acara 2 selai_rev.docx
Transcript of acara 2 selai_rev.docx
ACARA II
PEMBUATAN SELAI BUAH
A. TUJUAN
Pada praktikum Acara II. Pembuatan Selai Buah bertujuan
untuk:
1. Mengetahui proses pembuatan selai buah.
2. Mengukur pengaruh tingkat kematangan buah dan gula
terhadap kualitas selai buah.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Pengawetan secara kimia dapat dilakukan dengan
penggunaan bahan tambahan makanan. Bahan kimia yang
digunakan dalam pengawetan pangan harus dipilih yang tidak
berbahaya bagi tubuh manusia serta mampu mencegah
berbagai tipe pembusukan pada umumnya. Sistem
pengawetan yang paling banyak dilakukan karena dianggap
yang paling murah dan mudah salah satunya dengan larutan
gula, misalnya di dalam pembuatan kue-kue, wajit, dodol,
manisan dan lainnya. Penggunaan gula atau garam dengan
konsentrasi yang tinggi akan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dan reaksi enzimatis, seperti dalam
pembuatan jeli dan dendeng (Effendi, 2009).
Selai adalah produk makanan yang kental atau setengah
padat dibuat dari campuran 45 bagian berat buah dan 55
bagian berat gula dengan komponen asam pH 3,10 - 3,46
pektin 0,75% - 1,5% dan kadar gula 60% - 65%. Selai disukai
banyak orang karena rasanya yang manis dan dapat
dikonsumsi oleh semua golongan umur. Pembuatan selai
dapat di ambil dari buah dan kulit buah yang memiliki pektin.
Kadar pektin 1% sudah dapat membentuk gel dengan
kekerasan yang cukup baik. Pektin merupakan salah satu
bahan pembentuk gel untuk memodifikasi tekstur selai agar
dapat diperoleh rasa cicip (mouth feel) yang baik. Pektin
berasal dari perubahan protopektin selama pemasakan kulit
buah. Pektin merupakan senyawa polisakarida yang berfungsi
sebagai bahan pengental (Setyaningsih dkk, 2009).
Pengawetan buah dapat dilakukan dengan persiapan
buah dan gula yang dikalengkan atau ditutup untuk waktu
yang lama. Selai merupakan produk yang dibuat dari seluruh
baguan buah yang dipotong dan diblender. Buah kemudian
dipanaskan dengan air dan gula untuk mengaktifkan pektin
dalam buah. Campuran kemudian diletakkan pada wadah.
Persiapan pengawetan buah juga menambahkan pektin alami
atau buatan sebagai agen pengejel walaupun telah
menggunakan gula dan madu. Penggunaan pektin buatan
sering dilakukan karena buah nanas memiliki pektin alami
yang rendah sehingga mempengaruhi sifat tekstur akhir selai
(Sucharitha dkk, 2012).
Asam organik pada buah nanas matang meliputi asam
sitrat, asam malat, asam askorbat dan asam dehidroaskorbat.
Pada buah nanas yang telah matang memiliki kadar total
asam askorbat yang rendah pada bagian yang dapat dimakan
(sari dan ampas buah). Tingkat asam askorbat lebih tinggi
pada bagian kulit buah karena mendukung sifat fungsi
antioksidan. Kandungan asam bebas meningkat dari bagian
bawah ke bagian atas buah dan meningkat dari bagian tengah
ke bagian luar buah. Kandungan tinggi galaktosa
menunjukkan adanya rhamnose yang mengarah pada
tingginya kandungan polisakarida pektin. Pektin ini
memungkinan tingginya kuantitas percabangan dengan
arabinogalaktan netral dan arabinoxilan (Cordenunsi dkk,
2010).
Serat makanan terutama terdiri atas selulosa serta
terdapat senyawa lain diantaranya pektin. Pada dinding sel,
pektin terdapat dalam jumlah yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan zat-zat penyusun lainnya. Selain
terdapat pada dinding sel, pektin juga terdapat pada semua
lapisan intraseluler. Pektin memiliki kemampuan membentuk
gel dan ion-ion, juga dapat menurunkan absorbsi kolesterol
(Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).
Antartingkat kematangan nenas tidak memberikan
perbedaan nilai. Tetapi dari segi warna dan rasa selai,
ternyata berpengaruh nyata dari tingkat kematangan. Nenas
pada tingkat kematangan >breaker-25% matang,
menghasilkan selai dengan warna dan rasa yang disukai
panelis. Pemakaian gula yang terlalu banyak menjadikan selai
bertekstur keras dan sebaliknya bila digunakan gula kurang
dari yang seharusnya, selainya akan lembek. Pemberian gula
yang dicampurkan pada awal proses, menghasilkan selai yang
lembek dengan kadar air yang lebih tinggi. Makin tinggi kadar
pektin yang ditambahkan, makin tinggi rendemen selai tetapi
juga makin tinggi kadar airnya. Hal ini terjadi karena makin
banyak pektin dalam adonan maka makin banyak pula air
yang diikat oleh pektin saat membentuk gel, sehingga
rendemen dan kadar air selai yang terbentuk makin banyak
pula. Bila kadar pektin dinaikkan lebih dari 1% maka
konsistensi selai menjadi rapuh karena menjadi keras, hilang
daya olesnya dan warna menjadi gelap. Untuk pembuatan
selai nenas, buah dapat dipanen pada kematangan >breaker-
25% matang. Saat dibuat jam dengan penambahan 65% gula
dan 2% asam sitrat. Pemasakan selai dapat dipercepat
dengan pencampuran gula dan pectin pada saat 20% air
adonan telah diuapkan (Sabari dkk, 2006).
Pada buah mentah mempunyai kadar vitamin C yang
lebih banyak dibandingkan buah matang, semakin tua buah,
kadar vitamin C semakin berkurang. Nilai pH pada buah nanas
berbanding terbalik dengan kadar vitamin C. Pada buah nanas
hijau penuh memiliki pH terendah sebaliknya pada buah
nanas kuning penuh memiliki pH yang tertinggi. Kadar gula
terendah terdapat pada buah nanas hijau penuh, sedangkan
kadar gula tertinggi ditunjukan pada buah nanas kuning
penuh. Pada saat pematangan buah terjadinya penurunan
kadar senyawa-senyawa fenolik yang menyebabkan
berkurangnya rasa sepat dan penurunan asam organik serta
kenaikan zat-zat volatil yang memberi rasa dan aroma khas
pada buah. Kadar gula dalam daging buah berubah dari 1-2 %
ketika masih hijau dan menjadi 15-20 % pada saat matang,
dan kadar gula terlarut meningkat dari 1 menjadi 20 %.
Komponen pembentuk aroma pada buahbuahan adalah
senyawa-senyawa ester yang bersifat mudah menguap
(volatile). Proses timbulnya aroma pada bahan yang berbeda
tidak sama. Pada buah-buahan, produksi senyawa aroma
meningkat ketika mendekati masa klimakterik (Syahrumsyah
dkk, 2010).
Pada umumnya senyawa-senyawa pektin dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok senyawa, yaitu asam
pektat, asam pektinat (disebut pektin jika lebih dari 50%
gugus karboksil terdapat metil ester) dan protopektin. Asam
pektinat mempunyai sifat terdispersi dalam air dan dapat
membentuk garam yang disebut garam pektinat. Dalam
bentuk garam inilah pektin tersebut berfungsi dalam
pembuatan jeli dengan gula dan asam. Kandungan pektin di
dalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat
pematangan buah. Kekuatan pembentukan gel suatu senyawa
akan lebih tinggi bila residu asam galakturonatnya dalam
molekul juga lebih besar. Selama proses pematangan terjadi
proses demetilasi pektin dan hal ini menguntungkan untuk
tujuan pembuatan gel, tetapi jika demetilasi yang terlalu
lanjut atau sempurna akan menghasilkan asam pektat yang
tidak lagi mudah membentuk gel. Pektin dapat membentuk
gel dengan gula bila lebih dari 50% gugus karboksil telah
termetilasi, sedangkan untuk pembentukan gel yang baik
ester metil harus sebesar 8% dari berat pektin. Makin banyak
ester metil, makin tinggi suhu pembentukan gel. Misalnya
untuk pembentukan jam, dipergunakan pektin dengan derajat
metilasi 74. Pembentukan gel dari pektin dengan derajat
metilasi tinggi dipengaruhi juga oleh konsentrasi pektin,
prosentase gula dan pH. Makin besar konsentrasi pektin,
makin keras gel yang terbentuk. Gula yang ditambahkan tidak
boleh lebih dari 65% agar terbentuknya kristal-kristal di
permukaan gel dapat dicegah. Makin rendah pH, gel makin
keras dan jumlah pektin yang diperlukan makin sedikit. pH
yang terlalu rendah akan menimbulkan sineresis, yaitu air
dalam gel akan keluar pada suhu kamar, sedangkan pH yang
terlalu tinggi juga akan menyebabkan gel pecah; pH yang baik
adalah 3,1-3,2 (Winarno, 2004).
Penambahan gula selain untuk memberikan rasa manis,
juga berfungsi dan terlibat dalam pengawetan. Apabila gula
ditambahkan ke dalam bahan pangan dalam konsentrasi yang
tinggi (paling sedikit 40% padatan terlarut), maka sebagian
air yang ada terikat oleh gula sehingga menjadi tidak tersedia
untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari
bahan pangan berkurang. Padahal mikroorganisme memiliki
kebutuhan aw minimum untuk pertumbuhannya. Kemampuan
gula untuk mengikat air itulah yang menyebabkan gula dapat
berfungsi sebagai pengawet. Jika penambahan gula pada
penambahan selai terlalu sedikit, buah-buahan tidak akan
matang sempurna dan akibatnya selai menjadi mudah
berfermentasi dan tidak tahan lama. Sebaliknya jika terlalu
banyak gula, selai akan menjadi terlalu kental dan
membentuk kristal. Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketahanan selai dan produk-produk sejenisnya (jeli,
marmalade, dan lain-lain) terhadap mikroorganisme adalah:
1. Kadar gula yang tinggi sekitar 65-73% padatan terlarut.
2. pH rendah, sekitar 3,1-3,5 tergantung pada tipe pektin dan
konsentrasi.
3. aw, berkisar antara 0,75-0,83.
4. Suhu tinggi selama pendidihan atau pemasakan (105-
106oC), kecuali jika diuapkan secara vakum dan dikemas
pada suhu rendah.
5. Tegangan oksigen rendah selama penyimpanan (misalnya
jika diisikan ke dalam wadah-wadah hermetik dalam
keadaan panas).
Untuk memperoleh selai dengan aroma baik sebaiknya
digunakan buah dengan tingkat kematangan yang tinggi
(matang). Pengolahan selai buah dapat juga menggunakan
campuran buah setengah matang dengan buah yang benar-
benar matang. Buah setengah matang akan memberi pektin
dan asam yang cukup yang dapat memperbaiki konsistensi
selai yang dihasilkan, sedangkan buah yang matang penuh
akan memberikan aroma yang diinginkan. Tingkat keasaman
buah juga penting karena asam akan menarik sari pektin dari
buah. Perpaduan gula, asam, dan pektin inilah yang karena
dipanaskan membentuk jalinan (matriks) sehingga jeli, selai,
dan produk olahan buah yang lain menjadi kental atau pekat
(Dwiari dkk, 2008).
Kecepatan pemasakan selai nanas mengikuti persamaan
reaksi kimia order satu. Peningkatan kecepatan konstan
terjadi pada variasi suhu pemasakan dan kecepatan
pengadukan, namun menurun pada variasi volume bahan
baku. Suhu pemasakan 100oC memiliki kecepatan pemasakan
yang paling tinggi, namun selai menjadi terbakar pada
permukaannya sehingga selai memiliki gelap dan flavor
karamel. Jadi, suhu rekomendasi untuk pemasakan selai
nanas adalah 90oC agar didapatkan selai dengan kecepatan
tinggi serta memiliki warna dan flavor yang diterima
konsumen (Yee dkk, 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas reologi selai
antara lain adalah suhu dan viskositas, shear rate, komposisi
buah, gula, asam sitrat, pektin, pH dan waktu. Pada selai
buah, viskositas akan menurun dengan kenaikan suhu yang
berhubungan dengan waktu. Pada selai yang menganduung
gel seperti pektin sebagai agen pengental maka termasuk
fluida non-Newtonian sehingga permodelan shear rate dapat
dihitung. Komposisi buah berbeda-beda, kandungan yang
mempengaruhi pada pembuatan selai adalah gula, pektin dan
asam organik seperti asam sitrat. Pada produk yang memiliki
padatan terlarut tinggi dapat meningkatkan umur simpan.
Produk buah yang memiliki kandungan tinggi akan serat atau
pektin membutuhkan tambahan pektin yang sedikit. Buah
dengan pektin tinggi akan susah ditangani karena protopektin
terkestrak. Gelasi pektin dipengaruhi oleh keasaman, subtansi
total padatan terlarut dan kandungan kalsium. Penggunaan
persentase gula yang tinggi sangat penting dikarenakan
potensi gula untuk rekristalisasi. Sukrosa refinasi telah
diketahui bagus sebagai tambahan pada selai karena memiliki
kecenderungan rekristalisasi yang rendah. Sukrosa sebagian
diinversi menjadi glukosa dan fruktosa pada proses ketika pH
rendah, hal ini yang mengurangi kecenderungan gula
membentuk kristal. Pektin dapat terdispersi pada sirup gula
berkonsentrasi tinggi ketika padatan terlarut kurang dari 30%
dan dapat dipercepat dengan pemanasan dan pengadukan.
Pada konsentrasi gula tinggi, pektin tidak terlarut sempurna.
Rasio viskositas hingga elastisitas pektin dipengaruhi oleh
derajat esterifikasi, pH dan tipe pektin. Pektin yang memiliki
derajat esterifikasi yang rendah akan terlarut dengan baik.
Peningkatan pH dan kekuatan ion dapat menurunkan
viskositas larutan pektin. pH campuran yang rendah akan
susah untuk ditangani. Shear stress selai nanas bergantung
pada shear rate, suhu dan waktu yang spesifik. Kematangan
buah menjadi penting, karena buah yang terlalu matang akan
kehilangan struktur dengan mudah selama perebusan dan
berkurang flavornya (Javanmard dan Endan, 2010).
Proses pemasakan yang menyebabkan terhidrolisisnya
sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa, sehingga pada
penentuan kadar gula dengan menggunakan
handrefraktometer kadar sukrosa menjadi turun. Hidrolisis
sukrosa merupakan reaksi inversi sukrosa menjadi gula
reduksi. Hasil penelitian laju inversi sukrosa dalam nira
menunjukan bahwa laju inversi sukrosa semakin besar pada
kondisi pH rendah (pH 5) dan temperatur tinggi (90 oC),
kemudian berkurang pada kondisi pH tinggi (pH 7) dan
temperatur rendah (60 oC). Selama proses lewat masak,
pektin dapat terurai membentuk metil alkohol dan asam
pektat yang tidak larut (Saragih dkk, 2010).
Menurunnya kekentalan dimungkinkan karena hilangnya
pektin pada puree. Kekentalan jus serta konsentrat berkaitan
dengan kandungan pektin dan konsentrasi gula. Perubahan
warna selama proses dimungkinkan karena adanya reaksi
oksidasi kimiawi termasuk terjadinya degradasi karotenoid
dan reaksi pencoklatan enzimatis sehingga mengakibatkan
warna menjadi lebih gelap (Dewandari dkk, 2009).
Warna merupakan salah satu atribut kualitas yang
penting pada produk makanan. Warna merupakan bagian dari
tampilan keseluruhan yang dikenali secara visual dan
mempengaruhi penilaian terhadap sifat permukaan dan di
dalamnya. Dari sudut pandang konsumen, warna dan flalvor
berhubungan walau kedua atribut kualitas ini tidak sama.
Warna dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
penanganan, transportasi, proses, penyimpanan, pengemasan
dan lainnya. Warna beberapa buah dan sayuran bervariasi
dari kuning hingga orange atau kemerahan hingga orange.
Pigmen yang menyebabkan warna menarik adalah karotenoid.
Warna merah atau kuning buah dan sayuran disebabkan oleh
adanya berbagai pigmen seperti β-karoten, ζ-karoten,
criptoxantin, criotoxantin monoepoksi, likopen dan
percampuran pigmen. Antosianin merupakan pigmen alami
penting lainnya yang menyebabkan warna orange, merah dan
warna biru bunga, buah dan sayuran (Ahmed dan
Ramaswamy, 2006).
Nanas
Dicuci
Dikupas dan dipotong
Ditimbang
Diblender
Gula
Dimasak hingga mengental
Selai
Untuk mendapatkan sumber pektin digunakan buah yang
tua tapi belum masak, sedangkan untuk mendapatkan cita
rasa (aroma dan rasa buah) dipakai buah yang sudah masak.
karena dikehendaki dua-duanya (pektin dan cita rasa), maka
untuk membuat selai dan jelly yang baik digunakan campuran
buah yang sudah tua (tapi belum masak) dan buah yang
sudah masak dengan perbandingan yang sama. Formula yang
digunakan sebaiknya mempunyai perbandingan buah:gula =
45:55. Kecukupan pemasakan diuji dengan cara mengambil
selai dengan sendok dan jatuhkan dari atas wajan, jika
jatuhnya terputus-putus atau tidak mengucur, maka selai
dianggap sudah masak (Koswara, 2010).
C. METODOLOGI
1. Alat
a. Timbangan
b. Baskom
c. Pisau
d. Blender
e. Saringan
f. Kompor
g. Wajan
h.
2. Bahan
a. Nanas mengkal dan matang
b. Gula
3. Cara Kerja
Gambar 2.1 Proses Pembuatan Selai Buah
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2.1 Hasil Uji Kesukaan Selai NanasKel Samp
elParameter
Warna Aroma
Rasa Daya Oles
Overall
123456
416342516211363172
2,85b
2,65b
3,50c
1,30a
4,55d
2,35b
3,00b
2,55ab
3,15b
2,20a
3,80c
2,70ab
3,65b
2,60a
4,20b
2,10a
3,95b
2,50a
3,60b
1,60a
3,45b
1,25a
4,10b
1,45a
2,95c
2,40b
3,55d
1,65a
4,05d
2,30b
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan: Angka dengan notasi sama di baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada α = 5%
Pada praktikum pembuatan selai buah menggunakan
bahan dasar buah nanas. Perbedaan perlakuan yang
digunakan adalah tingkat kematangan (nanas mengkal dan
matang) dan jumlah gula (50% dan 100%). Terdapat 6 sampel
yaitu sampel 416 (100% nanas matang+50% gula), sampel
342 (100% nanas matang+100% gula), sampel 516 (50%
nanas matang+50% nanas mengkal+50% gula), sampel 211
(50% nanas matang+50% nanas mengkal+100% gula),
sampel 363 (100% nanas mengkal+50% gula) dan sampel
172 (100% nanas mengkal+100% gula).
Proses pembuatan selai nanas dilakukan dengan mencuci
buah nanas kemudian dikupas hingga bersih. Selanjutnya,
dipotong menjadi beberapa bagian dan diblender. Setelah
didapatkan bubur buah, kemudian ditambah gula dan
dimasak serta diaduk hingga mengental. Pada akhir
pemanasan dilakukan uji kecukupan panas dengan spoon
test, yaitu dengan mengambil selai dengan sendok dan
jatuhkan dari atas wajan, jika jatuhnya terputus-putus atau
tidak mengucur, maka selai dianggap sudah masak (Koswara,
2010).
Pada pembuatan selai ada empat komponen yang
mempengaruhi kualitas selai, yaitu sari buah, pektin, asam
dan gula. Sari buah berperan dalam pembentukan cita rasa
pada selai. Pektin berperan dalam pembentukan gel dengan
gula dan asam. Semakin besar konsentrasi pektin maka gel
yang terbentuk semakin keras. Kualitas pembentukan gel oleh
pektin dipengaruhi oleh kualitas pektin, jumlah gula, pH dan
pemanasan. Tujuan penambahan gula dalam pembuatan selai
adalah auntuk memperoleh tekstur, penampakan, rasa dan
flavour yang ideal serta sebagai pengawet. Dalam
pembentukan tekstur, gula berperan dalam proses dehidrasi
yang membuat ikatan hidrogen pada pektin menjadi lebih
kuat dan membentuk jaringan polisakarida, yaitu kompleks
dimana air terperangkap dalam jaringan tersebut. Kekurangan
gula akan membentuk gel yang kurang kuat pada semua
tingkat keasaman sehingga membutuhkan lebih banyak asam
untuk menguatkan strukturnya. Penambahan gula juga akan
mempengaruhi keseimbangan air dan pektin yang ada. Buah
yang kandunagan pektinnya rendah seperti nanas, maka
penambahan gula sebaiknya lebih sedikit daripada bagian
buahnya. Kandungan gula yang ideal pada produk selai
berkisar 60%-65%.
Penambahan asam akan mempengaruhi proses
pengejelan pektin. Pembentukan gel hanya mungkin terjadi
pada pH kurang <3,5. pH optimum yang dikehendaki dalam
pembuatan jam berkisar 3,10 – 3,46. Penambahan asam
bertujuan menurunkan pH dan menghindari terjadinya
pengkristalan gula. Jumlah asam yang ditambahkan
tergantung dari keasaman buah dan pH akhir jam yang
diinginkan. Semakin rendah nilai pH ketegaran gel yang
terbentuk semakin meningkat sehingga teksturnya akan
semakin kuat. Namun, Nilai pH yang terlalu rendah
menyebabkan terjadi sineresis yakni keluarnya air dari gel
sehingga kekentalan jam akan berkurang bahkan sama sekali
tidak terbentuk gel. Sedangkan pH yang terlalu tinggi akan
menyebabkan gel pecah (lunak).
Selain empat komponen di atas, cara pemasakan juga
mempengaruhi kualitas selai seperti waktu, suhu dan cara
pengadukan. Pemanasan yang berlebihan akan menyebabkan
perubahan yang merusak kemampuan membentuk gel
terutama pada buah yang sangat asam. Waktu pemanasan
yang terlalu lama menyebabkan jam keras dan kental.
Sebaliknya, waktu pemanasan yang kurang akan
menghasilkan jam yang encer. Suhu yang terlalu tinggi akan
membuat selai menjadi kristal atau bahkan gosong.
Sedangkan jika terlalu rendah akan membuat bahan lembek.
Pengadukan yang terlalu cepat akan menimbulkan gelembung
udara yang akan merusak tekstur dan penampakan produk
akhir (Winarno, 2004).
Buah yang matang memiliki rasa, aroma dan warna yang
kuat, namun hanya sedikit mengandung pektin sehingga jika
diolah menjadi selai kurang maka disukai teksturnya.
Sedangkan buah yang mentah memiliki kandungan pektin
yang banyak, namun rasa dan warna yang dimiliki tidak kuat.
Maka dalam pembuatan selai dilakukan pencampuran buah
matang dan mentah agar didapatkan selai yang disukai
konsumen baik dari segi rasa, aroma, warna dan tekstur.
Penambahan gula pada pengolahan selai yang terlalu banyak
dapat menyebabkan pengkristalan karena tidak seimbang
dengan kandungan pektin sehingga proses pengejelan selai
tidak optimal dan tekstur selai menjadi keras. Sedangkan jika
terlalu sedikit maka tekstur akan menjadi lembek dan fungsi
pengawetan gula tidak optimal.
Uji organoleptis selai nanas yang digunakan adalah uji
kesukaan scoring dengan parameter uji warna, aroma, rasa,
daya oles dan overall. Uji dilakukan dengan menggunakan
sebanyak 20 orang panelis. Hasil uji organoleptik dapat dilihat
pada tabel 2.1.
1. Warna
Pada parameter warna, sampel 211 berbeda nyata
dengan seluruh sampel lain. Sampel 416, 432 dan 172
tidak berbeda nyata namun berbeda nyata dengan sampel
211, 516 dan 363. Sampel 516 berbeda nyata dengan
seluruh sampel lainnya. Sampel 363 berbeda nyata dengan
sampel lainnya. Sampel 363 (100% nanas mengkal+50%
gula) adalah sampel yang paling disukai dan sampel 211
(50% nanas matang+50% nanas mengkal+100% gula)
adalah sampel yang paling tidak disukai. Sampel 416, 516
dan 363 berada pada subset yang berbeda, maka tingkat
kematangan nanas pada konsentrasi gula 50% memberi
beda nyata pada warna selai. Sampel 342 dan 172 berada
dalam satu subset namun berbeda subset dengan sampel
211, maka tingkat kematangan nanas pada konsentrasi
gula 100% memberi beda nyata pada warna selai. Sampel
416 dan 342 berada pada subset yang sama, maka
perbedaan jumlah gula pada selai dari nanas matang tidak
memberi beda nyata pada warna selai. Sampel 516 dan
211 berada pada subset yang berbeda, maka perbedaan
jumlah gula pada selai dari nanas matang dan nanas
mengkal memberi beda nyata pada warna selai. Sampel
363 dan 172 berada pada subset yang berbeda, maka
perbedaan jumlah gula pada selai dari nanas mengkal
memberi beda nyata pada warna selai.
Warna selai nanas yang disukai konsumen adalah
yang sama dengan buah asalnya, yaitu kuning keemasan
dan tidak gelap. Secara teori, untuk mendapatkan warna
selai yang bagus maka dipakai buah yang sudah masak
(Koswara, 2010) karena pada saat pematangan buah akan
terjadi perubahan warna kulit yang tadinya hijau menjadi
kuning (Dwiari, 2008). Namun pada praktium, sampel 363
yang terbuat dari nanas mengkal mempunyai nilai
tertinggi. Hal tersebut dikarenakan proses pemasakan
yang kurang tepat sehingga terjadi perusakan warna selai.
Pemasakan yang berlebihan dapat menyebabkan
penguapan asam, pemecahan pektin, serta kerusakan cita
rasa dan warna (Sabari, 2006). Selain itu, warna yang tidak
sempurna ini disebabkan oleh proses pencampuran gula
yang dilakukan di awal. Gula tidak ditambahkan di awal
karena adanya pemanasan akan menyebabkan terjadinya
browning karena waktu pemasakan terlalu lama.
Seharusnya gula ditambahkan ke dalam puree dengan cara
bertahap setelah puree mendidih, tidak secara langsung
dilakukan pencampuran di awal pemanasan (Winarno,
2004). Pemasakan menyangkut waktu pemasakan, suhu
pemasakan dan cara pengadukan.
Penambahan gula yang banyak dan pemanasan yang
terlalu lama juga menyebabkan terbentuknya kristal gula.
Kristal gula tersebut dapat menyebabkan warna selai
menjadi pucat bahkan terdapat bagian yang berwarna
putih karena terbentuk gula di permukaan. Kondisi
tersebut juga dapat menyebabkan reaksi karamelisasi
sehingga selai menjadi berwarna gelap.
Selain faktor pemanasan, perubahan warna selai juga
dipengaruhi reaksi pencoklatan enzimatis. Buah setelah
dikupas akan berubah warna menjadi coklat atau
kehitaman. Hal ini disebabkan oleh reaksi kimia dari asam
pada buah dengan udara yang dikenal dengan reaksi
pencoklatan (browning enzimatis) (Dwiari, 2008).
2. Aroma
Pada parameter aroma, sampel 211, 342 dan 172
tidak berbeda nyata namun berbeda nyata dengan sampel
416, 516 dan 363. Sampel 342, 172, 416 dan 516 tidak
berbeda nyata namun berbeda nyata dengan sampel 211
dan 363. Sampel 363 berbeda nyata dengan seluruh
sampel lainnya. Sampel 363 (100% nanas mengkal+50%
gula) adalah sampel yang paling disukai dan sampel 211
(50% nanas matang+50% nanas mengkal+100% gula)
adalah sampel yang paling tidak disukai. Sampel 416 dan
516 berada dalam satu subset namun berbeda subset
dengan sampel 363, maka tingkat kematangan nanas pada
konsentrasi gula 50% memberi beda nyata pada aroma
selai. Sampel 342 dan 172 berada dalam satu subset
namun berbeda subset dengan sampel 211, maka tingkat
kematangan nanas pada konsentrasi gula 100% memberi
beda nyata pada aroma selai. Sampel 416 dan 342 berada
pada subset yang sama, maka perbedaan jumlah gula
pada selai dari nanas matang tidak memberi beda nyata
pada aroma selai. Sampel 516 dan 211 berada pada subset
yang berbeda, maka perbedaan jumlah gula pada selai dari
nanas matang dan nanas mengkal memberi beda nyata
pada aroma selai. Sampel 363 dan 172 berada pada subset
yang berbeda, maka perbedaan jumlah gula pada selai dari
nanas mengkal memberi beda nyata pada aroma selai.
Aroma selai yang disukai konsumen adalah aroma
yang sama dengan buah asalnya. Untuk mendapatkan
aroma dipakai buah yang sudah masak (Koswara, 2010).
Namun pada praktium, sampel 363 yang terbuat dari
nanas mengkal mempunyai nilai tertinggi. Hal tersebut
dikarenakan proses pemasakan dan komposisi gula yang
kurang tepat sehingga mengubah aroma selai. Komposisi
gula yang tidak seimbang dengan pemasakan berlebih
dapat menyebabkan aroma khas nanas bercampur dengan
aroma gula yang seperti gula pasir hampir menjadi aroma
karamel sehingga panelis tidak menyukainya atau.
3. Rasa
Pada parameter rasa, sampel 211, 342 dan 172 tidak
berbeda nyata namun berbeda nyata dengan sampel 416,
516 dan 363. Sampel 416, 363 dan 516 tidak berbeda
nyata namun berbeda nyata dengan sampel 211, 342 dan
172. Sampel 516 (50% nanas matang+50% nanas
mengkal+50% gula) adalah sampel yang paling disukai
dan sampel 211 (50% nanas matang+50% nanas
mengkal+100% gula) adalah sampel yang paling tidak
disukai. Sampel 416, 516 dan 363 berada dalam satu
subset, maka tingkat kematangan nanas pada konsentrasi
gula 50% tidak memberi beda nyata pada rasa selai.
Sampel 342, 172 dan 211 berada dalam satu subset, maka
tingkat kematangan nanas pada konsentrasi gula 100%
tidak memberi beda nyata pada rasa selai. Sampel 416 dan
342 berada pada subset yang berbeda, maka perbedaan
jumlah gula pada selai dari nanas matang memberi beda
nyata pada rasa selai. Sampel 516 dan 211 berada pada
subset yang berbeda, maka perbedaan jumlah gula pada
selai dari nanas matang dan nanas mengkal memberi beda
nyata pada rasa selai. Sampel 363 dan 172 berada pada
subset yang berbeda, maka perbedaan jumlah gula pada
selai dari nanas mengkal memberi beda nyata pada rasa
selai.
Rasa selai yang disukai konsumen adalah rasa selai
yang manis dan khas rasa buah asalnya. Untuk
mendapatkan rasa buah dipakai buah yang sudah masak
(Koswara, 2010). Namun pada praktium, sampel 516 yang
terbuat dari nanas mengkal dan nanas matang mempunyai
nilai tertinggi. Hal tersebut dikarenakan proses pemasakan
yang kurang tepat sehingga terjadi perubahan rasa selai.
Penambahan gula yang berlebih juga dapat mempengaruhi
rasa selai karena kristal yang terbentuk lebih mengarah
pada rasa gula pasir atau karamel dibanding rasa selai.
4. Daya Oles
Pada parameter daya oles, sampel 211, 342 dan 172
tidak berbeda nyata namun berbeda nyata dengan sampel
416, 516 dan 363. Sampel 416, 363 dan 516 tidak berbeda
nyata namun berbeda nyata dengan sampel 211, 342 dan
172. Sampel 363 (100% nanas mengkal+50% gula) adalah
sampel yang paling disukai dan sampel 211 (50% nanas
matang+50% nanas mengkal+100% gula) adalah sampel
yang paling tidak disukai. Sampel 416, 516 dan 363 berada
dalam satu subset, maka tingkat kematangan nanas pada
konsentrasi gula 50% tidak memberi beda nyata pada daya
oles selai. Sampel 342, 172 dan 211 berada dalam satu
subset, maka tingkat kematangan nanas pada konsentrasi
gula 100% tidak memberi beda nyata pada daya oles selai.
Sampel 416 dan 342 berada pada subset yang berbeda,
maka perbedaan jumlah gula pada selai dari nanas matang
memberi beda nyata pada daya oles selai. Sampel 516 dan
211 berada pada subset yang berbeda, maka perbedaan
jumlah gula pada selai dari nanas matang dan nanas
mengkal memberi beda nyata pada daya oles selai. Sampel
363 dan 172 berada pada subset yang berbeda, maka
perbedaan jumlah gula pada selai dari nanas mengkal
memberi beda nyata pada daya oles selai.
Untuk mendapatkan sumber pektin digunakan buah
yang tua tapi belum masak. Pektin ialah senyawa
karbohidrat yang berguna untuk membentuk gel (bentuk
seperti bubur sangat kental) jika bereaksi dengan gula dan
asam (Koswara, 2010). Dengan pektin yang sesuai maka
akan didapat selai dengan tektur yang disukai konsumen,
yaitu konsisten, lembut, tidak mengalami sineresis dan
krisralisasi (Dwiari, 2008). Selai yang lembut akan mudah
menempel pada roti sehingga mudah dioleskan, sedangkan
selai yang keras tidak mudah mengoles dan menempelnya
pada roti. Pada praktium, sampel 363 yang terbuat dari
nanas mengkal mempunyai nilai tertinggi. Hal tersebut
telah sesuai dengan teori. Sedangkan penambahan gula
berlebih dan pemanasan yang kurang tepat dapat
menyebabkan kristalisasi dan karamelisasi yang tidak
diinginkan konsumen karena selai yang dihasilkan menjadi
keras dan daya olehnya rendah.
Pektin dapat membentuk gel dengan gula apabila
lebih dari 5% gugus karboksil telah termetilasi (derajat
metilasi 50%). Semakin besar konsentrasi pektin maka gel
yang terbentuk semakin keras. Konsentrasi 1% telah
menghasilkan kekerasan yang cukup baik. Selain pektin,
gula juga berperan dalam proses dehidrasi yang membuat
ikatan hidrogen pada pektin menjadi lebih kuat dan
membentuk jaringan polisakarida, yaitu kompleks dimana
air terperangkap dalam jaringan tersebut. Kekurangan gula
akan membentuk gel yang kurang kuat pada semua
tingkat keasaman sehingga membutuhkan lebih banyak
asam untuk menguatkan strukturnya. Pemasakan yang
berlebih menyebabkan penguapan asam dan pemecahan
pektin maka selai yang dihasilkan akan memiliki tekstur
keras karena pektin dan asam yang digunakan sebagai
agen pengejelnya telah rusak.
5. Overall
Pada parameter overall, sampel 211 berbeda nyata
dengan seluruh sampel lain. Sampel 432 dan 172 tidak
berbeda nyata namun berbeda nyata dengan sampel 211,
416, 516 dan 363. Sampel 416 berbeda nyata dengan
seluruh sampel lainnya. Sampel 516 dan 363 tidak berbeda
nyata namun berbeda nyata dengan sampel 211, 172, 342
dan 416. Sampel 363 (100% nanas mengkal+50% gula)
adalah sampel yang paling disukai dan sampel 211 (50%
nanas matang+50% nanas mengkal+100% gula) adalah
sampel yang paling tidak disukai. Sampel 516 dan 363
berada pada subset yang sama namun berbeda dengan
sampel 416, maka tingkat kematangan nanas pada
konsentrasi gula 50% memberi beda nyata pada overall
selai. Sampel 342 dan 172 berada dalam satu subset
namun berbeda subset dengan sampel 211, maka tingkat
kematangan nanas pada konsentrasi gula 100% memberi
beda nyata pada overall selai. Sampel 416 dan 342 berada
pada subset yang berbeda, maka perbedaan jumlah gula
pada selai dari nanas matang memberi beda nyata pada
overall selai. Sampel 516 dan 211 berada pada subset
yang berbeda, maka perbedaan jumlah gula pada selai dari
nanas matang dan nanas mengkal memberi beda nyata
pada overall selai. Sampel 363 dan 172 berada pada
subset yang berbeda, maka perbedaan jumlah gula pada
selai dari nanas mengkal memberi beda nyata pada overall
selai.
Selai yang bermutu baik mempunyai ciri-ciri tertentu,
yakni konsisten, warna cemerlang, distribusi buah merata,
tekstur lembut, flavor buah alami, tidak mengalami
sineresis (keluarnya air dari gel) dan kristalisasi selama
penyimpanan (Dwiari, 2008). Untuk membuat selai yang
baik digunakan campuran buah yang sudah tua (tapi
belum masak) dan buah yang sudah masak dengan
perbandingan yang sama (Koswara, 2010). Namun pada
praktium, sampel 363 yang terbuat dari nanas mengkal
mempunyai nilai tertinggi. Hal tersebut dikarenakan proses
pemasakan yang kurang tepat sehingga terjadi perusakan
kualias selai.
E. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Acara II.
Pembuatan Selai Buah adalah sebagai berikut:
1. Tahapan proses pembuatan selai buah adalah pencucian
buah, pengupasan buah, penblenderan buah,
penimbangan bubur buah, penambahan gula dan
pemasakan hingga mengental.
2. Tingkat kematangan buah berpengaruh nyata pada
parameter warna, aroma dan overall.
3. Jumlah gula berpengaruh nyata pada parameter rasa dan
daya oles.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed J. dan Ramaswamy H.S. 2006. Changes in Colour During High Pressure Processing of Fruits and Vegetables. Stewart Postharvest Review, 5:9.
Cordenunsi, B., Saura-Calixto, F., Diaz-Rubio, M.E., Zuleta, A., Tiné, M.A, Buckeridge, M.S., Silva, G.B., Carpio, C., Giuntini, E.B., Menezes, E.W. dan Lajolo, F. 2010. Carbohydrate Composition of Ripe Pineapple (cv. perola) and the Glycemic Response in Humans. Ciênc. Tecnol. Aliment., Campinas, 30(1): 282-288, jan-mar.
Dewandari, K.T., Mulyawanti, I. dan Amiarsi, D. 2009. Pembekuan Cepat Puree Mangga Arumanis dan Karakteristiknya Selama Penyimpanan. J.Pascapanen 6(1) 2009: 27-33.
Dwiari, S.R., Asadayanti, D.D., Nurhayati, Sofyaningsih, M., Yudhanti, S.F.A.R. dan Yoga, I.B.K.W. 2008. Teknologi Pangan Jilid 1. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Effendi, S. 2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Alfabeta. Bandung.
Javanmard, M. dan Endan, J. 2010. A Survey on Rheological Properties of Fruit Jams. International Journal of Chemical Engineering and Applications, Vol. 1, No. 1, June, ISSN: 2010-0221.
Koswara, Sutrisno. 2010. Tekno Pangan dan Agroindustri. IPB. Bogor.
Poedjiadi, A. dan Supriyanti, F.M.T. 2009. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Sabari, S.D., Suyanti dan Sunarmani. 2006. Tingkat Kematangan Panen Buah Nenas Sampit untuk Konsumsi Segar dan Jam. J. Hort. 6(3): -5, 2006.
Saragih, B., Karyati, I. dan Sumarna, D. 2010. Pengaruh Pewarna Ekstrak Cair Alami Bawang Tiwai (Eleutherine americana Merr) terhadap Mutu Selai Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca Linn). Jurnal Teknologi Pertanian,6(2):55-59 ISSN1858-2419.
Setyaningsih E., Purwani, E. dan Sarbini, D. 2009. Perbedaan Kadar Kalsium, Albumin dan Daya Terima pada Selai Cakar Ayam dan Kulit Pisang dengan Variasi Perbandingan Kulit Pisang Yang Berbeda. Jurnal Kesehatan, ISSN 1979-7621, Vol. 2, No. 1, Juni 2009 Hal 27-37.
Sucharitha, K.V., Beulah, A.M. dan Sahitya, C. 2012. Development and Standardization of Ber-Pineapple Jam. International Journal of Food, Agriculture and Veterinary
Sciences ISSN: 2277-209X, Vol. 2 (3) September-December, pp.126-130/Sucharitha et al.
Syahrumsyah, H., Murdianto, W. dan Pramanti, N. 2010. Pengaruh Penambahan Karboksi Metil Selulosa (CMC) dan Tingkat Kematangan Buah Nanas (Ananas comosus (L) Merr.) terhadap Mutu Selai Nanas. Jurnal Teknologi Pertanian 6(1) : 34-40 ISSN1858-2419.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yee, P.M., Shamsudin, R., Hamzah, A. dan Endan, J. 2011. Kinetic Studies on Cooking of Pineapple Bakery Jam. American Journal of Food Technology 6 (7): 594-603, ISSN 1557-4571/ DOI: 10.3923/ajft.2011.594.603.