihak swasta yang bergerak di bidang industri pakan ternak, makanan yang menggunakan jagung sebagai bahan bakunya dan penyedia benih jagung, serta petani sebagai produsen.

Menurut Sekretaris Badan Pengendali Bimas (BP Bimas), Syamsuddin Abbas, pada tahun 1996 sudah tercatat tujuh perusahaan yang bersedia melakukan kemitraan, yaitu PT  Metro Inti Sejahtera, Corgill, Subur, Satwa Boga Sampurna Feedmill, Sinta Prima, Chor-oen Phokphand, dan Darmala Indofood.

Pengembangan tanaman jagung akan dikembangkan di daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah sentra produksi jagung dengan sistem rayonisasi, yang terdiri dari enam rayon, yakni: Rayon Sumatera Utara yang berpusat di Medan dengan luas lahan 110 ribu ha; Rayon Sumatera Selatan yang berada di Lampung dengan luas lahan 235,5 ribu ha;  Rayon Jawa Barat, Jawa Tengah yang berpusat di Semarang dengan luas lahan 757,2 ribu ha;  Rayon Jawa Timur dan Nusa Teng-gara yang berpusat di Surabaya dengan luas lahan 1.136,1 ribu ha; dan Rayon

Page 2: Agribisnis Jagung Hibrida

Sulawesi yang berpusat di Ujung Pandang dengan luas lahan 291,5 ribu ha. Namun hal itu, sampai saat ini belum memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan

Potensi Pasar

Melihat perkembangan industri pakan ternak dalam negeri sejak tahun 1973, industri pakan ternak  yang  berjumlah 30 perusahaan baru mencapai pro-duksi ril 34.050 ton per tahun pakan unggas, dan untuk itu dapat diserap tenaga kerja yang berjumlah 1.772 orang. Proses pengolahannya masih dilakukan secara manual. Dua belas tahun kemudian (1985) jumlah perusahaan tersebut meningkat menjadi 97 perusahaan, dan telah melakukan mekanisasi dalam memproses pro-duknya,  dengan kapasitas terpasang 3.060.468 ton per tahun, produksi ril 1.862.324 ton per tahun, dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 8.573 orang, serta investasi yang tertanam sekitar Rp.47 milyar (Dirjen Peternakan, 1988). Pada tahun 1994 jumlah itu bertambah menjadi 162 perusahaan dengan kapasitas terpasang 5.681.989 ton per tahun dengan menyerap tenaga kerja 17.061 orang, serta investasi yang tertanam mancapai angka Rp.460 milyar (Perindustrian, 1994). Kalau kita membandingkan angka produksi ril dengan angka produktivitas terpasang masih defisit sekitar 1,1 juta ton bahan baku. Kondisi itu menunjukkan betapa besarnya potensi pasar dalam negeri untuk komoditas jagung.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pakan ternak terse-but, pengusaha mengimpor bahan baku dari negara lain, seperti Amerika Seri-kat dan Cina. Alasannya, produk jagung dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan. Selain itu kualitas jagung impor lebih baik dan supply side and demand side lebih terjamin. Sedangkan penye-diaan jagung dalam negeri hanya tersedia pada musim tertentu saja, di samping adanya kompetisi antar pengguna untuk pangan berupa jagung muda dan beras jagung.

Rencana pada musim tanam (MT) tahun 1996 ini kerjasama segitiga (swasta, pemerintah dan petani) tersebut, akan menggarap lahan seluas 338.000 hektare. Lahan tersebut akan ditanami jagung hibrida 270.000 ha, sedangkan sisanya ditanami jagung komposit. Pengembangan sebesar itu diharapkan mampu menghasilkan 1,5 juta ton jagung. Proyeksi itu didasarkan pada tingkat produktivitas per ha jagung hibrida, yaitu  5 ton per ha (walaupun bisa sampai 7-10 ton per ha), dan 3 ton jagung komposit per ha. Dan pada akhir Pelita VI (1998) luas lahan yang akan ditanami jagung baik jagung hibri-da maupun jagung komposit diperkirakan mencapai 1,1 juta ha dengan tingkat produk 4,5 ton per ha. Kalau produksi jagung tahun lalu sebesar 6,62 juta ton, dan rencana itu tanpa menghadapi kendala yang berarti, maka produksi jagung Indonesia akan menca-pai 11,57 juta ton. Angka ini sangat berarti bagi pembangunan, karena dapat menghemat devisa negara sebesar 153,5 juta dollar AS per tahun.

Pertanyaan kemudian adalah bagaimana kesejahteraan petani sebagai produsen? Pertanyaan ini dilatar belakangi oleh pengala-man selama ini, yaitu swasembada beras telah dicapai sejak tahun 1984, namun kesejahteraan petani masih berjalan di tempat.

Page 3: Agribisnis Jagung Hibrida

Politik Pertanian

Menurut Mubiyarto (1983), pada dasarnya terdapat dua model dalam menentukan politik pertanian. Pertama, model yang bersifat anali-sis teknik dan ekonomi. Dalam analisis ini perhatian yang diber-ikan hanya menyangkut hasil dan biaya dari kegiatan pembangunan atau investasi. Kedua, model yang bersifat kelembagaan. Artinya poli-tik pertanian yang menyangkut kerangka kelembagaan, di mana aloka-si sumberdaya diusahakan menjadi orientasi kegiatan pembangunan atau investasi.

Dalam pengertian yang pertama, kegiatan investasi pembangunan pertanian cukup dilihat dengan membandingkan besar biaya yang diinvestasikan dengan hasil produksi yang diperoleh. Dalam pen-gertian ini tidak dipersoalkan siapa kelembagaan masyarakat yang diberi kegiatan investasi tersebut, dan bagaimana hasil kegiatannya dapat dinikmati atau didistribusikan kepada masyarakat. Sehingga paham politik pertanian ini lebih terkonsentrasi pada persoalan produksi secara nasional.

Untuk pengertian yang kedua, kegiatan investasi pembangunan pertanian akan memperhatikan kelembagaan masyarakat yang akan melaksanakan kegiatan tersebut. Aspek kelembagaan masyarakat akan menjadi variabel yang menentukan dalam pelaksanaan kegiatan. Demikian juga aspek keuntungan dari kegiatan investasi, akan memperhatikan manfaat untuk masyarakat luas. Keuntungan investasi dirancang untuk memberi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, terutama petani kecil. Sehingga orientasi kebijaksanaan pembangu-nan pertanian yang dikelola oleh pemerintah selalu berorientasi pada masyarakat petani secara luas.

Akan tetapi dalam implementasinya, pemahaman politik pertanian yang berorientasi pada kelembagaan relatif lebih sulit, karena terbatasnya biaya yang dimilki pemerintah. Untuk itu pemerintah akan melibatkan pihak swasta dalam kegiatan investasi. Investasi swasta tentunya disertai dengan pertimbangan return on investment yang menguntungkan. Konsekwensinya pihak swasta tersebut biasanya kurang memperhatikan pelibatan masyarakat secara luas.  Apalagi hanya beberapa pihak swasta tertentu saja yang diberi hak untuk mengelola aktivitas  usaha bagi komoditas pertanian terten-tu. Praktek seperti ini seringkali ditemukan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Untuk mewujudkan proyek tersebut, ada beberapa hal yang perlu memperoleh perhatian, terutama mengenai politik pangan pemerintah.  Hal ini perlu dimengerti karena selama ini komoditas pertanian seperti jagung dianggap kurang strategis dalam kancah politik dan ekonomi.  Sehingga terdapat pembedaan oleh pemerintah dalam memperlakukannya  jika dibandingkan dengan beras. Misalnya, beras masih memperoleh subsidi, sedangkan jagung tidak. Politik tata niaga komoditas pertanian, terutama yang masih diimpor (jagung, kedele dan kacang tanah) perlu direformasi, dan hal ini suatu keniscayaan yang harus dilakukan untuk merealisasikan swasembada jagung dan peningkatan kesejahteraan petani.

Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), pada tahun 1995 terdapat 88 negara di dunia yang mengalami kekurangan pan-gan. Beberapa waktu lalu media masa menulis laporan FAO, bahwa di Sulawesi Selatan terdapat beberapa daerah sentra produksi beras, penduduknya mengalami rawan pangan. Dapat dibayangkan kondisi daerah lain yang tidak termasuk daerah

Page 4: Agribisnis Jagung Hibrida

sentra produksi beras, karena daerah sentra produksi beras saja mengalami rawan pangan. Hal ini sama artinya bahwa “perebutan” bahan pangan telah terjadi. Inilah yang membuat para pengamat pembangunan pertanian gelisah, karena kita masih mengimpor beberapa jenis komoditas pertanian. Kondisi tersebut, menunjukkan betapa pentingnya atau mendesaknya reorientasi politik pertanian, karena tidak cukup dengan hanya melakukan efisiensi kalau ingin berkompetisi di pasar global.

Pengertian efisiensi bagi petani sangat sederhana. Baginya, panen berhasil sudah cukup dianggap efisiensi. Tapi bagi seorang pengu-saha yang terikat dengan berbagai kriteria investasi, struktur biaya yang kaku dengan kewajiban finansial terhadap dunia perban-kan, efisiensi hanya dapat dilakukan terhadap biaya-biaya opera-sional. Bahkan jalan termudah untuk mewujudkan efisiensi agar tetap dapat bersaing di pasaran adalah, dengan menekan harga pembelian dari produsen (petani), sehingga harga pokok tetap pada batas yang mampu bersaing.

Hal itu merupakan salah satu kecemasan yang dihadapi petani, terutama  dalam menghadapi era pasar global. Bila hal ini menjadi kenya-taan, maka yang terjadi bukan pemerataan tapi kesenjangan yang makin melebar. Beberapa kenyataan memang berpotensi ke arah itu, seperti tercermin dari Indeks Gini Ratio yang makin mengecil (BPS, 1992)

Alternatif  Solusi

Untuk mengantisipasi terjadinya kecemasan petani dan kesenjangan, perlu diciptakan hubungan kerjasama antara pihak industri pakan ternak dan penyedia benih jagung dengan petani yang saling men-guntungkan. Caranya, dalam merumuskan kriteria standar kualitas produk yang bisa dibeli oleh pihak industri harus dilakukan secara transparan dengan melibatkan petani (kelompok tani/P3A). Pelibatan kelompok tani akan dapat mengakomodir aspirasi mereka, sehingga timbul sense of belonging terhadap kriteria tersebut, dan selanjutnya mereka akan berusaha untuk memenuhinya.

Sebagaimana diketahui, bahwa tingkat penyerapan petani  terhadap teknologi yang diintrodusir  masih rendah, karena pikiran mereka masih terpola dengan teknologi yang mereka miliki. Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian  diperlukan pembinaan dari pengusaha (mitranya). Dalam hal ini, materi pembi-naan yang diharapkan, antar lain, sistem pembudidayaan tanaman jagung (hibrida dan kompisit) dan penanganan pasca panen, sehingga produknya memenuhi standar kualitas yang diharapkan pihak indus-tri. Tidak kalah penting adalah input yang berupa modal, yang diperlukan untuk melakukan usaha taninya.