DELIRIUMM ajeng
-
Upload
ajengg-gaya-tri -
Category
Documents
-
view
37 -
download
6
description
Transcript of DELIRIUMM ajeng
REFERAT
DELIRIUM
Disusun Oleh:
Ajeng Gaya Tri Wijayanti 01.209.5827
Pembimbing:Dr. Ahmadi NH Sp.KJ
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Delirium merupakan gangguan fungsi otak dengan gangguan kognitif dan perilaku,
penyakit ini merupakan penyakit yang sering terjadi dan sudah dijelaskan selama berabad-abad,
namun sering tidak terdiagnosis atau salah diagnosis dan berpotensi untuk terjadinya morbiditas
dan mortalitas.1
Delirium adalah gangguan kesadaran dan gangguan kognitif akut yang umumnya terjadi
pada usia lanjut. Telah dilaporkan prevalensi delirium di USA pada pasien berusia lanjut di
ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 78-87%. Di Indonesia, prevalensi delirium bervariasi
yaitu 14-56%, dengan angka kematian di rumah sakit sekitar 25-30%. Kejadian delirium di
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) berkisar 17- 47,3%.1,2
Sindrom delirium mencerminkan disfungsi otak yang
diakibatkan oleh penyakit sistemik, penyakit serebral, putus zat atau intoksikasi obat-obatan/ zat
psikoaktif. Delirium yang disebabkan oleh obat-obatan diperkirakan berkisar 12-39% dari
seluruh kasus delirium.1,2
Gangguan penggunaan zat psikoaktif merupakan masalah yang menjadi keprihatinan dunia
internasional di samping masalah HIV/AIDS, kekerasan (violence), kemiskinan, pencemaran
lingkungan, pemanasan global dan kelangkaan pangan. WHO memperkirakan bahwa jumlah
pengguna tembakau sebanyak 1,1 milyar orang, pengguna alkohol sebanyak 250 juta orang, dan
pengguna zat psikoaktif lain sebanyak 15 juta orang di seluruh dunia. Global Burden of Diseases
(GBD) yang diakibatkan dan yang terkait dengan pengunaan zat psikoaktif adalah sebesar 8,9%
sedangkan Global Mortality Rate akibat penggunaan zat psikoaktif sebesar 12.4% dan Disable
Adjusted Life Years (DALYs) sebesar 8.9 %.3
BAB II2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Delirium
Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan kognisi yang
terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki banyak penyebab yang semuanya
mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat kesadaran dan gangguan
kognitif pasien.4,5
Delirium merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan jarang terdiagnosis.
Sebagian dari masalahnya adalah bahwa sindrom ini memiliki nama lain yang bervariasi,
contohnya keadaan bingung akut, sindrom otak akut, ensefalopati metabolik, psikosis toksik, dan
gagal otak akut.5
2.2 Epidemiologi
Delirium merupakan gangguan yang lazim dijumpai. Prevalensi delirium di USA pada
pasien berusia lanjut di ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 78-87%.1 Menurut DSM-IV-
TR, prevalensi delirium pada polpulasi umum adalah 0,4% pada orang yang berusia 18 tahun ke
atas dan 1,1% pada usia 55 tahun ke atas. Sekitar 10-30% pasien yang sakit secara medis dan
dirawat di rumah sakit mengalami delirium. Sekitar 30-40% pasien rawat inap yang berusia di
atas 65 tahun mengalami satu episode delirium, dan 10-15% lansia lainnya mengalami delirium
saat masuk rumah sakit. Menurut DSM-IV-TR, jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko
independen terjadinya delirium.5
2.3 Etiologi
Penyebab utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, serta
intoksikasi maupun keadaan putus zat. Terdapat 4 (empat) subkategori delirium berdasarkan
sejumlah penyebab, yaitu:5
1. Delirium akibat kondisi medis umum, seperti infeksi
2. Delirium yang diinduksi oleh obat-obatan, seperti zat psikoaktif
3. Delirium dengan etiologi multiple, seperti trauma kepala dan penyakit ginjal
4. Delirium yang tak tergolongkan.
2. 4 Zat Psikoaktif
3
Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan
perilaku, perasaan, dan pikiran. Zat psikoaktif merupakan zat yang memiliki efek psikologis
yang beredar secara luas di masyarakat, baik yang digunakan secara sengaja ataupun tidak.3,6
Zat psikoaktif sering disebut sebagai NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lain), yaitu bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan memengaruhi tubuh
terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan
fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi)
terhadap NAPZA.3
Ada 3 kelompok besar dari zat psikoaktif yang disalahgunakan, yaitu depresan, stimulan,
dan halusinogen. Depresan adalah obat yang menghambat atau menekan aktivitas SSP, obat ini
mengurangi rasa tegang dan cemas, menyebabkan gerakan melambat dan merusak proses
kognitif. Contoh depresan: alkohol, barbiturate, benzodiazepine, dan opioid. Stimulan
merupakan obat yang meningkatkan aktivitas SSP. Beberapa jenis obat ini menyebabkan
perasaan euforia dan percaya diri. Contoh stimulan: amfetamin, ekstasi, kokain dan nikotin.
Sedangkan halusinogen adalah obat yang menghasilkan distorsi sensoria atau halusinasi,
termasuk perubahan besar dalam persepsi warna dan pendengaran. Contoh halusinogen: Lysergic
acid diethylamide (LSD), phencyclidine (PCP) dan marijuana.6
Menurut American Psychiatric Association (APA), penyalahgunaan zat psikoaktif
mempunyai kriteria bahwa pemakaian zat-zat dilakukan secara berkala dan berkesinambungan
dalam jangka waktu pemakaian minimal 12 bulan. Zat-zat yang disalahgunakan termasuk
alkohol, amphetamine (stimulan sintetis), kafein, ganja, kokain, halusinogen, inhalant, nikotin,
opium, fensiklidin dan obat penenang.7
1. Alkohol
Sekitar 90% alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi di hepar, 10%
sisanya diekskresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal dan paru. Tubuh dapat
memetabolisme sekitar 15 mg/dL per jam, dengan kisaran antara 10-34 mg/dL. Dengan kata lain,
kebanyakan orang mengoksidasi tiga perempat dari 1 ons alkohol 40% dalam 1 jam. Pada orang
dengan riwayat konsumsi alkohol berlebihan, peningkatan enzim yang diperlukan
mengakibatkan metabolisme alkohol cepat. Alkohol dimetabolisme oleh 2 enzim yaitu alkohol
dehidrogenase (ADH) dan aldehid dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol
4
menjadi asetaldehid yang merupakan senyawa toksik, aldehid dehidrogenase mengkatalisasi
konversi asetaldehid menjadi asam asetat. Sejumlah studi membuktikan bahwa wanita memiliki
kandungan ADH dalam darah lebih sedikit disbanding pria, dan ini mungkin menyebabkan
kecenderungan wanita untuk lebih terintoksikasi disbanding pria setelah minum alkohol dalam
jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim tersebut juga terjadi pada orang-orang Asia sehingga
menyebabkan mudahnya terintoksikasi.
Pada studi terkini, peneliti berupaya untuk mengidentifikasi target molekuler efek alkohol
yang spesifik. Sebagian besar perhatian difokuskan pada efek alkohol terhadap kanal ion. Secara
spesifik, studi menemukan bahwa aktivitas kanal ion alkohol yang dikaitkan dengan reseptor
asetilkolin nikotinik, serotonin 5-HT3, dan GABA tipe A (GABAA) ditingkatkan oleh alkohol,
sementara aktivitas kanal ion yang dikaitkan dengan reseptor glutamat dan kanal kalsium
voltage-gated mengalami inhibisi.
2. Benzodiazepin
Benzodiazepin memiliki efek primer terhadap kompleks reseptor GABAA, yang memuat
kanal ion klorida pengikat GABA. Ketika benzodiazepin berikatan dengan kompleks tersebut,
efeknya adalah meningkatkan afinitas reseptor terhadap neurotransmitter endogennya, GABA,
dan meningkatkan aliran ion klorida melalui kanal ke dalam neuron.
3. Opioid
Kata opiat dan opioid berasal dari kata opium, sari bunga opium, Papaver somniferum,
yang mengandung sekitar 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Efek primer opioid diperantarai
reseptor opioid. Reseptor opioid-µ terlibat dalam regulasi dan mediasi analgesia, depresi napas,
konstipasi, dan ketergantungan. Reseptor opioid-κ terlibat dalam analgesia, diuresis, dan sedasi.
Serta reseptor opioid-σ terlibat dalam analgesia.
Opioid memiliki efek signifikan terhadap sistem dopaminergik dan noradrenergik.
Sejumlah data mengindikasikan bahwa sifat adiktif opioid diperantarai melalui aktivasi neuron
dopaminergik area tegmental ventral yang berjalan ke korteks serebri dan sistem limbik.
Heroin adalah opioid yang paling sering disalahgunakan dan lebih poten serta terlarut
dalam lemak dibanding morfin. Karena sifat-sifat tersebut, heroin melintasi sawar darah otak
lebih cepat daripada morfin. Kodein yang terdapat secara alami sebanyak sekitar 0,5% dari
alkaloid opiat dalam opium, diabsorpsi dengan mudah melalui traktus gastrointestinal dan
5
kemudian diubah menjadi morfin dalam tubuh. Hasil penelitian menemukan bahwa salah satu
efek dari semua opioid adalah penurunan aliran darah otak pada region otak tertentu pada orang
dengan ketergantungan opioid.
4. Amfetamin
Amfetamin adalah salah satu obat terlarang yang banyak digunakan kedua setelah kanabis
di Inggris, Australia, dan beberapa negara Eropa barat. Amfetamin klasik (dekstroamfetamin,
metamfetamin, dan metilfenidat) menimbulkan efek primer dengan menyebabkan pelepasan
katekolamin, terutama dopamin, dari terminal prasinaptik. Efeknya terutama poten untuk neuron
dopaminergik yang berjalan dari area tegmental ventral ke korteks serebri dan area limbik. Jaras
ini disebut sebagai jaras sirkuit reward dan aktivasinya mungkin menjadi mekanisme adiktif
utama untuk amfetamin.
Amfetamin racikan (MDMA, MDEA, MMDA, DOM) menyebabkan pelepasan
katekolamin (dopamin dan norepinefrin) serta serotonin, neurotransmitter yang dianggap sebagai
jaras neurokimiawi utama untuk halusinogen. Oleh karena itu, efek klinis amfetamin racikan
merupakan campuran efek amfetamin klasik dan halusinogen. MDMA diambil di neuron
serotonergik oleh transporter serotonin yang bertanggung jawab untuk reuptake serotonin. Bila
telah berada di neuron, MDMA menyebabkan pelepasan cepat bolus serotonin dan menghambat
aktivitas enzim penghasil serotonin.
5. Kanabis
Kanabis atau marijuana merupakan tanaman Cannabis sativa yang seluruh bagian tanaman
mengandung kanabinoid psikoaktif, yaitu delta 9 tetrahidrocannabinol (THC). Dosis THC yang
diperlukan untuk memperoleh efek farmakologis pada manusia secara dihisap sekitar 2-22 mg.
THC larut dalam lemak dan dengan cepat diabsorbsi setelah inhalasi. Setelah dihisap atau
dicerna, delta 9-THC dengan cepat diubah menjadi 11-hidroksi-9-THC, metabolit yang aktif di
sistem saraf pusat.
Reseptor kanabinoid, anggota famili reseptor terkait protein G inhibitor, berikatan dengan
protein G inhbitorik, yang berikatan dengan adenilil siklase secara inhibitorik. Reseptor
kanabinoid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di ganglia basalis, hipokampus, dan serebelum,
6
dengan konsentrasi yang lebih rendah di korteks serebri. Pada suatu studi ditemukan kanabinoid
memengaruhi neuron monoamine dan asam gama aminobutirat.
6. Kokain
Kokain adalah alkaloid yang didapaatkan dari Erythroxylon coca. Aksi farmakodinamik
utama kokain yang berkaitan dengan efeknya terhadap perilaku adalah blok kompetitif reuptake
dopamine oleh transporter dopamin. Blok ini meningkatkan konsentrasi dopamine di celah
sinaps dan menyebabkan peningkatan aktivasi reseptor dopamine tipe 1 (D1) maupun tipe 2
(D2). Efek kokain terhadap aktivitas yang diperantarai reseptor D3, D4, dan D5 belum terlalu
jelas namun setidaknya satu studi preklinis melibatkan reseptor D3. Meski efek perilaku
terutama disebabkan blockade reuptake dopamin, kokain juga menghambat reuptake
katekolamin, norepinefrin serta serotonin. Metabolit kokain terdapat dalam darah dan urin
hingga 10 hari.
7. Halusinogen
Halusinogen sintetik klasik adalah asam lisergat dietilamid (LSD). Meskipun sebagian
besar zat halusinogenik bervariasi efek farmakologisnya, LSD dapat berfungsi sebagai prototipe
halusinogenik. Obat tersebut bekerja pada sistem serotonergik, baik sebagai antagonis maupun
agonis. Data saat ini menunjukkan bahwa LSD bekerja sebagai agonis parsial pada reseptor
serotonin pascasinaps.
8. Nikotin
Komponen psikoaktif tembakau adalah nikotin, yang memengaruhi SSP dengan bekerja
sebagai agonis pada reseptor asetilkolin subtipe nikotinik. Sekitar 25% nikotin yang dihirup saat
merokok mencapai aliran darah, dan melalui pembuluh darah tersebut nikotin dapat mencapai
otak dalam 15 detik. Waktu paruh nikotin adalah sekitar 2 jam. Nikotin diyakini menghasilkan
sifat penguat positif dan adiktif dengan mengaktivasi jaras dopaminergik yang berjalan dari area
tegmental ventral ke koorteks serebri dan sistem limbik. Selain mengaktivasi sistem reward
dopamin ini, nikotin menyebabkan peningkatan konsentrasi norepinefrin dan epinefrin yang
bersirkulasi serta peningkatan pelepasan vasopresin, beta endorfin, hormon adrenokortikotropik,
dan kortisol. Hormon-hormon ini dianggap berperan dalam efek stimulatorik dasar nikotin
terhadap SSP.
9. Fensiklidin
7
Fensiklidin (Phenilcyclohexil Piperidin/ PCP) dikembangkan sebagai anestetik disosiatif.
Namun penggunaannya sebagai anestetik pada manusia menimbulkan disorientasi, agitasi,
delirium, dan halusinasi yang tidak menyenangkan saat terbangun. PCP juga mengaktivasi
neuron dopaminergik pada area tegmental ventral, yang berjalan ke korteks serebri dan sistem
limbik.5
2.5 Delirium yang diinduksi Zat Psikoaktif
Delirium pada putus alkohol merupakan bentuk putus zat yang paling parah, yang juga
disebut sebagai delirium tremens (DT). Delirium pada putus alkohol adalah suatu
kegawatdaruratan medis yang dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Pasien delirium dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Pasien delirium dapat
menyerang atau bunuh diri atau bertindak menurut halusinasi atau pikiran wahamnya seolah-olah
benar-benar ada bahaya.5
Gambaran delirium pada intoksikasi alkohol mencakup hiperaktivitas otonom seperti
takikardia, diaforesis, demam, ansietas, insomnia, hipertensi, distorsi persepsi (paling sering
berupa halusinasi visual atau taktil), dan tingkatan aktivitas psikomotor yang berfluktuasi
(berkisar dari hipereksabilitas sampai letargi). Gambaran delirium akibat benzodiazepine dan
barbiturate mirip dengan gambaran delirium akibat alkohol.5
Delirium yang diakibatkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat
penggunaan dosis tinggi atau terus menerus sehingga deprivasi tidur memengaruhi tampilan
klinis. Delirium akibat intoksikasi kanabis ditandai dengan hendaya kognisi dan tugas performa
yang nyata. Bahkan dosis sedang kanabis dapat mengganggu memori, persepsi, koordinasi
motorik, dan atensi. Dosis tinggi yang juga mengganggu tingkat kesadaran pengguna
menimbulkan efek nyata pada pengukuran kognitif.5
8
Gunther M, Morandi A, Ely W. Pathophysiology of Delirium in the Intensive Care Unit. Crit Care Clin 24 (2008)
45–65.8
2.6 Manifestasi klinis delirium
Gambaran klinis delirium meliputi terganggunya kesadaran, seperti penurunan tingkat
kesadaran; terganggunya atensi yang mencakup berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan, atau mengalihkan atensi; hendaya dalam bidang fungsi kognitif lain yang
dapat bermanifestasi sebagai disorientasi (khususnya terhadap waktu dan tempat) dan penurunan
fungsi memori; awitan yang relatif cepat (biasanya dalam hitungan jam atau hari); durasi singkat
(biasanya selama beberapa hari atau minggu); dan seringkali fluktuasi keparahan serta
manifestasi klinis lain yang nyata dan tidak dapat diramalkan terjadi sepanjang hari, kadang
memburuk di malam hari (senja), terkadang dengan hendaya kognitif serta disorganisasi yang
cukup parah.5
Gambaran klinis terkait sering muncul dan menonjol, meliputi disgorganisasi proses pikir
(berkisar dari tangensialitas ringan hingga inkoherensi nyata), gangguan persepsi seperti ilusi dan
halusinasi, hiperaktivitas dan hipoaktivitas psikomotor, gangguan siklus tidur-bangun (gejala
yang sering berupa tidur yang terfragmentasi di malam hari, dengan atau tanpa rasa kantuk di
siang hari), perubahan mood (dari iritabilitas sampai disforia, ansietas, atau bahkan euforia yang
nyata), serta manifestasi lain dari fungsi neurologis yang terganggu (contoh: hiperaktivitas atau
instabilitas otonom, kejang mioklonik, dan disartria).5
2.7 Diagnosis
9
a. Kriteria diagnosis4
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat kondisi medis umum
A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan)
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung berfluktuasi
dalam sehari
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium bahwa
gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung dari suatu kondisi medis
umum.
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat intoksikasi zat
A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan)
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung berfluktuasi
dalam sehari
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa simtom A dan
B terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan medikasi.
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat putus zat
A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan)
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
10
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung berfluktuasi
dalam sehari
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa delirium
tersebut memiliki lebih dari satu etiologi (contoh: lebih dari satu kondisi medis umum
sebagai etiologi, satu kondisi medis umum ditambah intoksikasi zat atau efek samping
obat).
b. Pemeriksaan Fisik 3,9
Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat
tersembunyi misalnya dorsum penis.
Pemeriksaan fisik terutama untuk menemukan gejala intoksikasi/overdosis/putus zat dan
komplikasi medik seperti Hepatitis, Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-
lain.
Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan, sclera ikterik,
conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, caries gigi, aritmia jantung, edema paru,
pembesaran hepar dan lain-lain.
c. Pemeriksaan Laboratorium 3,9
Analisa Urin
Bertujuan untuk mendeteksi adanya zat psikoaktif dalam tubuh (benzodiazepin,
barbiturat, amfetamin, kokain, opioida, kanabis)
Pengambilan urin hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan
pastikan urine tersebut urine pasien.
d. Pemeriksaan Penunjang 3,4,5
Pemeriksaan EEG secara karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas secara umum
dan berguna untuk membedakan delirium dengan depresi ataupun psikosis. EEG pada delirium
kadang-kadang menunjukkan area hiperaktivitas fokal. Pada delirium akibat putus alkohol
ataupun zat sedatif EEG menunjukkan aktivitas voltase rendah yang cepat.
11
2.8 Diagnosa Banding
a. Demensia
Onset demensia terjadi secara perlahan, berbeda dengan delirium yang terjadi secara
mendadak. Meski kedua kondisi tersebut mencakup hendaya kognitif, perubahan pada demensia
lebih stabil dengan berjalannya waktu dan tidak berfluktuasi sepanjang hari.5
b. Gangguan psikotik dan Depresi
Beberapa pasien gangguan psikotik seperti skizofrenia atau episode manik mungkin
mengalami periode perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan dengan delirium. Namun,
umumnya halusinasi dan waham pada pasien psikotik akut lebih konstan dan lebih teratur
dibandingkan dengan delirium. Pasien psikotik akut biasanya tidak mengalami perubahan tingkat
kesadaran atau orientasi.
Pasien delirium dengan gejala hipoaktif mungkin akan tampak serupa dengan pasien
depresi berat namun dapat dibedakan berdasarkan EKG.5
2.9 Tatalaksana
a. Nonfarmakologis
Tatalaksana non farmakologis yang penting adalah memberikan dukungan fisik, sensorik,
dan lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar pasien delirium tidak terjebak dalam situasi
yang mencelakai dirinya sendiri. Pasien delirium sebaiknya tidak mengalami deprivasi sensorik
maupun dirangsang secara berlebihan oleh lingkungan. Mereka biasanya akan terbantu dengan
adanya teman atau saudara di ruangan yang sama atau orang yang biasa dekat dengannya.
Orientasi yang teratur terhadap orang, tempat, dan waktu dapat membantu membuat pasien
delirium merasa nyaman.5
b. Farmakologis
Dalam pengobatan delirium, tujuan utamanya adalah mengatasi penyebab yang mendasari.
Haloperidol:5
Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati delirium, dapat
diberikan per oral, IM, atau IV
12
Dosis haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang setiap 30 menit
(maksimal 20 mg/hari)
Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi
Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan interval QTc dan adanya
disritmia jantung.
Benzodiazepin:
Di Amerika Serikat, benzodiazepin (BZD) telah ditetapkan sebagai obat pilihan untuk
pencegahan dan pengobatan DT. Benzodiazepin memodulasi tindakan GABAA reseptor dengan
meningkatkan afinitas neurotransmitter GABA untuk reseptor. Biokimia, ini memungkinkan
untuk lebih Cl-ion melintasi membran terminal dan menyebabkan efek penghambatan. Peran
utama dari BZD adalah untuk mengganti GABA modulasi efek bahwa alkohol diberikan kepada
pasien. Farmakologi ini memberikan efek penghambatan dan akan membantu dalam mengurangi
gejala terkait dengan DT. Benzodiazepin telah terbukti aman dan manjur dalam mencegah
komplikasi yang terkait dengan DT . Pemilihan sebuah BZD di rumah sakit tergantung pada
beberapa faktor termasuk rute pemberian , onset dan durasi tindakan , fungsi hati , dan Status
formularium rawat inap. Chlordiazepoxide, diazepam, lorazepam dan midazolam berada di kelas
ini, digunakan dalam pengaturan penarikan akut untuk mengobati DT.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan satu BZD menjadi lebih mujarab ketimbang yang
lain. Ketika memilih sebuah BZD dalam pengobatan penarikan etanol , yang dokter harus
pertimbangkan ada banyak faktor . Semua BZDs tersedia dalam bentuk sediaan oral dan
intravena. Lorazepam mungkin menguntungkan dalam beberapa situasi klinis karena
menawarkan intramuscular administrasi . Lorazepam tidak memiliki metabolit aktif ,
menjadikannya pilihan yang menarik dalam pasien dengan fungsi hati atau fungsi ginjal menurun
. Dosis BZD digunakan selama DT dapat melebihi yang yang dianggap normal. Farmakologis
maksud dari terapi adalah untuk merangsang produksi GABA pada tingkat yang akan dianggap
setara dengan yang dihasilkan oleh etanol . pada 1 kasus , 2.640 mg diazepam intravena
diberikan lebih dari 48 jam diperlukan untuk mengendalikan pasien usia 34 tahun yang mengaku
kondisi darurat dengan penarikan alkohol akut.
13
1. Pisani, Margaret et al. Benzodiazepine and Opioid Use and The Duration of ICU
Delirium in an Older Population. Crit Care Med. 2009; 37(1): 177–183.
2. Sadock & Virginia. 2000. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 7th edition.
3. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 420/Menkes/SK/ii/2010.
Pedoman Layanan Terapi Dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan
Napza Berbasis Rumah Sakit. Hal: 1-92
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. 2012. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa/Psikiatri. PP PDSKJI.
5. Sadock & Virginia. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook Clinical Psychiatry. 2nd
edition. Jakarta: EGC.
6. Nevid, J. S., et al. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
7. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders. (4th ed.,textrevision). Washington D. C.
8. Gunther M, Morandi A, Ely W. Pathophysiology of Delirium in the Intensive Care Unit.
Crit Care Clin. 2008. 45–65.
9. Ricardo P. 2010. Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Oleh Kepolisian
(Studi Kasus Satuan Narkoba Polres Metro Bekasi). Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 6
No.III Desember: 232 – 245.
10. Smith, Brian et al. Management of Delirium Tremens. Journal of Intensive Care
Medicine. 2005; 20: 164.
15