76664095-Referat-skleritis

30
I. Anatomi dan Fisiologi Sklera Sklera, yang lebih dikenal sebagai bagian putih dari mata, adalah jaringan terkeras dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela membran yang bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk menjaga kelembapan mata. Sklera terdiri dari jaringan fibrosa dengan ketebalan 10 – 14 mikron, dan kaya akan serat elastik serta mengandung otot halus. 9 Sklera berfungsi untuk melindungi struktur bola mata yang halus dan tempat melekatnya otot bola mata. Gambar 1. Anatomi Bola Mata (Sumber: http://biologinyanuris.blogspot.com/2009/05/sistem-indra- indra penglihat.html) Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1 mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap 1

Transcript of 76664095-Referat-skleritis

Page 1: 76664095-Referat-skleritis

I. Anatomi dan Fisiologi Sklera

Sklera, yang lebih dikenal sebagai bagian putih dari mata, adalah jaringan

terkeras dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela

membran yang bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk

menjaga kelembapan mata. Sklera terdiri dari jaringan fibrosa dengan ketebalan 10 –

14 mikron, dan kaya akan serat elastik serta mengandung otot halus.9 Sklera berfungsi

untuk melindungi struktur bola mata yang halus dan tempat melekatnya otot bola

mata.

Gambar 1. Anatomi Bola Mata

(Sumber: http://biologinyanuris.blogspot.com/2009/05/sistem-indra-indra

penglihat.html)

Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis

ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1

mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan tersobek

karena trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya,

yaitu di belakang insersio otot rektus.6

Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk

lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina

kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut sebagai emissaria. Pada

sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior.

Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian

anterior terdapat jalan untuk pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot

rektus.6

1

Page 2: 76664095-Referat-skleritis

Gambar 2. Sklera

(Sumber: http://www.thirdeyehealth.com/images/sclera-1.jpg)

II. Etiologi

Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan

penyakit sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah:

I. Autoimun (48%)

o Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain:13

Rheumatoid arthritis

Systemic lupus erythematosus

Ankylosing spondylitis

Reactive arthritis

Psoriatic arthritis

Gouty arthritis

Inflammatory bowel diseases

Relapsing polychondritis

Polymyositis

Sjögren syndrome

Mixed connective tissue disease

Progressive systemic sclerosis

o Penyakit vaskulitik, antara lain:14

Polyarteritis nodosa

Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome

2

Page 3: 76664095-Referat-skleritis

Wegener’s granulomatosis

Behçet disease

Giant cell arteritis

Cogan syndrome

II. Infeksi dan Granulomatosa (7%)1

o Tuberkulosis

o Sifilis

o Sarkoidosis

o Toksoplasmosis

o Herpes simpleks

o Herpes zoster

o Infeksi Pseudomonas

o Infeksi Streptokokus

o Infeksi Stafilokokus

o Aspergilosis

o Leprosi

III. Lain-lain (2%)

o Atopi

o Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan

(pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate).15

IV. Idiopatik

3

Page 4: 76664095-Referat-skleritis

III. Patofisiologi

Gambar 3. Skleritis

(Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm)

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50

persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang

menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis,

systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis,

herpes zoster virus, gout dan sifilis.7

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah

gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi

autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab

terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen,

atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang

mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon

granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).10

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari

antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal

(reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan

menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG

yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan

juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk

4

Page 5: 76664095-Referat-skleritis

reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara

umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi

sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan

pembentukan kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi

utama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan

permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast melalui

FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan

isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement

sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam – macam lokasi

seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III

adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.16

Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang

disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga

hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan

dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan

peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak

dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut,

membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya,

dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler

yang mana sel mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi

maksimal memakan waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe

lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak

yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan

kimia reaktif.16

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu

deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan

mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar

pada bagian anterior atau bagian posterior mata.

5

Page 6: 76664095-Referat-skleritis

IV. Klasifikasi

Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari

skleritis anterior adalah:11

1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada

seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul

radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior.

Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.

3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit

sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada

sklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai

sklerokeratitis.

4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien

yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh

pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai

skleromalasia perforans.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis

(Sumber: http://eyepathologist.com/images/KL21711.jpg)

6

Page 7: 76664095-Referat-skleritis

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah

resolusi dari nodul

(Sumber: http://www.nature.com/eye/journal/v21/n2/images/6702524f1.jpg)

Gambar 6. Skleromalasia perforans

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior ini

jarang terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis.2

Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata

7

Page 8: 76664095-Referat-skleritis

(koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai

penglepasan retina eksudatif, edema makular, dan papiledema.3

V. Diagnosis

5.1 Anamnesis

Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami

pasien. Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan

mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan

dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis

biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa

nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan bola mata dan dapat

menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada

malam hari, bahkan dapat membangunkan pasien dari tidurnya.

5.2 Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan

tajam penglihatan.11

o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.

o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.

Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan

apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.

Pemeriksaan Sklera10

o Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa

peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan

uvea gelap.

o Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh

peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses

berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan

menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi

oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.

Pemeriksaan slit – lamp10,11

8

Page 9: 76664095-Referat-skleritis

o Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau

segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior

scleritis.

o Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral

bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut

posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena

adanya edema pada sklera dan episklera.

o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai

jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan

episklera.

o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area

avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.

o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau

konjungtivitis juga dapat dilakukan.

Pemeriksaan skleritis posterior11

o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan

proptosis.

o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.

Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.

o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan

koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.17

5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.

Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:1

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah

2. Faktor rheumatoid dalam serum

3. Antibodi antinuklear serum (ANA)

4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)

5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks

6. Serum FTA-ABS, VDRL

7. Serum asam urat

9

Page 10: 76664095-Referat-skleritis

8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis

posterior.5

Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya

akumulasi cairan pada kapsul tenon

(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30)

VI. Diagnosa Banding

o Episkleritis

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara

konjungtiva dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi

toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan

idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia

pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti

skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi

pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis

mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan

dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam

penglihatan.

10

Page 11: 76664095-Referat-skleritis

Gambar 8. Episkleritis

(Sumber: http://www.acuitypro.com/images/Episcler.jpg)

Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa

mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada

episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan

warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas

atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang

dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan

melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini

dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis,

melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin

2,5% topikal.

Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan

pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

11

Page 12: 76664095-Referat-skleritis

Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian

fenilefrin 2,5% topikal.

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

VII. Penatalaksanaan

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien

yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang

spesifik juga.10 Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis

yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada

bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai.

1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau

obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak

mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon

pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.

o Diffuse scleritis atau nodular scleritis

Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat

menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien

resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk

perlindungan gastrointestinal.

Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika

terjadi remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.

12

Page 13: 76664095-Referat-skleritis

Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif

dapat digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama,

tapi dapat juga digunakan azathioprine, mycophenolate,

mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien

dengan Wegener’s granulomatosis atau polyarteritis nodosa,

cyclophosphamide adalah pilihan utama.

Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan

imunomodulator seperti infliximab atau adalimumab yang

diharapkan dapat efektif.

o Necrotizing scleritis

Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan

kortikosteroid pada bulan pertama, kemudian jika mungkin

dikurangi perlahan – lahan.

Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.

Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat

memperparah proses nekrosis yang terjadi.

2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau

tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan

imunosupresif tidak boleh digunakan.

3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit

penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk

pengawasan terapi imunosupresif.

Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam

penyakit skleritis ialah:11

A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)

Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs

bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi

perjalanan dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.

Pemberian:

Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk

menghindari gangguan pada saluran pencernaan.

13

Page 14: 76664095-Referat-skleritis

1. Indometasin (Indocin)

Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat

diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan

konjugasi glukuronid.

Dosis: 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari; tidak melampaui 150

mg/hari

Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal

lebih mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.

2. Diflunisal (Dolobid)

Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai

analgesik. Memiliki efek antipiretik dan anti – radang; tetapi, berbeda secara

kimia dengan aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini

adalah sebuah penghambat prostaglandin – sintase.

Dosis: 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.

Dosis maksimum: 1500 mg/hari.

3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)

Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi

peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase,

menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin.

Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 – 15 jam.

Dosis: 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.

4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)

Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai

sedang, jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan

nyeri, kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, yang

menghasilkan sintesis prostaglandin.

Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral.

14

Page 15: 76664095-Referat-skleritis

Memiliki paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).

Dosis: 300-800 mg PO 4 kali sehari

400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi

3200 mg/hari

5. Sulindac (Clinoril) 

Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat

sintesis prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator

peradangan.

Dosis: 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.

Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.

6. Piroxicam (Feldene) 

Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein

plasma. Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu,

menghambat sintesis prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan

mediator radang.

Dosis: 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40

mg/hari

B. Agen Imunosupresan

Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten

terhadap NSAIDs.

1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)

Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui.

Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala

peradangan (nyeri, bengkak, kaku).

Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO sebanyak

2.5 mg setiap 12 jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti sekali seminggu

15

Page 16: 76664095-Referat-skleritis

Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg

(meningkatkan resiko supresi sum –sum tulang). Kurangi sampai serendah

mungkin. Kurangi sampai dosis efektif terendah dengan waktu istirahat

terpanjang

Awasi : fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru, fungsi hati

2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)

Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai

alkylating agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin

melibatkan penyambungan silang DNA, yang dapat mengganggu

pertumbuhan sel normal dan neoplastik.

Pemberian IV:

Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam

interval 2-4 minggu

Dosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hari

Pemberian oral:

Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten

Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari

Pemberian:

Berikan dosis pertama sepagi mungkin

Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral

Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.

Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai

2000-3000/cu.mm tanpa resiko serius terkena infeksi)

3. Azathioprine (Imuran)

Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu

metabolisme purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein.

Dosis awal: 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat

ditingkatkan seperti berikut:

16

Page 17: 76664095-Referat-skleritis

Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari

setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.

Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis

efektif terendah tercapai

4. Cyclosporine (Neoral)

Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun

yang dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan

cangkok.

Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat

ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari

Awasi: fungsi ginjal

C. Glukokortikoid

Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik.

Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam

pengobatan skleritis yang berulang.

1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)

Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen

imunosupresif lainnya.

Dosis: 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO

Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu

Jika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan

dosis IM setiap harinya sama dengan dosis oral.

Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap

minggu.

Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IV

Dosis: 1 g IV selama 1 jam selama 3 hari

17

Page 18: 76664095-Referat-skleritis

2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)

Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan

cara meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat

menurunkan peradangan.

Dosis: 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai 4 kali

sehari.

VIII. Komplikasi

Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular

edema dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai

koroid, retina, dan saraf optik.12 Makular edema dapat mengakibatkan penurunan

penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan

hilangnya kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama

pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat memicu

terjadinya perforasi serta meningkatkan tekanan intraokular sehingga beresiko

merusak saraf optik akibat glaukoma. Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi

seperti katarak, ablasio retina, keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior

terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada

hampir seluruh kasus skleritis posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus

skleritis anterior.2 Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang

berbeda.8

IX. Prognosis

Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan

penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta

yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan

hilangnya penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.8

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

18

Page 19: 76664095-Referat-skleritis

Kesimpulan

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya

infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Skleritis merupakan

penyakit yang jarang terjadi. Skleritis biasanya terjadi bersama dengan penyakit

sistemik, yaitu penyakit autoimun dan infeksi, namun bisa juga terjadi secara

idiopatik. Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa

nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Selain itu terdapat pula mata

merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.

Skleritis dapat digolongkan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior.

Sekitar 94% kasus skleritis merupakan skleritis anterior dan sisanya adalah skleritis

posterior. Skleritis anterior sendiri dapat dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu diffuse

anterior scleritis, nodular anterior scleritis, necrotizing scleritis with inflammation,

dan necrotizing scleritis without inflammation (scleromalacia perforans). Untuk

mendiagnosa skleritis diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan fisik dan

oftalmologi, serta pemeriksaan penunjang.

Skleritis dapat didiagnosa banding dengan episkleritis. Namun kedua penyakit

ini dapat dibedakan melalui lokasi terjadinya peradangan. Pada episkleritis, proses

peradangan hanya terlokalisir di daerah episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan

konjungtiva. Sedangkan pada skleritis proses peradangan dapat meluas ke seluruh

bagian sklera. Selain itu, rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa

nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien

sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3

Tatalaksana skleritis membutuhkan pengobatan sistemik. Obat-obatan yang

biasa dipakai yaitu NSAIDs, kortikosteroid, agen imunosupresan, dan

imunomodulator. Apabila terdapat penyakit penyerta, harus dikonsultasikan ke bagian

terkait. Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular,

perforasi sklera, glaukoma, uveitis, katarak, dan keratitis. Prognosis skleritis

seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang menyertainya. Necrotizing scleritis

dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen.

19

Page 20: 76664095-Referat-skleritis

Daftar Pustaka

1. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asbury’s General

Ophthalmology. USA: Mc.GrawHill; 2008.

2. E.Smith, Morton. External Disease and Cornea. San Francisco: American

Academy of Ophthalmology; 1985.

3. Easty, DL, G.Smolin. External Eye Disease. England; Butterworths; 1985.

4. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2010.

5. Waldron, Rondra G. B-Scan Ocular Ultrasound [Online]. 2009. Tersedia pada

http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview. {Dikutip tanggal

10 April 2011}

6. Anonim. Sclera [online]. 2010. Tersedia pada

http://www.stlukeseye.com/anatomy/sclera.html. {Dikutip tanggal 29 Maret

2011}

7. Anonim. Scleritis [online]. Tersedia pada

http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm. {Dikutip tanggal 29 Maret

2011}

8. Anonim. Scleritis [online]. 2004. Tersedia pada

http://www.mdguidelines.com/scleritis. {Dikutip tanggal 29 Maret 2011}

9. Axenfeld, T Heidelberg. What is the thickness of the sclera [online]. 2006.

Tersedia pada

http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2006/03/what-is-

thickness-of-sclera.html. {Dikutip tanggal 29 Maret 2011}

10. De la Maza, Maite Sainz, MD, PHD. Scleritis [online]. 2010. Tersedia pada

http://emedicine.medscape.com/article/1228324-overview. {Dikutip tanggal

29 Maret 2011}

11. Gaeta, Theodore J. Scleritis in Emergency Medicine [online]. 2008. Tersedia

pada http://emedicine.medscape.com/article/809166-overview. {Dikutip

tanggal 29 Maret 2011}

20

Page 21: 76664095-Referat-skleritis

12. Smolin, Gilbert et al. Smolin and Thoft’s The Cornea : Scientific Foundations

and Clinical Practice. Edisi ke – 4. Philadelphia: LIPPINCOTT WILLIAMS &

WILKIN; 2005.

13. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with

rheumatoid arthritis and with other systemic immune-mediated diseases.

Ophthalmology. 1994.

14. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic

vasculitic diseases. Ophthalmology. 1995.

15. French DD, Margo CE. Postmarketing surveillance rates of uveitis and

scleritis with bisphosphonates among a national veteran cohort. Retina. 2008.

16. Anonim. Hypersensitivity and Chronic Inflammation [online]. 2002. Tersedia

pada http://www-immuno.path.cam.ac.uk {Dikutip tanggal 4 April 2011}

17. Thill M, Richard G. Giant pigment epithelial tear and retinal detachment in a

patient with scleritis. Retina. Jul-Aug 2005;25(5):667-8. [Medline].

18. Patel, Sayjal J, Diane C Lundy. Ocular Manifestations of Autoimmune

Disease. Journal of American Family Physician. 2002 Sep 15;66(6):991-998.

21