Abnormal - Gangguan Somatorform

24
Gangguan Badan Fisik (Somatozation Disorder, Hypochondria, Dysmorphic Disorder, Hysteria) disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal disusun oleh : Adinda Fatmawati 1307038 Ary Rismawanti 1105560 Berthy Dwi Barokah 1303575 Desmaya Putri F.N Ghaliya Azhar 1306288 Putri Apridana 1300762 Vina Sita Ramayanti 1304668 DEPARTEMEN PSIKOLOGI

description

Psikologi Abnormal

Transcript of Abnormal - Gangguan Somatorform

Gangguan Badan Fisik(Somatozation Disorder, Hypochondria, Dysmorphic Disorder, Hysteria)disusun untuk memenuhi salah satu tugasMata Kuliah Psikologi Abnormaldisusun oleh :Adinda Fatmawati1307038

Ary Rismawanti1105560

Berthy Dwi Barokah1303575

Desmaya Putri F.N

Ghaliya Azhar1306288

Putri Apridana1300762

Vina Sita Ramayanti 1304668

DEPARTEMEN PSIKOLOGIFAKULTAS ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA2014A. Gangguan SomatoformKata somatoform berasal dari soma Yunani, yang berarti Tubuh. Dalam gangguan somatoform, orang memiliki gejala fisik ("somatik") tanpa penyebab fisik dapat diidentifikasi (De Gucht & Maes, 2006; Stotland, 2004). Gejala signifikan mengganggu kehidupan seseorang dan sering menyebabkan orang untuk pergi dokter dengan harapan menemukan seorang praktisi medis yang bisa menjelaskan dan mengobati penyakit mereka (Rief & Sharpe, 2004). Atau mereka dapat memegang keyakinan bahwa mereka benar-benar sakit, meskipun dokter menjamin bahwa mereka sebaliknya. Gangguan somatoform juga merupakan kekhawatiran patologis seseorang terhadap penampilan atau fungsi tubuhnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan. Bentuk-bentuk dari gangguan somatoform adalah somatisasi, hipokondria, dismorpi dan histeria. Jika kita melihat secara sekilas, somatisasi dan hipokondria memiliki banyak kemiripan, karena keduanya sama-sama menunjukan gejala-gelaja fisik yang tinggi. Somatisasi melibatkan pengalaman dan menunjukan gejala-gejala psikis yang tidak dapat dijelaskan melalui situasi medis dan menimbulkan banyak pertanyaan. Sedangkan hipokondria adalah ketakutan belebihan tentang suatu penyakit yang akan menimpa dan keyakinan bahwa seseorang dapat memiliki penyakit yang tidak dapat didiagnosa sehingga mambutuhkan pengecekan secara medis untuk mengurangi ketakutannya.Ada beberapa jenis yang berbeda dari gangguan somatoform. Pada gangguan konversi, seseorang bisa mengalami kelumpuhan dari tangan atau kaki yang tidak dapat dijelaskan secara medis atau yang tidak sesuai dengan cara kerja sistem saraf. Dalam hypochondriasis, orang salah menafsirkan gejala fisik mereka, meyakinkan mereka bahwa itu merupakan tanda-tanda penyakit yang serius, meskipun fakta evaluasi medis secara menyeluruh gagal untuk mendukung kekhawatiran mereka. Pada gangguan dismorfik tubuh, orang membayangkan memiliki cacat dalam penampilan atau melebih-lebihkan cacat fisik ringan. Dalam gangguan nyeri, orang mengalami rasa sakit di mana faktor psikologis memainkan peran penting. Pada gangguan somatisasi, orang mengajukan banyak keluhan fisik yang berulang yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi medis apapun. Gangguan somatoform tidak sama dengan berpura-pura sakit, atau pemalsuan gejala untuk keuntungan yang jelas (seperti menghindari pekerjaan). Pura-pura sakit fisik untuk menghindari pekerjaan atau memenuhi syarat untuk tunjangan cacat mungkin menipu atau bahkan tidak jujur, tapi itu bukan gangguan psikologis. Gangguan somatoform juga perlu dibedakan dari gangguan buatan, di mana orang memalsukan atau membuat-buat gejala mereka, tanpa motif yang jelas.Karena berpura-pura sakit termotivasi oleh insentif eksternal, hal ini tidak dianggap sebagai gangguan mental. Tapi pada gangguan buatan, gejala tidak membawa keuntungan yang jelas. Tidak adanya insentif eksternal dalam gangguan ini menunjukkan bahwa mereka memerlukan kebutuhan psikologis; karenanya, mereka diklasifikasikan sebagai gangguan psikologis atau mental.Bentuk yang paling umum dari gangguan buatan adalah sindrom Munchausen, suatu bentuk penyakit pura-pura di mana seseorang baik memalsukan penyakitnya atau membuat dirinya sakit (dengan menelan zat beracun, misalnya) (Huffman & Stern, 2003). Meskipun orang-orang dengan gangguan somatoform dapat mengambil manfaat dari memiliki gejala fisik, mereka tidak dengan sengaja membuatnya. Bahkan jika tidak ada dasar medis untuk gejala mereka, mereka tidak melakukannya untuk menipu orang lain. Tapi Sindrom Mnchhausen bukanlah gangguan somatoform. Ini adalah gangguan yang melibatkan pemalsuan gejala keluhan fisik dengan sengaja yang tampaknya masuk akal untuk keuntungan yang tidak jelas.Terdapat sejumlah penanganan yang dapat dilakukan pada gangguan somatoform ini. Pada mulanya, pendekatan penanganan yang dirintis oleh Freud, psikoanalisis, dimulai dengan penanganan terhadap hysteria, yang sekarang diistilahkan sebagai gangguan konversi. Metode psikoanalisis didukung oleh berbagai studi kasus, sebagian dilaporkan oleh Freud dan sebagian lainnya oleh pengikutnya. Meski demikian, jarangnya gangguan konversi pada masa kontemporer membuat pelaksanaan studi terkontrol dari teknik psikoanalitis ini menjadi sulit.Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang sakit sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).Pendekatan behavioral untuk menangani gangguan konversi dan gangguan somatoform lainnya menekankan pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder (atau keuntungan sekunder) yang dapat dihubungkan dengan keluhan-keluhan fisik. Terapis behavioral juga dapat bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam mengatasi stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif (melalui relaksasi dan rekonstruksi kognitif misalnya).Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hipokondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hipokondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).Perhatian akhir-akhir ini beralih pada penggunaan antidepresan, terutama fluoxetine (Prozac), dalam menangani beberapa tipe gangguan somatoform. Meski kita kekurangan terapi obat yang spesifik untuk gangguan konversi (Simon, 1998), sebuah penelitian terhadap 16 pasien hipokondriasis menunjukkan penurunan yang berarti terhadap keluhan-keluhan hipokondrial setelah percobaan selama 12 minggu dengan Prozac (Fallon dkk, 1993).

B. Somatozation DisorderGangguan somatisasi (somatization disorder), sebelumnya dikenal sebagai sindrom Briquet, dicirikan dengan keluhan somatik yang beragam dan berulang bermula sebelum usia 30 tahun (namun biasanya pada usia remaja), bertahan paling tidak selama beberapa tahun, dan berakibat antara menuntut perhatian medis atau mengalami ketidakberdayaan yang berarti dalam memenuhi peran sosial atau pekerjaan. Hal ini tidak boleh dikacaukan dengan adanya sejarah penyakit yang sebelumnya memang pernah dialami. Orang dengan gangguan somatisasi adalah orang yang sangat sering memanfaatkan pelayanan medis (G. R. Smith, 1994). Tetapi keluhan atau ketidakberdayaan ini tidak dibuat secara sengaja atau pura-pura.Perbedaan gangguan somatisasi dan hypochondria tidak terlalu jelas dalam DSM III-R karena keduanya berhubungan. Perbedaannya adalah, pada hypochondria muncul setelah 30 tahun dan keluhan hyponchondria tidak berfokus pada sejumlah gejala saja., melainkan tanpa pemikiran ia menderita sakit parah. Gejala tersebut hanyalah tanda sekunder.Gangguan somatisasi biasanya bermula pada saat masa remaja atau dewasa muda dan tampaknya merupakan gangguan yang kronis atau bahkan yang berlangsung sepanjang hidup (Kirmayer, Robbins, & Paris, 1994; Smith, 1994). Gangguan ini biasanya muncul dalam konteks gangguan psikologis lain, terutama gangguan kecemasan dan gangguan depresi (Swartz dkk, 1991). Meskipun tidak banyak diketahui tentang latar belakang masa kecil dari orang dan gangguan somatisasi, suatu penelitian melaporkan bahwa wanita dengan gangguan ini lebih mungkin untuk melaporkan penganiayaan seksual di masa kecil daripada kelompok wanita pembanding yang mengalami gangguan mood (Morrison, 1989).Dilaporkan bahwa tingkat gangguan somatisasi bervariasi dari 0,2% menjadi 2% pada wanita menjadi kurang dari 0,2% pada pria (APA, 2000). Gangguan ini juga empat kali lebih mungkin terjadi di antara etnik Afrika Amerika daripada kelompok etnis atau ras lainnya (Swartz et al., 1991). Namun, seperti gangguan nyeri, gangguan somatisasi adalah kontroversial. Banyak pasien, terutama pasien perempuan, salah didiagnosa dengan gangguan psikologis, termasuk gangguan somatisasi, karena pengobatan modern gagal untuk mengidentifikasi dasar medis yang mendasari keluhan fisik mereka (Klonoff & Landrine, 1997).

Menurut DSM-IV-TR kriteria dari gangguan somatisasi adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun, berikut adalah penjelasannya: 1) Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi)2) Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)3) Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).4) Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).Penanganan terhadap individu yang mengalami somatisasi ini adalah sebagai berikut.1) Pharmachological treatment: menggunakan SRRI untuk menangani gejala somatisasi yang muncul. Noyes et al. (1998) menemukan bahwa hanya 7 dari 29 orang yang ditangani memiliki gejala somatisasi. Ia menemukan bahwa terdapat empat peningkatan dalam penanganan ketujuh orang ini. Meskipun SRRI menunjukan bukti keuntungan dari penangan terapeutik ini, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hasilnya lebih jauh.2) Psychological Interventions: hasil dari studi tak terkontrol yang menggunakan program kognitif behavioral yang melibatkan edukasi, relaksasi dan restrukturisasi kognitif telah menunjukan suatu manfaat (Nakao et al, 2001). Selain itu, Lidbeck (2003) menunjukan keefektifan program yang melibatkan pemeriksaan fisik, edukasi psikologis dan gejala stress fisiologis untuk dapat mentruktur ulang kognitif dan latihan relaksasi. Jika dibandingkan dengan tidak adanya penanganan sama sekali, program ini berhasil mengurangi kecemasan kognitif dan penggunaan obat-obatan sekaligus ketika berada dalam masa penanganan selama enam bulan seterusnya.

C. HypochondriaBagi orang Yunani, hupocondria adalah daerah di bawah tulang iga, dan organ-organ yang ada di wilayah ini memengaruhi keadaan mental. Pada hipokondria, kecemasan beratnya difokuskan pada kemungkinan mendapatkan penyakit serius. Ancaman itu terasa begitu nyata sehingga usaha dokter untuk meyakinkan pasien tampaknya tidak dapat membantu. Hipokondria adalah gangguan somatoform yang melibatkan kecemasan berat seseorang karena adanya keyakinan bahwa dirinya sedang mengalami proses penyakit tanpa adanya dasar fisik yang jelas.Ciri pokok hipokondriasis adalah ketakutan bahwa gejala fisik seseorang mengacu pada penyakit yang serius, seperti kanker atau penyakit jantung. Ketakutan terus berlanjut meskipun medis memberikan jaminan bahwa ketakutan tersebut tidak beralasan (lihat Tabel 7.6). Hipokondriasis diyakini mempengaruhi sekitar 1% sampai 5% dari populasi umum dan sekitar 5% dari pasien yang mencari perawatan medis (APA, 2000; Barksy & Ahern, 2004).Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar memalsukan gejala fisik mereka. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik, sering kali melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan nyeri. Orang dengan hipokondriasis menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan alam detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri (Barsky, dkk., 2001). Padahal kecemasan akan simtom fisik dapa menimbulkan sensasi fisik tersendirimisalnya, keringat berlebihan dan pusing, bahkan pingsan. Dengan demikian, sebuah lingkaran setan (vicious circle) akan muncul. Mereka sering melakukan doctor shopping dengan harapan bahwa dokter yang kompeten dan simpatik akan memperhatikan mereka sebelum terlambat. Orang depan hipokondriasis dapat menjadi marah saat dokter mengatakan betapa ketakutan mereka sendirilah yang menyebabkan simtom-simtom fisik tersebut. Tidak seperti orang-orang dengan gangguan konversi, yang sering acuh tak acuh terhadap gejala mereka, orang-orang dengan hypokondriasis sangat peduli, memang terlalu khawatir, tentang gejala mereka dan bersungguh-sungguh terhadap apa yang mereka takuti. Kelainan tampaknya umum baik pada pria maupun wanita. Kelainan tersebut paling sering dimulai antara usia 20 dan 30, meskipun dapat dimulai pada usia berapa pun.

Ciri-ciri diagnostik dari hipokondria1. Orang tersebut terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius atau pada keyakinan bahwa dirinya memiliki penyakit serius. Orang tersebut menginterpretasikan sensasi tubuh atau tanda-tanda fisik sebagai bukti dari penyakit fisiknya.2. Ketakutan terhadap suatu pemnyakit fisik, atau keyakinan memiliki suatu penyakit fisik, yang tetap ada meski telah diyakinkan secara medis.3. Keterpakuan tidak pada intensitas khayalan dan tidak terbatas pada kekhawatiran dan penampilan.4. Keterpakuan menyebabkan distress emosional yang signifikan atau mengganggu satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial atau pekerjaan.5. Gangguan telah bertahan selama 6 bulan atau lebih.6. Keterpakuan tidak muncul secara eksklusif dalam konteks gangguan mental lainnya.Orang yang mengalami hipokondriasis memiliki lebih lanjut kekhawatiran akan kesehatan, lebih banyak simtom psikiatrik, dan memersepsikan kesehatan yang lebih buruk daripada orang lain (Noyes dkk, 1993). Mereka juga lebih mungkin dibandingkan pasien kejiwaan lainnya untuk melaporkan bahwa dirinya telah sakit sejak masih anak-anak, tidak sekolah karena alasan kesehatan, dan mengalami trauma masa kecil, seperti pelecehan seksual atau kekerasan fisik (Barsky et al., 1994). Kebanyakan orang yang memenuhi kriteria diagnostik untuk hypokondriasis terus menunjukkan bukti gangguan ketika diwawancarai kembali 5 tahun kemudian (Barsky et al., 1998). Kebanyakan juga memiliki gangguan psikologis lainnya, terutama depresi dan gangguan kecemasan yang besar (Barsky, Wyshak, & Klerman, 1992;. Noyes et al, 1993).Pengetahuan tentangfaktor penyebabdalamgangguan somatoform,termasuk hipokondria,cukup minimdibandingkan dengan banyakgangguanlainnya.Namun ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang menderita gangguan hipokondria diantaranya faktor biologis dan faktor psikososial.a.Faktor biologisDitemukan adanya faktor genetik dalam transmisi gangguan somatisasi serta adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer nondominan. Selain itu diduga terdapat regulasi abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatisasi, yang bisa berkaitan dengan hipokondria. b.Faktor Psikososial Memiliki penyakit yang serius selama masa kanak-kanak Memiliki riwayat keluargahypochondriac Pernah mengalami stres berat yang menyebabkan trauma Mengalami kekerasan fisik, seksual, trauma pada masa anak-anak Mungkin terkait dengan gangguan kejiwaan lain, seperti kecemasan atau gangguan obsesif-kompulsif. Dengan kata lain, hipokondriasis dapat mengembangkan dari suatu gangguan atau menjadi tanda dari salah satu gangguan lain Perkuatan yang diperoleh dari lingkungan sosial. Misalnya, karena mendapatkan pengalaman yang menyenangkan waktu menderita sakit, selanjutnya seorang anak mulai mengeluh menderita macam-macam penyakit setiap kali menghadapi tantangan hidup. Menyaksikan kekerasan di masa kanak-kanak Rejected children Orang-orang yangmemiliki riwayatkekerasan fisikatau seksuallebih mungkin untukmengalami gangguanHipokondria.Namun, initidak berarti bahwasetiap orangdengan gangguanhipokondriamemilikiriwayat seperti itu.Adapun penanganan individu yang mengidap hipokondria ialah.1) Pharmacological treatment of hypochondriasis: pada tahun 1980an peneliti sepakat bahwa farmakoterapi tidak menguntungkan orang-orang yang menderita hipokondria. Tetapi, kesamaan gejala antara hipokondria dan obsessive-compulsive disorder telah membawa mereka untuk menggunakan SSRI dalam menanganinya. Walaupun begitu, hanya ada satu catatan tentang percobaan SSRI menggunakan tehnik placebo dalam menangani hipokondria.2) Cognitive treatment of hypochondriasis: penanganan hipokondria sangatlah sulit, apalagi jika penderitanya memiliki kepercayaan yang kuat akan kekurangan dirinya. Salah satu tehnik yang digunakan dalan intervensi kognitif behavioral adalah:a. Behavioral hypothesis testing: yaitu menguji hipotesis klien mengenai keadaan tubuhnya yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya.b. Reducing checking and medical consultation: yaitu mencoba untuk menunda atau mengurangi intensitas melakukan konsultasi medis. Cara ini hampir serupa dengan penanganan orang yang mengidap obsessive-compulsive dan fobia.c. Cognitive challenge: ini adalah cara dimana klien akan dituntun untuk menghilangkan pikiran buruk mengenai dirinya. d. Menurut perspektifCognitive behavioralhipokondria dapat disebabkan oleh pengalaman masa lalu individu dengan suatu penyakit (baik diri mereka dan orang lain, dan seperti yang diamati dalam media massa) yang mengarah pada pengembangan dari seperangkat asumsi disfungsional tentang gejala dan penyakit, sehingga hal tersebut mempengaruhi seseorang untuk menderita hipokondria. (bouman, eifert, & lejuez, 1999 salkovskis& Bass, 1996 : salkovskis & warwick, 2001) D. Dysmorphic DisorderOrang dengan gangguan dismorfik tubuh (body dismorphic disorder/BDD) terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka (APA, 2000). Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Lainnya dapat membuang setiap cermin dari rumah mereka agar tidak diingatkan akan cacat yang mencolok dari penampilan mereka. Orang dengan gangguan dismorfik dapat dipercaya bahwa orang lain memandang diri mereka jelek atau berubah bentuk menjadi rusak dan bahwa penampilan fisik mereka yang tidak menarik mendorong orang lain untuk berpikir negatif tentang karakter atau harga diri mereka sebagai seorang manusia (Rosen, 1996). Wanita cenderung fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).Penanganan yang paling terkenal untuk gangguan pada inii adalah dengan menggunakan restrukturasi kognitif yang terdiri dari terapi kognitif behavioral (CBT) dan terapi emotif rasional (RET). Terapi kognitif ini lebih mengacu pada pikiran, asumsi dan kepercayaan dengan tujuan memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan, mengubah pikiran irasional menjadi rasional. Dinamika kognitif yang tidak baik akan menghasilkan perilaku yang disfungsional dan akan menciptakan perilaku yang negatif, pikiran negative dan perasaan tidak nyaman ini akan berakibat pada depresi, gangguan serta kecemasan pada individu. Restrukturasi kognitif menggunakan asumsi bahwa respons perilaku dan emosi yang tidak adaptif dipengaruhi oleh keyakinan, sikap dan persepsi.

E. Hysteria / Gangguan KonversiGangguan konversi (conversion disorder) dicirikan oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik, meski tidak ada temuan medis yang dapat ditemukan sebagai penyebab simtom atau kemunduran fisik tersebut. Fakta bahwa simtom konversi pertama-tama muncul dalam konteks, atau diperburuk oleh, konflik atau stressor yang dialami individu memberikan dukungan pada pandangan bahwa simtom itu berhubungan dengan faktor psikologis (APA, 2000).Gangguan konversi dinamakan demikian karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke simtom fisik. Gangguan konversi sebelumnya disebut neurosis histerikal atau hysteria, dan memainkan peran penting dalam perkembangan psikoanalisis Freud.Keluhan fisik dalam gangguan ini dilihat sebagai fungsi dari bertahan (defensive), yang memungkinkan seseorang menghindari situasi yang sangat menekan tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hal ini menjadi nyata pada serdadu-serdadu di medan perang yang menderita lumpuh di medan perang tanpa adanya sebab organis. Simtom-simtom yang muncul adalah :a) Sistem sensorik, yaitu : Anesthesia (hilangnya sensitivitas) Hypesthesia ( hilangnya sebagian ssensitivitas ) Hyperesthesia ( sensitivitas berlebihan ) Analgesia ( hilangnya sensitivitas rasa nyeri ) Parethesia ( sensasinya luar biasa )b) Simtom motorik, yaitu : Paralysis ( kelumpuhan ) Astasia-abasia ( gangguan berjalan ) Aphonia ( hanya bisa berbicara berbisik ) Mutism ( sama sekali tidak bisa bicara )c) Simtom visceral , yaitu : Sakit kepala, susah menelan, batuk, sulit bernafas, tangan terasa dingin, muntah.Dalam diagnosis akan dijumpai kesukaran membedakannya dengan gangguan fisik. Beberapa hal berikut dapat dijadikan patokan : Pasien sering kali menceritakan kesulitannya dengan ringan, dengan sedikit rasa takut dan cemas yang seharusnya muncul bila mereka sungguh-sungguh mengalaminya. Simtom yang muncul tidak cocok dengan diagnosis medis Disfungsi muncul tidak tetap, misalnya penderita buta tidak ditemukan tersandung orang atau barang. Atau otot yang lumpuh hanya untuk aktivitas tertentu saja. Gangguan konversi dapat dibedakan dengan keadaan berpura-pura sakit (malingering). Malingering secara sadar berpura-pura sakit dan hal ini terefleksikan dalam tujuan yang hendak ia capai. Penderita konversi biasanya dramatis dan naf, tidak peduli pada simtom dan ingin membicarakannya. Jika ketidak konsistenan tingkah laku ditunjukkan, mereka tidak terpengaruh. Sementara pada malingering mereka cendrung defensif, curiga, sukar diperiksa dan tidak segera membicarakan simtomnya. Bila inkonsistensi terungkap, mereka akan semakin defensif. Salah satu percobaan dalam penangan untuk gangguan konversi ini salah satunya dikemukakan oleh Moene et al (2003). Mereka menugaskan penderita motor conversion disorder yang memiliki gejala seperti paralisis, masalah pada system kordinasi, aphonia, pseudo-epileptic ke dalam penanganan aktif. Penanganan melibatkan 10 hipnosis dengan fokus kepada penurunan gejala-gejala dan regresi yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKABarlow, D.H & Durand, V, M. (2006). Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka PelajarBennet, Paul. (2006). An Introductory Textbook : Abnormal and ClinicalPsychology 2nd ed. USA : McGrawn-Hill.Carson, R.C., Butcher, J.N. & Mineka, S. (2001)Fundamental of Abnormal Psychology and Modern Life. [Online]. Tersedia di:http://www.csun.edu/~hcpsy002/0135128978_ch07.pdf. Diakses 1 Maret 2015Greene, B., Rathus, S. A & Nevid, J. S. (2003). Psikologi Abnormal. Jakarta: ErlanggaRahma, D. (2009). Gangguan tubuh pada remaja dan pencegahan. Jurnal UMM. Jurnal UMM Abnormal, 1 (3), hlm. 95-98T.N.(2014). Psikologi Abnormal dan Psikopatologi. Cimahi: UNJANI