9 MODEL KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERIKANAN … · Perilaku manusia yang diwujudkan dalam bentuk...
Transcript of 9 MODEL KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERIKANAN … · Perilaku manusia yang diwujudkan dalam bentuk...
153
9 MODEL KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERIKANAN
LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI
9.1 Pendahuluan
Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, harus
memperhatikan kesimbangan antara pemanfaatan secara ekonomi dan
pemeliharaan lingkungan perairan sebagai habitat ikan target penangkapan. Jika
tujuan utama melindungi lingkungan perairan dengan harapan melindungi dapat
mnelindungi sumberdaya, maka kegiatan ekonomi akan terhenti. Sektor
perikanan merupakan salah satu dari elemen kunci sistem perikanan tangkap,
dimana perilaku manusia memiliki peran yang penting. Perilaku manusia yang
diwujudkan dalam bentuk tindakan didorong oleh suatu motivasi atau intervensi
dari suatu aturan/kebijakan, akan memicu suatu keadaan atau perilaku terhadap
lingkungan perairan.
Banyak penelitian sudah dilakukan untuk menerapkan teori keberlanjutan
sumberdaya. Namun, pada kenyataannya dalam ukuran secara ekonomi,
keberlanjutan suatu pembangunan mempunyai arti sebagai suatu totalitas terhadap
sediaan dari sumberdaya yang digunakan dalam sistem ekonomi sangat
menentukan kesempatan ekonomi secara luas.
Ketersediaan dan karakteristik sumberdaya alam adalah dinamis, dan tidak
dapat dipungkiri bahwa secara inherent sumberdaya alam adalah dinamis. Teori
dinamis, seperti yang dikemukakan oleh Mustaruddin (2010) merupakan cara
untuk mengimplementasikan atau menyelaraskan antara pemanfaatan sumberdaya
alam secara ekonomi dan peneliharaan lingkungan perairan sebagai habitat ikan
target penangkapan. Kerusakan lingkungan bisa terjadi apabila pertumbuhan
ekonomi berjalan sangat cepat tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya.
Agar hal tersebut tidak terjadi, perlu keseimbangan antara pemanfaatan dan
pemeliharaan lingkungan sumberdaya untuk mewujudkan keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya secara lestari dan ramah lingkungan.
Perikanan tangkap merupakan sistem yang terdiri dari 3 (tiga) komponen
(Charles 2001). Sebagaimana sudah diuraikan pada bab terdahulu bahwa
keberlanjutan pembangunan perikanan ditunjukkan dalam bentuk segitiga, yang
154
didalamnya terdapat unsur Ecological sustainability, Socioeconomic
sustainability, Community sustainability.
Karakteristik yang harus mendapat perhatian dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan adalah fakta bahwa ekosistem yang ada dalam sistem wilayah
saling terkait satu sama lain. Artinya, perubahan (kerusakan) yang menimpa suatu
ekosistem perairan laut, maka pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap
ekosistem lainnya. Permasalahannya adalah bahwa dampak tersebut pada umumnya
tidak terjadi seketika, tetapi memerlukan waktu (time lag). Kenyataan ekologis
inilah yang seringkali terabaikan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan
kelautan yang terlalu berorientasi pada keuntungan jangka pendek.
Perilaku yang diperlihatkan oleh tindakan manusia dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan adalah melakukan upaya penangkapan yang didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Menurut Ostrom (1994), upaya
penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dapat dinyatakan sebagai pertimbangan
hasil biaya dan manfaat sosial ekonomi yang diperoleh. Untuk menggambarkan
perilaku tersebut serta dampak terhadap keberlanjutan, suatu model bio-ekonomi
sederhana yang menggambarkan pemanfaatan stok ikan akan digunakan untuk
menunjukkan bagaimana perilaku manusia dapat dimasukkan dalam suatu model
sistem kualitatif yang juga berkaitan dalam menganalisis kebijakan pembatasan
upaya penangkapan.
Selat Bali merupakan wilayah perairan laut yang patut mendapat
perhatian, karena perairan Selat Bali merupakan sumber kehidupan dan
penghidupan bagi masyarakat yang berada di Kabupaten Banyuwangi Provinsi
Jawa Timur dan Kabupaten Jembaran Provinsi Bali. Lemuru (Sardinella lemuru
Bleeker 1853), merupakan ikan pelagis kecil yang banyak dijumpai di Selat Bali
dan merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat. Pada
periode 2009-2010 produksi lemuru menurun, bahkan menurut penuturan nelayan
setempat, mereka tidak memperoleh hasil tangkapan sama sekali. Namun
bertolak belakang dengan data yang tertera dalam buku laporan statistik perikanan
terutama untuk Kabupaten Jembrana dimana hasil tangkapan untuk tahun 2010
tetap tinggi. Berbeda dengan Kabupaten Banyuwangi, pada akhir tahun 2010
155
hasil tangkapan nol (0). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil
tangkapan, antara lain; faktor alat tangkap yang digunakan oleh nelayan, faktor
oseanografi lingkungan perairan, dan daya dukungnya, serta faktor alam lainnya
yang tidak dapat dikontrol. faktor-faktor tersebut akan berpengaruh terhadap
keberlanjutan sumberdaya lemuru di Selat Bali yang pada akhirnya berdampak
pada kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
Model dinamis merupakan model yang diterapkan pertama kali oleh
Forester pada tahun 1954 di Amerika. Model ini mencoba untuk memahami
dunia nyata dan menuangkannya menjadi sebuah model dan dapat diselesaikan
dengan beragam metode yang ada. Langkah pertama dan paling utama yang harus
dilakukan adalah menentukan tujuan dari pemodelan yang akan dibuat, sehingga
model yang dibuat dapat digunakan sebagai wahana dalam memahami struktur
dan perilaku sumberdaya yang menjadi fokus sasaran pengelolaan. Sistem
diartikan sebagai gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan
terorganisir untuk mencapai tujuan (Manetsch dan Park 1977). Menurut
(Hannon dan Ruth 1994; Grant et al 1997; Banks et al 1999) vide (Marwa 2009),
Model merupakan abstraksi dari kenyataan sebenarnya, yang merupakan
penggambaran formal elemen-elemen esensial dari suatu masalah (Grant at el. 1997).
9.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan analisis secara dinamik
keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali berkaitan dengan upaya
penangkapan yang dilakukan oleh nelayan, (2) Melakukan simulasi model untuk
menentukan skenario terbaik yang akan dilakukan dalam keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru secara berkelanjutan dan ramah
lingkungan serta lestari.
9.3 Kebutuhan Data dan Metode Analisis Pengembangan Model
9.3.1 Kebutuhan data
Data yang dibutuhkan untuk analisis sistem dinamik pengelolaan
sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali ini
adalah data berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya lemuru (produksi, jumlah
unit alat tangkap), data berkaitan dengan sosial ekonomi (pendapatan, biaya
156
operasional dan keuntungan usaha). Parameter tersebut merupakan hasil analisis
yang sudah dilakukan pada masing-masing bab terdahulu.
9.3.2 Metode analisis pengembangan model
Prinsip simulasi sistem dinamik merupakan iterasi dengan menggunakan
umpan balik dari data sebelumnya. Data awal (t-1) merupakan data yang
sebenarnya dan digunakan sebagai masukan (input) data saat ini (t). Data saat ini
(t) merupakan keluaran (output) yang digunakan sebagai masukan data masa
depan/peramalan (t+1). Looping pada sistem bekerja secara dinamis.
Secara garis besar, variabel yang mempengaruhi kinerja sistem dinamik
terdiri dari 6 (enam) variabel (Manetsch dan Park, 1977) vide Marganof (2007),
sebagai berikut: (1) Variabel output yang dikehendaki, ini ditentukan berdasarkan
hasil analisis kebutuhan, (2) Variabel input terkontrol, yang dapat dikelola untuk
menghasilkan perilaku sistem sesuai dengan yang diharapkan, (3) Variabel output
yang tidak dikehendaki, ini merupakan hasil sampingan atau dampak yang timbul
bersama-sama dengan output yang diharapkan, (4) Variabel input tak terkontrol,
(5) Variabel input lingkungan, yaitu variabel yang berasal dari luar sistem yang
mempengaruhi sistem tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem, dan (6) Variabel
kontrol sistem, yaitu pengendali terhadap pengoperasian sistem dalam
menghasilkan output yang dikehendaki.
Analisis data, dilakukan dengan menggunakan program dinamis ditunjang
oleh peralatan komputer untuk penyelesaian perhitungan. Program dinamis dan
peralatan computer digunakan untuk melihat bagaimana hubungan dinamis antara
pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru secara bio-ekonomi dan faktor
ekologi ikan target penangkapan, tingkat pendapatan dan sosial ekonomi.
Keterkaitan faktor-faktor tersebut merupakan sebuah causal loop yang
menggambarkan kedinamisan sebuah pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru
di Selat Bali.
Model dinamis yang akan dibangun terdiri dari 2 (dua) sub-model yaitu:
(1) sub-model bioekonomi dan (2) sub-model upaya penangkapan/effort.
Selanjutnya, dalam pembangunan model yang dirumuskan harus menggunakan
beberapa batasan. Batasan ini berguna untuk menyederhanakan dan memahami
157
pengertian hubungan antar peubah dalam model yang akan membatasi
keberhasilan model. Langkah-langkah yang dilakukan dalam rancang bangun
model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru dengan pendekatan sistem
terdiri dari analisa kebutuhan, formulasi masalah dan identifikasi sistem.
Analisis kebutuhan, merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui
kebutuhan pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di
Selat Bali. Pihak nelayan menginginkan hasil tangkapannya selalu tinggi, dan
memperoleh pendapatan yang tinggi pula, pihak pemerintah daerah berharap
memperoleh PAD tinggi.
Berdasarkan analisis kebutuhan, terlihat bahwa pihak-pihak yang terlibat
memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda. Perbedaan ini akan
menimbulkan masalah dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan
lemuru. Problem formulasi masalah dalam analisis ini adalah:
1. Populasi ikan lemuru bertambah akibat adanya laju pertumbuhan,
2. Populasi ikan berkurang akibat adanya penangkapan dan kematian,
3. Kematian ikan dapat disebabkan oleh; mati secara alami, karena tangkap
berlebih dan adanya fenomena kematian ikan secara massal yang disebabkan
oleh faktor alam dan lingkungan perairan.
Agar pemecahan problem formulasi masalah dapat diselesaikan dengan baik,
maka digunakan beberapa asumsi yaitu:
1. Fokus permasalahan adalah pada pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru,
2. Penangkapan hanya dilakukan oleh kapal atau perahu sesuai dengan izin yang
dikeluarkan berdasarkan SKB dua Gubernur yaitu Provinsi Jawa Timur dan
Gubernur Bali,
3. Ikan lemuru yang ada di Selat Bali hanya bermigrasi diseputar Selat Bali,
4. Perahu/kapal purse seine yang dioperasikan oleh nelayan adalah one day
fishing.
Identifikasi sistem dilakukan untuk memberikan gambaran terhadap sistem
dalam bentuk diagram input output dan diagram lingkar sebab akibat (causal
158
Pertumbuhanalami
Stok ikan
Hasil tangkapan+
-
+
Upaya tangkap
Keuntungan
Harga ikan
Biaya melaut
daya dukunglingkungan perairan
+
-
++
Pengembanganusaha
+
+
Penerimaan
+
+
+
Manejemen
-
+
+
+
Efisiensi usaha
+
-
+
loop), terhadap parameter yang membatasi susunan sistem yang akan dibuat
(Gambar 30).
Gambar 30 Causal loop model dinamik pengelolaan perikanan lemuru di Selat
Bali
Penentuan batasan model dilakukan berdasarkan tinjauan model dasar dan
isu-isu yang diangkat yaitu berkaitan dengan daya dukung ekosistem perairan
terhadap pertumbuhan populasi ikan lemuru, sumberdaya lemuru, upaya
penangkapan, harga ikan, biaya-biaya yang dikeluarkan, serta perolehan
keuntungan terhadap usaha. Konsep model keberlanjutan pengelolaan perikanan
lemuru di Selat Bali ini, merupakan pengembangan dari model bio-ekonomi yang
disusun oleh Schaefer (1954) dan de Kok (1996). Pengembangan model
dilakukan dengan penambahan variabel yang dsesuaikan dengan karakteristik
daerah Selat Bali dan tujuan model yang akan dibangun. Konsep pemikiran
sebuah model, di dalamnya mencakup penggabungan sub-sub model ke dalam
bentuk model yang utuh. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman
tentang penentuan batasan model.
Parameter yang digunakan dalam model pengelolaan sumberdaya
perikanan lemuru di Selat Bali ini adalah:
159
Tabel 38 Parameter model dinamik pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru
No Parameter Nilai Satuan
1 Kerapatan (K) 58.245,46 ton
2 Pertumbuhan alami (r) 1,997 Per tahun
3 Kapasitas tangkap (q) 0.00396 Unit penangkapan
4 Harga ikan 3.270.000 Rp/ton
5 Biaya melaut 3.114.000 Rp/ trip
6 Konstanta keuntungan 1,5e-10 -
7 Faktor oseanografi dan klimatologi 0,435 -
Model bio-ekonomi (Schaefer), menggambarkan dinamika dari upaya
tangkap yang dilakukan oleh nelayan sehingga menghasilkan jumlah tangkap
yang diinginkan. Dinamika tersebut ditandai dengan peubah yang menentukan
dan ditentukannya. Peubah yang terlibat dalam model ini adalah jumlah hasil
tangkapan, jenis alat tangkap yang digunakan, dan pertumbuhan/perkembangan
jumlah alat tangkap. Unsur peubah tersebut secara keseluruhan berhubungan satu
sama lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tahap akhir dari analisis sistem dinamik keberlanjutan pengelolaan
perikanan lemuru di Selat Bali adalah melakukan penyusunan skenario untuk
menetapkan atau membuat usulan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan
hasil simulasi yang diperoleh. Berdasarkan skenario yang dibuat dapat diketahui
model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru yang
sesungguhnya dan menjadi bahan usulan kepada pihak-pihak yang berkompeten.
Setiap upaya tangkap akan memperoleh hasil tangkapan. Hasil tangkapan
ini biasanya dikenal dengan hasil tangkapan per upaya tangkap atau biasa juga
disebut dengan catch per unit effort (CPUE). Berdasarkan perhitungan yang
diperoleh dan sudah dibahas pada uraian terdahulu (bab 6), gambaran kondisi
biomass dan upaya tangkap maka model bio-ekonomi yang digunakan adalah
model Schaefer. Model ini terdiri dari persamaan pertumbuhan logistik untuk
biomass ikan serta model profit-driven untuk upaya penangkapan (fishing effort)
yang ditunjukkan dengan rumus :
(
) ……………………………………………..(9.1)
dimana: K = Carrying Capacity
r = Konstanta pertumbuhan logistik
160
q = Kemampuan tangkap (catchability) per upaya
tangkap.
Bt = Biomass awal
Pertumbuhan effort (
) dipengaruhi oleh effort itu sendiri (E), dan
perolehan keuntungan yang diterima (rent) serta fraksi dari rent (df), sehingga
persamaannya dapat dibuat;
( ) …………………………………………………...(9.2)
Rente ekonomi sumberdaya perikanan lemuru (π) merupakan hasil perkalian
harga ikan (p) dengan hasil tangkapan (y) dikurang biaya-biaya yang digunakan
untuk melakukan penangkapan (c), sehingga persamaannya dapat dibuat sebagai
berikut:
(( ) ( )) …………………………………………………….(9.3)
Perhitungan terhadap data hasil penelitian untuk mengetahui dan
mengestimasi biomass awal ikan lemuru digunakan rumus dari pengembangan
model Schaefer dan turunannya, sehingga diperoleh biomass awal sebesar
58.130,06 ton per tahun. Dalam proses ekologi dan kehidupan biota dalam satu
ekosistem pasti mengalami kematian secara alami, yang disebabkan oleh faktor
lingkungan dimana biota tersebut berada. Luckof et al (2005) menyatakan bahwa
secara umum laju kematian ikan secara alami adalah 30%. Menurut Merta (1992)
laju kematian lemuru secara alami bisa mencapai 1,0%, dan menurut Budiharjo et
al. (1990) vide Merta dan Nurhakim (2004) kematian lemuru bisa mencapai
2,17% pertahun.
Uji evaluasi/validasi atau keabsahan dari model yang dibuat, merupakan
kriteria penilaian terhadap obyektifitas dari suatu pekerjaan ilmiah. Uji
evaluasi/validasi dilakukan dengan cara membandingkan persamaan-persamaan
model dengan kondisi nyata, dan membandingkan dengan teori yang ada. Jika
model tidak valid, harus dilakukan perbaikan, jika sudah valid dan sesuai dengan
kriteria yang diinginkan dapat dilanjutkan dengan melakukan simulasi terhadap
model yang dibuat. Simulasi model dilakukan untuk melihat gejala-gejala
permasalahan dalam kegiatan perikanan lemuru secara nyata.
161
Muhammadi (2001), menyatakan bahwa uji validasi dilakukan terhadap
validitas struktur melalui generalisasi struktur nyata, yang ditunjukkan oleh
struktur model yang diciptakan sesuai dengan aturan berfikir logis teori keilmuan
dari obyek yang diteliti. Setiap hubungan sebab akibat, baik secara umum atau
sudah terperinci harus didukung dengan argumen teori ilmiah. Dalam melakukan
validasi kinerja/output model, harus dilihat sejauh mana kesesuaian perilaku
output model dengan pola perilaku data empirik, uji evaluasi/validasi yang
dilakukan mencakup:
1. Validasi struktur: Hubungan pola yang ada dalam diagram alir apakah
sudah benar. Kebenaran hubungan tersebut berdasarkan kepada rumus
pendukung terhadap pernyataan. Uji struktur ini bertujuan untuk
memperoleh keyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati
struktur nyata (Muhammadi, 2001).
2. Validasi besaran/satuan: Yaitu membuktikan persamaan yang ada dalam
diagram alir, apakah aspek yang diuji satuannya sudah sama.
3. Validasi statistik: Jika secara visual pola output simulasi sudah mengikuti
pola aktual, maka dilakukan uji statistik untuk melihat apakah ada
penyimpangan antara output simulasi dengan data aktual. Untuk mengukur
tingkat kesalahan, dilakukan pengukuran akar rataan kuadrat persentase
perbedaan antara nilai simulasi dengan nilai aktual (Root Mean Percent
Error/RMSPE). Rumus yang digunakan mengacu kepada Sterman (2003)
sebagai berikut:
√
∑ (
( )
)
.....................................................(9.4)
dimana,
RMSPE : Akar rataan kuadrat persentase kesalahan
St : Nilai simulasi pada waktu t
At : Nilai aktual pada waktu t
n : Jumlah pengamatan
162
Untuk melihat ketidaksamaan Theil, dilakukan uji Theil statistic (statistik
ketidaksamaan Theil) yaitu untuk menentukan komposisi sifat kesalahan.
Komposisi sifat kesalahan tersebut dapat diukur dengan menghitung bagian
kesalahan yang terjadi karena ketidaksamaan bias (inequality bias
proportion), karena ketidaksamaan varian (Inequality variance proportion),
selanjutnya adalah menghitung ketidak samaan kovarian (inequality
covariance proportion) (Sterman, 2003). Formula yang digunakan sebagai
berikut:
a. Ketidaksamaan bias (inequality bias proportion)
Um = ( )
∑ ( )
.............................................................................(9.5)
dimana,
Um : Bagian MSE karena Bias
: Rata-rata nilai simulasi
: Rata-rata nilai aktual
: Nilai simulasi pada waktu t
: Nilai aktual pada waktu t
n : jumlah pengamatan
b. Ketidaksamaan varian (Inequality variance proportion)
( )
∑ ( )
.............................................................................(9.6)
dimana,
Us : Bagian MSE dikarenakan varian
Ss : Standar deviasi nilai simulasi
Sa : Standar deviasi nilai aktual
St : Nilai simulasi pada waktu t
At : Nilai aktual pada waktu t
n : Jumlah pengamatan
163
c. ketidak samaan kovarian (inequality covariance proportion)
( )
∑ ( )
, ....................................................................................(9.7)
dimana,
Uc : Bagian MSE dikarenakan oleh kovarian
Ss : Standar deviasi nilai simulasi
Sa : Standar deviasi nilai aktual
St : Nilai simulasi pada waktu t
At : Nilai aktual pada waktu t
n : Jumlah pengamatan
Hasil simulasi dari variabel utama dibandingkan dengan pola perilaku
empirik secara visual untuk melihat apakah ada penyimpangan yang menonjol,
jika terdapat penyimpangan akan dilakukan perbaikan variabel dan parameter
model berdasarkan hasil penelurusan penyebab penyimpangan.
9.4 Hasil Penelitian
9.4.1 Model pengelolaan perikanan
Konsep dan deskripsi model dibuat untuk memahami dunia nyata dan
menuangkannya menjadi sebuah model. Model pengelolaan sumberdaya
perikanan lemuru terdiri dari sub model bio-ekonomi dan sub model effort, yang
mana keduanya saling berinteraksi dan merupakan sebuah model dinamik. Secara
diagramatik keterkaitan masing-masing sub model dapat dilihat pada Gambar 31.
Skenario yang digunakan dalam simulasi adalah dengan menguji
perubahan effort terhadap hasil tangkapan dalam setiap upaya tangkap.
Selanjutnya, dibangun struktur model keberlanjutan pengelolaan perikanan
lemuru dalam sebuah diagram Causal-loop (Gambar 30). Selanjutnya dibuat
diagram alir (flow diagram) dari struktur model yang sudah disusun pada causal
loop. Flow diagram menghubungkan semua variabel dalam bentuk persamaan
matematis dengan bantuan komputer. Formulasi matematis ini menunjukkan
keterkaitan antara setiap variabel yang saling berinteraksi.
164
Biomass
Pert Biomass Kematian alami
Hsl Tangkapan
Ratio K
Carry ing Capasity K
Laju kematian alami
ratio
kerapatan rB
Pert alami r
Kemampuan tangkap q
Ef f ort
Pert ef f ort
CPUE
Rent
Fraksi rent
Fraksi pengurangan
rent Batasan ef f ort
Biay a melaut
Harga ikan
ratio q thd f
ratio pertef ek ratio pert
Fraksi f ak oseanograf i
dan klimatologi
Gambar 31 Flow diagram model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru
di Selat Bali
Struktur yang terdapat dalam diagram alir tersebut menampilkan variabel
indikator penerapan kebijakan atau tindakan yang akan diambil dalam melakukan
pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru. Selanjutnya dalam struktur tersebut
dengan perubahan effort, memperlihatkan kecenderungan perolehan pendapatan
(rente) yang secara sosial didorong oleh faktor pemicu untuk melakukan suatu
tindakan namun dibatasi oleh faktor ekosistem perairan laut.
9.4.2 Uji validasi
Validasi yang dilakukan terhadap model adalah validasi struktur,
besaran/satuan, dan validasi statistik.
1. Pertumbuhan biomass (populasi) menurut teori Malthus merupakan
pertumbuhan tidak terpaut kerapatan. Namun ruang dan makanan yang
tersedia secara alami terbatas sehingga ekosistem memiliki daya dukung
maksimum terhadap sumberdaya yang ada di dalamnya (Schaefer, 1954 dan
Wiyono, 2010), apabila daya dukung sudah tidak memadai dan tidak terjadi
proses penangkapan, maka terjadi kematian secara alami (Luckof et al,
2005; Budiharjo, 1990 vide Merta dan Nurhakim, 2004). Dengan
165
menggunakan metode surplus production (CYP, 1992) dan model
pertumbuhan (Schaefer), grafik yang dihasilkan dengan metode ini adalah
hiperbola. Hasil simulasi dalam penelitian ini menghasilkan grafik yang
mirip yaitu hiperbola. Berdasarkan hal tersebut maka secara struktur sudah
sama dengan landasan teori.
2. Validasi besaran/satuan terhadap unit utama yaitu hasil tangkapan lemuru
adalah cocok. Hasil tangkapan lemuru merupakan unit utama dalam
diagram alir yang menggambarkan secara keseluruhan perkembangan hasil
tangkapan yang diperoleh. Validasi besaran/satuan yang dilakukan adalah:
- Hsl_tangkapan = Biomass*effort_awal*Kemampuan_tangkap_q
Hsl tangkapan (ton/tahun) = Biomass (ton) * effort_awal (unit/tahun) *
Kemampuan_tangkap_q (1/unit)
Ton/tahun = ton/tahun*unit*1/unit
Ton/tahun = ton/tahun
- Rent = (Hsl_tangkapan*Harga_ikan)-(effort_awal*Biaya_melaut)
Rent (Rp/tahun) = (ton/tahun * Rp/ton)-(unit/tahun*Rp/unit)
Rp/tahun =Rp/tahun – Rp/tahun
Rp/tahun = Rp/tahun
3. Validasi statistik, dilakukan untuk memvalidasi kinerja model terhadap data
empiris. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana output model
bersesuaian dengan perilaku empiris. Hasil yang diperoleh dengan uji Theil
Statistic adalah memenuhi kriteria yang berlaku, yaitu penjumlahan (UM
,US,
UC) sama dengan satu (Tabel 39). Artinya secara statistik simulasi model
yang dilakukan dapat diterima.
Tabel 39 Hasil validasi dengan uji Theil statistik (Sterman, 2003)
Variabel RSMPE UM
US U
C
Effort 0.277516973 0.003492184 0.630678425 0.365829391
Berdasarkan uji yang dilakukan, diperoleh nilai UM
sama dengan nol, US
besar dan UC kecil. Hal ini bisa dikategorikan sebagai unsystematic error, namun
166
3:01 AM Thu, Dec 27, 2012
Untitled
Page 1
0.00 25.00 50.00 75.00 100.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
5:
5:
5:
0
29065
58130
0
10000
20000
0
150
300
0
10000
20000
-5e+009.
2.5e+010
5.5e+010
1: Biomass 2: Pert Biomass 3: Ef f ort 4: Hsl Tangkapan 5: Rent
1
1
1
1
2
2
2
23
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
5
untuk jangka panjang dengan mengabaikan cyclic mode (Steman, 2003). Nilai US
besar dan nilai UC kecil, bisa disebabkan oleh gangguan acak (random noise)
karena nilai aktual yang sangat acak (random).
9.4.3 Simulasi model
Kajian dalam struktur yang telah dibuat, yang dapat dijadikan sebagai
variabel keputusan dan akan mempengaruhi kondisi variabel indikator yaitu
perubahan yang dilakukan terhadap jumlah effort yang ada. Selanjutnya model ini
disimulasikan melalui beberapa skenario kebijakan dalam rentang waktu 100
tahun. Skenario awal (existing) tanpa dilakukan perubahan effort sehingga
didapat kondisi yang paling ekstrim (unsustainable). Kemudian dari kondisi ini
diterapkan perubahan effort untuk melihat pengaruhnya terhadap kondisi yang
unsustainable tersebut. Skenario yang disimulasikan adalah sebagai berikut:
1) Skenario 1 (Existing) Skenario 1 (existing), jika dilihat dari effort yang
berkembang menunjukan bahwa pada saat hasil tangkapan meningkat, nelayan
akan terus meningkatkan jumlah effort yang dimiliki agar hasil tangkapan yang
diperoleh lebih banyak (Gambar 32).
Gambar 32 Simulasi biomass, pertumbuhan biomass, effort, hasil tangkapan,
dan rente
Jika diperhatikan kurva hasil tangkapan dan effort (Gambar 32), dapat
dilihat bahwa sampai dengan tahun ke 30 jumlah effort terus meningkat seiring
167
dengan meningkatnya jumlah hasil tangkapan, dan puncak hasil tangkapan
optimum terjadi pada tahun ke 50, namun setelah itu terjadi penurunan hasil
tangkapan, akan tetapi jumlah effort terus meningkat. Hal ini terjadi karena
nelayan terus berupaya melakukan penangkapan dengan harapan hasil tangkapan
yang diperoleh tetap tinggi. Walaupun terjadi pertumbuhan secara alami, namun
diimbangi terjadinya kematian yang juga berlangsung secara alami sebagai akibat
dari pengaruh lingkungan perairan. Sementara itu, untuk perolehan rente dari
usaha penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dapat dilihat, rente yang
diperoleh meningkat seiring dengan peningkatan hasil tangkapan dan menurun
karena hasil tangkapan yang diperoleh juga menurun. Hal ini terjadi karena harga
yang ditawarkan oleh pembeli cukup bagus, sehingga nelayan tidak mengalami
kerugian, disamping itu, juga sebagai imbas dari hukum persediaan dan
permintaan secara ekonomi.
Jika kondisi existing ini dibiarkan, sedangkan nelayan terus berusaha
melakukan penangkapan dengan segala upaya yang dimiliki tanpa
memperhitungkan efek yang ditimbulkan terhadap sumberdaya, maka dapat
dipastikan terjadi opportunity cost yaitu nilai ekonomi yang diperoleh menjadi
lebih rendah bahkan bisa negatif karena jumlah biaya yang dikeluarkan lebih
besar jika dibandingkan dengan penerimaan yang diperoleh. Hal ini terjadi
sebagai akibat tidak terkontrolnya jumlah effort atau upaya penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan (open access equilibrium).
2) Skenario 2
Berdasarkan SKB dua Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali,
alat tangkap yang diatur penggunaannya untuk pemanfaatan sumberdaya
perikanan lemuru di Selat Bali adalah alat tangkap purse seine. Jumlah yang
diijinkan adalah sebanyak 273 unit. Namun berdasarkan analisis yang dilakukan
terhadap Emsy (bab 6) hasil yang diperoleh adalah sebanyak 252,47 unit, dengan
demikian penyusunan skenario berpedoman kepada hasil perhitungan Emsy.
Pada Gambar 32 dapat dilihat bahwa pola yang diperlihatkan hiperbola.
Selanjutnya dilakukan pengendalian terhadap effort yaitu dengan melakukan
iterasi secara bertahap sebesar 10% dari 252,47 unit. Proses iterasi dilakukan
karena tidak ada teori pendukung yang memadai dalam rangka upaya penurunan
168
2:58 PM Wed, Dec 26, 2012
Untitled
Page 1
0.00 25.00 50.00 75.00 100.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
5:
5:
5:
0
29065
58130
0
10000
20000
0
100
200
0
10000
20000
0
3e+010.
6e+010.
1: Biomass 2: Pert Biomass 3: Ef f ort 4: Hsl Tangkapan 5: Rent
1
1
1
12
2
2
2
3
3
3 3
4
4
44
5
5
5 5
jumlah alat tangkap pada satu wilayah. Iterasi yang dilakukan dalam penelitian
ini didasarkan kepada pola yang diperlihatkan oleh kecenderungan grafik simulasi
yang dihasilkan. Iterasi dilakukan secara bertahap dimulai pada tingkat 10%, 20%,
namun belum memperlihatkan hasil yang diinginkan. Saat dilakukan iterasi pada
tingkat 30%, terjadi perubahan pola pada grafik yang dihasilkan (Gambar 33).
Iterasi ini dilakukan agar hasil tangkapan yang diperoleh tetap stabil dan
ketersediaan sumberdaya dapat dipertahankan. Jika pemberlakuan ini berhasil
maka pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dapat dilakukan
secara berkelanjutan dan kebijakan pengaturan jumlah alat tangkap terutama purse
seine harus diperbarui. Setelah dilakukan iterasi tiga kali terhadap pengurangan
effort sebanyak 30% atau 184 unit (Gambar 33), dapat dilihat bahwa trend antara
kurva hasil tangkapan dan kurva rente berjalan seiring. Perolehan rente mengikuti
jumlah hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, karena harga ikan berfluktuasi
sesuai hasil tangkapan yang diperoleh, jika hasil tangkapan besar maka terjadi
penurunan harga, demikian sebaliknya. Namun bila dilihat kurva pertumbuhan
biomass berada di atas kurva biomass, artinya masih terjadi penambahan biomass
dengan adanya pertumbuhan biomass (Lampiran 16).
Gambar 33 Simulasi hasil tangkapan dan rente dengan pengurangan effort
sebesar 30% atau 184 unit
169
3:01 PM Wed, Dec 26, 2012
Untitled
Page 1
0.00 25.00 50.00 75.00 100.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
5:
5:
5:
0
29065
58130
0
10000
20000
0
100
200
0
10000
20000
0
3e+010.
6e+010.
1: Biomass 2: Pert Biomass 3: Ef f ort 4: Hsl Tangkapan 5: Rent
1
1
1
1
2
2
22
3
3
3 3
4
4
4 4
5
5
5 5
Pengurangan effort dari 252,47 unit menjadi 184 unit cukup memberikan
pengaruh terhadap hasil tangkapan dan perolehan rente setiap tahunnya. Hasil
iterasi ini tidak memperlihat perubahan seketika terhadap kondisi ketersediaan
sumberdaya di alam, karena sumberdaya membutuhkan waktu untuk berkembang
dan tumbuh menjadi besar.
3) Skenario 3
Skenario 3, dilakukan pembatasan atau pengurangan effort dari 252,47 unit
menjadi 165 unit dengan melakukan iterasi sebanyak 4 kali 10% (40%).
Perubahan ini merupakan perubahan yang ekstrim, dan dapat dilihat bahwa pada
awal tahun hasil tangkapan terus meningkat dan mencapai optimum pada tahun ke
50, hal ini seiring dengan laju pertumbuhan effort. Laju pertumbuhan effort terus
meningkat sampai dengan tahun ke 56, dan mulai tahun ke 57 pertumbuhan effort
menjadi stabil sampai dengan tahun ke 100. Walaupun hasil tangkapan lebih
rendah dari effort, namun masih ada pertumbuhan biomass yang dapat
berkembang dan pada akhirnya dapat dimanfaatkan oleh nelayan (Lampiran 17),
sehingga pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara berkelanjutan dan
lestari (Gambar 34).
Gambar 34 Simulasi hasil tangkapan dan rente dengan pengurangan effort
sebesar 40% atau 165 unit
170
9.5 Pembahasan
Pembahasan dalam bab ini berkaitan dengan penyusunan skenario model
keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali. Skenario tersebut
merupakan langkah dasar penentuan kebijakan keberlanjutan pengelolaan
perikanan lemuru secara lestari dan ramah lingkungan.
Sumberdaya alam secara keseluruhan bersifat dinamis, termasuk
sumberdaya perikanan lemuru yang ada di perairan Selat Bali. Pencapaian hasil
yang optimum dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, tidak terlepas dari
sistem dinamik. Namun, secara keseluruhan dinamika ekosistem sumberdaya
perikanan dan intervensi yang dilakukan oleh manusia dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan baik
langsung maupun tidak langsung.
Pengelolaan, haruslah berorientasi kepada pemecahan masalah secara
ilmiah berdasarkan sifat-sifat biologi, ekologi, dan ekonomi serta sosial budaya
masyarakat dan nelayan perikanan lemuru yang berada di sekitar perairan Selat
Bali. Pengelolaan harus dilakukan dengan merumuskan suatu rencana pengelolaan
berbasis masyarakat dan pendekatan secara ekosistem, dan berwawasan
lingkungan (Zhang at al, 2009).
Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan ini mengarah kepada
pengelolaan sumberdaya yang berwawasan lingkungan perairan beserta dengan
daya dukungnya, sehingga pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara
berkelanjutan dan terjaga secara lestari. Disamping itu kesejahteraan nelayan
melalui pengembangan usaha perikanan yang mereka lakukan dapat ditingkatkan
namun tetap memperhatikan daya dukung lingkungan (Degnbol 2002).
Berdasarkan hasil simulasi yang sudah dilakukan, dapat dilihat bahwa
pengaturan jumlah effort, dalam hal ini berkaitan dengan jumlah unit alat tangkap
purse seine sebagai alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan Selat Bali
harus segera diatur ulang atau diturunkan menjadi 165 unit (skenario 3). Jika
dilihat secara eksplisit, hal ini terkesan ekstrim, namun jika dilihat secara implisit,
pangaturan seperti ini sangat wajar, karena ketersediaan sumberdaya lemuru
berfluktuasi sesuai dengan kondisi lingkungan perairan Selat Bali itu sendiri.
171
Secara sosial, pengurangan unit alat tangkap yang mencapai 40% dari hasil
perhitungan (Emsy), bisa dipastikan akan berdampak buruk, karena menyebabkan
terjadinya pengurangan tenaga kerja yang demikian banyak. Seperti kita ketahui
bersama bahwa, satu kapal purse seine bisa menyerap tenaga kerja sebanyak 45-
55 orang. Untuk mengantisipasi hal ini perlu dilakukan sosialisasi dari pihak
pemerintah baik pusat maupun daerah tentang pengaturan yang dilakukan dalam
rangka mewujudkan keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru secara lestari
dan ramah lingkungan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah
mengevaluasi SKB tahun 1992, merumuskan dengan pasti dalam bentuk Rencana
Pengelolaan Perikanan (RPP), serta mencari solusi yang tepat untuk
mengantisipasi meledaknya tenaga pengangguran sebagai akibat pengurangan unit
panangkapan lemuru. Antisipasi lain yang dapat dilakukan adalah mengalihkan
unit alat tangkap pure seine untuk menangkap jenis ikan pelagis lainnya yang
terdapat di perairan Selat Bali atau melakukan relokasi nelayan.
Zulbarnaini (2002), menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian dan
kajian yang sudah dilakukan dalam rangka pengelolaan sumberdaya lemuru di
Selat Bali, jumlah alat tangkap (purse seine) yang layak dioperasikan adalah
sebesar 130 unit. Mengingat ketersediaan sumberdaya tidak bisa diprediksi
dengan tepat, dan jika pengurangan jumlah effort menjadi 165 unit yang boleh
beroperasi, artinya tidak tertutup kemungkinan dilakukan revisi terhadap Surat
Keputusan dua Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali nomor 238 dan
674 tahun 1992, yang mana di dalam SKB tersebut ditetapkan jumlah kapal purse
seine yang diijin melakukan penangkapan di perairan Selat Bali sebanyak 273
unit, dengan rincian 190 unit untuk Provinsi Jawa Timur dan 83 unit untuk
Provinsi Bali. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Merta (1992) memberikan
beberapa alternative untuk keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat
Bali. Salah satu alteranatif tersebut adalah jumlah kapal purse seine yang
beroperasi berdasarkan SKB dua gubernur Provinsi Jawa Timur dan Bali
sebanyak 273 unit (sesuai SIUP) dikurangi menjadi 252 unit. Dalam penelitian
ini, sesuai dengan pembahasan pada bab 6 bahwa hasil perhitungan Emsy adalah
252,47 unit. Jadi hasil ini sesuai atau mempunyai kemiripan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
172
Berdasarkan hasil perhitungan analisis sumberdaya perikanan lemuru
sebagaimana sudah diuraikan pada bab 6, bahwa Emsy perikanan lemuru adalah
sebesar 252,47 unit. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis dinamik, jumlah
tersebut tidak bisa diterapkan, karena dengan jumlah tersebut pola grafik yang
muncul menunjukkan ketersediaan sumberdaya yang menurun. Kondisi
sumberdaya yang menurun tidak dapat memaksimalkan pertumbuhan biomass.
Jika hal ini dibiarkan terus meneruskan bisa dipastikan pada satu titik tertentu
sumberdaya yang ada akan habis. Upaya penangkapan yang terus meningkat
mengakibatkan rente ekonomi yang diperoleh semakin kecil, karena biaya yang
dikeluarkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan penerimaan yang diperoleh,
atau lebih tepatnya nelayan hanya menerima opportunity cost dari usaha
penangkapan yang dilakukan.
Waktu, dalam analisis model dinamik dijadikan sebagai patokan dalam
melakukan keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru. Maksudnya disini
adalah, unsur waktu yang digunakan dalam pengelolaan perikanan lemuru terkait
dengan pilihan, apakah akan dimanfaatkan sekarang atau nanti. Rente yang
dihasilkan dari analisis dinamik pada masa yang akan datang sangat berpatokan
kepada hasil pemanfaatan sumberdaya lemuru yang dilakukan pada masa kini.
Pertumbuhan secara alami tetap berlangsung dan akan berjalan dengan
baik sepanjang kondisi lingkungan perairan juga dalam kondisi baik.
Pertumbuhan secara alami akan mempengaruhi produktifitas biomass sumberdaya
lemuru. Produktifitas biomass dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
perairan yaitu faktor oseanografi dan klimatologi. Parameter oseanografi yang
berpengaruh adalah sebaran klorofil-a. Sebaran klorofil-a, sangat mempengaruhi
keberadaan sumber makanan bagi lemuru karena lemuru merupakan planton
feeder , banyak atau sedikit sebaran klorofil-a yang ada di satu kawasan perairan
dipengaruhi oleh zat hara yang terkandung dalam perairan, ditunjang oleh proses
upwelling yang terjadi, sehingga ketersediaan makanan menjamin
keberlangsungan hidup lemuru. Faktor klimatologi yang berpengaruh adalah
angin. Angin yang terjadi di Selat Bali berpengaruh terhadap perubahan arus
permukaan. Arus permukaan yang terjadi berakibat pada pengadukan massa air
sehingga unsur-unsur hara yang terdapat di bawah permukaan air naik
173
kepermukaan sehingga proses jejaring makanan berlangsung dengan baik. Secara
dinamik, faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan biomass.
Meskipun secara umum faktor-faktor tersebut tidak dapat dikendalikan oleh
manusia, namun berdasarkan hasil analisis secara regresi linier ternyata
memberikan pengaruh sebesar 43,5%. Sedangkan 56,5% dipengaruhi oleh faktor
manusia yang memanfaatkan sumberdaya itu sendiri. Kematian, sebagai pengaruh
ekologi, terjadi karena adanya mangsa dan pemangsa, mati akibat umur, dan bisa
disebabkan oleh kondisi ekstrim yang terjadi di lingkungan perairan.
Faktor ekosistem perairan lainnya, seperti sebaran terumbu karang, padang
lamun, dan hutan mangrove yang ada di sekitar perairan Selat Bali, tidak dapat
dimasukkan dalam analisis dinamik, karena ikan lemuru merupakan ikan pelagis
dan daerah penyebarannya lebih ke tengah laut. Namun demikian, jika kegiatan
yang dilakukan oleh pelaku usaha di wilayah darat, tanpa ada pengawasan yang
intensif dari pihak-pihak berkompeten, maka tidak tertutup kemungkinan akan
berpengaruh terhadap kondisi perairan di lokasi daerah penangkapan lemuru.
Berdasarkan hasil simulasi secara dinamik, dan untuk mencegah terjadinya
eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya perikanan lemuru dapat
dilakukan beberapa usulan perbaikan agar pemanfaatan sumberdaya perikanan
lemuru dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari sebagai berikut:
1. Pembatasan jumlah alat tangkap; Sebagaimana skenario 3 dari hasil
simulasi dinamik, pengendalian ketersediaan sumberdaya perikanan lemuru
harus dilakukan pembatasan jumlah alat tangkap (purse seine). Hal ini
dilakukan untuk mempertahan kondisi sumberdaya lemuru dan sumberdaya
tersebut dapat tumbuh secara alami untuk berkembang sampai dengan
ukuran tertentu yang layak untuk ditangkap dan mempunyai nilai ekonomis
tinggi.
2. Pengaturan waktu tangkap; Pengaturan waktu tangkap perlu dilakukan,
karena lemuru lebih bersifat musiman, dimana pada musim-musim tertentu
lemuru yang tersedia sesuai dengan ukurannya masing-masing, maka
pengaturan waktu tangkap dianggap salah satu alternatif yang sangat baik
dalam rangka upaya pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru secara
174
berkelanjutan. Hal yang belum bisa diketahui sampai sekarang adalah
berapa jumlah ikan lemuru tertangkap oleh nelayan berdasarkan ukuran ikan
sesuai penamaan di Selat Bali dan pada bulan apa masing-masing ukuran
ikan tersebut ditangkap. Jika data masing-masing ukuran ikan hasil
tangkapan tersebut tercatat dan terdata dengan baik, maka sangat mudah
untuk melakukan pengaturan waktu tangkap, jika waktu tangkap dapat
diterapkan maka pengelolaan sumberdaya lemuru secara berkelanjutan dan
lestari dapat terwujud.
3. Pengaturan ukuran mata jaring;. Dengan pengaturan ukuran mata jaring,
maka lemuru berukuran kecil yaitu 5 – 10 cm yang biasa disebut oleh
masyarakat pesisir Selat Bali dengan sempenit dapat lolos atau tidak
tertangkap. Usulan yang pernah dibuat berdasarkan hasil penelitian Merta
(1992), bahwa ukuran mata jaring purse seine pada bagian kantong adalah
1 inchi dan pada bagian badan/penghadang adalah 2,5 inchi, namun pada
kenyataannya di lapangan sampai saat penelitian ini dilakukan, nelayan
setempat masih menggunakan ukuran mata jaring ¾ inchi pada bagian
kantong.
Tiga hal tersebut di atas, merupakan hal pokok yang perlu mendapat
perhatian dalam melakukan pengelolaan sumberdaya. Secara dinamik, sudah
dibuktikan bahwa jumlah alat tangkap yang ideal dioperasikan di Selat Bali untuk
penangkapan lemuru adalah 165 unit (skenario 3), karena dapat memberikan
kontribusi secara berkelanjutan terhadap ketersediaan sumberdaya. Hal ini
ditunjukkan pada Gambar 34, dimana biomass yang ada masih memungkinkan
untuk tumbuh dan berkembang, sehingga nelayan dapat memanfaatkan
sumberdaya dalam jangka waktu yang lebih lama.
Purse seine, sebagai alat tangkap unggulan dan dapat dikembangkan
sebagai alat tangkap untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru di Selat
Bali. Namun pengembangan alat ini perlu kontrol dari pihak yang berkompeten
dalam rangka pengendalian pemanfaatan sumberdaya. Purse seine, sebagai alat
tangkap aktif sangat memungkinkan untuk menghasilkan ikan dalam jumlah yang
banyak untuk sekali hauling. Untuk itu pengaturan ukuran mata jaring purse
175
seine yang digunakan oleh nelayan perlu mendapat perhatian serius bagi
pemerintah baik pusat maupun daerah. Dalam SKB dua Gubernur Provinsi Jawa
Timur dan Bali tahun 1992, sebenarnya sudah dituangkan ketentuan dan
pengaturan berkaitan dengan ijin kapal dan ukuran mata jaring yang digunakan.
Namun pelaksanaan di lapangan belum optimal. Jadi hal yang perlu ditingkatkan
adalah sosialisasi terhadap peraturan yang ada kepada masyarakat dan nelayan
sebagai pelaku usaha penangkapan lemuru.
9.6 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung dan setelah dilakukan
analisis data serta simulasi dinamik, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
perbandingan dalam pemodelan dari 3 skenario yang sudah dibuat, disini terlihat
skenario 3 dengan jumlah effort 165 unit lebih baik bila dibandingkan dengan
kondisi existing dan skenario 2 dengan jumlah effort 184 unit.