76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

26
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan sempurna. 1 Sebagai seorang Muslim kita memiliki ikatan yang kuat dengan nilai- nilai imani al-Qur’an. Dalam pada itu, tidak mudah begitu saja memisahkan diri dengan nilai tersebut. Mempelajari al-Qur’an bagi seorang muslim tidak hanya semata-mata mencari kebenaran ilmiah, namun lebih dari itu yakni mencari isi kandungan dari rahasia al-Quran. Jika ayat-ayat al-Qur’an itu diperhatikan sepintas lalu terkesan seperti tidak ada korelasi satu dengan yang lain, baik dengan yang sebelum maupun dengan yang sesudahnya, karena ayat-ayat tersebut tampak seolah-olah terputus atau terpisah. Tetapi bila diamati secara seksama akan nampak jelas adanya munasabah (korelasi) yang erat antara yang satu dengan lainnya. Berikut dikemukakan dasar-dasar pemikiran dalam kaitannya dengan itu. 2 Ilmu Munasabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Ilmu munasabah yang merupakan bagian dari telaah tentang al-Qur’an, memiliki peranan penting dalam usaha pencarian makna kebenaran yang tidak lepas dari usaha pembuktian 1 W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Terj. Taufiq Adnan Amal, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), xi. 2 Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta : Teras, 2009), 164. 1

Transcript of 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

Page 1: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab

yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini

pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa

Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya

yang sulit dipahami. Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya,

membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun demikian,

masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait

dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan

sempurna.1

Sebagai seorang Muslim kita memiliki ikatan yang kuat dengan nilai-

nilai imani al-Qur’an. Dalam pada itu, tidak mudah begitu saja memisahkan

diri dengan nilai tersebut. Mempelajari al-Qur’an bagi seorang muslim tidak

hanya semata-mata mencari kebenaran ilmiah, namun lebih dari itu yakni

mencari isi kandungan dari rahasia al-Quran.

Jika ayat-ayat al-Qur’an itu diperhatikan sepintas lalu terkesan seperti

tidak ada korelasi satu dengan yang lain, baik dengan yang sebelum maupun

dengan yang sesudahnya, karena ayat-ayat tersebut tampak seolah-olah

terputus atau terpisah. Tetapi bila diamati secara seksama akan nampak jelas

adanya munasabah (korelasi) yang erat antara yang satu dengan lainnya.

Berikut dikemukakan dasar-dasar pemikiran dalam kaitannya dengan itu.2

Ilmu Munasabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat

dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini

posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an

sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Ilmu munasabah yang merupakan

bagian dari telaah tentang al-Qur’an, memiliki peranan penting dalam usaha

pencarian makna kebenaran yang tidak lepas dari usaha pembuktian

1 W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Terj. Taufiq Adnan Amal, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), xi.

2 Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta : Teras, 2009), 164.

1

Page 2: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

keagungan al-Qur’an. Teori munasabah ini asal muasalnya diperkenalkan

oleh seorang ulama terkenal pada zamanya yaitu al-Imam Abu Bakar an-

Naisaburi atau ada yang mengatakan Abu Bakar Abdullah ibn Muhammad

Ziyad an-Naisaburi.

Lahirnya pengetahuan tentang teori Munasabah (korelasi) ini

tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaiman

terdapat dalam Mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta

kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat

tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an.3

Namun pada itu, kita tidak bisa pungkiri bahwa teori munasabah ini

merupakan ranah ijtihad bersifat ijtihadi. Hingga kita akan menemukan

beberapa bagian yang saling berkaitan sama lainya. Seperti yang di ungkapkan

Rahmat Syafii, bahwa teori munasabah ijtihadi ini memiliki gejala gejala yang

terdapat dalam munasabah itu sendiri seperti : hubungan logis yang dapat

diterima dan hubungan logis bagi masing-masing ahli. Beliau menambahkan

“…yang pada akhirnya timbul dua aliran antara yang mengatakan semua surat

memiliki hubungan dan tidak semua surat memiliki hubungan..”.4

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Apakah pengertian Munasabah?

2. Bagaimanakah Asumsi Dasar atau Postulat mengenai Munasabah?

3. Bagaimanakah Metode Penemuan Munasabah?

4. Berapa macam pembagian Munasabah?

5. Bagaimanakah Penerapan Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur’an?

6. Apakah Hikmah Mempelajari Munasabah?

3 Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), 81.4 Rahmat Syafii, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), 36.

2

Page 3: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Munasabah

Kata Munasabah secara etimologi, menurut asy-Suyuthi berarti al-

Musyakalah (keserupaan) dan muqarabah (kedekatan).5 kata "munâsabah"

sering dipakai dalam tiga pengertian. Pertama, Kata ini dipakai dengan

makna "musyâkalah atau muqârabah (dekat)". Jika dikatakan fulân yunâsibu

fulânan, maka hal itu berarti yuqâribu minhu wa yusyâkiluhu (proses dekat

atau hampirnya seseorang kepada orang lain). Kata munasâbah juga

diartikan dengan "al-nasîb" (kerabat atau sanak keluarga).6

Secara terminologis, pengertian Munasabah dapat diartikan sebagai

berikut menurut berbagai tokoh, yaitu:

1. Menurut Az-Zarkasyi, adalah :

لى ــ رض عـ ــ عـ ذا إ ول ــ قـ عـ ــر م أم بة ــناس لمـ ول ا ــ قـ ع الـمـقـبـول. لـ تـه بــاا قــ تـلـ

Artinya :

“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan

kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.

2. Menurut Ibn Al-Arabi :

أ كــايإرتـبــاط ون ك تـــ تى عـض حـــ بـ ها بـ عـضـ ب أن قـر لـ اة ظـمــــ نتـ ني مـ عــــا لم ا ة قــــ تـس ة مـ د واحــــ الـ ة لمــــ كـ ل ا

يـــم ظـ لم عـ ني ,عـ لمـبــــا اArtinya :

“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-

olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan

keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.

3. Menurut Manna’ Khalil Qattan :

5 Ashim W. al-Hafizh, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Amzah, 2005), 197.6 Badruddin Muhammad ibn Abdillah az-Zarkasyiy, al-Burhan fî ‘Ulumil-Qur’an, (Beirut :

Darul-Kutubil-’Ilmiyyah, 1988), 61.

3

Page 4: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

ة ليـــ ة فــى ا لـــ ة والجـمـ لـــ بــــاط بـــين الجـمـ لرتـ وجـه ادة أوبـين اليـة واليــة فـــي اليــــة واحــ ة الـ د د عــــ تـ الـمـ

أو بــين الســورة والســـورة. Artinya :

“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam

satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam

Al-Qur’an”.

4. Menurut Al-Biqa’i, yaitu :

“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan

di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan

ayat, atau surat dengan surat”.

Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti

menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu

bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif

(khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan,

dan perlawanan.7

Munasabah didefinisikan juga sebagai ilmu yang membahas hikmah

korelasi urutan ayat al-Qur’an atau dalam redaksi yang lain, dapat dikatakan,

munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia

hubungan antar ayat dengan ayat dan atau surah dengan surah yang dapat

diterima oleh rasio. Dengan demikian ilmu ini diharapkan dapat menyingkap

rahasia Illahi, sekaligus sanggahanNya terhadap mereka yang meragukan

keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu.

Rumusan lain yang mengatakan bahwa, munasabah adalah ilmu yang

menjelaskan persesuaian antara ayat dengan ayat dan atau antara surah

dengan surah yang lain, sehingga dapat diketahui alasan-alasan penertiban

dari ayat-ayat dan atau surah-surah dalam al-Qur’an tersebut.8

Atas dasar itulah – sebagaimana telah dikemukakan di atas – ilmu ini

berupaya menjelaskan segi-segi korelasi antar ayat-ayat dan atau surah-surah

dalam al-Qur’an, baik korelasi itu berupa ikatan antara yang ‘aim (umum)

7 Rosihan Anwar, Mutiara Ilmu-Ilmu Qur’an (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal. 3058 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya : Dunia Islam, 1998), 154.

4

Page 5: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

dengan khash (khusus), antara yang abstrak dengan yang kongkrit, antara

sebab dan akibat, antara illat dengan ma’lulnya, antara yang rasional dengan

irrasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiktif.9

Dengan demikian, pengertian munasabah itu tidak hanya terbatas

dalam arti yang sejajar dan parallel saja, tetapi juga kontradiksipun termasuk

di dalam ruang lingkup munasabah. Misalnya ketika al-Qur’an menerangkan

hal ihwal orang-orang mukmin kemudian diiringi dengan penjelasan

mengenai orang-orang kafir dan yang semacamnya. Sebab sebagian dari ayat-

ayat dan atau surah-surah dalam al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan

takhshih terhadap ayat-ayat lain yang bersifat umum. Selain itu, juga kadang-

kadang ayat-ayat tersebut juga berfungsi mengkongkritkan hal-hal yang

kelihatannya dianggap abstrak. Sebagaimana juga ayat-ayat itu memiliki

korelasi satu dengan yang lainnya karena menerangkan sebab dari sesuatu

akibat. Misalnya, kebahagiaan yang diperoleh bagi setiap orang beramal saleh

atau sebaliknya, kesengsaraan bagi mereka yang melanggar ketentuan-

ketentuan Allah dan seterusnya.10

B. Postulat/Asumsi Dasar Munasabah

Jika ilmu tentang asbab al-nuzul mengaitkan satu ayat atau sejumlah

ayat dengan konteks historisnya, maka ‘ilm munâsabah melampaui kronologi

historis dalam bagian-bagian teks untuk mencari sisi kaitan antar ayat dan

surat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan “urutan pembacaan”

sebagai lawan dari “urutan turunnya ayat”.11

Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat

merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh

Rasulullah sebagai penerima wahyu. Akan tetapi mereka berselisih pendapat

tentang urutan-urutan surat dalam mushaf.12

Nasr Hamid Abu Zaid, wakil dari ulama kontemporer, berpendapat

bahwa urutan-urutan surat dalam mushaf sebagai tauqifi, karena menurut dia,

9 Ibid.10 Usman, Ulumul Qur’an, 163-164.11 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta :

LkiS, 2001), 213.12 Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1979), 60-63.

5

Page 6: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah

ada di lauh mahfudz. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan

“pembacaan” merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan

penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan “persesuaian” antar

ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha

menyingkapkan sisi lain dari I’jaz.13

Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam al-Qur’an

mengesankan al-Qur’an memberikan informasi yang tidak sistematis dan

melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara

utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid,

realitas teks itu menujukkan ‘stalistika’ (retorika bahasa) yang merupakan

bagian dari I’jaz al-Qur’an, aspek kesusasteraan dan gaya bahasa. Maka

dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual al-Qur’an, salah satu

instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm munâsabah.

Keseluruhan teks dalam al-Qur’an, sebagaimana juga telah disinggung

di muka, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait.

Keseluruhan teks al-Qur’an menghasilkan weltanschauung (pandangan

dunia) yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an

sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan

mencerdaskan (educate).14

Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam al-Qur’an adalah

“prinsip-prinsip umumnya” (ushul al-kulliyah) bukan bagian-bagiannya

secara ad hoc. Bagian-bagian ad hoc al-Qur’an adalah respon spontanitasnya

atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem

solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus

direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain,

lalu diambil inti syar’inya (hikmah at-tasyri’) sebagai pedoman normatif

(idea moral), dan idea moral al-Qur’an kemudian dikontektualisasikan untuk

menjawab problem-problem kekinian.

13 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, 213-214.14 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin

Mohammad, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1995), 2-3.

6

Page 7: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap al-Qur’an

tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai.

Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufassir klasik

menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman

utuh, komprehensif, dan holistik. ‘Ilm munâsabah sebenarnya memberi

langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qira’ah

al-muashirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan”

antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan

metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm

munâsabah.15

C. Metode Penemuan Munasabah

Diantara hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam konteks mencari tau

munasabah adalah :

1) Mengetahui susunan kalimat dan ma’nanya

Terlebih dahulu mencari tahu ada tidaknya atfiyyah

(persambungan) yang mengaitkannya dan adakah satu bagian merupakan

taqwiyyah (penguat), tabyin (penjelas), atau sebagai tabdil (pengganti)

bagi ayat yang lain, seperti yang terlihat dalam surat al-Hadid ayat 3 :

“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan Dia

Maha mengetahui segala sesuatu.”

Disini terdapat harful athfiyya (huruf sambung) sebanyak 4 kali

sebagai taqwiyyah (penguat) eksistensi Allah.

2) Mengetahui asbabun nuzul.

Dalam arti mengetahui sebab-sebab turunnya satu tema peristiwa

dalam sebuah surat dengan tema yang sama pada surat yang lainnya. Dan

kesamaan tema peristiwa bisa kita ketahui dari latar belakang turunnya

suatu ayat.

15 Anjar Nugroho, “Ilmu Munasabah Al-Qur’an”, baca online http://hapidzcs.blogspot.com/2011/05/ilmu-munasabah-al-quran.html, diakses tanggal 03 Oktober 2011.

7

Page 8: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

3) Mengetahui tema yang dibicarakan

Ukuran wajar tidaknya korelasi antar ayat dan antar surat dapat

diketahui dari tingkat kemiripan atau kesamaan maudu’ (tema) itu

sendiri. Jika antar ayat atau surat dengan ayat atau surat lainya terdapat

persesuaian serta memiliki keterkaitan sama lainya, maka persesuaian itu

masuk akal dan dapat diterima. Tetapi, kalau demikian itu berbeda, maka

sudah tentu tidak ada munasabah antara ayat-ayat dan surat-surat itu.16

D. Macam-macam Munasabah

Untuk lebih memperjelas pembahasan mengenai munasabah, perlu

dikemukakan macam-macamnya baik dilihat dari sifat-sifatnya maupun dari

segi materinya. Munasabah dari segi sifat-sifatnya dapat dipilah menjadi dua,

yaitu : Zhahir al-irtibath (korelasi yang transparan) dan Khofiyyu al-irtibath

(korelasi yang terselubung).

1. Zhahir al-irtibath (Korelasi yang transparan), yaitu : korelasi atau

persesuaian antara bagian atau ayat al-Qur’an yang satu dengan yang lain

tampak jelas dan kuat. Karena begitu kuatnya kaitan antara keduanya,

sehingga yang satu tidak dapat menjadi kalimat yang sempurna jika

dipisahkan dengan kalimat yang lain.17 Diantara ayat-ayat itu kadang-

kadang menjadi penguat, penafsir, penyambung, penjelasan,

pengecualian atau bahkan pembatasan dari ayat yang lain. Sehingga ayat-

ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang utuh. Diantara contoh

yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan itu adalah untaian

firman Allah sebagai berikut :

16 Ichwan Ash-Shofa, “Teori Munasabah dalam AL-Quran:Analitik Aplikatif”, baca online http://ichwanushshofa.blogspot.com/2010/11/teiri-munasabah-dalam-al-qurananalitik.html, diakses tanggal 03 Oktober 2011.

17 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, 155-156.

8

Page 9: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu

malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami

berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari

tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha

Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ayat di atas menjelaskan mengenai Nabi Muhammad Saw yang

diisra’kan oleh Allah SWT. Selanjutnya, ayat berikutnya dari surah al-

Isra’ yang berbunyi :

“Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan Kitab

Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu

mengambil penolong selain aku,”

Ayat ini menerangkan mengenai diturunkannya al-Kitab (Taurat)

kepada Nabi Musa a.s. Persesuaian atau korelasi antara ayat pertama

dengan ayat kedua tersebut tampak jelas dalam hal diutusnya kedua

orang Nabi dan Rasul tersebut.

2. Khofiyyu al-irtibath (Korelasi yang bersifat terselubung), yaitu korelasi

antara bagian atau ayat al-Qur’an yang tidak tampak secara jelas, seakan-

akan masing-masing ayat atau surah itu berdiri sendiri-sendiri baik

karena ayat yang satu di’athafkan kepada yang lain, atau karena yang

satu seakan-akan tampak bertentangan dengan yang lain. Korelasi seperti

ini antara lain dapat disimak pada ayat 189 surah al-Baqarah dengan ayat

190 dalam surah yang sama berikut ini :

9

Page 10: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

.......

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan

sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)

haji....”

Ayat ini menerangkan tentang bulan tsabit yang merupakan

tanggal-tanggal sebagai tanda-tanda waktu dan untuk jadwal bagi

pelaksanaan ibadah haji. Sedangkan ayat 190 yang mengiringinya dalam

surah yang sama berbunyi :

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,

(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah

tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Ayat tersebut menjelaskan perintah menyerang kepada orang-

orang yang menyerang umat Islam. Sepintas lalu, antara kedua ayat di

atas nampak seakan-akan tidak memiliki korelasi. Padahal sebenarnya

terdapat kaitan yang sangat erat antara keduanya. Ayat 189 surah Al-

Baqarah di atas berbicara mengenai soal waktu untuk melaksanakan

ibadah haji, sedangkan ayat 190 berikutnya dalam surat yang sama,

“pada dasarnya saat haji itu umat Islam dilarang menumpahkan darah

(berperang), tetapi jika mereka diserang terlebih dahulu oleh musuh,

maka serangan-serangan musuh tersebut harus dibalas walau pada musin

haji.18

Munasabah dari segi materinya terbagi menjadi sebagai berikut, yaitu:

18 Mashuri Sirodjuddin Iqbal & A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Angkasa, 1989), 277.

10

Page 11: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

1. Munasabah antar ayat dalam al-Qur’an yaitu hubungan atau persesuaian

antara ayat yang satu dengan ayat yang lain.

Di atas telah dikemukakan, bahwa letak munasabah antara satu

ayat dengan ayat yang lain, kadang-kadang terlihat jelas dan kadang-

kadang tidak tampak jelas, hingga tidak mudah untuk dicari. Dalam hal

yang demikian itu, ukuran yang digunakan untuk mencari munasabah

adalah dengan melihat sisi hubungan (‘athaf) baik langsung atau tidak

langsung.19

Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan,

sebagai berikut:

a) Di’athafkannya ayat yang satu kapada ayat yang lain, seperti

munasabah antara ayat 103 surah Ali-Imran:

....... “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan

janganlah kamu bercerai berai,” (QS. Ali-Imran : 103)

Dengan ayat 102 surah Ali-Imran:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-

benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati

melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali-Imran : 102)

Faedah dari munasabah dengan ‘athaf ini ialah untuk

menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (An-

Nadziiraini). Ayat 102 surah Ali-Imran menyuruh bertaqwa dan ayat

103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah,

dua hal yang sama.

19 Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 40.

11

Page 12: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

b) Tidak di’athafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti

munasabah antara ayat 11 surah ali-Imran :

...... “(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-

orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami;” (QS.

Ali-Imran : 11)

Dengan ayat 10 surah Ali-Imran :

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak

mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka.

dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka,” (QS. Ali-Imran : 10)

Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat

yang kedua (ayat 11 surah Ali-Imran) dengan ayat yang sebelumnya

(ayat 10 surah Ali-Imran), sehingga ayat 11 surah Ali-Imran itu

dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-Imran.

c) Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan antara

ayat 5 surah Al-Anfal:

“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan

kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang

beriman itu tidak menyukainya,” (QS. Al-Anfal : 5)

12

Page 13: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

Dengan ayat 4 surah Al-Anfal:

“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka

akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan

ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal : 4)

Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran.

Ayat 5 surah Al-Anfal itu menerangkan kebenaran bahwa Nabi

diperintah hijrah dan ayat 4 surah Al-Anfal tersebut menerangkan

kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin.

d) Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (Al-Mutashaddatu). Seperti

dikumpulkan ayat 95 surah Al-A’raf :

......

“Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga

keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata:

"Sesungguhnya nenek moyang kamipun Telah merasai penderitaan

dan kesenangan", (QS. Al-A’raf : 95)

Dengan ayat 94 surah Al-A’raf:

13

Page 14: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

“Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri,

(lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan kami timpakan

kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka

tunduk dengan merendahkan diri.” (QS. Al-A’raf : 94)

Ayat 94 surah Al-A’raf tersebut menerangkan ditimpakannya

kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95 surah Al-

A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan

kesenangan.

e) Dipindahkannya satu pembicaraan ayat 55 surah Shaad :

“Beginilah (keadaan mereka). dan Sesungguhnya bagi orang-orang

yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk,”

(QS. Shaad : 55)

Dialihkan pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka

yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan

pembicaraan ayat 54 surah Shaad yang membicarakan rezeki dari para

ahli surga :

“Sesungguhnya Ini adalah benar-benar rezki dari kami yang tiada

habis-habisnya.” (QS. Shaad : 54)20

2. Munasabah antar surah, yaitu munasabah antara surah yang satu dengan

surah yang lain. Munasabah ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:

a) Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah

yang satu dengan materi surah yang lain.

Contohnya, seperti surah kedua Al-Baqarah sama dengan isi

surah yang pertama Al-Fatihah. Keduanya sama-sama menerangkan

kandungan Al-Qur’an, yaitu masalah akidah, ibadah, muamalah, kisah

20 Usman, Ulumul Qur’an, 180-186.

14

Page 15: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

dan janji serta ancaman. Dalam surah Al-Fatihah semua itu

diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah Al-Baqarah dijelaskan

dan dirinci secara panjang lebar.

b) Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah

sebelumnya. Sebab semua pembukaan surah itu erat sekali kaitannya

dengan akhiran dari surah sebelumnya, sekalipun sudah dipisah

dengan basmalah.

Contohnya, seperti awalan dari surah Al-An’am yang berbunyi:

.... “Segala puji bagi Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi....”

(QS. Al-An’am : 1)

Awalan surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surah

Al-Maidah yang berbunyi :

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di

dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-

Maidah : 120)

c) Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah.

Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah Qasas. Surah

ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal

dan pertolongan yang diperolehnya; kemudian menceritakan

perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki sedang

berkelahi.

Allah mengisahkan doa Musa:

15

Page 16: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

“Musa berkata: "Ya Tuhanku, demi nikmat yang Telah Engkau

anugerah- kan kepadaku, Aku sekali-kali tiada akan menjadi

penolong bagi orang- orang yang berdosa". (QS. al-Qasas :17)

Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasul bahwa ia

akan keluar dari Mekah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekah

serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang yang kafir :

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-

hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat

kembali. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa

petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata. Dan kamu tidak

pernah mengharap agar Al Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia

(diturunkan) Karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu, sebab itu

janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.”

(QS. al-Qasas : 85-86).21

3. Munasabah antara nama surat dengan kandungannya

Nama-nama surat yang ada di dalam al-Qur’an memiliki kaitan

dengan pembahasan yang ada pada isi surat. Contohnya adalah Surat al-

Fatihah disebut juga umm al-kitab karena memuat berbagai tujuan al-

Qur’an.

4. Munasabah antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat

Munasabah di sini bisa bertujuan :

21 Manna’Al-Qathathan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir (Beirut : Al-Syarikah al-Muttahid li al-Tauzi, 1973), 144.

16

Page 17: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

a) Tamkin (peneguhan). Misalnya:

“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan

mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh

keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin

dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

(QS. Al-Ahzab : 25)

Sekiranya ayat ini terhenti pada, “Dan Allah menghindarkan

orang-orang Mukmin dari perperangan,” niscaya maknanya bisa

dipahami orang-orang lemah sejalan dengan pendapat orang-orang

kafir yang mengira bahwa mereka mundur dari perang karena angin

yang kebetulan bertiup. Padahal bertiupnya angin bukan suatu yang

kebetulan, tetapi atas rencana Allah mengalahkan musuh-musuh-Nya

dan musuh kaum Muslim. Karena itu, ayat ini ditiup dengan

mengingatkan kekuatan dan kegagahan Allah SWT menolong kaum

Muslim.22

b)Tashdir (pengembalian). Misalnya:

“....sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya.

Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul itu. (QS. Al-An’am :

31)

Ayat ini ditutup dengan kata untuk membuatnya sejenis

dengan kata dalam ayat tersebut.

c) Tausyih (hikmah). Misalnya:

22 Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, 92.

17

Page 18: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah

malam; kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta

merta mereka berada dalam kegelapan.” (QS. Yasin : 37)

Dalam permulaan ayat ini terkandung penutupnya. Sebab,

dengan hilangnya siang akan timbul kegelapan. Ini berarti bahwa

kandungan awal ayat telah menunjukkan adanya hikmah dibalik

kejadian tersebut.

d) Ighal (penjelasan tambahan dan penajaman makna). Misalnya:

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang

mati mendengar dan (Tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli

mendengar panggilan, apabila mereka Telah berpaling

membelakang. (QS. Al-Naml : 80)

Kandungan ayat ini sebenarnya sudah jelas sampai kata al-du’a

(panggilan). Akan tetapi, untuk lebih mempertajam dan

mempertandas makna, ayat itu diberi sambungan lagi sebagai

penjelas tambahan.23

e) Penerapan Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur’an

Sebagaimana halnya dengan asbab al-nuzul yang mempunyai

pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat al-Qur’an, ilmu

munasabah juga membantu dalam menginterpretasi dan menakwilkan ayat

dengan baik dan cermat. Atas dasar itulah sebagian ulama ada yang

mengkonsentrasikan diri untuk menulis mengenal hal itu.

23 Usman, Ulumul Qur’an, 187-192.

18

Page 19: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

Diantara para mufassir ada yang mengawali penafsirannya dengan

terlebih dahulu menampilkan asbab al-nuzul ayat atau surah yang akan

ditafsirkan. Tetapi sebagian dari mereka ada juga yang bertanya-tanya,

manakah yang seharusnya didahulukan, menguraikan sabab nuzul atau

memulai penafsiran dengan mengemukakan munasabah ayat-ayat, ataukah

sebaliknya mengakhirkannya setelah dilakukan penafsiran secara terperinci.

Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antar ayat yang satu dengan

lainnya dalam rangkaian yang serasi.24

Perlu diketahui bahwa, secara garis besar ada tiga arti penting dari

munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan al-

Qur’an. Pertama, dari sisi balaghah, korelasi (tanasub) antara ayat dengan

ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an, dan bila

dipenggal maka keserasian, kehalusan, dari keindahan kalimat yang teruntai

di dalam setiap ayat akan menjadi hilang.25 Atas dasar itulah Imam

Fakhruddin al-Razi menandaskan :

“Kebanyakan kehalusan dan keindahan al-Qur’an dibuang dan

dihilangkan begitu saja dalam hal tertib hubungan (al-munasabah) dan

susunannya. Padahal kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an itu terletak

pada susunan dan persesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling

baligh (tinggi nilai sasteranya) adalah dalam hal keterkaitan antara bagian

yang satu dengan bagian yang lainnya.”26

Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami

makna ayat atau surah. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan ragamnya jelas

membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut antara ayat yang satu

dengan yang lainnya, baik di bagian awal maupun di bagian akhirnya. Dalam

kaitan ini Izzudin Ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah

adalah ilmu yang baik. Manakala seseorang menghubungkan atau

mengkorelasikan kalimat atau ayat yang satu dengann yang lain, maka harus

24 Usman, Ulumul Qur’an, 171.25 Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta : Dana Bhakti Yasa, 1998),

57.26 Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mufatih al-Ghaib, (Baghdad : al-Mutsanna, t.t), 36.

19

Page 20: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar berkaitan, baik di awal maupun

akhirnya.27

Ketiga, sebagai ilmu kritis ilmu munasabah akan sangat membantu

seseorang (mufassir) dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah

hubungan antara ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan dengan

demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum

atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di dalamnya.

Begitu pentingnya munasabah diketahui dan dipahami dalam

menafsirkan al-Qur’an Imam Badruddin al-Zarkasyi pernah mengemukakan :

ه وج يم د ق ت لى و ل فا لك (سبب النزول) قف على ذ و ت ي لم إن

بة ناس لم ا

“Jika sebab nuzul (suatu ayat tidak ada atau tidak dapat dijadikan

pedoman), maka yang lebih utama adalah mengemukakan sisi

munasabah”.28

Bahkan Imam Fakhraddin al-Razi lebih berani mengatakan :

د واح ل ر ا ي لى من خ و أ م كل ل م ا ظ ن ظة فى ف لمحا ا

“Menjaga susunan kata lebih baik daripada menerima hadits

ahad.”29

Menurutnya, dalam menafsirkan ayat al-Qur'an lebih baik

menampilkan segi munasabah daripada berpegang kepada riwayat sabab

nuzul yang bersumber dari hadits ahad apalagi kalau nilai kesahihannya

masih diragukan.

Walaupun pernyataan Imam Fakhruddin al-Razi ini barangkali tidak

sepenuhnya dapat dibenarkan tetapi yang jelas bahwa, menggunakan metode

munasabah sebagai wahana penafsiran dalam rangka mencari makna yang

tepat yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an itu merupakan upaya

yang patut dihargai dan perlu terus dikembangkan. Bahkan Syeikh

Muhammad ‘Abduh sendiri, seorang ‘ulama yang pemikirannya paling

27 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, 165.28 Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 34.29 Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mufatih al-Ghaib, 121.

20

Page 21: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

berpengaruh di abad modern ini memandang korelasi antara ayat-ayat dan

surah-surah dalam al-Qur’an sebagai hal yang amat urgen, sehingga

dijadikannya sebagai salah satu cirri dari Sembilan cirri penafsirannya, dan

bahkan diletakkannya sebagai prinsip pertama.

Keberadaan munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain

sebagai satu kesatuan yang utuh dalam keserasian, baik susunan maupun

pengertian atau makna yang dikandungnya harus berkaitan erat dengan tujuan

surah secara keseluruhan. Di sinilah letak relevansi munasabah dengan tafsir

al-Qur’an al-Karim. Sebagai contoh adalah firman Allah :

Demi fajar. Dan malam yang sepuluh, (QS. Al-Fajr : 1-2)

Kata dalam ليال عشــر ayat di atas misalnya, tidak mungkin

terlepas pengertiannya dari kata atau ayat والفجر yang diiringinya. Menurut

Muhammad Abduh, bahwa kata الفجر di sini tidak dibarengi dengan suatu

sofat tertentu, sehingga ia harus dipahami secara umum. Al-Qur’an menurut

Syeikh Muhammad Abduh, bila bermaksud menjelaskan tentang suatu hari

atau waktu tertentu, maka hari dan waktu itu dijuluki dengan sifat atau

cirinya, seperti : Yaum al-Qiyamah, Yaum al-Akhir, Yaum al-Hasyr, Yaum al-

Ba’ts, Yaum al-Mau’ud, Lailatul Qadr, dan lain-lain. Tetapi bila hari dan

waktu tidak ditentukan sifat atau ciri-cirinya, maka yang dimaksud adalah

waktu secara umum. Nah, demikian halnya dengan kata di الفجر sini,

sehingga ia berarti umum, terjadi setiap hari, dalam arti bahwa “fajar”

tersebut adalah fajar ketika cahaya siang menjelma di tengah-tengah

kegelapan malam, yaitu : cahaya yang kemudian mengusik kegelapan malam

tersebut. Dengan demikian, demi keserasian antara ayat pertama dan kedua,

maka kata ليال عشر dalam ayat di atas mesti ditafsirkan dengan malam-

malam yang serasi keadaannya dengan pengertian yang dikandung oleh kata

21

Page 22: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

,الفجر yakni : sepuluh malam yang terjadi pada setiap bulan yang di

dalamnya cahaya bulan mengusik kegelapan malam. Dengan begitu maka

terjadilah keserasian antara keduanya, yakni masing-masing mengusik

kegelapan walaupun yang pertama mengusiknya hingga terjadi terang yang

merata, dan yang kedua juga mengusik, namun akhirnya terjadi kegelapan

yang merata.30

Atas dasar keserasian inilah, Syeikh Muhammad Abduh menolak

pendapat sebagian ulama’ yang menafsirkan kata dan الفجر ليال عشر

dengan fajar tertentu seperti awal tahun hijriah atau tanggal 10 bulan

Dzulhijjah dan lain-lain.

Keserasian dalam munasabah merupakan salah satu faktor yang dapat

digunakan sebagai penetapan arti serta tolok ukur dalam menilai pendapat-

pendapat yang berbeda yang terjadi di kalangan para ‘ulama. Karena itulah

arti penting dari kehadiran ilmu munasabah itu sendiri tidak dapat diabaikan

dalam upaya memahami dan menafsirkan al-Qur’an.31

f) Hikmah Mempelajari Munasabah

Sebagaimana Asbabun Nuzul, Munasabah dapat berperan dalam

memahami Al-Qur’an. Muhammad Abdullah Darraz berkata : ”Sekalipun

permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya

merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling

berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat

semestinyalah ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga

memperhatikan permasalahannya”.32

Maka, dalam mempelajari Munasabah ini banyak sekali terkandung

Faedah dan kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah ini :

30 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), 22-27.31 Usman, Ulumul Qur’an, 176.32 Rosihan Anwar, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, 96.

22

Page 23: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-

Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.33

2. Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara

kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam

pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga

memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.34

3. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak

ditemukan Asbabun Nuzulnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat

atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan

seseorang akan mudah mengistinbathkan hukum-hukum atau isi

kandungannya.

4. Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan

tingkat balaghah Al-Qur’an), serta dapat membantu dalam memahami

keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri.35

33 Ibid.34 A. Chaerudji Abd. Chalik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta : Diadit Media, 2007), 122.35 Ibid, 123.

23

Page 24: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kata Munasabah secara etimologi berarti al-Musyakalah (keserupaan)

dan muqarabah (kedekatan). Sedangkan secara terminologis, Munasabah

didefinisikan juga sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat al-

Qur’an atau dalam redaksi yang lain, dapat dikatakan, munasabah adalah usaha

pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat dengan ayat dan

atau surah dengan surah yang dapat diterima oleh rasio.

Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat

merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh

Rasulullah sebagai penerima wahyu. Akan tetapi mereka berselisih pendapat

tentang urutan-urutan surat dalam mushaf, apakah itu taufiqi atau tauqifi

(pengurutannya berdasarkan ijtihad penyusun mushaf).

Diantara hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam konteks mencari tau

munasabah adalah : Mengetahui susunan kalimat dan ma’nanya, Mengetahui

asbabun nuzul dan Mengetahui tema yang dibicarakan.

Munasabah dari segi sifat-sifatnya dapat dipilah menjadi dua, yaitu :

Zhahir al-irtibath (korelasi yang transparan) dan Khofiyyu al-irtibath (korelasi

yang terselubung). Munasabah dari segi materinya terbagi menjadi sebagai

berikut, yaitu:

1. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat dalam al-Qur’an, yaitu

hubungan atau persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam

satu surat.

2. Munasabah antar surah, yaitu munasabah antara surah yang satu dengan surah

yang lain.

3. Munasabah antara nama surat dengan kandungannya

4. Munasabah antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat

Keberadaan munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain

sebagai satu kesatuan yang utuh dalam keserasian, baik susunan maupun

pengertian atau makna yang dikandungnya harus berkaitan erat dengan tujuan

24

Page 25: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

surah secara keseluruhan. Di sinilah letak relevansi munasabah dengan tafsir al-

Qur’an al-Karim.

Maka, dalam mempelajari Munasabah ini banyak sekali terkandung

Faedah dan kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah ini :

1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an

kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.

2. Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara

kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam

pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat

keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.

3. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak

ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau

suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan

mudah mengistinbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya.

4. Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan

tingkat balaghah Al-Qur’an), serta dapat membantu dalam memahami

keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri.

25

Page 26: 76190739-ILMU-MUNASABAH.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an. Yogyakarta : LkiS. 2001.

Al-Hafizh, Ashim W. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Amzah. 2005.

Al-Qathathan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir. Beirut : Al-Syarikah al-Muttahid li al-Tauzi. 1973.

Al-Razi, Fakhruddin. Tafsir Mufatih al-Ghaib. Baghdad : al-Mutsanna.

Al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an. Damaskus : Dar al-Fikr. 1979.

Anwar, Rosihan. Mutiara Ilmu-Ilmu Qur’an. Bandung : Pustaka Setia, 1999.

Anwar, Rosihan. Ulum Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2008.

Ash-Shofa, Ichwan. “Teori Munasabah dalam AL-Quran:Analitik Aplikatif”. baca online http://ichwanushshofa.blogspot.com/2010/11/teiri-munasabah-dalam-al-qurananalitik.html. diakses tanggal 03 Oktober 2011.

Az-Zarkasyiy, Badruddin Muhammad ibn Abdillah. al-Burhan fî ‘Ulumil-Qur’an. Beirut : Darul-Kutubil-’Ilmiyyah. 1988.

Chalik, A. Chaerudji Abd. ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Diadit Media. 2007.

Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an. Yogyakrta : Dana Bhakti Yasa. 1998.

Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya : Dunia Islam. 1998.

Iqbal, Mashuri Sirodjuddin & A. Fudlali. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Angkasa. 1989.

Nugroho, Anjar. “Ilmu Munasabah Al-Qur’an”. baca online http://hapidzcs.blogspot.com/2011/05/ilmu-munasabah-al-quran.html. diakses tanggal 03 Oktober 2011.

Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Mohammad. Bandung : Penerbit Pustaka. 1995.

Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Bandung : Pustaka Hidayah. 1994.

Syafii, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia. 2006.

Usman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Teras. 2009.

Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi al-Qur’an, Terj. Taufiq Adnan Amal. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 1995.

26