BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial 2.1.1 Konsep ......26 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial 2.1.1 Konsep ......26 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial...
26
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial
2.1.1 Konsep Modal Sosial
Berkembangnya ilmu ekonomi kelembagaan dalam pembangunan ekonomi
yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE), muncul sebagai akibat
adanya aksi kolektif (collective action), biaya transaksi (transaction cost), dan
rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam perilaku manusia, masalah
koordinasi, dan perkembangan teknologi. Dalam NIE, informasi pasar yang sempurna
dan simetris, ketiadaan biaya transaksi, dan rasioanlitas yang tidak terbatas sebagai
asumsi neo-klasik sudah dianggap tidak relastik lagi dan justru menjadi lebih longgar.
Teori modal sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Bourdieu
pada tahun 1972 dan Coleman tahun 1988 (Hauberer, 2011). Definisi mendasar yang
diperkenalkan adalah modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam
hubungan sosial. Individu yang terlibat dalam hubungan sosial dapat mempergunakan
sumber daya sosial ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sejumlah
intelektual menggunakan teori modal sosial sebagai salah satu bahan diskusi penting
yang mempertemukan berbagai disiplin ilmu. Berbeda dengan dua modal lainnya yang
lebih dulu popoler dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi
(economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), modal sosial akan
berfungsi jika sudah berinteraksi dengan struktur sosial. Modal ekonomi yang dimiliki
27
seseorang/perusahaan mampu melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh
dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia.
Sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni
bila keberadaannya tidak muncul akan membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak
mungkin diraih. Sejumlah definisi tentang modal sosial dipaparkan oleh para ahli,
misalnya :
1. Uphoff dalam Hobbs (2000) yang menyatakan bahwa modal sosial dapat
ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi,
budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang
mempengaruhi perilaku kerjasama.
2. Putnam (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran kelembagaan
sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang memfasilitasi
koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan.
3. Hobbs (2000), menyatakan modal sosial sebagai fitur organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma (etika timbal balik), dan jaringan (keterlibatan sipil), yang
dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan
terkoordinasi. Secara luas disepakati bahwa fasilitas modal sosial yang saling
menguntungkan adalah aksi kolektif.
4. Bank Dunia (2000) dalam www.worldbank.org, menyatakan modal sosial
sebagai aturan, norma, kewajiban, dan kepercayaan yang tertanam dalam
hubungan sosial, struktur sosial, serta pengaturan kelembagaan masyarakat
yang memungkinkan anggota untuk mencapai tujuan individu dan komunitas.
28
Pandangan terbaru The Worl Bank Group (2011), menyatakan bahwa cakupan
lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan norma-norma lebih
memungkinkan untuk berkembang. Analisis ini memperluas pentingnya modal sosial
untuk hubungan kelembagaan yang paling formal dan terstruktur, seperti: pemerintah,
rezim politik, aturan hukum, sistem pengadilan, serta kebebasan sipil dan politik.
Pandangan ini tidak hanya memaparkan kebajikan dan keburukan modal sosial, serta
pentingnya menempa hubungan antar personal dan di masyarakat, tetapi mengakui
bahwa kapasitas berbagai kelompok sosial untuk bertindak sesuai dengan kepentingan
mereka sangat bergantung pada dukungan atau ketiadaan yang yang mereka terima
dari negara serta sektor swasta. Pembangunan ekonomi dan sosial tumbuh subur ketika
perwakilan dari negara, sektor korporasi, dan masyarakat sipil membuat forum, dan
melalui forum diupayakan menjadi sarana untuk mengidentifikasi dan mengejar tujuan
bersama.
Berdasarkan konsep dan pandangan tentang modal sosial seperti diungkapkan
sejumlah pakar, maka dalam penelitian ini digunakan konsep modal sosial sebagai
jaringan bersama dengan norma, rasa percaya dan pemahaman yang memfasilitasi
kerja sama diantara atau antar kelompok. Modal sosial mengacu pada lembaga,
hubungan, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial
suatu masyarakat.
Modal sosial baru dapat diimplementasikan bila telah terjadi interaksi dengan
orang lain yang dipandu oleh struktur sosial. Modal sosial berhubungan dengan norma
atau jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan tindakan kolektif. Hal ini
29
berimplikasi, bahwa modal sosial lebih memfokuskan kepada sumber (sources)
daripada konsekuensi atas modal sosial itu sendiri. Deskripsi tentang modal sosial,
seperti kepercayaan, norma dan hubungan timbal-balik, dikembangkan sebagai sebuah
proses yang terus-menerus.
Tiga bentuk dari modal sosial menurut Coleman (1998), yaitu : (1) Struktur
kewajiban (obligations), ekspektasi, dan kepercayaan. Dalam konteks ini, bentuk
modal sosial tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan dari lingkungan sosial
dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Perspektif
ini memperlihatkan bahwa, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan rasa
saling percaya yang tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi
sebaliknya, (2) Jaringan informasi (information channels). Informasi sangatlah penting
sebagai basis tindakan, tetapi harus disadari bahwa informasi itu mahal dan tidak
gratis. Tentu saja, individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan
murah) untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya tinggi,
demikian pula sebaliknya, dan (3) Norma serta sanksi yang efektif (norms and
effective sanctions). Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung individu untuk
memperoleh prestasi (achievement) tentu saja bisa digolongkan sebagai bentuk modal
sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan
efektif dalam sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda dan
berpotensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu seoptimal
mungkin.
30
Analisis modal sosial dapat dilihat dari dua sisi yaitu: 1) tingkatan analisis yang
digunakan dan 2) manifestasi modal sosial yang diteliti. Point pertama, memandang
modal sosial dari level mikro samapai dengan makro. Point kedua, memperluas
jangkauan modal sosial dari menifestasi struktural ke kognitif (BPS Pusat, 2013a).
Pada point pertama, modal sosial level mikro meliputi individu, rumah tangga,
atau masyarakat dalam kominutas tertentu. Pada level ini modal sosial tercermin dari
hubungan horizontal. Interaksi yang terjadi dalam jaringan sosial pada komunitas
tertentu akan menjamin kepatuhan terhadap norma, nilai, dan resiprositas antar
manusia. Jejaring sosial yang terbentuk akan menciptakan eksternalitas yang bisa
positif atau negatif bagi komunitas secara keseluruhan.
Modal sosial pada level meso memandang modal sosial secara lebih luas baik
pada hubungan horizontal maupun vertikal di dalam kelompok ataupun antar
kelompok. Hubungan vertikal dilakukan terhadap pemilik otoritas/kekuasaan yang
lebih tinggi sebagai akibat dari struktur sosial dalam kelompok. Pandangan ini sesuai
dengan konsep modal sosial dari Coleman (1998).
Pada level makro, modal sosial merujuk pada hubungan sosial yang sangat luas
meliputi lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan
memungkinkan norma untuk berkembang. Modal sosial dipandang sebagai pembentuk
utama hubungan antar institusi formal (pemerintah maupun non pemerintah) dan tata
kelola yang dianut (politik, hukum, peradilan, kebebasan politik dan sipil).
Pada point kedua, manifestasi modal sosial dapat dilihat dari variabel yang
digunakan untuk membangun indikator modal sosial. Modal sosial struktural mengacu
31
pada wujud yang lebih mudah dan nyata terlihat, seperti: institusi lokal, organisasi, dan
jaringan antar orang, berdasarkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, politik, atau tujuan
lain. Sedangkan modal sosial kognitif mengacu pada wujud yang lebih abstrak seperti
rasa percaya, norma, dan nilai-nilai yang mengatur interaksi antar orang-orang dalam
mencapai tujuan bersama. Pengukuran kelompok/organisasi dapat diamati secara
langsung berdasarkan ukuran keanggotaannya, intensitas pertemuan dan kegiatan.
Dalam hal ini, norma dan rasa percaya harus diperhatikan secara tidak langsung
melalui persepsi masyarakat yang bertindak menurut kepatuhannya terhadap norma
yang berlaku.
Modal sosial struktural dan kognitif saling melengkapi, dimana struktur
organisasi membantu menerjemahkan norma dan keyakinan ke dalam daerah perilaku
tujuan sehingga berorientasi adanya koordinasi. Partisipasi masyarakat jarang terjadi
secara spontan, melainkan melibatkan persiapan sosial yang memerlukan proses : (1)
mengumpulkan informasi tentang keadaan dan sumber daya yang ada; (2) analisis
situasi; (3) pemilihan prioritas tindakan; (4) bergabung bersama-sama ke dalam
kelompok atau organisasi yang mereka pilih sendiri; dan (5) bekerja dengan sarana
untuk menerapkan persiapan. Persiapan sosial membutuhkan pola yang sistematis
dalam konteks aksi-refleksi-reaksi, yang merupakan praktek inti dalam dasar
pembangunan partisipatif.
Akhirnya, pengelompokan sumber dan dimensi modal sosial sangat
dipengaruhi oleh metoda pendekatan yang digunakan dalam pengukuran modal sosial.
Mengacu dari pembahasan konsep modal sosial, dalam penelitian ini digunakan tiga
32
kelompok utama sebagai refleksi modal sosial, yaitu : (1) Rasa percaya, (2)
Norma/etika, dan (3) Jaringan Kerja.
Rasa Percaya
Dasar perilaku manusia dalam membangun modal sosial adalah rasa percaya,
melalui moralitas yang tinggi. Manusia dapat hidup damai bersama dan berinteraksi
satu sama lain, memerlukan aktivitas kerjasama dan koordinasi sosial yang diarahkan
oleh tingkatan moralitas. Kasih sayang dalam keluarga dilandasi oleh rasa saling
percaya antar individu, sedangkan rasa percaya menjadi alat untuk membangun
hubungan. Adanya hubungan lebih luas yang harmonis akan mampu menekan biaya
transaksi dalam hal komunikasi, kontrak dan kontrol. Rasa percaya merupakan sikap
yang siap menerima resiko dan ketidakpastian dalam berinteraksi.
Kerjasama yang baik dimulai dari rasa percaya yang tinggi terhadap seseorang,
semakin tebal rasa percaya terhadap orang lain akan semakin kuat jalinan kerjasama
yang terbentuk. Kepercayaan sosial akan muncul dari interaksi yang didasari oleh
adanya norma dan jaringan kerja pada pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi
tersebut. Aktivitas memonitor perilaku orang lain agar sesuai norma yang dianut dan
disepakati tidak akan diperlukan lagi bila sudah terbentuk rasa saling percaya.
Tingkat homogenitas (homogenity), komposisi populasi, dan tingkat
ketidaksamaan (inequality) akan menentukan tingkatan rasa percaya. Pada daerah
dengan ras dan komposisi populasi yang homogen serta tingkat ketidaksamaan yang
rendah akan memberikan tingkat rasa percaya yang tinggi. Ketuhanan, etika, dan
hukum merupakan sumber utama dari rasa percaya, sedangkan penyusunan
33
kelembagaan dan kekeluargaan menjadi bentuk struktural dari rasa percaya. Rasa
saling percaya dapat tumbuh berdasarkan interaksi intensif antar teman dan keluarga.
Rao (2001) menyatakan bahwa rasa saling percaya (mutual trust) berperan
penting dalam membangun ekonomi pasar yang sehat. Rasa percaya akan mengurangi
gejolak dalam penegakan kontrak dan biaya monitoring sehingga mampu
mengefisiensikan biaya transaksi. Kebenaran dan norma akan membangun rasa
percaya yang berkelanjutan, tetapi keterbatasan manusia akan sifat rasionalitas cukup
berpengaruh pada usaha membangun rasa saling percaya tersebut. Oleh karena itu,
perlu memperluas dan mengintensifkan komunikasi agar selalu tersedia informasi yang
benar. Sejumlah penelitian memperlihatkan hasil bahwa rasa percaya berpengaruh
positif dan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi, demikian pula sebaliknya,
keberhasilan peme-rintah dalam pembanguan ekonomi dapat memperkuat rasa percaya
sosial masyarakat terhadap pemerintah.
Norma/Etika
Norma sangat berperan mengatur individu dalam suatu kelompok sehingga
keuntungan yang dihasilkan setiap individu proporsional dengan usaha yang dilakukan
dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini, individu dalam kelompok harus berjuang
dalam mencapai tujuan bersama dengan sukarela. Individu dalam kelompok
diharapkan lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan
individu.
Norma merupakan nilai universal yang mengatur perilaku individu dalam suatu
masyarakat atau kelompok. Fukuyama (1999) menyatakan modal sosial sebagai norma
34
informal yang bersifat instan dan dapat membangun kerjasama antar dua atau lebih
individu. Norma sebagai bagian dari modal sosial dapat dibangun dari norma/etika
yang disepakati antar teman. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa, rasa percaya, norma
dan komunitas sosial yang terbentuk sangat berkaitan dengan modal sosial yang
muncul sebagai hasil dari modal sosial tetapi bukan modal sosial secara fisik.
Menurut Plateau (2000), pembangunan ekonomi yang berkembang telah terjadi
manakala tujuan dan nilai-nilai sosial memperoleh ruang yang lebih luas. Prinsip
keadilan yang mengarahkan seseorang dalam berperilaku tidak mementingkan diri
sendiri, dipandang sebagai norma sosial yang merupakan aturan bagi setiap individu
berperilaku bersama dalam suatu kelompok.
Jaringan Kerja
Setiap orang memiliki pola tertentu dalam berinteraksi, melakukan pilihan
dengan siapa berinteraksi, dan dengan alasan tertentu pula. Jaringan kerja merupakan
system pada saluran komunikasi untuk mengembangkan dan menjaga hubungan
interpersonal. Biaya transaksi akan muncul sebagai akibat adanya bangunan saluran
komunikasi. Nilai-nilai bersama (norma) juga berperan pada keinginan untuk
bergabung membentuk jaringan kerja dengan orang lain. Munculnya koalisi dan
koordinasi juga disebabkan adanya jaringan kerja. Keputusan melakukan investasi
dalam suatu jaringan kerja disebabkan oleh adanya kontribusi saluran komunikasi
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi.
Interaksi sosial tergantung dari struktur jaringan kerja dan struktur masyarakat-
nya, sehingga posisi individu pada struktur tersebut menjadi dasar pada evaluasi modal
35
sosial. Coleman (1988), mengatakan densitas dan jaringan kerja sosial akan
meningkatkan efisiensi penguatan perilaku kerjasama pada suatu organisasi. Modal
sosial memberi manfaat pada individu dan jaringan kerja individu itu sendiri. Modal
sosial merupakan jumlah dari modal interaksi yang dimiliki sejumlah individu yang
terbentuk atas dasar norma yang dianut bersama. Modal sosial mempunyai ekternalitas
ekonomi yang positif pada tingkat lokal melalui proses aktivitas aksi bersama
(collective action), yang terbentuk berdasarkan hubungan sosial dan struktur sosial
dalam jaringan kerja tertutup. Hubungan sosial tergantung dari tingkat ketertutupan
struktur sosial yang sangat penting dalam membangun kepercayaan dan penegakan
norma yang efektif.
Woolcock (2000), memaparkan bahwa dalam modal sosial terdapat tiga hubu-
ngan, yaitu: (1) modal sosial mengikat (bonding sosial capital), (2) modal sosial
menyambung (bridging sosial capital), dan (3) modal sosial mengait (linking sosial
capital). Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding), pada umumnya berasal dari
ikatan kekeluargaan, kehidupan bertetangga dan persahabatan. Hubungan antar
individu dalam kelompok seperti ini mempunyai interaksi yang intensif, antar muka
dan saling mendukung. Modal sosial yang bersifat menyambung (bridging), terbentuk
dari interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekuensi yang relatif lebih
rendah, seperti kelompok etnis tertentu, kelompok agama, paguyuban, sekaa, atau
kelompok sosial lainnya. Sedangkan modal sosial yang bersifat mengait (linking),
umumnya terbentuk dari interaksi individu atau kelompok dalam organisasi formal,
36
seperti lembaga politik, bank, klinik kesehatan, sekolah, kelompok tani (subak),
kelompok profesi, dsb.
Cullen and Kratzmann (2000) juga menyebutkan bahwa ikatan kuat yang
mengikat (bonding) banyak terjadi pada hubungan anggota keluarga, tetangga, dan
teman-teman dekat. Hubungan ini biasanya berfokus pada hati dan berfungsi sebagai
mekanisme perlindungan sosial selama dibutuhkan. Hubungan ini juga bertindak
sebagai kendaraan utama untuk transmisi norma-norma perilaku pada anak-anak
(sosialisasi) dan mempengaruhi pengembangan sumber daya manusia. Kemampuan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak-anak sangat
mempengaruhi persepsi mereka terhadap kepercayaan orang lain di luar keluarga.
Dinamika keluarga juga mendorong upaya timbal balik dan pertukaran, yang
merupakan dua faktor penting lainnya dalam lingkup modal sosial. Dukungan material
dan emosional dibagi secara bebas antara anggota keluarga untuk menghasilkan
kesediaan secara implisit pada dukungan tersebut (The World Bank, 2011). Modal
sosial bonding menjadi penting dalam difusi informasi, menetapkan norma-norma,
mengendalikan penyimpangan, mencipta-kan kondisi saling membantu, dan
melindungi kelompok yang rentan. Jenis modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai
sumber utama kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi para anggotanya. Namun ikatan
yang kuat seperti ini dapat membatasi pertumbuhan ekonomi melalui pemberlakukan
hambatan dalam menjalin hubungan eksternal.
Hubungan dalam interaksi antar orang-orang dari latar belakang etnis dan
pekerjaan yang berbeda membentuk modal sosial menyambung (bridging). Jenis
37
modal sosial ini sangat penting bagi keberhasilan masyarakat sipil karena memberikan
kesempatan untuk berpartisipasi, meningkatkan jaringan untuk pertukaran, dan saluran
untuk menyuarakan keprihatinan kelompok yang mempengaruhi perubahan. Modal
sosial menyambung ini adalah yang paling bermanfaat dalam hal pembangunan sosial
dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan ekonomi masyarakat dan
pemerintah yang efektif, secara positif akan meningkatkan peran warga dikaitkan
dengan solidaritas, integritas, dan partisipasi (jaringan keterlibatan masyarakat).
Jaringan kerja masyarakat yang terjadi melalui ikatan dan norma asih-asuh timbal
balik akan memperkuat sentimen kepercayaan dalam masyarakat dan juga berfungsi
untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dan organisasi sosial.
Modal sosial mengait (linking) mengacu pada sifat dan tingkat hubungan
vertikal antara kelompok-kelompok orang yang memiliki saluran dan akses terbuka,
sumber daya, dan kekuasaan atau pemerintah. Hubungan antara pemerintah dan
masyarakat juga tercakup dalam hubungan modal sosial. Sektor publik (yaitu : negara
dan lembaga-lembaga) sangat berperan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.
Undang-undang dan peraturan pemerintah menentukan dimensi ruang yang tersedia
untuk masyarakat sipil, yang memungkinkan untuk berkembang atau mati/layu.
Kehadiran modal sosial tidak selalu berarti adanya hubungan inklusif dalam
masyarakat. Pendapatan dan kesenjangan kekayaan (linking yang lemah), ketegangan
rasial dan etnis (bridging yang rendah), dan perbedaan dalam partisipasi politik serta
keterlibatan masyarakat yang lemah (bonding yang lemah), semuanya berhubungan
dengan kurangnya kohesi sosial. Kohesi sosial yang tinggi/kuat dapat ditunjukkan
38
dengan tingkat kepercayaan yang kuat dan norma timbal balik bagi kelompok-
kelompok dengan ikatan (bonding) yang kuat, banyaknya bridging yang harmonis, dan
adanya mekanisme pengelolaan konflik (demokrasi responsif, peradilan yang
independen, dll ) melalui hubungan antar kelompok termasuk pemerintah dan
masyarakat. Dengan demikian, kohesi sosial mencerminkan adanya hubungan
terintegrasi, baik hubungan horizontal (bonding dan bridging ) maupun hubungan
secara vertikal dengan modal sosial linking (Gambar 2.1) .
Gambar 2.1
Kohesi (Kerapatan) Sosial dalam Modal Sosial
Sumber : Cullen and Kratzmann (2000)
Diagram menggunakan segitiga untuk menggambarkan hubungan antara kohesi
(kerapatan) sosial terhadap modal sosial, yang meliputi :
39
a. Tiga titik pada segitiga, yaitu : (1) Linking (hubungan vertikal); (2)
Bonding (keluarga, agama, dan etnis); dan (3) Bridging (hubungan lintas
sektoral)
b. Tiga posisi pada sisi segitiga, meliputi : (1) Kohesi sosial rendah (sisi
segitiga antara linking dan bonding), yang terdiri dari kondisi:
pengecualian, penindasan dan otoriter, ketimpangan/ketidakadilan,
korupsi dan birokrasi yang tidak efisien, dan masyarakat tertutup; (2)
Kohesi sosial yang tinggi (sisi segitiga antara linking dan bridging), yang
terdiri dari kondisi : Inklusif, supremasi hukum dan demokrasi, akses dan
kesetaraan kesempatan; serta efisiensi dengan birokrasi yang tidak korup;
dan (3) Hubungan modal sosial horisontal (sisi segitiga antara bonding dan
bridging).
2.1.2 Modal Sosial dalam Pembangunan dan Kesejahteraan
Pembangunan yang dialakukan seluruh negara di dunia bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tidak hanya dipandang dari sisi
ekonomi tetapi juga mencakup kesejahteraan lainnya seperti kebebasan sipil,
kebebasan dari tindak kejahatan, lingkungan hidup yang bersih serta kondisi penduduk
yang sehat secara fidik dan mental (OECD, 2011). Lebih jauh dijelaskan bahwa
kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) modal alam, (2) modal
fisik, dan (3) modal manusia dan modal sosial. Modal alam, fisik dan manusia dikenal
dengan modal tradisional pembangunan, sedangkan modal sosial erat kaitannya modal
40
manusia. Jika modal manusia mewakili pengetahuan, keterampilan dan kesehatan,
maka modal sosial merujuk pada rasa percaya, norma dan jejaring yang memfasilitasi
kerjasama antar manusia di dalam maupun antar kelompok.
Modal sosial terbentuk dari hubungan sosial antar manusia, sehingga besaran
modal sosial tergantung dari kapabilitas sosial tiap individu. Kapabilitas sosial
mempunyai peran yang sama penting dengan modal pembangunan lainnya (OECD,
2011). Ini yang menyebabkan modal sosial sering dianggap sebagai perekat yang
memungkinkan modal pembangunan lainnya berkerja secara efektif dan efisien. Modal
sosial bersama modal manusia secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan
manusia, tetapi keduannya juga berperan melalui modal pembangunan lainnya dalam
bentuk kapabilitas manusia dan sosial.
Narayan and Pritchett ( 1999) menjelaskan lima mekanisme bagaimana modal
sosial mempengaruhi hasil pembangunan, yaitu.
1) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memantau kinerja pemerintah,
baik karena pejabat pemerintah lebih tertanam dalam jaringan sosial atau
karena memantau penyediaan layanan publik seperti barang publik;
2) Meningkatkan kemungkinan tindakan kooperatif dalam memecahkan masalah
dengan elemen lokal yang dimiliki oleh umum;
3) Memfasilitasi difusi inovatif dengan meningkatkan keterkaitan individu;
4) Mengurangi ketidaksempurnaan informasi dan memperluas jangkauan penega-
kan mekanisme, sehingga meningkatkan transaksi dalam output, kredit, tanah
dan pasar tenaga kerja;
41
5) Meningkatkan asuransi formal ( atau jaring pengaman informal) antara rumah
tangga, sehingga memungkinkan rumah tangga untuk mengejar keuntungan
yang lebih tinggi, walaupun lebih berisiko, aktif dalam kegiatan dan teknik
produksi.
Sementara itu Cullen and Kratzmann (2000) menyatakan bahwa kehadiran
modal sosial dapat membantu meningkatkan penggunaan manusia, alam, modal fisik,
dan modal keuangan. Dalam hal ini, modal sosial dapat menyebabkan manajemen
pembangunan yang lebih efisien dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan
demikian, modal sosial dapat menjadi agen mediasi antara bentuk-bentuk modal,
memperkuat dan meningkatkan efek yang terjadi. Di sisi lain, rendahnya tingkat modal
sosial cenderung mengarah pada mengecilnya manfaat bentuk-bentuk modal yang lain
bagi masyarakat secara keseluruhan.
The World Bangk Group (2011), memaparkan bukti-bukti yang menunjukkan
modal sosial merupakan kontributor potensial untuk pengurangan kemiskinan dan
pembangunan berkelanjutan, meningkatkan upaya yang dilakukan untuk mengiden-
tifikasi metode dan alat pengukuran modal sosial yang relevan. Hal ini sangat menarik
karena modal sosial terdiri dari konsep-konsep seperti kepercayaan, norma-norma
dalam komunitas, dan jaringan yang sulit untuk diukur. Tantangannya meningkat
ketika muncul permasalahan pencarian alat ukur yang mampu untuk mengukur bukan
hanya kuantitas tetapi juga kualitas dari modal sosial pada berbagai skala. Sejumlah
peneliti modal sosial mengidentifikasi metode dan alat yang dapat mengukur dan
memenuhi syarat agar modal sosial dapat digunakan oleh pembuat kebijakan dan para
42
pemangku kepentingan, sehingga memungkinkan untuk menganalisis dampak yang
ada dan menciptakan modal sosial baru yang bisa menguntungkan bagi masyarakat
miskin dan bangsa.
2.1.3 Pengukuran Modal Sosial
Pengukuran modal sosial mungkin sulit, tetapi bukan tidak mungkin, dan
beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi pendekatan yang berguna
untuk modal sosial, dengan menggunakan jenis dan kombinasi dari metodologi
penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang berbeda (Woolcock, 2000).
Pengukuran modal sosial sangat tergantung pada bagaimana modal sosial itu dimaknai.
Menurut The World Bank Group (2011), modal sosial diukur dengan sejumlah
cara yang inovatif, meskipun untuk mendapatkan satu ukuran yang valid mungkin
mustahil. Hal ini disebabkan oleh : (1) definisi yang paling komprehensif dari modal
sosial yang multidimensi, ternyata menggabungkan tingkat dan unit analisis yang
berbeda, (2) adanya upaya untuk mengukur konsep dari sifat-sifat ambigu seperti rasa
percaya, norma, masyarakat, jaringan dan organisasi selalu menimbulkan masalah, (3)
beberapa survei terdahulu sering dipakai acuan untuk mengukur modal sosial melalui
kompilasi indeks dari berbagai item perkiraan, seperti tingkat kepercayaan pada
pemerintah, tren perolehan suara dalam pemilu, keanggotaan dalam organisasi
kemasyarakatan, jam kerja yang dihabiskan secara sukarela. Survei terbaru saat ini
sedang diuji yang diharapkan akan menghasilkan lebih banyak indikator langsung dan
akurat untuk pengukuran modal sosial. Mengukur modal sosial mungkin sulit, tetapi
43
bukan tidak mungkin, dan beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi
pendekatan untuk mewakili pengukuran modal sosial, dengan menggunakan jenis dan
kombinasi dari metodologi penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang
berbeda.
Pretty and Ward (2001) menyatakan terdapat empat aspek utama yang
membangun modal sosial, yaitu : (1) hubungan dari rasa percaya, (2) resiproksitas dan
pertukaran, (3) aturan umum, norma, dan sanksi, serta (4) koneksi, kerjasama, dan
kelompok. Rasa percaya mempermudah jalinan kerjasama dan mengurangi biaya
trasaksi. Rasa percaya dibedakan atas dua tipe, yaitu rasa percaya terhadap orang yang
dikenal (thick trust) dan rasa percaya terhadap orang yang belum dikenal (thin trust).
Resiproksitas dan pertukaran juga berperan meningkatkan rasa percaya. Resiproksitas
ada dua tipe, yaitu resiproksitas spesifik yang berkaitan dengan pertukaran simultan
dan resiproksitas difusif yang merujuk pada pertukaran yang berkelanjutan.
Determinan modal sosial seperti rasa percaya, norma, dan jaringan kerja dapat
berdampak positif atau negatif terhadap kinerja pembanguan ekonomi. Rasa saling
percaya yang tinggi akan mendorong peningkatan kinerja ekonomi yang lebih tinggi,
asalkan mampu membangun kondisi persaingan yang sehat. Norma akan mempunyai
dampak positif bila kemungkinan berkembangnya kreativitas lebih besar dibandingkan
kemungkinan melemahnya etika kerja. Jaringan kerja akan berdampak positif terjadi
bila dampak proteksi pada perilaku senang meminjam (rent-seeking) lebih besar
daripada pengurangan (crowding out) waktu kerja.
44
Fokus dari pengukuran modal sosial itu sebenarnya ingin melihat pada
kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama
membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut
diwarnai oleh suatu pola inter-relasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, serta
dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma dan nilai nilai sosial yang
positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat
proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip tentang persamaan,
kebebasan, dan nilai-nilai kemajemukan serta humanitarian. Akhirnya dapat
dinyatakan bahwa unsur-unsur pokok pengukuran modal sosial adalah.
1). Rasa Percaya; kepercayaan adalah sesuatu yang mempunyai nilai yang sangat
tinggi di dalam melakukan apapun dengan orang lain. Rasa percaya
(mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam
hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang
lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa
bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang
lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993,
1995 dan 2002). Pandangan Fukuyama (2000), menyatakan bahwa rasa
percaya adalah sikap saling mempercayai di masyarakat tersebut, saling bersatu
dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
Beberapa indikator yang sesuai dengan unsur rasa percaya pada pelaku usaha
industri tenun, misalnya: rasa peduli dan toleransi terhadap orang lain,
45
kepercayaan terhadap tokoh agama, rasa saling percaya terhadap orang lain,
kepercayaan terhadap pemerintah, dsb.
2). Norma Sosial; norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-
harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh
sekelompok orang. Unsur modal sosial ini dapat berasal dari agama, panduan
moral, maupun standar-standar sekuler seperti hanya kode etik professional.
Menurut Fukuyama (2000) norma-norma dibangun dan berkembang
berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung
iklim kerjasama. Hasbullah (2005) menyatakan norma-norma sosial akan
sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam
masyarakat apalagi dalam kehidupan sekarang dan tidak lagi dipandang
sebagai modal yang penting di dalam tantanan kehidupan masyarakat setempat.
Beberapa indikator norma sehubungan dengan pelaku usaha industri tenun
dikaitkan dengan budaya setempat, seperti: norma keharmonisan sesuai Tri
Hita Karana (THK), kepatuhan terhadap aturan (awig-awig) yang ada,
kemudahan mencari bantuan modal, kemudahan memperoleh bantuan
pembinaan kewirausahaan (manajemen), dsb. Dalam hal ini, Konsep THK
merupakan konsep harmonisasi hubungan yang selalu dijaga masyarakat Hindu
Bali meliputi: parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan
(hubungan antar-manusia), dan palemahan (hubungan manusia dengan
lingkungan) yang bersumber dari kitab suci agama Hindu Baghawad Gita.
Oleh karena itu, konsep THK yang berkembang di Bali, merupakan konsep
46
nilai kultur (budaya) lokal yang telah tumbuh, berkembang dalam tradisi
masyarakat Bali, dan bahkan saat ini telah menjadi landasan falsafah bisnis,
filosofi pengembangan pariwisata, pengaturan tata ruang, dan rencana stratejik
pembangunan daerah. (Windia dan Ratna, 2011).
3). Jaringan Kerja; modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu,
melainkan akan terletak pada kecendrungan yang tumbuh dalam suatu
kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang
melekat. Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam
kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi serta membangun
jaringannya agar mampu membuat modal sosial berperan. Beberapa indikator
jaringan kerja yang berhubungan dengan pelaku usaha industri tenun, seperti:
kepadatan atau partisipasi dalam kegiatan bersama, kerjasama dengan teman/
karyawan dalam satu usaha (bonding), kerjasama pada sesama pelaku usaha
lain (bridging), kerjasama dan bantuan dari pemerintah (linking), dsb.
2.2 Orientasi Kewirausahaan
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,
kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur
manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan
organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni kemampuan inovatif,
kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif (Kemendikbud, 2013).
47
Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja
perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai
mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewira-
usahaan disebut-sebut sebagai pelopor untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi
perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Sedangkan wirausaha sendiri
berarti suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk
mencapai serta menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia.
Dengan kata lain, wirausaha berarti manusia yang unggul dalam menghasilkan suatu
pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha
dinamakan wirausahawan. Bentuk aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan dapat
diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan yang direfleksikan dengan kemampuan
inovatif, proaktifi, dan kemampuan dalam pemecahan masalah (Prawirokusumo,
2010).
Orientasi kewirausahaan mengacu kepada proses, praktik, dan aktivitas pembu-
atan keputusan yang mengarah kepada usahaa baru (new entry), melalui penciptaan
produk atau jasa baru (Lumpkin and Dess, 1996). Orietansi kewirausahaan mencakup
tiga dimensi, meliputi: (1) kemauan untuk berinovatif (inovatif), (2) kecenderungan
untuk menjadi proakatif terhadap pasar (proaktif), dan (3) keberanian mengambil
keputusan atau risiko (pemecahan masalah).
Dimensi pertama dari orientasi kewirausahaan adalah inovatif (innovativeness).
Keinovatifan mengacu kepada kecenderungan perusahaan ikut serta dan mendukung
gagasan baru, kebaruan (novelty), eksperimentasi, dan proses kreatif yang berakibat
48
pada proses teknologi, jasa, dan produk baru. Oleh karenanya, keinovatifan mirip
dengan suatu iklim, budaya atau orientasi bukan hasil. Keinovatifan terjadi sepanjang
suatu kontinum, contoh dari mencoba lini produk baru atau mengadakan percobaan
produk baru, mencoba menguasuai suatu teknologi terbaru. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa keinovatifan akan mengarah kepada perangkap, karena pengeluaran pada
pengembangan produk baru dapat menjadi pemborosan sumberdaya jika upaya ini
tidak memberi hasil.
Dimensi kedua orientasi kewirausahaan adalah proaktif (proactiveness)
terhadap pasar. Proaktif berkaitan dengan melihat kedepan (foward looking),
penggerak pertama upaya pencarian keunggulan untuk membentuk lingkungan dengan
memperkenalkan produk baru atau memproses persaingan ke depan. Keproaktifan
adalah penting karena menyiratkan pendirian untuk melihat kedepan (foward looking)
yang disertai dengan aktivitas yang inovatif atau spekulasi baru. Dengan demikian,
perusahaan yang proaktif adalah leader bukan follower, karena perusahaan memiliki
kemauan dan tinjauan ke masa depan untuk meraih kesempatan baru. Lebih lanjut,
perusahaan yang proaktif sering merupakan perusahaan yang mengajukan produk baru
dan seringkali memperkenalkan produk baru mendahului pesaingnya.
Dimensi ketiga dari orientasi kewirausahaan adalah pemecahan masalah
melalui keberanian mengambil keputusan/risiko (risk taking), yang didefinisikan
sebagai sejauhmana para pimpinan/manajer berkeinginan membuat komitmen terhadap
sumberdaya yang berisiko. Sama seperti keinovatifan, pengambilan risiko terjadi
secara kontinu yang berkisar dari risiko yang relatif aman sampai risiko yang sangat
49
tinggi (misalnya meluncurkan produk baru di pasar baru. Meskipun banyak risiko
dapat menurunkan kinerja pengembangan produk baru, risiko itu sendiri tak dapat
dihindari karena kinerja akhir dari pengembangan produk baru tidak dapat diketahui
sebelumnya. Perusahaan pasti seringkali memanfaatkan sumberdaya pada proyek
pengembangan ketika kesempatan ditangkap oleh pasardan sebagian tanpa
pengetahuan tentang bagaimana proyek pengembangan ini akan menghasilkan.
Pengambilan risiko meliputi perangkap dan bahaya, tetapi perusahaan sering bertindak
tanpa mengetahui apakah tindakan mereka akan menghasilkan.
Menurut Nadim and Seymour (2007), konsep orientasi kewiraushaan akan
melibatkan tiga unsur yaitu : (1) pengusaha (orang-orang atau pemilik usaha yang
berusaha untuk menghasilkan nilai, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan
ekonomi, dengan mengidentifikasi dan mengeksploitasi produk baru, proses atau
pasar, (2) aktivitas kewirausahaan (tindakan giat manusia dalam mengejar nilai
tambah, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan ekonomi, dengan mengidentifikasi
dan mengeksploitasi produk baru, proses atau pasar, dan (3) kewirausahaan (fenomena
yang terkait dengan aktivitas kewirausahaan). Aktivitas (kegiatan) kewirausahaan
melibatkan pemahaman empat pertimbangan utama, yaitu: (a) aktivitas kegiatan
manusia; (b) memanfaatkan kreativitas, inovatif dan/atau peluang, (c) menciptakan
bisnis dan lingkungan baru yang lebih luas, dan (d) penciptaan nilai.
Pemahaman orientasi kewirausahaan diukur dengan capaian kompetensi
kewirausahaaan yang oleh Entrepreneurial Development Institut (EDI) of India
(Jyotsna dan Saxena, 2012) diidentifikasi melalui: (1) inisiatif; bertidak sesuai pilihan
50
bukan karena paksaan, mengawali tindakan, (2) gigih mencari peluang; pola pikir yang
dilatih untk mencari peluang usaha dari pengalaman sehari-hari, (3) kegigihan dalam
berusaha (Persistensi); sikap pantang menyerah dan mencari informasi terus menerus
sampai berhasil, (4) rasa ingin tahu tinggi; sikap rajin mencari ide-ide dan informasi
baru, konsultasi dengan ahlinya., (5) proaktif mencari pasar dan pesanan kerja; sikap
kerja yang aktif untuk mencari konsumen dan menyelesaikan tugas sesuai jadwal, (6)
proaktif merancang produk baru; selalu mencari sumber rincian standar atas produk
baru yang dapat dikerjakan, (7) berorientasi pada perluasan pasar; sikap proaktif pada
perluasan pasar dan pemasaran, (8) proakif menggalang dukungan dan mempengaruhi
orang lain dalam suatu usaha, (9) ketegasan dalam bertindak (Assertiveness); mampu
menyampaikan visi secara tegas dan meyakinkan orang lain tentang visi tersebut, (10)
percaya diri; sikap tidak terlalu takut terhadap resiko yang terkait dengan usaha, (11)
perencanaan sistematik; mempunyai perencanaan yang matang dan mem-punyai
tujuan akhir, dan (12) berani mengambil keputusan dan risiko; mampu mengamati
gejala, mendiagnosa dan memutuskan, serta siap menanggung risikonya.
Kompetensi (1) s/d (4) diproksi sebagai indikator untuk inovatif, kompetensi
(5) s/d (8) diproksi sebagai indikator untuk proaktif, dan kompetensi (9) s/d (12)
diproksi sebagai indikator untuk kemampuan mengambil keputusan dan pemecahan
masalah.
Penelitian Callaghan (2009), memaparkan dimensi orientasi kewirausahaan
serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima
(PKL) dengan mengukur kinerja kewirausahaan. Kinerja wirausaha didefinisikan
51
dalam kontek ini sebagai konstruksi yang terdiri dari pendapatan dan kepuasan
berkelanjutan. Orientasi kewirausahaan diuji melalui penyelidikian faktor-faktor
kontekstual yang membentuk orientasi kewirausahaan dan memberikan kontribusi
terhadap kinerja kewirausahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi
kewirausahaan sangat terkait dengan peningkatan pendapatan seiring dengan
kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko. Penelitian ini juga
memberikan bukti bahwa faktor-faktor pembelajaran yang terkait, berkontribusi untuk
membentuk orientasi kewirausahaan yang secara langsung berkontribusi terhadap
peningkatan pendapatan (kesejahteraan).
2.3 Kinerja Usaha
Pengukuran kinerja akan memberikan informasi situasi dan posisi relatif
terhadap target atau mengetahui apakah perencanaan dan aktifitasnya telah secara
optimal dijalankan (Robbins dan Judge, 2008). Para wirausaha memegang informasi
prestasi untuk mengetahui posisi kinerjanya relatif terhadap orang lain, kelompok lain,
maupun terhadap sasaran usaha. Bila prestasi pada suatu di bawah target, maka akan
dijadikan dasar untuk mengejar ketertinggalan dan mecarikan tindakan manajerial atas
upaya, menambah input dan atau memerbaiki proses kerja sehingga kinerjanya dapat
kembali sesuai perencanaan. Monitoring kinerja di lapangan relatif mudah dilakukan
seperti halnya monitoring kinerja proses operasional di fasilitas produksi yang sudah
terotomatisasi. Variabel ukur tak sepenuhnya dengan mudah diakses (muncul sendiri
52
dari proses) atau diukur (karena sifatnya yang kualitatif) atau hal-hal lain yang menye-
babkan rendahnya objektivitas dalam pengukuran.
Definisi kinerja merujuk pada tingkat pencapaian atau prestasi dari perusahaan
dalam periode waktu tertentu. Tujuan perusahaan yang terdiri dari: tetap berdiri atau
eksis (survive), untuk memperoleh laba (benefit) dan dapat berkembang (growth),
dapat tercapai apabila perusahaan tersebut mempunyai performa yang baik (Jauch dan
Glueck, dalam Suci, 2006). Kinerja (performa) perusahaan dapat dilihat dari tingkat
penjualan, tingkat keuntungan, tingkat turn over dan pangsa pasar yang diraihnya.
Strategi perusahaan selalu diarahkan untuk menghasilkan kinerja usaha dan
pemasaran (seperti volume penjualan dan tingkat pertumbuhan penjualan) yang baik
dan juga kinerja keuangan yang baik. Hal ini menyebabkan beragam pengukuran
kinerja dalam penelitian bidang bisnis terus berkembang dengan dasar indikasi yang
bervariasi. Rasio-rasio akuntansi dan ukuran-ukuran pemasaran merupakan dua
kelompok besar indikator kinerja perusahaan, tetapi indikator-indikator ini telah
banyak dikritik karena indikator-indikator itu tidak cukup jeli dalam menjelaskan hal-
hal yang bersifat intangibel dan seringkali tidak tepat digunakan untuk menilai sumber
dari keunggulan bersaing. Sudut pandang stategi berbasis sumber daya menyarankan
pengukuran dengan mengkombinasikan ukuran kinerja secara finansial dan non
finansial untuk keuntungan secara ekonomis yang sesungguhnya.
Kinerja perusahaan meliputi dua hal yaitu pengukuran kinerja berdasarkan
faktor keuangan dan pengukuran kinerja berdasarkan penjualan unit produk. Kedua hal
ini dapat dipakai secara bersama-sama dalam mengukur kinerja perusahaan secara
53
umum. Bentuk implementasinya yaitu dengan menggunakan empat indikator, yakni:
(1) peningkatan produksi, (2) peningkatan jenis hasil usaha, (3) peningkatan volume
penjualan, dan (4) peningkatan laba usaha (kemampulabaan).
2.4 Kesejahteraan Masyarakat Secara Makro dan Subjektif
Menurut Todaro and Smith, 2006, bagaimanapun masalah kesejahteraan itu
dikemas, terlihat bahwa pendapatan atau konsumsi, atau pemenuhan hasrat dan
kesenangan subjektif semata, belum secara tepat mendefinisikan kesejahteraan.
Hampir semua pendekatan tentang kesjahteraan berujung kepada pertimbangan
terhadap kesehatan dan pendidikan, selain pendapatan. Pandangan tentang indikator
kesejahteraan yang meliputi pendapatan, kesehatan, dan pendidkan di tingkat makro,
oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dinyatakan sebagai Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).
IPM oleh PBB dipandang sebagai peringkat pembangunan manusia sebagai
indikator kesehjahteraan makro bagi semua Negara dari skala 0 (tingkat yang paling
rendah) hingga 1 (tingkat yang paling tinggi), yang didasarkan pada tiga tujuan atau
produk akhir pembangunan, yaitu: (1) masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia
harapan hidup (kesehatan), (2) pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan
kemampuan baca tulis orang dewasa secara tertimbang (2/3) dan rata-rata tahun
bersekolah (1/3) (pendidikan), dan (3) standar kehidupan (standard of living) yang
diukur dengan pendapatan riil per kapita dan disesuaikan dengan paritas daya beli
(pendapatan). Pengelompokan IPM adalah : tingkat pembangunan manusia rendah
54
(0,000 hingga 0,499), tingkat pembangunan manusia menengah (0,500 hingga 0,799),
dan tingkat pembangunan manusia tinggi (0,800 hingga 1,000).
Kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna (Bade and Parkin, 2001).
1) Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk
pada istilah kesejahteraan sosial (sosial welfare) sebagai kondisi
terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera
terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan
dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan
dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari
resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.
2) Sebagai pelayanan sosial. Pelayanan sosial umumnya mencakup lima
bentuk, yakni jaminan sosial (sosial security), pelayanan kesehatan,
pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal sosial
services).
3) Sebagai tunjangan sosial. Karena sebagian besar penerima welfare adalah
orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian
menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti
kemiskinan, kemalasan, dan ketergantungan.
4) Sebagai proses atau usaha terencana, yang dilakukan oleh perorangan,
lembaga-lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian
pelayanan sosial dan tunjangan sosial.
55
Tujuan tercapainya kesejahteraan diharapkan dapat mendukung standar hidup
dan mengurangi kesenjangan, dengan demikian harus menghindari ledakan biaya dan
mencegah perilaku yang kondusif bagi moral hazard. Semua tujuan ini harus dicapai
dan dapat meminimalkan biaya administrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh
mereka yang bertugas menjalankan itu. Tujuan kesejahteraan disusun melalui konsep
ekonomi kelembagaan dalam lingkup negara, melalui terobosan dan pengaturan berda-
sarkan pada tiga pilar: a) tunjangan keluarga, b) pelayanan kesehatan yang
komprehensif, dan c) kebijakan pendidikan murah.
Penelitian Hagfors and Kajanoja (2007) di Finlandia menghasilkan gagasan
bahwa risiko dan kemiskinan masyarakat harus ditanggung oleh kesejahteraan negara,
dimana kesejahteraan negara meningkatkan kesetaraan pada masyarakat dengan
menutup risiko dan menyamakan peluang serta distribusi pendapatan. Inti
permasalahan yang dimunculkan adalah kesetaraan yang diciptakan oleh kesejahteraan
negara sejalan (positif) terkait dengan kepercayaan umum antara rakyat dan peran
modal sosial dalam menjembatani keterkaitan ini. Pengurangan risiko itu sangat
berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, secara umum kepercayaan dan
modal sosial yang menjembataninya semakin penting dalam perekonomian saat ini.
Perubahan historis teori ekonomi neo-klasik tidak dijadikan acuan, yang dilihat hanya
peran kebijakan sosial masa kini dan kesetaraan, serta keterkaitan hubungan antara
modal sosial dan kesejahteraan.
Analisis kesejahteraan sosial diukur melalui kegiatan ekonomi dari individu-
individu yang membentuk masyarakat. Oleh karena itu, individu dengan kegiatan
56
ekonomi yang terkait, adalah unit dasar yang akan menggabungkan kesejahteraan
sosial, baik dari kelompok, komunitas, atau masyarakat. Kesejahteraan sosial mengacu
pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dan bisa dianggap sebagai
penjumlahan dari kesejahteraan semua individu dalam masyarakat (Bade and Parkin ,
2001).
Salah satu usaha meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat adalah melalui
usaha pengembangan masyarakat, perkembangan fisik lingkungan, dan perkembangan
manajemen terhadap profesinya, dalam rangka mencapai kemandirian masyarakat.
Adanya pengaruh tiga usaha tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masya-
rakat ditandai dengan meningkatnya pendapatan riil, tingkat pendidikan, kesehatan
serta rasa aman dan nyaman. Kemandirian masyarakat digambarkan dengan
meningkatnya kemandirian di dalam pengadaan modal usaha, kemandirian dalam
berpartisipasi dalam pembangunan desa, dan kemandirian didalam peningkatan
peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Kejahteraan sosial masyarakat sendiri pada
akhirnya mempengaruhi kemandirian masyarakat melalui ukuran kesejahteraan
ekonomi subjektif (KES).
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) menurut Hayo and Seifert dalam
Suandi (2007) banyak diteliti karena ada tiga alasan penting, yaitu : (1) KES
merupakan kunci penting dalam kebijakan ekonomi, dimana makro ekonomi suatu
negara berko-relasi positif dengan KES, (2) KES menjadi dasar pertimbangan dalam
politik ekonomi, karena kepuasan ekonomi individu dan masyarakat akan
mempengaruhi dukungan politik terhadap ekonomi pasar dan demokrasi, dan (3) KES
57
menjadi dasar dalam melihat kondisi ekonomi objektif dan subjektif dalam membuat
perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pendekatan pengukuran KES menggunakan istilah subjektivitas dan relativitas,
dan kedua istilah ini menggunakan terminologi persepsi. Menurut Ravallion and
Lokshin dalam Suandi (2007), pendekatan subjektivitas dapat menggambarkan
kesejahteraan yang lebih komplek dan nilainya lebih berharga dari barang-barang dan
jasa di pasar. Kesejahteraan dalam konteks subyektivitas dapat menggambarkan
berbagai aspek dalam kehidupannya, seperti : aktivitas ekonomi, semangat hidup,
tingkat independensi, dan kebahagiaan di waktu luang. Sedangkan pendekatan
relativitas memiliki beberapa konsekuensi, yaitu : (1) kesejahteraan yang dirasakan
bukan hanya sesaat, tetapi mampu membandingkan kesejahteraan sekarang dengan
waktu yang lampau dan di masa yang akan datang, (2) ada unsur penyerapan
informasi baru dari luar, dan (3) tidak mampu menggambarkan persepsi kesejahteraan
secara keseluruhan.
Pendekatan yang sering digunakan dalam persepsi kesejahteraan subjektif
adalah kepuasan dan kebahagiaan. Secara operasional, variabel kepuasan merupakan
indikator yang lebih baik dibandingkan variabel kebahagiaan karena tingkat kepuasan
lebih mampu melihat gap antara inspirasi dan tujuan yang ingin dicapai. Sen dalam
Suandi (2007) menyatakan bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan
kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi yang mampu menjangkau berbagi
kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan hanya dapat merasakan berbagai
peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan institusi dan masyarakat.
58
Disamping itu, kepuasan individu, keluarga, dan atau masyarakat dapat
menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan
masa depan
Kesejahteraan masyarakat merupakan jumlahan KES semua individu yang
tinggal di suatu daerah atau masyarakat. Sedangkan kesejahteraan subjektif (individu)
akan mencerminkan kualitas hidup seseorang. Banyak faktor yang mempengaruhi
kulaitas hidup seseorang, yang terpenting adalah tujuan dan dimensi subjektif dari
kualitas hidup itu sendiri. Pengukuran tujuan dan dimensi subjektif kualitas hidup
seseorang dikembangkan oleh The International Wellbeing Group (2013) melalui
Indeks Kesejahteraan Pribadi (IKP), sebagai ukuran kesejahteraan subjektif.
Kesejahteraan subjektif diukur melalui pertanyaan tentang kepuasan yang diarahkan
kepada perasaan seseorang terhadap diri mereka sendiri, seperti Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Indeks Kesejahteraan Pribadi (IKP)
Pertanyaan
Seberapa puaskah anda dengan …….?
Domain
1. Pemenuhan standar biaya hidup? [Standar biaya hidup]
2. Pemenuhan biaya berobat/kesehatan Anda? [Kesehatan Pribadi]
3. Apa yang Anda cita-citakan dalam hidup ini? [Cita-cia Hidup]
4. Rasa aman di kehidupan Anda? [Rasa Aman Pribadi]
5. Hubungan pribadi dengan orang lain di kehidupan
Anda?
[Hubungan Pribadi]
6. Menjadi bagian dalam komunitas kehidupan
Anda?
[Komunitas-
Keterhubungan]
7. Tabungan untuk masa depan Anda? [Tabungan Masa Depan]
8. Kehidupan keagamaan/spiritual Anda? [Kehidupan Spiritual]
Sumber : The International Wellbeing Group, 2013
59
Organitation for Economic Co-Operation and Development (OECD), tahun
2013 mengeluarkan pedoman tentang pengukuran kesejahteraan subjektif dan telah
diuji validitasnya di Belanda (Beuningen and Jonge, 2011). Pedoman ini dirancang
untuk memberi nilai tambah bagi pengguna informasi tentang kesejahteraan subjektif,
yang mampu : (a) memberikan informasi tentang langkah-langkah validitas
kesejahteraan subjektif, (b) membahas metodologi dalam mengembangkan pertanyaan
untuk mengumpulkan informasi tentang kesejahteraan subjektif, (c) menyajikan
praktek terbaik dalam pengukuran kesejahteraan subjektif, dan (d) memberikan
bimbingan pada analisis dan pelaporan tentang kesejahteraan subjektif. Sejumlah
modul pertanyaan prototipe yang berkaitan dengan aspek yang berbeda dari
kesejahteraan subjektif juga disertakan (seperti Tabel 2.1). Peran pedoman terutama
untuk membantu menghasilkan data dalam memenuhi kebutuhan pengguna
berhubungan dengan ukuran kesejahteraan subjektif yang baik (Beuningen and Jonge,
2011).
Asian Development Bank (ADB) dalam Cahyadi (2005) mencanangkan
pentingnya kemajuan ekonomi yang dirasakan oleh semua komponen dalam
masyarakat, dan juga melibatkan masyarakat dalam proses penapaiannya. Oleh sebab
itu ADB menganggap pentingnya pertumbuhan inkkusif, dengan berpegang pada
dimensi: (i) mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan yang akan menciptakan dan
memperluas peluang ekonomi, dan (ii) menjamin akses yang lebih luas terhadap
kesempatan ini sehingga anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan memperoleh
manfaat dari pertumbuhan ekonomi.
60
Pembangunan ekonomi tidak hanya memperhatikan hasilnya saja tetapi yang
terpenting adalah proses pembangunan itu dijalankan. Perlu dikaji pula bagaimana
proses pencapaian tingkatan pembangunan yang akan dicapai, faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi proses pembangunan, misalnya ketersediaan sumber daya.
Sumber daya alam yang melimpah belum tentu menjamin keberhasilan pembangunan
ekonomi dan kelembagaannya tanpa dukungan sumber daya sosial yang memadai.
Pembangunan itu sendiri adalah proses interaksi dan pembelajran dari berbagai sumber
daya, sehingga peran modal sosial dalam pembangunan sangat vital. Modal sosial
berdampak yang luas dan berdeda bagi kebijakan pembangunan dalam
implementasinya. Kebijakan yang sama mungkin saja berdampak berbeda bagi
kelompok masyarakat tertentu walaupun dalam wilayah yang sama. Fakta
memperlihatkan bahwa program pembangunan yang diterapkan dalam suatu
kabupaten menghasilkan dampak dan hasil yang berbeda bagi wilayah pedesaan dan
perkotaan.
2.5 Konsep Ekonomi Kelembagaan
Kelembagaan dapat didefinisikan sebagai batasan yang dibuat untuk
membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan berbagai
interaksi baik politik, sosial dan ekonomi (North, 1990). Kelembagaan dipandang
sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) untuk menentukan siapa yang
berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan
apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa
61
yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima
sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya.
North (1990) mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan
memberikan hasil yang nyata hanya dengan hanya memperbaiki kebijakan ekonomi
makro. Agar reformasi berhasil, dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang
mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi. Beberapa
contoh institusi yang mampu memberikan insentif tersebut adalah hukum paten dan
hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan tanah. Menurut North institusi adalah
peraturan perundang-undangan berikut sanksi dari peraturan-peraturan tersebut serta
norma-norma perilaku yang membentuk interaksi antara manusia secara berulang-
ulang.
Selanjutnya konsep ekonomi kelembagaan mewadahi kondisi bahwa kegiatan
ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi (teori ekonomi
politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan
suatu individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi
(teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas
kepemilikan asset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan) dan lain-lain. Intinya,
selalu ada intensif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem
ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagaan
non pasar (non- market institution) untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam
kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan mendesain aturan main/kelembagaan
(institusion) (Yustika, 2013).
62
Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan
multidisiplinier sangat penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti
aspek sosial, hukum, politik, budaya dan yang lain sebagai satu kesatuan analitis. Oleh
karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan
menggunakan metode yang dibangun dari tiga premis penting (Yustika, 2013) yaitu:
(1) partikular, dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat, yang
berarti setiap fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan
tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain); (2) subyektif, dimaknai sebagai
penelitian yang melihat realitas atau fenomena sosial dan lebih mendekatkan diri pada
situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri
serta berpikir dari sudut pandang “ orang dalam”; dan (3) non prediktif, dimaknai
sebagai paradigma penelitian yang tidak hanya masuk ke wilayah prediksi ke depan,
tetapi yang ditekankan di sini ialah bagaimana pemaknaan, konsep, definisi,
karakteristik, metafora, simbol dan deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah
menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomena.
2.6 Konsep Industri
Secara umum industri didefinisikan sebagai usaha atau pengolahan bahan
mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah
untuk mendapatkan keuntungan. Industri pada dasarnya tidak hanya berfokus kepada
produksi dari barang atau jasa, tetapi juga terhadap distribusi, pertukaran (sales,
komersialisasi) serta konsumsi dari barang dan jasa. Hanya saja industri selalu
63
dikaitkan dengan pabrikasi atau manufaktur (secondary industry), karena pada era
industrialisasi ditandai dengan perkembangan secara dramatis dari industri manufaktur
ini. Industri merupakan bagian dari ekonomi, atau bisa dikatakan industri merupakan
segmentasi dari ekonomi dalam upaya manusia untuk memilah-milah aktivitas
ekonomi secara lebih mendetil (Depatemen Perdagangan RI, 2008).
Sedangkan industri kecil didefinisikan secara berbeda-beda oleh sejumlah
badan pemerintah ataupun berbagai macam instansi. Beberapa macam definisi industri
kecil tersebut antara lain: (1) menurut Depperindag (Departemen Perindustrian dan
Perdagangan) Tahun 1999, industri kecil merupakan kegiatan usaha industri yang
memiliki investasi sampai Rp. 200.000.000,- tidak termasuk bangunan dan tanah
tempat usaha; (2) menurut Biro Pusat Statistik (2012), mendefinisikan industri kecil
adalah usaha rumah tangga yang melakukan kegiatan mengolah barang dasar menjadi
barang jadi atau setengah jadi, barang setengah jadi menjadi barang jadi, atau yang
kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk
dijual, dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang
termasuk pengusaha; (3) menurut Bank Indonesia, industri kecil yakni industri yang
asset (tidak termasuk tanah dan bangunan), bernilai kurang dari Rp. 600.000.000,-; dan
(4) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995: a. (Pasal 1):
ayat 1, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi
kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, b. (Pasal 5): 1) Memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, 2)
64
memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-, 3) milik warga
negara Indonesia, 4) berdiri sendiri bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak
langsung dengan usaha menengah atau usaha besar, 5) berbentuk usaha orang
perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang
berbadan hukum, termasuk koperasi.
Kategori industri kecil menurut Departemen Perindustrian (Disperindag
Provinsi Bali. 2015) adalah sebagai berikut: (1) Industri Kecil Modern, yang meliputi
industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya (intermediate process
technologies), mempunyai skala produksi yang terbatas, tergantung pada dukungan
industri besar dan menengah dan dengan system pemasaran domestik dan ekspor,
menggunakan mesin khusus dan alat-alat perlengkapan modal lainnya. Dengan kata
lain, industri kecil yang modern telah mempunyai akses untuk menjangkau system
pemasaran yang relatif telah berkembang baik di pasar domestik ataupun pasar ekspor;
(2) Industri Kecil Tradisional, pada umumnya mempunyai ciri-ciri antara lain, proses
teknologi yang digunakan secara sederhana, mesin yang digunakan dan alat
perlengkapan modal lainnya relatif sederhana, lokasi di daerah pedesaan, akses untuk
menjangkau pasar yang berada di luar lingkungan yang berdekatan terbatas; dan (3)
Industri Kecil Kerajinan, yang sangat beragam, mulai dari industri kecil yang
menggunakan proses teknologi yang sederhana sampai industri kecil yang
menggunakan teknologi proses madya atau malahan sudah menggunakan proses
teknologi yang tinggi.
65
Selanjutnya BPS Provinsi Bali (2015b) dalam penjelasan konsep dan metode
pengukuran sektor industri pengolahan, menerangkan beberapa hal berikut,
1) Industri pengolahan (manufaktur) adalah suatu kegiatan ekonomi yang
melakukan kegiatan merubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia,
atau dengan tangan sehinggga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan
atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi
nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir. Termasuk dalam
kegiatan ini adalah jasa industri dan pekerjaan perakitan.
2) Jasa industri adalah kegiatan industri yang melayani keperluan pihak lain.
Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh pihak lain, sedangkan pihak
pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan mendapat imbalan
sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah makloon), misalnya
perusahaan penggilingan padi yang melakukan kegiatan menggiling
padi/gabah petani dengan balas jasa tertentu.
3) Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang
melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa,
terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan
administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya, serta ada
seseorang atau lebih yang bertanggung jawab atas risiko usaha tersebut.
4) Klasifikasi atau pengelompokan industri pengolahan terdiri dari empat
jenis, yaitu:
66
Industri besar adalah perusahaan industri yang mempunyai
tenaga kerja 100 orang atau lebih.
Industri Sedang adalah perusahaan industri yang mempunyai
tenaga kerja 20 - 99 orang.
Industri Kecil adalah perusahaan industri yang mempunyai
tenaga kerja 5 - 19 orang.
Industri Rumah Tangga (RT) adalah perusahaan industri yang
mempunyai tenaga kerja 1 - 4 orang.
Kelompok lapangan usaha dalam industri pengolahan terdiri atas 16 jenis,
meliputi industri: (1) batubara dan kilang migas (pertambangan), (2) makanan dan
minuman, (3) pengolahan tembakau, (4) tekstil dan pakaian jadi, (5) kulit, barang dari
kulit dan alas kaki, (6) kayu, barang dari kayu dan gabus, anyaman bambu dan rotan,
(7) kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media, (8) kimia, farmasi
dan obat tradisional, (9) karet, barang dari karet dan plastik, (10) barang galian bukan
logan, (11) logam dasar, (12) barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan
peralatan listrik, (13) mesin dan perlengkapan, (14) alat angkutan, (15) furnitur, dan
(16) pengolahan lainnya. Usaha industri tenun dalam kelompok industri pengolahan
termuat dalam industri tekstil dan pakaian jadi
2.7 Industri Kreatif
Menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008) pengertian
industri kreatif didefinisikan sebagai “Industri yang berasal dari pemanfaatan
67
kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta
lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta
individu tersebut.” Contohnya: industri batik, industri tenun, industri jasa arsitektur,
industri jasa periklanan, dsb.
Ekonomi kreatif dan industri kreatif akhir-akhir ini semakin hangat dibicarakan
baik oleh pemerintah, swasta dan pelakunya sendiri. Khususnya pemerintah sudah
semakin menaruh perhatiannya. Sedikitnya ada Departemen Perdagangan, Departemen
Perindustrian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Komunikasi dan
Informasi, dan Departemen Tenaga Kerja. Karena istilah "industri" pada industri
kreatif, menimbulkan banyak interpretasi, bagaimanakah mencocokkan secara
kontekstual antara ekonomi kreatif, industri kreatif dengan Undang-undang No. 5/1984
tentang Perindustrian.
Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025 yang
dirumuskan oleh Departemen Perdagangan RI (2008) dijelaskan adanya evoluasi
ekonomi kreatif. Berdasarkan dokumen rencana ini dapat diketahui bahwa adanya
pergeseran dari era pertanian ke era industrialisasi lalu ke era informasi yang disertai
dengan banyaknya penemuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta
globalisasi ekonomi. Perkembangan industrialisasi menciptakan pola kerja, pola
produksi dan pola distribusi yang lebih murah dan efisien.
Pandangan tentang ekonomi kreatif dan industri kreatif dapat dijabarkan
sebagai berikut.
68
1) Industri dapat dibedakan menjadi sektor-sektor utama (menutur BPS ada 16
sektor utama), yang mendasari pembagian lapangan usaha. Kelompok industri
kreatif ini (misalnya: musik, periklanan, tekstil, arsitektur, dll.) akan memiliki
lapangan usaha yang merupakan bagian dari beberapa sektor industri. Sebagian
besar dari lapangan usaha industri kreatif ini merupakan industri jasa.
2) Ekonomi kreatif merupakan keseluruhan dari industri kreatif, yaitu seluruh
industri yang tercakup dalam kelompok industri kreatif.
Selanjutnya menurut Depertemen Perdagangan RI (2008), jenis-jenis industri
kreatif di Indonesia meliputi: (1) periklanan; yang berkaitan dengan kreasi dan
produksi iklan, (2) arsitektur; yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan
informasi produksi, (3) pasar seni dan barang antik, (4) kerajinan; yang berkaitan
dengan kreasi dan distribusi produk kerajinan, (5) desain; yang terkait dengan kreasi
desain grafis, interior, produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas
perusahaan, (6) desain tekstil; yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas
kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, (7)
Video, Film dan Fotografi; yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa
fotografi, serta distribusinya, (8) permainan interaktif; yang berkaitan dengan kreasi,
produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan,
ketangkasan, dan edukasi, (9) musik; yang berkaitan dengan kreasi, produksi,
distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik,
pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik, (10)
seni pertunjukan; yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten dan proses
69
produksi pertunjukan, (11) Penerbitan & Percetakan; yang terkait dengan dengan
penulisan konten dan penerbitan karya tulis serta digital, (12) layanan komputer dan
piranti lunak; yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi (IT), (13)
televisi dan radio; yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan,
penyiaran, dan transmisi televisi dan radio, dan (14) Riset dan Pengembangan; yang
terkait dengan usaha inovatif dan produk baru.
2.8 Industri Tenun di Bali
Berdasarkan konsep industri kreatif dan industri pengolahan, maka usaha
industri tenun di Bali yang umumnya meproduksi kain endek dan songket dapat
digolongkan sebagai industri kreatif. Industri tenun di Bali termasuk dalam lapangan
usaha industri tekstil dan pakaian jadi, merupakan produk budaya sebagai hasil sektor
industri pengolahan yang masih banyak menggunakan alat tenun bukan mesin
(ATBM).
Endek yang dihasilkan dari industri tenun ikat di Bali rata-rata masih
menggunakan motif dan desain tradisonal, yang beberapa diantaranya hanya
digunakan pada saat upacara adat. Warisan budaya ini menyebabkan beberapa jenis
kain dianggap sakral dan berhubungan erat dengan upacara-upacara keagamaan
(Sukawati, 2009). Kain endek dan songket memiliki ragam hias yang dihubungkan
dengan upacara sakral atau hanya boleh digunakan oleh orang tertentu. Hal ini
menyebabkan, endek dan songket harus dilestarikan sebagai budaya adi luhung milik
orang Bali. Kain endek dan songket sebagian besar didesain dan diproduksi untuk
70
kepentingan pasar lokal Bali, sehingga warna, motif dan designnya sesuai selera
masyarakat Bali. Jika hanya berkutat pada pasar lokal di Bali maka output yang dapat
diserap akan semakin kecil, ditambah lagi dengan masuknya jenis kain dari luar bali,
tentunya akan membuat perajin endek dan songket Bali semakin terengah-engah dalam
menjalankan usahanya.
Kain tenun ikat bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi
masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Kain
tenun ikat Bali pun tidak sebatas cendera mata atau sekedar oleh-oleh khas Bali
semata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas ke dunia fashion yang berbasiskan
budaya. Seperti halnya masyarakat pengrajin kain tenun Bali yang terkenal yaitu di
Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem sebagai salah satu pusat produksi kain tenun
di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa
Sidemen ini melakukan kegiatan rutinnya sebagai penenun. Hampir semua orang di
desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua mereka secara turun temurun.
Hasil produksi tenun di desa Sidemen terdapat dua jenis utama yang selama ini
di pasarkan di Bali dan luar Bali, yaitu endek yang biasa dipakai sehari-hari dan kain
tenun songket yang digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan
masyarakat Bali, seperti: upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, kremasi, dan
upacara keagamaan serta dalam acara adat.
Proses menghasilkan sehelai kain tenun endek akan dimulai dengan memintal
benang, kemudian benang dibentangkan di alat perentang, dan helaiannya diikat
dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan. Setelah
71
pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang yang sudah
diwarnai kemudian digintir atau dipilah, lalu baru ditenun menjadi kain. Sedangkan
proses pada tenun songket, dimulai dari kain ditenun dengan menyisipkan benang
perak, emas, tembaga, atau benang warna di atas lungsin yang mendasari. Penempatan
tambahan benang ini membentuk corak yang diinginkan dan adakalanya dipadu pula
dengan teknik ikat.
Tradisi dan kehidupan masyarakat di Bali pada umumnya penuh diliputi oleh
upacara keagamaan yang sarat dengan nilai-nilai filosofi (Sukawati, 2009). Adanya
konsep Tri Hita Karana yaitu, tiga hal yang diyakini dapat memberikan kebahagian
dalam kehidupan, sehingga bila dijalani dengan keselarasan akan tercipta
keharmonisan yang dalam implementasinya dapat membentuk karakter masyarakat
Bali yang peduli akan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan),
manusia dengan sesamanya (pawongan), dan manusia dengan lingkungan
(palemahan). Penggunaan endek dan songket pun didasari oleh nilai-nilai dari konsep
Tri Hita Karana. Contohnya, endek cepuk dengan motif sakral yang khusus
dipergunakan dalam upacara keagamaan sebagai rasa hormat kepada Sang Pencipta.
Selain itu, songket pegringsingan yang juga merupakan kain tenun ikat yang sakral,
wajib digunakan pada upacara-upacara keagamaan seperti upacara Ngaben dan
Mepandes di Bali. Berbeda dengan motif endek untuk upacara keagamaan yang lebih
banyak menggunakan motif-motif patra dan encak saji yang bersifat sakral, endek
yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat pada umumnya bermotif
nuansa alam. Kreativitas yang tercipta dari pembuatan endek dan songket secara tidak
72
langsung telah mengantarkan endek dan songket sebagai identitas keunggulan budaya
lokal. Harmonisasi kehidupan yang dijalani perajin endek dan songket memberi
inspirasi dalam penciptaan desain-desain endek dan songket yang lebih atraktif dan
unik.
Adanya perhatian terhadap semua unsur di dunia ini menjadikan busana yang
dibuat oleh orang-orang bali dulu memiliki nilai lebih. Nilai lebih ini menurut seorang
desainer Bali (Cok Abinanda) sangat disadari oleh leluhur orang Bali dulu dan mereka
mewariskan kepada generasi di bawahnya bahan-bahan pakaian yang berkualitas, yang
pembuatannya melibatkan segenap ketekunan, kesabaran dan nilai seni yang tinggi
(Putra, 2009).
Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, kain tenun
tradisional Bali (endek dan songket) dikenal baik oleh konsumen mancanegara, namun
produksi beberapa tahun belakangan tidak lagi berkesinambungan. Hal itu akibat
perajin yang mengerjakannya semakin langka, tidak berkesinambungan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Pengerjaan yang rumit dan membutuhkan waktu lama
dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang mulai rusak sebagai faktor
ketidaksinambungan itu. Misalnya, kain tenun cepok yang diproduksi masyarakat Nusa
Penida, Kabupaten Klungkung maupun kain tenun Tenganan Pegringsingan,
Kabupaten Karangasem telah dikenal luas di pasar ekspor. Produksinya akan
ditingkatkan dan dikembangkan kembali melalui peningkatan usaha industri rumah
tangga yang memproduksi kain cepok maupun meningkatkan kapasitas kain Tenganan
Pegringsingan.
73
Pemasaran endek dan songket dalam usaha menembus pasar dunia,
memerlukan upaya-upaya untuk menjadikan industri endek dan songket sebagai
industri berbasis budaya lokal, tapi mampu masuk pasar internasional. Beberapa upaya
telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait, namun masih ada beberapa upaya yang belum
dijangkau oleh pelaku industri endek ataupun pemerintah, misalnya: (1) meningkatkan
daya saing endek dan songket melalui penciptaan kreasi yang unik, (2) memasarkan
endek dan songket dengan menjual keunikannya, (3) memasuki pasar dunia melalui
perancang busana ternama, dan (4) meningkatkan peran pemerintah dalam
pemberdayaan endek dan songket.
Hasil penelitian Lakhsmi Dewi (2013) memaparkan bahwa perkembangan
kerajinan tenun endek yang berkembang di Desa Sulang mendapatkan dana bantuan
yang berasal dari UNDP dan BUMN serta koperasi-koperasi yang didirikan oleh
pemerintah Desa untuk membantu mengembangkan kerajinan tenun endek di Desa
Sulang. Kerajinan tenun endek yang berkembang di Desa Sulang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu SDM, kepemilikan modal, ekonomi, teknologi. Selain itu
kerajinan tenun ikat endek di Desa Sulang mampu berkembang dan bertahan
dimasyarakat harus dilakukan dengan cara mensosialisasikannya. Cara pewarisan
kerajinan tenun endek di Desa Sulang dari tahun 1985-2012 dilakukan melalui agen
sosialisasi yaitu: 1) keluarga, 2) teman atau pergaulan, dan 3) lembaga pendidikan.
Sistem pewarisan kerajinan tenun ikat endek mengacu pada pendidikan informal yang
dimana didapatkan dari kehidupan sehari-harinya sebagai pengrajin tenun, serta
pengaruh kehidupan keluarga yang bekerja sebagai pengarajin. Selain itu melalui dinas
74
perindustrian dan perdagangan yang bekerjasama dengan pemerintah daerah telah
melakukan sosialisasi kerajinan tenun ikat endek dengan memberikan pelatihan-
pelatihan tentang menenun kepada masyarakat sekitar Desa Sulang.
Kajian ilmiah melalui penelitian LPPM UNUD tahun 2011, memaparkan
bahwa Komoditas/Produk/ Jasa Usaha (KPJU) unggulan lintas sektor di Provinsi Bali,
yaitu hotel melati, kontraktor konstruksi bangunan, industri pengolahan hasil
perikanan, industri kerajinan perak, komoditas kopi, restoran/rumah makan, industri
tenun endek dan songket (ATBM), industri kerajinan kayu, padi sawah, dan cengkeh.
Bahkan KPJU unggulan pertama pada sektor industri pengolahan di Kabupaten
Karangasem dan Kabupaten Klungkung adalah industri tenun endek dan songket
(ATBM). Sementara itu di Kabupaten Jembrana, khususnya di Kecamatan Jembrana
dan Negara, industri tenun juga cukup berkembang dan digolongkan sebagai KPJU
potensial di sektor industri pengolahan. Oleh karena itu industri tenun endek dan
songket ini hendaknya dapat dikembangkan dengan konsep kewirausahaan yang lebih
baik sehingga mampu meningkatkan dampak pembanguan ekonomi yang lebih baik,
khususnya bagi pelaku industri itu sendiri.
2.9 Hubungan antar Variabel Penelitian
Usaha industri tenun di Provinsi Bali sebagai usaha yang berbasis kearifan
lokal masih banyak mengalami kendala dalam pertumbuhnanya, baik dari minimnya
jumlah sentra usaha maupun aspek pemasaran hasil usaha berupa kain endek dan
songket. Pemerintah dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bali telah
75
berupaya memotivasi, memfasilitasi, dan mengatur regulasi usaha tenun ini agar
mampu bertumbuh dan menjadi usaha industri pengolahan (tekstil dan pakaian jadi)
unggulan di Provinsi Bali.
Fasilitas modal sosial yang saling menguntungkan adalah aksi kolektif, yang
membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat (Hobbs, 2000).
Orang yang melakukan wirausaha dinamakan wirausahawan dan bentuk aplikasi atas
sikap-sikap kewirausahaan melalui aksi kolektif dapat diilhami oleh orientasi
kewirausahaan yang direfleksikan dengan kemampuan inovatif, keproaktifan, dan
kemampuan dalam pemecahan masalah (Prawirokusumo, 2010).
Kuatnya hubungan kegiatan kewirausahaan dengan kultur budaya sekitar yang
dipandang sebagai modal sosial berbasis budaya lokal, digambarkan oleh Casson and
Yeung (2006). Dalam teorinya, pengusaha sebagai agen perubahan sosial dan ekonomi
menunjukkan bahwa pengusaha sangat sensitif terhadap lingkungan sosial. Kerangka
kerja berdasarkan ekonomi kelembagaan yang dikombinasikan dengan konsep
psikologi lintas budaya, digunakan dalam mempertimbangkan dimensi sosial terhadap
orientasi kewirausahaan. Modal sosial sangat berperan dalam meningkatkan motivasi
dan inovatif sehingga aktivitas ekonomi (kewirausahaan) dapat tumbuh secara baik,
dan sumber daya alam dapat diefektifkan sebagai modal fisik pembangunan ekonomi.
Sebaliknya, tanpa pertumbuhan ekonomi, modal sosial akan terganggu (Pretty and
Ward, 2001). Hasil penelitian Humaira (2011), Thobias dkk (2013), Atazadeh et all
(2014), dan Wimba (2015), menemukan bahwa modal sosial berpengaruh positif dan
signifikan terhadap orientasi kewirausahaan.
76
Hasbullah (2005) menyatakan norma-norma sosial akan sangat berperan dalam
mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat apalagi dalam
kehidupan sekarang. Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan
akan terletak pada kecendrungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk
bersosialisasi dan berkerjasama. Jaringan kerjasama ini akan membangun sejumlah
asosiasi dan jaringan kerja profesional agar mampu membuat modal sosial berperan
dan bermakna dalam kinerja usahanya. Penelitian terkait pengaruh positif dan
signifikan modal sosial terhadap kinerja usaha, terungkap dalam penelitian Lukiastuti
(2012), Durojaiye et all (2013), dan Subroto (2015).
Orientasi kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dan pelopor dalam
peningkatan kinerja perusahaan. Orientasi kewirausahaan dari seorang pelaku
wirausaha dapat menimbulkan peningkatan kinerja usaha juga disampaikan oleh Covin
dan Slevin (1989). Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang
dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan
dalam peningkatan kinerja usaha, melalui. kemampuan inovatif, kemampuan
mengambil risiko (pemecahan masalah), dan sifat proaktif (Kemendikbud, 2013).
Peningkatan kinerja usaha merupakan aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan
melalui orientasi kewirausahaan yang direfleksikan dengan kemampuan inovatif,
proaktifitas, dan kemampuan dalam pemecahan masalah (Prawirokusumo, 2010).
Penelitian terkait pengaruh positif dan signifikan orientasi kewirausahaan terhadap
kinerja usaha, terungkap dalam penelitian Rudy dan Soegiato (2013), Nugroho dan
Setyawan (2015), serta Suryanita (2016).
77
Menurut Sjafri Mangkuprawira dalam Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (2013), pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan sisi kearifan
lokal dimana masyarakat punya tradisi, dan adat-istiadat sebagai potensi yang dapat
dikembangkan sebagai modal sosial. Modal sosial yang positif akan memiliki
hubungan positif dengan kesejahteraan subjektif (masyarakat). Hal ini ditandai oleh
jejaring sosial yang luas, tingginya saling percaya sesama anggota masyarakat, dan
jiwa kebersamaan yang tinggi. Modal sosial ini akan memerkecil biaya transaksi dan
biaya kendali untuk suatu kegiatan pengembangan masyarakat. Dengan kata lain akan
mampu menciptakan pengelolaan sumber daya optimum dan kemudian menghasilkan
outcome yang semakin besar bagi kesejahteraan subjektif. The World Bangk Group
(2011), memaparkan bukti-bukti yang menunjukkan modal sosial merupakan
kontributor potensial untuk pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan
untuk mencapai kesejahteraan subjektif bersama. Penelitian yang berhubungan dengan
pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan subjektif (indikator yang berbeda),
terungkap dalam penelitian Rose (2009) dan Suandi (2014).
Kesejahteraan subjektif tidak hanya dipandang dari sisi ekonomi (pendapatan)
tetapi juga mencakup kesejahteraan subjektif lainnya seperti kebebasan sipil,
kebebasan dari tindak kejahatan, lingkungan hidup yang bersih serta kondisi penduduk
yang sehat secara fisik dan mental (OECD, 2011). Hal ini membutuhkan kompetensi
kewirausahaan atau budaya wirausaha untuk meningkatkan kinerja usaha. Adanya
pengaruh tiga usaha tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif sosial
masyarakat ditandai dengan meningkatnya pendapatan riil, tingkat pendidikan,
78
kesehatan serta rasa aman dan nyaman (beberapa indikator dari kesejahteraan
subjektif). Penelitian yang berhubungan dengan pengaruh orientasi kewirausahaan dan
kinerja usaha terhadap kesejahteraan subjektif, terungkap dalam penelitian Callaghan
(2009), Sacks et all (2010), dan Aryogi (2013).
Hubungan pengarauh modal sosial terhadap kesejahteraan subjektif
memerlukan mediasi yang mampu menggerakan modal sosial pada pelaku usaha
melalui aktivitas kewirausahaan (orientasi kewirausahaan) untuk mengahasilkan
pendapatan dari kinerja usahanya. Proses menyeimbangkan langkah-langkah kemajuan
sosial ekonomi sebagai ukuran kesejahteraan subjektif dapat dilakukan melalui
peningkatan kompetensi kewirausahaan dan kapasitas (kinerja) ekonomi. Mengingat
manfaat yang nyata bagi modal sosial individu terhadap tingkat kesejahteraan
subjektif, maka semakin mendesak untuk bertindak secara efektif yang memungkinkan
setiap orang untuk berkembang dan menempatkan aktivitas kewirausahaan sebagai
kegiatan utamanya (Neve et all, 2013). Pemahaman ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya (Mota and Pereira, 2008), dimana kesejahteraan subjektif yang dianalisis
sebagai fungsi dari kesejahteraan ekonomi subjektif (KES), kepuasan hidup dan ikatan
sosial, menunjukkan bahwa pendapatan (hasil kinerja ekonomi), pendidikan dan
kualitas dari aktivitas ekonomi (orientasi kewirausaahaan) memiliki dampak tertinggi
pada kesejahteraan subjektif, yang dimotori oleh modal sosial.
79
2.10 Penelitian-penelitian Sebelumnya
2.10.1 Hubungan Modal Sosial dan Orientasi Kewiruausahaan
Penelitian Thobias, dkk. (2013), yang berjudul “Pengaruh Modal Sosial Terhadap
Perilaku Kewirausahaan: Suatu studi pada pelaku usaha mikro kecil menengah di
Kecamatan Kabaruan, Kabupaten Kepulauan Talaud”, dengan 74 responden, dimana
modal sosial berpengaruh positif bagi pengusaha mikro kecil menengah (MKM) yang
ada terhadap orientasi kewirausahaan pelaku MKM tersebut. Penelitian Primadona,
dkk (2014) terhadap wirausahawan etnis Minang, dimana kebijakan dan model
kewirausahaan dengan modal sosial secara langsung berpengaruh pada etnis Minang,
karena berhasilnya etnis Minang selama ini di dalam berwirausaha sangat ditopang
oleh nilai modal sosial. Penelitian Wimba (2015) yang menyatakan bahwa modal
sosial secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi
kewirausahaan pada UKM kerajinan kayu di Provinsi Bali.
Penelitian di luar negeri melalui penelitian Atazadeh, et al (2014) di Tabriz
(Iran) dengan sampel 400 responden, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang signifikan antara kewirausahaan dan modal sosial, dimana pada berbagai
kepercayaan, kerjasama dan norma dalam partisipasi memiliki dampak yang signifikan
pada kewirausahaan. Ada hubungan positif yang signifikan antara pengaruh emosi dan
karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan kewirausahaan seperti pengam-
bilan risiko, dan pragmatisme. Ini berarti terjadi peningkatan efek yang memperkuat
rasa percaya dan karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan kewirausahaan
seperti risiko, pengendalian internal dan pragmatisme.
80
2.10.2 Hubungan Modal Sosial dan Kinerja Usaha
Penelitian terkait dalam hubungan modal sosial dengan kinerja usaha adalah
penelitian Rudy dan Soegianto (2013) yang berjudul “Analisis Pengaruh Modal Sosial
dan Orientasi Kewirausahaan Terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa
Cipta”, dengan responden para karyawan dan manajer/pemilik PT. Mentari Esa Cipta
di Jakarta, yang menyatakan ternyata tidak ada pengaruh yang signifikan antara modal
sosial terhadap kinerja kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta. Penelitian Subroto
(2015) terhadap pelaku UMKM bidang garmen di Kabupaten Klaten, juga menyatakan
bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara modal sosial terhadap kinerja
pada UMKM bidang garmen di Kabupaten Klaten.
Penelitian di luar negeri yang dilakukan oleh Durojaiye et all (2013) terhadap
bisnis perdagangan bahan makanan di Southwestern Nigeria, yang menyatakan bahwa
modal sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan keuntungan
penjualan bahan makanan di Negeria.
2.10.3 Hubungan Orientasi Kewirausahaan dan Kinerja Usaha
Sejumlah penelitian yang terkait hubungan ini adalah: (1) Suryanita (2006)
pada pengusaha industri pakaian jadi di Kota Semarang, dimana orientasi
kewirausahaan mempunyai efek positif dan signifikan terhadap kinerja pemasaran, (2)
Suci (2006) pada kabupaten/kota yang memiiliki industri kecil menengah (IKM)
Bordir di Provinsi Jawa Timur dengan 365 responden, dimana temuannya orientasi
kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pada IKM
81
border di Provinsi Jawa Timur, (3) Risnawati dan Noermijati (2011) pada koperasi
primer di Kota Palu Sulawesi Tengah, yang menyatakan orientasi kewirausahaan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja koperasi, baik kinerja keuangan
maupun kinerja non keuangannya, dan (4) Rudy dan Soegianto (2013) pada
karyawan/pemilik PT. Mentari Esa Cipta di Jakarta sejalan dengan studi ini, dimana
hasilnya ternyata ada pengaruh positif dan signifikan antara orientasi kewirausahaan
terhadap kinerja kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta.
Demikian juga penelitian Yang (2006) pada UKM di Taiwan, yang
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan orientasi kewirausahaan
yang tinggi dapat memberi kontribusi terhadap kinerja bisnis yang lebih tinggi.
Penelitian Callaghan (2009) di kota Johannesburg, tentang dimensi orientasi
kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi
pedagang kaki lima (PKL) dengan mengukur kinerja kewirausahaan. Orientasi
kewirausahaan diuji melalui penyelidikian faktor-faktor kontekstual yang membentuk
orientasi kewirausahaan dan memberikan kontribusi terhadap kinerja kewirausahaan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan sangat terkait dengan
peningkatan pendapatan PKL seiring dengan kemampuan pimpinan dalam
pengambilan keputusan atau risiko.
2.10.4 Hubungan Modal Sosial dan Kesejahteraan Subjektif
Penelitian yang sejalan dalam hubungan ini adalah penelitian Suandi (2014)
terhadap 132 keluarga pada bulan Nopember 2012 di dua kecamatan, yaitu:
82
Kecamatan Keliling Danau, dan Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci,
Jambi. Hasil penelitian menyatakan bahwa modal sosial (asosiasi lokal dan karakter
masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat
nyata terhadap kesejahteraan subjektif ekonomi keluarga.
Penelitian Johannes (2009) yang mengkaji efek dari modal sosial terhadap
kemiskinan rumah tangga menggunakan hasil survey terhadap 2.001 rumah tangga di
Kamerun. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, keanggotaan dalam asosiasi
sebagai indikator modal sosial berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan per
kapita rumah tangga (mengurangi kemiskinan). Hasil analisis lebih lanjut tenyata bagi
pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif hidup rumah tangga
disarankan untuk mempertimbangkan dan mempromosikan modal sosial sebagai salah
satu implementasi yang relevan. Sedangkan penelitian Rose (2009) di Rusia,
menyatakan bahwa beberapa bentuk dan keadaan jaringan modal sosial menghasilkan
sejumlah peningkatan kesejahteraan subjektif individu (pribadi). Juga ditekankan
bahwa modal sosial tidak harus dianalisis secara terpisah tetapi sebagai bagian dari
portofolio sumber daya yang digunakan individu dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan subjektif.
2.10.5 Hubungan Orientasi Kewirausahaan dan Kesejahteraan Subjektif
Penelitian yang terkait dengan hubungan ini adalah penelitian Aryogi (2013)
pada obyek individu dalam rumah tangga berdasarkan perwakilan SUSENAS yang
diperoleh dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2007. Hasil penelitian
83
menyatakan bahwa, upaya peningkatan pendapatan melalui aktivitas berbagai sektor
perekonomian diperlukan agar terjadi peningkatan dalam kesejahteraan subjektif.
Penelitian Callaghan (2009) di kota Johannesburg, tentang dimensi orientasi
kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi
pedagang kaki lima (PKL). Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi
kewirausahaan seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan
atau risiko berpengaruh secara langsung dan berkontribusi terhadap peningkatan
pendapatan menuju peningkatan kesejahteraan subjektif.
2.10.6 Hubungan Kinerja Usaha dan Kesejahteraan Subjektif
Penelitian yang terkait dengan hubungan ini adalah penelitian Heady and
Wooden (2004), menggunakan data tahun 2001 dan 2002 yang diamabil pada survey
rumah tangga, pendapatan dan dinamika buruh di Australia. Penelitian ini
menaganalisis pengaruh kekayaan (pendapatan) pada kesejahteraan subjektif dan
kesehatan. Pandangan yang diterima di kalangan psikolog dan ekonom adalah sama,
dimana pendapatan rumah tangga memiliki efek statistik yang cukup signifikan pada
ukuran kesejahteraan subjektif subjektif, walaupun pendapatan merupakan ukuran
yang tidak sempurna dari keadaan ekonomi rumah tangga.
Penelitian Sacks et all (2010) pada 132 negara, dengan membuat jajak
pendapat terhadap kesejahteraan subjektif subjektif, dengan mengeksplorasi hubungan
antara kesejahteraan subjektif dan pendapatan. Hasil penelitian menyatakan kepuasan
hidup rata-rata lebih tinggi di negara-negara dengan pendapatan per kapita yang lebih
84
besar, walaupun pendapatan absolut tetap memainkan peran penting dalam
mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Kepuasan hidup warga Negara tumbuh sejalan
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Negara tersebut. Hasil akhir yang diperoleh
dalam penelitian ini menyatakan tingkat pertumbuhan kesejahteraan subjektif sangat
dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan pendapatan warga Negara.