75111299-diskusi-ajeng-RLF
-
Upload
deden-van-dgazzpooll -
Category
Documents
-
view
35 -
download
0
Transcript of 75111299-diskusi-ajeng-RLF
PENDAHULUAN
Refluks laringofaring merupakan suatu manifestasi akibat adanya aliran
retrograd isi lambung ke laringofaring dan menimbulkan kontak dengan jaringan
saluran pencernaan bagian atas 1. Refluks laringofaring dapat memberikan gejala
dengan karakteristik suara serak, throat clearing, secret di belakang hidung, sulit
menelan, batuk setelah makan atau berbaring, tersedak, batuk kronik, dan
perasaan mengganjal di tenggorokan. Prevalensi pasien dengan keluhan refluks
laringofaring berkisar antara 15-20% 2. Istilah refluks laringofaring (RLF)
sebenarnya merupakan manifestasi klinik Penyakit Refluks Gastro Esofagus
(PRGE) di luar esofagus (Refluks Ekstra Esofagus/REE) yang menimbulkan
manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring, dan paru 3.
Refluks Gastro Esofagus (RGE) didefinisikan sebagai aliran retrograd isi
lambung ke dalam esofagus. RGE merupakan proses fisiologis yang terjadi
secara intermiten terutama setelah makan. Oleh sebab itu juga disebut sebagai
refluks gastroesofagus fisiologis atau asimptomatik. Penyakit Refluks Gastro
Esofagus (PRGE) disebut sebagai refluks gastro esofagus patologik atau
simtomatis, merupakan kondisi kronik berulang, sehingga menimbulkan
perubahan patologi pada traktus aerodigestif atas dan organ lain di luar esofagus 3.
Beberapa literatur menyatakan bahwa Penyakit refluks gastroesofagus
tidak sama dengan refluks laringofaring karena kedua mekanismenya berbeda,
misalnya pada refluks laringofaring kejadian relfluks terjadi siang hari sedangkan
pada penyakit refluks gastroesofagus terjadi malam hari. Pada penderita PRGE
periode terpapar cairan asam lambung lebih lama dibandingkan RLF. Pada RLF
terdapat defek pada upper esophageal spinchter (UES), sedangkan pada PRGE
defek terdapat pada lower esophageal spinchter (LES). Perbedaan ini
kemungkinan karena mekanisme dan pola gejala serta manifestasi yang berbeda
sehingga beberapa penderita RLF tidak mempunyai gejala PRGE atau kedua
pasien mempunyai kedua gejala tersebut 2.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kata “reflux” dalam bahasa Latin berasal dari kata “Re” yang berarti
kembali atau balik dan “fluere” yang berarti aliran. Jadi, secara literatur refluks
laringofaring berarti aliran balik yang berisi isi lambung menuju ke tenggorokan
dan pada akhirnya menuju ke laringofaring 4.
Refluks laringofaring (LFR) adalah jejas pada laringofaring yang
diakibatkan aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring, dengan karakteristik
gejala suara serak, throat clearing, sekret di belakang hidung, kesulitan dalam
proses menelan, batuk setelah makan atau berbaring, tersedak, batuk kronik dan
perasaan mengganjal di tenggorokan 2. Istilah refluks laringofaring sebenarnya
merupakan manifestasi klinik penyakit refluks gastroesofagus di luar esophagus
yang menimbulkan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring, dan paru 3.
Refluks laringofaring pertama kali diperkenalkan pada tahun 1981 oleh
Kaufman. Istilah ini memliki beberapa sinonim seperti refluk eskstraesofageal,
refluks laringitis, dan laringitis posterior. Refluks laringofaring diketahui
berperan dalam 50% keluhan pada daerah laring yang dilaporkan oleh para ahli
THT 5.
2.2. Anatomi dan Fisiologi Laringofaring
1. Anatomi faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong
dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan
ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler
ini mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga
setinggi vertebra servikalis ke-6. 3,4,5,6
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm dan bagian
ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk
oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.3,4,5,6
2
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari M.Konstriktor
faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah
luar dan berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi sebagian
otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu
sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini
adalah untuk mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh Nervus
Vagus.3,4,5,6
Otot-otot faring yang tersusun longitudinal terdiri dari M.Stilofaring dan
M.Palatofaring. letak otot-otot ini di sebelah dalam. M.Stilofaring gunanya untuk
melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan M.Palatofaring mempertemukan
ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini
bekerja sebagai elevator, kerja kedua otot ini penting pada waktu menelan.
M.Stilofaring dipersarafi oleh Nervus Glossopharyngeus dan M.Palatofaring
dipersarafi oleh Nervus Vagus. Pada Palatum mole terdapat lima pasang otot yang
dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari mukosa yaitu M.Levator veli palatini,
M.Tensor veli palatine, M.Palatoglosus, M.Palatofaring dan M.Azigos uvula.
M.Levator vela palatine membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya
untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius dan
otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus. M.Tensor veli palatini membentuk tenda
palatum mole dan kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole
dan membuka tuba Eustachius dan otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus.
M.Palatoglosus membentuk arkus anterior faring dab kerjanya menyempitkan
ismus faring. M.Palatofaring membentuk arkus posterior faring. M.Azigos uvula
merupakan otot yang kecil dan kerjanya adalah memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. 3,4,5,6
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang arteri maksila interna yakni cabang
palatine superior. 3,4,5,6
3
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring
yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari Nervus Vagus,
cabang dari Nervus Glossopharyngeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari
Nervus Vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar
cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali M.Stilofaring yang dipersarafi
langsung oleh cabang Nervus Glossopharyngeus. 3,4,5,6
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media dan inferior. Saluran limfa superior mengaalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam
atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal
dalam bawah. 3,4,5,6
Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring,
Orofaring dan Laringofaring (Hipofaring). 3,4,5,6
Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari
nasofaring ini antara lain : batas atas basis kranii, batas bawah palatum mole,
batas depan rongga hidung, dan batas belakang vertebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana,
foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus Glossopharyngeus, Nervus Vags dan
Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian petrosus
os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius. 3,5,6
Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan
laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu : batas atas
palatum mole, batas bawah tepi atas epiglotis, batas depan rongga mulut, dan
abatas belakang vertebra servikalis.
4
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum. 3,5,6
Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring.
Dengan batas-batas dari laringofaring antara lain, yaitu : batas atas epiglotis,
batas bawah kartilago krikodea, batas depan laring, dan batas belakang vertebra
servikalis.
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Dinding
anterior Ruang retrofaring (retropharyngeal space) adalah dinding belakang
faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring.
Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevetebralis. Ruang ini mulai dari
dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis.
Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah
lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. 3,5,6
Ruang parafaring (fosa faringomaksila) merupakan ruang berbentuk
kerucut dengan dasarnya terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis
dan puncaknya ada kornu mayus os hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam
oleh M.Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asendens
mandibula yang melekat dengan M.Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar
parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os
stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah
bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif. Bagian yang lebih
sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi arteri karotis interna, vena jugularis
interna, Nervus vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung
karotis (carotid sheat). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu
lapisan fasia yang tipis. 3,5,6
2. Fisiologi faring
Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu
menelan, resonansi suara dan artikulasi. 3,4,5,6
3. Anatomi laring
5
Bentuk laring menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian
atas lebih terpancung dan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Batas
atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal kartilago krikoid. Struktur
kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa tulang rawan, baik
yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada struktur laring adalah
kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan kartilago krikoid. Os hioid
terletak disebelah superior dengan bentuk huruf U dan dapat dipalapsi pada leher
depan serta lewat mulut pada dinding faring lateral. Dibagian bawah os hioid ini
bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri dari dua sayap / alae kartilago tiroid.
Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba dibawah kulit yang melekat pada
kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid yang berbentuk bulat penuh. Pada
permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritinoid yang berbentuk
piramid bersisi tiga. Pada masing-masing kartilago aritinoid ini mempunyai dua
buah prosesus yakni prosessus vokalis anterior dan prosessus muskularis
lateralis.4,5
Pada prossesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda
vokalis sedangakan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau
bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda
vokalis suara membentuk glotis. Untuk lebih jelas dapat dilihat gambar struktur
anatomi laring pada gambar 2. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis
tengah tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong
makanan yang ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga teradpat dua
pasang kartilago kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni
kartilago kornikulata dan kuneiformis.4,5,6
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan intrisik.
Otot ekstinsik bekerja pada laring secara keseluruhan yang terdiri dari otot
ekstrinsik suprahioid (m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan m.milohioid)
yang berfungsi menarik laring ke atas. otot ekstinsik infrahioid (m.sternihioid,
m.omohioid, m.tirohioid). Otot intrisik laring menyebabkan gerakan antara
berbagai struktur laring sendiri, seperti otot vokalis dan tiroaritenoid yang
membentuk tonjolan pada korda vokalis dan berperan dalam membentuk
6
teganagan korda vokalis, otot krikotiroid berfungsi menarik kartilago tiroid
kedepan, meregang dan menegangkan korda vokalis.5
Laring disarafi oleh cabang-cabang nervus vagus yakni nervus laringeus
superior dan nervus laringeus inferior (n.laringeus rekurens). Kedua saraf ini
merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Perdarahan pada laring terdiri
dari dua cabang yakni arteri laringeus superior dan ateri laringeus inferior yang
kemudian akan bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.3,4,5
4. Fisiologi laring
Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, respirasi,
sirkulasi, menelan, emosi dan fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk
mencegah agar makanan dan benda asing masuk kedalam trakea dengan jalan
menutup aditus laring dan rima glotis yang secara bersamaan. Benda asing yang
telah masuk ke dalam trakea dan sekret yang berasal dari paru juga dapat
dikeluarkan lewat reflek batuk. Fungsi respirasi laring dengan mengatur mengatur
besar kecilnya rima glotis. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara maka
didalam traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah tubuh.
Oleh karena itu laring juga mempunyai fungsi sebagai alat pengatur sirkulasi
darah. Fungsi laring dalam proses menelan mempunyai tiga mekanisme yaitu
gerakan laring bagian bawah keatas, menutup aditus laringeus, serta mendorong
bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam laring.5
Laring mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak,
mengeluh, menangis dan lain-lain yang berkaitan dengan fungsinya untuk fonasi
dengan membuat suara serta mementukan tinggi rendahnya nada.5,6
2.3. Epidemiologi
Refluks laringofaring diderita oleh 50 juta warga amerika. Sekitar 4-10%
juga memiliki penyakit refluks gastroesofagus dan sekitar 20-70% orang yang
menderita RLF juga memiliki gejala-gejala PRGE. RLF kebanyakkan dialami
oleh wanita dengan usia onset rata-rata 57 tahun 5.
2.4. Patofisiologi
7
RLF merupakan aliran balik isi lambung yang menuju ke laring, faring,
dan saluran erodigestif atas. Pada individu yang normal, spingter esofagus atas
dan spingter esofagus bawah bekerja secara bersama-sama untuk mencegah aliran
balik ke arah esofagus. Proses patologis utama pada RLF terjadi akibat disfungsi
dari sfingter esofagus atas. Sfingter esofagus atas terdiri atas cricofaringeus,
tirofaringeus, dan servikal esofagus proximal. Sfingter esofagus atas menempel
pada cricoid dan tiroid, dan membentuk bentuk-C yang melingkari esofagus
dengan inervasi dari plexus faringeal berupa jaringan syaraf yang dibentuk dari
nervus laringeal superior, nervus glossofaringeus, dan syaraf-syaraf simpatis yang
berasal dari ganglion servikal superior. Ketika sfingter esofagus atas membiarkan
aliran balik menuju segmen laringofaring, asam lambung dan pepsin yang
teraktivasi menyebabkan kerusakan langsung pada mukosa laring. Hal ini
menyebabkan kelemahan mukosiliari clearance yang mengarah ke stasis mukus
yang nantinya akan memperparah eksaserbasi iritasi mukosa dan menyebabkan
timbulnya gejala-gejala pada pasien seperti postnasal drip, throat clearing, dan
sensasi globus. 1
Disfungsi sfingter esofagus atas bukanlah penyebab tunggal etiologi LFR.
Beberapa studi telah mengungkapkan aspek biokemikal berupa hubungan antara
LFR dengan deplesi karbonik anhidrase isoenzim-III (CA-III) sebagai penyebab
terdapatnya pepsin pada hasil analisis histologis jaringan laring pada penderita
LFR. Penurunan level CA-III, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi pepsin, penting sebagai pertimbangan kondisi akibat penurunan
jumlah anion bikarbonat sebagai penetralisir asam lambung dan juga terdapat
sedikit penyangga kimia sebagai pelindung mukosa laring. 1
Terdapat 4 pelindung fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif atas
dari luka akibat refluks, yaitu sfingter esofagus bawah, fungsi motorik esofageal
dengan acid clearance, resistensi jaringan mukosa esofagus, dan sfingter esofagus
atas. Epitel respiratori siliata dari laring posterior yang secara normal berfungsi
membersihkan mukus dari trakeobronkial diubah ketika pelindung ini gagal dan
disfungsi siliari resultan menyebabkan stasis mukus. Akumulasi yang terjadi
berikutnya dari mukus adalah sensasi post nasal drip dan menimbulkan throat
8
clearing. Iritasi refluks secara langsung dapat menyebabkan batuk dan
laringospasme akibat sensitifitas dasar sensoris laring yang diregulasikan oleh
inflamasi lokal. Kombinasi dari berbagai faktor ini dapat mengakibatkan edema
pita suara, kontak ulser, dan granuloma yang dapat menyebabkan gejala-gejala
LFR lain seperti suara serak, globus faringeus, dan sakit tenggorokan.5
Hasil investigasi terkini menunjukkan jaringan laring yang rentan
dilindungi dari kehancuran akibat refluks oleh efek regulasi pH karbonik
anhidrase di mukosa laring posterior. Karbonik anhidrasi mengkatalisasi hidrasi
karbon dioksida untuk menghasilkan bikarbonat, yang nantinya akan melindungi
jaringan dari asam akibat refluks. Di esofagus terdapat produksi aktif bikarbonat
di rongga ekstraseluler yang berfungsi menetralisasi refluks asam lambung. Tidak
terdapat pompa aktif bikarbonat di epitel laring dan CA-III.5
2. 5 Etiologi
Penyebab Reflux Laryngopharyngeal Pada kedua ujung kerongkongan
terdapat cincin otot (sfingter). Biasanya, sfingter ini menjaga isi perut tetap berada
- dalam perut. Tapi pada refluks laryngopharyngeal, sphincters tidak bekerja
dengan baik. Asam lambung kembali ke bagian belakang tenggorokan anda
(faring) atau kotak suara (laring), atau bahkan ke bagian belakang saluran napas
hidung Anda. Hal ini dapat menyebabkan peradangan di daerah yang tidak
dilindungi terhadap paparan asam lambung. Silent reflux adalah umum pada bayi
karena sfingter mereka berkembang, mereka memiliki kerongkongan pendek, dan
mereka berbaring banyak waktu. Penyebab pada orang dewasa mungkin tidak
diketahui.11
2.6. Manifestasi Klinik dan Gejala
Pasien dengan LFR sering datang dengan keluhan yang tidak spesifik,
tetapi ada beberpa kelompok gejala yang biasa ditemukan pada kelompok pasien
dengan LFR. Gejala tersebut adalah disfagia servikal, globus pharingeus, throat
clearing, batuk kronik, suara serak, disfoni, nyeri tenggorokan, dan refluks yang
sering terjadi pada siang hari. Gejala-gejala tersebut bisa bermanifestasi dengan
gejala lain seperti eksaserbasi asma, otalgia, mucus tenggorokan yang berlebih,
halitosis, nyeri leher, odinofagi, post nasal drip, dan keluhan gangguan pada
9
suara. Salah satu aspek yang paling penting untuk membedakan etiologi pasien
yang memilki keluhan dengan LFR adalah keluhan klasik yang dibedakan dari
keluhan PRGE. PRGE secara tipikal memiliki manifestasi seperti heartburn,
regurgitasi, dan reluks yang terjadi saat berbaring 1.
Gejala-gejala tersebut biasanya intermiten atau kronik intermiten.
Manifestasi klinik yang juga biasa terjadi pada RFL adalah refluks laringitis
dengan atau tanpa granulasi atau formasi granuloma. Keluhan tambahan yang
dilaporkan yaitu refluks berhubungan dengan stenosis subglotis, karsinoma
laringeal, degenerasi polipoid, laringospasme, gerakan pita suara yang paradoks,
dan nodul fokal. Manifestasi lain pada kepala dan leher yang telah dilaporkan
meliputi asma, sinusitis, dan otitis media. Diduga, hampir sebagian besar pasien
dengan gangguan laring dan gangguan pada suara mengalami refluks 10.
Pasien dengan RFL biasanya tidak memiliki rasa terbakar pada epigastrik
pada substernal dan gejalanya biasanya tidak memburuk setelah makan dan saat
berbaring. Pada suatu studi didapatkan rasa terbakar, tetapi hampir 75% pada
pasien LFR menderita esofagitis 5.
2.7. Diagnosis
Diagnosis refluks laringofaring dibuat berdasarkan:
1. Anamnesis
Pasien anamnesis, gejala yang berhubungan dengan laringitis non spesifik
adalah suara serak. Laringitis non spesifik berhubungan dengan inflamasi
laringeal yang disebabkan oleh LFR. Kebanyakan gejala ringan dan dapat
sembuh secara spontan tetapi saat gejala persisten, laringitis harus secara
lebih jauh dijelaskan sebagai faktor etiologi yang mungkin mempengaruhi
seperti infeksi virus atau bakteri, alergi, trauma vokal, sekret post nasal,
atau LFR. LFR harus dicurigai ketika ada riwayat klinis. Berdasarkan
laporan kasus terhadap 899 pasien, throat clearing dikeluhkan oloeh 70%
pasien LFR, rasa terbakar pada ulu hati dikeluhkan oleh 20% pasien 5.
2. Pemeriksaan Fisik
10
Pada pemeriksaan laringoskopi dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi
pada laring dan faring sebagai berikut 1,4,5,10:
a. Laringitis posterior , ditemukan adanya edema akibat peningkatan
vaskularisasi dan eritema.
b. Perubahan jaringan pada laring dan pseudosulkus vokalis atau
dapat juga terjadi edema yang difus.
c. Hipertrofi pada mukosa laring.
d. Laryngeal pachydermia (dapat bergranul maupun cobblestone).
e. Ulserasi, granuloma, terbentuk jaringan parut, maupun stenosis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pada LFR dapat dipastikan melalui 5:
a. Studi imunohistochemical
Studi imunohistochemical dari hasil biopsi spesimen laring yang
menunjukkan konsentrasi dari pepsin dan deplesi karbonik anhidrase
isoenzin III pada kasus-kasus LFR.
b. Ambulatory 24 hours double probe pH monitoring
Baku emas pada diagnosis LFR ditegakkan berdasarkan Ambulatory
24 hours double probe pH monitoring yang dilakukan dengan cara
mengukur pH pada proksimal dan distal esofagus. Hasil positif
didapatkan bila pH sangat rendah pada daerah proksimal esofagus
yang diikuti dengan penurunan pH secara simultan pada distal
esofagus.
Untuk membuat agar diagnosis menjadi lebih sederhana, Belafsky dkk (2001)
mengembangkan suatu alat diagnostik yang disebut Reflux Finding Score (RFS).
RFS terdiri atas skor yang terdiri atas delapan penemuan spesifik dari pemeriksaan
fisik yang dapat menunjang ke arah RLF. RFS berkisar antara 0 sampai 26. Apabila
skor lebih dari 7 maka mengindikasikan 95% kemungkinan untuk memberikan hasil
positif pada tes Ambulatory 24 hours double probe pH monitoring.
11
Untuk memperkuat diagnostik dengan RFS, Belafsky dkk (2002)
mengembangkan suatu kuesioner yang disebut Reflux Symptom Index (RSI). RSI
terdiri dari sembilan pertanyaan yang ditujukan untuk pasien yang dicurigai
menderita RLF dengan skala 0-5. Seperti halnya pada RFS, skor RSI yang lebih
besar dari 13 kemungkinan akan menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan
Ambulatory 24 hours double probe pH monitoring 5. Skor RSI secara lebih jelas
dapat dilihat pada gambar 5.
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan refluks laringofaring dapat dilakukan melalui beberapa cara:
1. Modifikasi gaya hidup
Beberapa modifikasi gaya hidup yang dilakukan pada pasien RLF antara
lain 6:
a. Menghindari makan makanan berat, merokok, alkohol, dan
terlambat makan.
b. Kurangi berat badan apabila BMI > 35.
c. Mengurangi makanan seperti coklat, makanan pedas, jeruk nipis,
minuman berkarbonasi, makanan berlemak, mint, dan kafein.
d. Tidur dengan bantal atau tempat tidur yang ditinggikan.
e. Menghindari pakaian yang ketat pada bagian pinggang.
f. Menghindari berbaring ke arah kanan.
12
2. Farmakologi 5
a. Obat-obatan yang mengurangi asam lambung antara lain antagonis
reseptor H2 dan Proton Pump Inhibitor (PPI) dengan dosis dua
kali per hari.
b. Prokinetik, seperti metoclorpramide, bethanacol, domperidone,
dan bromopride digunakan untuk meningkatkan tekanan spingter
esofagus bawah dan mempercepat pengosongan lambung.
c. Sukralfat, digunakan sebagai proteksi mukosa lambung.
3. Operasi (fundoplikasi) 5
Nissen fundoplikasi dilakukan bila penderita tidak berespon lagi terhadap
terapi farmakologi. Operasi ini dilakukan dengan membuat agar fundus
lambung menyelimuti bagian bawah dari esofagus. Operasi ini memiliki
angka kesuksesan sebesar lebih dari 90% untuk mengobati PRGE dan
sekitar 73-86% keberhasilan dalam menatalaksana refluks laringofaring.
2.9. Komplikasi
Asam lambung yang mengenai tenggorokan dan laring dapat
menyebabkan iritasi jangka panjang dan kehancuran dinding laring. Komplikasi
yang biasa terjadi pada LFR adalah:
1. Mempersempit daerah dibawah pita suara
2. Ulser kontak
3. Infeksi telinga yang berulang akibat gangguan pada fungsi tuba
4. Meningkatkan resiko kangker pada area yang terkena refluks
5. Menimbulkan gejala-gejala iritasi pada sistem pernapasan seperti
asma, emfisema, dan bronkitis 11
ANALISIS
III. 1. Apakah penyebab refluks laringofaringeal?
Etiologi LFR:
1. Disfungsi sfingter esofagus atas
2. Deplesi karbonik anhidrase isoenzim-III
13
3. Gangguan pada pelindung fisiologis di traktus aerodigestif atas akibat
perlukaan refluks
4. Idiopatik
III. 2. Apakah gejala klinis dan komplikasi refluks laringofaringeal?
Pasien dengan LFR sering datang dengan keluhan yang tidak spesifik,
tetapi ada beberpa kelompok gejala yang biasa ditemukan pada kelompok pasien
dengan LFR. Gejala tersebut adalah disfagia servikal, globus pharingeus, throat
clearing, batuk kronik, suara serak, disfoni, nyeri tenggorokan, dan refluks yang
sering terjadi pada siang hari. Gejala-gejala tersebut bisa bermanifestasi dengan
gejala lain seperti eksaserbasi asma, otalgia, mucus tenggorokan yang berlebih,
halitosis, nyeri leher, odinofagi, post nasal drip, dan keluhan gangguan pada
suara. Salah satu aspek yang paling penting untuk membedakan etiologi pasien
yang memilki keluhan dengan LFR adalah keluhan klasik yang dibedakan dari
keluhan PRGE. PRGE secara tipikal memiliki manifestasi seperti heartburn,
regurgitasi, dan reluks yang terjadi saat berbaring.
Gejala-gejala tersebut biasanya intermiten atau kronik intermiten.
Manifestasi klinik yang juga biasa terjadi pada RFL adalah refluks laringitis
dengan atau tanpa granulasi atau formasi granuloma. Keluhan tambahan yang
dilaporkan yaitu refluks berhubungan dengan stenosis subglotis, karsinoma
laringeal, degenerasi polipoid, laringospasme, gerakan pita suara yang paradoks,
dan nodul fokal. Manifestasi lain pada kepala dan leher yang telah dilaporkan
meliputi asma, sinusitis, dan otitis media. Diduga, hampir sebagian besar pasien
dengan gangguan laring dan gangguan pada suara mengalami refluks.
Pasien dengan RFL biasanya tidak memiliki rasa terbakar pada epigastrik
pada substernal dan gejalanya biasanya tidak memburuk setelah makan dan saat
berbaring. Pada suatu studi didapatkan rasa terbakar, tetapi hampir 75% pada
pasien LFR menderita esofagitis.
Asam lambung yang mengenai tenggorokan dan laring dapat
menyebabkan iritasi jangka panjang dan kehancuran dinding laring. Komplikasi
yang biasa terjadi pada LFR adalah:
14
6. Mempersempit daerah dibawah pita suara
7. Ulser kontak
8. Infeksi telinga yang berulang akibat gangguan pada fungsi tuba
9. Meningkatkan resiko kangker pada area yang terkena refluks
10. Menimbulkan gejala-gejala iritasi pada sistem pernapasan seperti
asma, emfisema, dan bronkitis
III.3. Bagaimana tatalaksana refluks laringofaringeal?
Penatalaksanaan refluks laringofaring dapat dilakukan melalui beberapa
cara:
4. Modifikasi gaya hidup
Beberapa modifikasi gaya hidup yang dilakukan pada pasien RLF antara
lain :
g. Menghindari makan makanan berat, merokok, alkohol, dan
terlambat makan.
h. Kurangi berat badan apabila BMI > 35.
i. Mengurangi makanan seperti coklat, makanan pedas, jeruk nipis,
minuman berkarbonasi, makanan berlemak, mint, dan kafein.
j. Tidur dengan bantal atau tempat tidur yang ditinggikan.
k. Menghindari pakaian yang ketat pada bagian pinggang.
l. Menghindari berbaring ke arah kanan.
5. Farmakologi
a. Obat-obatan yang mengurangi asam lambung antara lain antagonis
reseptor H2 dan Proton Pump Inhibitor (PPI) dengan dosis dua
kali per hari.
b. Prokinetik, seperti metoclorpramide, bethanacol, domperidone,
dan bromopride digunakan untuk meningkatkan tekanan spingter
esofagus bawah dan mempercepat pengosongan lambung.
c. Sukralfat, digunakan sebagai proteksi mukosa lambung.
15
Gambar 6. Algoritma Tatalaksana Refluks Laringofaring
6. Operasi (fundoplikasi)
Nissen fundoplikasi dilakukan bila penderita tidak berespon lagi terhadap
terapi farmakologi. Operasi ini dilakukan dengan membuat agar fundus
lambung menyelimuti bagian bawah dari esofagus. Operasi ini memiliki
angka kesuksesan sebesar lebih dari 90% untuk mengobati PRGE dan
sekitar 73-86% keberhasilan dalam menatalaksana refluks laringofaring.
III. 4. Apa komplikasi refluks laringofaringeal ?
Asam lambung yang mengenai tenggorokan dan laring dapat
menyebabkan iritasi jangka panjang dan kehancuran dinding laring. Komplikasi
yang biasa terjadi pada LFR adalah:
1) Mempersempit daerah dibawah pita suara
2) Ulser kontak
3) Infeksi telinga yang berulang akibat gangguan pada fungsi tuba
4) Meningkatkan resiko kangker pada area yang terkena refluks
5) Menimbulkan gejala-gejala iritasi pada sistem pernapasan seperti
asma, emfisema, dan bronkitis
16