81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

32
PENGELOLAAN ANESTESI UNTUK PASIEN TRAUMA DADA,ABDOMEN DAN EKSTREMITAS Aunun Rofiq,Jati Listiyanto P Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/RSUP dr.Kariadi PENDAHULUAN Trauma adalah penyebab utama kematian di Amerika pada umur 1 sampai 35 tahun. Lebih dari 1/3 dari yang masuk rumah sakit di Amerika secara langsung berhubungan dengan trauma. 50% dari kematian akibat trauma muncul cepat, dengan 30% sisanya terjadi dadakan beberapa jam setelah trauma (“golden hour”). Karena banyak korban trauma yang membutuhkan pembedahan segera, anestesi dapat secara langsung memberikan efek pada keselamatan mereka. Pada kenyataannya, anestesi seringkali berperan pada resusitasi primer, dengan aktivitas sekunder provisi anestesi. Sangat penting untuk seorang anestesi untuk mengingat bahwa pasien-pasien seperti ini mungkin memiliki kecenderungan pengguna obat-obatan, intoksikasi akut, dan pembawa hepatitis atau HIV. 1 Tinjauan Pustaka ini akan menjelaskan cara kerja pada penatalaksanaan awal pada korban trauma dan pertimbangan anestesi untuk perlakuan pada pasien dengan trauma dada, abdomen, dan ekstemitas. PENATALAKSANAAN AWAL Penatalaksanaan awal pada pasien dengan trauma dapat dibagi menjadi pemeriksaan primer, sekunder, tersier. Pemeriksaan primer harus dilakukan dalam waktu 2-5 menit dan terdiri dari ABCDE secara berurutan: air way, breathing, circulation , 1

description

uyuiyiuy

Transcript of 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

Page 1: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

PENGELOLAAN ANESTESI UNTUK PASIEN TRAUMA DADA,ABDOMEN DAN EKSTREMITAS

Aunun Rofiq,Jati Listiyanto P

Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif

FK UNDIP/RSUP dr.Kariadi

PENDAHULUANTrauma adalah penyebab utama kematian di Amerika pada umur 1

sampai 35 tahun. Lebih dari 1/3 dari yang masuk rumah sakit di Amerika secara langsung berhubungan dengan trauma. 50% dari kematian akibat trauma muncul cepat, dengan 30% sisanya terjadi dadakan beberapa jam setelah trauma (“golden hour”). Karena banyak korban trauma yang membutuhkan pembedahan segera, anestesi dapat secara langsung memberikan efek pada keselamatan mereka. Pada kenyataannya, anestesi seringkali berperan pada resusitasi primer, dengan aktivitas sekunder provisi anestesi. Sangat penting untuk seorang anestesi untuk mengingat bahwa pasien-pasien seperti ini mungkin memiliki kecenderungan pengguna obat-obatan, intoksikasi akut, dan pembawa hepatitis atau HIV.1 Tinjauan Pustaka ini akan menjelaskan cara kerja pada penatalaksanaan awal pada korban trauma dan pertimbangan anestesi untuk perlakuan pada pasien dengan trauma dada, abdomen, dan ekstemitas.

PENATALAKSANAAN AWALPenatalaksanaan awal pada pasien dengan trauma dapat dibagi menjadi

pemeriksaan primer, sekunder, tersier. Pemeriksaan primer harus dilakukan dalam waktu 2-5 menit dan terdiri dari ABCDE secara berurutan: air way, breathing, circulation , disability, dan exposure. Jika fungsi dari salah satu dari 3 sistem ini mengalami gangguan, resusitasi harus diberikan secara dini. Pada pasien dengan penyakit kritis, resusitasi dan penanganan dilakukan secara bersamaan oleh suatu tim penanganan trauma. Monitor dasar meliputi pemeriksaan dengan EEG (electroencephalograph), tekanan darah non invasive, dan pulse oxymetri dapat dilakukan secara awal dilapangan dan berlanjut selama penanganan. Resusitasi trauma meliputi dua tahap tambahan: control perdarahan dan perbaikan trauma definitive. Pemeriksaan sekunder dan tersier yang lebih komprehensif akan mengikuti pemeriksaan primer.1,2

1

Page 2: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

SURVEI PRIMERAirway

Memeriksa dan menjaga jalan nafas selalu menjadi prioritas utama. Jika pasien dapat bicara biasanya jalan nafasnya bersih, tapi pada pasien yang tidak sadar cenderung memerlukan alat bantu jalan nafas dan ventilasi. Tanda penting adanya suatu sumbatan meliputi snoring atau gurgling,stridor, dan pergerakan dada paradoksal. Adanya benda asing harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak sadar. Penatalaksanaan jalan nafas lebih lanjut (seperti intubasi endotracheal, cricothyrotomy, atau tracheostomy) adalah indikasi jika terjadi apneu, obstruksi yang menetap, cedera kepala berat, trauma maxillofacial, trauma tembus leher dengan hematoma yang luas, atau trauma dada yang berat.

Trauma cervical jarang pada pasien yang sadar tanpa gejala nyeri dan nyeri tekan di leher. Lima kriteria yang menjadi resiko dalam meningkatkan ketidakstabilan tulang belakang servikal: (1) nyeri leher, (2) nyeri distraksi yang berat, (3) tanda dan gejala neurologis apapun, (4) intoksikasi, dan (5) kehilangan kesadaran. Fraktur tulang belakang servikal harus dicurigai jika ada salahsatu dari 5 kriteria tersebut muncul bahkan jika tidak diketahui adanya trauma diatas klavikula. Bahkan dengan criteria ini, angka kejadian trauma tulang belakang servikal kira-kira 2%. Angka kejadian ketidakstabilan tulang belakang servikal meningkat menjadi 10% pada cedera kepala berat. Untuk mencegah hiperekstensi leher, maneuver Jaw-thrust dianjurkan untuk menjaga jalan nafas. Jalan nafas lewat mulut dan hidung dapat membantu menjaga patensi jalan nafas. Pasien tidak sadar dengan trauma mayor harus dipertimbangkan memiliki resiko terjadinya aspirasi, dan jalan nafas harus diamankan segera dengan endotracheal tube atau trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi aksial yang luas harus dihindari ketika ketidakstabilan tulang belakang servikal dicurigai. Imobilisasi manual dari kepala dan leher oleh asisten harus dilakukan untuk menstabilisasikan tulang belakang servikal selama pemasangan laringoskop (“manual in-line stabilization” atau MILS). Seorang asisten harus meletakkan tangannya pada sisi kepala, menahan oksiput dan mencegah adanya rotasi kepala. Pada studi telah mendemonstrasikan pergerakan leher, khususnya pada C1 dan C2, selama pemberian ventilasi dengan masker dan pemasangan laringoskop direk tanpa menjaga stabilisasi ( contoh MILS, traksi aksial, bantal pasir, fore head tape, collar lunak, collar Philadelphia/keras).1,2 Dari semua tehnik ini, MILS mungkin tehnik yangpaling efektif, namun tehnik tersebut membuat pemasangan laringoskop direk menjadi sulit. Atas alasan tersebut banyak yang menyukai menggunakan intubasi nasal (buta atau fiberoptik) pada pasien yang bernafas spontan dengan kecurigaan adanya trauma cervical, walaupun tehnik ini ada hubungannya dengan resiko tinggi terjadinya aspirasi paru. Yang lainnya ada yang menggunakan lightwand laringoskop Bullard, WuScope, atau dengan intubasi laryngeal. Sangat jelas, bahwa seorang ahli dan beberapa

2

Page 3: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

referensi dari klinisi secara individual mempengaruhi pemilihan tehnik yang digunakan, bersamaan dengan kebutuhan. Dan resiko dari komplikasi pada pasien yang akan diberikan. Kebanyakan ahli lebih menyukai intubasi oral, dan tehnik ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan yang apneu dan membutuhkan intubasi jika secaepatnya. Lebih lanjut, intubasi nasal harus dihindari pada pasien dengan fraktur tulang wajah dan basis cranii. Jika obturator esophageal telah dipasang, alat tersebut jangan dipindahkan sampai trakea diintubasi karena kemungkinan adanya regurgutasi.2

Trauma laring membuat keadaan bertambah buruk. Trauma terbuka kemungkinana berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di leher, obstruksi dari hematom atau oedem enfisema subcutan, trauma cervical. Trauma laring tertutup kurang dapat terlihat namun dapat bermanifes sebagai krepitasi leher, hematom, disfagia, hemoptisis atau fonasi yang buruk. Intubasi dalam keadaan sadar dengan endotrakeal tube yang kecil (6.0 pada dewasa) melalui penggunaan laringoskop direk atau bronkoskopi fiberoptik dengan anesthesia topical dapat dilakukan jika laring dapat divisualisasikan. Jika trauma wajah dan leher yang tidak memungkinkan intubasi endotrakeal, maka harus mempertimbangkan trakeostomi dengan anestesi local. Obstruksi akut pada trauma jalan nafas atas mungkin membutuhkan segera krikotirotomi atau trakeostomi percutan atau pembedahan.

Pernafasan

Penatalaksanaan ventilasi terbaik dilakukan dengan pendekatan lihat, dengar dan rasakan. Lihat adanya sianosis, penggunaan otot nafas tambahan, flail chest, dan trauma dada tembus atau tension. Dengar adanya, tidak adanya, atau suara nafas. Rasakan adanya emfisema subkutan, deviasi trakea atau fraktur costae. Seorang klinisi haruslah mempunyai kecurigaan terhadap adanya tension pneumothorak dan hemothorak, terutama pada pasien dengan distress respirasi. Drainase pleura mungkin diperlukan sebelum dilakukan pemeriksaan X-ray dada.2

Kebanyakan pasien trauma yang kritis memerlukan bantuan-jika tidak terkontrol-dengan ventilasi. Alat (contoh self-inflating bag dengan katup nonrebreathing) biasanya memberikan ventilasi yang adekuat saat intubasi dan selama periode tansportasi pasien. Konsentrasi oksigen 100% diberikan sampai oksigenasi didapatkan melalui analisis gas darah.

Sirkulasi

Sirkulasi yang adekuat didasarkan pada nadi, isi dan tegangan nadi, tekanan darah dan tanda perfusi perifer. Tanda sirkulasi yang tidak adekuat meliputi takikardi, pulsasi perifer yang lemah atau tidak teraba, hipotensi dan pucat, akral dingin atau sianosis dari ekstremitas, prioritas utama dalam menjaga sirkulai yang adekuat adalah dengan menghentikan perdarahan; prioritas

3

Page 4: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

kedua adalah dengan mengganti volume intravascular. Henti jantung selama perjalanan menuju rumah sakit atau segera setelah tiba di rumah sakit pada kasus trauma luka tembus dada dan luka tembak adalah indikasi untuk dilakukan torakotomi di ruang gawat darurat , yang mana juga disebut sebagai torakotomi resusitasi, membuat suatu control cepat pada perdarahan yang tampak, membuka pericardium, dan membuat jahitan suture pada trauma jantung dan klam-silang aorta diatas diafragma. Beberapa ahli bedah trauma juga ERT untuk henti jantung selama perjalanan atau sesaat setelah sampai di rumah sakit pada trauma luka tembus atau luka tembak pada abdomen. Pasien hamil aterm yang mengalami henti jantung atau syok seringkali dapat diresusitasi secara baik hanya setelah melahirkan.1,2,3

A. PERDARAHAN

Tempat terjadi perdarahan yang terlihat harus diidentifikasi dan dikontrol dengan tekanan langsung pada luka. Perdarahan dari ekstremitas dapat diatasi dengan mudah dengan balut tekan dan pack; torniqet dapat menyebabkan trauma referfusi. Perdarahan pada trauma dada biasanya berasal dari arteri interkostal dan sering perdarahannya melambat atau terhenti ketika paru mengembang setelah dilakukan drainase dengan chest tube. Perdarahan pada trauma intraabdominal, tergantung tingkat keparahannya dapat tertampon sendiri, yang diikuti dengan berbagai variasi resusitasi cairan dan darah sementara evaluasi pembedahan diselesaikan dengan lengkap. Bahan antishock pneumatic dapat mengurangi perdarahan di abdomen dan ekstremitas bawah, meningkatkan resistensi vaskuler perifer, dan perfusi pada jantung dan otak. Luka dengan perdarahan diatas tingkat (contoh thorak atau kepala) adalah kontraindikasi untuk penggunaan bahan tersebut karena adanya resiko meningkatkan perdarahan.1,3,4

Pengertian syok yang sebabkan kegagalan sirkulasi mengakibatkan perfusi organ vital oksigenasi yang tidak adekuat. Walaupun terdapat banyak penyebab dari syok, pada pasien trauma biasanya berhubungan dengan keadaan hipovolemia. Respon fisiologis dari perdarahan berupa takikardi, perfusi kapiler yang buruk, dan penurunan pada tekanan nadi sampai hipotensi, takipneu, dan delirium. Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit seringkali bukanlah indikator yang akurat untuk kehilangan darah yang akut. Stimulasi saraf tepi somatik dan trauma jaringan yang masif tampaknya mengeksaserbasi penurunan cardiac out put dan strok volume yang tampak dengan adanya syok hipovolemia. Labilitas hemodinamik pada pasien ini membutuhkan monitor tekanan darah arteri yang invasive. Pada hipovolemia yang berat, gelombang pulsasi dapat hampir menghilang selama fase inspirasi dengan ventilasi mekanik. Derajat hipotensi yang muncul diruang gawat darurat dan ruang operasi berhubungan kuat dengan mortalitas. Terapi utama pada syok perdarahan adalah resusitasi dengan cairan intravena dan transfusi.

4

Page 5: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

pendek yang multiple (1.5-2 inchi), dengan lubang besar (14-16 gauge atau 7-8.5 F) digunakan ketika jalur vena memungkinkan. Pasien dengan kemungkinan mengalami trauma pada vena kava atau vena hepatica harus memiliki akses intravena pada kedua sistem kava dalam kasus klam-silang menjadi hal penting selama perbaikan vascular. Walaupun vena sentral dapat memberikan informasi yang berguna mengenai keadaan status volume, namun hal tersebut membutuhkan waktu dan kemungkinan terjadinya komplikasi keadaan yang mengancam jiwa (contoh, pneumothorak). Jalur perifer biasanya cukup untuk resusitasi awal.2,3

Perdarahan yang masif mengurangi cairan dalam ruang intravascular. Perpindahan cairan kedalam intravascular dari ruang interstitial untuk mempertahankan intergritas kardiovaskuler, dan cairan interstitial juga berpindah ke sel. Metabolism anaerob mengarah pada pengurangan ATP, disfungsi ATP-pompa Na-K, dan edema sel yang progresif.

B. Terapi cairanPilihan terapi cairan awal ditentukan berdasarkan availabilitas. Walaupun whole blood crossmatch adalah ideal, namun penentuan jenis dan kecocokan memerlukan waktu 45-60 menit. Pemberian jenis darah yang spesifik (terutama jenis dan penyaringan darah) dapat menyebabkan reaksi minor antibody namun merupakan terapi yang sesuai ketika tersedia secepatnya (5-10menit). PRC O-negatif yang belum dicocokkan haruslah disimpan untuk keadaan kehilangan darah yang mengancam jiwa yang tidak bisa digantikan secara adekuat dengan yang lain (contoh eksanguinasi).

Cairan kristaloid cepat tersedia dan tidak mahal. Resusitasinya membutuhkan jumlah yang banyak, dikarenakan cairan kristaloid tidak tinggal di ruang intravaskuler. Cairan ringer laktat tampak lebih sedikit menyebabkan asidosis hiperkloremik dibandingkan normal saline, walaupun kalsium merupakan bentuk yang menyebabkan kurang kompatibel dengan transfuse darah. Cairan yang mengandung dekstrosa mampu mengeksaserbasi kerusakan iskemik otak dan harus dihindari pada keadaan tidak adanya hipoglikemia. Bahkan ringer laktat sedikit hipotonik dan ketika diberikan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan edema serebral., cairan hipertonik seperti saline 3% atau 7.5% adalah efektif untuk merusitasi volume dan kurang berhubungan dengan edema serebral dibandingkan dengan cairan ringer laktat atau normal saline pada keadaan trauma kepala. Walaupun sedikit jumlah saline hipertonik yang secara cepat meningkatkan volume plasma, kegunaannya dibatasi oleh hipernatremia yang progresif. Vasodilatasi dan hipotensi transien juga memungkinkan diobservasi.1,2

5

Page 6: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

Cairan koloid lebih mahal dibandingkan dengan kristaloid, namun lebih efektif dalam menjaga volume intravaskuler secara cepat, defisit cairan interstitial yang berhubungan dengan syok hipovolemik mungkin lebih baik ditangani dengan cairan kristaloid atau kombinasi kristaloid dan koloid. Albumin lebih dipilih dibandinglan dextran atau hetastarch karena dapat menginduksi koagulopati.

Ketika dipilih terapi cairan, cairan tersebut harus dihangatkan dahulu sebelum dimasukkan, Sistem infus cepat dengan menggunakan kateter vena berlubang besar dan cairan yang dihangatkan adalah bermanfaat selama transfusi masif. Selimut hangat dan humidifier yang dipanaskan juga bermanfaat untuk menjaga temperatur tubuh. Keadaan hipotermia memperburuk keseimbangan asam-basa, koagulopati, dan disfungsi miokardial. Hal tersebut juga menggeser kurva hemoglobin ke arah kiri dan menurunkan metabolisme laktat, sitrat dan beberapa obat anestesi. Jumlah cairan yang dimasukkan tergantung pada perbaikan tanda klinis, terutama tekanan darah, tekanan nadi, dan detak jantung.2,4

Tekanan vena sentral dan keluaran urin juga mendukung indikasi pemeliharaan perfusi organ vital.

Perfusi organ yang tidak adekuat yang bersamaan dengan metabolisme aerob, menghasilkan asam laktat dan asidosis metabolik. Sodium bikarbonat, yang akan menjadi ion bikarbonat dan CO2, dapat memperburuk asidosis intraseluler karena biikarbonat relative tidak dapat larut dibandingkan CO2. Ketidakseimbangan asam-basa pada akhirnya akan dinormalkan melalui hidrasi dan perfusi organ yang membaik. Laktat akan dimetabolisme di hepar menjadi bikarbonat dan H+ akan dieskresi lewat ginjal.

Hipotensi pada pasien syok hipovolemik harus ditangani secara agresif dengan cairan intravena dan produk darah, bukan dengan vasopressor, kecuali didapatkan keadaan hipotensi yang tidak responsive dengan terapi cairan, adanya syok kardiogenik atau henti jantung.

Syok yang refrakter terhadap terapi cairan yang agresif mungkin disebabkan perdarahan yang tidak terkontrol yang menyebabkan peningkatan laju transfusi atau menjadi syok kardiogenik (contoh, tamponade pericardial, kontusio miokard, infark miokard), syok neurogenik (contoh, disfungsi batang otak, transeksi medulla spinalis), syok septik (komplikasi lambat), gagal paru (contoh, penumothorak, hematothorak), atau asidosis atau hipotermia yang berat.2,3,4

Disabilitas Penilaian disabilitas terdiri dari pemeriksaan neurologik yang cepat. Karena biasanya tidak ada waktu untuk pemeriksaan Glas gow Coma Scale, maka digunakan sistem AVPU: awake (bangun), verbal respone

6

Page 7: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

(respon verbal), painful respone (respon nyeri), dan unrespone (tidak respon).

EksposurPasien harus dalam keadaan tidak berpakaian untuk pemeriksaan trauma. In-line imobilisasi harus dilakukan jika dicurigai adanya trauma leher atau medulla spinalis.

SURVEI SEKUNDERSurvei sekunder dimulai hanya bila ABC sudah stabil. Pada survey

sekunder, pasien dievaluasi dari kepala sampai kaki dan pemeriksaan sesuai indikasi (contoh, radiografi, tes laboratorium, prosedur diagnostic invasif) sudah dilaksanakan. Pemeriksaan pada kepala meliputi pemeriksaan trauma pada kulit kepala, mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis meliputi Glasgow Coma Scale dan pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik juga reflek. Dilatasi pupil tidak selalu menunjukkan adanya kerusakan otak yang ireversibel. Thorak diperiksa dengan auskultasi dan di inspeksi lagi adanya fraktur dan intergritas fungsi (flail chest). Menurunnya suara dasar paru menunjukkan adanya pneumothorak yang berkembang lambat atau meluas yang membutuhkan dilakukan pemasangan chest tube. Sama halnya dengan suara jantung yang menjauh, tekanan nadi yang melemah, dan distensi vena leher mungkin menjadi tanda adanya tasmponade perikard, yang membutuhkan porikardiosintesis. Hasil pemeriksaan awal yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan terjadinya masalah-masalah tersebut. Pemeriksaan pada abdomen meliputi inspeksi, auskultasi, dan palpasi. Pemeriksaan pada ekstremitas meliputi adanya fraktur, dislokasi, dan pulsasi perider. Umumnya dilakukan pemasangan kateter urin dan nasogastrik tube. Analisis laboratorium meliputi perhitungan darah lengkap (atau hematokrit atau hemoglobin), elektrolit, glukosa, blood urea nitrogen (BUN), dan kreatinin. Analisis gas darah juga sangat membantu. Pemeriksaan foto x-ray juga harus dilakukan pada semua pasien dengan trauma mayor. Kemungkinan trauma servikal juga dievaluasi dengan semua 7 vertebra servikal dengan pemeriksaan rongten lateral cross-table dan swimmer. Walaupun studi ini dapat mendeteksi 80-90%fraktur, namun hanya dengan hasil pemeriksaan CT-Scan yang normal yang dapat menyingkirkan adanya trauma servikal. Pemeriksaan rongten tambahan dapat meliputi pemeriksaan pada tengkorak kepala, pelvis, dan tulang panjang. Pemeriksaan cepat dengan sonografi untuk trauma (FAST) dapat dilakukan dengan cepat, mendampingi, pemeriksaan ultrasound dapat memperlihatkan perdarahan intraperitoneal atau tamponade parikardium. Pemeriksaan FAST, yang menjadi pemeriksaan yang berkembang pada pasien tauma, dapat memeriksa 4 area untuk cairan bebas : ruang perihepatic/hepatorenal, ruang perisplenik, pelvic dan pericardium. Tergantung pada jenis trauma dan keadaan hemodinamik dari pasien, tehnik

7

Page 8: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

pemeriksaan imaging lainnya (contoh CT-Scan thorak, atau angiogradi) atau tes diagnostik seperti diagnostic peritoneal lavage (DPL) mungkin dapat dilakukan.1,2,5,11

SURVEI TERSIERBanyak pusat-pusat trauma juga melakukan survey tersie (TTS) untuk menghindari trauma yang terlewat. Sebanyak 2% sampai 50% trauma yang terlewat pada survey primer dan sekunder, teruma pada trauma tumpul multiple (contoh kecelakaan mobil). Survey tersier dilakukan untuk mengevaluasi pasien dalam mengindentifikasi semua trauma setelah resusitasi awal dan intervensi operasi. Hal tersebut biasanya muncul dalam 24 jam trauma. Pemeriksaan ini biasanya memberikan hasil pada pasien yang lebih sadar yang mana mampu berkomunikasi penuh dalam memberitahukan semua keluhan, memerikan informasi yang lebih detail mengenai mekanisme trauma, dan pemeriksaan yang detail mengenai rekam medik untuk mengetahui komorbiditas yang akan datang.1,2,4

Survey tersier muncul mengawali untuk menyingkirkan dan mengkonfirmasi trauma yang diketahui. Hal tersebut meliputi pemeriksaan dari kepala-kaki lainnya dan meneliti pemeriksaan semua laboratorium dan imaging. Trauma yang terlewat meliputi fraktur ekstremitas dan pelvic, trauma medulla spinalis dan kepala, dan trauma abdominal serta saraf perifer.

Table 1. klasifikasi syok oleh sebab mekanik dan umum

Syok hipovolemikKehilangan darah (syok hemoragik)

Perdarahan eksternalTraumaPerdarahan gastrointestinal

Perdarahan internalHematomaHemothorak atau hemoperitoneum

Kehilangan plasmaLuka bakarDermatitis eksfoliatif

Kehilangan cairan dan elektrolitEksternal

MuntahDiareKeringat yang berlebihanKeadaan hiperosmolar (ketoasidosis diabetic, hiperosmolar

non ketotik)Internal (“ruang ketiga”)

PancreatitisAscitesObstruksi usus

8

Page 9: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

Syok kardiogenikDisritmia

Takiaritmiabradiaritmia

Kegagalan pompa jantung (sekunder dari infark miokard atau kardiomiopati lainnya)Disfungsi katup jantung akut (terutama lesi regurgitasi)Rupture septum ventrikel atau dinding ventrikuler yang hilangSyok obstruktifTension pneumothorakPenyakit pericardium (tamponade, kontriksi)Penyakit paru vaskular (emboli pulmonal massif, hipertensi pulmonal)Tumor jantung (miksoma atrium)Thrombus mural atrium kiri)Penyakit katup obstruktif (stenosis aorta atau mitral)Syok distributiveSyok septicSyok anafilaktikSyok neurogenikObat vasodilatorInsufisiensi adrenal akut.

1reproduced with permission, from Ho MT, Saunders CE Current Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed, Appleton & Lange, 1992.

Table 2. Klasifikasi klinis syok

Patofisiologi Manifestasi klinisRingan (<20% kehilangan volume darah)

Penurunan perfusi perifer pada organ yang dapat tahan iskemia lama (kulit, lemak, otot, dan tulang)pH Arteri normal

Pasien mengeluh kedinginan. Hipotensi postural dan takikardia. Kulit yang memucat dan dingin; vena leher yang kollaps; urin yang pekat

Sedang (20-40% kehilangan volume darah)

Penurunan perfusi perifer pada organ yang dapat mentolerir pada iskemia yang … (hepar, usus, dan ginjal). Terdapat asidosis metabolik

Haus. Hipotensi supine dan takikardia (bervariasi). Oliguria dan anuria)

Berat (>40% kehilangan volume darah)

Penurunan perfusi jantung dan otak. Asidosis metabolic yang berat. Kemungkinan muncul asidosis respiratorik.

Agitasi, konfusi, atau obtundation, hipotensi supine dan takikardi yang tidak bervariasi. Nafas dalam yang cepat.

9

Page 10: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

PERTIMBANGAN ANASTESI

PERTIMBANGAN UMUM

Anastesi regional biasanya tidak praktis dan tidak menguntungkan untuk

pasien cedera yang mengancam nyawa dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Jika pasien tiba di ruang operasi dengan intubasi yang sudah terpasang,

posisi yang benar dari intubasi harus benar – benar diperhatikan. Pasien

dengan curiga cedera kepala harus diberi hiperventilasi agar menurunkan

tekanan intrakranial. Pada pasien pnemothorax, fail chest, sumbatan pada

endotrakeal atau trauma paru - paru terdapat kompresi dari pernafasan.

Jika intubasi belum terpasang pada pasien, maka prosedur – prosedur

untuk menjaga jalan nafas seperti yang telah dijelaskan harus dilakukan

sebelum memasuki ruangan operasi. Jika waktu memungkinkan kondisi

hipovolemi sebaiknya sebagian telah dikoreksi sebelum memulai induksi

anastesi umum. Resusitasi cairan dan tranfusi sebaiknya dilanjutkan setelah

induksi dilakukan dan saat fase maintenance anastesi. Biasanya agen induksi

anastesi yang digunakan untuk pasien dengan trauma adalah ketamin dan

etomidate . Pada beberapa penelitian mengatakan walaupun resusitasi cairan

telah adekuat dilakukan, dosis profofol yang diperlukan untuk induksi

hendaknya diturunkan ( 80 – 90 %) pada pasien dengan trauma luas.

Meskipun ketamin dan NO2 secara tidak langsung menstimulasi fungsi

jantung, namun pada pasien yang sudah shock dan efek simpatisnya sudah

maksimal distimulasi, obat ini dapat menyebabkan depresi terhadap

kardiovaskuler. Hipotensi juga dapat disebabkan induksi dengan etomidate.1,6

Fase maintenance pada pasien yang tidak stabil dapat dilakukan

dengan penggunaan muscle relaksan ( juga disebut agen pemblok

neuromuskuler ) dengan titrasi agen anastesi umum pada batas yang ditolerir

( tekanan arteri rata – rata > 50 – 60 mmHg ) – paling minimal menyebabkan

amnesia. Penggunaan ketamin dengan dosis kecil intermiten ( 25 mg tiap 15

menit) biasanya dapat ditolerir dan dapat mengurangi angka kejadian pasien

sadar, terutama apabila digunakan bersamaan dengan agen anastesi volatile

10

Page 11: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

konsentrasi rendah ( < 0,5 MAC). Adjuvan yang lain dapat juga berguna

digunakan untuk mencegah pasien sadar misalnya midazolam ( intermiten 1

mg) atau scopolamin ( 0,3 mg). Banyak klinisi yang tidak menggunakan

nitrous okside pada semua pasien – pasien dengan trauma karena

kemungkinan dapat menyebabkan pnemothorax dan mengurangi konsentrasi

oksigen pada aliran udara inspirasi. Sebenarnya yang cenderung menurunkan

tekanan darah ( seperti pelepasan histamin dengan menggunakan atracurium

dan mivacurium ) sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan shok

hipovolemik. Persentasi dari peningkatan konsentrasi alveolar dari agen

anastesi inhalasi pada pasien shok lebih besar karena penurunan dari kardiak

output dan peningkatan ventilasi. Tekanan parsial alveolar anastesi yang lebih

besar cenderung menyebabkan peningkatan tekanan parsial arteri dan depresi

dari miokardium. Begitu juga dengan efek dari anastesi intravena juga

meningkat karena ketika disuntikan dengan volume kecil intravena. Kunci

untuk melakukan anastesi yang aman pada pasien yang shock adalah dengan

memberikan dosis kecil tambahan dari agen yang terpilih.1,3,6

Monitoring invasif ( lewat arteri, central venous dan monitor tekanan

arteri pulmonal ) dapat sangat menolong dalam membantu resusitasi cairan,

tetapi pemasukan dari alat – alat monitor ini sebaiknya tidak mengganggu

resusitasi cairan tersebut. Hematokrit serial ( atau hemoglobin ), analisis gas

darah arteri dan elektrolit cairan sangat berguna pada resusitasi yang

berkepanjangan.

TRAUMA DADA

Trauma dada dapat sangat menekan fungsi dari jantung, paru yang

menyebabkan shok kardiogenik atau hipoksia. Pneumothorak simple

merupakan akumulasi udara diantara pleura pariaetal dan viseral. Kolaps pada

satu sisi paru menyebabkan abnormalitas yang berat pada ventilasi atau perfusi

dan hipoksia berat. Dada yang sangat mengembang apabila diperkusi yang

didengar adalah hipersonor dan penurunan atau tidak ada suara nafas dan pada

foto thoraks didapatkan paru kolaps. Nitrous oksida akan memperberat

pneumothoraks dan merupakan kontraindikasi pada pasien – pasien ini.

11

Page 12: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

Pemasangan chest tube di spatium interkosta IV atau V pada garis axillaris

anterior sampai medial dapat mengatasi pasien ini. Kebocoran udara yang

menetap setelah pemasangan chest tube dapat memperluas cedera sampai ke

daerah bronkus.7

Pnemothorax tension timbul apabila terjadi udara yang terperangkap

pada rongga pleura melalui katup satu arah pada paru atau dinding dada. Pada

kasus ini, udara didorong hingga ke rongga thorax pada saat inspirasi tetapi

tidak dapat keluar saat ekspirasi. Sehingga, paru ipsilateral kolaps dan

mediastinum dan trakea bergeser ke sisi kontralateral. Simple pneomothorax

dapat menjadi tension pnemothorax ketika ventilasi tekanan positif diberikan.

Venous return dan pengembangan paru kontralateral terganggu. Tanda

klinisnya adalah suara dasar paru tidak ada dan perkusi yang hipersonor,

pergeseran trakea yang kontralateral dan peninggian JVP. Pemasangan needle

kateter 14 – gauge ( panjang 3 – 6 cm) pada spatium interkostal kedua pada

linea midklavikula dapat mengganti tension pneumothorax menjadi open

pneumothorax. Penanganan yang efektif adalah pemasangan chest tube seperti

yang dijelaskan di atas.1,7,8

Fraktur kosta multiple dapat menekan keseluruhan fungsi rongga

thorax mengakibatkan fail chest. Hipoksia sering makin diperburuk pada

pasien ini dengan penyakit lain seperti kontusio paru atau hematothorax.

Kontusio pulmo menyebabkan perburukan gagal nafas. Hematothorax

dibedakan dengan pneumothorax dengan nyeri pada perkusi pada lapangan

paru suara nafasnya hilang. Hemomediastinum, sama seperti hematothorax

dapat juga menyebabkan shok hemoragik. Hemoptisis massif membutuhkan

isolasi pada paru yang terkena dengan tube dengan dua lumen (DLT) untuk

mencegah darah memasuki paru yang sehat. Penggunaan endotrakeal lumen

tunggal dengan bronkial blok lebih aman ketika laringoskopy sulit untuk

dilakukan atau terdapat masalah dengan pemasangan DLT. Cedera bronkial

yang lebih luas juga membutuhkan pemisahan paru dan ventilasi hanya dari

paru yang tidak terkena cedera. Ventilasi frekuensi cepat dapat digunakan

sebagai alternatif untuk memompa udara tekanan rendah dan membantu

memperkecil kebocoran udara bronkial ketika terjadi kebocoran udara bilateral

12

Page 13: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

bronkial atau pemisahan paru – paru tidak dapat dikerjakan. Kebocoran udara

dari bronkus yang terkena trauma dapat memasuki vena pulmonalis yang

terbuka menyebabkan emboli udara pulmonal dan sistemik. Sumber dari

kebocoran harus secepat mungkin dideteksi dan dikendalikan. Kebanyakan

ruptur bronkial terdapat pada 2,5 cm di atas karina.7,8,9

Kardiak tamponade adalah cedera dada yang mengancam jiwa yang

harus didiagnosis secepatnya. Ketika scan yang cepat atau echocardiografy

tidak tersedia, timbulnya trias Beck’s ( distensi vena jugularis, hipotension,

dan suara jantung yang teredam ), pulsus paradokus ( penurunan tekanan darah

> 10 mmHg saat inspirasi spontan ) dan kecurigaan yang tinggi dapat

membantu dalam menegakkan diagnosis. Pericardiosintesis dapat memberikan

pertolongan sementara. Ini dilakukan dengan menusuk jarum kateter ( minimal

panjang 15 cm ) 16 – gauge dari artikulasio xiphochondral ke puncak dari

scapula kiri dengan sudut 45o dengan panduan echocardiografy tranthorax atau

electrocardiogram. Perubahan elektrokardiografi selama pericardiosintesis

menandakan tusukan yang terlalu dalam pada miokardium. Terapi defenitif

dari kardiak tamponade adalah thoracotomi. Prosedur anastesi dari pasien ini

sebaiknya memaksimalkan inotropik jantung, kronotropik dan preload. Untuk

alasan ini, ketamin lebih baik digunakan untuk agen induksi. Cedera penetrasi

pada jantung atau aorta membutuhkan eksplorasi secepatnya tanpa menunggu.

Manipulasi berulang pada jantung sering menimbulkan episode bradikardi

yang hilang timbul dan hipotensi yang berat.7,9

Kontusio miokard biasanya didiagnosa dengan menggunakan

perubahan elektrokardiografi yang konsisten dengan gambaran iskemia

( elevasi segmen ST ), peninggian enzim jantung ( CKMB atau kadar

troponin ) atau gambaran abnormal dari echocardiogram. Gerakan dinding

jantung yang abnormal dapat diamati dengan echocardiografi transthorasis.

Pasien dengan risiko tinggi untuk terjadi disritmia, seperti blok jantung dan

fibrilasi ventrikel. Operasi elektif sebaiknya ditunda sampai semua tanda dari

cedera jantung ditangani.

13

Page 14: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

Kemungkinan cedera lainnya akibat trauma dada adalah transeksion

dari aorta atau aorta diseksion, avulsi dari arteri subclavia, gangguan katup

mitral atau aorta, herniasi diafragmatika traumatik dan ruptur oesofagus.

Transeksio dari aorta biasanya terjadi pada distal arteri subclavia kiri akibat

cedera deselerasi berat, umumnya membentuk gambaran mediastinum yang

lebar pada foto thorax dan dapat disebabkan oleh fraktur kosta I.8,9

Sindroma distress pernafasan akut merupakan komplikasi cedera yang

terjadi belakangan yang dapat disebabkan oleh banyak hal; sepsis, cedera dada

langsung, aspirasi, cedera kepala, emboli lemak, transfusi massif, dan

toksisitas oksigen. Tentunya pasien dengan trauma rentan untuk terjadi hal –

hal di atas. Meskipun dengan kemajuan tehnologi sekarang ini, angka

kematian dari ARDS dapat muncul segera pada kamar operasi. Begitu juga

dengan aspirasi pnemonia setelah aspirasi di daerah memasukkan intubasi,

dapat timbul pertama kali di ruang operasi dan dapat dibingungkan dengan

ARDS. Ventilator mekanik pada mesin anastesi sering tidak mampu untuk

memberikan aliran gas pada pasien yang terjadi pengembangan paru yang

buruk; penggunaan ICU ventilator mampu menjaga aliran gas yang adekuat

pada tekanan airways yang tinggi apabila perlu.7,9

TRAUMA ABDOMEN

Pasien yang terjadi trauma luas sebaiknya dicurigai terjadi trauma abdomen

sampai terbukti tidak. Lebih dari 20 % dengan trauma abdomen tidak ada sakit

atau tanda – tanda dari peritonitis (nyeri saat perkusi, ileus atau muscle

defend) pada pemeriksaan pertama. Jumlah besar darah ( hematoperineum

akut ) dapat terjadi pada cedera abdomen ( lien atau hati ) dengan tanda –

tanda yang minimal. Trauma abdomen biasanya terbagi menjadi cedera

penetrasi ( seperti cedera tembakan ) dan nonpenetrasi ( seperti deselerasi,

ruptur atau cedera kompresi ).10

Cedera abdomen penetrasi biasanya diperjelas dengan luka masuk pada

abdomen atau dada bagian bawah. Orga yang biasanya terkena adalah hati.

Pasien yang cenderung untuk terjadi shok terbagi menjadi tiga tanda : (1) tidak

ada nadi, (2) hemodinamik yang tidak stabil, (3) dan stabil. Pulseless dan

14

Page 15: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

hemodinamik yang tidak stabil ( gagal untuk menjaga tekanan darah sistolik

80 – 90 mmHg setelah 1 – 2 L resusitasi cairan seharusnya segera dilakukan

laparotomi. Mereka biasanya memiliki cedera pembuluh darah besar atau

organ padat. Pasien dengan hemodinamik yang stabil dengan gejala klinis

peritonitis atau evisceration seharusnya juga dilakukan laparotomi secepatnya.

Tanda signifikan dari cedera abdomen adalah udara bebas pada x-foto thorax,

darah dari pipa NGT, hematuria dan melena. Evalusi selanjutnya pada pasien

dengan hemodinamik stabil adalah pemeriksaan fisik serial, eksplorasi luka

lokal, bilas peritoneum, scan yang cepat, atau CT – scan abdomen atau

laparoskopi. Penggunaan scan yang cepat dan CT-scan abdomen menurunka

penggunaan bilas peritonium.9,10

Cedera abdomen tumpul akan menyebabkan kematian dan kecacatan

dan menyebabkan cedera intraabdomen. Ruptur lien yang paling sering.

Penggunaan scan cepat pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan

trauma tumpul abdomen disarankan untuk segera dioperasi. Jika pada

pemeriksaan scan cepat didapatkan hasil yang negatif , terutama tanpa tanda –

tanda peritoneal pencarian akan sumber perdarahan lainnya atau penyebab

shok nonhemoragik disarankan. Managemen dari pasien dengan hemodinamik

stabil dengan trauma tumpul abdomen berdasarkan dengan scan cepat. Jika

didapatkan hasil yang positif pada scan positif, keputusan untuk melakukan

laparoskopi atau laparatomi biasanya berdasarkan gambaran CT abdomen.

Jika hasil scan cepat didapatkan hasil negatif pengamatan berkala dengan

pemeriksaan yang serial dan pengulangan scan cepat disarankan.

Hipotensi berat dapat terjadi setelah pembukaan abdomen karena efek

tamponade dari darah yang ekstravasasi ( dan distensi usus ) hilang. Kapanpun

selagi dapat persiapan untuk resusitasi cairan dan darah dengan infus cepat

harus sudah dilakukan sebelum dilakukan laparotomi. Nitrous okside

sebaiknya jangan digunakan karena dapat memperburuk distensi usus. NGT

( jika belum terpasang ) dapat membantu mencegah dilatasi gaster tetapi

seharusnya dipasang oral jika dicurigai terdapat fraktur plate cribiform. Efek

samping yang mungkin terjadi akibat transfusi darah yang banyak harus

diantisipasi, terutama apabila trauma abdomen akibat cedera vaskuler, hati,

15

Page 16: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

lien atau ginjal, fraktur pelvis, atau perdarahan retroperitoneal. Hiperkalemia

akibat transfusi bahaya dan harus segera diatasi.9,10,11

Perdarahan hebat abdomen harus diklem pada daerah perdarahan di

aorta abdominal sampai daerah perdarahan diidentifikasi dan resusitasi dapat

menggantikan darah yang telah hilang. Klem aorta yang kelamaan dapat

menyebabkan cedera iskemik pada hati, ginjal, usus, dan pada beberapa kasus

dapat terjadi sindroma kompartemen pada ekstremitas inferior dan akhirnya

dapat menyebabkan rhabdomiolisis dan gagal ginjal akut. Penggunaan infus

manitol dan diuretik loop ( sebelum klem aorta ) selama resusitasi cairan dapat

mencegah gagal ginjal pada beberapa kasus namun masih kontroversial.

Resusitasi cairan dan darah cepat melalui alat infus cepat, keduanya dengan

kontrol terhadap perdarahan, dapat memperpendek waktu yang diperlukan

untuk klem dan sepertinya dapat menurunkan terjadinya komplikasi.10,11,12

Edema usus progesif akibat cedera dan resusitasi cairan dapat

mengganggu penutupan abdomen saat diakhir pembukaan abdomen.

Penutupan abdomen yang ketat jelas dapat meningkatkan tekanan

intrabadomen, menyebabkan sindroma kompartemen abdomen yang dapat

menyebabkan iskemik ginjal dan lien. Oksigenasi dan ventilasi biasanya

terkompresi berat, meskipun otot telah dilumpuhkan sempurna. Oliguria dan

disfungsi ginjal dapat terjadi. Pada beberapa kasus, abdomen seharusnya

dibuka disamping kiri ( tetapi masih ditutupi bahan yang steril—biasany

dengan kantung plastik untuk intravena ) selama 48 – 72 jam sampai edema

hilang dan penutupan sekunder dapat terjadi.12,13

TRAUMA EKSTREMITAS

Cedera ekstremitas dapat mengancam nyawa karena menyebabkan cedera

vaskuler dan komplikasi berupa infeksi sekuder. Cedera vaskuler dapat

menyebabkan perdarahan hebat dan mengancam viabilitas ekstremitas.

Sebagai contoh, fraktur femur dapat disebabkan kehilangan darah yang tidak

kelihatan dan fraktur pelvis tertutup dapat menyebabkan perdarahan tertutup

yang lebih parah menyebabkan shok hipovolemik. Keterlambatan atau posisi

yang tidak benar dapat memperburuk dislokasi dan nantinya akan menekan

16

Page 17: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

cabang neurovaskuler. Emboli lemak akibat fraktur pelvik dan tulang panjang

dan dapat menyebabkan insufisiensi pulmonal, disritmia, petekie, dan

gangguan mental dalam 1 – 3 hari setelah trauma. Diagnosis laboratorium dari

emboli lemak tergantung dari peningkatan serum lipase lemak dalam urin dan

trombositopenia.14,15

Sindrom kompartemen dapat juga terjadi setelah hematom luas

intramuskuler, cedera berat, fraktur dan cedera amputasi. Peningkatan tekanan

pada fasia interna bersama dengan penurunan tekanan arteri dapat

menyebabkan iskemik, hipoksia jaringan, dan pembengkakan yang progresif.

Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, rhapdomiolisis dan gagal ginjal

dapat terjadi. Reperfusi saat tekanan darah kembali pulih dapat memperburuk

cedera dan menyebabkan edema. Lengan atas dan tungkai bawah adalah

bagian yang paling berisiko. Diagnosis ditegakkan secara klinis atau

berdasarkan pengukuran langsung dari tekanan kompartemen lebih dari 45

mmHg atau antara 10 – 30 mmHg tekanan diastolik. Fasiotomi secepatnya

dapat menyelamatkan tungkai.15,16

Teknik operasi modern biasanya dapat mengimplimentasikan kembali

ekstremitas dan jari – jari yang terpotong. Tungkai yang dingin dan

teramputasi dapat diimplantasikan kembali setelah 20 jam paska amputasi;

bagian yang tidak dingin dalam waktu 6 jam. Jika cedera diisolasikan, teknik

regional ( seperti blok pleksus brakialis atau interscalene ) sering disarankan

untuk meningkatkan aliran darah ferifer dengan intervensi pada sistem

simpatis. Selama anastesi umum, pasien sebaiknya dijaga agar tetap hangat,

dan gemetaran yang timbul harus dicegah untuk memaksimalkan perfusi.

17

Page 18: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

DAFTAR PUSTAKA

1. Dutton RP, Sharrar SR: Trauma. Int Anesth Clin 2002:40:1.

2. Dabrowski GP, Steinberg SM, Ferrara JJ, Flint LM: A critical assessment of endpoints of shock resuscitation. Surg Clin North Am 2000;80:825. [PMID: 10897263]

3. King BS, Gupta R, Narayan RK: The early assessment and intensive care unit management of patients with severe traumatic brain and spinal cord injuries. Surg Clin North Am 2000;80:855. [PMID: 10897265]

4. Boffard KD, Brooks AJ: Pancreatic trauma—injuries to the pancreas and pancreatic duct. Eur J Surg 2000;166:4. [PMID: 10688209]

5. Kirkpatrick AW, Sirois M, Bali CG, et al: The hand-held ultrasound examination for penetrating abdominal trauma. Am J Surg 2004;187:660. [PMID: 15135687]

6. Rosenberg AD, Grande C, Bernstein RL: Pain Management and Regional Anesthesia in Trauma. W.B. Saunders, 1999.

7. Slater MDJ, Mullins RJ: Crush injury and rhabdomyolysis. Crit Care Clin 2004;20:171. [PMID: 14979336]

8. Demetriades D,Murray JA, Brown C, et al.High-level falls: type and severity of injuries and survival outcome according to age. J Trauma 2005;58:342–5.

9. Newgard CD, Lewis RJ,Kraus JF. Steering wheel deformity and serious thoracic or abdominal injury among drivers and passengers involved inmotor vehicle crashes.Ann EmergMed 2005;45:43–50.

10. Schauer BA, Nguyen H, Wisner DH, et al. Is definitive abdominal evaluation required in blunt trauma victims undergoing urgent extra abdominal surgery. Acad Emerg Med 2005; 12:707–11.

11. Ollerton JE, SugrueM, Balogh Z, et al. Prospective study to evaluate the influence of FAST on trauma patient management [see comment]. J Trauma 2006;60:785–91

12. Hackam DJ, Ali J, Jastaniah SS. Effects of other intra-abdominal injuries on the diagnosis,management, and outcome of small bowel trauma. J Trauma 2006;49:606–10.

13. Marx JA, Isenhour JL. Abdominal trauma. In: Marx JA, editor. Rosen’s emergency medicine: concepts and clinical practice. 6th edition.

18

Page 19: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

Philadelphia: Mosby; 2006.14. ConradMF, Patton JH Jr, ParikshakM, et al. Selective management of

penetrating truncal injuries: is emergency department discharge a reasonable goal? Am Surg 2003;69:266–72.

15. Kamel et al. (1999). Time to Ambulation After Hip Fracture Surgery: Relation to Hopitalization Outcomes. Diambil tanggal 13 Juni 2009 http:biomed.gerontologyjournal.org/cgi/content/full/58/11/M1042#T02.

16. Oldmeadow, B.L. et al. (2006). No Rest for the Wounded: Early Ambulation After Hip Surgery Accelerates Recovery. Diambil tanggal 26 Juni 2009 darihttp://proquest.umi.com/pqdweb?did=1682638771&Fmt=3&clienttld

=6392&RQT=309&VName=PQD.

19

Page 20: 81886892 Anestesi Pada Trauma Cover

Tinjauan Pustaka

PENGELOLAAN ANESTESI UNTUK PASIEN TRAUMA DADA,ABDOMEN DAN EKSTREMITAS

Oleh:

dr. Aunun Rofiq

Pembimbing :

dr. Jati Listiyanto P, SpAn, KIC.

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FK.UNDIP / RSUP. Dr.KARIADI SEMARANG.

2012

20