Abstraksi

2
ABSTRAKSI Sukisno, 08270001 UPACARA SELAMATAN SURA SEBAGAI SARANA REPRESENTASI DAN LEGITIMASI KEPEMIMPINAN ADAT (Studi pada masyarakat Samin Dusun Jepang Kec.Margomulyo Kabupaten Bojonegoro) Kata kunci : Upacara Selamatan Sura, Representasi, Legitimasi, Kepemimpinan Adat Daftar Pustaka : 68 Buku, 6 Tesis-Skripsi, 2 Penelitian, 3 Majalah, 2 Dokumen, 3 Film, 9 Internet Masyarakat Jawa, menurut Clifford Geertz, diklasifikasikan menjadi tiga sub budaya: abangan, santri dan priyayi (Geertz, 1960). Dalam istilah Koentjaraningrat (1985: 317), Cf. Hefner (1985: 3-4, 107; 1987: 534) dan Stange (1986: 106), golongan priyayi dan abangan disebut kelompok ‘kejawèn’ yang bermakna “Jawanisme” (Beatty, 2001: 40). Masyarakat Samin Jepang Margomulyo dikategorikan sebagai golongan kejawèn. Salah satu bentuk ritual dalam budaya kejawèn adalah upacara Suran. Pemimpin adat Samin selalu menjalankan upacara slamêtan Sura dan menjadi central figure dalam ritual tersebut. Dalam konteks kontemporer, masyarakat Samin (baca: pemimpin adat Samin) memerlukan pengakuan atas eksistensinya. Maka permasalahan penelitian adalah: “Bagaimana upacara selamatan Sura pada masyarakat Samin Jepang Margomulyo Bojonegoro berperan sebagai sarana representasi dan legitimasi atas eksistensi kepemimpinan informal pemimpin adat Samin?” Representasi merupakan upaya bagaimana fenomena atau realitas dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan dalam pemaknaan tertentu (Chris Barker, 2004). Stuart Hall (1997) menyatakan, representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Legitimasi adalah hal yang berkaitan dengan kewenangan dari segi ix

Transcript of Abstraksi

Page 1: Abstraksi

ABSTRAKSI

Sukisno, 08270001UPACARA SELAMATAN SURA SEBAGAI SARANA

REPRESENTASI DAN LEGITIMASI KEPEMIMPINAN ADAT(Studi pada masyarakat Samin Dusun Jepang

Kec.Margomulyo Kabupaten Bojonegoro)

Kata kunci : Upacara Selamatan Sura, Representasi, Legitimasi, Kepemimpinan Adat

Daftar Pustaka : 68 Buku, 6 Tesis-Skripsi, 2 Penelitian, 3 Majalah, 2 Dokumen, 3 Film, 9 Internet

Masyarakat Jawa, menurut Clifford Geertz, diklasifikasikan menjadi tiga sub budaya: abangan, santri dan priyayi (Geertz, 1960). Dalam istilah Koentjaraningrat (1985: 317), Cf. Hefner (1985: 3-4, 107; 1987: 534) dan Stange (1986: 106), golongan priyayi dan abangan disebut kelompok ‘kejawèn’ yang bermakna “Jawanisme” (Beatty, 2001: 40). Masyarakat Samin Jepang Margomulyo dikategorikan sebagai golongan kejawèn. Salah satu bentuk ritual dalam budaya kejawèn adalah upacara Suran. Pemimpin adat Samin selalu menjalankan upacara slamêtan Sura dan menjadi central figure dalam ritual tersebut. Dalam konteks kontemporer, masyarakat Samin (baca: pemimpin adat Samin) memerlukan pengakuan atas eksistensinya. Maka permasalahan penelitian adalah: “Bagaimana upacara selamatan Sura pada masyarakat Samin Jepang Margomulyo Bojonegoro berperan sebagai sarana representasi dan legitimasi atas eksistensi kepemimpinan informal pemimpin adat Samin?”

Representasi merupakan upaya bagaimana fenomena atau realitas dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan dalam pemaknaan tertentu (Chris Barker, 2004). Stuart Hall (1997) menyatakan, representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Legitimasi adalah hal yang berkaitan dengan kewenangan dari segi fungsi. Dalam masyarakat tradisional, legitimasi biasanya berupa legitimasi relegius.

Penelitian ini menggunakan metode interaksi simbolik. Menurut Denzin, penelitian interaksi simbolik memperhatikan tujuh hal, yaitu: (1) simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas, (2) peneliti harus memandang dunia atas dasar sudut pandang subjek, (3) peneliti harus mengaitkan simbol dan subjek dalam sebuah interaksi, (4) setting dan pengamatan harus dicatat, (5) metode harus mencerminkan proses perubahan, (6) pelaksanaan harus berbentuk interaksi simbolik, (7) konsep untuk mengarahkan proses penelitian, kemudian dioperasionalisasikan, sedang proposisi dibangun secara interaksional dan universal (Mulyana, 2002: 149).

Kesimpulan penelitian, upacara selamatan Sura menjadi penghubung (baca: pengikat) antara pemimpin adat Samin dengan masyarakat non Samin. Pemimpin adat Samin berperan sebagai ‘pemilik’ upacara Sura. Masyarakat Samin dan sebagian entitas non Samin menerima dan mengakui upacara selamatan Sura. Realitas tersebut memberi makna penerimaan dan pengakuan entitas non Samin atas eksistensi pemimpin adat. Upacara selamatan Sura menjadi representasi kepemimpinan adat sekaligus memberikan legitimasi atas kepemimpinan adat. Jenis legitimasi adalah legitimasi relegius.

ix