Agama Dan Masyarakat Kontemporer

5
AGAMA DAN MASYARAKAT KONTEMPORER Oleh: Ahmad Fadhil Sebelum Revolusi Islam, Iran adalah sebuah negara sekuler. Shah Iran berusaha meruntuhkan hauzah (pusat pembelajaran agama Islam), bahkan melarang ulama memakai sorban. Para pelajar agama diancam hingga mereka terpaksa belajar secara sembunyi-sembunyi. Kemudian, ulama bersama masyarakat menolak kondisi ini. Perjuangan mereka berhasil mengubah situasi. Pengalaman ini mengindikasikan bahwa jika masyarakat benar-benar ingin belajar agama dan mengamalkannya, maka mereka tidak akan sulit untuk sedikit demi sedikit membangun sistem yang Islami. Itulah yang terjadi di sana, di Iran, sekarang, 1400 tahun lebih setelah datangnya Islam. Ali Mishbah al-Yazdi, putra Muhammad Taqi Mishbah al-Yazdi, seorang pemikir muslim muda di Iran, dalam pertemuan dengan rombongan Short Course 15 dosen dari Indonesia, di kantornya di Qum, mengatakan bahwa di dunia pada saat ini Islam adalah agama yang paling pesat perkembangannya di dunia. Pertanyaan yang muncul, bagaimana agama Islam dapat mengakomodasi dirinya di dunia dan masyarakat modern? Bukankah pada masa Rasulullah saw, segala sesuatu berlangsung dalam bentuk yang sangat sederhana? Ajib, bagaimana Islam dapat bertahan di dunia yang sudah serba kompleks seperti sekarang ini? Pertanyaan ini sesungguhnya tertuju pada semua agama, dan bukannya untuk Islam saja. Ada berbagai jawaban seiring karakter masing-masing agama. Ada agama yang menolak kehidupan duniawi dengan keyakinan kehidupan duniawi adalah kejahatan. Ada agama yang menyatakan manusia setelah mati akan kembali ke dunia untuk lebih menderita sehingga usaha manusia selama hidupnya adalah untuk tidak kembali ke dunia. Ada agama yang menolak akal dan ilmu pengetahuan, dengan kitab suci yang menyatakan adanya oposisi atau rivalitas antara Tuhan dengan manusia. Ajaran-ajaran ini sulit dipahami akal, tapi tetap harus dipercayai. Jargonnya adalah, “Percaya saja, maka engkau akan mengetahui.” Itulah sikap fideism.

description

Teks agama terbatas, peristiwa dalam kehidupan manusia tidak terbatas. Bagaimana agama mengatasinya? Apakah agama akan ketinggalan zaman?

Transcript of Agama Dan Masyarakat Kontemporer

Page 1: Agama Dan Masyarakat Kontemporer

AGAMA DAN MASYARAKAT KONTEMPORER Oleh: Ahmad Fadhil

Sebelum Revolusi Islam, Iran adalah sebuah negara sekuler. Shah Iran berusaha meruntuhkan hauzah (pusat pembelajaran agama Islam), bahkan melarang ulama memakai sorban. Para pelajar agama diancam hingga mereka terpaksa belajar secara sembunyi-sembunyi. Kemudian, ulama bersama masyarakat menolak kondisi ini. Perjuangan mereka berhasil mengubah situasi. Pengalaman ini mengindikasikan bahwa jika masyarakat benar-benar ingin belajar agama dan mengamalkannya, maka mereka tidak akan sulit untuk sedikit demi sedikit membangun sistem yang Islami. Itulah yang terjadi di sana, di Iran, sekarang, 1400 tahun lebih setelah datangnya Islam.

Ali Mishbah al-Yazdi, putra Muhammad Taqi Mishbah al-Yazdi, seorang pemikir muslim muda di Iran, dalam pertemuan dengan rombongan Short Course 15 dosen dari Indonesia, di kantornya di Qum, mengatakan bahwa di dunia pada saat ini Islam adalah agama yang paling pesat perkembangannya di dunia. Pertanyaan yang muncul, bagaimana agama Islam dapat mengakomodasi dirinya di dunia dan masyarakat modern? Bukankah pada masa Rasulullah saw, segala sesuatu berlangsung dalam bentuk yang sangat sederhana? Ajib, bagaimana Islam dapat bertahan di dunia yang sudah serba kompleks seperti sekarang ini? Pertanyaan ini sesungguhnya tertuju pada semua agama, dan bukannya untuk Islam saja.

Ada berbagai jawaban seiring karakter masing-masing agama. Ada agama yang menolak kehidupan duniawi dengan keyakinan kehidupan duniawi adalah kejahatan. Ada agama yang menyatakan manusia setelah mati akan kembali ke dunia untuk lebih menderita sehingga usaha manusia selama hidupnya adalah untuk tidak kembali ke dunia. Ada agama yang menolak akal dan ilmu pengetahuan, dengan kitab suci yang menyatakan adanya oposisi atau rivalitas antara Tuhan dengan manusia. Ajaran-ajaran ini sulit dipahami akal, tapi tetap harus dipercayai. Jargonnya adalah, “Percaya saja, maka engkau akan mengetahui.” Itulah sikap fideism.

Dalam menjawab pertanyaan bagaimana menyikapi ajaran agama yang “tidak mengurusi masyarakat” atau “tertolak akal”, para pemikir berbeda pendapat. Sebagian bilang, “Kita tinggalkan agama yang seperti itu. Jika fakta sains bertentangan dengan ajaran kitab suci, maka kitab suci itu yang harus mengalah dan menerima apa yang dinyatakan ilmu. Jika tidak, kami tolak ajaran kitab suci itu, karena kami tahu bahwa fakta ilmu ini benar.” Bertentangan dengan pendapat ini, ada yang mengatakan, “Kita harus bertahan dengan agama

Page 2: Agama Dan Masyarakat Kontemporer

dan menolak ilmu. Karena kita mempercayai kitab suci, kita harus menolak apa pun yang dikatakan oleh para ilmuwan.”

Di antara dua kutub ekstrem ini ada orang yang berusaha mengkombinasikan keduanya. Ada berbagai usaha dalam bidang ini. Salah satunya adalah aliran Religious Liberalisme dengan tokohnya Schleirmacher, seorang pendeta yang ingin menafsir agama dalam bentuk yang dapat diterima orang yang tidak beragama. Menurutnya, agama yang diceramahkan oleh para ahli agama tidaklah penting. Yang penting adalah perasaanmu terhadap agama. Dia membagi antara keberagamaan menjadi core (inti) dan shelf (cangkang). Inti keberagamaan adalah perasaan di dalam dirimu tentang Kekuatan Yang Absolut. Jika seseorang sudah memiliki rasa ini, maka ia sudah beragama, meskipun tidak pernah datang ke rumah ibadah ....

Feurbach mengembangkan konsep di atas. Ia mengatakan, "Aku sudah relijius karena aku sudah merasakan kebutuhan pada Kekuatan Yang Absolut itu, yaitu alam."

Usaha lain: jika ada ajaran kitab suci yang tidak sesuai dengan sains, maka ajaran itu harus diinterpretasi. Ada beberapa model untuk upaya ini. Pertama, menyatakan bahwa bahasa agama adalah simbolik. Jika kitab suci mengatakan, "Tuhan mencipta Adam dari tanah," ini tidak berarti Tuhan benar-benar mencipta Adam dari tanah, tapi harus dimaknai secara simbolik, yaitu manusia harus rendah hati. Jika kitab suci mengatakan, "Pendosa akan masuk neraka," ini tidak berarti ada suatu tempat yang bernama neraka. Neraka seperti itu tidak ada. Yang hendak dikatakan oleh kitab suci adalah dosa itu buruk, maka janganlah berdosa. Bahasa ktab suci adalah bahasa puisi.

Kedua, menyatakan bahwa sains adalah basis. Agama harus terus diinterpretasi agar sesuai dengan sain. Ketiga, membagi wilayah agama dengan sain. Ada urusan sosial atau publik dan ada urusan individual atau privat seperti salat. Agama hanya mengatur urusan privat. Saat orang punya urusan dengan Tuhan, seperti saat mereka sedang sedih, ingin ketenangan, ingin melakukan perbuatan yang dibalas di alam lain, maka ia boleh meminta pendapat agama. Tapi begitu ia keluar dari wilayah privasinya dan ingin berhubungan dengan sesama manusia, bahkan keluarganya sekalipun, maka tidak ada urusan bagi agama. Ini adalah urusan sain. Ia harus bertanya kepada sain bagaimana cara mendidik anak, bukan kepada agama. Inilah sekularisme, yaitu privatisasi agama dan memberikan power untuk mengatur masyarakat dan urusan sehari-hari kepada sain.

Ali Mishbah mengatakan bahwa dengan memperhatikan karakter beberapa agama selain Islam, boleh jadi solusi ini tepat bagi mereka. Bagaimana dengan Islam?

Page 3: Agama Dan Masyarakat Kontemporer

Elemen negatif dalam agama seperti yang disinggung di atas, yaitu “tertolak akal” dan “tidak mengurusi masyarakat”, dibalik di dalam Islam. Di setiap halaman al-Quran ada arahan bagi manusia untuk belajar dan mencari pengetahuan. Beberapa karakter Islam yang ada di dalam riwayat tidak akan ditemukan di dalam tradisi lain. Pertama, Islam punya banyak ajaran untuk mengatur kehidupan sosial, ekonomi, jihad, pidana bagi pelanggar hukum, politik, dsb.

Jika ada agama yang ajarannya terfokus hanya pada dimensi cinta, maka ajaran Islam multidimensi. Islam mengajarkan cinta, tapi tidak mengabaikan adanya orang-orang yang melanggar hukum, keinginan Tuhan, dan perbuatan-perbuatan yang harus dihukum. Ini sesuai dengan tendensi manusia.

Sayang sekali, banyak pemikir muslim saat berbicara tentang agama, sains, dan sosial terpengaruh oleh solusi para pemikir agama lain bagi masalah agama mereka. Ada pemikir muslim yang menawarkan Liberalisme Relijius. Ada yang menyatakan bahasa al-Quran adalah bahasa simbolik, lalu mereinterpretasi agama Islam agar sesuai dengan sains. Ada yang menganjurkan Sekularisme dan dunia Islam harus mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Barat. Mereka mengajak masyarakat untuk tidak menyertakan agama dalam mengatur politik, ekonomi, hukum ... karena pengaturan semua bidang ini harus diserahkan kepada sains modern.

Mentalitas ini adalah taklid buta, tidak kritis dalam memahami karakter agama Islam yang berbeda dengan agama-agama lain. Mereka terjebak oleh pola berpikir, “Aneh sekali, bagaimana ajaran hukum bagi orang yang bersalah pada 1400 tahun lalu masih harus diterapkan pada zaman sekarang? Bukankah realitas berubah dengan sangat cepat dan banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh agama?”

Pola pikir ini keliru, sebab tentu saja kebutuhan manusia berkembang, tapi ada hal-hal yang stabil pada manusia yang tidak berubah. Manusia pada zaman Nabi saw butuh makanan, kita juga. Kita semua butuh kenyamanan, keamanan, pernikahan, spiritualitas, dan ibadah. Kebutuhan ini tidak dapat dihapus dari diri manusia. Orang zaman dulu dan sekarang sama-sama butuh akan stabilitas masyarakat. Juga butuh akan adanya hukuman bagi para pelanggar hukum. Ini tidak akan berubah.

Agama Islam memang tidak menjelaskan cara pemenuhan kebutuhan ini dalam penjelasan secara mendetail, tapi secara umum saja. Maksudnya adalah agar manusia dapat beradaptasi dengan situasi. Di sinilah letak peran ulama. Setelah mereka mempelajari teks-teks agama dan memahami realitas dunia, mereka harus memiliki rencana terhadap masyarakat. Setelah itu, mereka harus berani, percaya kepada misi mereka, bermotif kuat untuk menerapkan ajaran

Page 4: Agama Dan Masyarakat Kontemporer

Islam yang mereka pahami. Itulah yang sudah dilakukan ulama-ulama Iran menjelang dan pasca Revolusi. Mereka menjadi pembimbing bagi masyarakat untuk setia pada ajaran Islam. Mereka memberi teladan dan menjadi simbol dan model Islam dalam perilaku dalam berbagai aspek.

Bagaimana dengan kita di sini, di Indonesia?

(Dosen Filsafat Islam Di Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah IAIN “SMH” Banten)