Abstrak - INSTIKA

30
CORAK FIKIH DI MADURA (Studi atas Manuskrip Berbahasa Madura ‘Miftahul Jannah’ di Sumenep Jawa Timur) Ah. Mutam Muchtar Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep [email protected] Abstrak Artikel ini mengelaborasi manuskrip berbahasa Madura dengan judul “Miftahul Jannah fi Anwa’i Kaifiyatis Sholah wan Niyah” (Kunci Surga [berisi] tentang Ragam Cara Sholat dan Niat). Manuskrip berbahasa Madura ini ditemukan di Desa Tambaagung Ares, Kecamatan Ambunten, Sumenep, Jawa Timur. Dari manuskrip ini, dapat ditemukan data penting berkaitan dengan corak Fikih yang berkembang di Madura, yaitu Fikih Madzhab Syafi’iyah. Kata Kunci: Fikih, Miftahul Jannah, Manuskrip, Madura Pendahuluan Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa, termasuk kaya dengan cerita-cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan hikmah yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia. Tidak saja warisan itu berupa tradisi tutur, melainkan ditulis dalam naskah-naskah kuno; dengan tulisan tangan—bahkan sesuai daerahnya, ‚kertas‛ yang sangat unik, dalam bahasa daerah, dan dalam bingkai kebudayaan yang khusus. Naskah-naskah kuno itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Manuskrip. Fakta menunjukkan bahwa manuskrip-manuskrip yang sangat kaya dan menyimpan kebijaksanaan serta bukti dari sejarah Bangsa Indonesia ini telah diambil oleh bangsa lain—seperti Belanda, Inggris, Italia,

Transcript of Abstrak - INSTIKA

Page 1: Abstrak - INSTIKA

CORAK FIKIH DI MADURA

(Studi atas Manuskrip Berbahasa Madura ‘Miftahul

Jannah’ di Sumenep Jawa Timur)

Ah. Mutam Muchtar

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep [email protected]

Abstrak

Artikel ini mengelaborasi manuskrip berbahasa Madura dengan judul “Miftahul Jannah fi Anwa’i Kaifiyatis Sholah wan Niyah” (Kunci Surga [berisi] tentang Ragam Cara Sholat dan Niat). Manuskrip berbahasa Madura ini ditemukan di Desa Tambaagung Ares, Kecamatan Ambunten, Sumenep, Jawa Timur. Dari manuskrip ini, dapat ditemukan data penting berkaitan dengan corak Fikih yang berkembang di Madura, yaitu Fikih Madzhab Syafi’iyah. Kata Kunci: Fikih, Miftahul Jannah, Manuskrip, Madura

Pendahuluan

Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa, termasuk kaya

dengan cerita-cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan hikmah yang

diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang bangsa

Indonesia. Tidak saja warisan itu berupa tradisi tutur, melainkan

ditulis dalam naskah-naskah kuno; dengan tulisan tangan—bahkan

sesuai daerahnya, ‚kertas‛ yang sangat unik, dalam bahasa daerah,

dan dalam bingkai kebudayaan yang khusus. Naskah-naskah kuno

itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Manuskrip. Fakta

menunjukkan bahwa manuskrip-manuskrip yang sangat kaya dan

menyimpan kebijaksanaan serta bukti dari sejarah Bangsa Indonesia

ini telah diambil oleh bangsa lain—seperti Belanda, Inggris, Italia,

Page 2: Abstrak - INSTIKA

54|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

dan Jerman1—dan menjadi kekayaan mereka. Padahal naskah-naskah

itu sebagai bukti sejarah yang otentik dan orijinal yang menyimpan

pengalaman, pikiran, dan perasaan para leluhur Nusantara.2

Namun demikian, manuskrip-manuskrip yang masih

tersimpan dan terpendam di daerah-daerah di Indonesia dan selamat

dari tangan-tangan penjajah masih sangat banyak. Berdasar laporan

para pengkaji manuskrip disebutkan bahwa naskah-naskah kuno

masih terus didata, dilakukan inventarisasi, dan dilakukan

pengkajian. Di Jawa Timur saja, umpanya, tercatat 242 naskah yang

ditemukan dan diinventarisir.3 Meski demikian, pengumpulan dan

inventarisasi secara sistematis masih belum dilakukan secara

maksimal. Misalnya, mengacu kepada laporan Henri Chambert-Loir

dan Oman Fathurrahman, bahwa naskah asal Madura yang tersimpan

di perpustakaan masih belum sampai 500 buah.4 Hal ini menunjukkan

bahwa penelusuran, inventarisasi, dan pengungkapan isinya sangat

penting dilakukan.

Madura, khususnya Sumenep, juga memiliki kekayaan

manuskrip yang sangat luar biasa. Manuskrip-manuskrip yang

‚selamat‛ dari tangan-tangan penjajah ini adalah manuskrip yang

dimiliki oleh pribadi-pribadi, seperti kiai kampung, sehingga tidak

terlacak oleh penjajah. Sejumlah manuskrip atau naskah-naskah kuno

itu dibawa ke Inggris, ketika Raffles menjabat sebagai Gubernur

1 Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 127. 2 Dwi Laily Sukmawati, Inventarisasi Naskah Lama Madura, Jurnal

Manuskripta, Vol. 1, No. 2, 2011, hlm. 17. 3 Ibid., hlm. 22. 4 Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah, hlm.

127.

Page 3: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |55

Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1811-1816. Untungnya, yang

disasar oleh para penjajah itu adalah naskah kuno yang dimiliki oleh

kerajaan atau Kraton—dalam kasus Sumenep adalah Katon Sumenep.

Bahkan, Kerajaan Inggris memberikan hadiah berupa Kereta Kencana

(duplikasi ada di Museum Sumenep) kepada Sultan Abdurrahman

(memerintah di Kraton Sumenep pada tahun 1811-1854) karena

Sultan Abdurrahman dinilai berjasa membantu penelitian yang

dilakukan Raffles. Sedangkan manuskrip yang dimiliki oleh para kiai

kampung, masih tersimpan dengan baik dan diwariskan secara turun

temurun kepada anak cucu mereka.5

Sejumlah manuskrip ini berkaitan dengan perkembangan

keagamaan masyarakat Muslim Sumenep Madura. Manusia Madura

adalah manusia yang menghiasi jiwanya tidak saja dengan ilmu

pengetahuan, tetapi yang terpenting adalah menghiasi diri dengan

akhlak, moralitas, kesopanan, saling menghormati, serta kesantunan

pada sesama. Manusia Madura adalah juga manusia yang memiliki

kepatuhan dan ketaatan—bahkan kefanatikan—kepada Agama Islam

yang tinggi. Ketaatan dan kepatuhan ini tidak bisa dilepaskan dari

masuknya Islam ke Madura, yaitu sekitar abad XV dan dengan pelan

tapi pasti dianut secara merata oleh masyarakat Madura.6

Sebelum Islam masuk ke Madura dan dianut secara merata,

masyarakat Madura masih memeluk Hindu dan Budha dan bahkan

sebelumnya animisme. Rifai7 memberikan bukti bahwa di pulau

5 Dengan temuan yang hampir sama, disebutkan dalam oleh Oman

Fathurahman dalam Oman Fathurahman, Filologi dan Penelitian Teks-Teks Keagamaan, Jurnal Al-Turas, Vol. 9, No. 2, Juli 2003, hlm. 110-111.

6 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura, (Yogayakrta: Pilar Media, 2007),

hlm. 42. 7 Ibid., hlm. 42.

Page 4: Abstrak - INSTIKA

56|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

Sepudi terdapat peninggalan bangunan megalitik berupa Bato

Kennong (batu kenong) dan Bato Egghung (batu gong) dan Menhir.

Setelah Islam masuk sekitar abad XV, pelan-pelan mengubah pola

dan praktik keyakinan masyarakat Madura. Menjelang akhir abad

XIX, di desa Kademangan Bangkalan sudah berdiri sebuah pesantren

besar yang didirikan dan diasuh oleh KH. Muhammad Kholil.

Pesantren ini sangat populer di Nusantara dan, menurut penelitian

Dhofier dan Bruinessen,8 pendiri sejumlah pesantren di Indonesia

adalah murid dan hasil didikan KH. Muhammad Kholil, Bangkalan.

Dalam konteks keberagamaan, masyarakat Madura sangat patuh,

taat, atau bahkan sangat fanatik dan terus diwariskan kepada generasi

penerusnya melalui pendidikan dan pewarisan nilai-nilai, salah

satunya berlangsung di langgar, pesantren, dan madrasah.

Sejumlah manuskrip itu memberikan gambaran kepada kita

akan wajah dari Islam di Madura. Manuskrip yang dimaksud di sini

adalah manuskrip dalam bidang Fikih (Syari’ah). Naskah ini

merupakan kekayaan yang luar biasa sehingga mendesak untuk digali,

diinventarisir, dan dikaji isi dan pengaruhnya berkaitan dengan wajah

Islam di Madura. Melalui para kiai kampung di Sumenep Madura ini,

manuskrip yang sangat berharga ini dikumpulkan dan dilakukan

kajian.

Artikel ini akan fokus kepada (1) Bagaimana isi teks

manuskrip berbahasa Madura bidang Fikih dan Tasawuf di Sumenep

Jawa Timur? (2) Bagaimana corak penulisan manuskrip berbahasa

8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup

Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 91-92. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 307.

Page 5: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |57

Madura bidang Fikih dan Tasawuf di Sumenep Jawa Timur dan

pengaruhnya pada Wajah Islam di Madura?

Penelitian sebelumnya telah banyak dilakukan dan

dipublikasikan. Dapat disebut di sini, penelitian Oman Fathurahman

pada Juli 2003 dengan judul Filologi dan Penelitian Teks-Teks

Keagamaan.9 Juga dilakukan oleh Dwi Laily Sukmawati yang

berjudul Inventarisasi Naskah Lama Madura di Jurnal Manuskripta.10

Di tahun yang sama, Tengku Abdullah Sakti memublikasikan

hasil penelitiannya dengan judul Perkembangan dan Pelestarian

Manuskrip Arab Melayu di Aceh pada Jurnal Sejarah Citra Lekha.11

Satu tahun kemudian, 2012, Faizal Amin membuat laporan yang

cukup panjang dengan judul Potensi Naskah Kuno di Kalimantan

Barat: Studi Awal Manuskrip Koleksi H. Abdurrahman Husin

Fallugah Al-Maghfurlahu di Kota Pontianak di Jurnal Thaqafiyyat.

Kerangka Teori

Penelitian pada artikel ini menggunakan Teori Resepsi. Teori

ini akan digunakan untuk menelaah sejumlah naskah atau manuskrip

di Sumenep Madura dalam bidang Fikih. Teori Resepsi dicetuskan

oleh Hans Robert Jauss. Sejatinya, teori ini berasal dari penelitian

dalam bidang sastra. Dalam hal ini, maka manuskrip diposisikan

sebagai sebuah karya sastra. Bagi Jauss, sebagaimana dikutip oleh

Fadlil Munawwar Manshur, bahwa karya sastra bukan objek yang

berdiri sendiri, melainkan mirip dengan orkestrasi yang selalu

9 Oman Fathurahman, Filologi dan Penelitian Teks-Teks Keagamaan,

Jurnal Al-Turas, Vol. 9, No. 2, Juli 2003. 10 Dwi Laily Sukmawati, Inventarisasi Naskah Lama Madura, Jurnal

Manuskripta, Vol. 1, No. 2, 2011, 11 Tengku Abdullah Sakti, Perkembangan dan Pelestarian Manuskrip Arab

Melayu di Aceh, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011.

Page 6: Abstrak - INSTIKA

58|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

memberi nuansa baru kepada pembacanya. Posisi pembaca, di tangan

Jauss, sangatlah penting karena di hadapan pembaca-lah karya sastra

itu dinilai dan diinterprestasi ketika karya itu muncul. Inilah yang

dikenal dengan ‚Horison Harapan‛.12

Maka naskah-naskah yang ada

di Sumenep Madura ini ditempatkan sebagai sebuah karya sastra.

Sebagai sebuah konsep dalam Teori Resepsi ini, Horison

Harapan ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu:

1. Norma-norma umum hasil dari bacaan pembaca atas

teks-teks,

2. Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki pembaca atas

teks-teks yang pernah dibacanya sebelum

‚perjumpannya‛ dengan teks yang sedang dibaca, dan

3. Pertentangan antara fiksi dan kenyataan.13

Kemudian, terdapat sejumlah langkah yang sangat tepat

digunakan dalam penelitian manuskrip yaitu Teori Tekstologi. Teori

ini menjadi bagian dari Filologi. Maka, pendekatan penelitian ini

adalah Filologis. Teori yang akan dipakai adalah Teori Tekstologi.14

Langkah-langkah dari teori ini sebagai berikut:

1. Pilih Topik atau Naskah Kuno Yang Terpinggirkan,

yang belum tersentuh.

12 Fadlil Munawwar Manshur, Resepsi Kasidah Burdah Al-Bushiry dalam

Masyarakat Pesantren, Jurnal Humaniora, Vol 18, No 2, Juni 2006, hlm. 104. 13 Dikutip dari Iffah Fauziah Rahardy, Hikayat Nur Muhammad Suntingan

Teks Dan Analisis Resepsi Sastra, Tesis pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Gadjah Mada, (Yogyakarta: UGM, 2017), hlm. 13. 14 Mahrus eL-Mawa, Critical Philology of Islamic Manuscript: Studi Kasus

atas Filologi Pesantren di Indonesia, makalah Workshop Peningkatan Mutu

Penelitian Islam Nusantara, INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep, 6 Januari 2019, hlm.

17.

Page 7: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |59

2. Buat argumen, mengapa topik atau naskah kuno itu

penting dan layak untuk diteliti

3. Kaitkan topik atau naskah kuno tersebut dengan aspek

teori sosial kritis dengan sejarah kehidupan manusia

4. Kaitkan kandungan isi naskah kuno dengan

perkembangan keilmuan kontemporer

Dengan studi naskah kuno tersebut mampu menemukan

pengetahuan baru, yang awalnya terpinggirkan menjadi sesuatu yang

mencerahkan dan mampu munculnya kesadaran untuk social

change.15

Metode Penelitian Naskah

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah

Metode Filologi. Metode yang berangkat dari asumsi dasar mengenai

karakteristik naskah-naskah lama sebagai heritage yang diduga kuat

mengandung buah pikiran, perasaan, tradisi, adat-istiadat, dan budaya

yang pernah ada dan dianggap masih relevan dengan kondisi

kekinian.16

Dalam kerja penelitian Filologi ini, ada beberapa

langkah—dan langkah inilah yang akan dipakai dalam penelitian

ini—dalam penelitian Filologi, yaitu:

1. Pemerian Naskah

2. Kritik Teks

3. Terjemahan (jika perlu), dan

4. Analisis Isi.17

15 Ibid. 16 Oman Fathurahman, Filologi dan Penelitian Teks-Teks Keagamaan,

Jurnal Al-Turas, hlm. 112. 17 Ibid., hlm. 113-119.

Page 8: Abstrak - INSTIKA

60|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

Pemerian Naskah atas naskah-naskah yang telah diperoleh.

Langkah ini dengan cara mengisi data-data penting, meliputi: (a) data

publikasi naskah, (b) kode dan nomor naskah, (c) judul naskah, (d)

pengarang, (e) penyalin, (f) tahun penyalinan, (g) tempat

penyimpanan naskah, (h) asal naskah, (i) pemiliki naskah, (j) jenis

alas naskah, (k) kondisi fisik naskah, (l) penjilidan, (m) ada/tidak

adanya cap kertas (watermark), (n) jumlah kuras dan lembar kertas,

(o) jumlah halaman, (p) jumlah baris pada setiap halaman, dan (q)

huruf dan bahasa yang digunakan.

Kritik Teks adalah menempatkan teks pada tempat yang

sewajarnya, memberikan evaluasi pada teks, dan meneliti atau

menelaah lembaran-lembaran teks tersebut. Kemudian, teks yang

telah selesai dikritik, maka kemudian dilakukan (Pe)Terjemahan atas

naskah tersebut. Dalam hal manuskrip yang berbahasa Madura, maka

dilakukan penerjemahan ke Bahasa Indonesia. Penerjemahan dari

Bahasa Madura ke Bahasa Indonesia ini dilakukan secara bebas tapi

tidak keluar dari substansi dan tetap berpedoman pada Kamus Bahasa

Madura-Indonesia. Kemudian, tahap Analisis Isi dari naskah yang

akan kami teliti.

Manuskrip “Miftahul Jannah” dan Corak Fikih di Madura

Kiai Madura adalah kiai penulis. Laporan Damanhuri

menjadi petunjuk sekaligus justifikasi akan hal tersebut.18

Dalam artikel ini, akan dibahas naskah yang disalin oleh H.

18 Damanhuri, ‚Kitab-Kiai Madura: Kuasa Teks dan Otoritas Keagamaan‛ dalam

Ade Yamin, Damanhuri, dkk., Islam Indonesia: Dialektika Agama, Budaya, dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2020), hlm. 62-67

Page 9: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |61

Ubaidi (Dusun Candi, Desa Tambaagung Ares, Kecamatan

Ambunten). Naskah ini ditemukan di kediamannya.

Manuskrip ‚Miftahul Jannah‛ ini berada dalam aras

Fikih dan Aurod (sejumlah doa atau wiridan). Walaupun

manuskrip ini adalah naskah salinan kitab, tetapi manuskrip ini

memiliki arti penting dalam aspek-aspek berikut: (1) Berisi

cara-cara penyelesaian ibadah sehari-hari yang sangat

dibutuhkan oleh masyarakat. (2) Terdapat sejumlah doa

keseharian. Sangat praktis. Salinan naskah ini juga memiliki

sisi keunikan, yaitu pada: (1) Penyalin naskah masih hidup.

Kemudian, yang ke (2) Terdapat keterangan transmisi

atau jaringan keilmuan dari penyalinnya, selama aktivitas

mencari ilmu di sejumlah pesantren. (3) Penyalinan dilakukan

secara total, hingga daftar isi kitab tersebut. (4) Naskah disalin

oleh seorang kiai kampung yang memimpin pengajian,

kompolan muslimatan, kompolan khotmil Qur’an, dan sebuah

Madrasah Diniyah Takmiliyah yang tidak terlalu besar.

1. Pemerian Naskah

Naskah ini memiliki judul: ‚Miftahul Jannah fi Anwa’i

Kaifiyatis Sholah wan Niyah‛ (Kunci Surga [berisi] tentang

Ragam Cara Sholat dan Niat). Naskah ini adalah salinan atas

kitab dengan judul yang sama, yaitu ‚Miftahul Jannah fi

Anwa’i Kaifiyatis Sholah wan Niyah‛. Dari judul manuskrip

ini, dapat dipahami bahwa isinya di seputar sholat—dengan

Page 10: Abstrak - INSTIKA

62|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

ragamnya, mulai yang maktubah (wajib, sholat 5 waktu),

sunnah (anjuran), sampai masalah jama’-qashar (menggabung-

meringkas). Kemudian berisi tentang doa-doa, bahkan pada

halaman 21, terdapat doa dan azimat untuk keselamatan pada

Hari Rabu terakhir Bulan Shafar (Rebo Bekawasan atau Rebo

Wekawasan).

Penyalin naskah ini adalah H. Ubaidi. Naskah disalin

dari kitab asli dengan judul yang sama. Berdasar tulisan pada

cover manuskrip ini, terlihat jelas bahwa kitab asli yang disalin

oleh H. Ubaidi ini adalah milik Abdus Shomad Al-Bukhori

teman sepondoknya di Pesantren Kademangan, Bangkalan;

pesantren yang didirikan oleh Syaikhona Kholil. Abdus Shomad

Al-Bukhori berasal dari Pesantren Salafiyah Syafi’iyah

Sukorejo, Asembagus, Situbondo (lihat foto manuskrip).

Sedangkan pengarang kitab asli—yang disalin oleh H. Ubaidi

ini—adalah Baihaqi Ismail. Peneliti tidak menemukan

keterangan sama sekali tentang Baihaqi Ismail ini.

Pada cover (bagian atas), terdapat kalimat yang ditulis

oleh penyalin, sebagai berikut (terjemah). Lebih jelas, lihat

foto:

“(salinan) ini milik yang fakir pada rahmat Tuhanya

Yang Maha Melihat, Ubaidi. (Salinan ini) ditulis di

kertas-kertas yang halus (tulisan Lathifah [yang halus]

dicoret, tapi masih terlihat)”.

Page 11: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |63

Pemilik dan Penyimpan naskah salinan ini adalah H. Ubaidi,

penyalin sendiri. Manuskrip ini disimpan di rak kitab di rumah H.

Ubaidi. Naskah ini berukuran: panjang 21,5 cm. lebar: 16 cm. Jumlah

baris naskah adalah 14 baris (jumlah halaman keseluruhan adalah 48

Page 12: Abstrak - INSTIKA

64|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

halaman). Jenis kertas yang digunakan adalah kertas buku. Kolofon:

naskah ini tidak memiliki kolofon. Sehingga tidak ditemukan tanggal

dan tahun manuskrip ini mulai ditulis dan diselesaikan. Topik dari

naskah ini adalah Fikih dan Doa-Doa. Fikih yang dimaksud adalah di

seputar niat dan sholat; cara pelaksanaan dan penyelesaiannya.

2. Foto dan Terjemah Naskah

Naskah ini menggunakan Bahasa Madura halus yang

ditulis dengan huruf Arab. Jadi, naskah ini menggunakan Arab

Pegon.19

Kecuali pada kalimat-kalimat yang merupakan bacaan

doa dan lain-lain. Namun penjelasan dan pengantarnya, tetap

menggunakan Bahasa Madura. Untuk lafadz niat, misalnya Niat

Sholat Dhuhur, atau Niat Membayar Zakat Fitrah, selain

menggunakan Bahasa Arab (pada lafadz-nya), disertai dengan

makna dalam Bahasa Madura yang ditulis dalam Huruf Arab.

Dalam konteks ini, berikut foto naskah pada halaman 6.

Agar mudah dipahami, setelah peneliti menampilkan foto,

peneliti akan menyalinnya kedalam Bahasa Indonesia:

19 Zainul Milan Bisawi, Masterpiece Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka

Compass, 2016), hlm. 12.

Page 13: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |65

Berikut peneliti terjemahkan pada masing-masing barisnya.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa masing-masing halaman

dari manuskrip ini berisi 14 baris. Terjemahan sebagai berikut:

/Baris 1:

Sholat karena Allah SWT. ط Rukun-rukun

Tayammun ada 5: satu, “memindah” debu (tidak

menepuk debu di satu tempat);

/Baris 2:

dua, niat; tiga, mengusap muka (dengan debu

tipis); empat, mengusap kedua tangan sampai

siku;

/Baris 3:

lima, tartib (sesuai urutan) antara dua usapan,

yakni:

/Baris 4:

Mengusap muka dan tangan ط Lafadz niat

wudlu: Nawaitul Wudlu‟-a li Rof‟il Hadatsil

/Baris 5:

Asghari Fardhan liLlahi Ta‟ala. Saya niat

berwudlu karena ingin menghilangkan hadats

/Baris 6:

Page 14: Abstrak - INSTIKA

66|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

yang kecil, fardlu karena Allah SWT. ط Lafadz

niat mandi janabah (mandi karena junud):

Nawaitu Ghuslan li Rof-„i

/Baris 7:

Hadatsil Akbari Fardan liLlahi Ta-„ala. Saya

niat mandi mandi junub karena ingin

menghilangkan

Baris 8:

hadats yang besar, fardlu karena Allah SWT. ط

Lafadz niat (mandi) haid: Nawaitu

/Baris 9:

Ghuslan li Rof-„i Hadatsil Haidli Fardhan

liLlahi Ta-„ala. Saya niat mandi wajib

/Baris 10:

karena ingin menghilangkan hadats haid, fardlu

karena Allah SWT.

/Baris 11:

Lafadz niat nifas: Nawaitu Ghuslan li Rof-„i

Hadatsin Nifasi

/Baris 12:

Fardhan liLlahi Ta-„ala. Saya niat mandi karena

ingin menghilangkan hadats

/Baris 13:

nifas fardhu karena Allah SWT. ط Lafadz niat

wiladah (melahirkan)

/Baris 14:

Nawaitu Ghuslan li Rof‟-i Hadatsil Wiladati

Fardhan liLlahi Ta-„ala. Saya niat (bersambung

ke halaman 7)

3. Kritik Teks

Membaca naskah “Miftahul Jannah” ini, terdapat

beberapa catatan: pertama, naskah ini adalah salinan atas kitab

aslinya dengan judul yang sama. Jadi, naskah ini bukan

karangan dari H. Ubaidi, melainkan salinan. Maka, H. Ubaidi,

Page 15: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |67

dalam hal ini, sebagai penyalin, bukan pengarang. Kedua, apa

yang dibahas dalam naskah ini berfokus pada dua hal: sholat

(serta yang berkaitan dengannya) dan doa-doa. Tapi karena tidak

terlalu tebalnya naskah ini, maka di dalamnya tidak

ditemukan—misalnya—perbedaan dan kajian dari sisi Fikih,

antar Ashhabul Madzhab sekalipun. Lebih tepatnya, isi dari

naskah ini berupa petunjuk-petunjuk, bukan “kajian” atas

masalah Fikih di seputar Sholat.

Ketiga, tidak ada pemisah berupa Kitab, Bab, atau

Fashal pada naskah ini ketika akan berpindah pembahasan—

atau lebih tepatnya “petunjuk ibadah” lain. Sehingga naskah ini

tampak lebih ringkas dan tentu ada aspek praktisnya. Namun

bagi yang jeli, sebenarnya ada dua “tanda” yang terdapat pada

setiap halaman yang di dalamnya ada “perpindahan” masalah

yang ditulis, yang bisa dijumpai, yaitu: nomor dengan angka

Arab dan tulisan Huruf ط (Tho‟). Nomor angka Arab—sebagai

indikator perpindahan masalah—ditulis di pinggir garis luar di

samping kanan tulisan (lihat foto naskah).

Sedangkan tulisan Huruf ط (Tho‟) terdapat di dalam

“badan” tulisan naskah ketika ada “perpindahan” masalah yang

ditulis. Misalnya pada halaman 6 yang terdapat di dalam foto di

atas, tulisan Huruf ط (Tho‟) dapat dijumpai pada baris ke-1, ke-

3,20

ke-4, ke-6, ke-8, dan baris ke-13. Di setiap ada tulisan Huruf

20 Sangat kecil, hampir serupa dengan huruf pada umumnya di halaman

tersebut.

Page 16: Abstrak - INSTIKA

68|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

tersebut, menjadi petunjuk kepada pembaca naskah ini (‟Tho) ط

atau manuskrip “Miftahul Jannah” ini kalau “pembahasan” di

dalamnya telah berpindah ke masalah lain.

Misalnya pada baris ke-1, terdapat tulisan Huruf ط

(Tho‟) sebagai pemisah dari pembahasan sebelumnya—terdapat

pada halaman 5—dan dimulainya penyebutan rukun-rukun

Tayammum. Kemudian pada baris ke-4 dari penyebutan rukun-

rukun Tayammum—yang dimulai dari baris ke-1, telah berganti

dengan penyebutan Lafadz Niat Mandi karena Junub. Demikian

seterusnya.

Pada setiap terdapat tulisan Huruf ط (Tho‟) di tengah

tulisan, maka dapat dipastikan di pinggir—luar garis kertas yang

peneliti sangat yakin dibuat oleh penyalin—terdapat nomor.

Pada halaman 6, seperti foto di atas, hal ini terbukti: bahwa

setiap di tengah tulisan ada tulisan Huruf ط (Tho‟), di pinggir

kertas, di luar garis, selalu ada nomor atau angka Arab. Hanya

pada baris ke-11 yang di pinggir (di luar garis) terdapat angka

Arab 13, tidak ada tulisan Huruf ط (Tho‟) di bagian dalamnya.

Peneliti duga bukan karena penyalin lupa, tetapi karena

perpindahan masalah yang disebutkan di dalam—lebih tepatnya

pada baris ke-11 ini—kebetulan sesuai dengan perpindahan

baris pada kertas tersebut. Barangkali—dugaan peneliti—

penyalin yakin kalau pembaca—atau setidaknya penyalin

sendiri—tidak akan salah dalam membaca naskah tersebut.

Page 17: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |69

Kalau kita melihat naskah ini pada halaman 6 yang

gambarnya terdapat di atas, dapat ditemukan bahwa pada baris

ke-1, yang terdapat tulisan Huruf ط (Tho‟) di bagian

kalimatnya, pada bagian pinggir halaman, di luar garis, terdapat

angka huruf Arab 9. Demikian pula pada baris ke-4, yang di

dalamnya terdapat tulisan Huruf ط (Tho‟), pada pinggir

halaman tertulis angka Arab 10.

Salah satu kekuatan dalam naskah ini adalah penggunaan

Bahasa Madura sebagai penjelasan maupun makna atas

sejumlah bacaan dalam niat sholat atau dalam sholat serta

beberapa doa. Ini memberikan kemudahan dan sisi praktis

kepada masyarakat Madura. Aspek lainnya adalah bahwa

penyertaan makna dari sejumlah bacaan dengan makna Bahasa

Madura dapat membantu masyarakat Madura untuk lebih

mengerti bacaan yang dibaca serta membantu tercapainya

penghayatan atas ibadahnya. Penghayatan atas ibadah

merupakan tangga atas tercapainya derajat khusyuk. Inilah di

antara kekuatan yang tersimpan di dalam manuskrip ini.

4. Analisis Teks

Manuskrip ini menberikan beberapa petunjuk kepada

peneliti, yaitu bahwa: (1) Terdapat kepedulian yang berpadu

dengan cinta dan kasih sayang dari para penyebar Islam atau

ulama dan tokoh agama di Madura kepada masyarakat Islam di

Madura yang memiliki pengetahuan agama tidak terlalu tinggi.

Semangat ingin membantu, menyayangi, dan kepedulian yang

Page 18: Abstrak - INSTIKA

70|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

tinggi ini kemudian dipadu dengan keilmuan yang para ulama

itu miliki sehingga mereka membuat kitab yang berbahasa

Madura. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa isi naskah ini

lebih tepat sebagai “penyebutan” bukan “pembahasan” di

seputar masalah sholat, niat sejumlah ibadah, dan beberapa doa.

Jadi di dalamnya tidak terdapat perbedaan pendapat antar

madzhab, minimal antar ulama dalam satu madzhab;21

Madzhab

Syafii, misalnya.

Tentu saja absennya hal ini di dalam manuskrip

“Miftahul Jannah” ini karena peruntukannya kepada orang

Islam yang tidak memiliki pengetahuan agama yang terlalu

tinggi. Mereka pun tidak membutuhkan perbedaan pendapat di

kalangan para ulama. Bagi mereka yang terpenting adalah

mereka mampu melaksanakan sholat dengan lafadz niat yang

benar. Itu saja. Syukur-syukur bisa mengerti maknanya dalam

Bahasa Madura. Itu saja. Sudah cukup. Perdebatan mengenai

seluk-beluk sholat berdasar kajian hadits dan tarikh, serta

aqwalul „ulama (pendapat-pendapat para ulama) biarlah menjadi

urusan para ulama dan intelektual saja. Bagi masyarakat awam,

“Miftahul Jannah” sudah cukup.

Kondisi masyarakat Madura yang demikian menjadi

perhatian dan kegelisahan dari para kiai dan ulama, termasuk

pengarang dan penyalin “Miftahul Jannah” ini. Maka

“Miftahul Jannah” adalah perwujudan dari pola keberagamaan

21 Dalam kajian Fikih, ini dikenal dengan Ash-habul Madzhab.

Page 19: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |71

dan paham keIslaman dan kemasyarakatan yang dianut dan

dikembangkan oleh para tokoh agama di Madura. Tokoh agama

di Madura bukan tipe ulama yang tidak mau mengerti akan

kondisi umat dengan menyatakan kepada semua orang “Jangan

ikut kata ulama’. Jangan taklid! Kita harus kembali ke Al-

Qur’an dan Hadits. Jangan melakukan ajaran agama karena ikut

orang. Pedoman kita jelas: AlQur’an dan Hadits!”. Orang yang

memiliki keterbatasan dalam pengetahuan agama tidak bisa

dibebani dengan beban yang sama dengan mereka yang memang

memiliki pengetahuan yang cukup dalam pengetahuan agama.

Jargon “kembali ke Al-Qur’an dan Hadits” tentu saja

tidak bisa disamarakatan kepada semua lapisan masyarakat.

Ulama dan kiai Madura menyadari hal itu dengan sepenuhnya.22

Maka mereka membuat kitab yang dikhususkan untuk lapisan

masyarakat yang demikian. Naskah “Miftahul Jannah” adalah

salah satu buktinya. Hal ini bisa kita temukan jawabannya dari

tiga hal:

a. Penggunaan Bahasa Madura dalam naskah “Miftahul

Jannah”.

b. Isi kitab “Miftahul Jannah” yang tidak memasukkan

pembahasan dan perdebatan dari para ulama tentang

sholat dan seterusnya.

22 KH. Marzuki Mustamar, Al-Muqtathofat li Ahli Al-Bidayat, (Surabaya:

Muara Progresif, 2016), hlm. 109

Page 20: Abstrak - INSTIKA

72|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

c. Dari pengantar pengarang yang juga disalin oleh

penyalin naskah. Pengantar tersebut dapat dijumpai

pada foto di bawah ini:

Analisis (2) Pada halaman 2-3 manuskrip salinan ini

atau pada awal-awal isi kitab, pengarang lebih dulu memulai isi

kitabnya dengan Rukun Islam dan Rukun Iman. Kemudian

dilanjutkan dengan uraian tentang pembagian Hukum.

Pengarang menyebutkan bahwa Hukum itu ada tiga:

Page 21: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |73

a. Hukum Syar‟i. Hukum Syar’i ada dua: Taklifi dan

Wadh‟-i.

b. Hukum „Aqliy.

c. Hukum „A-dah (kebiasaan). (terdapat dalam foto

naskah berikut).

Uraian tentang Rukun Iman, Rukun Islam, dan Macam-

Macam Hukum di bagian awal dari manuskrip ini—dan

setelahnya baru diurai tentang wudlu‟, tayammum, mandi, dan

seterusnya—memberi kesan yang kuat bahwa dasar dari ibadah

yang mesti menjadi perhatian dari masyarakat muslim Madura

adalah dua aspek penting pertama, yaitu: Rukun Islam dan

Rukun Iman. Tanpa Islam dan Iman, maka semua ibadah yang

Page 22: Abstrak - INSTIKA

74|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

dikerjakan akan sia-sia. Islam merupakan syarat sah-nya sholat.

Tanpa ber-Islam, sholatnya tidak diterima oleh Allah.23

Jika terdapat seseorang yang tidak beriman dan tidak

muslim, kemudian melaksanakan ibadah, maka tertolak. Ajaran

Islam yang demikian, bahwa Iman dan Islam merupakan dasar

dalam kehidupan seorang muslim, “diwujudkan” oleh

pengarang “Miftahul Jannah” ini dengan meletakkan uraian

tentang keduanga (Islam dan Iman) di bagian awal “Miftahul

Jannah” ini. Dengan demikian, dari sisi komposisi dan “tata

letak” (bukan lay out dalam arti perwajahan), sesuai dengan

doktrin Islam itu sendiri.

Kemudian uraian dilanjutkan dengan pembagian hukum

yang oleh pengarang dibagi menjadi tiga, sebagaimana di atas.

Meletakkan “pembagian hukum” di bagian kedua, setelah uraian

tentang Iman dan Islam, memang tidak ada hubungannya

dengan fondasi dalam Agama Islam. Tidak ada syarat

mengetahui macam-macam hukum tersebut sebelum

melaksanakan suatu ibadah. Tidak ada keterangan bahwa itu

menjadi syarat diterima atau ditolaknya suatu ibadah.

Namun jika dilihat dari sudut penyusunan karya tulis

ilmiah, penempatan macam-macam hukum sebelum

membicarakan mengenai hukum ini-itu secara lebih detail,

merupakan keterampilan yang apik dari seorang pengarang.

23 Syeikhul Islam Zakariya Al-Anshari, Tuhfatu Al-Tullab bi Syarhi

Tanqihi Al-Lubabi, hlm. 20.

Page 23: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |75

Naskah “Miftahul Jannah”, pada halaman 3 dan 4,

menempatkan uraian tentang macam-macam hukum,

memberikan “fondasi” kepada pembaca dalam menelusuri

uraian demi uraian di seputar hukum setelahnya.

Selain berfungsi sebagai “fondasi” bagi pembaca untuk

memudahkan pemahaman, sekaligus memberi legitimasi

“ilmiah” kepada pengarang dalam menulis karangannya

tersebut. Legitimasi “ilmiah” ini sangat penting dalam dunia

kepengarangan. Dan, Baihaqi Ismail berhasil dalam menyusun

“Miftahul Jannah” dari sisi-sisi yang telah peneliti sebutkan.

Analisis (3) Manuskrip “Miftahul Jannah” ini

memberi gambaran yang terang sekali bahwa “wajah” Islam di

Madura adalah wajah Islam moderat. Bukan wajah Islam yang

tidak menghargai tradisi masyarakat setempat. Islam moderat

tidak menempatkan tradisi dan budaya masyarakat setempat

sebagai “musuh” yang harus dibasmi, melainkan sebagai

“media” yang tetap dipertahankan dengan diisi oleh ajaran-

ajaran dan nilai-nilai Islam.

Seperti yang diungkapkan Imam Syafi’i bahwa “dalam

setiap membangun komunitas muslim, di dalamnya selalu

terdapat budaya yang telah mapan, maka hormatilah tradisi yang

telah berjalan tersebut”.24

Bagi kiai dan tokoh agama Madura

yang berpijak pada Islam Moderat, ada prinsip begini: Islam

memang benar. Tapi kesiapan orang untuk menerima kebenaran

24 Al-Imam asy-Syafi’i, al-Umm, Jilid 7, hlm. 246.

Page 24: Abstrak - INSTIKA

76|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

Islam itu, berbeda-beda. Maka ada tiga prinsip dalam

penyebaran Islam dengan menjadikan budaya sebagai media,

ialah: Tadriji (gradual, tidak instan), „Adamul Haraj (tidak

mengancam siapapun), dan Taklilut Taklif (tidak memberatkan

umat).

Islam di Madura adalah Islam moderat, sejak dulu

hingga sekarang. Meski tidak sedikit infiltrasi dan rongrongan.

Salah satu contoh yang ada dalam manuskrip “Miftahul

Jannah” ini adalah terdapatnya doa dan azimat (Madura: Jimat)

untuk keselamatan pada Hari Rabu terakhir Bulan Shafar (Rebo

Bekawasan atau Rebo Wekawasan).25

25 Diyakini pada waktu ini Allah menurunkan 320.000 mara bahaya.

Sehingga dianjurkan untuk berdoa dan melakukan sejumlah langkah agar

diselamatkan oleh Allah dari mara bahaya tersebut.

Page 25: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |77

Analisis (4) Transmisi Keilmuan Pesantren (Penyalin

Manuskrip ‘Miftahul Jannah’). Peneliti menemukan sesuatu yang

menarik dan unik pada manuskrip ini yang jika ditarik para aspek

yang lebih luas, bisa menjelaskan tentang transmisi keilmuan ulama

pesantren. Penyalin menjelaskan jalur transmisi keilmuan dari KH.

Ubaidi pada halaman 41. Tertulis bahwa KH. Ubaidi berguru kepada

Syekh Muhammad Imam bin Ahmad Dahlan, Karay (Ganding,

Sumenep). Syekh Muhammad Imam bin Ahmad Dahlan berguru

kepada ayahnya, Syekh Muhammad Imam bin Mahmud, Karay;

berguru kepada Syekh Kholil, Bangkalan; terus ke atas (lihat foto).

Syaikhona Kholil, Bangkalan, menjadi guru semua ulama Jawa dan

Madura. Syaikhona Kholil mendirikan pesantren di Kademangan

Bangkalan. Pesantren ini sangat populer di Nusantara dan, hasil

penelitian Dhofier dan Bruinessen,26

pendiri sejumlah pesantren di

Indonesia adalah murid dan hasil didikan Syaikhona Kholil ini.

Transmisi keilmuan merupakan salah satu dari tiga fungsi

utama pondok pesantren, yaitu: transmisi ilmu-ilmu Islam

(transmission of Islamic knowledge), pemeliharaan tradisi Islam

(maintenance of Islamic tradition), reproduksi ulama (reproduction of

ulama’).27 Data ini menjadi semacam ‚legitimasi ilmiah‛ penyalin

dari sisi keilmuan yang ia dalami juga berkaitan dengan kitab yang ia

salin. Tentu saja hal ini menjadi bagian dari kekuatan dari manuskrip

26 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup

Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 91-92. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 307.

27 Azra Azyumardi, Sejarah Pertumbuhann Pekembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 29. Lihat

juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan, makalah dalam Seminar Nasional ‚Pesantren dan Globalisasi‛ di Institut Ilmu

Keislaman Annuqayah (INSTIKA), pada 20 Desember 2014, hlm. 9.

Page 26: Abstrak - INSTIKA

78|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

ini karena disalin oleh orang yang memiliki jejaring keilmuan yang

terlacak, bukan dari orang yang pernah berguru ‚entah kepada siapa‛.

Maka aspek ini menjadi ciri khas dari wajah keIslaman di

Madura. Keislaman yang dibangun dengan tradisi keilmuan yang

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dari sisi lain, ini

menjadi salah satu kekuatan dari Islam Moderat yang berkembang di

Madura. Di antara cirinya adalah digunakannya Ahl al-Sunnah wa al-

Jama’ah sebagai pilihan bermadzhab serta sifatnya yang eklektik dan

akomodatif terhadap budaya dengan mengintegrasikannya kedalam

tradisi Islam.28

Moderasi Islam di Madura tidak lepas dari jejaring keilmuan

yang dikembangkan oleh para ulama yang sejak awal memang

berpegang teguh pada moderasi Islam itu. Sebab ideologi dan sistem

nilai yang selama ini telah dijalankan dan telah memiliki akar kultural

yang kuat adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Madzhab Sunni) sejak

pesantren pertama didirikan.29

Bahkan Nurcholis Madjid menegaskan bahwa aliran Fiqh

yang dianut pesantren adalah Madzhab Syafi’iyah, walaupun

pesantren mengabsahkan empat madzhab, dan dalam aliran Kalam

atau Tauhid berkiblat kepada pemikiran Imam Asy’ari sedang

Tasawufnya kepada Imam Al-Ghazali.30

Inilah Ortodoksi Islam

Indonesia. Jadi apa yang dikembangkan oleh pesantren selama ini

adalah Ortodoksi Islam Indonesia itu sendiri. Maka pesantren-

pesantren yang ada di Madura merupakan ‚keluarga besar‛ atau

28 Rozikin Daman, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca

Khittah, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 31-33. 29 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina, 1997),

hlm. 31. 30 Ibid., hlm. 32.

Page 27: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |79

‚kelanjutan‛ dari mata rantai Islam moderat yang itu semua adalah

bagian dari ortodoksi Islam Indonesia.

Berikut adalah foto cover depan dan belakang, serta bagian

akhir dari isi manuskrip “Miftahul Jannah” ini.:

Page 28: Abstrak - INSTIKA

80|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

Simpulan

Isi manuskrip kiai Madura, dalam Bidang Fikih, berpijak

pada paham Islam Wasathiyah, Islam jalan tengah yang anti

ekstrim. Madzhab Fikih yang mewarnai naskah-naskah tersebut

adalah Syafi’iyah. Corak penulisan manuskrip di Madura, ada

dua: mengarang dan menyalin. Kemudian corak lainnya adalah

penggunaan Bahasa Madura yang halus (level tiga). Tampak

sekali kasih sayang dan kepedulian para kiai dan nyai—yang

mengarang maupun menyalin—kepada masyarakat luas yang

memiliki keterbatasan dalam mengakses pengetahuan agama.

‚Wajah‛ Islam di Madura adalah Islam Moderat; yang terekam

melalui manuskrip tersebut.

Daftar Pustaka

Amin, Faizal. 2012. Potensi Naskah Kuno di Kalimantan Barat: Studi

Awal Manuskrip Koleksi H. Abdurrahman Husin Fallugah

Al-Maghfurlahu di Kota Pontianak. Jurnal Thaqafiyyat, vol.

13, No 1.

Azyumardi, Azra. 2001. Sejarah Pertumbuhann Pekembangan

Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta:

Grasindo

Azyumardi, Azra. 2014. Pendidikan Islam di Era Globalisasi: Peluang

dan Tantangan, makalah dalam Seminar Nasional ‚Pesantren

dan Globalisasi‛ di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah

(INSTIKA), pada 20 Desember.

Page 29: Abstrak - INSTIKA

Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |81

Bouvier, Hélène. 2002. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam

Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat.

Bandung: Mizan.

Daman, Rozikin. 2001. Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU

Pasca Khittah,. Yogyakarta: Gama Media.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang

Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.

Hidayati, Tatik. 2011. Nyai Madura: Studi Hubungan Patron-Klien

Perempuan Madura Setelah Keruntuhan Orde Baru (1998-

2008), Disertasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Jonge, Huub de. 1989. Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang

Perkembangan Ekonomi, Dan Islam, Suatu Studi Antropologi

Ekonomi. Jakarta: Gramedia.

Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris:

Madura, 1850-1940,. Jogjakarta: Mata Bangsa.

Loir, Henri Chambert dan Oman Fathurrahman. 1999. Khazanah

Naskah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Manshur, Fadlil Munawwar. 2006. Resepsi Kasidah Burdah Al-

Bushiry dalam Masyarakat Pesantren. Jurnal Humaniora, Vol

18, No 2.

Mansurnoor, Iik Arifin. 1990. Islam in an Indonesian World: Ulama

of Madura,. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.

Page 30: Abstrak - INSTIKA

82|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82

Mustamar, KH. Marzuki. 2016. Al-Muqtathofat li Ahli Al-Bidayat.

Surabaya: Muara Progresif.

Oman Fathurahman. 2003. Filologi dan Penelitian Teks-Teks

Keagamaan. Jurnal Al-Turas, Vol. 9, No. 2, Juli 2003.

Rahardy, Iffah Fauziah. 2017. Hikayat Nur Muhammad Suntingan

Teks Dan Analisis Resepsi Sastra, Tesis pada Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: UGM.

Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura. Yogayakrta: Pilar

Media.

Sakti, Tengku Abdullah. 2011. Perkembangan dan Pelestarian

Manuskrip Arab Melayu di Aceh. Jurnal Sejarah Citra Lekha,

Vol. XVI, No. 2.

Sukmawati, Dwi Laily. , 2011. Inventarisasi Naskah Lama Madura.

Jurnal Manuskripta, Vol. 1, No. 2.

Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa, Hairus Salim HS (penj.).

Yogyakarta: LkiS.