A3

52
ANALISIS MASALAH 1. Mrs. A a 60 year-old Woman, come to Moh.Hoesin Hospital with chief complain of weakness. a. Apa hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus? Usia dan jenis kelamin pada Ny, A tidak terlalu berhubungan dengan anemia defisiensi besi. Di Indonesia, anemia defisiensi besi terjadi pada - 16 – 50 % pada laki-laki dewasa - 25 – 48% pada wanita tidak hamil - 46-92% ibu hamil - 55,5 % pada balita b. Bagaimana etiologi dan mekanisme kelemahan? Etiologi dari lemas pada kasus ini adalah anemia karena defisiensi besi. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena : 1) Kebutuhan meningkat: - bayi dan anak: untuk pertumbuhan - wanita hamil - menyusui: kehilangan besi saat laktasi 2) Intake besi kurang: - diet rendah besi - absorbsi terganggu - aklorhidria/pasca gastrektomi: asam membantu penyerapan besi (sebagai reduktor) - malabsorbsi : karena adanya kerusakan pada epitel usus terutama di duodenum 3) Kehilangan besi: - menstruasi

description

.

Transcript of A3

Page 1: A3

ANALISIS MASALAH

1. Mrs. A a 60 year-old Woman, come to Moh.Hoesin Hospital with chief complain of weakness.

a. Apa hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus?

Usia dan jenis kelamin pada Ny, A tidak terlalu berhubungan dengan anemia

defisiensi besi.

Di Indonesia, anemia defisiensi besi terjadi pada

- 16 – 50 % pada laki-laki dewasa

- 25 – 48% pada wanita tidak hamil

- 46-92% ibu hamil

- 55,5 % pada balita

b. Bagaimana etiologi dan mekanisme kelemahan?

Etiologi dari lemas pada kasus ini adalah anemia karena defisiensi besi. Anemia

defisiensi besi dapat terjadi karena :

1) Kebutuhan meningkat:

- bayi dan anak: untuk pertumbuhan

- wanita hamil

- menyusui: kehilangan besi saat laktasi

2) Intake besi kurang:

- diet rendah besi

- absorbsi terganggu

- aklorhidria/pasca gastrektomi: asam membantu penyerapan besi (sebagai

reduktor)

- malabsorbsi : karena adanya kerusakan pada epitel usus terutama di duodenum

3) Kehilangan besi:

- menstruasi

- perdarahan saluran cerna (hemoroid, ulkus peptikum, hernia, keganasan, kolitis

ulserativa)

2. She also had palpitation, cephalgia and Epigastric pain. She has also complain her knee and

She always taken NSAID since 4 years ago. The Defection sometimes blood occult.

a. Bagaimana etiologi dan mekanisme palpitation?

Fungsi transportasi oksigen dalam tubuh manusia dilakukan oleh hemoglobin di

dalam eritrosit. Setiap hemoglobin normal terdiri dari 4 gugus globin dengan inti besi

pada masing – masing gugusnya. 1 buah hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen.

Page 2: A3

Pada pasien dengan anemia, kemampuan hemoglobin untuk mengikat oksigen akan

menurun. Hal ini menyebabkan jaringan tubuh akan mengalami kekurangan oksigen.

Kekurangan oksigen ini akan semakin meningkat pada saat beraktivitas. Tubuh akan

berusaha mengkompensasi kekurangan oksigen pada jaringan ini dengan meningkatkan

frekuensi detak jantung sehingga laju sirkulasi darah dan oksigenasi jaringan meningkat.

Hal ini akan dirasakan pasien sebagai detak jantung yang cepat dan tidak beraturan

(palpitasi).

b. Bagaimana etiologi dan mekanisme cephalgia?

Hipoksia Vasodilatasi serebral (untuk mempertahankan perfusi jaringan)

Peningkatan tekanan darah dalam pemompaan jantung Peningkatan tekanan dirasakan

oleh stretch recapter di pembuluh darah Sinyal nyeri di interpretasi oleh otak.

c. Bagaimana etiologi dan mekanisme epigastric pain?

Faktor risiko (usia tua, perempuan, penggunaan NSAID jangka panjang) NSAID

Mengganggu permeabilitas mukosa iritasi dinding mukosa nyeri epigastrik.

d. Apa hubungan riwayat mengonsumsi NSAID sejak 4 tahun dengan keluhan pada kasus?

Penggunaan jangka panjang NSAID menyebabkan tukak lambung atau perdarahan

pada sitem gastrointestinal akibat perdarahan tersebut BAB Ny. A menjadi berdarah.

e. Bagaimana hubungan antar gejala di atas?

Gambar 1. Mekanisme pucat, lelah, pusing dan lemah pada anemia

Page 3: A3

3. Physical examination:

Weight: 45 kg, height: 155 cm

General appearance: pale, fatique

Vital sign: HR: 110x/minute, RR: 28x/minute, Temp: 36,6oC, BP: 100/70 mmHg

Head: cheilitis positive, tongue: papil atrophy

No lymphadenopathy

Abdomen: epigastric pain (+), liver and spleen non palpable

Extremities: koilonychia negative

a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan fisik?

- Berat badan: 45 kg

- Tinggi badan: 155 cm

- BMI = BB(kg) / TB2 (meter)

= 45/ (1,55)2 = 18,7 kg/m2 (Normal)

Tabel 1. Indeks Massa Tubuh

Laki-Laki Perempuan

Kurus <17 kg/m2 <18 kg/m2

Normal 17-23 kg/m2 18-25 kg/m2

Gemuk 23-27 kg/m2 25-27 kg/m2

Obesitas >27 kg/m2 >27 kg/m2

(Sumber: Pedoman praktis terapi gizi medis Departemen Kesehatan RI 2003)

Tabel 2. Interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik

Hasil Nilai normal Interpretasi Mekanisme

Pucat Anemia Anemia aliran darah ke jaringan perifer

berkurang / kadar Hb rendah pucat

Lelah Anemia - Anemia suplai O2↓ metabolisme

anaerob penimbunan asam laktat lelah

- Anemia oksigenasi ↓ pembentukan

ATP ↓ lelah

- Anemia suplai darah ↓ nutrisi ke

jaringan ↓ lelah

HR 110x/mnt 60-100x/mnt Takikardi Kompensasi untuk mendapatkan oksigen. Pada

anemia defisiensi besi, pembentukan Hb

berkurang, sehingga oksigen yang berikatan

dengan Hb juga sedikit.

RR 28x/minute 16-24 x/mnt Meningkat

Page 4: A3

T: 36,6°C 36,6-37,5°C Normal

BP100/70mmHg 120/80mmHg Normal

Cheilitis (+) Peradangan pada

mukosa bibir

Defisiensi Fe aktivitas enzim yang

mengandung besi pada epitel menurun

fungsi dalam melindungi mukosa terhadap

infeksi rendah mudah terjadi peradangan

pada mukosa bibir

Papil atrophy Pengecilan papil Anemia Suplai darah ke papil ↓ papil

atrophy

No

Lymphadenopathy

Normal Tidak menandakan adanya infeksi, radang

ataupun keganasan. Juga menepis diagnosis

banding adanya filariasis limphatic.

Epigastric pain Karena terjadi tukak lambung atau perdarahan

di lambung GIT bleeding akibat konsumsi

NSAID jangka panjang.

Liver and spleen

non palpable

Normal Karena pada skenario, anemia disebabkan oleh

defisiensi besi bukan, anemia hemolisis. Sel

darah merah tidak mengalami pemecahan

secara berlebihan sehingga kerja hati dan limpa

tidak bertambah berat.

Hepatomegali terjadi pada anemia hemolitik,

akibat dari kerja hati yang lebih keras dalam

merombak eritrosit karena hemolisis yang tidak

wajar.Sedangkan splenomegali juga terjadi

pada anemia hemolitik, dimana eritrosit yang

rapuh melewati kapiler yang sempit dalam

limpa, sehingga pecah dan menyumbat kapiler

limpa sehingga terjadi pembesaran limpa. Tidak

adanya hepatomegali dan splenomegali

menunjukkan bahwa pasien dalam kasus tidak

mengalami anemia jenis hemolitik.

Koilonychias (-) Normal

4. Laboratory:

Page 5: A3

Hb 6 g/dL, Ht 20 vol%, RBC 2.500.000/mm3, WBC 7.000/mm3, Trombosit 460.000/mm3,

RDW 20%, MCV: 62 fl, MCH n: 23 pg.

Blood smear: anicosytosis, hypochrome microcyter, poikilocytosis

Faeces: blood occult (+)

a. Bagaimana proses terbentuknya eritrosit (eritropoesis)?

Gambar 2. Proses terbentuknya eritrosit

Siklus Eritropoesis

1) Rubiblast

Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan sel

termuda dalam sel eritrosit. Sel iniberinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin

yang halus. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal

jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah

selberinti.

2) Prorubrisit

Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Ukuran

lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel

berinti.

3) Rubrisit

Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti

sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa

tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti,

inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung

warna biru karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena

hemoglobin. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20

%.

4) Metarubrisit

Page 6: A3

Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti

sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah

mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada

sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10%.

5) Retikulosit

Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan

penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa

RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi

dalam darah tepi. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar

sebagai retikulositselama 1-2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5

 –2,5% retikulosit.

6) Eritrosit

Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran

diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5mikron. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada

bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan

karena mengandung hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan

dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa.

Faktor Pembentukan Eritropoesis

Ada 3 faktor yang mempengaruhi eritropoiesis:

1) Eritropoietin

Penurunan penyaluran ke ginjal merangsang ginjal darah untuk mengeluarkan

hormon eritropoietin ke dalamdarah, dan hormon ini kemudian merangsang

eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin bekerja pada turunan sel-sel bakal yang

belum berdiferensiasi yang telah berkomitmen untuk menjaadi sel darah merah, yaitu

merangsang proliferasi dan pematangan mereka.

2) Kemampuan respon sumsum tulang (anemia, perdarahan).

3) Intergritas proses pematangan eritrosit.

b. Bagaimana cara penghitungan RDW, MCV MCH, MCHC?

Nilai index eritrosit :

1) Mean Corpusculer Volume (MCV) atau volume eritrosit rata-rata (VER).

MCV mengindikasikan ukuran eritrosit: mikrositik (ukuran kecil), normositik

(ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar). Nilai MCV diperoleh dengan

mengalikan hematokrit 10 kali lalu membaginya dengan hitung eritrosit.

Page 7: A3

Satuan: femtoliter

MCV = x 10

Nilai Normal: 82 - 92 Fl

Interpretasi Hasil:

Penurunan MCV (VER) terjadi pada pasien anemia mikrositik, Defisiensi besi,

arthritis   rheumatoid, talasemia, anemia sel sabit, HBC, keracunan timah, dan

radiasi.

Peningkatan MCV terjadi pada anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia

pernisiosa, anemia defisiensi asam folat, penyakit hati kronis, hipotiroidisme, efek

obat vitamin B12, antikonvulsan, dan antimetabolik

2) Mean Corpusculer Hemoglobin (MCH) / Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER)

MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa

memperhatikan ukurannya. MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb 10 kali,

lalu membaginya dengan hitung eritrosit.

Satuan: pikogram

MCH = x 10

Nilai Normal: 27 - 31 Pg

Interpretasi Hasil:

Penurunan MCH (HER) terjadi pada anemia mikrositik, dan anemia hipokromik.

Peningkatan MCH (HER) terjadi pada anemia defisiensi besi.

3) Mean Corpusculer Hemoglobin Concentration (MCHC)/ Konsentrasi

Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER)

MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit.

Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik, defisiensi zat besi serta

talasemia. Nilai MCHC dihitung dari nilai MCH dan MCV atau dari hemoglobin dan

hematokrit.

Satuan: %

MCHC = x 100%

Nilai Normal: 32 - 37 %

Interpretasi Hasil:

Penurunan MCHC terjadi pada anemia hipokromik dan talasemia.

Peningkatan MCHC terjadi pada penderita defisiensi zat besi.

4) Red Cell Distribution Width (RDW)

Page 8: A3

RDW adalah perbedaan ukuran (luas) dari eritrosit. RDW adalah pengukuran

luas kurva distribusi ukuran pada histogram. Nilai RDW dapat diketahui dari hasil

pemeriksaan darah lengkap (full blood count, FBC) dengan hematology analyzer.

Nilai RDW berguna untuk memperkirakan terjadinya anemia dini, sebelum nilai

MCV berubah dan sebelum terjadi tanda dan gejala.

RDW digunakan terutama untuk membedakan talasemia heterozigot tanpa

komplikasi (MCV rendah, RDW normal) dengan anemia defisiensi besi (MCV

rendah, RDW meningkat)

a) Dihitung secara otomatik

b) Cara hitung :

RDW =SD ukuran eritrosit

x 100MCV

Menunjukan variabilitas ukuran eritrosit abnormal konfirmasi morfologi pada

sediaan hapus darah tepi

- Anisositosis RDW meningkat

- Nilai normal 11.5-14.5 (CV %)

- RDW meningkat pada

Anemia defisiensi besi

Anemia perniciosa/def. folat

Anemia hemolitik

- RDW normal

Anemia of Chronic Disease

Blood loss

Anemia aplastik

Sferositosis herediter

Hemoglobinopati (HbS, HbE)

Sebagai klasifikasi-klasifikasi yang lebih umum dari anemia (hemoglobin

yang rendah) berdasarkan pada MCV, atau volume dari sel-sel darah merah individu.

1. Jika MCV rendah (kurang dari 80), anemia dikategorikan sebagai

microcytic anemia (volume sel yang rendah).

2. Jika MCV didalam batasan normal (80-100), ia disebut normocytic

anemia (volume sel yang normal).

3. Jika MCV tinggi, maka ia disebut macrocytic anemia (volume sel yang

besar). Melihat pada setiap komponen-komponen dari complete blood

Page 9: A3

count (CBC), terutama MCV, dokter dapat mengumpulkan petunjuk-

petunjuk seperti apa yang menjadi sebab yang paling umum untuk anemia.

(AV Hofbrand,2005)

c. Bagaimana gambaran blood smear pada kasus?

1) Poikilositosis

Disebut poikilositosis apabila pada suatu sediaan apus ditemukan bermacam-

macam variasi bentuk eritrosit. Didapatkan pada thalassemia dan anemia berat

Gambar 3. (1) Target cell; (2) Ovalositosis; (3) Akantosit (berduri); (4) Stomatosit;

(5) Keratosit (helmet cell); (6) Spherositosis (bola)

2) Anisositosis

Eritrosit dengan ukuran tidak sama besar pada GDT (ukuran mikrosit dan makrosit)

Gambar 4. Anisositosis

3) Hipokrom mikrositer

Mikrositer: Ukuran lebih kecil dari eritrosit normal

Page 10: A3

Hipokrom: Eritrosit terlihat pucat disebabkan oleh

- Konsentrasi Hb: Kegagalan pembentukan heme pada anemia defisiensi Fe,

anemia sideroblastik.

- Kegagalan pembentukan globin : Pada thalassemia

Gambar 5. Hipokrom Mikrositer

d. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan apusan darah tepi dan cara pengambila

sampel?

Sediaan hapus darah tepi (peripheral blood smear) merupakan slide untuk

mikroskop yang salah satu sisinya dilapisi dengan lapisan tipis darah dan diwarnai

dengan pewarnaan (biasanya Giemsa atau Wright), kemudian diperiksa dengan

mikroskop.

Sediaan hapus harus cepat mengering pada kaca karena yang lambat mengering

seperti oleh hawa lembab sering mengalami perubahan morfologi eritrosit. Sudut

miringnya kaca penggeser dengan kaca sediaan dan kecepatan penggerakkan kaca

penggeser berpengaruh terhadap tebalnya sediaan yang dibuat, makin kecil sudut makin

tipis sediaan dan makin lambat menggeser makin tipis juga.

Ciri-ciri sediaan hapus yang baik:

a) Sediaan tidak melebar sampai pinggir kaca objek, panjangnya ½ sampai 2/3

panjang kaca

b) Pada sediaan hapus harus ada bagian yang cukup tipis untuk diperiksa, pada

bagian itu eritrosit-eritrosit terletak berdekatan tanpa bertumpukan dan tidak

menyusun gumpalan atau rouleaux

c) Pinggir sediaan itu rata dan sediaan tidak boleh berlobang-lobang atau bergaris-

garis

Page 11: A3

d) Penyebaran leukosit tidak boleh buruk, leukosit-leukosit itu tidak boleh

berhimpun pada pinggir-pinggir atau ujung-ujung sediaan

Bahan dan Alat:

a. Kaca objek

b. Methanol

c. Giemsa

d. Pipet tetes

e. Darah EDTA

Cara kerja:

- Teteskan darah vena diambil dan dicampurkan dengan EDTA setetes kecil darah

(garis tengah tidak melebihi 2 mm) kira-kira 1 cm dari ujung kaca objek dan

letakkanlah kaca itu di atas meja dengan tetes darah di sebelah kanan

- Dengan tangan kanan letakkan kaca objek lain di sebelah kiri tetes darah dengan

sudut 30o – 45o, kemudian geser ke arah tetesan darah

- Biarkan darah menyebar sampai ke pinggir kaca objek, kemudian langsung

didorong sehingga terbentuk hapusan yang baik

- Biarkan kering diudara, kemudian fiksasi dengan methanol selama 5 menit

- Buang sisa methanol yang masih ada, teteskan Giemsa hingga menutupi seluruh

sediaan dan biarkan selama 20 menit

- Cuci dengan air yang mengalir pelan, biarkan kering dengan udara

Kesalahan yang mungkin timbul pada keterampilan tersebut :

- Kualitas sediaan hapus kurang baik seperti terlalu tebal, berlobang atau ada

tumpukan zat warna

- Panjang sediaan hapus kurang dari setengah panjang kaca objek

5. Additional examination:

Serum iron is 12 ug/dL

Total iron-binding capacity is 480 ug/dL

Ferritin is 9 ng/ml

Page 12: A3

a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal?

Tabel 3. Interpretasi hasil pemeriksaan tambahan

Permeriksaan Nilai Normal Keterangan

Serum iron 12 µg/Dl 60-90 µg/dL Menurun (akibat menurunnya besi)

TIBC 480 µg/Dl 250-420 µg/dL Meningkat (kompensasi untuk mengikat besi lebih

banyak)

Ferritin 9 ng/ml 30-300 ng/mL Menurun (akibat menurunnya cadangan besi)

6. Analisis Aspek Klinis

a. Bagaimana cara penegakan diagnosis?

Anamnesis

Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis

dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat

tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan

mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Titik pemilah anemia tergantung kriteria

yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan

adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari

defisiensi besi yang terjadi. Feritin serum merupakan indikator yang terbaik untuk

menilai interfensi besidan deplesi besi.

Tetapi feritin merupakan protein fase akut sehingga nilainya meningkat pada

keadaan inflamasi. Pengukuran protein fase akut yang berbeda dapat membantu

menginterpretasi nilai serum feritin, jika konsentrasi protein fase akut ini meningkat

menandakan dijumpai inflamasi. Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau

massa hemoglobin yang beredar di sirkulasi tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Menurut WHO, dikatakan anemia bila:

- Laki-laki dewasa hemoglobin < 13 g/dl

- Perempuan dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/dl

- Perempuan hamil hemoglobin < 11 g/dl

- Anak umur 6-12 tahun hemoglobin < 12 g/dl

- Anak umur 6 bulan-6 tahun hemoglobin < 11 g/dl

Atau, anemia menurut WHO bila :

- Hemoglobin <10 g/dl

- Hematokrit <30 %

- Jumlah eritrosit <2,8 juta/mm3

 

Page 13: A3

Pemeriksaan Fisik

Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau multisistem dan

untuk menilai beratnya kondisi penderita. Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan:

- Adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.

- Pucat: sensitivitas dan spesifi sitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku, wajah atau

konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan 70-100%.

- Ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering sulit

dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifi sial. Pada  penelitian 62 tenaga

medis ikterus ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada

68% penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL.

- Penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk) pada talasemia.

- Lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.

- Limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum);nyeri tulang

dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit infiltratif (seperti pada

leukemia mielositik kronik), lesi litik (pada myeloma multipel atau metastasis

kanker).

- Petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.

- Kuku rapuh, cekung (spoon nai ) pada anemia defisiensi Fe.

- Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter, anemia

sideroblastik familial).

- Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun.

Pemeriksaan Laboratorium

1. Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif

tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan

dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb

sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III.

2. Penentuan Indeks Eritrosit

Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau

menggunakan rumus:

a. Mean Corpusculer Volume (MCV)

MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat

besi semakin parah, dan pada saat anemia

mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yangspesiflk

setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan

Page 14: A3

membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl,

mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.

b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)

MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung

dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31

pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik >31 pg.

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)

MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi

hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35%dan hipokrom < 30%.

3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer

Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan

menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,

sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan  flowcytometry hapusan darah dapat

dilihat pada kolom morfology flag.

4. Luas Distribusi Sel Darah Merah ( Red D i s t r i bu t ion Wi de = RDW)

Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif

baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi

anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat

anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi

paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin,

ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda

meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit

protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.

5. Eritrosit Protoporfirin (EP)

EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan

beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada

tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan

kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan

besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara

luas dipakai dalam survei populasiwalaupun dalam praktik klinis masih jarang.

6. Besi Serum ( S e r u m   I r o n = SI)

Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan

besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi

diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan

setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia,

Page 15: A3

rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan

parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.

7. Serum Transferin (Tf)

Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum.

Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara

keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.

8. T r a n s f e r r i n S a t u r a t i o n (Jenuh Transferin)

Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan

indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh

transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang

meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada

penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang

disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan

serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.Jenuh transferin

dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi

total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.

9. Serum Feritin

Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan

cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan

pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi,

yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai

diagnostik untuk kekurangan zat besi.

Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak

menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi.

Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang

tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung

lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada

wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik

secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun,

dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini

mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak.

Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama 

trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi.

Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis,

infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai

Page 16: A3

Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau  Essay

immunoabsorben (Elisa).

10. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun

mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan

untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari

kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat

subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah  struma  sumsum  yang 

memadai  dan  teknik  yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu

teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam

populasi umum.

b. Apa diagnosis differential pada kasus?

Diagnosis diferensial utama dari anemia defisiensi besi yang mikrostik

hipokromik adalah thallasaemia, penyakit inflamasi kronik, dan sindroma

mielodisplastik. Perbedaan darikondisi-kondisi tersebut antara lain:

Tabel 4. Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi

Parameter Anemia Thallasaemia Inflamasi kronik Sindroma

defisiensi besi mielodisplastik

Klinis Sindroma Sindroma Sindroma anemia Sindroma anemia

  anemia, tanda- anemia, jelas/tidak, gejala  

  tanda defisiensi hepatomegali, sistemik lain    

  besi overload besi      

Blood Micro/hypo Normal, Micro/hypo, targetMicro/hypo

Smear   micro/hypo Cell    

TIBC Meningkat Menurun Normal   -

Ferritin Menurun Normal Normal   Normal/meningkat

Transferin Menurun Normal Normal/Meningkat -

Tabel 5. Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi

  Anemia defisiensi besi

Anemia akibat penyakit

kronis Anemia Sideroblastik

Derajat anemia Ringan-Berat Ringan   Ringan-berat

MCV Menurun Menurun/N   Menurun/N

MCH Menurun Menurun/N   Menurun/N

Page 17: A3

Besi serum Menurun<30 Menurun < 50 Normal/naik

TIBC Meningkat > 360 Menurun< 300 Normal/ menurun

Saturasi transferin Menurun < 15% Menurun/N 10-20% Meningkat > 20%

Besi sumsum

tulang Negatif Posotif   Positif dengan ring

        sideroblast

Protoporfirin Meningkat Meningkat   Normal

Eritrosit        

Feritin serum Menurun < 20µg/l Normal 20-200µg/l Meningkat >50µg/l

Elektroforesis Hb N N   N

c. Apa working diagnosis pada kasus beserta definisinya?

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya

penyediaan besi untuk eritropoietik, karena cadangan besi kosong, sehingga

pembentukan hemoglobin berkurang.

d. Apa etiologi pada kasus?

Etiologi anemia defisiensi besi:

1) Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun.

- Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,

kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing

tambang.

- Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia

- Saluran kemih: hematuria

- Saluran napas: hemoptoe

2) Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas

besi (bioavailabilitas) yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C

dan rendah daging).

3) Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa

pertumbuhan dan kehamilan.

4) Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.

Pada kasus Ny.A anemia defisiensi besi disebabkan karena perdarahan menahun akibat

penggunaan NSAID sejak 4 tahun yang lalu yang bisa mengganggu agregasi trombosit.

Page 18: A3

e. Apa epidemiologi pada kasus?

Anemia ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai di negara berkembang.

Martoatmojo et al memperkirakan prevalensi ADB di Indonesia adalah 16-

50% pada laki-laki, 25-84%pada perempuan tidak hamil, dan 46-92% pada perempuan

hamil. Anemia ini merupakan bentuk anemia yang paling prevalens, termasuk anemia

defisiensi nutrisi. Pada anak-anak usia 1-2 tahun terjadi anemia bentuk ini hingga 47%.

Lebih sering pada laki-laki karena intensitas terpapar lingkungan lebih tinggi. Untuk usia,

biasanya mengenai usia produktif.

f. Apa saja faktor resiko pada kasus?

Ada 2 faktor utama yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk terkena anemia

defisiensi besi, yakni:

1) Asupan atau penyerapan zat besi yang kurang, misalnya karena:

- Diet vegetarian

- Diet makrobiotik

- Rendahnya konsumsi daging, ikan, unggas dan makanan lain yang banyak

mengandung zat besi

- Rendahnya asupan makanan yang mengandung asam askorbat (vitamin C)

- Sering diet atau membatasi makan

- Penurunan berat badan yang signifikan / bermakna

- Mempunyai riwayat anemia defisiensi besi

- Baru pindah dari Negara berkembang

- Seseorang yang menjalani perawatan kesehatan khusus

2) Perdarahan atau peningkatan kebutuhan zat besi, misalnya karena:

- Periode menstruasi yang panjang

- Pertumbuhan yang terlalu cepat

- Kehamilan

- Radang usus

- Penggunaan obat anti inflamasi non steroid (misalnya ibuprofen) atau aspirin

jangka panjang

- Penggunaan kortikosteroid

- Olahraga atau latihan fisik yang intensif (misalnya: berlari, berenang,

bersepeda)

- Sering mendonorkan darah

- Infeksi parasit

Page 19: A3

g. Bagaimana patofisiologi pada kasus?

Anemia defisiensi besi melalui beberapa fase patologis yaitu:

- Deplesi Besi

Deplesi besi merupakan tahapan awal dari ADB. Berbagai proses patologis

yang menyebabkan kurangnya besi memacu tubuh untuk menyesuaikan diri yaitu

dengan meningkatkan absorbsi besi dari usus. Pada tahapan ini tanda yang ditemui

adalah penurunan ferritin serum dan besi dalam sumsum tulang berkurang.

- Eritropoesis defisiensi besi

Kekurangan besi yang terus berlangsung menyebabkan besi untuk

eritropoiesis berkurang namun namun secara klinis anemia belum terjadi, kondisi ini

dinamakan eritropoiesis defisiensi besi. Tanda-tanda yang ditemui pada fase ini

adalah peningkatan kadar protoporhyrin dalam eritrosit, penurununan saturasi

transferin, dan peningkatan Total iron binding capacity (TIBC).

- Anemia defisiensi besi

Jika jumlah besi terus menurun maka eritropoiesis akan terus terganggu dan

kadar hemoglobin mulai menurun sehingga terjadi anemia hipokromik mikrositik.

Kondisi ini sudah bisa dikategorikan sebagai anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi memberikan dampak kesehatan yang cukup banyak

kepada seseorang misalnya gangguan sistem neuromuscular, gangguan kognitif,

gangguan imunitas, dan gangguan terhadap janin.

h. Bagaimana manifestasi klinis pada kasus?

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar yaitu:

- Gejala umum anemia

Gejala umum anemia yang juga disebut sebagai sindrom anemia

(anemicsyndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar

hemoglobinturun dibawah 7-8 g/dl. Gejala berupa badan le,ah, lesu, cepat lelah,

mata berkunang-kunang, serta telinga berdenging. Pada anemia  defisiensi  besi

karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali

sindroma anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang

kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh

dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah

turun dibawah 7 gr/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama

pada konjungtiva dan jaringan dibawah kuku.

Page 20: A3

- Gejala Khas Defisiensi Besi

Gejala yang tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah: 

Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis

vertical menjadi cekung sehingga mirip sendok 

Atropi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap

karena papil lidah menghilang

Stomatitis angularis (cheilitis): adanya keradangan pada sudut

mulutsehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan

Disfagia: kesulitan menelan karena kerusakan epitel hipofaring Atropi

mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti tanahliat,

lem, dan lain-lain.

- Sindrom plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah

kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atropi papil

lidah dan disfagia.

i. Bagaimana tatalaksana pada kasus?

Pencegahan:

- Pendidikan Kesehatan: jamban, alas kaki, menjaga kebersihan.

- Penyuluhan Giz: makanan yang mengandung besi, mengganggu dan membantu

penyerapan besi.

- Pemberitauan tentang efek samping penggunaan obat

- Suplementasi Besi pada ibu hamil dan balita.

- Fortifikasi bahan makanan

Non-Farmakologi:

- Diet: gizi tinggi kalori dan protein hewani

- Absorbsi Fe

o Ditingkatkan oleh : Vit C (3 x 100 mg/hr), daging, jus jeruk dan

ikan

o Dihambat oleh : sereal, susu dan teh

- Transfusi, bila:

o Peny jantung anemi dg ancaman payah jantung

o Anemia Simptomatik yang sangat menyolok

o Memerlukan peningkatan Hb yang cepat

o Jenis darah: PRC

Page 21: A3

Farmakologi:

- Oral

o Efektif, murah , aman

o Sulfas ferosus 3x200mg absorbsi 50mg besi meningkatkan

eritropoesis 2-3x normal

o Diberikan 3-6 bulan setelah cadangan besi normal.

o Diberikan saat perut kosong, dgn penambahan vit C

o Efek samping: mual, muntah, konstipasi

- Parenteral

o Tujuan: mengembalikan kadar Hb dan mengisi besi 500-1000mg,

rumus:

o Rumus kebutuhan besi =

(15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

• Tersedia:

– Iron dextran complex (50mg/ml besi)

– Iron sorbitol citric acid complex

– Iron ferric gluconate & iron sukrose

j. Apa saja komplikasi pada kasus?

Anemia berat dapat menyebabkan hipoksemia dan mempertinggi resiko

insufiseinsi koroner dan iskemik miokard, selain itu dapat memperparah keadaan

pasien dengan penyakit paru kronis.

Intoleransi terhadap dingin ditemukan pada beberapa pasien dengan anemia

defisiensi kronis, dan bermanifestasi sebagai gangguan vasomotor, nyeri

neurologis, atau mati rasa bahkan rasa geli.

Meskipun jarang, namun pada anemia defisiensi yang berat berhubungan dengan

papilledema, peningkatan tekanan intracranial, dan bisa didapatkan gambaran

klinis pseudotumor cerebri. Manifestasi ini dapat terkoreksi oleh terapi dengan

pemberian preparat besi.

Fungsi imun yang melemah, dan pernah dilaporkan pasien dengan anemia

defisiensi besi mudah terjangkit infeksi, meskipun demikian belum didapatkan

fakta yang pasti mengenai keterkaitan antara defisiensi besi dengan melemahnya

imun karena ada beberapa factor lain yang turut berperan. Ada yang berpendapat

bahwa defisiensi besi dapat menurunkan imunitas, dalam hal ini besi dibutuhkan

Page 22: A3

oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim mieloperoksidase netrofil sehingga

menurunkan imunitas seluler.

Anak dengan deficit besi akan mengalami gangguan dalam perilakunya. Pada

infants terjadi gangguan perkembangan neurologis dan pada anak usia sekolah

terjadi penurunan prestasi belajar. IQ dari anak usia sekolah dengan anemia

defisiensi besi dilaporkan lebih rendah jika dibandingkan dengan anak sebaya

yang nonanemic. Gangguan dalam perilaku dapat bermanisfestasi sebagai

kelainan dalam pemusatan perhatian, sedngakan pada infants akan terjadi

pertumbuhan yang tidak optimal. Semua manifestasi ini dikoreksi dengan terapi

besi.

Defisiensi dihubungkan dengan risiko prematuritas serta morbiditas dan

mortalitas fetomaternal. Ibu hamil yang menderita anemia disertai peningkatan

angka kematian maternal, lebih mudah terkena infeksi dan mengalami gangguan

partus.

k. Bagaimana prognosis pada kasus?

Quo ad vitam: Bonam

Quo ad fungsionam: Bonam

l. Apa SKDI pada kasus?

SKDI: 4A

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan

penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

Page 23: A3

LEARNING ISSUE

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Definisi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi

untuk eritropoietik , karena cadangan besi kosong, sehingga pembentukan hemoglobin berkurang.

Berbeda dengan anemia akibat penyakit kronik, berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoietik

terjadi akibat pelepasan besi dari system retikuloendotelial yang berkurang, sementara cadangan

besi normal. Namun, kedua jenis anemia ini merupakan anemia dengan gangguan metabolisme

besi.

Epidemiologi :

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan jenis anemia yang paling banyak diderita oleh

penduduk di negara berkembang, termasuk di indonesia. Sebanyak 16-50 % laki-laki dewasa di

Indonesia menderita ADB dengan penyebab terbanyak yaitu infeksi cacing tambang (54%) dan

hemoroid (27%). 25-48 % perempuan dewasa di Indonesia menderita ADB dengan penyebab

terbanyak menorraghia (33%) , hemoroid (17%) dan infeksi cacing tambang (17%). 46-92 % wanita

hamil di Indonesia menderita ADB.

Etiologi

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi,

serta kehilangan besi akibat perdarahan kronik :

1. Faktor nutrisi

kurangnya jumlah besi atau bioavailabilitas ( kualitas ) besi dalam asupan makanan

misalnya ; makanan banyak serta, rendah daging, rendah vitamin C.

2. Kebutuhan besi meningkat

prematuritas, anak dalam masa petumbuhan dan kehamilan

3. Gangguan absorbsi besi

gastrektomi, colitis kronik

4. Perdarahan kronik

saluran cerna ; tukak peptic, konsumsi NSAID, salisilat, kanker kolon, kanker lambung,

divertikulosis, infeksi cacing tambang, hemoroid

Page 24: A3

saluran genitalia wanita ; menoraghia, mtroraghia

saluran kemih ; hematuria

saluran nafas ; hemoptoe

Metabolisme Besi

Manifestasi Klinik :

Gejala umum anemia

o Gejala ini baru akan timbul apabila terjadi penurunan kadar hemoglobin hingga 7-8

gr/dl

o Lemah, lesu, lelah, mata berkunang-kunang dan telinga berdenging

Gejala khas defisiensi besi

o Koilonichya (spoon nail) yaitu kuku yang cekung seperti sendok, memiliki garis-

garis vertikal dan rapuh

o Atrofi papil lidah sehingga permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap

o Stomatitis angularis (cheilosis) yaitu adanya radang pada sudut mulut berupa bercak

keputihan

o Disfagia

o Atrofi mukosa gaster

o Pica ; keinginan makan makanan yang tidak lazim seperti tanah liat, lem dll

Page 25: A3

Gejala penyakit dasar

o Gejala tergantung penyebab dasar yang menimbulkan anemia

o Pada infeksi cacing tambang terdapat gejala dispepsia, parotis yang membengkak

dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami

o Anemia akibat kanker kolon dapat disertai oleh gangguan BAB

Penegakan Diagnosis

Terdapat tiga tahap diagnosis anemia defisiensi besi, yaitu :

1. Penentuan adanya anemia

Anemia secara klinis dapat memberikan beberapa gambaran, yang disebut sebagai sindroma

anemia yakni badan lemah, letih, leu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, telinga sering

berdenging. Namun, biasanya, gejala simptomatis ini ditemukan apabila kadar Hb < 7 g/dl.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan anemis pada konjutiva dan jaringan bawah kuku.

Tabel 6. Kriteria anemia menurut WHO ( Hoffbrand AV, 2001) :

Kelompok Kriteria anemia ( Hb)

Laki-laki dewasa < 13 g/dl

Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl

Wanita dewasa hamil < 11 g/dl

2. Penentuan defisiensi besi sebagai penyebab anemia

Manifestasi klinis yang khas untuk anemia defisiensi besi adalah ;

Atrofi papil lidah ; permukaan lidah licin, mengkilap karena papil lidah hilang

Stomatitis angularis ; radang pada sudut mulut

Disfagia akibat kerusakan epitel hipofaring

Koilonichya ; kuku sendok ( spoon nail ), kuku rapuh, bergaris-garis vertical dan

menjadi cekung sehingga mirip sendok

Atrofi mukosa gaster

Pica ; makan yang tidak lazim seperti tanah liat, es, lem dll

Secara laboratorium, untuk menegakan diagnosis defisiensi besi ( modifikasi kriteri Kerlin,

et al ) yaitu :

Page 26: A3

Anemia hipokrom mikrositik pada apusan darah tepi , atau MCV < 80 fl, dan MCHC <

31 % dengan salah satu dari criteria berikut :

2 dari 3 parameter berikut :

Besi serum < 50 mg/dl

TIBC > 350 mg/dl

Saturasi transferin < 15 %

Feritin serum < 20 mg/l

Pengecatan besi sumsum tulang negative

Pemberian SF 3 x 200 mg/hari selama 4 minggu dapat meningkatkan kadar Hb > 2

gr.dl

3. Penentuan penyebab dasar timbulnya anemia defisiensi besi

Gejala klinis tergantung pada penyeakit dasar yang menyertai. Pada anemia yang

disebabkan oleh penyakit cacing tambang, ditemukan dyspepsia, parotis membengkak, dan

kulit telapak tangan kuning seperti jerami. Apada anemia akibat perdarahan kronik akibat

kanker kolon akan ditemukan keluhan BAB .

Apabila dicurigai penyakit cacing tambang, dilakukan pemeriksaan feses untuk

mencari telur cacing. Pada kecurigaan perdarahn sementara tidak ditemukan perdarahan

nyata, maka dapat dilakukan tes darah samar ( occult blood test ) pada feses, dapat juga

dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah jika ada indikasi.

Terapi

1. Memberikan diet kaya kalori, protein dan zat besi

2. Memberikan preparat besi

Preparat besi oral:

- sulfas ferrosus 4 x 1 tab

- Ferrous fumarat 4 x 1 tab dan ferrous glukonat 3 x 1

Pemberian preparat besi ini dilanjutkan 4-6 bulan sesudah hb normal. Obat ini

aman digunakan, hanya kadang-kadang dapat memberikan efek samping berupa nyeri

epigastrium, konstipasi dan diare.

Pemberian preparat besi parentaral

Hanya dianjurkan pada penderita yang mengalami intoleransi gastrointestinalberupa

mual muntah. Preparat besi parenteral yang lazim digunakan adalah interferon, jectofer,

venofer.

Page 27: A3

3. Mengatasi penyebabnya.

ERITROPOIESIS

Pembentukan eritrosit (eritropoiesis) merupakan suatu mekanisme umpan balik. Ia dihambat

oleh peningkatan kadar eritrosir bersirkulasi dan dirangsang oleh anemia. Ia juga dirangsang oleh

hipoksia dan peningkan aklimatisasi ke tempat tinggi. Eritropoiesis dikendalikan oleh suatu hormon

glikoprotein bersirkulasi yang dinamai eritropoietin yang terutama disekresikan oleh ginjal.

Setiap orang memproduksi sekitar 1012 eritrosit baru tiap hari melalui proses eritropoiesis

yang kompleks dan teratur dengan baik. Eritropoiesis berjalan dari sel induk menjadi prekursor

eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di sumsum tulang, yaitu pronormoblas. Pronormoblas

adalah sel besar dengan sitoplasma biru tua, dengan inti ditengah dan nucleoli, serta kromatin yang

sedikit menggumpal. Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas yang

makin kecil melalui sejumlah pembelahan sel. Normoblas ini juga mengandung sejunlah

hemoglobin yang makin banyak (yang berwarna merah muda) dalam sitoplasma, warna sitoplasma

makin biru pucat sejalan dengan hilangnya RNA dan apparatus yang mensintesis protein,

sedangkan kromatin inti menjadi makin padat. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblas lanjut

didalam sumsum tulang dan menghasilkan stadium retikulosit yang masih mengandung sedikit

RNA ribosom dan masih mampu mensintesis hemoglobin.

Sel ini sedikit lebih besar daripada eritrosit matur, berada selama 1-2 hari dalam sumsum

tulang dan juga beredar di darah tepi selama 1-2 hari sebelum menjadi matur, terutama berada di

limpa, saat RNA hilang seluruhnya. Eritrosit matur berwarna merah muda seluruhnya, adlah cakram

bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel darah merah

berinti (normoblas) tampak dalam darah apabila eritropoiesis terjadi diluar sumsum tulang

(eritropoiesis ekstramedular) dan juga terdapat pada beberapa penyakit sumsum tulang. Normoblas

tidak ditemukan dalam darah tepi manusia yang normal.

Seri erithrocytic

• Proerythroblast/ Pronormoblast/ Rubriblast:

sel ini sulit dibedakan dengan sel blast seri lain.

diameter: 15 – 20 micron

nukleus: ukuran besar (hampir memenuhi sebagian besar sel), kromatin berhialin halus,

nucleoli terlihat; sitoplasma: berwarna biru tua atau basofilik.

• Basophilic erythroblast/ prorubricyte:

sulit dibedakan dengan proerythroblast

diameter 10-12 micron

Page 28: A3

nukleus: ukuran < nucleus pronormoblast, kromatin lebiH padat, nukleoli tidak terlihat,

membran nukleus lebih tebal,

sitoplasma: berwarna biru laut

• Polychromatophilic erythroblast/Rubricyte:

diameter: 8 – 12 mikron

nukleus: bulat, lebih kecil, kromatin lebih padat & kasar,

sitoplasma: berwarna kebiruan, mulai tampak bintik – bintik merah dalam sitoplasma karena

terbentuknya Hb.

• Orthochromatophilic/ erythroblast/Metarubricyte:

diameter: 8 - 10 mikron

nukleus: makin kecil dan piknotik;

sitoplasma: mulai berwarna kemerah-merahan

• Reticulocyte:

diameter: 8 – 9.5 mikron

nukleus: tidak ada;

sitoplasma: asidofilik

• Erythrocyte:

diameter: 6 – 8 mikron

eritrosit matur tanpa nukleus; bentuk bikonkaf

sitoplasma: berwarna merah muda karena ribosom yang berkurang dan adanya sejumlah

besar protein seperti hemoglobin

Membran Eritrosit

Membran eritrosit terdiri atas lipid dua lapis (lipid bilayer), protein membran integral, dan

suatu rangka membrane. Sekitar 50% membran adalah protein, 40% lemak, dan 10 % karbohidrat.

Karbohidrat hanya terdapat pada permukaan luar sedangkan protein dapat diperifer atau integral,

menembus lipid dua lapis.

HEMOGLOBIN

Pigmen merah pembawa oksigen didalam eritrosit vertebrata merupakan hemoglobin, suatu

protein dengan berat molekul 64.450. Hemoglobin suatu molekul globin yang dibentuk 4 subunit.

Tiap subunit mengandung suatu gugus hem yang dikonjugasi ke suatu poplipeptida. Hem

merupakan turunan porfirin yang mengandung besi. Polipeptida dinamai secara bersama-sama

sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin. Ada 2 pasangan polipeptida dalam tiap molekul

hemoglobin, 2 subunit mengandung satu jenis polipeptida dan 2 mengandung lainnya. Pada

hemoglobin manusia dewasa normal (hemoglobin A), 2 jenis polipeptida dinamai rantai α, masing-

Page 29: A3

masingnya mengandung 141 gugusan asam amino dan rantai β, yang masing-masingnya

mengandung 146 gugusan asam amino. Sehingga hemoglobin A dinamai α2β2. Tidak semua

hemoglobin dalam darah dewasa normal merupakan hemoglobin A. sekitar 2,5% hemoglobin

merupakan hemoglobin A2, tempat rantai β digantikan oleh δ (α2δ2). Rantai δ juga mengandung

146 gugusan asam amino, tetapi 10 gugusan tersendiri berbeda dari yang dalam rantai β.

Ada sejumlah kecil dari rantai 3 turunan hemoglobin A yang berhubungan erat dengan

hemoglobin A yang diglikolisasi. Salah satu dari ini, hemoglobin A1c (HbA1c), mempunyai suatu

glukosa yang dilekatkan ke valin terminal dalam tiap rantai β dan mempunyai minat khusus karena

jumlah dalam darah meningkat didalam diabetes mellitus terkontrol buruk.

Hemoglobin mengikat O2 untuk membentuk oksihemoglobin, O2 yang melekat ke Fe2+

didalam hem. Afinitas hemoglobin bagi O2 dipengaruhi oleh pH, suhu, dan dan konsentrasi 2,3-

difosfogliserat (2,3-DPG). 2,3-DPG dan H+ bersaing denganO2 dalam pengikatan ke hemoglobin di

deoksigenasi, yang menurunkan afinitas hemoglobin bagi O2 dengan memindahkan posisi 4 rantai

polipeptida (struktur kuatener).

Bila darah terpapar ke berbagai obat dan zat pengoksidasi lain in vitro atau in vivo, maka

besi fero (Fe2+) dalam molekul diubah ke ion feri (Fe3+), yang membentuk methemoglobin.

Methemoglobin berwarna gelap dan bila ia ada didalam jumlah besar didalam sirkulasi, maka ia

akan menyebabkan pewarnaan kulit berwarna kehitaman yang menyerupai sianosis. Normalnya

timbul sejumlah oksidasi hemoglobin ke methemoglobin, tetapi system enzim didalam eritrosit,

system NADH-methemoglobin reduktase, mengubah methemoglobin kembali ke hemoglobin.

Gambar 6.. Hemoglobin dewasa normal. (Haematology at a Glance, oleh Victor

Hoffbrand, edisi ke-2, London 2005, hal 10)

Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk karbonmonoksi hemoglobim

(karboksihemoglobin). Afinitas hemoglobin bagi O2 jauh lebih rendah dibandingkan afinitasnya

bagi karbon monoksida, yang akibatnya menggeser O2 dari hemoglobin, yang mengurangi

kapasitas darah membawa oksigen.

Page 30: A3

Sintesis Hemoglobin

Kandungan hemoglobin normal rata-rata 16 g/dl pada pria dan 14 g/dl pada wanita, yang

semuanya terdapat dalam eritrosit. Didalam badan pria 70 kg ada sekitar 900 g hemoglobin serta 0,3

g hemoglobin dirusak dan 0,3 g disintesis setiap jam. Bagian hem dari molekul hemoglobin

disintesis dari glisin dan suksinil-KoA.

Katabolisme Hemoglobin

Bila eritrosit tua dirusak di dalam system retikuloendotel, maka bagian globin molekul

hemoglobin dipecah dan hem diubah ke biliverdin. Pada manusia, kebanyakan biliverdin diubah ke

bilirubin dan diekskresikan ke dalam empedu. Besi dari hem digunakan kembali untuk sintesis

hemoglobin; jika darah hilang dari badan dan defisiensi besi tidak dikoreksi, maka timbul anemia

defisiensi besi.

Gambar 7. Struktur 3-dimensi hemoglobin

Patofisiologi anemia mikrositik hipokrom

Tergantung dari penyebabnya

1) Anemia defisiensi besi terjadi dalam 3 tahap

Tahap 1 (tahap prelaten), dimana yang terjadi penurunan hanya kadar feritin (simpanan besi)

Tahap 2 (tahap laten), dimana feritin dan saturasi transferin turun (tetapi Hb masih normal)

Tahap 3 (tahap def. besi), dimana feritin, saturasi transferin dan Hb turun (eritrosit menjadi

mikrositik hipokrom)

2) Anemia pada penyakit kronis

Anemia ini biasanya bersifat sekunder, dalam arti ada penyakit primer yang mendasarinya.

Perbedaan anemia ini dengan anemia defisiensi besi tampak pada feritin yang tinggi dan

TIBC yang rendah

Page 31: A3

3) Anemia sideroblastik

Terjadi karena adanya gangguan pada rantai protoporfirin. Menyebabkan besi yang ada di

sumsum tulang meningkat sehingga besi masuk ke dalam eritrosit yang baru terbentuk dan

menumpuk pada mitokondria perinukleus.

4) Thalasemia

Terjadi karena gangguan pada rantai globin. Thalasemia dapat terjadi karena sintesis hb yang

abnormal dan juga karena berkurangnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta yang normal.

METABOLISME BESI

Besi dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 bagian yaitu:

1. Besi fungsional yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari

hemoglobin, mioglobin dan berbagai jenis enzim.

2. Besi transportasi yaitu transferin, besi yang berikatan dengan protein tertentu untuk

mengangkut besi dari satu bagian ke bagian lainnya.

3. Bagian ketiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin, senyawa besi ini

dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang. Untuk dapat berfungsi bagi tubuh manusia,

besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan feritin yang berperan sebagai

penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron regulatory proteins (IRPs) untuk

mengatur suplai besi.

Transferin merupakan protein pembawa yang mengangkut besi plasma dan cairan

ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Hoffman, 2000). Reseptor transferin adalah suatu

glycoprotein yang terletak pada membran sel, berperan mengikat transferin-besi komplek dan

selanjutnya diinternalisasi ke dalam vesikel untuk melepaskan besi ke intraseluler. Kompleks

transferin-reseptor transferin selanjutnya kembali ke dinding sel, dan apotransferin dibebaskan ke

dalam plasma. Feritin sebagai protein penyimpan besi yang bersifat nontoksik akan dimobilisasi

saat dibutuhkan. Iron regulatory proteins (IRP-1 dan IRP-2 yang dikenal sebagai iron responsive

element-binding proteins [IRE-BPs], iron regulatory factors [IRFs], ferritin-repressor proteins

[FRPs] dan p90) merupakan messenger ribonucleic acid (mRNA) yang mengkoordinasikan ekspresi

intraseluler dari reseptor transferin, feritin dan protein penting lainnya yang berperan dalam

metabolisme besi

Besi adalah trace element yang paling banyak terdapat di tubuh. Sekitar 65% dari 4000 mg

besi yang terdapat di dalam tubuh (60 mg/kg pada laki-laki dan 50 mg/kg pada perempuan) terikat

ke heme. Diperlukan satu miligram besi untuk setiap mililiter sel darah merah yang diproduksi.

Setiap hari, 20 sampai 25 mg besi diperlukan untuk eritropoiesis; sebanyak 95% didaur ulang dari

besi yang berasal dari perputaran eritrosit dan katabolisme hemoglobin. Hanya 1 mg/hari yang baru

Page 32: A3

diserap untuk mengimbangi pengeluaran besi melalui feses dan urine. Besi tubuh lainnya, yang

merupakan sepertiga dari besi total tubuh, tersimpan dalam hati, limpa, dan sumsum tulang, atau

terangkut dalam mioglobin dan koenzim protein pengangkut elektron sitokrom. Besi simpanan

terdapat dalam bentuk hemosiderin atau ferritin.

Penyerapan Besi

Penyerapan besi diatur oleh usus, yang mengizinkan penyerapan besi secukupnya untuk

mengganti kehilangan tanpa menyebabkan penyerapan berlebihan. Asupan besi dari makanan setiap

hari adalah 10 sampai 20 mg/hari. Jumlah besi yang diserap dari makanan sangat bervariasi,

bergantung pada beberapa faktor termasuk jumlah dan jenis besi yang dimakan, keasaman lambung,

aktivitas sumsum tulang, dan keadaan simpanan besi dalam tubuh. Walaupun seluruh usus halus

memiliki kemampuan menyerap besi, penyerapan maksimum terjadi di duodenum dan jejunum

bagian atas, karena adanya pH optimum. Pada keadaan defisiensi besi yang parah, tubuh dapat

meningkatkan penyerapan sampai 30% dari asupan makanan untuk mengompensasi kekurangan.

Besi elemental bersifat aktif secara biologis dalam bentuk fero (Fe2+) dan ferri (Fe3+).

Secara umum, pH asam atau rendah mendorong bentuk fero dan penyerapan besi, sedangkan pH

netral atau basa meningkatkan bentuk feri dan menurunkan penyerapan.

Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin

Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:

a) Fase Luminal

Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi

heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-

heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam

makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh asam

lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap

di duodenum.

b) Fase Mukosal

Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal.

Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme

dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel

absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi

fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like

(DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1). Setelah

besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui

basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh

Page 33: A3

enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh

apotransferin dalam kapiler usus.

Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk

kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1.

Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus (Zulaicha,

2009).

Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh

“set point” yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta (Gambar 2.3). Kemudian pada

saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi sel absorptif. Adapun

mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik, regulator

simpanan, dan regulator eritropoetik.

c) Fase Korporeal

Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian

dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat

maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan

reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel

normoblas.

Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin

(clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu

pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin.

Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan

apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat

dipergunakan kembali.

Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan sebagian

masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk pembentukan heme.

Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan

hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal fero menjadi chelating

kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu

kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya (Murray,

2003).

Pengangkutan dan penyimpanan besi

Besi diangkut dari sel mukosa usus ke dalam darah, kemudian berikatan dengan protein

pengangkut besi spesifik, transferin, suatu beta-globulin plasma. Kapasitas transferin mengikat besi

pada plasma normal adalah 240-360 mg/dL. Transferin melekat ke reseptor di membran eritrosit

yang sedang tumbuh dan membebaskan besi ke dalam eritrosit untuk digabungkan ke hem di dalam

Page 34: A3

mitokondria. Sekitar 10-20% besi tubuh total disimpan sebagai ferritin, suatu molekul bulat yang

terdiri dari sebuah selubung apoferritin dan inti bagian dalam ferioksihidroksida (membentuk 0,3-

1,0 g). Apabila besi diserap di tengah kelebihan simpanan ferritin, besi tersebut diendapkan di

membran lisosom sebagai suatu kompleks pseudokristalin. Besi amorf ini disebut sebagai

hemosiderin.

Siklus besi dalam tubuh

Besi yang diserap usus tiap hari berkisar 1-2mg dan diekskresikan dalam jumlah yang sama

melalui eksfoliasi sel. Besi dari usus berikatan dengan transferin akan bergabung dengan besi yang

dimobilisasi oleh makrofag dalam sumsum tulang (22 mg) sehingga terdapat kombinasi 24 mg besi

per hari dimana 17 mg digunakan untuk membentuk eritrosit secara efektif sedangkan sisanya 7 mg

dikembalikan lagi ke makrofag untuk eritropoiesis inefektif (hemolisis intramedular). Besi dalam

eritrosit yang sudah tua dikembalikan ke makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg sehingga

terbentuk 24 mg lagi di dalam sumsum tulang, 1-2 mg akan diekskresi sehingga sisa 22 mg yang

akan bergabung dengan 1-2 mg besi dalam transferin.

Gangguan Metabolisme Besi

Anemia diakibatkan oleh karena berkurangnya penyediaan besi atau gangguan utilisasi

besi dalam susmsum tulang. Anemia hipokromik mikrositer dengan gangguan metabolisme besi

merupakan penyebab anemia paling sering dijumpai baik dalam praktek klinik maupun di lapangan

(Bakta, 2000). Salah satu anemia yang termasuk dalam anemia ini adalah anemia defisiensi besi.

Patogenesis anemia defisiensi besi diawali dengan adanya perdarahan menahun. Perdarahan

menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan kosong

maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka

penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit

tetapi anemia secara klinis belum terjadi atau sering disebut iron deficient erythropoiesis.

Selanjutnya muncul anemia hipokromik mikrositer yang disebut iron deficiency anemia (Bakta,

2000).

Page 35: A3

DAFTAR PUSTAKA

Gandosoebrata, R. 1984. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat.

Guyton, Arthur C., &Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (11th ed). Jakarta:

EGC.

Mitchell, Richard N, dkk. 2006. Patologis Penyakit Robbins dan Cotran Edisi 7. Jakarta:

EGC.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakti, Edisi 6,

Volume 2. Jakarta: EGC.

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Edisi 6. Jakarta: EGC.

Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta :

Internal Publishing.

Swartz, Mark H. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC.