A. LATAR BELAKANG -...

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law discourse) hingga kini tetap menjadi sorotan khusus banyak kalangan. Karena fiqih adalah bagian yang tidak terpisahkan dari umat Islam. Segala gerak gerik umat Islam baik yang sifatnya Muammalah, Ibadah (baik itu mahdoh ataupun ghairu mahdah) bermuara pada fiqih Perhatian terhadap fiqih semakin besar ketika problem sosial-politik- budaya yang dihadapi umat Islam sekarang tidak terselesaikan. Maka muncul harapan dari umat bagaimana agama (baca: fiqih) bisa memberikan kontribusinya bagi problem kemanusiaan? persoalannya siapkah fiqih menjawab persoalan yang ada pada problem kemanusiaan? Sementara satu sisi, teks agama yang dijadikan landasan berpijak pengambilan hukum Islam juga masih menjadi ajang perburuan makna. Kenapa demikian? Karena pada dasarnya kita mencoba menafsirkan ‘teks’ yang turun pada abad ketujuh selama kurang lebih 20 tahun dan berusaha untuk mencari “apa yang dimaui oleh Tuhan” (maqasid al syar’i) dari teks tersebut agar tetap kontekstual dan tidak lekang oleh jaman. Tidak heran kemudian karena terlalu banyaknya penafsiran terhadap teks, seolah teks berdiri sendiri dan tafsir berada di wilayah lain.

Transcript of A. LATAR BELAKANG -...

Page 1: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Diskursus fiqih (islamic law discourse) hingga kini tetap menjadi sorotan

khusus banyak kalangan. Karena fiqih adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

umat Islam. Segala gerak gerik umat Islam baik yang sifatnya Muammalah,

Ibadah (baik itu mahdoh ataupun ghairu mahdah) bermuara pada fiqih

Perhatian terhadap fiqih semakin besar ketika problem sosial-politik-

budaya yang dihadapi umat Islam sekarang tidak terselesaikan. Maka muncul

harapan dari umat bagaimana agama (baca: fiqih) bisa memberikan

kontribusinya bagi problem kemanusiaan? persoalannya siapkah fiqih menjawab

persoalan yang ada pada problem kemanusiaan?

Sementara satu sisi, teks agama yang dijadikan landasan berpijak

pengambilan hukum Islam juga masih menjadi ajang perburuan makna. Kenapa

demikian? Karena pada dasarnya kita mencoba menafsirkan ‘teks’ yang turun

pada abad ketujuh selama kurang lebih 20 tahun dan berusaha untuk mencari

“apa yang dimaui oleh Tuhan” (maqasid al syar’i) dari teks tersebut agar tetap

kontekstual dan tidak lekang oleh jaman. Tidak heran kemudian karena terlalu

banyaknya penafsiran terhadap teks, seolah teks berdiri sendiri dan tafsir berada

di wilayah lain.

Page 2: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

2

Upaya untuk mengkontekskan teks (al Qur’an) dan menjadikannya tidak

sekadar “produk budaya” (al mantaj al saqafi - meminjam istilah Nasr Hamid

Abu Zaid ) adalah bukan hal yang mudah. Karena, harus diakui bahwa al Qur’an

lahir dalam struktur budaya Arab dan ditulis berpijak pada aturan-aturan budaya

tersebut, sehingga kajian dan penelusuran tentang dunia Arab menjadi niscaya

bagi kita.

Nah ini yang penting diketahui, bagaimana teks Qur’an sedemikian

akomodatif dan menyesuaikan dengan realitas yang dihadapi saat itu, ini yang

kemudian disebut asbab al nuzul. Oleh karenanya pemahaman terhadap asbab

al nuzul untuk mengetahui makna teks yang sesungguhnya menjadi niscaya

adanya.

Graham (1980, hal.20) sebagaimana dikutip Farid Essack mengatakan

seandainya kejadian dunia menyebabkan turunnya wahyu, maka harus kita

yakini bahwa pewahyuan bukan lagi “sesuatu yang diluar dunia”1. Agamawan

muslim, al Maududi (w.1979) juga berpendapat ‘kandungan al Qur’an secara

universal terkait erat dengan cita rasa dan temperamen, lingkungan, sejarah,

serta adat kebiasaan Arab. Sedangkan Syah Waliyullah Dehlawi, pemikir

tradisionalis (w.1762) mengatakan bahwa “Tuhan tidak berbicara pada suatu

ruang hampa dan tidak mengirim pesan yang dibentuk dalam kehampaan”.

1 Untuk lebih jelas lihat: Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan

yang Tertindas, terj. Watung Budiman, Bandung: Mizan, 2000.

Page 3: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

3

Lepas dari posisi teks Qur’an yang menyesuaikan seting sosial dan

temperamen Arab, sisi lain al Qur’an diyakini sebagai “shalih likulli zaman wa

makan” (tidak rentan oleh masa dan waktu), sebagai petunjuk (hudan)2 bukan

sekadar “qonun” atau “dustur” yang rentan oleh jaman.

Sejak masa klasik, sebetulnya aspek ini sudah disadari bahwa teks agama

tidak muncul di ruang kosong. Ada proses-proses sosial tertentu yang berperan

dalam melahirkan sebuah teks. Sayang, dalam tafsir konservatif asbab al-nuzul

ini masih cenderung dipahami secara literal. Wajar, karena kerangka nalar yang

berkembang saat itu adalah kerangka ortodok3. Sehingga pada akhirnya muncul

ortodoksi terhadap teks al-Qur’an4. Sekalipun, ortodoksi tidak muncul begitu

saja ada proses yang melatarbelakanginya, sehingga pemahaman tentang sejarah

kemunculan teks menjadi mutlak adanya.

Berkenaan dengan sejarah kemunculan teks ini, ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan dalam proses penafsiran: satu, naqd al tarikh, melakukan

2 Penjelasan bahwa al Qur’an sebagai hudan (petunjuk) sudah disitir dalam Qur’an surat al

Baqarah: 175. Lihat Qur’an dan terjemahnya, Bandung: CV Dipenogoro, 2000, hal 20 3 Dalam satu pengertian ortodok adalah berpegang teguh pada peraturan dan ajaran resmi,

kolot atau kuno, dalam pandangan agama misalnya. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, edisi ketiga.

4 Ortodoksi teks Qur’an muncul seiring dengan munculnya madzhab pemikiran tafsir al Qur’an. Pada medio awal terdapat dua arus besar pemikiran utama yang mewarnai pemikiran tafsir al Qur’an. Pertama, Mu’tazilah dan yang kedua Sunni. Karakter pemikiran Mu’tazilah cenderung rasional dan dekonstruktif sementara pigmen pemikiran Sunni lebih pada semangat ortodoksi. Bagi kalangan Sunni, tidak seluruhnya teks-teks dalam al Qur’an dapat ditelusuri oleh logika tubuh dan nalar manusia. Yang agak khas dari pemikiran ini adalah bahwa tafsir teks berada pada titik kebahasaan an sich, implikasinya adalah model penafsiran yang semakin harafiah, karena asumsinya makin harafiah kita memahami sabda Tuhan, semakin dekat kita pada kehendaknya. Sebaliknya semakin jauh kita dari ketentuan leksikal gramatikal maka semakin jauh kita dari kehendak dan maksud Tuhan. Pada posisi ini, realitas sering diabaikan oleh mufasir jenis ini. (baca juga tulisan Abd Moqsit Ghozali dalam makalahnya, Al Qur’an Teks yang Mendayung dalam Sejarah, di sampaikan 20 Mei 2003 di Jakarta)

Page 4: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

4

kritik sejarah terhadap situasi historis yang melingkupi lahirnya sebuah teks.

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk melakukan kritik sejarah, diantaranya

adalah menerapkan prinsip-prinsip ilmu sejarah. Dua, tahlil al ijtimaiy, perlu

dilakukan analisis sosial, baik yang berkait dengan situasi saat teks lahir maupun

situasi sosial yang dihadapi. Tiga, naqd al muhtawa, kritik isi, melakukan kritik

atas muatan makna yang ada dalam teks. Kritik isi ini bisa dilakukan dengan

menggunakan instrumen kritik wacana guna melihat wacana apa yang

sebenarnya sedang bekerja dalam teks itu.

Selain sejarah kemunculan teks, mafhum al nash, atau disebut juga

pendekatan hermeneutika adalah hal yang mutlak untuk diketahui. Ada banyak

pendapat tentang Hermeneutik. Rudalf Bultmann memaknai hermeneutika

sebagai upaya menjembatani jurang antara “masa lalu” dan “masa kini”5. Oleh

karenanya perlu diperhatikan beberapa qaidah atau aspek. Diantaranya adalah

aspek bahasa (lughah). Pemahaman aspek kebahasaan yang ada dalam teks

dapat didekati secara hermeneutik yang merupakan disiplin yang memusatkan

kajian pada upaya memahami teks, terutama teks kitab suci yang datang dari

kurun waktu, tempat, dan situasi sosial berbeda, bahkan asing bagi pembacanya.

Dalam kaitan ini paling tidak ada tiga elemen pokok hermeneutik, yaitu

pengarang (Tuhan), teks, serta pembaca yang masing-masing memiliki dunianya

5 Bersama Martin Heidegger, Jurgen Habermas dkk, Rudolf Bulman secara panjang lebar

berbicara tentang Hermeneutika. Lihat Rudolf Bultman Dkk dalam Hermeneutika Transendental; Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies (judul terj) editor Nafisul Atho – Arif Fahrudin, Yogyakarta: IRCiSod, 2003

Page 5: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

5

sendiri, sehingga masing-masing seharusnya berhubungan secara dinamis,

dialogis, dan terbuka. Karena itu, makna teks tidak pernah tertutup dan selesai,

tetapi senantiasa terbuka.

Diantara tokoh yang melakukan upaya kontekstualisasi terhadap teks al-

Qur’an adalah Zamakhsyari dengan tafsirnya al Kassyaf dan Fakhruddin al Razy

dengan tafsir al Kabirnya. Zamakhsyari yang dilahirkan di Jurjaniyya,

Khawarizmi (1075), adalah salah seorang penganut aliran Mu’tazilah, dan

seorang filolog. Dalam Tafsirnya al Kassyaf tersebut, Zamaksyari mencoba

untuk mengangkat tema dan isu kontemporer yang berkembang saat itu sesuai

dengan ruang dan waktu. Itupun sudah barang tentu tidak akan lepas dari

paradigmanya sebagai kaum rasionalis Mu’tazilah. Sehingga beberapa

kesimpulannya akan selalu mengacu pada kemampuan akal manusia dalam

segala argumen yang diberikan.

Walhasil, dalam penafsirannya Zamaksyari selalu mengarah kepada

penguatan keimanan Mu’tazilah sebagai aliran teologi yang diyakininya. Hal itu

bisa dilihat dari beberapa penafsirannya, misalnya ia berpandangan bahwa

manusia dengan kemampuan rasionalitasnya mampu melakukan olah budi pikir

(nadr) dengan bukti-bukti yang telah tersedia (adilla) tentang eksistensi Tuhan.

Tafsir al Kassyaf juga banyak mengupas tentang sejarah yang ada dalam al-

Qur’an, tanpa melupakan nilai-nilai sastra yang terkandung didalamnya, hal ini

sebagaimana disunting oleh Muhammad Ahmad Khalafullah dalam karyanya al

Page 6: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

6

Fann al Qashasi Fi al-Qur’anil Karim6. Zamaksyari menjelaskan “Jika kamu

katakan bahwa kaum Yahudi itu mengingkari kerasulan Isa, serta membenci dan

malah berusaha keras membunuhnya. Mereka juga menuduh Isa seperti tukang

sihir, anak jadah dan tuduhan-tuduhan keji lainnya, maka bagaimana mungkin

mereka akan mengatakan “Sesungguhnya kami telah membunuh isa al Masih,

Isa putra Maryam, Rasulullah. (QS. 4:157). Menurut Zamaksyari pernyataan ini

dilontarkan oleh orang Yahudi sebagai pelecehan dan penghinaan sebagaimana

ejekan yang dilontarkan oleh Fir’aun, ia mengatakan “Bahwa rasul yang kamu

(Allah) utus kepada kami, sebenarnya mereka gila”.

Berbeda dengan Zamakhsyari adalah al Razy. Ia adalah seorang pemuka

al Asyariyyah, Filosof dan ahli retorika. Ia dilahirkan di Rayy 1149, dalam

penafsirannya al Razy selalu berusaha untuk mengkomparasikan berbagai

pendapat, sebelum akhirnya ia mengeksekusi pandangan finalnya. Al Razy tidak

sendiri dalam penafsirannya ia sering memunculkan nama-nama seperti al

Jubba’i, Ibnu Umar, serta al Qadli Abdul Jabbar. Dalam tafsirnya, al Razi

banyak memberikan pembelaan terhadap al-Qur’an. Itu bisa dilihat dari

beberapa bagian yang terdapat dalam al Kabir.

Muhammad Abduh (1649-1905) dengan al Manarnya juga banyak

memberikan dukungan terhadap pendapat-pendapat al Razy. Sekalipun

6 Beberapa kisah dalam al Qur’an dijelentrehkan oleh Muhammad Ahmad Khalafullah

dengan dimensi sasteranya sehingga perspektifnya berbeda dari kebanyakan tafsir dan mufasir al Qur’an lihat Ahmad Khalafullah, Muhammad, al Fann al Qashashi fi al-Qur’an al Karim, terj. Zuhairi Misrawi {Jakarta: Paramadina, 2002})

Page 7: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

7

Muhammad Abduh dianggap sebagai neo-Mu’tazilah, akan tetapi beda dengan

Mu’tazilah ala Zamakhsyari, karena isu yang dibawapun berbeda, itupun tidak

lepas dari situasi, peradaban, tradisi, kebiasaan, yang berbeda dari keduanya.

Tidak heran kalau “ide-idenya” pun berbeda. Hanya saja ada titik persamaannya

yakni, sikap anti irasionalnya, termasuk upaya demitologisasi. Artinya,

keduanya mencoba untuk selalu merasionalisasikan sesuatu yang tampak kurang

rasional.

Demitologi yang dimaksud oleh Abduh adalah sikap anti israiliyyat,

cerita-cerita israiliyyat yang berbau mitos dianggapnya tidak rasional, dan

menurutnya tugas rasionalisasi tafsir adalah menjelaskan narasi al-Qur’an dalam

bentuk lain. Abduh berpandangan bahwa israiliyyat hanyalah produk tafsir

klasik bukan al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah kitab yang rasional tidak

akan mengetengahkan mitos dan irasional, oleh karenanya kisah-kisah para Nabi

dan personalia yang terdapat dalam al-Qur’an hanyalah mitos, karena dianggap

tidak memenuhi standar rasionalitas modern. Misalnya kisah para Nabi (Qisas al

anbiyya), al Tsa’labi (w.1035), al Kisa’i dan Katsir.

Mega proyek Abduh yang terkenal adalah “kembali kepada Qur’an dan

hadits” sempat mewacana dibelantika intelektualitas muslim saat itu. Adalah Dr

Aisyah Abdurrahman atau lebih dikenal bintu al Syati’ (1931-1998), pemikir

wanita Mesir yang mendapat pengaruh besar dari Abduh, ia menawarkan

metodologi pemaknaan al-Qur’an yang cukup monumental yakni mencoba

mengartikan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, sehingga makna yang

Page 8: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

8

digali lebih valid dan otentik sebagaimana al-Qur’an telah menyebutkan bahwa

dirinya sendiri “Yufassiru ba’duhu ba’dan”.7

Penafsiran terhadap al-Qur’an terus berkembang tidak ketinggalan al

Thabari (838-923), dalam tafsirnya juga banyak memberikan “pemaknaan baru

al-Qur’an”. Lafad mutasyabihat misalnya, at Thabari banyak mengupas tentang

pemaknaan mutasyabihat, menurutnya mutasyabihat8 berarti saling menyerupai

dalam kisah-kisah al-Qur’an ketika di ulang. Artinya, satu kisah bisa sama kata-

katanya tapi maknanya berbeda, dan kisah lain beda kata-katanya tapi

maknanya sama.

Setidaknya, beberapa penafsir tadi bisa mewakili pola penafsiran awal

sekalipun masih banyak mufasir lain yang belum tercantum disini seperti al

Maraghi (1881-1945), Rasyid Ridha (1865-1935), at Thabarsi (w.1153), Sayyid

Qutb (1906-1966), Jalaluddin asy Suyuti dan Jalaluddin al Mahalli atau lebih

dikenal Imam Jalalain.

7 Beberapa metode dipakai untuk membongkar makna teks Qur’an, bintu Syati’ termasuk

Intelektual yang sering mengkritik para mufasir dengan beberapa metodenya, misalnya kritiknya terhadap Dr Mustafha Mahmud yang menafisir Qur’an dengan sangat ortodoks (beberapa kritikannya bisa dilihat dalam Gamal al Banna, Edisi Indonesia, Evolusi Tafsir, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), hal. 155 – 159. Memang, penafsiran terhadap teks untuk menguak ‘apa yang dimaui Tuhan’ (maqasid al syar’i ) tak kunjung habis, selalu menjadi perdebatan panjang dikalangan ulama tafsir. Perdebatan makna maqasid al syar’i adalah salah satu problem yang masih menjadi kontroversi dikalangan Mufassir. Tujuan Allah dalam menetapkan hukum atau maqasid al-syari’ah atau maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah atau juga al Syatibi menyebutnya sebagai maqasid min syari’ al hukm. (al-Syatibi, I:21,23 dan II:374). Al-Syatibi menyatakan: “sesungguhnya syari’at itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Tuhan dalam menegakkan kemaslahatan manusia dalam kehidupan agama dan keduniaan secara bersama-sama” (hadzihi al-syariah ……wudliat li tahqiq maqasid al-syari’ fi qiyami mashalihihim fi al-din wa al-dunya ma’an) (al-Syatibi, II:6).

8 Baca: Muhammad A Khalafullah, Al Fann al Qashashi al Qur’an al Karim, terj. Zuhairi Misarwi (Jakarta: Paramadina, 2002) Hal.34

Page 9: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

9

Dalam hal ini, proses pemaknaan dan pemahaman terhadap teks inilah

yang kemudian disebut tafsir. Dalam khazanah Islam, proses penafsiran ini telah

melahirkan berjilid-jilid kitab dengan model berbeda-beda, mulai dari tahlili

sampai maudhu'i. Ada juga yang menafsir teks dengan nalar bayani, akibat

corak nalar ini, teks yang sebenarnya merupakan simbol bahasa dan medium

guna menyampaikan sejumlah gagasan dianggap sebagai segala-galanya.

Gagasan Tuhan menjadi identik dengan teks itu sendiri, ada yang menafsiri

secara irfani (wahyu/ilham) bahkan burhani (rasional).

Berbeda dengan al-Syatibi adalah Najmuddin al-Thufi. Kalau al-Syatibi

masih tetap berpegang kepada teks keagamaan dalam rangka perumusan

maslahah, maka al-Thufi lebih mengedepankan independensi rasio. Bagi al-

Thufi, akal sehat manusia ‘sangat cukup’ untuk mengetahui dan menentukan apa

itu maslahat, dengan menafikan nash pun manusia, menurutnya, sudah bisa

membedakan yang mafsadah ataupun yang manfaat. Menurut al-Thufi maslahat

adalah ‘sesuatu’ yang berkaitan dengan hak-hak mukallaf dan dapat diketahui

dengan hukum al-adah dan hukum-hukum rasional. Bagi al-Thufi, Allah telah

memberi kita ‘kelebihan’ yakni rasio sebagai sarana untuk mengetahui ‘apa

rahasia dibelakang maslahat tersebut? Oleh karenanya menurut al-Thufi, tidak

perlu rujukan pada nash yang masih debateble tersebut.

Perdebatan tentang konsep maslahat dalam memaknai ‘kehendak

Tuhan’(maqasid al Syar’i) sebenarnya hanyalah upaya mufasir untuk

memahami sebuah teks yang ‘sakral’ dan berlaku untuk segala jaman. Akan

Page 10: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

10

tetapi memang bukan hal yang mudah karena sebagai medan kontestasi tafsir,

teks tidak turun begitu saja, sekali lagi, teks (Qur’an) turun dalam relitas Arab

dengan segala aspeknya. Oleh karenanya pendekatan terhadap teks keagamaan

tidak bisa difahami dari satu segi saja, secara tekstual atau bayani, atau dengan

menggunakan rasio semata (al Aql), atau dengan intuisi saja?. Harus ada

formulasi pendekatan dalam menggali makna dibalik teks tersebut.

Muhammad Abed al Jabiri adalah intelektual yang mengkaji formasi

nalar dalam memahami teks secara teliti dan kritis. Bagi al Jabiri, harus dicari

akar ‘tradisi’ yang menjadikan mainstream nalar mufasir itu berbeda dalam

memahami teks yang menjadi hudan bagi umat manusia itu. Sebagai seorang

‘pengkaji tradisi’ al Jabiri mencoba memetakan pembacaannya kepada kerangka

nalar dan mekanisme berfikir yang mendominasi peradaban bangsa Arab awal.

Karena bagi al Jabiri bangunan keislaman yang berkembang baik di dunia Arab

maupun seluruh dunia tidak lepas dari epistemologi nalar Arab sebagai titik

kunci untuk memasuki peradaban Arab.9

Sementara, satu sisi di dunia Arab telah terjadi epistemological breaking

(keterputusan epistemologi) dalam ranah pemikiran Islam. Keterputusan itu

terjadi antara al-Maghribiyyun (pemikir/filosuf Muslim di Wilayah Barat) dan

9 Sekalipun kalau dicermati perdebatan seputar epistemologi tidak jauh berkisar dari ranah perkembangan tradisi intelektual saat itu. Menurut al Jabiri, berdasarkan konteks geografis, khazanah pemikiran Islam dapat dibedakan menjadi dua wilayah yaitu al Masyriq (timur) dan al-maghrib (barat). Wilayah al Masyriq meliputi Persia, Mesir, Irak, Syiria, Khurasan dan beberapa wilayah lain. dari beberapa disiplin ilmu yang ada, Filsafat misalnya muncul tokoh seperti Ibnu Sina dan beberapa tokoh dari berbagai disiplin ilmu, seperti Al Ghazali, al Asy’ari, dan Asy-Syafi’i. Sedangkan wilayah al Maghrib meliputi Maroko dan Andalusia (Spanyol) tokoh yang muncul saat itu misalnya Ibnu Hazm, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun dan beberapa tokoh lain.

Page 11: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

11

al-Masyriqiyyun (wilayah Timur). Keterputusan itu sangat terasa terutama

dalam bidang hukum,10nilai filosofis hukum dan rasionalisme menjadi dua kubu

yang saling berbeda dan kadang bertentangan. Keterputusan epistemologi ini

menandai sebuah pergesaran paradigma (shift of paradigm) dalam ranah

pemikiran Islam. Dan, keterputusan epistemologi ini kalau diklasifikasikan

menjadi tiga, yaitu epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani. 11

Dari tiga epistemologi inilah menurut al Jabiri sabab musabab ikhtilaf

(perbedaan) dalam menentukan hukum (Islam). Cara pandang yang berbeda

menjadikan tafsir yang berbeda pula, bahkan menghasilkan produk hukum yang

tidak saling menunjang, sehingga proses pemaknaan terhadap teks untuk

menemukan “makna asli” tetap menjadi kontroversi berbagai kalangan.

Pada sisi ini, apa yang dilakukan al Jabiri merupakan cara baca baru

(qiraah muasyiroh) terhadap epistemologi Arab dengan pendekatan kritiknya

dalam berinteraksi dengan pemikiran Arab baik klasik maupun modern, al Jabiri

mencoba memahami analisis landasan epistemologi yang memproduksi akal

Arab tersebut. Sekalipun aspek historis dan ideologis tidak luput dari analisanya.

Yang menarik, al Jabiri coba memadukan manahij al tajdid-nya Amin al Khuli

yang menitik beratkan pada dimensi interpretasi psikis terhadap sebuah teks (al

Qur’an). Hal tersebut sangat kentara ketika kita membaca Nahnu wa al Tutats

10 Perbedaan yang sangat kentara terlihat jelas dari beberapa tulisan seperti Ibnu Hazm dan

al Syatibi dan Ibn Rusyd. 11 Bayani atau sistem pengetahuan indikasional dan irfani atau sistem pengetahuan Gnostik

adalah sistem pengetahuan yang berkembang di wilayah al Masyriq dan burhani atau sistem pengetahuan yang berkembang di wilayah barat.

Page 12: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

12

nya al Jabiri yang juga memuat ‘cerita’ bagaimana Ibnu Sina berusaha untuk

tetap berbeda bahkan berseberangan dengan para pemikir sebelumnya dan

mencoba untuk tidak terpengaruh oleh komunitasnya12

Pilihan epistemologi dan nalar Arab bagi al Jabiri sebenarnya sebuah

pilihan yang sangat sulit (al khiyar al musykil), apalagi sebelumnya

Muhammmad Arkoun lewat magnup opusnya ‘Kritik Nalar Islam’ mengawali

diskursus baik di Timur Tengah maupun di Nusantara dalam konteks wacana

Islamic Studies. Al Jabiri baru memberikan jawaban terhadap teka teki yang

selama ini mewacana di kalangan intelektual muslim dengan menerbitkan

Takwin al aql al Arabi edisi pertama tahun 1986. 13

Dalam wawancaranya dengan Jurnal al Wahdah, al Jabiri menjelaskan

bahwa pemilihan istilah nalar Arab adalah karena jangkauan kritiknya pada

tradisi pemikiran yang menggunakan bahasa Arab dan yang lahir dalam

lingkungan geografis dan kultur tertentu. Pada posisi ini ia juga menjelaskan

bahwa kritik terhadap dunia Arab tidak semata-mata kritik teologis yang

bertumpu pada persoalan ortodoksi, ketuhanan, aliran kalam maupun wahyu,

akan tetapi lebih pada kritik epistemologis. Kritik epistemologis yang dimaksud

adalah kritik yang ditujukan pada kerangka dan mekanisme berfikir yang

mendominasi kebudayaan Arab dalam babakan-babakan sejarah tertentu.

12 Lihat tulisan Muhammad Aunul Abed Syah dan Sulaiman Mapiase dalam buku Islam

Garda Depan, Bandung: Mizan, 2001, hlm 299 – 327. 13 Muhammad Abed al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LkiS, 2000. hlm

xxix

Page 13: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

13

Sebagaimana pandangan al-Jabiri bahwa Arab mengalami problem

tematik. Tema-tema yang dibahas berkisar masalah haidl, nifas, shalat, ulum al-

Qur’an, dsb. Telah usang dan tidak relevan lagi di era kontemporer. Tema-tema

seperti ini telah ada pada abad II dan III H, masa kodifikasi (‘ashr al-tadwin) .

Saat ini, menurutnya, pembaruan pemikiran Arab kontemporer, wajib

membangun era kodifikasi baru (‘ashr tadwin jadid) . Masyarakat Arab perlu

merubah tema-tema lama kepada tema-tema baru, seperti kebangkitan dan

pembaruan (al-nahdhah wa tajdid) ; otentisitas dan modernitas (al-ashalah wa

al-mu’ashirah) ; agama dan negara (al-din wa al-daulah) ; demokrasi (al-

dimuqrathiyyah) ; cita-cita komunitas, persatuan dan kerjasama; pembebasan

Palestina (tahrir Falasthin) ; membangun filsafat Arab kontemporer dst.

Perubahan tematik penting untuk membentuk wacana Arab kontemporer. Ini

yang diungkapkannya dengan al-khithab al-‘Arabi al-mu’ashir (wacana Arab

kontemporer).

Maka untuk menuju ke arah wacana Arab kontemporer, menurutnya,

harus dilakukan melalui kritik epistemologi (naqd ibistimulujiya) . Kritik

epistemologi ini harus disokong dengan 2 (dua) hal; tradisi (turats) dan

modernitas (al-mu’ashir/al-hadatsah) ¸suatu peradaban Barat. Tradisi (al-turats)

dan modernitas (al-hadatsah) menjadi sesuatu yang penting. Karena modernitas

adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini,

untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang

tradisi. Karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau

Page 14: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

14

memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian

dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat

kebudayaan “modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka

mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan pembacaan di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penyusunan karya skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri tentang konsep trilogi

nalar

2. Bagaimanakah aplikasi pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri tentang

konsep trilogi nalar dalam konteks pengembangan epistemologi hukum

Islam

C. TUJUAN PENULISAN SKRIPSI

Adapun tujuan pokok dari penulisan dan penyusunan karya skripsi ini

adalah:

a. Untuk mengetahui dan mengkaji konsep trilogi nalar Muhammad Abed al-

Jabiri

Page 15: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

15

b. Untuk mengetahui aplikasi pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri tentang

konsep trilogi nalar dalam konteks pengembangan epistemologi hukum

Islam

D. KERANGKA TEORI

Persoalan epistemologi dalam hukum Islam merupakan problem klasik

yang terus menggejala, sejak masa awal dari sekian tokoh misalnya kita

menggolongkan Ibnu Hazm, tokoh fiqih kenamaan asal Cordova sebagai tokoh

Zhahiri (literalis), sekalipun dalam satu analisa, kecenderungan literalisme Ibnu

Hazm sebetulnya karena seting ideologi kekuasaan saat itu, dimana dinasti

Umayah berseteru dengan ideologi Fathimiyah dan ideologi Abbasiyah. Lepas

dari itu, ada bangunan epistemologi yang kokoh untuk merekonstruksi dan

membangun kembali tradisi ‘teks’ atau ‘bayan’,14dengan menjadikan ‘burhani’15

sebagai landasan yang memayungi episteme trersebut. Sudah barang tentu pada

posisi ini Ibnu Hazm membuang seluruh tradisi irfan baik Syiah maupun

tasawuf.

Pada posisi ini, kita bisa menyandingkan Ibnu Hazm dengan beberapa

aliran fiqh, ilmu kalam dan filsafat yang dominan pada masanya. Karena yang

paling penting adalah bagimana literalisme Ibnu Hazm difahami dari aspek

epistemologinya, dengan demikian sisi dekonstruksi dan rekosntruksi Ibnu

14 Tradisi bayan adalah tradisi yang melandasi sistem pengetahuan Sunni, Mu’tazilah dan Asy’ari.

15 Metode penalaran aristoteles beserta segenap pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya.

Page 16: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

16

Hazm akan nyata nampak, baik kandungan reformis pemikiran maupun aspek

idelogisnya.

Karena, kalau aspek epistemologi lepas dari pemahaman kita, maka

pemikiran ini akan terkesan temporal. Berbeda dengan Ibnu Rusyd yang juga

hidup pada masa itu, saat Umayyah sebagai penguasa Andalusia mendekati

masa kematiannya, posisi pemikiran Ibnu Hazm tidaklah menemukan ruang

yang kondusif bagi pertumbuhan dan penyebarannya hingga mencapai posisi

yang dominan secara kultural.

Kalau ditelisik memang ada dua babak sejarah antara Ibnu Hazm dan

Ibnu Rusyd, sekalipun pada satu sisi, Ibnu Rusyd sebenarnya melanjutkan

‘proyek’pemikiran Ibnu Hazm, sekalipun Ibnu Rusyd mencoba melampaui Ibnu

Hazm dalam soal metodologi. Upaya ini tidak hanya menggambarkan satu

momen perkembangan yang terjadi dalam konteks pemikiran di Andalusia,

akan tetapi mencerminkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan

pemikiran Islam di Timur pada masa itu juga.

Yang jelas, eranya Ibnu Rusyd serba berbeda dengan sebelumnya saat

Ibnu Hazm memproklamirkan ideologi ‘literalismenya’. Ibnu Rusyd harus

menghadapi harmonisasi dan eklektisisme Ibnu Sina yang berkembang serta

kecenderungan terhadap Irfan (gnosis) yang menggejala. Serangan al Ghazali

terhadap filsafat menjadikan Ibnu Rusyd semakin berkeyakinan akan kandungan

filsafat Aristoteles yang harus ia jelaskan termasuk kepada pemerintah yang

berkuasa saat itu.

Page 17: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

17

Nah, pergulatan metodologi dan perang ideologi saat itu semakin kentara

setelah Ibnu Rusyd menjelaskan empat hal dalam filsafatnya.16 Pertama, Ibnu

Rusyd menjelaskan filsafat Aristoteles sehingga mudah difahami oleh khalayak

umum. Kedua, menyingkap ‘penyimpangan-penyimpangan’ Ibnu Sina dari

pokok-pokok ajaran kaum falasifah, termasuk ketidakpatuhannya terhadap

standar logika filsafat rasional (burhani). Ketiga, melancarkan serangan balik

kepada al Ghazali. Keempat, formulasi dan konseptualisasi metodologi baru

dalam mengkaji metode-metode untuk menimba hukum-hukum agama, berupa

metodologi pengambilan makna-makna zhahir (eksoteris) dari teks-teks agama

dengan tetap mempertimbangkan tujuan Syari’ah (maqasid al syar’i) sebagai

acuan utama. Yang keempat ini yang mutlak kita lakukan menuju syari’at yang

tidak lekang oleh masa dan waktu, karena dengan begitu akan ada formulasi

hukum yang cukup memadai bagi terciptanya kemaslahatan dan antroposentris.

E. TELAAH PUSTAKA

Kebanyakan karya al Jabiri masih berbahasa Arab, kecuali beberapa

yang telah diterjemahkan seperti Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi, taqwin al aql al

‘Arabi dan naqd al ‘Aql al ‘Arabi yang kesemuanya telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia. Buku taqwin al ‘Aql al ‘Arabi yang diterjemahkan

menjadi Formasi nalar Arab oleh Imam Khoiri, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2003)

16 Lihat Muhammad Abed al Jabiri, dalam beberapa tulisannya yang dikumpulkan oleh

Ahmad Baso dalam Post Tradisionalisme Islam, Yogjakarta: LKiS, 2000, hlm 137

Page 18: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

18

sedikit banyak mendeskripsikan tentang Nalar Arab, karakteristik, pembentukan

sampai pada epistemoogi klasik dan perkembangan tradisi dan kebudayaan

Arab.

Buku Nalar Filsafat dan Teologi Islam terjemahan dari karya al Jabiri Al

Kasyfu an Manahij al Adillah fi al Aqaid al Millah; an Naqdu ilmi al Kalam

Dlidllan al Tarsim al Ideologi li al Aqidah wa Difa’an al Ilmi al Khuriah al

Ikhtiar fi al Fiqri al fi’li. Referensi lain yang mendukung adalah apa yang di

tulis al Jabiri dalam beberapa artikelnya yang dikumpulkan oleh Ahmad Baso

dalam buku Post Tradisionalisme Islam (Jogjakarta: LKiS, 2000).

Buku lain karya al Jabiri adalah yang diterjemahkan oleh Drs

Mujiburrahman M.A Ad dien Wa ad Daulah Wa Tathbiq al Syari’ah I (judul

terj. Agama negara dan penerapan Syari’ah penerbit Fajar Pustaka Baru,

Jogjakarta, 2001. Buku ini setidaknya memberikan gambaran relasi Agama dan

Negara termasuk memposisikan Syari’at Islam untuk melengkapi referensi

epistemoligi awal Karya Murtadha Muthahari dalam Mengenal Epistemologi

membuka cakrawala epistemologi Islam secara umum.

Setidaknya menurut penulis ada semacam ‘buka wacana’ dalam

menentukan epistemologi Islam, baik secara pemikiran maupun Hukum. Dan ini

yang menurut penulis penting untuk dikaji.

Page 19: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

19

F. METODE PENULISAN SKRIPSI

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian

kepustakaan (library research) dengan jalan membaca, menelaah buku-buku

dan artikel yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Adapun sumber data

penelitian skripsi ini ada dua:

a. Sumber data primer, yaitu sumber data utama dan paling pokok berupa buku

dan tulisan karya Muhammad Abed al-Jabiri. Di antara buku karya

Muhammed Abid al-Jabir yang penulis jadikan rujukan utama adalah taqwin

al ‘Aql al ‘Arabi dan bunyah al ‘Aql al ‘Arabi yang sudah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Ircisod dan LKiS Jogjakarta,

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data pendukung yang berupa buku atau

artikel yang dapat mendukung penelitian skripsi ini.

Adapun metode penelitian tema ini adalah:

1. Metode deskriptif. Yaitu mendeskripsikan data-data yang penulis dapatkan

melalui sumber data primer dan sekunder tersebut. Metode ini penulis pakai

di Bab II yang membahas tentang pemahaman terhadap konsep epistemologi

hukum Islam secara umum. Metode deskriptif juga penulis pakai di Bab III

yang membahas Pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri tentang konsep

trilogi nalar

2. Metode Deskriptif-Analitik dan Komparatif-Konfirmatif. Metode Deskriptif-

Analitik penulis gunakan dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan

Page 20: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

20

memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan.17 Untuk

mempertajam analisis, metode content analysis (analisis isi) juga bisa

penulis pakai. Content analysis (analisis isi) digunakan melalui proses

mengkaji data yang diteliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan

mempunyai sumbangan teoritik.18

3. Sementara Metode Komparatif-Konfirmatif adalah membandingkan data

primer yakni pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri tentang konsep trilogy

nalar dengan pemikiran tokoh lain yang masih dalam tema trilogi secara

umum. Metode deskriptif-analitik dan metode komparatif-konfirmatif ini

akan penulis gunakan dalam BAB IV yaitu Analisis Pemikiran Muhammad

Abed al-Jabiri tentang konsep trilogi nalar dan signifikansinya dengan

pengembangan epistemologi hukum Islam.

G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI

Agar pembahasan skripsi ini mengarah dan mudah dipahami, penulis

perlu mengetengahkan dan menuangkan sistematika penulisanya yaitu sebagai

berikut :

17 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,

1992, hlm. 210 18 Phil Astrtid S. Susanto, Pendapat Umum, Bandung: Bina Cipta, cet. II, 1986, hlm. 87.

Page 21: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

21

BAB I : PENDAHULUAN.

Meliputi, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penulisan skripsi, telaah pustaka, metode Penelitian, sistematika

penulisan skripsi

BAB II. : TINJAUAN UMUM EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM

Meliputi, (a) Pengertian Hukum Islam (b). epistemologi dalam

filsafat ilmu (c) epistemologi dalam khazanah pemikiran Islam (d)

persoalan epistemologi dalam hukum Islam

BAB III. : AUTOBIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMMAD ABED

AL JABIRI

Meliputi, Biografi Muhammad Abed al Jabiri (1) Latar belakang

Sosio-kultur masa Muhammad Abed al Jabiri (2) Karya-karya

Muhammad Abed al Jabiri (3) Latar belakang pendidikan

Muhammad Abed al Jabiri (4). Pemikiran - pemikiran Muhammad

Abed al Jabiri. Konsep trilogi nalar Muhammad Abed al Jabiri

BAB IV. : APLIKASI KONSEP TRILOGI NALAR MUHAMMAD

ABED AL JABIRI

Meliputi, Problematika pengembangan hukum Islam, Aplikasi

konsep trilogi nalar Muhammad Abed al Jabiri dalam konteks

Page 22: A. LATAR BELAKANG - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diskursus fiqih (islamic law

22

pengembangan epistemologi hukum Islam, Kritik atas trilogi

Muhammad Abed al Jabiri

BAB V. : PENUTUP

Meliputi, Kesimpulan, Saran, penutup