ABSTRAK PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALI PERSAINGAN ... fileKompetensi dan Sertifikasi Usaha...
Transcript of ABSTRAK PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALI PERSAINGAN ... fileKompetensi dan Sertifikasi Usaha...
ABSTRAK
PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALI PERSAINGAN
TIDAK SEHAT DALAM PENYEDIAAN JASA AKOMODASI PONDOK
WISATA
Banyaknya usaha pondok wisata menyebabkan adanya persaingan yang
menuntut usaha pondok wisata untuk memenuhi kebutuhan konsumen dari segi mutu,
nilai maupun kepuasan konsumen. Namun pertumbuhan pondok wisata tersebut
melampaui kebutuhan pasar yang mengakibatkan persaingan tidak sehat sehingga
terjadi perang tarif antar usaha pondok wisata. Berdasarkan latar belakang tersebut
maka ditulis tesis yang berjudul Perizinan sebagai Instrumen Persaingan Tidak Sehat
dalam Penyediaan Jasa Akomodasi Pondok Wisata. Rumusan masalahnya adalah
bagaimanakah pengaturan penyediaan jasa akomodasi pondok wisata dan
bagaimanakah pengaturan perizinan sebagai instrumen pengendali persaingan tidak
sehat dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.
Tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan jenis
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Teknik
analisis data yang dipakai adalah teknik deskriptif-analisis secara sistematisasi dan
interpretasi.
Hasil penelitian tesis ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai
penyediaan jasa akomodasi pondok wisata terdapat pada Pasal 5 dan Pasal 6
Peraturan Menteri Ekonomi Kreatif Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi
Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di bidang pariwisata dan yang bersumber dari
Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan. Kemudian pengaturan perizinannya bersifat pencegahan persaingan
usaha tidak sehat dalam penyediaan jasaakomodasi pondok wisata, tidak sebagai
pemulihan atas dampak persaingan usaha tersebut.
Kata Kunci : Perizinan, Persaingan tidak sehat, Pondok wisata
ABSTRACT
LICENSING AS AN UNFAIR COMPETITION INSTRUMENT IN THE
PROVISION OF HOMESTAYS ACCOMMODATION SERVICES
The great number of homestay businesses lead to a competition that demands
them to meet the needs of consumers. City in terms of quality, value and customer
satisfaction. But their growth surpasses the market needs leading to an unfair
competition resulting in a tariff war among them. Based on the background the writer
writes a thesis entitled Licensing as an Unfair Competition Instrument in the
Provision of Homestays Accommodation Services. The formulation of the problem:
How the provision of homestay accommodation services is arranged and how the
licensing as an instrument of unfair competition control in the provision of homestay
accommodation services is arranged.
This thesis used normative legal research with a legislation approach and a
legal concept analysis approach. The data analysis techniques used were descriptive-
analysis techniques in systematization and interpretation.
The results of this thesis research indicate that the regulation concerning the
provision of homestay accommodation services is found in the Article 5 and Article 6
of the Regulation of the Minister of Creative Economy Number 52 of 2012 on
Certification of Competence and Business Certification in Tourism and which is
sourced from Article 14 paragraph 1 letter f Act Number 10 of 2009 on Tourism.
Then the licensing arrangement is contained is the prevention of unfair business
competition in the provision of cottage tourism accommodation services, not as a
recovery from the impact of business competition.
Keywords: Licensing, Unfair competition, Homestay
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN…………………………………. i
HALAMAN SAMPUL DALAM………………………………….. ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .………… iii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………... iv
HALAMAN PENETAPAN……………………………………...... v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .………………….. vi
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………... vii
HALAMAN ABSTRAK……...…………………………………… x
HALAMAN ABSTRACT………………………………………… xi
RINGKASAN……………………………………………………… xii
DAFTAR ISI……………………………………………………… xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LatarBelakang Masalah…………………………………… 1
1.2. RumusanMasalah…………………………………………. 10
1.3. RuangLingkup Masalah…………………………………... 11
1.4. TujuanPenelitian………………………………………….. 11
1.4.1. Tujuan Umum………………………………………….. 11
1.4.2. TujuanKhusus…………………………………………. 11
1.5. Manfaat Penelitian……………………………………………. 12
1.5.1. Manfaat Teoritis………………………………………… 12
1.5.2. ManfaatPraktis………………………………………… 12
1.6. Orisinalitas Penelitian………………………………………… 13
1.7. Landasan Teroritis …….……………………………………... 15
1.8. Metode Penelitian……………………………………………. 33
1.8.1. Jenis Penelitian…………………………………………. 33
1.8.2. Jenis Pendekatan………………………………………… 34
1.8.3. Sumber Bahan Hukum…………………………………. 35
1.8.4. TeknikPengumpulan Bahan Hukum……………........... 37
1.8.5. Teknik Analisis………………………..……………….. 38
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1. Konsep Jasa Akomodasi Wisata………………………………… 39
2.2. Konsep Persaingan Usaha……..………………………………… 49
2.3. Konsep Perizinan……………………………………………….. 56
BAB III PENGATURAN PENYEDIAAN JASA DAN AKOMODASI
WISATA
3.1. Pengertian dan Jenis Peraturan Perundang-undangan………. 63
3.2. Pengaturan Jasa Pariwisata dan Akomodasi Wisata..……….. 73
3.2.1. Pariwisata……………………………………………... 73
3.2.2. Akomodasi Wisata …………………………………… 76
3.3. Pengaturan Standarisasi Akomodasi Wisata Di Indonesia……. 81
BAB IV PENGATURAN PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN
PENGENDALI PERSAINGAN TIDAK SEHAT DALAM
PENYEDIAAN JASA AKOMODASI PONDOK WISATA
4.1. Pengaturan Jasa Akomodasi Pondok Wisata………………… 96
4.2. Pengaturan Standarisasi Jasa Akomodasi Pondok Wisata…… 103
4.3.Kebijakan Perizinan Sebagai Instrumen PengendalianTerhadap
Persaingan Usaha Penyediaan Pondok Wisata……………… 112
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan…………………………………………………………. 126
5.2. Saran……………………………………………………………... 127
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasawarsa terakhir negara-negara berkembang menaruh perhatian
lebih pada sektor pariwisata, dapat dilihat dengan semakin maraknya program
pengembangan kepariwisataan.1 Pariwisata merupakan sebuah bisnis yang besar.
Jutaan orang mengeluarkan triliunan dolar Amerika meninggalkan rumah dan
pekerjaan untuk memuaskan atau membahagiakan diri (pleasure) dan untuk
menghabiskan waktu luang (leisure).2
Baik di tingkat nasional maupun daerah, pariwisata adalah salah satu
andalan bagi pembangunan dalam perolehan devisa. Oleh karena itu, pembangunan
pariwisata Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing secara berkelanjutan
serta menciptakan inovasi baru untuk mempertahankan.3 Sebagai Negara Kepulauan
terbesar di Dunia, sesungguhnya Indonesia dapat dijadikan modal dasar sekaligus
keunggulan kompratif guna pengembangan sektor pariwisata karena memiliki
potensi alam dan budaya yang sangat luar biasa. Potensi yang dimiliki dapat
1 I Gusti Ngurah Parikesit Widieatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan
Pariwisata Kita, Udayana University Press, Denpasar, h. 9. 2 I Gede Pitana, Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, Andi,
Yogyakarta, h.32. 3 Made Metu Dhana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan,
Paramita, Surabaya, h. 1.
dikonversi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi dengan nilai kompetitif yang
tinggi.
Bali sebagai ikon dan figurasi pariwisata di Indonesia menjadi satu
destinasi wisata dunia yang sangat populer. Pariwisata yang tak ubahnya sebagai
generator penggerak pembangunan perekonomian masyarakat. Berbagai pengamatan
secara empiris tidak kurang dari 80% dari seluruh masyarakat di Bali baik secara
langsung maupun tidak langsung menggantungkan hidupnya pada pariwisata.4
Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemegang otoritas dan legitimasi berinteraksi
langsung di tataran implematif konsep pengembangan pariwisata.
Bisnis pariwisata merupakan aspek kegiatan kepariwisataan yang
orientasinya pada penyedian jasa pariwisata. Bisnis Pariwisata tersebut antara lain
jasa pariwisata (service) yang dibutuhkan wisatawan. Kegiatan ini meliputi jasa
perjalanan (travel) dan transportasi (transportation), penginapan (accomodation),
jasa boga (restaurant), reakreasi (recreation), dan jasa-jasa lain yang terkait seperti
jasa informasi telekomunikasi, penyediaan fasilitas dan tempat untuk kegiatan
tertentu, penukaran uang (money changer) serta jasa hiburan (entertaiment).5
Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat jumlah wisatawan mancanegara
yang berkunjung ke Bali selama bulan Januari-Desember 2013 paling banyak adalah
kebangsaan Australia sejumlah 826.388 orang, Cina sejumlah 387.533 orang, Jepang
4 I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata
Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif Solusi Udayana University Press, Denpasar,
h. 21. 5 Ida Bagus Wyasa Putra. et.al, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Afitama,
Bandung, h.18.
sejumlah 208.116 orang, Malaysia sejumlah 199.232 orang, Singapura sejumlah
138.388 orang, New Zealand sejumlah 48.749 orang, Thailand sejumlah 34.728
orang.6 Selama tahun 2014 hingga bulan agustus sudah tercatat 2,4 juta orang atau
bertambah 15,51 persen jika dibandingkan periode sama tahun 2013 sebanyak 2,1
juta orang.7 Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Bali terhitung sejak Januari 2015
hingga Desember 2015 kunjungan wisatawan ke Bali sejumlah 4,002 juta orang.
Wisatawan mancanegara yang berasal dari Australia masih menempati posisi nomor
satu yaitu sejumlah 965.330 orang, kemudian China sebanyak 687.633 orang, Jepang
sebanyak 228.035 orang, Malaysia sebanyak 190.317 orang, dan Inggris sebanyak
167.527 orang.8 Kemudian pada periode Januari – Desember tahun 2016, secara
kumulatif wisatawan mancanegara yang datang ke Bali sejumlah 4.927.937
kunjungan. Untuk periode tersebut asal wisatawan mancanegara yang paling banyak
datang ke Bali adalah berkebangsaan Australia, Tiongkok, Jepang, Inggris, dan India
dengan persentase masing-masing sebesar 23,20 persen, 20,11 persen, 4,77 persen,
4,50 persen,dan 3,80 persen.9
Lebih cermat melihat perkembangan dari kepariwisataan dunia yang terus
bergerak dinamis dan cendrung dari pihak wisatawan tersebut untuk melakukan
wisata dalam berbagai pola yang berbeda yang merupakan peluang maupun
6 Parwata; 2014, Pariwisata Bali Minim Anggaran Promosi, Majalah Bali Post, Vol. 33,
Bali. 7 Radar Bali, Sampai September, Turis Asing Capai 2,4 Juta, Tgl. 16 September 2014, h.
16 8 http://industri.bisnis.com/read/20160202/12/515410/tahun-lalu-tercapai-bali-naikkan-
target-wisman-pada-2016, diakses tgl 7 Maret 2017 9 https://bali.bps.go.id/webbeta/website/brs_ind/brsInd-20170217073547.pdf, diakses tgl 7
Maret 2017
tantangan bagi pengembangan kepariwisataan di Indonesia. Sejumlah pelaku
pariwisata yang bergerak dalam bidang travel agent mengeluhkan berbagai persoalan
klasik. Minimnya koordinasi investasi antara dunia bisnis, investasi dan pariwisata
menyebabkan pembangunan pariwisata tidak terpadu dan bergerak tercerai berai.10
Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyebutkan di dalam
pembukaannya bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum ditegaskan pada pasal 33 ayat 4 perekonomian Nasional
diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kemandirian
serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi Nasional,
kebersamaan, dan efisiensi berkeadilan berkelanjutan berwawasan lingkungan.
Pemerintah telah meluncurkan sederet kebijakan yang berujung pada penempatan
pariwisata sebagai salah satu yang berpotensial menghasilkan devisa. Tak ayal
terjadi akselerasi perkembangan usaha jasa pariwisata, di satu sisi diwarnai oleh
berbagai macam bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar
menjadi terdistorsi. Disisi lain, perkembangan jasa pariwisata pada kenyataannya
sebagian besar adalah perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Salah satu faktor penyebab ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak
mampu bersaing adalah karena munculnya konglomerasi serta sekelompok kecil
pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati. Agar dunia
usaha jasa pariwisata dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar,
sehingga tercipta iklim persaingan usaha jasa pariwisata yang sehat, serta
10 Otto R Payangan,2014, Pemasaran Jasa Pariwisata, IPBPress, Makasar, h.1
terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu,
antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha jasa tidak sehat
yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Dalam penulisan karya tulis ini penulis akan membahas mengenai jasa
pariwisata khususnya pada jasa akomodasi dalam bentuk pondok wisata. Usaha jasa
pariwisata adalah suatu bisnis yang kegiatan utamanya menjual jasa-jasa pariwisata
kepada para wisatawan baik domestik maupun mancanegara.11 Salah satu yang
termasuk usaha jasa pariwisata adalah usaha jasa akomodasi. Usaha akomodasi
memberikan pelayanan kepada tamu yang menginginkan penyewaan penginapan
(tempat tinggal) baik dalam jangka waktu pendek maupun agak lama.12 Sedangkan
akomodasi adalah suatu sarana yang menyediakan jasa pelayanan penginapan yang
dapat dilengkapi dengan pelayanan makanan dan minuman serta jasa lainnya.13
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada
pasal 14 ayat (1) huruf f yang dimaksud dengan usaha penyediaan akomodasi
adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi
dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan berupa hotel villa,
pondok wisata, bumi perkemahan, pesinggahan caravan dan akomomodasi lainnya
yang digunakan untuk tujuan pariwisata. Dari berbagai jenis sarana akomodasi
yang disediakan oleh destinasi wisata di dunia, Indonesia di daerah Bali khususnya
11 Bagyono, 2012, Pariwisata dan Perhotelan, Alfabeta, Bandung, h. 25 12 Ibid, h. 27 13 Muljadi A.J., 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h. 60
Denpasar sangat familiar dengan sarana akomodasi dalam bentuk hotel dan pondok
wisata.14
Hadirnya berbagai macam jenis sarana akomodasi tersebut, memunculkan
dampak terhadap persaingan yang cukup ketat diantara usaha jasa yang sejenis.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 54
menyebutkan bahwa, usaha pariwisata harus memiliki standar yang di dalamnya
terdiri dari produk, pelayanan, dan pengelolaan yang baik. Usaha jasa yang dimaksud
dalam undang-undang tersebut salah satunya adalah sarana akomodasi pariwisata.
Standar yang harus ditekankan dalam usaha jasa akomodasi pariwisata, yaitu
mengenai pelayanan.
Usaha pondok wisata atau homestay adalah suatu usaha perorangan dengan
menggunakan sebagian dari rumah tinggal untuk penginapan bagi setiap orang
dengan perhitungan pembayaran perhari.15 Kegiatan usaha pondok wisata tersebut
meliputi: penyediaan kamar tempat menginap; penyediaan tempat atau pelayanan
makan dan minum; pelayanan pencucian pakaian/binatu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepariwisataan) Pasal 19 ayat
(1) huruf b yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk melakukan usaha
pariwisata. Konstruksi ini yang menjadikan masyarakat sekitar tidak lagi menjadi
komunitas marginal dan memiliki daya tawar (bargaining position) yang lebih baik
14 Ismayanti, 2010, Pengantar Pariwisata, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.
135. 15 Ibid, h. 61.
untuk dapat menentukan sendiri dan menikmati keuntungan pariwisata yang terdapat
di wilayahnya.16 Sebagai sampel penulis mengkaji Peraturan Daerah serta Peraturan
Bupati yang ada di Bali. Sebagaimana hal tersebut terdapat dalam Peraturan Daerah
Kota Denpasar Nomor 9 Tahun 2002 tentang Usaha Pondok Wisata Pasal 2 ayat 2
modal pondok wisata dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) sehingga dapat
disimpulkan bahwa usaha pondok wisata diperkenalkan dan diizinkan untuk didirikan
oleh pemerintah untuk menunjang dan menjamin hak-hak WNI khususnya
masyarakat wilayah Denpasar atau pengusaha yang ingin berusaha di wilayah
Denpasar Bali dengan permodalan yang minim untuk membuka usaha di bidang
kepariwisataan.
Banyaknya usaha pondok wisata menyebabkan adanya persaingan, hal ini
menuntut pengusaha pondok wisata di Bali untuk lebih aktif dan kreatif berusaha
memenuhi kebutuhan konsumennya, baik dari segi mutu, nilai maupun kepuasan
konsumen. Persaingan tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya pondok
wisata yang ada. Hal ini disebabkan karena Kota Denpasar merupakan barometernya
Bali sehingga banyak objek wisata yang menarik bagi wisatawan. Namun
pertumbuhan pondok wisata tersebut melampaui kebutuhan pasar, yang
mengakibatkan persaingan tidak sehat dalam bentuk penawaran tarif yang tidak
sesuai dengan standar tarif, sehingga terjadi perang tarif dan juga terjadinya
penyimpangan fungsi dari tujuan usaha pondok wisata tersebut. Penyimpangan fungsi
dari tujuan awal usaha tersebut terlihat dari banyaknya orang yang berkunjung ke
16 IGN Parikesit Widiatedja, op.cit, h. 76.
pondok wisata digunakan untuk hal-hal yang negatif.
Berbicara mengenai pasar, pasar memiliki sekurang-kurangnya tiga fungsi
utama, yaitu sebagai fungsi distribusi, pasar tersebut berperan sebagai penyalur
barang dan juga jasa dari produsen ke konsumen melalui transaksi jual beli,
kemudian sebagai fungsi pembentukan harga, dari penjual yang melakukan
permintaan atas barang yang dibutuhkan, dan sebagai fungsi promosi, pasar juga
dapat dipergunakan untuk memperkenalkan produk baru dari produsen kepada calon
konsumennya.17
Mengutip pernyataan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika
menyatakan bahwa perang tarif hotel diyakini akan menurunkan kualitas
pariwisata Bali, menentukan harga dasar hotel untuk menghindari perang tarif
hotel perlu dibuat PERDA tentang pengaturan tarif hotel/pondok wisata karena
banyak dijumpai mengenai tarif yang dijual murah dan tidak masuk akal. Tarif yang
semestinya Rp 5.000.000 per malam tetapi dijual hanya Rp 500.000.18
Salah satu fakta hukum yang tercermin dari kasus ini, banyaknya
pendirian bangunan pondok wisata yang berada di kawasan Gatot Subroroto
khususnya wilayah Jalan Pidada mendirikan Pondok wisata dengan
memberlakukan tarif tidak sesuai dengan standar tarif pondok wisata antara
17 M.Fuad, Christine H, Nurlela, Sugiarto, dan Paulus Y.E.F., 2000, Pengantar Bisnis,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 18
http://travel.kompas.com/read/2015/01/23/082056127/Ini.Langkah.Gubernur.Bali.Atasi. Perang.Tarif.Hotel, diakses tanggal 20 juli 2015
pondok wisata yang satu dengan yang lain berbeda-beda harganya ada yang
Rp. 150.000 - Rp. 300.000 bahkan dalam hal penyewaan pondok wisata bisa perjam,
harian, mingguan dan bulanan tergantung permintaan wisatawan. Sehingga tujuan
penyediaan akomodasi tidak sesuai dengan peruntukan izin yang diberikan. Ini
merupakan faktor yang memicu pengunjung menyewa kamar pondok wisata untuk
keperluan yang tidak sesuai, karena aturan tentang kriteria waktu menginap tidak
jelas ditentukan. Kondisi seperti inilah yang dinilai memprihatinkan sehingga
menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Jika kondisi ini berlangsung secara
terus menerus maka dapat menurunkan kualitas pariwisata yang berpengaruh
terhadap citra pariwisata. Tarif yang murah dapat mengurangi kualitas fasilitas dan
pelayanan karena disesuaikan dengan tarif yang diturunkan.
Kekosongan norma yang mengatur jumlah pondok wisata pada kawasan
tertentu sehingga perizinan tidak berfungsi sebagai instrumen pengendali persaingan
usaha. Solusinya adalah perlu diatur mengenai pembatasan jumlah pondok wisata
pada kawasan tertentu berdasarkan kebutuhan pasar, sehingga perizinan dapat
berfungsi sebagai instrumen pengendali persaingan usaha.
Pentingnya penulisan hukum ini dilakukan karena melihat kasus hukum
di atas berkaitan dengan jasa akomodasi wisata terdapat beberapa masalah yang
dihadapi terhadap pendirian pondok wisata tidak memenuhi standar pondok wisata,
terjadi perang tarif antara penyedia jasa akomodasi wisata dan perang tarif
mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. Salah satu instrumen yang
dapat dipergunakan untuk mengendalikan usaha atau kegiatan tersebut adalah melalui
instrumen perizinan. Izin merupakan instrumen yang banyak digunakan dalam hukum
administrasi. Pemerintah mengeluarkan izin untuk mengatur segala tindakan-tindakan
yang terdapat didalam masyarakat, agar tidak bertentangan dengan ketentuan serta
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pola pikir tersebut, maka pada kesempatan ini penulis sangat
berminat mengkaji lebih dalam mengenai pengaturan penyediaan jasa akomodasi
pondok wisata dan pengaturan perizinan sebagai instrumen pengendali persaingan
tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata. Kajian tersebut
dituangkan ke dalam karya tulis yang berjudul PERIZINAN SEBAGAI
INSTRUMEN PENGENDALI PERSAINGAN TIDAK SEHAT DALAM
PENYEDIAAN JASA AKOMODASI PONDOK WISATA.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diperoleh rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan penyediaan jasa akomodasi pondok wisata?
2. Bagaimanakah pengaturan perizinan sebagai instrumen pengendali
persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata?
1.3 Ruang lingkup Masalah
Adapun ruang lingkup masalah dalam tulisan ini adalah mencangkup
mengenai pengaturan penyediaan jasa akomodasi pondok wisata serta pengaturan
perizinan sebagai instrumen pengendali persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa
akomodasi pondok wisata.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya Hukum Kepariwisataan yang membahas mengenai persaingan tidak sehat
dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.
1.4.2 Tujuan Khusus
Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara spesifik
diharapkan mampu:
1. Untuk menganalisis pengaturan penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.
2. Untuk menganalisis pengaturan perizinan sebagai instrumen pengendali
persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.
1.5 Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya
sehingga penelitan ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum kepariwisataan,
khususnya tentang perizinan sebagai pengendali persaingan tidak sehat dalam
penyediaan akomodasi pondok wisata.
1.5.2 Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis yaitu
memberi sumbangan pemikiran terhadap Pemerintah, agar dapat menindaklanjuti dari
permasalahan yang muncul akibat dari adanya persaingan tidak sehat dalam
penyediaan jasa pondok wisata.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Originalitas penelitian adalah bagian penting dalam penelitian hukum dan
tentunya penelitian-penelitian bidang ilmu lainnya. Masalah originalitas menjadi
sangat penting seperti dikatakan Ruus VerSteeg “In order to be copyrightable, a
work must be original”.19
19 Ruus Versteeg dalam Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi,2014, Penelitian Hukum
(Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, h. 26
Dalam penulisan tesis ini, saya menemukan tulisan-tulisan yang kajiannya
mirip dengan karya tulis ini, adapun tulisan tersebut antara lain :
1. PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN USAHA PONDOK
WISATA PADA KAWASAN TAMAN WISATA ALAM DI PROVINSI BALI
Oleh Dewa Ayu Widya Sari, Magister Hukum Universitas Udayana 2013.
Rumusan masalahnya :
1. Dapatkah pengusahaan pondok wisata dilakukan pada kawasan taman
wisata yang digolongkan sebagai kawasan lindung di Provinsi Bali?
2. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah untuk member kepastian hukum terkait adanya konflik
norma dalam pengaturan izin pengusahaan bagi pondok wisata pada
kawasan taman wisata alam?
Perbedaan tesis Dewa Ayu Widya Sari dengan karya tulis ini dapat dilihat
dari pembahasannya, Dewa Ayu lebih membahas mengenai pengaturan izin usaha
pondok wisata yang dilakukan pada kawasan taman wisata alam yang merupakan
bagian dari kawasan lindung. Sedangkan tesis ini membahas tentang pengaturan
perizinan sebagai instrumen pengendali persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa
akomodasi pondok wisata. Dewa Ayu lebih menitik beratkan pada kepastian hukum
yang dapat diberikan oleh pemerintah terkait didirikannya usaha pondok wisata pada
kawasan lindung. Sedangkan tesis ini lebih membahas tentang pengaturan penyediaan
jasa akomodasi pondok wisata.
Persamaan tesis Dewa Ayu dengan tesis ini adalah sama-sama membahas
tentang perizinan yang berkaitan dengan usaha pondok wisata.
2. PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS MEREK TERDAFTAR DALAM
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Oleh Gatot Ismono, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2005.
Rumusan masalahnya :
1. Bagaimanakah perlindungan hukum hak atas merek terdaftar dalam
persaingan usaha tidak sehat?
2. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum hak atas merek terdaftar
dalam persaingan usaha tidak sehat?
Perbedaan tesis Gatot Ismono dengan karya tulis ini terletak pada objek
kajiannya, Gatot Ismono menggunakan hak atas merek, sedangkan tesis ini
menekankan pada penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.
Persamaannya adalah sama-sama membahas tentang persaingan tidak sehat
dan sama-sama membahas tentang konstruksi hukum yang mengatur.
3. PENGATURAN RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU PADA
PEMERINTAHAN KOTA DENPASAR
Oleh Komang Lestari Kusuma Dewi, Magister Hukum Universitas
Udayana 2010.
Rumusan masalahnya :
1. Bagaimanakah kriteria dan tolok ukur untuk menentukan retribusi
perizinan tertentu pada pemerintahan Kota Denpasar?
2. Bagaimanakah pengaturan retribusi perizinan tertentu pada pemerintahan
Kota Denpasar?
Perbedaan tesis Komang Lestari dengan karya tulis ini adalah: Komang
Lestari membahas mengenai tolok ukur retribusi perizinan, sedangkan tesis ini
membahas tentang kontruksi norma hukum apa yang dapat mencegah terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Persamaannya adalah sama-sama membahas tentang perizinan.
1.7 Landasan Teoritis
Fred N. Kerlinger mengemukakan pengertian teori sebagai seperangkat
konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis
mengenai fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variable, dengan
tujuan untuk memprediksikan dan menjelaskan gejala itu.20
Teori hukum jelas berbeda antara apa yang dipahami dengan hukum
positif, hal ini perlu dipahami untuk menghindari kesalahpahaman, bahwa seolah-
olah tidak dibedakan diantara keduanya. Ada kajian filosofis di dalam teori hukum
sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah
membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan
20 Fred N. Kerlinger dalam Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori
Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 6
filosofisnya tertinggi.21 Adapun teori yang digunakan dalam karya tulis ini adalah
sebagai berikut:
1. Teori Perundang Undangan
Teori Perundang-undangan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai
pisau analisa untuk menjawab rumusan masalah pertama pengaturan penyediaan
jasa akomodasi pondok wisata bagaimana dalam membuat suatu aturan hukum
dapat menjawab dan mengakomodir permasalahan yang ada sehingga aturan
hukum dapat berlaku efektif dan diterima dalam masyarakat. Dalam pengaturan
penyedian jasa akomodasi wisata berdasarkan Undang-Undang tentang
Kepariwisatan Pasal 14 ayat (1) huruf f yang dimaksudkan dengan usaha
penyediaan akomodasi adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan
yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan
akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi perkemahan caravan
dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata. Merujuk pada
pengertian jasa pariwisata terdapat beberapa masalah terdapatnya perang tarif
harga antar penyedia jasa akomodasi wisata dan terdapat penyediaan jasa yang
tidak sesuai dengan standar jasa akomodasi wisata sehingga diperlukan suatu
aturan hukum untuk menindak jelas permasalahan yang terjadi sehingga
dipergunakan teori perundang-undangan untuk membedah masalah pengaturan
21 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum :Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 45.
jasa akomodasi wisata aturan hukum yang dibuat berlandaskan yuridis,
sosiologis dan filosofis.
Teori Perundang Undangan (Gesetzgebungstheorie), yang berorientasi
pada mencari kejelasan serta kejernihan makna atau pengertian-pengertian
(begripsvorming dan begripsverheldering), dan bersifat kognitif
(erklarungsorientiert).22 Dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan (LN No.82 Tahun 2011-
TLN No.5234) selanjutnya disingkat Undang-Undang Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang Undangan “Peraturan Perundang-undangan merupakan
peraturan tertulis yang mengandung norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”.
Menurut Bagir Manan, agar pembentukan peraturan perundang-undangan
menghasilkan suatu aturan yang tangguh dan berkualitas maka harus terdapat tiga
landasan dalam menyusun undang-undang23:
1. Landasan yuridis (juridische gelding) yakni pertama, harus ada kewenangan
dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-
undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Apaila tidak
maka peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum (van
rechtswegenietig) dan dianggap tidak pernah ada sehingga segala akibatnya
batal secara hukum. Misalnya, undang-undang dalam arti formal (wet in
22 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, PT Kanisius, Yogyakarta, h.8. 23 Yuliandri, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, dikutip dari Bagir Manan, Dasar-Dasar
Konstitusional Peraturan Perundang Undangan Nasional, Cetakan ke IV, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 29.
formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-
undang yang tidak merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR
adalah batal demi hukum. Begitu pula Keputusan Menteri, Peraturan Daerah
dan sebagainya harus juga menunjukkan kewenangan dari pembuatnya.
Kemudian yang kedua, harus adanya kesesuaian dari bentuk atau jenis
peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama apabila
merupakan perintah turunan dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau sederajat. Ketidaksesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk
membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut. Selanjutnya yang
ketiga adalah harus mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut
tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau
tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peraturan Daerah dibuat
oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Apabila ada Peraturan Daerah
tanpa (mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal demi hukum. Dalam
undang-undang tentang pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-
undang harus diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara
untuk mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selama pengundangan tersebut
belum dilakukan, maka undang-undang tersebut belum mengikat. Keempat
adalah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung
kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai
pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.
2. Landasan sosiologis (sociologische gelding), yaitu mencerminkan kenyataan
yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri,
hukum/peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan kenyataan-
kenyataan yang ada di dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu
dapat berupa kebutuhan maupun tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi
seperti masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain-lain.
3. Landasan filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai cita-cita
hukum (rechtsidee) yaitu hukum yang diharapkan, misalnya untuk menjamin
keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh
dari sistem penilaian mereka tentang baik dan buruk pandangan mereka terkait
hubungan individual dan kemasyarakatan, mengenai kebendaan, kedudukan
wanita, dunia gaib dan lain sebagainya yang bersifat filosofis. Ini berarti
menyangkut pandangan tentang inti atau hakekat sesuatu. Hukum diharapkan
mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yang melindungi
nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku
masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat sehingga
setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat
menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum/peraturan perundang-
undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara
sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun
dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti yang tercantum pada Pancasila.
Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-
undangan sudah seharusnya memperhatikan sungguh-
sungguh rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila.24
Pentingnya ketiga unsur landasan pembentukan peraturan perundang-
undang tersebut, agar undang-undang yang dibentuk memiliki kaidah yang sah secara
hukum (legal validity) serta mampu berlaku efektif karena dapat atau akan diterima
masyarakat secara wajar, dan berlaku untuk waktu yang panjang.
Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori
penjenjangan hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam
teori tersebut Hans Kelsen mengemukakan bahwa ”The unity of thesenorm is
constituted by the fact that the creation of one norm-the lower one-is determined by
another-the higher-the creation of which is determined by a still higher norm, and
that this regressus is terminated by a highest,....”25 yang artinya adalah kesatuan
norma-norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yaitu
norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi dan bahwa
24 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill. Co, Jakarta,
1992, h. 13 - 18.
25 Hans Kelsen, Op.cit, h. 124.
regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh norma dasar
tertinggi.
Norma dasar (Grundnorm) yang merupakan norma tertinggi dalam suatu
sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,
tetapi norma dasar tersebut ditetapkan lebih dulu oleh masyarakat sebagai norma
dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya.
Adolf Merkl mengilhami ajaran teori penjenjangan norma hukum dari
Hans Kelsen tersebut dengan mengatakan bahwa suatu norma hukum itu selalu
mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechsantlitz). Menurutnya, suatu norma hukum
itu ke atas bersumber dan berdasarkan pada norma yang ada di atasnya, akan tetapi ke
bawah juga menjadi dasar dan sumber bagi norma hukum yang berada di bawahnya
sehingga suatu norma hukum itu memiliki masa berlaku (rechtskraht) yang relatif
oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum
yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya
dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan
tercabut atau terhapus pula.26
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
26 Maria Farida Indrati Soeprapto, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius,
Yogyakarta, 1998, hal 25.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 7 ayat (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam penjelasan umum Pasal
7 ayat (2) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” ialah penjenjangan
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa
Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pada pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah (LN No. 244-TLN No. 5587) selanjutnya disingkat Undang
Undang Pemerintah Daerah “Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom”. Dalam menyelenggarakan
unsur pemerintahan di daerah, maka dilaksanakan melalui 3 (tiga) asas yaitu:
1. Asas Desentralisasi, merupakan penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem NKRI.
2. Asas Dekonentrasi, merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah pada Gubernur sebagai wakil pemerintah kepada
instansi vertial di wilayah tertentu.
3. Asas Tugas Pembantuan, merupakan penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan/desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.27
2. Teori Persaingan Usaha
Teori persaingan usaha digunakan dalam penulisan tesis ini sebagai
pisau analisa untuk menjawab rumusan masalah kedua pengaturan perizinan
sebagai instrumen pengendali persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa
akomodasi pondok wisata dengan teori Michael Porter yang terkenal dengan
dengan menganalisis persaingan atau competition analysis lebih dikenal istilah
Porter Five Forces Model sebagai alat analisa agar tidak terjadi persaingan
usaha. Pendekatan dan penggunaan analisis ini harus disusun dengan
pertimbangan-pertimbangan dengan tidak menghilangkan keadilan sehingga
keadilan menjadikan ekonomi standar yang didasari oleh tiga elemen dasar
yaitu, nilai, kegunaan dan efsiensi. Porter Five Force Model menjadi acuan
undang-undang guna menilai sampai sejauh mana dampak dari pemberlakuan
suatu ketentuan hukum/ peraturan perundang-undangan kepada masyarakat. Dari
sini dapat lebih mudah diketahui reaksi masyarakat dan kemanfaatan yang
mampu diberikan oleh ketentuan hukum. Dapat dikatakan bahwa analisis
keekonomian hukum merupakan analisa hukum yang dibangun dengan
27 Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 7.
menggunakan pendekatan dasar-dasar ekonomi sekaligus mengedepankan analisa
hukum dengan alasan pertimbangan alasan ekonomi. Sehingga permasalahan yang
dihadapi oleh hukum terjawab dengan baik terutama dalam pemenuhan
kepuasaan masyarakat yang terkena dampak aturan tersebut.
Persaingan menurut Organization for Economic Co-operation and
Development (EOCD) utama adalah sebagai berikut :
A situation in a market in which firms or sellers independently strive for
the patronage of buyers in order to achieve a particular bussines objective,
e.g. profits, saales, and/or market shares. Competition in this context is
often equated with rivalry. Competitive rivalry between firms can occur
when there are two firms or many firms. This is rivalry may take place in
term of price, quality, service, or combination of these and the other
factors, which customers may value. Competition is viewed as an important
process by which firms are forced to become efficient and offer greater
choice of products and services at lower prices. It gives rise to increased
consumer wefare and allocative efficiency. It includes the concept to
“dynamic efficiency” by which firms engage in innovation and foster
technological change and progress.28
Dari pengertian tersebut di atas jelas disebutkan bahwa situasi di sebuah
pasar dimana perusahaan atau penjual secara independen berusaha untuk memberikan
perlindungan kepada pembeli untuk mencapai tujuan bisnis tertentu, misalnya
keuntungan, penjualan saham, dan / atau pangsa pasar. Persaingan dalam konteks ini
sering disamakan dengan pertandingan. Pertandingan kompetitif antara perusahaan
dapat terjadi ketika ada dua perusahaan atau banyak perusahaan. Pertandingan ini
dapat terjadi dalam hal harga, kualitas, layanan, atau kombinasi dari ini dan faktor-
faktor lainnya, yang pelanggan dapat menghargai. Persaingan dipandang sebagai
28 OECD dalam Ridho Jusmadi, 2014, Konsep Hukum Persaingan Usaha : Sejarah,
Kaidah Perdagangan Bebas, dan Pengaturan Merger-Aquisi, Setara Press, Malang, h. 34
proses penting dimana perusahaan dipaksa untuk menjadi efisien dan menawarkan
pilihan yang lebih besar dari produk dan jasa dengan harga yang lebih rendah. Ini
menimbulkan peningkatan kesejahteraan konsumen dan efisiensi alokatif. Ini
mencakup konsep untuk "efisiensi dinamis" dimana perusahaan terlibat dalam inovasi
dan mendorong perubahan dan kemajuan teknologi.
Persaingan adalah satu karakter kehidupan manusia yang mengarah untuk
saling mengalahkan dalam berbagai macam hal. Sesungguhnya persaingan dalam
dunia usaha merupakan suatu syarat mutlak (condition sine qua non) agar
terselenggaranya suatu perekonomian yang berorientasi pasar (market economy).
Hukum sangat berperan dalam persaingan usaha yaitu untuk terlaksananya suatu
persaingan yang sehat dan adil (fair competition) sekaligus mencegah timbulnya
persaingan tidak sehat (unfair competition) sebab persaingan yang tidak sehat hanya
akan timbul ketika matinya persaingan usaha yang pada gilirannya akan
menimbulkan monopoli.29
Persaingan merupakan suatu elemen yang melekat dalam perekonomian
modern. Pelaku usaha sadar bahwa dalam dunia perbisnisan sangat wajar untuk
mencari keuntungan usaha yang jujur. Sehingga kebutuhan akan hukum persaingan
merupakan kebutuhan prinsipil mengenai code of conduct yang dapat mengarahkan
pelaku usaha untuk bersaing secara sehat dan jujur.30
29 Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha : Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya
di Indonesia, Malang, Bayu Media Publishing, 2007, h. 40 30 Hikmahanto Juwana, Sekaligus Tentang Hukum Persaingan dan UU No. 5 Tahun 1999,
Depok, Jurnal Magister Hukum 1, 2005, h. 27.
Makna harga sangat berhubungan erat dengan penetapan harga, berawal
dari hal sederhana, bahwa harga (price) dan manfaat merupakan konsep yang saling
berkaitan. Manfaat (utility) adalah atribut sebuah item/barang yang mempunyai
kemampuan untuk memuaskan keinginan. Penetapan harga yang dimaksud sering
tidak mencerminkan kondisi persaingan antara yang satu dengan yang lainnya,
persaingan tidak untuk mematikan pelaku usaha lain, namun membangkitkan
keinginan untuk lebih berinovasi dan unggul dalam memberikan pelayanan.
Menurut Adam Smith persaingan akan menjadi sebuah sistem ekonomi
yang bisa mengatur diri sendiri dan kemakmuran. Kemakmuran terjadi jika semua
kebutuhan dan fasilitas untuk hidup tersedia dengan harga murah.Melalui persaingan
berarti pula harga rendah dan lebih banyak pekerjaan yang mempunyai standar hidup
tinggi.
Maka dari itu negara sebagai as regulator mempunyai kewenangan untuk
membentuk suatu kebijakan mengenai aturan-aturan tarif. Aturan-aturan tarif yang
tinggi, kewajiban, kuota, dan aturan-aturan lainnya yang ditunjukan untuk membatasi
perdagangan, produksi, dan pada akhirnya membatasi standar hidup.31
Di dalam teori persaingan kita mengenal adanya suatu teori dari Michael
Porter yang sangat terkenal pada saat menganalisis persaingan atau competition
analysis. Teori tersebut sangat terkenal dengan istilah Porter Five Forces Model.
Intinya adalah Porter menilai bahwa perusahaan secara nyata tidak hanya bersaing
31 Mark Skousen, 2006, Sang Maestro ”Teori-teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran
Ekonomi, Cet ke. 2, Prenada Media, Jakarta, h. 20.
dengan perusahaan yang ada dalam industri saat ini. Analisis yang biasa digunakan
sebuah perusahaan adalah siapa pesaing langsung perusahaan tersebut dan akhirnya
mereka terjebak dalam “competitor oriented”, sehingga tidak mempunyai visi pasar
yang jelas. Dalam five forces model digambarkan bahwa kita juga bersaing dengan
pesaing potensial kita, yaitu mereka yang akan masuk, para pemasok atau suplier,
para pembeli atau konsumen, dan produsen produk-produk pengganti. Dengan hal
tersebut, kita harus mengetahui bahwa ada lima kekuatan yang menentukan
karakteristik suatu industri, yaitu :
1) Intensitas persaingan antar pemain yang ada saat ini
Kekuatan pertama yang biasanya menjadi fokus dari para pemasar ialah
tentang intensitas rivalitas atau persaingan antar pemain dalam industri.
Biasanya intensitas persaingan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor,
misalnya struktur biaya produk. Semakin besar porsi biaya tetap dalam
struktur biaya, maka semakin tinggi intensitas persaingan. Hal ini disebabkan,
setiap penjual memiliki tingkat break even point yang tinggi sehingga pada
umumnya harus menjual produk dalam jumlah yang besar, dan bila perlu
dilakukan “banting harga” agar bisa mencapai tingkat break even tersebut.
2) Ancaman masuk pendatang baru
Kekuatan ini biasanya dipengaruhi oleh besar kecilnya hambatan masuk ke
dalam industri. Hambatan masuk kedalam industri itu contohnya antara lain :
besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, perizinan, akses terhadap bahan
mentah, akses terhadap saluran distribusi, ekuitas merek dan masih banyak
lagi. Biasanya semakin tinggi hambatan masuk, semakin rendah ancaman yg
masuk dari pendatang baru.
3) Kekuatan tawar menawar pemasok
Ketiga ialah kekuatan tawar pemasok atau supplier. Biasanya sedikit jumlah
pemasok, semakin penting produk yang dipasok, dan semakin kuat pula posisi
tawarnya.
4) Kekuatan tawar pembeli
Kekuatan keempat yaitu kekuatan tawar pembeli, dimana kita bisa melihat
bahwa semakin besar pembelian, semakin banyak pilihan yang tersedia bagi
pembeli dan pada umumnya akan membuat posisi pembeli semakin kuat.
5) Ancaman produk pengganti
Kekuatan yang terakhir ialah soal produk-produk substitusi, seberapa banyak
produk substitusi di pasar. Ketersedian produk substitusi yg banyak akan
membatasi keleluasaan pemain dalam industri untuk menentukan harga jual
produk.
Kelima kekuatan bersaing menurut Porter tersebut diatas dapat
dikategorikan sebagai faktor eksternal. Definisi dari faktor eksternal perusahaan itu
sendiri ialah lingkungan bisnis yang melengkapi operasi perusahaan yang
memunculkan peluang dan ancaman. Faktor ini mencakup lingkungan industri dan
lingkungan bisnis makro, yang membuat keadaan dalam organisasi tersebut hidup.
Elemen-elemen dari faktor eksternal tersebut ialah pemasok, pemegang saham,
komunitas lokal, pemerintah, pesaing, kreditur, pelanggan, serikat buruh, kelompok
kepentingan khusus, dan asosiasi perdagangan. Lingkungan kerja perusahaan
umumnya ialah industri dimana perusahaan tersebut dioperasikan.
3. Konsep Perizinan
Konsep Perizinan yang digunakan dalam penulisan tesis ini sebagai pisau
analisa untuk menjawab rumusan masalah kedua pengaturan perizinan sebagai
instrumen pengendali persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi
pondok wisata. Perizinan salah satu wujud keputusan pemerintah yang banyak
dipergunakan untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan masyarakat.
Instrumen perizinan diperlukan pemerintahuntuk mengkongkretisasi wewenang
yang mengaturnya dengan beberapa tujuan atau motif tertentu seperti tujuan
utama instrumen perizinan yang dimaksud dapat bersifat alternatif atau komulatif
dari hal-hal berikut : keinginan mengarahkan, mengendalikan aktivitas- aktivitas
tertentu dan pengarahan dengan menyelesaikan orang-orang dan aktivitas. Hal
diatas menunjukan penetapan perizinan sebagai salah satu instrumen hukum dari
pemerintah guna mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang
dengan ketentuan hukum yang berlaku serta membatasi aktifitas masyarakat agar
tidak merugikan orang lain dengan demikian instrumen perizinan lebih
merupakan instrumen pencegahan atau berkarakter sebagai preventif instrumental.
Menurut Sjachran Basah, izin ialah perbuatan hukum administrasi negara
bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dengan hal konkret berdasarkan
persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh kententuan peraturan
perundang-undangan.32
NM.Spelt dan JBJM.Ten Berge membedakan penggunaan istilah perizinan
dan izin, dimana perizinan merupakan pengertian izin dalam arti luas, sedangkan
istilah izin digunakan untuk pengertian izin dalam arti sempit. Pengertian perizinan
(izin dalam arti luas) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-
undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa
memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu yang sebenarnya dilarang.33
Sedangkan yang paling pokok dari izin dalam arti sempit (izin) adalah
bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam
ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti
diberikan batas-batas tertentu bagi tiap-tiap kasus. Jadi yang menjadi masalah bukan
hanya memberikan perkenaan dalam keadaan khusus, tetapi agar tindakan-tindakan
yang diperkenankan tersebut dilakukan dengan cara-cara tertentu (dicantumkan
berbagai persyaratan dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan). Terkait dengan
uraian tersebut Michael Faure and Nicole Niessen mengartikan izin sebagai berikut :
32 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada : Ed. Revisi-7-
Jakarta Rajawali Pers, 2014. h. 198 33 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh
Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, h. 2
“The basic idea of a permit system is that the law explicitly forbids a certain
activity, and subsequently rules that this activity is only allowed when a
competent authority has issued permit”.34
Izin merupakan “Keputusan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara”.
Ini menyimpulkan bahwa dengan izin dapat dibentuk suatu hubungan hukum tertentu.
Dalam hubungan ini oleh administrasi negara/pemerintah dicantumkan syarat-syarat
serta kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati dan harus dilaksanakan oleh
pihak yang memperoleh izin. Penolakan izin hanya dilakukan apabila kriteria yang
ditetapkan oleh penguasa tidak terpenuhi atau jika disebabkan oleh suatu alasan
tertentu tidak mungkin memberi izin kepada semua orang.35
Hal tersebut menunjukkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu
instrumen hukum dari pemerintah adalah untuk mengendalikan kehidupan
masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan peraturan yang berlaku, serta
membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain.36
Menurut Amrah Muslimin, bahwa izin tersebut dibaginya ke dalam tiga
bagian bentuk perizinan (vergunning) yaitu :37
34 Marjan Peeters, “Elaborting on Integration of Environmental Legislation: the case of
Indonesia” dalam Faure, Michael and Niessen, Nicole, Editor, 2006, Environmental Law in
Development, Lessons from the Indonesian Experience, Edward Eglar Publishing, USA, h. 107 35 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,Op.Cit., h. 3 36 Tatik Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, dalam I Made
Arya Utama, h. 24 37 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 25
a. Lisensi, ini melambangkan izin yang sebenarnya (Deiegenlyke). Dasar
pemikiran untuk mengadakan penetapan yang merupakan lisensi ini
adalah bahwa hal-hal yang diliputi oleh lisensi diletakkan di bawah
pengawasan pemerintah, untuk mengadakan penertiban. Misalnya : Izin
perusahaan bioskop.
b. Dispensasi, ini merupakan suatu pengecualian dari ketentuan yang
sifatnya umum, dalam hal mana pembuat undang-undang sebenarnya
dalam prinsipnya tidak berniat mengadakan pengecualian.
c. Konsesi, dari sisi pemerintah yang menginginkan sendiri serta
menganjurkan adanya usaha-usaha.
Dilihat dari sudut pandang hukum administrasi negara, izin termasuk salah
satu wujud tindak pemerintahan. Izin sebagai suatu ketetapan yang pada hakikatnya
ialah tindakan hukum sepihak berdasarkan kewenangan publik yang
memperbolehkan atau memperkenankan menurut hukum bagi seseorang/badan
hukum untuk melakukan suatu kegiatan.38
Objek dari izin tersebut ialah suatu perbuatan yang sebenarnya dilarang,
namun untuk melakukan perbuatan itu diperlukan persetujuan dari pemerintah atau
pejabat yang berwenang mengeluarkan izin.39
1.8 Metode Penelitian
38 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan
Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung. 39 Helmi, 2013, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, h. 28
Pada intinya penelitian hukum merupakan komponen yang penting
dari praktek hukum. Hal ini merupakan proses penemuan hukum yang mengatur
aktivitas serta bahan-bahan yang menjelaskan atau menganalisa hukum tersebut..
Menurut F. Sugeng Susanto penelitian hukum ialah penelitian yang
diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu hukum.40
Legal research is an essential component of legal practice. It is the
process of finding the law that governs an activity and materials that explain or
analyze that law.41
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah penelitian
hukum normatif yang mana dengan mengkaji melalui peraturan perundang-
undangan dan literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan. Pada
penelitian hukum normatif, hukum tersebut dikonsepkan sebagai suatu yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.42 Penelitian hukum
40 F. Sugeng Susanto, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, h. 29. 41Morris L Cohen and Kent C Olson, 2000, Legal Research in a Nutshell, West Group ,
Amerika, h. 1. 42Amiruddin dan H. Zainal Aaikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.
normatif dapat diartikan mengkaji adanya kekosongan norma, kekaburan norma dan
kontradiksi norma.43
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif
merupakan:44
“… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan
hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif ini dilakukan agar
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi….”
1.8.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan diartikan sebagai usaha dalam rangka aktifitas penelitian untuk
mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk
mencapai pengertian tentang masalah penelitian.45
Adapun jenis pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah
pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan analisis
konsep hukum (Analytical and Conceptual Approach).
Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approcah) dilakukan dengan
cara menelaah peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan untuk
mengkaji adanya permasalahan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang
43Jimly.com/pemikiran/getbuku/12, Diakses 17 Februari 2016. 44 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, h. 35. 45 Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.17
berhubungan dengan permasalahan yang akan di bahas dalam tesis ini.
Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and Conceptual Approach)
yang beranjak dari peraturan perundang-undangan maupun pandangan-pandangan
serta doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan belajar
memahami pandangan-pandangan serta doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,
peneliti akan menemukan ide-ide yang relevan dengan isu yang dihadapi.46
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini yaitu
dengan dua jenis sumber bahan hukum antara lain bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.47
Menurut Stephen Elias, bahan hukum primer ialah ”the law found in
primary source can take many different forms. The include cases, statues,
administrative regulations, local ordinances, state and federal constitutions, and
more”48.
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan
mengikat.49
Bahan hukum primer yang digunakan adalah :
46 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h.93 47 Ibid. 48 Stephen Elias, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law, Free Legal
Update at Nolo.com, USA, p.23. 49 Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. h. 113.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
4. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013
tentang Standar Usaha Hotel
5. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 9 Tahun 2002 Tentang Usaha
Pondok Wisata.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan tentang bahan hukum primer yang akan memperkuat penjelasan
di dalam suatu penelitian. Bahan hukum sekunder juga termasuk publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.50
Bahan hukum sekunder terdiri dari :
1. Buku-buku terkait hukum yang menjelaskan tentang perizinan sebagai
pengendali persaingan usaha tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi
pondok wisata;
2. Jurnal-jurnal hukum yang menjelaskan tentang perizinan sebagai
pengendali persaingan usaha tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi
50 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, h. 35
pondok wisata;
3. Karya tulis terkait hukum atau pandangan para ahli hukum yang dimuat
dalam media massa;
4. Kamus dan ensiklopedia hukum;
5. Internet.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan
penelitian ini ialah dengan melakukan pencatatan secara sistematis dari bahan-
bahan yang telah didapatkan melalui studi kepustakaan/studi dokumen. Penelitian
ini dilakukan terhadap berbagai jenis dokumen serta bahan-bahan hukum kepustakaan
yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yang mana
bahan-bahan hukum tersebut seperti peraturan perundang-undangan serta buku-buku
literatur dikaji dan ditelaah. Selanjutnya, hasil pengkajian tersebut dibuat resume
secara sistematis sebagai inti sari dari hasil kajian.
1.8.5 Teknik Analisis
Analisis diartikan sebagai proses mengorganisasikan serta mengurutkan
data ke dalam pola, kategori, dan juga satuan uraian dasar sehingga menemukan tema
serta dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.51
51 Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik deskriptif-analisis, secara
sistematisasi dan interpretasi. Dilanjutkan dengan menyeleksi semua data dan
mengolahnya, kemudian dianalisis dengan teknik deskripsi52 yang mana menguraikan
apa adanya dari suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non
hukum serta menggambarkan secara tepat sifat atau individu, keadaan, gejala, atau
kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi gejala53. Selanjutnya menggunakan
teknik interpretasi yang mana analisis ini menggunakan penafsiran ilmu hukum
seperti penafsiran gramatika, historis dan sistimatis.
52 M Syamsudin,2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 133. 53 Sri Mamudji, Dkk, 2005, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 4.