ABSTRAK PENGARUH MODAL SOSIAL, … ABSTRAK PENGARUH MODAL SOSIAL, PARTISIPASI MASYARAKAT DAN KINERJA...

27
ix ABSTRAK PENGARUH MODAL SOSIAL, PARTISIPASI MASYARAKAT DAN KINERJA LEMBAGA PERKREDITAN DESA TERHADAP KEBERHSILAN PEMBANGUNAN PERDESAAN DI PROVINSI BALI I NENGAH SUARMANAYASA Pembangunan perdesaan adalah konsep pembangunan yang berbasis perdesaan (rural) dengan memerhatikan ciri khas sosial dan budaya masyarakat yang tinggal di kawasan perdesaan. Umumnya, permasalahan di desa adalah kurangnya akses terhadap modal. Untuk itu, pentingnya membangkitkan peran lembaga keuangan komunitas adat yang ada di desa. Permasalahan penelitian ini : bagaimana pengaruh Modal Sosial, Partisipasi Masyarakat dan Kinerja LPD dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan perdesaan. Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini: 1) Modal Sosial berpengaruh terhadap Partisipasi Masyarakat; 2) Modal Sosial berpengaruh terhadap Kinerja LPD; 3) Modal Sosial berpengaruh terhadap Pembangunan Perdesaan; 4) Partisipasi Masyarakat berpengaruh terhadap Kinerja LPD; 5) Partisipasi Masyarakat berpengaruh terhadap Pembangunana Perdesaan; 6) Kinerja LPD berpengaruh terhadap Pembangunan Perdesaan; 7) Dengan dimediasi oleh Partisipasi Masyarakat, Modal sosial berpengaruh terhadap Kinerja LPD; 8) Dengan dimediasi oleh Kinerja LPD, Modal Sosial berpengaruh terhadap Pembangunan Perdesaan; dan 9) Dengan dimediasi oleh Kinerja LPD, Partisipasi Masyarakat berpengaruh terhadap Pembangunan Perdesaan. Penelitian ini menemukan : 1) Modal Sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Partisipasi Masyarakat; 2) Modal Sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja LPD; 3) Modal Sosial berpengaruh positif tidak signifikan terhadap Pembangunan Perdesaan; 4) Partisipasi Masyarakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja LPD; 5) Kinerja LPD berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pembangunan Perdesaan; 6) Dengan dimediasi oleh Partisipasi Masyarakat, Modal sosial berpengaruh signifikan terhadap Kinerja LPD; 7) Dengan dimediasi oleh Kinerja LPD, Modal Sosial berpengaruh signifikan terhadap Pembangunan Perdesaan; dan 9) Dengan dimediasi oleh Kinerja LPD, Partisipasi Masyarakat berpengaruh signifikan terhadap Pembangunan Perdesaan. Akhirnya, sari penelitian ini adalah bahwa Kinerja LPD berperan sangat penting dan strategis yaitu memediasi dengan sempurna (complete mediated) pengaruh Modal Sosial terhadap Pembangunan Perdesaan, dan Kinerja LPD memediasi secara parsial (partial mediated) pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan Perdesaan, serta Partisipasi Masyarakat memediasi secara parsial (partial mediated) pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja LPD. Kata Kunci : Kinerja LPD, Modal Sosial, Partisipasi Masyarakat, Pembangunan Perdesaan

Transcript of ABSTRAK PENGARUH MODAL SOSIAL, … ABSTRAK PENGARUH MODAL SOSIAL, PARTISIPASI MASYARAKAT DAN KINERJA...

ix

ABSTRAK

PENGARUH MODAL SOSIAL, PARTISIPASI MASYARAKAT DANKINERJA LEMBAGA PERKREDITAN DESA TERHADAP

KEBERHSILAN PEMBANGUNAN PERDESAANDI PROVINSI BALI

I NENGAH SUARMANAYASA

Pembangunan perdesaan adalah konsep pembangunan yang berbasisperdesaan (rural) dengan memerhatikan ciri khas sosial dan budaya masyarakatyang tinggal di kawasan perdesaan. Umumnya, permasalahan di desa adalahkurangnya akses terhadap modal. Untuk itu, pentingnya membangkitkan peranlembaga keuangan komunitas adat yang ada di desa.

Permasalahan penelitian ini : bagaimana pengaruh Modal Sosial,Partisipasi Masyarakat dan Kinerja LPD dalam mewujudkan keberhasilanpembangunan perdesaan. Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini: 1) ModalSosial berpengaruh terhadap Partisipasi Masyarakat; 2) Modal Sosial berpengaruhterhadap Kinerja LPD; 3) Modal Sosial berpengaruh terhadap PembangunanPerdesaan; 4) Partisipasi Masyarakat berpengaruh terhadap Kinerja LPD; 5)Partisipasi Masyarakat berpengaruh terhadap Pembangunana Perdesaan; 6)Kinerja LPD berpengaruh terhadap Pembangunan Perdesaan; 7) Dengandimediasi oleh Partisipasi Masyarakat, Modal sosial berpengaruh terhadap KinerjaLPD; 8) Dengan dimediasi oleh Kinerja LPD, Modal Sosial berpengaruh terhadapPembangunan Perdesaan; dan 9) Dengan dimediasi oleh Kinerja LPD, PartisipasiMasyarakat berpengaruh terhadap Pembangunan Perdesaan.

Penelitian ini menemukan : 1) Modal Sosial berpengaruh positif dansignifikan terhadap Partisipasi Masyarakat; 2) Modal Sosial berpengaruh positifdan signifikan terhadap Kinerja LPD; 3) Modal Sosial berpengaruh positif tidaksignifikan terhadap Pembangunan Perdesaan; 4) Partisipasi Masyarakatberpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja LPD; 5) Kinerja LPDberpengaruh positif dan signifikan terhadap Pembangunan Perdesaan; 6) Dengandimediasi oleh Partisipasi Masyarakat, Modal sosial berpengaruh signifikanterhadap Kinerja LPD; 7) Dengan dimediasi oleh Kinerja LPD, Modal Sosialberpengaruh signifikan terhadap Pembangunan Perdesaan; dan 9) Dengandimediasi oleh Kinerja LPD, Partisipasi Masyarakat berpengaruh signifikanterhadap Pembangunan Perdesaan. Akhirnya, sari penelitian ini adalah bahwaKinerja LPD berperan sangat penting dan strategis yaitu memediasi dengansempurna (complete mediated) pengaruh Modal Sosial terhadap PembangunanPerdesaan, dan Kinerja LPD memediasi secara parsial (partial mediated)pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan Perdesaan, sertaPartisipasi Masyarakat memediasi secara parsial (partial mediated) pengaruhModal Sosial terhadap Kinerja LPD.

Kata Kunci : Kinerja LPD, Modal Sosial, Partisipasi Masyarakat, PembangunanPerdesaan

x

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM..................................................................................... iLEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................... iiiPERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ........................................................ ivRIWAYAT HIDUP .................................................................................... vUCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... viABSTRAK .................................................................................................. ixDAFTAR ISI............................................................................................... xDAFTAR TABEL ......................................................................................xiiiDAFTAR GAMBAR.................................................................................. xivDAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang ................................................................. 11.2. Rumusan Masalah ............................................................. 201.3. Tujuan Penelitian .............................................................. 211.4. Manfaat Penelitian ............................................................ 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1. Kajian Teoritis ................................................................. 24

2.1.1 Teori Pembangunan ............................................. 242.1.2 Pembangunan Perdesaan dan

Kelembagaan Sektor Finansial.............................. 302.1.3 Teori Kinerja .........................................................362.1.4 Teori Modal Sosial................................................432.1.5 Teori Partisipasi .................................................... 652.1.6 Keuangan Mikro.................................................... 72

2.2 Kajian Empiris dan Penelitian Terdahulu ......................... 822.2.1 Hubungan Modal Sosial dengan Kinerja .............. 822.2.2 Hubungan Modal Sosial dengan Pembangunan.... 852.2.3 Hubungan Partisipasi Masyarakat dengan

Kinerja................................................................... 892.2.4 Hubungan Partisipasi Masyarakat dengan

Pembangunan ........................................................ 932.2.5 Hubungan Kinerja dengan Pembangunan............. 96

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS3.1. Kerangka Berpikir ............................................................ 983.2. Kerangka Konsep Penelitian ............................................ 1043.3. Hipotesis Penelitian........................................................... 107

BAB IV METODE PENELITIAN4.1 Rancangan Penelitian........................................................ 1084.2 Lokasi Penelitian............................................................... 108

xi

4.3 Jenis dan Sumber Data...................................................... 1094.4 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................ 1104.5 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel................ 111

4.5.1 Variabel Penelitian ................................................ 1114.5.2 Definisi Operasional Variabel............................... 113

4.6 Instrumen Penelitian ......................................................... 1154.6.1 Pengujian Validitas Instrumen .............................. 1154.6.2 Pengujian Reliabilitas Instrumen .......................... 116

4.7 Teknik Pengumpulan Data................................................ 1164.8 Teknik Analisis Data......................................................... 117

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN5.1 Gambaran Umum Penelitian ............................................ 128

5.1.1 Gambaran Umum Provinsi Bali .......................... 1285.1.2 Kondisi Perkembangan Desa di Provinsi Bali..... 1315.1.3 Desa Pakraman sebagai Basis LPD ..................... 1335.1.4 Sejarah Singkat LPD Bali.................................... 1385.1.5 Perkembangan LPD Bali ..................................... 143

5.2 Karakteristik Responden ................................................... 1485.3 Hasil Analisis Data............................................................ 150

5.3.1 Uji Validitas dan ReliabilitasInstrumen Penelitian.............................................. 150

5.3.2 Persepsi Masyarakat terhadapVariabel Modal Sosial........................................... 152

5.4 Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model) ..................... 1545.4.1 Validitas Konvergen (Convergen Validity)........... 1555.4.2 Validitas Diskriminan (Discriminant Validity)..... 1585.4.3 Reliabilitas Komposite (Composite Relability)..... 159

5.5 Evalusi Model Struktural(Uji Goodness Of Fit Inner Model)................................... 161

5.6 Pengujian Hipotesis Penelitian.......................................... 1625.7 Pembahasan Hasil Penelitian ............................................ 171

5.7.1 Pengaruh Langsung Modal Sosial terhadapPartisipasi Masyarakat .......................................... 172

5.7.2 Pengaruh Langsung Modal Sosial terhadapKinerja LPD .......................................................... 179

5.7.3 Pengaruh Langsung Modal Sosial terhadapPembangunan Perdesaan....................................... 185

5.7.4 Pengaruh Langsung Partisipasi Masyarakatterahadap Kinerja LPD.......................................... 189

5.7.5 Pengaruh Langsung Partisipasi Masyarakatterhadap Pembangunan Perdesaan ........................ 193

5.7.6 Pengaruh langsung Kinerja LPD terhadapPembangunan Perdesaan....................................... 197

5.7.7 Pengaruh tak langsung Modal Sosial terhadapKinerja LPD melalui mediasi

xii

Partisipasi Masyarakat ......................................... 2065.7.8 Pengaruh tak langsung Modal Sosial terhadap

Pembangunan Perdesaan melalui mediasiKinerja LPD .......................................................... 210

5.7.9 Pengaruh tak langsung Modal Sosial terhadapPembanguanan Perdesaan melalui mediasiKinerja LPD .......................................................... 212

5.8 Temuan Penelitian............................................................. 2185.9 Kontribusi Penelitian......................................................... 219

5.9.1 Kontribusi Teoretis................................................ 2195.9.2 Kontribusi Praktis ................................................. 220

5.10 Keterbatasan Penelitian..................................................... 221

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN6.1 Simpulan ........................................................................... 2236.2 Saran ............................................................................... 224

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 226LAMPIRAN ........................................................................................... 232

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara terus

menerus oleh suatu bangsa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang lebih

baik. Pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan

kondisi sosial masyarakat. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan

produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat, sedangkan kondisi

sosial masyarakat merupakan proses perbaikan kualitas kehidupan masyarakat

secara keseluruhan (Todaro, 2004). Berbicara pembangunan, khususnya di negara

berkembang, tidak dapat dilepaskan dari wilayah perdesaan. Pembangunan di

negara berkembang harus melihat wilayah perdesaan sebagai fokus dan target

pembangunan. Keberhasilan pembangunan di negara berkembang dapat dilihat

dari perkembangan di wilayah perdesaan itu sendiri. Bila mayoritas penduduk di

perdesaan dapat melakukan mobilitas sosial ekonomi, maka dapat disimpulkan

pembangunan di negara berkembang telah menjangkau sebagian besar warganya,

demikian sebaliknya (Yustika, 2012).

Visi pembangunan nasional untuk tahun 2015-2019 adalah terwujudnya

Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkeperibadian berlandaskan gotong

royong. Jalan perubahan menuju visi tersebut salah satunya, ditempuh melalui

pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan

desa dalam kerangka negara kesatuan (Nawa Cita ketiga Pemerintahan Presiden

Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla). Pembangunan desa telah menjadi

2

agenda strategis pemerintah dalam 5 (lima) tahun ke depan. Penguatan paradigma

pembangunan desa tersebut juga selaras dengan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa.

RPJMN Tahun 2015 – 2019 merupakan dokumen strategis yang memuat

rencana pembangunan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah untuk lima tahun

ke depan yang menjadi acuan resmi bagi pemerintah daerah dan pemangku

kepentingan lainnya dalam melaksanakan pembangunan. RPJMN 2015 – 2019

bidang wilayah dan tata ruang sub bidang pembangunan desa dan kawasan

perdesaan memuat sasaran pembangunan desa yang harus dicapai dalam lima

tahun ke depan yaitu mengurangi jumlah desa tertinggal sampai 5.000 desa dan

meningkatkan jumlah desa mandiri sedikitnya 2.000 pada tahun 2019.

Pembangunan desa masih memiliki tantangan yang cukup besar sebab hingga saat

ini jumlah desa mandiri di Indonesia hanya sekitar 3,91 persen dari 74.093 desa di

Indonesia. Secara umum, gambaran daerah perdesaan memiliki tiga karakteristik.

Pertama, dilihat dari sudut pandang sosial. Tingkat pendidikan yang

merupakan salah satu indikator sosial di desa dipastikan masih rendah. Realitas ini

wajar karena di samping masih mengakarnya budaya lokal yang menempatkan

pendidikan formal sebagai kebutuhan tersier, juga disebabkan berbagai

infrastruktur pendidikan yang masih sangat terbatas. Kedua, dari aspek budaya.

Secara umum, keseluruhan indikator budaya yang ada di Indonesia seperti, spirit

wirausaha, etos kerja dan perilaku sehari-hari belum selalu ada dalam benak

penduduk daerah tertinggal. Ketiga, dari aspek ekonomi. Secara keseluruhan,

karakter ekonomi di desa diindikasikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi,

3

sedikitnya kesempatan kerja di luar pertanian (non-farm), dan jauh dari pasar.

Realitas yang serba kurang menyebabkan akses masyarakat terhadap upaya

pemenuhan kebutuhan hidup yang ideal juga terbatas. Kenyataan itu pula yang

menyebabkan aktvitas ekonomi di desa tidak dapat berkembang pesat.

Pembangunan perdesaan adalah konsep pembangunan yang berbasis

perdesaan (rural) dengan memerhatikan ciri khas sosial dan budaya masyarakat

yang tinggal di kawasan perdesaan (Bappenas, 2014). Masyarakat perdesaan pada

umumnya masih memiliki dan melestarikan kearifan lokal kawasan perdesaan

yang sangat terkait dengan karakteristik sosial, budaya dan geografis, struktur

demografi, serta kelembagaan desa. Pembangunan perdesaan adalah upaya

peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan

masyarakat desa. Pembangunan perdesaan dilaksanakan dalam rangka intervensi

untuk mengurangi tingkat kesenjangan kemajuan antara wilayah perdesaan dan

perkotaan sebagai akibat dari pembangunan ekonomi sebelumnya yang cenderung

bias perkotaan (urban bias). Pembangunan perdesaan diharapkan menjadi solusi

bagi perubahan sosial masyarakat desa, dan menjadikan desa sebagai basis

perubahan. Pembangunan perdesaan juga merupakan upaya untuk

menyeimbangkan antara mempertahankan nilai-nilai perdesaan dan tren

modernisasi kehidupan (Ibrahim et al, 2014). Dengan kata lain, pembangunan

perdesaan merupakan perbaikan dari semua segi, baik ekonomi, kesejahteraan

sosial, penduduk desa, dan kelembagaan lingkungan. Adapun tujuan

pembangunan perdesaan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan

kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan

4

kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi

ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara

berkelanjutan. (Pasal 78 UU Desa).

Prioritas pembangunan berbasis perdesaan (rural based development)

meliputi: 1) pengembangan kapasitas dan pendampingan aparatur pemerintah desa

dan kelembagaan pemerintahan secara berkelanjutan, 2) pemenuhan standar

pelayanan minimum desa sesuai dengan kondisi geografisnya, 3) penanggulangan

kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat desa, 4) pembangunan

sumber daya manusia, peningkatan keberdayaan dan pembentukan modal sosial

budaya masyarakat desa, 5) pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup

berkelanjutan, 6) pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong

keterkaitan desa-kota, serta 7) pengawalan implementasi UU Desa secara

sistematis, konsisten, fasilitasi, superpisi dan pendampingan (Bappenas, 2014).

Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, maka desa menjadi prioritas pembangunan yang diawali dengan Nawacita

ketiga. Definisi Desa (dalam UU tentang Desa) adalah desa dan desa adat atau

yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, yaitu kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang

diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Pengaturan pembangunan desa selain UU Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa dan peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Presiden Nomor 2

5

Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun

2015 – 2019 yang juga menjadi acuan bagi pemangku kepentingan terkait

pembangunan desa dan kawasan perdesaan.

Terdapat dua hal yang menarik terkait pembangunan desa. Pertama,

program pembangunan di desa yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga

pemerintah terkait jumlahnya sangat banyak dan beragam, namun beberapa

program dianggap belum menjawab atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat

desa, serta belum mengacu pada Rencana Jangka Menengah Desa (RPJM Desa)

dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa). Tidak dapat dipungkiri

bahwa desa-desa yang ada saat ini masih banyak yang belum memiliki RPJM

Desa dan RKP Desa. Kedua, saat ini pembangunan desa yang dilaksanakan pada

seluruh desa di Indonesia belum didasarkan pada suatu acuan baku berupa standar

pelayanan minimal desa. Standar Pelayanan Minimal Desa (SPM Desa)

merupakan hak masyarakat desa terhadap pelayanan-pelayanan sebagai warga

yang harus disediakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi,

pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa di desa. Sampai dengan

saat ini SPM Desa dengan lingkup nasional masih belum tersedia.

Strategi membangun desa tidak terlepas dari upaya mengatasi

permasalahan mendasar yang dialami komunitas desa diantaranya kemiskinan,

kurangnya aksesibilitas dan kurangnya potensi sumber daya manusia akibat

urbanisasi (Wrigley, 1973; Chamber, 1983). Wilayah perdesaan di negara-negara

dunia ketiga digambarkan sebagai tempat tinggal orang-orang miskin yang

memanfaatkan lahan pertanian (Dixon,1990). Sejak dulu sampai sekarang,

6

pembangunan perdesaan selalu menjadi isu penting di Indonesia. Ada dua hal

yang menjadi isu pokoknya: Pertama, sebagian besar penduduk Indonesia

bertempat tinggal di wilayah desa. Saat ini, diperkirakan 60 persen penduduk

masih tinggal di desa; Kedua, kesejahteraan penduduk di desa jauh tertinggal

dibandingkan penduduk kota. Sebagian besar penduduk desa bekerja di sektor

pertanian atau sektor informal dengan pendapatan yang rendah, dan sekitar 63

persen dari total penduduk miskin berdiam diri di desa (Yustika, 2015).

Model dualisme ekonomi yang diinisiasi oleh Boeke menjadi isu strategis

pembangunan perdesaan di negara-negara berkembang (Ellis dan Biggs, 2001).

Pada fase pertama, tujuan pembangunan perdesaan diarahkan dari semula

pembangunan komunitas (tahun 1950-an) ke pertumbuhan usaha tani kecil (tahun

1960-an). Kedua, pertumbuhan usaha tani kecil dilanjutkan kepada upaya

pembangunan perdesaan yang terintegrasi (tahun 1960-an), diantaranya melalui

kebijakan transfer teknologi, mekanisasi, dan penyuluhan pertanian. Ketiga,

pergeseran pembangunan perdesaan yang dirancang negara (tahun 1970-an)

menuju liberalisasi pasar (tahun 1980-an) melalui kebijakan penyesuaian

struktural dan pasar bebas. Keempat, pembangunan perdesaan diarahkan untuk

penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan dan pelaku (tahun 1980-

an dan 1990-an). Kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan

sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan perdesaan

(tahun 1990-an), di antaranya lewat penguatan kredit mikro dalam pembangunan.

Keenam, menempatkan pembangunan perdesaan sebagai strategi untuk

mengurangi kemiskinan (tahun 2000-an).

7

Secara de facto dan de jure, Bali mempunyai dua bentuk desa, yaitu Desa

Adat (Desa Pakraman) dan Desa Dinas (Wyasa Putra, 2011). Karena itu, dapat

dipahami bahwa di daerah Bali secara realita ada dua bentuk desa yang

mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Desa Dinas menjalankan tugas dan

fungsi administratif, yang mana merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi

pemerintahan yang lebih tinggi, sedangkan Desa Adat menjalankan tugas dan

fungsi sosial religius. Saat ini jumlah Desa Dinas di Bali berjumlah 716 buah dan

Desa Adat berjumlah 1.488 buah. Keberadaan desa yang ada di Bali sesuai

dengan Pasal 6 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyatakan

bahwa desa terdiri atas Desa dan Desa Adat. Hal ini menunjukkan bahwa ada

pengakuan dualitas terhadap keberadaan Desa Dinas dan Desa Adat.

Salah satu persoalan pelik dalam pembangunan perdesaan yakni

membangun kelembagaan sektor keuangan (financial sector) sebagai instrumen

untuk mengatasi kelangkaan modal (lack of capital) di wilayah perdesaan.

Bahkan, keterbatasan akses terhadap modal (kredit) diidentifikasi sebagai salah

satu faktor penyebab kemiskinan (Akpalu et al, 2012). Berdasarkan survey rumah

tangga oleh World Bank tahun 2011 menunjukkan bahwa sebesar 68 persen

masyarakat Indonesia dalam keadaan Financially Included dan sebesar 32 persen

Financial Excluded (tidak mengakses lembaga keuangan formal maupun

informal). Sedangkan dari sisi akses pinjamannya, sebesar 40 persen tidak bisa

meminjam, 17 persen pembiayaan dari bank dan 36 persen meminjam dari

lembaga keuangan informal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebesar

76 persen masyarakat Indonesia tidak dapat mengakses lembaga keuangan formal.

8

Booklet Perbankan Indonesia (2011) menyebutkan bahwa akar

permasalahan yang menyebabkan sulitnya akses masyarakat terhadap layanan jasa

keuangan formal yakni dari sisi penawaran dan sisi permintaan. Sisi penawaran

meliputi kondisi era deregulasi yang mendorong persaingan yang lebih ketat telah

memaksa perbankan meningkatkan efisiensi dan menjadi sangat selektif dalam

memilih nasabah. Selain itu, bank umumnya lebih mengutamakan kredit dalam

jumlah besar daripada kredit skala kecil. Hal tersebut, sejalan dengan pernyataan

Setyobudi (2007) yang menyatakan bahwa orientasi penyaluran kredit perbankan

terlalu memusatkan pada korporasi yang dianggap memberikan keuntungan besar

secara ekonomis. Sisi permintaan meliputi pendidikan dan formalization gap.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah sering menyebabkan

masyarakat tidak dapat memeroleh layanan jasa keuangan. Masyarakat kecil dan

pelaku usaha mikro umumnya sulit untuk memenuhi persyaratan formal bank

seperti izin usaha, jaminan dalam bentuk sertifikat dan lain-lain. Berbekal situasi

seperti itu, para perumus kebijakan pembangunan perdesaan meluncurkan

program kredit mikro sebagai instrumen pengembangan kelembagaan sektor

finansial di perdesaan. Berbagai macam kelembagaan sektor finansial, formal

maupun semi-formal, didesain untuk menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah

perdesaan.

Sejak akhir tahun 1990-an Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah

berkembang sebagai alat pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk

memberikan manfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Ledgerwood (1999)

menegaskan bahwa tujuan LKM sebagai organisasi pembangunan adalah untuk

9

melayani kebutuhan finansial dari pasar yang tidak terlayani atau yang tidak

dilayani dengan baik. Bank Dunia (1996) menyebutkan bahwa ada tiga tujuan

utama LKM: pertama, menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan melalui

penciptaan dan pengembangan usaha mikro; kedua, meningkatkan produktivitas

dan pendapatan kelompok-kelompok yang rentan, terutama perempuan dan orang-

orang miskin, dan ketiga, mengurangi ketergantungan masyarakat perdesaan

terhadap panen yang berisiko gagal karena musim kemarau melalui diversifikasi

kegiatan yang dapat menghasilkan pendapatan. Singkatnya, LKM diharapkan

dapat mengurangi kemiskinan yang dianggap sebagai tujuan pembangunan yang

paling penting.

LKM mengacu pada Undang-Undang No.1 tahun 2013 tentang Lembaga

Keuangan Mikro didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan

untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik

melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan

masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi

pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Definisi

tersebut menyiratkan bahwa LKM merupakan sebuah institusi profit motive yang

juga bersifat social motive, yang kegiatannya lebih bersifat community

development dengan tanpa mengesampingkan perannya sebagai lembaga

intermediasi keuangan. Sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai

lembaga intermediasi, LKM juga melaksanakan kegiatan simpan pinjam, yang

aktifitasnya selain memberikan pinjaman, juga dituntut untuk memberikan

10

kesadaran menabung kepada masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan

rendah.

Salah satu lembaga keuangan berbasis adat dan budaya yang tumbuh dan

berkembang di Provinsi Bali adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD). LPD

didirikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan

cara menciptakan dan memberikan pelayanan di bidang keuangan. LPD

merupakan salah satu kearifan lokal Bali yang dikelola dari, oleh, dan untuk

rakyat (krama). Pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 8

Tahun 2002 tentang LPD menyatakan bahwa LPD merupakan badan usaha

keuangan milik desa yang melaksanakan kegiatan usaha di lingkungan desa dan

untuk krama desa. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa LPD merupakan suatu

bentuk lembaga ekonomi, yang oleh Perda diakui dan dikukuhkan dalam status

hukum sebagai suatu bentuk badan usaha keuangan yang bersifat khusus, karena

hanya menyelenggarakan kegiatan usaha dalam wilayah desa pakraman.

LPD adalah lembaga keuangan, tetapi lembaga keuangan yang tidak biasa.

LPD adalah lembaga keuangan yang bersifat khusus yakni lembaga keuangan

milik komunitas adat Bali (Wyasa Putra, 2011). Suartana (2009) mempertegas

kekhususan LPD dilihat dari aspek pemupukan modal LPD yang jauh berbeda

dengan lembaga keuangan lainnya. Modal LPD berasal dari desa pakraman yang

merupakan lembaga komunitas adat Bali. Kalau lembaga keuangan lainnya,

pemupukan modalnya bisa berasal dari anggota dan bisa pula dari pemegang

saham. Modal LPD merupakan milik komunitas atau milik bersama, karena itu,

11

pertanggungjawabannya pun kepada komunitas yakni melalui paruman desa

pakraman.

Sejak pendirian pertamanya, LPD telah mencapai kinerja yang sangat baik.

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa jumlah LPD yang beroperasi bertambah dari 953

pada tahun 2001 menjadi 1.433 pada tahun 2015. Semua indikator keuangan

mengalami perkembangan rata-rata di atas 200 persen. Jumlah karyawan yang

diserap sebanyak 6,4 ribu orang pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 7,6 ribu

orang pada tahun 2015. Pada tahun 2000, sebanyak 926 LPD melayani 895.512

nasabah (dari total jumlah penduduk sebesar 3,054 juta di Bali), yang secara tidak

langsung menunjukkan bahwa satu di antara tujuh rumah tangga terjangkau oleh

sebuah LPD, suatu tingkat jangkauan yang dianggap Bank Indonesia dan GTZ

tidak tertandingi di Indonesia (Bank Indonesia dan GTZ, 2000). Perkembangan

yang menggembirakan terjadi tahun 1995 - 2001, yakni mengalami peningkatan di

atas 500 persen, padahal pada periode tersebut masih terjadi krisis moneter dan

ekonomi. Ini membuktikan bahwa LPD sebagai lembaga keuangan berbasis

komunitas adat mempunyai daya tahan untuk bertahan hidup sekaligus

memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat

Bali (Suartana, 2009).

12

Tabel 1.1Perkembangan LPD Bali Tahun 1995-2015

Indikator 1995 2001 2005 2011 2015

Jumlah LPD (Unit) 848 953 1.304 1.418 1.433

Total Asset (milyar rupiah) 97 696 1.743 6.583 14.200

Total Kredit (milyar rupiah) 75 512 1.262 4.79 9.565

Total Simpanan (milyar rupiah ) 70 540 1.346 5.401 10.482

Jumlah Karyawan (orang) - 4.872 6.479 7.367 7.640

Sumber: LPLPD Provinsi Bali, 2015

Ada empat faktor yang saling terkait yang dapat menjelaskan pertumbuhan

LPD yang sangat cepat sebagai lembaga keuangan komunitas adat di provinsi

Bali. Pertama, pertumbuhan LPD yang cepat tersebut secara tidak langsung

menunjukan bahwa pemerintah provinsi Bali memiliki keinginan politis yang kuat

untuk menyediakan akses kredit bagi masyarakatnya melalui pendirian LPD.

Kedua, pertumbuhan yang sangat cepat pada portofolio nasabah dan pinjaman

LPD mengindikasikan bahwa LPD, baik sebagai lembaga keuangan maupun

mekanisme tata kelolanya sesuai dengan dan dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat Bali, terutama di daerah perdesaan. Ketiga, karena masing-masing

LPD beroperasi hanya disebuah desa adat yang wilayahnya relatih kecil, anggota

komunitas memiliki informasi yang cukup mengenai LPD dan dapat dengan

mudah mengaksesnya. Keempat, jumlah tabungan menunjukkan bahwa LPD

bukan hanya merupakan lembaga pemberi pinjaman (lending institution) tetapi

juga sebagai lembaga tabungan (saving institution), yang berarti LPD telah

mampu berperan sebagai lembaga perantara keuangan seperti halnya bank umum

(Arsyad, 2012).

13

Suartana (2009), mengatakan bahwa kesuksesan LPD dapat dijelaskan

oleh beberapa faktor penting. Pertama, PDRB (Product Domestic Regional Bruto)

dan pertumbuhan ekonomi Bali terus tumbuh di atas rata-rata nasional serta

kebijakan pemerintah yang kondusif mendukung keberadaannya melalui

penerbitan perangkat hukum berupa Perda. Kedua, pemberian kredit berdasarkan

karakter yang bernuansa adat. Ketiga, penggunaan sanksi sosial (adat) yang

terintegrasi dalam awig-awig dan peraraem memaksa para nasabah untuk menaati

kontrak kredit. Selain itu, pelayanan jemput bola untuk mengumpulkan tabungan

dan pelunasan kredit secara langsung juga membuat nasabah membayar kredit

secara teratur dan tepat waktu. Keempat, penggunaan pegawai LPD dari

masyarakat lokal yang perekrutannya berdasarkan kinerja. Perekrutan pegawai

lokal wajib hukumnya bagi LPD.

Banyak peneliti yang tertarik melakukan penelitian tentang keberhasilan

LPD di Provinsi Bali. Gunawan (2009) menemukan bahwa nilai-nilai yang

tertuang dalam falsafah kultur Bali Tri Hita Karana yang diadopsi sebagai budaya

organisasi memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja LPD.

Temuan tersebut mengindikasikan bahwa budaya lokal yang tercermin dalam Tri

Hita Karana mampu mengubah perilaku seseorang sehingga tercipta integritas

yang tinggi, memiliki etos kerja serta memiliki kepedulian terhadap organisasinya.

Hal ini telah mampu mengantarkan LPD mencapai kinerja yang baik. Wiwin

(2012), menemukan bahwa lingkungan isntitusi (institusi formal dan institusi

informal) LPD memiliki peran dan pengaruh yang signifikan terhadap

14

pengelolaan LPD, dan pada akhirnya mendorong kesuksesan LPD sebagai

lembaga intermediasi keuangan di perdesaan.

Ambara (2012) menunjukkan bahwa modal sosial yang berkembang di

masyarakat memiliki peran positif dalam mendukung pengelolaan LPD.

Keberadaan modal sosial melahirkan rasa kebersamaan dan rasa memiliki

terhadap desa pakraman dan memfasilitasi warga untuk terlibat dalam proses

rekrutmen pengurus LPD melalui mekanisme paruman adat. Pola keterwakilan

dalam rekrutmen pengurus dan karyawan LPD berimplikasi pada terbentuknya

network LPD pada masing-masing banjar (dusun). Network ini memudahkan

pengenalan nasabah LPD di masing-masing banjar. Keberadaan modal sosial

berupa trust antara LPD dengan warga menjadikan LPD berani memberikan

kredit tanpa agunan kepada warga dengan batasan tertentu. Modal sosial juga

sangat berperan dalam hal penyelesaian kredit macet, penerapan sanksi adat dan

kebiasaan warga untuk terhindar dari rasa malu terhadap khalayak ramai apabila

diketahui menunggak di LPD serta memfasilitasi kepatuhan warga terhadap

kewajiban transaksi.

Peningkatan kinerja LPD ternyata tidak sejalan dengan kondisi kemiskinan

di Provinsi Bali. Jumlah penduduk miskin di Bali pada September 2015 mencapai

218,79 ribu orang (5,25 persen). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk

miskin pada Maret 2015, maka selama enam bulan tersebut terjadi pertambahan

jumlah penduduk miskin sebanyak 22,1 ribu orang. Gambar 1.1 memperlihatkan

perkembangan kemiskinan di Bali yang cukup berfluktuasi dan dalam beberapa

tahun terakhir cenderung mengalami kenaikan. Dari Maret 2011 sampai

15

September 2011 persentase penduduk miskin mengalami kenaikan, kemudian

turun pada periode September 2011 sampai September 2012. Dalam 3 tahun

terakhir, September 2012 sampai September 2015 jumlah penduduk miskin terus

mengalami kenaikan.

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, 2015

Gambar 1.1 Perkembangan Kemiskinan di Provinsi Bali Periode Maret2011-September 2015

Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks bagi negara maju maupun

negara berkembang, sehingga penanggulangannya memerlukan strategi yang tepat

dan berkelanjutan (Vincent, 2009). Menurut Nilsen (2007), kemiskinan akan

membatasi kemampuan individu untuk tetap sehat dan mengembangkan

keterampilannya. Kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah yang sulit

untuk dicari solusinya. BPS Provinsi Bali tahun 2015 mengatakan, penyebab

kemiskinan dari sisi ekonomi yaitu, (1) karena kualitas penduduk yang rendah, (2)

karena adanya perbedaan kualitas sumber daya manusia, dan (3) karena adanya

perbedaan akses dalam modal.

16

Kemiskinan merupakan penyakitndalammekonomi,msehingganharus

disembuhkanj atauj palingj tidakjdikurangi (Addison, 2007). Upaya pengentasan

kemiskinaniharusidilakukan secara komperhensif dan mencakupiberbagaiiaspek

kehidupanjmasyarakat (Nasir, et al., 2008). Kemiskinan yang dihadapi oleh

negara-negara berkembang telah menjadi perhatian dunia dan menjadi isu sentral

dalam Millenium Development Goal (MDGs). Negara peserta konferensi ini

dituntut untuk dapatjmengurangiljumlahjpendudukjmiskinjdan mengatasi

kekurangan pangan hingga 50 persen pada tahun 2015 sehingga tujuani

pembangunan nasional tercapai (Yogi dan Jember, 2010). Program-

programnpembangunan yang dilaksanakan selama ini telah memberikan

perhatiannbesarnterhadapnupaya pengentasan kemiskinan (Santosa dan Rahayu,

2005). Salah satu tujuan pembangunan nasional yaitu meningkatkan kinerja

perkonomian agar mampu menata kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat

sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia (Prastyo, 2010).

Chriswardani (2005) menyatakan bahwa kemiskinanjbukanjhanyajhidup

dalamjkekuranganjuangndanntingkatnpendapatannrendah,ntetapinjuga meliputi

tingkat kesehatan, tingkat pendidikan serta ketidakberdayaan dalam menentukan

jalan hidupnya sendiri. iTadaroi(2000),ikemiskinan ditandai oleh rendahnya

pendapataniperikapitaidanilebarnyaikesenjangan distribusi pendapatan. Penduduk

miskin dalam hal ini padajumumnyajbertempat tinggal di daerah-daerahjpedesaan,

dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian.

Pembangunan, tentunya akan melibatkan substansi-substansinya yang

mendukung pembangunan tersebut. Salah satu yang paling penting dalam

17

mendukung pembangunan adalah modal sosial (Bisena, 2011). Pembangunan

tanpa memerhatikan modal sosial yang ada di masyarakat sangat rentan terhadap

ketidaksinambungan. Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah mengenal dan

memegang modal kejujuran atau amanah sebagai nilai tradisional, yang tanpa

mereka sadari, merupakan salah satu konsep modal sosial yang selalu dijadikan

rujukan untuk memilih tokoh atau pemimpinnya, terutama pada masyarakat

perdesaan. Hal ini berlaku pula pada proses pemberdayaan masyarakat. Strategi

pemberdayaan masyarakat juga dapat dilakukan melalui pemberdayaan pranata-

pranata dan organisasi sosial kemasyarakatan. Pranata dan organisasi sosial

kemasyarakatan tersebut merupakan bentuk-bentuk modal sosial yang

berkembang di masyarakat (Ambara, 2012).

Modal sosial adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kerja sama

dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik,

ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti

trust (rasa saling mempercayai), proses timbal balik, aturan-aturan kolektif dalam

suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya (Hasbullah, 2006). Konsep modal

sosial pertama kali dikemukakan oleh Hanifan pada tahun 1916 (Cohen dan

Prusak, 2001). Hanifan menggunakan istilah modal sosial untuk membicarakan

faktor substansi dalam kehidupan bermasyarakat yang antara lain berupa niat baik

(good will), rasa simpati, perasaan persahabatan, dan hubungan sosial yang

membentuk sebuah unit sosial. Istilah modal sosial ini kemudian semakin

dipopulerkan oleh Coleman (1990). Pembahasan tentang konsep modal sosial

menjadi kian populer setelah munculnya artikel Putnam, disusul kemudian

18

Fukuyama (1995, 2000). Selain itu, muncul pula berbagai artikel yang membahas

topik tersebut dengan mengajukan berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud

dengan modal sosial.

Banyak literatur yang menunjukkan bahwa modal sosial, yang umumnya

ditandai oleh kepercayaan, hubungan sosial, dan jaringan merupakan hal yang

penting untuk kemajuan, keuntungan materi dan kesejahteraan. Bahkan, modal

sosial merupakan faktor penentu dalam keberhasilan penanggulangan kemiskinan

(Yusuf, 2008; Grootaert, 2001). Isham et al. (2002) berpendapat bahwa

masyarakat yang diberkahi dengan modal sosial yang tinggi berada dalam posisi

lebih baik untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kerentanan. Rupasingha dan

Goetz (2007) juga menunjukkan bahwa modal sosial sangat penting dalam

pengentasan kemiskinan, dan strategi seperti meningkatkan tingkat pendidikan

masyarakat miskin dan penciptaan lapangan kerja baru tidak selalu menjamin

terjadinya pengurangan kemiskinan.

Penelitian lain yang dilakukan Stam dan Elfring (2008) memfokuskan

peran jejaring intra dan ekstra industri sebagai salah satu unsur pembentuk modal

sosial. Penelitian ini membuktikan bahwa modal sosial merupakan media mediasi

yang memperkuat hubungan antara orientasi entrepreneur dengan kinerja.

Nahapiet dan Goshal (1998) menyatakan bahwa indikator untuk modal sosial

yaitu dimensi struktural, relasional dan kognitif. Kedua penelitian terdahulu telah

membuktikan bahwa kinerja dipengaruhi oleh modal insani atau modal sosial.

Modal sosial sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan

kemajuan berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (2002) menemukan bahwa modal

19

sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena

adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan

yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Hasbullah (2006) memberikan

contoh perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di Asia Timur sebagai

pengaruh pola perdagangan dan perekonomian yang dijalankan pelaku ekonomi

Cina dalam menjalankan usahanya memiliki tingkat kohesifitas yang tinggi karena

dipengaruhi oleh koneksi-koneksi kekeluargaan dan kesukuan. Pola ini

mendorong pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun

melewati batas-batas keluarga, suku, agama, dan negara.

Selain modal sosial, faktor yang menjadi kelemahan konsep pembangunan

dan pemberdayaan masyarakat adalah pembangunan yang tidak berbasis

partisipasi masyarakat. Artinya, masyarakat miskin yang kerap dijadikan sasaran

pembangunan jarang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Implikasinya,

masyarakat desa tidak mau melaksanakan konsep tersebut. Hal ini disebabkan

konsep pembangunan itu tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan keinginan

individu maupun adat-istiadat masyarakat setempat. Model pembangunan

masyarakat desa yang tidak menempatkan masyarakat miskin sebagai partisipan

merupakan konsep yang bersifat semu. Dalam proses pembangunan, partisipasi

berfungsi sebagai masukan dan keluaran. Sebagai masukan, partisipasi

masyarakat berfungsi menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang

secara mandiri. Sebagai keluaran, partisipasi dapat digerakkan atau dibangun.

Partisipasi berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui

berbagai upaya (Ndraha dalam Sularmi, 2009).

20

Partisipasi merupakan proses di mana pihak yang terlibat memengaruhi

dan mengendalikan inisiatif pembangunan, keputusan dan sumber-sumber yang

mempengaruhi mereka. Partisipasi memiliki sisi yang berbeda, bermula dari

pemberian informasi dan metode konsultasi sampai dengan mekanisme untuk

berkolaborasi dan pemberdayaan yang memberi peluang bagi stakeholder untuk

lebih memiliki pengaruh dan kendali. Kumorotomo dalam Hamisi (2013)

mengatakan bahwa partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun

individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara Pemerintah

dengan warganya. Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai pemberdayaan

masyarakat, peran sertanya dalam kegiatan penyusunan perencanaan, dan

implementasi program/proyek pembangunan dan merupakan aktualisasi dan

kesediaan dan kemauan masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi terhadap

implementasi program pembangunan (Adisasmita 2006).

1.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat

dirumuskan beberapa hal yang merupakan permasalahan penelitian sebagai

berikut:

1. Bagaimana pengaruh Modal Sosial terhadap Partisipasi Masyarakat di

Provinsi Bali?

2. Bagaimana pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja LPD di Provinsi Bali.

3. Bagaimana pengaruh Modal Sosial terhadap Pembangunan Perdesaan di

Provinsi Bali.

21

4. Bagaimana pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Kinerja LPD di

Provinsi Bali.

5. Bagaimana pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan

Perdesaan di Provinsi Bali.

6. Bagaimana pengaruh Kinerja LPD terhadap Pembangunan Perdesaan di

Provinsi Bali

7. Apakah Partisipasi Masyarakat memediasi pengaruh Modal Sosial terhadap

Kinerja LPD di Provinsi Bali.

8. Apakah Kinerja LPD dan Partisipasi Masyarakat memediasi pengaruh Modal

Sosial terhadap Pembangunan Perdesaan di Provinsi Bali.

9. Apakah Kinerja LPD memediasi pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap

Pembangunan Perdesaan di Provinsi Bali.

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka

tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis pengaruh Modal Sosial terhadap Partisipasi Masyarakat di

Provinsi Bali

2. Menganalisis pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja LPD di Provinsi Bali.

3. Menganalisis pengaruh Modal Sosial terhadap Pembangunan Perdesaan di

Provinsi Bali

4. Menganalisis pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Kinerja LPD di

Provinsi Bali.

22

5. Menganalisis pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan

Perdesaan di Provinsi Bali.

6. Menganalisis pengaruh Kinerja LPD terhadap Pembangunan Perdesaan di

Provinsi Bali

7. Menganalisis pengaruh Modal sosial terhadap Kinerja LPD di Provinsi Bali

dengan mediasi Partisipasi Masyarakat.

8. Menganalisis pengaruh Modal sosial terhadap Pembangunan Perdesaan di

Provinsi Bali dengan mediasi Kinerja LPD dan Partisipasi Masyarakat.

9. Menganalisis pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan

Perdesaan di Provinsi Bali dengan mediasi Kinerja LPD.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dapat memberikan

sumbangan manfaat baik secara teoretis dan secara praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoretis yang dapat disumbangkan bagi perkembangan ilmu

pengetahuan adalah berupa:

a. Sebuah model hubungan struktural dan terintegrasi antara variabel-variabel

modal sosial, partisipasi masyarakat, kinerja LPD dan keberhasilan

pembangunan perdesaan.

b. Gambaran yang jelas mengenai pengaruh modal sosial, partisipasi

masyarakat, kinerja LPD terhadap keberhasilan pembangunan perdesaan

yang selama ini belum banyak diteliti.

c. Memperkaya khasanah intelektual di Indonesia khususnya kajian dibidang

ekonomi perdesaan.

23

2. Manfaat praktis yang dapat digunakan sebagai referensi bagi kalangan

praktisi dalam proses pengambilan keputusan berupa:

a. Rekomendasi bagi pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan

input dalam pembinaan LPD di Bali.

b. Rekomendasi bagi kalangan LPD, khususnya para pengelola dan badan

pengawas internal, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan input dalam

meningkatkan kinerja yang bukan hanya diukur dari keberhasilan

usahanya tetapi juga dampaknya pada pembangunan perdesaan.