Afif muzaki 2013110023 ekos a proposal
Transcript of Afif muzaki 2013110023 ekos a proposal
PROPOSAL
“IMPLEMENTASI PRINSIP KEHATI-HATIAN DI LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH DALAM KASUS SENGKETA GADAI EMAS
PADA BANK BRI SYARI’AH”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Pada Mata Kuliah Metodologi Penelitian
Dosen Pengampu : Andi Eswoyo, S.Ag
Oleh:
Afif Muzaki
2013110023
Semester/Kelas : V/A
PRODI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Republik Indonesia sebagai salah satu negara di dunia, memiliki sumber daya
manusia yang sebagian besar beragama Islam, dalam melakukan kegiatan
kesehariannya sudah seyogyanyalah menggunakan syariat Islam sebagai landasan
dalam rangka memenuhi kesejahteraan bersama baik bagi diri sendiri dan orang lain
sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dan
penjelasannya dimana seluruh kegiatan tersebut nantinya harus dipertanggung
jawabkan kepada Allah SWT di akhirat kelak.
Perkembangan dunia bisnis yang begitu cepat dan dinamis pada saat ini,
tentunya harus di imbangi dengan aturan-aturan atau norma-norma yang sesuai
dengan syariat islam, salah satunya dalam melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan perbankan, kita sebaiknya terlebih dahulu mengenal Bank-bank Islam yang
ada di Indonesia. Bank Islam atau Bank syariah yang biasa disebut dengan Bank
tanpa Bunga, adalah lembaga keuangan atau perbankan yang operasional dan
produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW.
Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.1
Secara garis besar, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan
menyebutkan tentang kegiatan usaha perbankan secara syariah dalam pasal 1 angka
13 antara lain:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil ( mudharabah ) ;
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal ( musyarakah ) ;
c. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan ( murabahah ) ;
d. Pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (
ijarah ) ;
e. Pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
oleh pihak lain ( ijarah wa iqtina ).
1 Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah ,Yogyakarta: Ekonisia, 2004, hal. 1
1
Dimana selain kegiatan tersebut, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 membuka
kesempatan pada bank untuk melakukan kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah.
Di dalam praktek perbankan khususnya pada Bank BRI Syariah, kegiatan
usaha dibidang syariah antara lain adalah Giro Wadi’ah, Tabungan Mudharabah,
Deposito Mudharabah, Wakalah ( Transfer, kliring ) dan pembiayaan.
Produk pembiayaan yang dilaksanakan pada Bank BRI Syariah meliputi :
Murabahah ( jual beli barang jadi bayar tangguh ), Istishna ( jual beli barang pesanan
bayar tangguh ), Ijarah ( sewa atau leasing ), Mudharabah ( bagi hasil tanpa sharing
dana nasabah ), Musyarakah ( bagi hasil dengan sharing dana nasabah ) dan Qardh
( pinjam kebajikan atau tanpa ada lebihan atas pinjaman ).
Meski praktek kegiatan Bank BRI Syariah sesuai dengan prinsip syariat islam,
namun masih saja tidak terlepas dengan konflik-konflik yang ada. Bank Indonesia
telah memanggil dua bank syariah terkait persoalan gadai emas. Salah satunya adalah
BRI Syariah. Dari kasus yang ada, fakta menunjukan bahwa perlindungan konsumen
di perbankan nasional masih rendah. Karena ada hal-hal yang tidak dituliskan dalam
kontrak namun berpengaruh signifikan. Jadi bank itu terkadang dengan pola iklan dan
lain-lain menghanyutkan juga kepada nasabah. Yang sebetulnya gak dimasukkan
dalam kontraknya secara tertulis. (Misalnya) Gadai sebenarnya gak ada (kontrak)
bertahun-tahun. Secara spesifik, untuk kasus antara Butet Kartaradjasa dengan BRI
Syariah, bank sentral telah melihat kontrak yang ada memang berlaku empat bulan.
Namun, ketika jatuh tempo, Butet tidak melunasi dan tidak membayar biaya
penitipan. Direksi akhirnya memutuskan melakukan penghapusan piutang karena ini
sudah mengganggu dan bisa masuk NPI. Untuk kasus tersebut, awalnya adalah
pembelian emas dengan akad Qardh oleh Butet yang akhirnya diagunkan. Hal ini
terjadi akibat kekosongan aturan qardh. Sepertinya bisa diterapkan (waktu itu) karena
adanya kekosongan aturan qardh, Kendati tidak menemukan penyimpangan dalan
kontraknya, otoritas perbankan mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap unsur
kehati-hatian dari kedua bank tersebut.
Dari uraian permasalahan diatas, terlihat jelas akan kurangnya perlindungan
terhadap konsumen di Indonesia. Termuat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
19992 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yakni Undang-undang Nomor 21
2
Tahun 2008 tentang perbankan syariah, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen.2 Dan juga kurangnya etika di dalam bisnis, karena tidak
memberikan kenyamanan dan keamanan terhadap konsumennya, kita sebagai
pengusaha atau pembisnis sudah sepatutnya memegang erat norma-norma atau nilai-
nilai dalam melakukan kegiatan bisnis, sehingga orang yang kita ajak kerjasam di
bisnis kitapun tidak merasa kecewa, karena kesuksesan bisnis kita hanya apabila kita
bisa dipercaya oleh orang lain.3 Adapun pendapat lain yang menyimpulkan bahwa
suatu tindakan dianggap beretika apabila orang lain tidak keberatan jika kita
melakukan hal itu terhadap orang lain.4
Berdasarkan hal-hal diatas maka penulis ingin membahas mengenai tanggung
jawab bank syariah terhadap konsumen dengan judul : “IMPLEMENTASI
PRINSIP KEHATI-HATIAN DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DALAM
KASUS SENGKETA GADAI EMAS PADA BANK BRI SYARI’AH”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan membahas permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsep prinsip kehati-hatian di Lembaga Keuanagan Syari’ah ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan dan tinjauan akad pembiayaan pada Bank BRI
Syari’ah ?
3. Bagaimanakah implementasi prinsip kehati-hatian di Bank BRI Syari’ah terkait
kasus sengketa gadai emas dan perlindungan konsumen ?
C. Tujuan Penelitian2 Nurkhayati, Perlindungan Hak Nasabah Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil Di Bank Syariah, STAIN Pekalongan, 2010, hal. 2.3Navis Illiyana Azmi, Etika Ekonomi Islam Dan Delevansinya Dalam Ekonomo Bisnis, STAIN Pekalongan, 2010.4 Agus Arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis, jakarta: Rajawalipers, 2011, hal. 13.
3
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian
ini bertujuan :
1. Untuk memahami konsep prinsip kehati-hatian dan peraturan perundangan
lainnya yang menjadi landasan operasional dari Lembaga Keuangan Syari’ah
2. Untuk memahami pelaksanaan dan tinjauan akad yang ada pada Bank BRI
Syari’ah
3. Untuk memahami implementasi prinsip kehati-hatian di Bank BRI Syari’ah
terkait kasus sengketa gadai emas dan perlindungan terhadap konsumen.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan praktis yaitu :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya
wawasan ilmiah baik secara umum maupun secara khusus, menumbuhkan sikap
kritis terhadap konsep prinsip kehati-hatian di Lembaga Keuangan Syari’ah yang
ada di Indonesia, memperkaya khazanah ruang lingkup pengetahuan tentang jual
beli gadai emas di Lembaga Keuangan Syari’ah, menambah pengetahuan
khususnya tentang “Implementasi Prinsip Kehati-Hatian Di Lembaga Keuangan
Syariah Dalam Kasus Sengketa Gadai Emas Pada Bank BRI Syari’ah”, dan
diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan tentang Implementasi Prinsip
Kehati-hatian dalam kasus jual beli gadai emas yang ada di Indonesia khususnya
pada Lembaga Keuangan Syari’ah.
2. Secara praktis, dengan mengetahui prinsip kehati-hatian, khususnya dalam kasus
sengketa jual beli gadai emas , maka diharapkan kepada masyarakat Indonesia
yang mayoritas Muslim dapat menjalankan usaha jual beli gadai emas yang
Islami, salah satunya dengan memahami konsep prinsip kehati-hatian di Lembaga
Keuangan Syari’ah, dan studi ini diharapkan juga dapat berguna dalam rangka
penyusunan kodifikasi hukum dan Undang-Undang mengenai prinsip kehati-
hatian yang ada di Indonesia, khususnya dalam bidang jual beli gadai emas di
Lembaga Keuangan Syari’ah.
E. Telaah pustaka
4
Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi, maupun data yang ada
dan penulusuran pendahuluan yang dilakukan pada kepustakaan khususnya Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Pekalongan , terhadap judul
“IMPLEMENTASI PRINSIP KEHATI-HATIAN DI LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH DALAM KASUS SENGKETA GADAI EMAS PADA BANK BRI
SYARI’AH” belum ada dilakukan penelitian sebelumnya, oleh karena itu proposal
penelitian yang diajukan ini adalah asli dan aktual, maka dengan demikian penelitian
ini dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah.
Adapun beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan mengenai masalah
prinsip kehati-hatian di Lembaga Keuangan Syari’ah yang pernah dilakukan oleh
beberapa peneliti, diantaranya yaitu :
Indah Fajarwati (2011) dalam penelitian yang berjudul “Penerapan Prinsip
Kehati-hatian (Prudential Banking) Terhadap Pelaksanaan Pembiayaan Ijarah Di bank
syariah X” menjelaskan bahwa setiap fasilitas pembiayaan pada bank syari’ah harus
selalu berpedoman pada prinsip kehati-hatian begitu juga dalam pembiayaan ijarah.
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas adalah penerapan prinsip kehati-
hatian terhadap pelaksanaan pembiayaan ijarah di Bank syari’ah X dan akibat hukum
apabila terjadi pelanggaran terhadap prinsip prudential banking dalam pelaksanaan
pembiayaan ijarah di Bank Syari’ah X, tesis ini menggunakan metode penelitian
dengan metode pendekatan yuridis normatif, kesimpulannya bahwa penerapan prinsip
kehati-hatian ini telah diterapkan secara baik dan benar, dimana penerapannya dapat
dilihat dalam proses pembiayaan ijarah, serta pelanggaran yang dilakukan oleh oknum
karyawan bagian pembiayaan di bank syari’ah dapat di kategorikan sebagai tindak
pidana dalam dunia perbankan, sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh nasabah
dapat dilakukan tindakan hukum.
Dwi Santi Wulandari (2009) dalam penelitian yang berjudul “Prinsip Kehati-
hatian Dalam Perjanjian Kredit Bank” menjelaskan penelitian ini merupakan studi
kasus dengan pendekatan yuridis empiris. Obyek penelitian adalah prinsip kehati-
hatian dalam perjanjian kredit BCA. Data dikumpulkan dengan wawancara dan
dokumentasi, dan dianalisis menggunakan analisis kualitatif.
5
Hasil penelitian adalah (1) pelaksanaan prinsip kehati-hatian yang
diaplikasikan dalam perjanjian kredit oleh Bank BCA Cabang Cilegon Propinsi
Banten mencakup (a) kewajiban penyusunan dan pelaksanaan perkreditan yang
diaplikasikan dengan ditetapkannya kebijakan tertulis mengenai kredit dan perjanjian
kredit, (b) Batas maksimum pemberian kredit yang diaplikasikan dengan adanya pasal
amount clause dalam perjanjian kredit, (c) penilaian kualitas aktiva yang
diaplikasikan dengan penilaian 5 C, pembentukan Satuan Kerja Penyelamatan Kredit,
dan adanya pasal dispute settlement clause , (d) sistem informasi debitur yang
diaplikasikan dengan kelengkapan identitas debitur dan adanya pasal representation
and waranties cluse, dan (e) penerapan prinsip mengenal nasabah yang diaplikasikan
dengan UKPN dan adanya pasal Bank BCA Cabang Cilegon Propinsi Banten dengan
pihak debitur dalam perjanjian kredit tertuang dalam pasal hak dan kewajiban bank.
Muhammad Ikhlas (2010) dalam penilitian yang berjudul “ Pelaksanaan
Penerapan Prinsip Kehati-hatian Perbankan Syari’ah (Prudential Banking) Dalam
Pemberian Pembiayaan” menjkelaskan bahwa penerapan prinsip kehati-hatian pada
Bank Syari’ah Mandiri cabang Padang terdapat pada rangkaian prosedur pemberian
pembiayaan itu sendiri yang menggunakan analisis 5.C (character, capacity,
collateral, capital, condition) dan prinsip syari’ah sesuai pasal 23 ayat (1) dan (2)
undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dalam pelaksanaan pemberian pembiayaan tidak
terdapat kendala yang terlalu berarti dalam hal penerapan prinsip kehati-hatian pada
BSM cabang padang ini, kendala tersebut hanya berupa penerapan sertifikasi
manajemen resiko yang baru sebatas level manajemen dan kepala cabang serta
masalah keterlambatan pembayaran angsuran pelunasan pembiayaan oleh nasabah
yang bersangkutan setelah jatuh tempo. Berdasarkan hasil penelitian penulis tersebut
dapat penulis simpulkan bahwa pelaksanaan pemberian pembiayaan pada Bank
Syari’ah Mandiri cabang padang dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku tanpa kendala yang terlalu berarti.
Dari beberapa penelitian diatas, dapat penulis pastikan bahwa tidak ada
satupun dari tulisan tersebut yang memefokuskan kajiannya terhadap “Implementasi
Prinsip Kehati-Hatian Di Lembaga Keuangan Syariah Dalam Kasus Sengketa Gadai
Emas Pada Bank BRI Syari’ah”, secara khusus, penulisan proposal ini didasarkan
6
pada ide, maupun gagasan dan pemikiran penulis secara pribadi, dimulai dari awal
hingga akhir penyelesaiannya. Ide penulis tumbuh berdasarkan permasalahan yang
timbul di Lembaga Keuangan Syari’ah. Kalau ada pendapat atau kutipan dalam
penulisan ini karena hal tersebut sangat dibutuhkan sebagai faktor pendukung dan
pelengkap untuk penyempurnaan penulisan proposal ini.
F. Kerangka Teori
Prinsip kehati-hatian (Prudential Priciple) adalah suatu asas atau prinsip yang
menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib
bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan
padanya. Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 10 tahun 1998 sebagai
perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, bahwa perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Dalam ketentuan ini, menunjukkan bahwa
prinsip kehati-hatian adalah asas terpenting yang wajib diterapkan atau
dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Hermansyah dalam bukunya Hukum Perbankan Nasional Indonesia
menyebutkan bahwa prinsip kehati-hatian mengaharuskan pihak bank untuk selalu
berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu
konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang
perbankan berdasarkan profesionalisme dan iktikad baik. Berkaitan dengan prinsip
kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 2 di atas, kita dapat
menemukan pasal lain di dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang
mempertegaskan kembali mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian itu
diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan
4, pasal tersebut mengemukakan bahwa :
(2) bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
(3) dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah dan
7
melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada
bank.
(4) untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah
yang dilakukan melalui bank.
Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apapun
juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-
hatian. Ini mengandung arti bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang
dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat
dipertanggung jawabkan secara hukum. Dalam bagian akhir ayat 2 disebutkan
bahwa bank wajib menjalankan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam
pengertian bahwa bank wajib untuk tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan
bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,
dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, sehingga dalam rangka
mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam
pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, bank wajib memiliki
dan menerapkan sistem pengawasan intern. Hal lain yang menarik dalam
ketentuan prinsip kehati-hatian bank ini adalah adanya kewajiban bagi bank
menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian
sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat 4 pasal 29 di atas.
Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian
nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan
usaha dan kondisi bank menjadi terbuka yang sekaligus menjamin adanya
transparasi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut dapat memuat keadaan
bank termasuk kecukupan modal dan kualitas aset. Apabila informasi tersebut
telah tersedia atau disediakan, maka bank dianggap telah melaksanakan ketentuan
ini. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara
penenpatan dana dari nasabah atau pembelian atau penjualan surat berharga untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya. Walau ketentuan ini terkesan
8
berlebihan, namun ketentuan ini menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki
tanggung jawab terhadap nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka
menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab jika sekali
nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada pihak
bank. Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya,
yang bukan hanya sekedar hubungan debitur-kreditur semata, melainkan lebih
dari itu sebagai hubungan kepercayaan. Dan juga penyediaan informasi tersebut
sebenarnya salah atu ketentuan yang wajib dijalankan oleh Bank Syari’ah dan
UUS sebagai bagian dari kewajiban pengelolaan resiko (penerapan prinsip kehati-
hatian), sebagaimana yang tercantum dalam pasal 38 ayat (1) UU No. 21 Tahun
2008.
Penerapan prinsip kehati-hatian bank syari’ah juga dapat dilihat pada pasal 35
ayat (2), (3), (4), dan ayat (5). Dalam ayat (2) disebutkan bahwa Bank Syari’ah
dan Unit Usaha Syari’ah (UUS) wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia
laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta
penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akutansi syari’ah yang berlaku
umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan
peraturan Bank Indonesia. Dan pada ayat selanjutnya, yakni ayat (3) dinyatakan
bahwa neraca dan perhitungan laba rugi tahunan harus di audit terlebih dahulu
oleh kantor akuntan publik. Setelah itu, neraca dan laporan laba rugi wajib
diumumkan kepada publik dalam waktu dan bentuk yang telah ditentukan oleh
Bank Indonesia. Namun ada pengecualian terhadap Bank Pembiayaan Rakyat
dalam hal kewajiban penyampaian laporan tersebut, Sebagaimana isi ayat (4) dan
(5) :
(4) bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat.
(5) bank syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada
publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Lebih lanjut tentang prinsip kehati-hatian, baik bank syari’ah maupun UUS
harus menempuh cara-cara yan tidak merugikan bank syari’ah ataupun UUS, dan
tidak merugikan nasabah dalam hal penyaluran dana pembiayaan dan ketika akan
melakukan usaha lainnya. Dalam hal tersebut, Bank Indonesia menetapkan
9
ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan prinsip
syari’ah (baca : kehati-hatian), pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga yang berbasis syari’ah, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan
oleh Bank Syari’ah dan UUS kepada nasabah penerima fasilitas ysng terkait,
termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syari’ah
dan UUS yang bersangkutan. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 37 ayat
(1) UU No. 21 Tahun 2008.
Dengan demikian, menurut penulis, tujuan diberlakukannya prinsip kehati-
hatian tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat.Dengan kata lain,
diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-
ragu menyimpan dananya di bank. Prinsip kehati-hatian harus dijalankan oleh
bank, bukan hanya karena dihubungkan dengan kewajiban agar bank tidak
merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank dan
masyarakat, melainkan juga berkaitan erat dengan sistem moneter yang
menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat (bukan semata-mata
nasabah penyimpan). Namun menurut pendapat penulis, penerapan prinsip
kehati-hatian belum optimal, karena akhir-akhir ini masyarakat dibuat resah
dengan berita kasus sengketa jual beli gadai emas antara butet kataraharja dengan
Bank BRI Syari’ah. Penulis menilai hal tersebut bisa terjadi karena kurang
maksimalnya penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank. Sehingga kepercayaan
masyarakat terhadap bank berkurang.5
Dasar Hukum Berlakunya Bank Syariah
Dasar hukum berlakunya Bank syariah di Indonesia terdapat pada :
1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Atas
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.6
5 file:///D:/Prinsip%20Kehati-hatian%20Bank%20Syar%E2%80%99iah%20_%20.%20%20WELCOME%20_%20SAEPUDIN%20ONLINE.htm6 http://hukumonline.com/
10
Peraturan Pelaksanaan Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
Dasar hukum berlakunya bank berdasarkan prinsip syariah diantaranya adalah :
1) Peraturan bank Indonesia No.10/16/PBI/2008, Tentang Perubahan Atas
Peraturan bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana serta
Pelayanan Jasa Bank Syariah.
2) Peraturan Bank Indonesia No.10/17/PBI/2008, Tentang Produk Bank Syariah
Dan Unit Usaha Syariah.
3) Peraturan Bank Indonesia No.10/23/PBI/2008,Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 Tentang Giro Wajib
Minimum Dalam rupiah Dan Valuta Asing bagi Bank Umum Yang
Melaksankan Kegiatan usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
4) Peratuaran Bank Indonesia No.10/27/PBI/2008, Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 Tentang Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank.
5) Perturan Bank Indonesia No.10/32/PBI/2008, Tentang Komite Perbankan
Syariah.
6) Surat Edaran bank Indonesia No.10/14/DPbs/2008, Tentang Pelakasanaan
Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan penyaluran Dana
Serta Pelayanan jasa bank Syariah.
7) Peraturan Bank Indonesia No.11/3/PBI/2009, Tentang Bank Umum Syariah.
8) Peraturan Bank Indonesia No.10/31/PBI/2008. Tentang Uji Kemampuan Dan
kepatutan (Fit And Proper Test) bank Syariah dan unit usaha Syariah.7
Kegiatan Usaha Bank BRI Syariah
Kegiatan usaha Bank Syariah, Bank Syariah terdiri atas bank Umum Syariah
dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Sebagaimna tertera dalam pasal 19 ayat
(1) Undang-undang Nomor 21 tahun Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
dimana kegiatan usaha bank umum syariah meliputi:
7 Tinjauan Mengenai Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Prudential Banking), Indah Fajarwati, FH UI, 2011.
11
a. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Yang dimaksud
dengan akad Wadi’ah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang
mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan
untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang;
b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Yang
dimaksud dengan “Akad Mudharabah” dalam menghimpun dana adalah akad
kerja sama antara pihak pertama (malik,shahibul mal, nasabah) sebagai
pemilik dana dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Bank Syariah) yang
bertindak sebagai pengelola dana dan membagi keuntungan usaha sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam akad;
c. Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad
musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Yang dimaksud dengan “Akad Mudharabah” dalam pembiayaan adalah akad
kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank
Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib,
atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan
usaha sesuai dengan kesepakatanyang dituangkan dalam akad, sedangkan
kerugian ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah kecuali jika pihak kedua yang
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.Yang
dimaksud dengan “Akad musyarakah” adalah Akad kerja sama di antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak
memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi
sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan
porsi dana masing-masing.
d. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad
istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Yang
dimaksud dengan “Akad murabahah” adalah Akad Pembiayaan suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya
dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. Yang dimaksud
12
dengan “Akad salam” adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan cara
pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan
syarat tertentu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “Akad istishna” adalah
Akad Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau
pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).
e. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah, menyalurkan Pembiayaan penyewaan
barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah
dan atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Pengalihan utang adalah
pemindahan utang nasabah dari bank atau lembaga keuangan konvensional ke
bank atau lembaga keuangan syariah, dimana dalam pengurusan untuk
memperoleh kepemilikan secara penuh atas aset, nasabah dapat melakukan akad
ijarah dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS), sesuai dengan Fatwa DSN-
MUI No.09/DSN-MUI/IV/2002. Dan apabila diperlukan, LKS dapat membantu
menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip Al-Qardh, dimana
yang dimaksud dengan Al- Qardh yaitu akad pinjaman dari LKS kepada nasabah
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang
diterimanya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah
disepakati. Besarnya imbalan jasa Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah
talangan yang diberikan LKS kepada nasabah. Dalam hal LKS memberikan
Qardh kepada nasabah, yang dengan Qardh tersebut nasabah melunasi kredit
(utang)-nya dan dengan demikian aset yang dibeli dengan aset yang dibeli dengan
kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh. Kemudian nasabah menjual
aset tersebut kepada LKS dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi
Qardh nya kepada LKS. LKS kemudian menyewakan aset yang telah menjadi
miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad Al-Ijarah al-Muntahiyah Bi al-
Tamlik.
f. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
13
Prinsip Syariah. Yang dimaksud dengan “Akad ijarah” adalah Akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari
suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Yang dimaksud dengan “Akad
ijarah muntahiya bittamlik” adalah Akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan
transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
g. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Yang dimaksud dengan “Akad
hawalah” adalah Akad pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada
pihak lain yang wajib menanggung atau membayar.
h. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah.
i. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak
ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah,
antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah,
atau hawalah. Yang dimaksud dengan “transaksi nyata” adalah transaksi yang
dilandasi dengan aset yang berwujud. Yang dimaksud dengan “Akad kafalah”
adalah Akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain,
di mana pemberi jaminan (kafil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali
utang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
j. Membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan atau Bank Indonesia;
k. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip
Syariah;
m. Menyediakan empat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah;
n. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
o. Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah. Yang
dimaksud dengan “Akad wakalah” adalah Akad pemberian kuasa kepada
penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa;
14
p. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
q. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di
bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan
“kegiatan lain” adalah antara lain, melakukan fungsi sosial dalam bentuk
menerima dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, serta dana kebajikan.
Konsep dan Aplikasi Gadai menurut Ekonomi Islam
Gadai termasuk salah satu mekanisme penting dalam utang piutang, dengan
kemudahan serta kelebihan tersendiri. Dalam Islam gadai secara eksplisit sudah
diatur sejak masa Nabi dengan istilah rahn, yang disebutkan baik dalam Al-
Qur’an20 maupun hadis Selaras dengan misi Islam sebagai agama rahmatan
lil-‘alamin, maka gadai pun memiliki aturan normatif yang dapat menjaga
keselarasannya dengan prinsip ajaran Islam dalam bermuamalah. Seiring dengan
perkembangan kondisi kehidupan, aplikasi gadai tidak terlepas dari interpretasi
teoritis maupun praktis dalam kehidupan umat Islam di berbaagai belahan dunia,
salah satunya adalah munculnya sebuah lembaga pegadaian. Secara umum
pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga
kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan
akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga
gadai. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1150, gadai adalah suatu
hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak.
Di mana barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh
orang yang mempunyai hutang atau oleh orang lain atas nama orang yang
mempunyai hutang.
Lembaga jaminan yang disebut Gadai diatur oleh ketentuan pasal 1150 sampai
dengna pasal 1160 KUH Perdata. Gadai merupakan lembaga jaminan yang
digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa barang-barang bergerak
antara lain berupa barang-barang perhiasan (misalnya kalung emas dan gelang
emas), surat berharga dan surat yang mempunyai harga (misalnya saham dan
sertifikat deposito), mesin-mesin yang tidak terpasang secara tetap di tanah atau
bangunan (misalnya genset), dan sebagainya. Pengikatan jaminan melalui Gadai
memberikan jaminan kebendaan kepada krediturnya sebagai pemegang Gadai,
15
artinya kreditur mempunyai hak menagih pelunasan piutangnya atas benda yang
diikat dengan Gadai tersebut. Pengikatan jaminan melalui Gadai memberikan hak
didahulukan atau hak preferen kepada kreditur sebagai pemegang Gadai, artinya
kreditur tersebut akan memperoleh pembayaran didahulukan atas piutangnya dari
hasil pencairan (penjualan) benda yang diikat dengan Gadai dibandingkan dengan
kreditur-kreditur lainnya.8
Pelaksanaan Pengawasan Yang Dilakukan Oleh Bank Indonesia
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana atau deposan
merupakan perjanjian antara pemberi dana/penananam dana dengan bank sebagai
pengelola dengan prisip PLS /bagi hasil dan konsekuensi masing-masing pihak.
Dalam KUH Perdata pasal 1765 merupakan cermin perjanjian pinjam meminjam
uang antara bank dengan nasabah, sedangkan nasabah penyimpan dana atau deposan
hanya bersedia menyimpan dananya pada bank yang bersangkutan apabila nasabah
deposan percaya bahwa bank yang bersangkutan mampu untuk membayar kembali
dana itu apabila ditagih. Selanjutnya dalam system bank syariah, Pengertian
Mudlarabah dan Musyarakah sebagai berikut ;
Mudlarabah adalah kontrak antara dua pihak dimana satu pihak yang disebut rab
al-mal (investor) mempercayakan uang kepada pihak kedua, yang disebut mudlarib,
untuk tujuan usaha dagang. Musyarakah ( kemitraan ) adalah dasar kedua dari
konsep Profit and Loss Sharing dalam perbankan Islam. Musyarakah adalah suatu
kontrak yang lazimnya diikuti oleh para mitra yang setara, artinya, kedua belah
pihak sepakat dengan syarat-syarat kontrak, dan salah satu pihak tidak boleh
mendiktekan syarat-syarat tersebut kepada pihak lain. Selain itu dalam Undang-
Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ditetapkan dengan
dimensi hukum memandang nasabah sebagai konsumen perbankan.
Berdasarkan hal tersebut bahwa keunikan tersendiri bank dengan prinsip
syariah memiliki kandungan filosofis yang sangat tinggi karena dengan adanya
bargaining positition antar pihak menjadikan nuansa bisnis yang melalui perbankan
8 Ahmad Syifdaul Anam, Implementasi Hukum Jaminan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, alumni, Semarang, 2009.
16
Perlidungan Nasabah Bank Syariah
Diwujudkan dalam berapa hal, yaitu:
a.Melakukan Pengaturan Perbankan.
b.Melakukan Pengawasan berdasarkan program pengawasan yang dibuat oleh
Arsitektur Perbankan Indonesia (API).15
(1)Pengawasan oleh Bank Indonesia (BI) terhadap bank syariah dalam
melaksanakan prinsip syariah, diprogramkan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai
Bank Sentral yang dirancang secara umum untuk semua bank maupun hal-hal yang
khusus mengenai bank syariah. Secara umum pengawasan terhadap perbankan
syariah sama dengan pengawasan pada perbankan konvensional, yaitu berdasarkan
pada Program pengawasan Bank Indonesia (BI) terhadap seluruh perbankan di
Indonesia.9
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat
penelitian ini adalah deskriptif maksudnya adalah suatu analisis data yang
berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan
tentang seperangkat data yang lain,10 bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian
yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa
peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku, yang berkaitan dengan prinsip kehati-
hatian, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan
mengenai Implementasi Prinsip Kehati-Hatian Di Lembaga Keuangan Syariah Dalam
Kasus Sengketa Gadai Emas Pada Bank BRI Syari’ah. Dilihat dari jenis penelitian
ataupun metode pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif. Pendekatan
yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik
bahan hukum primer maupun sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan
cara melihat dari segi peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku.
9 R, Rach Hardjo Boedi Santoso, SH, Perlindungan Hukum Nasabah Bank Syariah Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pengawasan, alumni, Semarang, 2009. Oleh Bank Indonesia10 Bambang Suggono, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta,1997, halaman. 38.
17
2. Teknis Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan
ilmiah maupun sesuatu fakta atu gagasan, maka pengumpulan data dilakukan
dengan cara Studi Kepustakaan (Library Research), yang merupakan
pengumpulan data-data yang dilakukan melalui literatur atau dari sumber bacaan
berupa buku-buku, Peraturan per-Undang-Undangan dan bahan bacaan lain yang
terkait dengan penulisan proposal ini untuk digunakan sebagai dasar ilmiah
pembahasan materi.
3. Bahan Penelitian
a. Bahan hukum primer, bahan hukum yang mengikat, Hal ini disebutkan dalam
pasal 2 UU Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun
1992 tentang perbankan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian. Dalam ketentuan ini, menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian
adalah asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Berkaitan dengan prinsip kehati-
hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 2 di atas, kita dapat
menemukan pasal lain di dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang
mempertegaskan kembali mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian itu
diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni dalam pasal 29 ayat 2, 3,
dan 4, Dan juga penyediaan informasi tersebut sebenarnya salah atu ketentuan
yang wajib dijalankan oleh Bank Syari’ah dan UUS sebagai bagian dari
kewajiban pengelolaan resiko (penerapan prinsip kehati-hatian), sebagaimana
yang tercantum dalam pasal 38 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008, Penerapan
prinsip kehati-hatian bank syari’ah juga dapat dilihat pada pasal 35 ayat (2),
(3), (4), dan ayat (5), Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas
maksimum penyaluran dana berdasarkan prinsip syari’ah (baca : kehati-
hatian), pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga yang
berbasis syari’ah sebagaimana yang tercantum dalam pasal 37 ayat (1) UU
No. 21 Tahun 2008.
18
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti : Buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum,
pendapat para sarjana dan lain sebagainya.
c. Bahan Hukum Tertier (Penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus umum
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, internet, dan lain sebagainya yang
berkaitan dengan permasalahan.
4. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka
alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen, peraturan
mengenai prinsip kehati-hatian yang ada di Lembaga Keuangan Syari’ah.
Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting.
2. Pengamatan (observasi), pengammatan ini dipergunakan dengan tujuan
untuk menambah kejelasan yang jujur dan seksama atas situasi tertentu
sehingga mendapatkan perimbangan sejumlah data yang objektif.
3. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (Interview quide.)
5. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif yaitu
mengumpulkan data atu semua data yang terkumpul diseleksi, ditabulasi,
diklasifikasi lalu menganalisis data, dan kemudian dianalisis dengan menafsirkan
secara logis dan sistematis dengan menggunakan logika berfikir secara deduktif
dan induktif yaitu yang pembahasannya dimulai dari mengenai hal-hal yang
khusus, sehingga pada gilirannya dapat ditarik suatu kesimpulan, dan
dipresentasikan dalam bentuk deskriptif dalam rangka menjawab permasalahan
hukum yang menjadi objek penelitian.
19
H. Sistematika Penulisan
Supaya pembahasan dalam penelitian ini sistematis sehingga mudah untuk
dipahami, maka penulis menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, berisi tentang uraian latar belakang, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistimatika penulisan.
BAB II : TELAAH PUSTAKA, berisi tentang konsep prinsip kehati-hatian, Dasar
Hukum Berlakunya Bank Syariah, Peraturan Pelaksanaan Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah, Kegiatan Usaha bank BRI Syariah, Konsep dan Aplikasi
Gadai menurut Ekonomi Islam, Pelaksanaan Pengawasan Yang Dilakukan
Oleh Bank Indonesia, Perlidungan Nasabah Bank Syariah.
BAB III : METODE PENELITIAN, yang menjelaskan Sifat dan Jenis Penelitian,
Teknis Pengumpulan Data, Bahan Penelitian, Alat Pengumpulan Data,
Analisis Data.
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN, merupakan bab yang berisikan hasil
Penelitian dan Pembahasan meliputi : , tujuan diberlakukannya prinsip
kehati-hatian tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat.Dengan
kata lain, diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga
masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.
Prinsip kehati-hatian harus dijalankan oleh bank, bukan hanya karena
dihubungkan dengan kewajiban agar bank tidak merugikan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank dan masyarakat,
melainkan juga berkaitan erat dengan sistem moneter yang menyangkut
kepentingan semua anggota masyarakat (bukan semata-mata nasabah
penyimpan).
BAB V : PENUTUP, berisikan kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan dan
disertai pula saran-saran sebagai rekomendasi berdasarkan temuan-temuan
yang diperoleh oleh dalam penelitian.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syifdaul Anam, Implementasi Hukum Jaminan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah,
alumni, Semarang, 2009.
Agus Arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis, jakarta: Rajawalipers, 2011.
Bambang Suggono, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta,1997.
Indah Fajarwati, Tinjauan Mengenai Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Prudential Banking),
FH UI, 2011.
Navis Illiyana Azmi, Etika Ekonomi Islam Dan Delevansinya Dalam Ekonomo Bisnis,
STAIN Pekalongan, 2010.
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah ,Yogyakarta: Ekonisia, 2004.Nurkhayati,
Perlindungan Hak Nasabah Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil Di Bank Syariah, STAIN
Pekalongan, 2010.
R, Rach Hardjo Boedi Santoso, SH, Perlindungan Hukum Nasabah Bank Syariah
Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pengawasan, alumni, Semarang, 2009.
Oleh Bank Indonesia
Internet :
file:///D:/Prinsip%20Kehati-hatian%20Bank%20Syar%E2%80%99iah%20_
%20.%20%20WELCOME%20_%20SAEPUDIN%20ONLINE.htm
http://hukumonline.com/
21
PERTANYAAN WAWANCARA
1. Adakah Peraturan yang mengatur prinsip kehati-hatian di Lembaga
Keuangan Syariah ?
2. Apakah fatwa DSN juga mengatur prinsip kehati-hatian ?
3. Bagaimana prosedur dari prinsip kehati-hatian ?
4. Seperti apa Implementasi prinsip kehati-hatian di Lembaga Keuangan
Syariah ?
5. Apa pentingnya prinsip kehati-hatian bagi Lembaga Keuangan
Syariah ?
6. Kendala apa saja yang dialami oleh Lembaga Keuangan Syariah dalam
penerapan prinsip kehati-hatian ?
7. Bagaimana perkembangan nasabah atas diterapakannya prinsip kehati-
hatian ?
8. Atas pertimbangan apa anda memahami konsep prinsip kehati-hatian di
Lembaga Keuangan Syariah ?
9. Mengapa masih terjadi sengketa di Lembaga Keuangan Syariah ?
10. Terus apa tanggapan dari Lembaga Keuangan Syariah mengenai
adanya sengketa jual beli gadai emas di BRI Syariah khususnya ?
11. Rencana utama apa yang akan dilakukan dalam menangani sengketa
tersebut ?
12. Adakah dampak negatif atau positif dengan adanya kasus sengketa
bagi LKS sendiri maupun nasabah yang lain ?
13. Kemudian bagaimana tindakan LKS untuk memperbaiki nama baik
ketika terjadi sengketa terhadap masyarakat ?
14. Bagaimana meyakinkan nasabah lain atas masih terjadinya sengketa
padahal LKS memegang teguh prinsip kehati-hatian ?
15. Hukuman apa bagi nasabah maupun LKS ketika melanggar ketentuan-
ketentuan yang ada ?
22