Abses Peritonsil Dan Penatalaksanaannya

12
Abses Peritonsil dan Penatalaksanaannya Ricky Sunandar 10.2012.227 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 [email protected] I. Pendahuluan Nyeri tenggorok dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terebentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses peritonsil adalah salah satu penyakit yang termasuk dalam abses leher dalam. II. Isi Anamnesis

description

infeksi, ukrida, blok 23, semester 6, kedokteran, abses peritonsil, abses leher dalam, penatalaksanaan, prognosis, pencegahan, patofisiologi, etiologi, epidemiologi, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, wd, dd

Transcript of Abses Peritonsil Dan Penatalaksanaannya

Abses Peritonsil dan PenatalaksanaannyaRicky Sunandar10.2012.227Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat [email protected]. PendahuluanNyeri tenggorok dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terebentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses peritonsil adalah salah satu penyakit yang termasuk dalam abses leher dalam.II. IsiAnamnesisKeluhan kelainan di daerah faring umumnya adalah nyeri tenggorok, nyeri menelan/odinofagia, rasa banyak dahak di tenggorok, sulit menelan/disfagia, rasa ada yang menyumbat atau mengganjal.1Nyeri tenggorok dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri tenggorok ini disertai demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering. Apakah pasien merokok dan berapa jumlahnya perhari.1Nyeri menelan/odinofagia merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan menelan. Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.1Dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi di hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus atau bercampur darah. Dahak ini dapat turun, keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.1Sulit menelan/disfagia sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair atau padat. Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat. Rasa sumbatan di leher sudah berapa lama, tempatnya dimana?1Pemeriksaan FisikDengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut , dilihat keadaan bibir, mukosa rongga mulut, lidah dan gerakan lidah.1InspeksiLakukan inspeksi dengan bantuan senter dan penahan lidah. Periksa bibir dan lidah. Perhatikan bila ada pigmentasi, pengecilam atau asikulasi otot lidah. Minta pasien menjulurkan lidah dan sentuh bagian atap rongga mulut. Lihat tonsil, uvula dan dinding posterior faring serta kelenjar limfanya, arkus faring serta gerkannya, mucosa pipi, kista dan lain-lain. Minta pasien berkata aaaaaahhh, adakah tanda peradangan, eksudat, pembesaran atau pertumbuhan.1,2PalpasiPalpasi setiap kelainan yang tampak dengan jari terbungkus sarung tangan. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista. Apakah ada nyeri di sendi temporo mandibula ketika membuka mulut.1,2Kadang- kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.1,2Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena.1,2Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.1,2Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic. Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer.3Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi komputer.3Pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi dapat membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil. Ultrasonografi juga dapat digunakan di ruang pemeriksaan gawat darurat untuk membantu mengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan aspirasi dengan jarum.3Diagnosis KerjaAbses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar weber. Sarang akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari jaringan ikat longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding faring lateral, dan, dasar lidah.4Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema akibat inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering terjadi akibat pasien menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses dapat menyebabkan peradangan ke dalam kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas.4Diagnosis BandingAbses RetrofaringPenyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofiring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.5Gejala utama abses retrofiring adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak nafas karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.5Abses ParafaringRuang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. Abses ruang parafaring juga dapat disebabkan proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal. Dan juga dapat disebabkan oleh penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofiring atau submandibula.5Gejala dan tanda yang utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibular, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial.5Abses SubmandibulaInfeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.Gejala dan tanda abses submandibula adalah terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibular atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.Gejala KlinikSelain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang susah membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibular dengan nyeri tekan.5EtiologiProses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.5Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.4EpidemiologiAbses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.4PatofisiologiDaerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.5Pada stadium permulaan (stadium infiltrate), selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral.Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.PenatalaksanaanPada stadium infiltrasi, diberikan anibiotika golongan penisilin atau klindamisin, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi.5Bila dilakukan bersama-sama tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi a tiede dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.5KomplikasiPecahnya abses secara spontan dapat mengakibatkan pendarahan, aspirasi paru atau piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis.5Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.5PrognosisAbses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intracranial juga dapat membahayakan nyawa pasien. Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka perlu dilakukan tonsilektomi pada pasien abses peritonsil. Tonsilektomi sebaiknya dilakukan pada saat peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.4PencegahanAbses peritonsil adalah penyakit yang dapat berulang, sehingga harus dicegah dengan pengobatan yang adekuat dan dilakukan tonsilektomi. Hampir 30% pasien dengan abses peritonsil menemui kriteria untuk tonsilektomi.6III. KesimpulanAbses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Penyakit ini dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotika, obat simtomatik, kumur-kumur cairan hangat, dan kompres dingin pada bagian leher. Apanila telah terbentuk abses, harus dilakukan pungsi pada daerah abses dan insisi untuk mengeluarkan nanah. Lalu penderita harus dianjurkan melakukan tonsilektomi untuk mencegah rekurensi dari penyakit ini.IV. Daftar Pustaka1. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke07. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.h.4-5.2. Gleadle J. At a glance : Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006. H. 46.3. Lucente FE, Har-El G. Ilmu THT esensial. Ed 8. Jakarta: EGC. 2011. H.315-74. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL, Boeis LR, Hilger PA, ed. Buku ajar penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2003.h.333-40.5. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke07. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.h. 204-7.6. Ferri FF. Ferris clinical advisor 2013, 5 books in 1. Philadelphia: Elsevier Health Sciences; 2012.h.13