73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

11
WABAH ANTRAKS DI KABUPATEN SUMBAWA, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PADA TAHUN 2004 (The Outbreak of Anthrax in Sumbawa District the Province of West Nusa Tenggara in 2004) Anak Agung Gde Putra, Lalu Zuhudin * , Ni Luh Dartini, A.A. Sagung Dewi, Ni Made Arsani, dan Rince Morita Butarbutar BPPV Denpasar dan * Dinas Peternakan Propinsi NTB ABSTRAK Telah terjadi wabah antraks yang menyerang kerbau, sapi, kambing, anjing, ayam, dan juga manusia di Kabupaten Sumbawa. Berdasarkan informasi yang diperoleh, diperkirakan bahwa wabah mulai terjadi sekitar pertengahan bulan September 2004 di Desa Berare dan menyerang 8 ekor sapi, tetapi kasus ini luput dari pengamatan petugas karena tidak dilaporkan saat kasus terjadi. Dua minggu kemudian, penyakit muncul di Desa Ngeru, Karang Dima, Batu Bangka, Lito, Lito B, Penyaring, dan terakhir di Desa Pelita. Sampai akhir Nopember 2004, sebanyak 9 ekor kerbau, 18 ekor sapi, 1 ekor kambing, 6 ekor anjing, dan 1 ekor ayam telah tertular antraks. Di samping itu, 13 orang juga tertular antraks, tetapi tidak ada yang sampai meninggal dunia. Kabupaten Sumbawa telah diketahui sebagai daerah tertular antraks dan kasus itu kerap muncul secara periodik. Kasus antraks muncul karena rendahnya cakupan vaksinasi di Kabupaten Sumbawa, yaitu sekitar 17%. Rendahnya cakupan vaksinasi di daerah (desa) tertular juga diakibatkan oleh pendekatan program vaksinasi yang tidak memprioritaskan pelaksanaan vaksinasi pada desa-desa tertular berdasarkan sejarah kejadian antraks. Mengingat rendahnya cakupan vaksinasi di desa tertular dan kasus antraks juga terjadi di daerah yang berbukit, untuk menghindari terjadinya wabah yang lebih besar pada saat musim hujan, maka disarankan agar segera dilakukan vaksinasi di desa tertular, desa yang mengikuti aliran air (sungai) yang berkaitan dengan tempat kasus antraks terjadi, dan di desa sekitar desa tertular, serta melakukan penutupan lalu lintas ternak ke dan dari desa tertular. Kata kunci: antraks, ternak, manusia, pulau Sumbawa ABSTRACT The outbreak of anthrax in the District of Sumbawa, West Nusa Tenggara Province was initiated by the first case of anthrax that occurred in Berare Village in the midle of September 2004, affecting 8 buffaloes. Anthrax was then found in four other villages. Up to the end of the outbreak (late November 2004): 9 buffaloes, 18 cattle, 1 goat were affected. More over 6 dogs and one chicken that affected by the disease was due to that those animals were fed with infected meat by the owner. During the outbreak, 10 men and 1 woman were also affected due to either they skinning or consuming meat from the dead animals. Sumbawa District has been known as one of endemic areas for anthrax in the Province of West Nusa Tenggara and for that reason the disease was controlled by vaccination. The recent outbreak occurred because of a relatively low vaccination coverage in the district which was about 17%. The low vaccination coverage was also due to the poor approach in vaccination programme; it was not based on infected villages according to historical incidence of anthrax. Of those findings and in order to stop the outbreak before the rainy season comes, which begi by the end of the year, it was then recommended to revaccinate all of the susceptible population with priority to: infected villages, low land villages and the neighbour of infected villages. Keyword: anthrax, livestock, human, Sumbawa island

Transcript of 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

Page 1: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

WABAH ANTRAKS DI KABUPATEN SUMBAWA,

PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PADA TAHUN 2004

(The Outbreak of Anthrax in Sumbawa District

the Province of West Nusa Tenggara in 2004)

Anak Agung Gde Putra, Lalu Zuhudin*, Ni Luh Dartini, A.A. Sagung Dewi,

Ni Made Arsani, dan Rince Morita Butarbutar

BPPV Denpasar dan *Dinas Peternakan Propinsi NTB

ABSTRAK

Telah terjadi wabah antraks yang menyerang kerbau, sapi, kambing, anjing, ayam, dan juga manusia di

Kabupaten Sumbawa. Berdasarkan informasi yang diperoleh, diperkirakan bahwa wabah mulai terjadi sekitar

pertengahan bulan September 2004 di Desa Berare dan menyerang 8 ekor sapi, tetapi kasus ini luput dari

pengamatan petugas karena tidak dilaporkan saat kasus terjadi. Dua minggu kemudian, penyakit muncul di

Desa Ngeru, Karang Dima, Batu Bangka, Lito, Lito B, Penyaring, dan terakhir di Desa Pelita. Sampai akhir

Nopember 2004, sebanyak 9 ekor kerbau, 18 ekor sapi, 1 ekor kambing, 6 ekor anjing, dan 1 ekor ayam telah

tertular antraks. Di samping itu, 13 orang juga tertular antraks, tetapi tidak ada yang sampai meninggal dunia.

Kabupaten Sumbawa telah diketahui sebagai daerah tertular antraks dan kasus itu kerap muncul secara

periodik. Kasus antraks muncul karena rendahnya cakupan vaksinasi di Kabupaten Sumbawa, yaitu sekitar

17%. Rendahnya cakupan vaksinasi di daerah (desa) tertular juga diakibatkan oleh pendekatan program

vaksinasi yang tidak memprioritaskan pelaksanaan vaksinasi pada desa-desa tertular berdasarkan sejarah

kejadian antraks. Mengingat rendahnya cakupan vaksinasi di desa tertular dan kasus antraks juga terjadi di

daerah yang berbukit, untuk menghindari terjadinya wabah yang lebih besar pada saat musim hujan, maka

disarankan agar segera dilakukan vaksinasi di desa tertular, desa yang mengikuti aliran air (sungai) yang

berkaitan dengan tempat kasus antraks terjadi, dan di desa sekitar desa tertular, serta melakukan penutupan

lalu lintas ternak ke dan dari desa tertular.

Kata kunci: antraks, ternak, manusia, pulau Sumbawa

ABSTRACT

The outbreak of anthrax in the District of Sumbawa, West Nusa Tenggara Province was initiated by the first

case of anthrax that occurred in Berare Village in the midle of September 2004, affecting 8 buffaloes.

Anthrax was then found in four other villages. Up to the end of the outbreak (late November 2004): 9

buffaloes, 18 cattle, 1 goat were affected. More over 6 dogs and one chicken that affected by the disease was

due to that those animals were fed with infected meat by the owner. During the outbreak, 10 men and 1

woman were also affected due to either they skinning or consuming meat from the dead animals.

Sumbawa District has been known as one of endemic areas for anthrax in the Province of West Nusa

Tenggara and for that reason the disease was controlled by vaccination. The recent outbreak occurred

because of a relatively low vaccination coverage in the district which was about 17%. The low vaccination

coverage was also due to the poor approach in vaccination programme; it was not based on infected villages

according to historical incidence of anthrax. Of those findings and in order to stop the outbreak before the

rainy season comes, which begi by the end of the year, it was then recommended to revaccinate all of the

susceptible population with priority to: infected villages, low land villages and the neighbour of infected

villages.

Keyword: anthrax, livestock, human, Sumbawa island

Page 2: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

PENDAHULUAN

Antraks adalah penyakit hewan menular

yang dapat menyerang berbagai jenis

hewan mamalia, bersifat perakut, akut,

atau subakut, dan bersifat zoonosis.

Burung unta juga dilaporkan peka

terhadap antraks (Noor dkk., 2001;

Hardjoutomo dkk., 2002). Ada dua

bentuk antraks, yaitu bentuk kulit dan

bentuk septisemik (Ezzel, 1986). Bila

kuman Bacillus anthracis berada dalam

lingkungan yang tidak menguntungkan

bagi perkembangannya dan memperoleh

jumlah oksigen yang cukup, maka ia akan

membentuk spora, dan spora ini mampu

bertahan hidup selama puluhan tahun.

Penyembelihan hewan tertular antraks

akan mendorong kuman ini membentuk

spora., Karena itu, hewan tertular antraks

dilarang untuk disembelih. Padang

penggembalaan atau lingkungan budidaya

ternak yang telah tercemari spora antraks

akan mengakibatkan penyakit itu menjadi

bersifat endemik apabila tidak ditangani

secara baik. Akibat dari penanganan

antraks yang belum optimal, sejak lama

pulau Sumbawa dikenal sebagai pulau

yang endemik antraks (Poerwadikarta,

1998; Hardjoutomo dan Poerwadikarta,

1996; Poerwadikarta dkk., 1993;

Hardjoutomo dkk., 1995; Kertayadnya

dan Suendra, 2003).

Kabupaten Buleleng, Bali sekitar tahun

1885 pernah dilaporkan tertular antraks

(Soemanagara, 1958). Sekarang pulau

Bali dikenal sebagai salah satu pulau di

Indonesia yang bebas dari antraks. Data

ini menunjukkan bahwa antraks masih

dapat diberantas, tentu dengan program

yang jelas dan berkesinambungan dan

dilaksanakan dalam jangka waktu yang

lama mengingat daya tahan hidup spora

antraks di tanah dapat berlangsung dalam

kurun waktu yang sangat lama. Di daerah

endemik, salah satu cara untuk

mengendalikan penyakit ini adalah

dengan melakukan vaksinasi massal

terhadap seluruh hewan peka di semua

desa tertular dan desa sekitarnya yang

secara epidemiologi terancam. Kalau

program vaksinasi dilaksanakan secara

berkesinambungan dan dalam jangka

waktu yang lama, pada akhirnya spora B.

anthracis pada suatu saat akan mati juga

seperti yang terjadi di pulau Bali. Laporan

penyidikan ini dibuat berkaitan dengan

munculnya wabah antraks di Kabupaten

Sumbawa yang menyerang ternak dan

manusia.

MATERI DAN METODE

1. Pengamatan Lapangan

Penyidikan lapangan tahap pertama

dilakukan pada tanggal 5 Nopember,

selanjutnya tahap ke dua dilakukan pada

tanggal 11 Nopember 2004. Penyidikan

dilakukan oleh tim Dinas Peternakan

Kabupaten Sumbawa, tim Dinas

Peternakan Propinsi NTB, dan tim

penyidik BPPV Regional VI Denpasar.

Pengamatan dilakukan langsung di lokasi

kasus setelah mendengar informasi

adanya kasus kematian ternak yang

mencirikan antraks dan adanya manusia

yang tertular karena ada hubungan dengan

ternak yang mati. Untuk memperoleh

informasi yang diperlukan, tim

melakukan wawancara dengan

masyarakat atau peternak yang ternaknya

mengalami kematian dan juga kepada

orang yang diduga tertular antraks.

2. Pengambilan Spesimen

Untuk peneguhan diagnosa secara

laboratorium dari dugaan kasus antraks

yang terjadi, dilakukan pengambilan

spesimen di tiga desa tertular.

a) Di Desa Berare diambil dua sampel

tanah di sekitar tempat dilakukan

penyembelihan kerbau, di dua lokasi

yang berbeda.

b) Di Desa Batu Bangka diambil sampel

tanah dan tulang (rahang, rusuk)

kerbau yang tersisa di sekitar tempat

Page 3: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

pemusnahan kerbau.

c) Di Desa Karang Dima diambil

sampel tanah di sekitar tempat

dilakukannya pemusnahan kambing.

3. Pengujian Spesimen

Selama proses penyidikan, dilakukan

pemeriksaan preparat ulas darah oleh

Laboratorium tipe C Sumbawa terhadap 6

ekor ternak yang mati di Desa Batu

Bangka, Berare dan Desa Karang Dima.

Untuk melakukan konfirmasi agen

penyebab, terhadap spesimen yang

diambil dilakukan uji pembiakan pada

plat agar darah dan uji biologis

(Hardjoutomo, 1985), dengan tetap

memperhatikan kesehatan dan

keselamatan lingkungan (Sudana dkk.,

1983). Karena pulau Bali bebas dari

antraks, maka pengujian dilakukan di

Laboratorium tipe B di Mataram. Di

samping itu, sampel yang sama juga

dikirim ke Balitvet Bogor dalam rangka

uji banding.

HASIL

1. Diagnosa Lapangan

Berdasarkan pemeriksaan ulas darah dan

gejala klinis serta gambaran epidemiologi,

kasus kematian ternak yang terjadi di

Desa Batu Bangka, Ngeru, Berare, dan

Desa Karang Dima di Kabupaten

Sumbawa disebabkan oleh antraks.

Tertularnya 13 orang penduduk di desa

tertular terjadi setelah mereka melakukan

penyembelihan ternak tertular. Gejala

klinis yang muncul pada ternak tertular

antraks adalah berupa kematian

mendadak, kejang-kejang, dan keluar

darah dari lubang kumlah. Pada manusia,

terlihat gejala klinis pada kulit yaitu

berupa gatal-gatal, kemudian terbentuk

vesikula selanjutnya terbentuk ulser yang

ditemukan pada tangan, daerah pinggul,

pinggang, dan kaki.

2. Kronologi Kasus Antraks

Dari hasil wawancara dengan pemilik

ternak dan masyarakat, diperoleh

informasi bahwa penyakit mulai terjadi

sekitar pertengahan bulan September

2004, yaitu adanya kematian 8 ekor sapi

yang terjadi di Desa Berare dan

berlangsung selama dua minggu. Kasus

ini luput dari pengamatan petugas Dinas

Peternakan karena hal tersebut tidak

dilaporkan oleh peternak. Berita antraks

baru kemudian menjadi pembicaraan

setelah tertularnya beberapa orang sekitar

tanggal 27 Oktober 2004. Berdasarkan

data yang diperoleh, sebelum berita

antraks tersebar luas, sudah ada tiga desa

yang tertular (Tabel 1). Kronologi

kejadian antraks di masing-masing desa

tertular diuraikan berikut ini.

a) Kasus antraks di Desa Berare,

Kecamatan Moyohilir, Kabupaten

Sumbawa.

Pada tanggal 27 Oktober 2004, satu ekor

sapi dilaporkan mati dengan

memperlihatkan gejala klinis antraks.

Hewan yang mati tersebut telah

dimusnahkan dengan pembakaran.

Diperoleh informasi bahwa beberapa

minggu sebelumnya telah ada 8 ekor sapi

yang mati secara mendadak dalam kurun

waktu sekitar dua minggu. Tentang kasus

kematian 8 ekor sapi ini belum dapat

ditelusuri secara cermat dan juga tidak

dilakukan pemeriksaan oleh petugas yang

berwenang. Diduga kasus antraks mulai

terjadi sekitar pertengahan bulan

September 2004, dan kematian 8 ekor

sapi tersebut diduga merupakan kasus

awal berjangkitnya antraks di Kecamatan

Moyohilir, Kabupaten Sumbawa tahun

2004.

Kasus antraks selanjutnya terjadi pada

tanggal 12 November 2004, menyerang

1 ekor kerbau; kerbau tersebut selanjutnya

dijual ke pejagal kemudian dilaporkan

mati. Kasus kematian ternak terakhir di

Desa Berare terjadi pada tanggal 17

Page 4: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

Nopember 2004 di Dusun Melili,

menyerang 1 ekor sapi. Sapi tersebut

dimusnahkan dengan cara dibakar. Tim

penyidik menyaksikan proses

pembakaran, tetapi sepanjang pengamatan

tim, tidak terlihat adanya kedua kaki

belakang dari sapi yang dimusnahkan.

Sampai dengan penyidikan lapangan

dilakukan, di desa Berare belum terjadi

penyebaran penyakit kepada manusia.

b) Kasus antraks di Desa Ngeru,

Kecamatan Moyohilir, Kabupaten

Sumbawa.

Pada tanggal 7 Oktober 2004, satu ekor

kerbau dilaporkan mati secara mendadak

dengan memperlihatkan klinis antraks.

Dilaporkan ada 3 orang yang tertular

dengan memperlihatkan lesi menyerupai

antraks. Sampai penyidikan dilakukan

belum ada yang meninggal karena

penyakit tersebut.

c) Kasus antraks di Desa Batu

Bangka, Kecamatan Moyohilir,

Kabupaten Sumbawa.

Pada tanggal 31 Oktober 2004, 1 ekor

sapi sakit dan kemudian dipotong paksa,

dagingnya dijual ke pejagal dan setelah

diketahui limpanya membengkak

kemudian dilaporkan daging ini dibakar

dan dikubur. Pada tanggal 31 Oktober

juga, 1 ekor kerbau dari 12 ekor kerbau

dalam satu kelompok dilaporkan mati

secara mendadak dengan memperlihatkan

klinis antraks. Kemudian beberapa orang

melakukan pengulitan dari kerbau yang

mati tersebut dan daging dari kerbau

tersebut dipotong-potong selanjutnya

diberikan ke 6 ekor anjing dan 1 ekor

ayam.

Dua hari kemudian 4 orang yang

menguliti kerbau tersebut

memperlihatkan gejala klinis gatal-gatal

dan selanjutnya memperlihatkan luka-

luka pada kulit (karbunkel) menyerupai

lesi antraks. Keempat orang tersebut

memperoleh perawatan dari Puskesmas

Moyohilir dan tidak ada yang dilaporkan

meninggal.

Lebih lanjut, 6 ekor anjing yang memakan

daging kerbau tersebut juga dilaporkan

mati 2 hari kemudian, demikian juga 1

ekor ayam yang makan daging kerbau

tersebut juga dilaporkan mati pada

tanggal 2 Nopember 2004. Kasus

selanjutnya di Dusun Sengkal terjadi pada

tanggal 4, 6, dan 8 Nopember 2004,

berturut-turut menyerang 3 ekor kerbau,

masing-masing kerbau diketahui mati

secara mendadak, bangkai dari kerbau

tersebut dibakar. Pada tanggal 9

Nopember 2004 kasus antraks terjadi lagi

di Dusun Sengkal menyerang 1 ekor sapi.

Selanjutnya, antraks muncul di Dusun

Penyaring, Desa Batu Bangka pada

tanggal 27 November 2004 menyerang 2

ekor sapi.

d) Kasus antraks di Desa Karang

Dima, Kecamatan Labuhan Badas,

Kabupaten Sumbawa.

Pada tanggal 26 Oktober 2004, di Dusun

Bangkong, Desa Karang Dima ada 1 ekor

kambing yang dilaporkan mati yang

memperlihatkan gejala klinis antraks.

Selanjutnya, antraks menyebar ke Dusun

Pemulung, Desa Karang Dima pada

tanggal 29 Nopember 2004 menyerang 1

ekor sapi. Tidak ada laporan yang

menyatakan bahwa penyakit telah

menulari manusia.

e) Kasus antraks di Lito B, Pelita, dan

Lito, Kecamatan Moyo Hulu,

Kabupaten Sumbawa.

Di Kecamatan Moyo Hulu, antraks terjadi

di tiga lokasi (dusun/desa) yang dimulai

pada tanggal 7 November 2004 dan kasus

terakhir pada tanggal 29 November 2004,

menyerang 2 ekor kerbau dan 3 ekor sapi.

Berkaitan dengan kasus antraks tersebut,

4 orang dilaporkan tertular antraks, dan

semuanya dapat disembuhkan.

Page 5: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

3. Tingkat Morbiditas dan Mortalitas

Antraks

Tingkat morbiditas dan mortalitas antraks

pada berbagai ternak di 3 kecamatan

tertular disajikan pada Tabel 2, 3, dan

Tabel 4. Secara keseluruhan, tingkat

morbiditas antraks adalah sebesar 0,21%

(28/13.084). Tingkat kematian penderita

(case fatality rate) dan tingkat mortalitas

antraks adalah juga sebesar 0,21%.

Data tentang cakupan vaksinasi antraks

per desa tidak tersedia, maka

hubungannya dengan kejadian kasus

antraks sulit dianalisis secara cermat.

4. Hasil Pengujian Spesimen

Laboratorium Type C di Kabupaten

Sumbawa telah membuat preparat ulas

darah dari 6 ekor hewan yang mati,

dengan hasil secara mikroskopis positif B.

anthracis. Pengujian sampel yang

dilakukan di Laboratorium Type B di

Mataram, baik pada pemupukan pelat

agar darah maupun pada uji biologis pada

tikus putih, positif B. anthracis. Hasil

pengujian sampel yang sama yang

dilakukan oleh Balitvet Bogor juga positif

B. anthracis.

5. Hewan Terserang

Dari 13.084 ekor ternak (sapi, kerbau,

kambing, dan kuda) yang ada di daerah

tertular, kasus antraks paling banyak

menyerang sapi (0,49%) kemudian

disusul kerbau (0,18%) dan kambing

(0,05%)(Tabel 5). Dari 2.429 kuda yang

ada di daerah wabah, tidak ada satu ekor

pun yang terserang antraks. Sementara itu,

6 ekor anjing dan 1 ekor ayam yang

tertular antraks disebabkan karena diberi

makan daging yang berasal dari ternak

yang terserang antraks.

Page 6: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

Tabel 1

Kejadian antraks di lima desa tertular, tiga kecamatan, Kabupaten Sumbawa pada tahun

2004

Hewan tertular: Dusun / Desa,

Kecamatan

Tanggal

Kejadian Ker

bau

Sa

pi

Ka

mbi

ng

anjin

g

Ayam

Kasus

pada

manusia

A. Kecamatan Moyohilir:

1) Berare - 15-09-04

- 27-10-04

- 12-11-04

- 17-11-04

-

-

1

-

8

1

-

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

2) Ngeru - 07-10-04

1 - - - - 3

3) Sengkal, Batu

Bangka

Dusun Penyaring

- 31-10-04

- 04-11-04

- 06-11-04

- 08-11-04

- 09-11-04

- 27-11-04

1

1

1

1

-

-

1

-

-

-

1

2

-

-

-

-

-

-

6

-

-

-

-

-

1

-

-

-

-

-

4

-

-

-

-

-

B. Kecamatan Labuhan Badas

4) Dusun

Bangkong dan

Pemulung

Bangkong,

Desa Karang

Dima

- 26-10-04

- 29-11-04

-

-

-

1

1

-

-

-

-

-

-

-

C. Kecamatan Moyo Hulu

5) Dusun Lito B

Dusun Pelita

Dusun Lito

- 07-11-04

- 22-11-04

- 29-11-04

- 24-11-04

1

1

-

-

-

-

1

2

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

3

1

-

-

Jumlah: 8 18 1 6 1 11

Page 7: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

Tabel 2

Tingkat morbiditas dan mortalitas antraks di desa tertular, di Kecamatan Moyohilir,

Kabupaten Sumbawa, tahun 2004.

Jenis ternak Populasi Cakupan

vaksinasi

Jumlah sakit Jumlah mati

1. Desa Berare:

Sapi

Kerbau

Kambing

Kuda

451

1.361

180

568

?

?

?

?

10 (2,2%)

2 (0,15%)

0

0

10 (2,2%)

2 (0,15%)

0

0

Jumlah: 2.560 12 (0,46%) 12 (0,46%)

2. Desa Ngeru:

Sapi

Kerbau

Kambing

Kuda

560

1.112

257

384

?

?

?

?

0

1 (0,09%)

0

0

0

1 (0,09%)

Jumlah: 2.313 1 (0,04%) 1 (0,04%)

3. Desa Batu Bangka

Sapi

Kerbau

Kambing

Kuda

388

1.651

540

760

?

?

?

?

4 (1,0%)

4 (0,24%)

0

0

4 (1,0%)

4 (0,24%)

0

0

Jumlah:

3.339 8 (0,24%) 8 (0,24%

Total: 8.212 21 (0,25%) 21 (0,25%)

Tabel 3

Tingkat morbiditas dan mortalitas antraks di Desa Karang Dima, Kecamatan Labuhan

Badas, Kabupaten Sumbawa, tahun 2004.

Jenis ternak Populasi Cakupan

vaksinasi

Jumlah sakit Jumlah mati

Sapi

Kerbau

Kambing

Kuda

1.655

20

867

331

?

?

?

?

1 (0,06%)

0

1 (0,11%)

0

1 (0,06%)

0

1 (0,11%)

0

Jumlah: 2.873 2 (0,07%) 2 (0,07%)

Page 8: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

Tabel 4

Tingkat morbiditas dan mortalitas antraks di Lito B, Pelita, dan Lito, Kecamatan Moyo

Hulu, Kabupaten Sumbawa, tahun 2004.

Jenis ternak Populasi Cakupan

vaksinasi

Jumlah sakit Jumlah mati

Sapi

Kerbau

Kambing

Kuda

620

849

386

144

?

?

?

?

3 (0,48%)

2 (0,23%)

0

0

3 (0,48%)

2 (0,23%)

0

0

Jumlah: 1.999 5 (0,25%) 5 (0,25%)

Tabel 5

Jenis ternak yang terserang selama kejadian wabah antraks pada tahun 2004 di Kabupaten

Sumbawa

Jenis Ternak Populasi Ternak di

Daerah Tertular

Jumlah Ternak

yang Terserang

Persentase

Sapi

Kerbau

Kambing

Kuda

3.674

4.993

1.988

2.429

18

9

1

0

0,49%

0,18%

0,05%

0

Jumlah: 13.084 28 0,21%

PEMBAHASAN

Sebagai daerah endemik antraks

(Poerwadikarta, 1998; Hardjoutomo dan

Poerwadikarta, 1996; Pourwadikarta dkk.,

1993; Hardjoutomo dkk., 1995;

Kertayadnya dan Suendra, 2003) adanya

gejala klinis baik pada ternak maupun

pada orang sudah cukup untuk membuat

diagnosa lapangan secara cepat (Bale

dkk., 1984; Sudana dkk., 1980; Putra,

2004; Anonim, 2004) sehingga dapat

diambil tindakan yang cepat.

Rendahnya pemahaman masyarakat

(peternak) terhadap antraks telah

menyebabkan penyakit dapat menulari

manusia dan penyakit ini akhirnya

menjadi penyakit zoonosis yang perlu

memperoleh perhatian khusus dari

pemerintah. Antraks pada manusia

hampir selalu diawali oleh kejadian

antraks pada ternak sehingga

pengendalian penyakit pada manusia

sangat ditentukan oleh keberhasilan

pengendalian penyakit pada ternak

(Hardjoutomo, 1986; Hardjoutomo dkk.,

1995; Hardjoutomo dan Poerwadikarta,

1996; Noor dkk., 2001; Putra, 2004).

Peningkatan pemahaman masyarakat

terhadap penyakit ini hanya dapat

dilakukan melalui peningkatan

pelaksanaan penyuluhan secara intensif

dan dilaksanakan secara

berkesinambungan oleh otoritas kesehatan

Page 9: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

hewan. Keberhasilan dari kegiatan

penyuluhan dapat diukur dari tingkat

partisipasi masyarakat dalam kegiatan

vaksinasi dan tindakan yang dilakukan

apabila terjadi antraks. Menyembelih atau

memperdagangkan ternak tertular antraks,

selain memperparah keadaan karena spora

kuman ini dapat bertahan lama di tanah,

juga dapat mengakibatkan orang lain

tertular antraks. Hal inilah yang perlu

ditekankan pada saat kegiatan penyuluhan

dilaksanakan di samping hal-hal lainnya.

Penanganan kasus / wabah antraks oleh

masyarakat di Kabupaten Sumbawa

masih belum optimal. Hal tersebut dapat

dilihat dari masih adanya masyarakat

yang menyemblih, memperdagangkan,

dan mengkonsumsi daging yang tertular

antraks. Sekalipun demikian, sudah

nampak ada upaya perbaikan dengan

dimusnahkannya beberapa ekor ternak

yang tertular antraks.

Rendahnya cakupan vaksinasi yang baru

mencapai sekitar 17% di Kabupaten

Sumbawa, selain akibat terbatasnya

jumlah vaksin yang tersedia, juga dapat

diinterpretasikan sebagai belum efektifnya

pelaksanaan kegiatan penyuluhan.

Tertularnya manusia juga mendukung

anggapan bahwa kegiatan penyuluhan

yang dilaksanakan belum mencapai

sasarannya secara efektif. Rendahnya

partisipasi peternak dalam kegiatan

vaksinasi pada kambing diakibatkan oleh

terjadinya anapilaktik sok pascavaksinasi.

Hal tersebut diduga disebabkan oleh

adanya kandungan saponin pada vaksin.

Karena itu, perlu dicarikan alternatif

pemecahan vaksin khusus untuk kambing.

Meskipun kejadian antraks pada ternak

lain dapat dikendalikan secara optimal

dan jika ternak kambing masih tertular

antraks (Kertayadnya dan Suendra, 2003),

maka hal tersebut akan tetap mengancam

kesehatan manusia serta dapat

memelihara endemisitas penyakit di suatu

lokasi.

Sesungguhnya dengan keterbatasan

jumlah vaksin yang tersedia, dan jika

vaksin tersebut digunakan secara efektif,

diharapkan masih dapat ditingkatkan

optimalitas pengendalian penyakit.

Penularan utama antraks pada hewan

adalah melalui makanan dan minuman

yang terkontaminasi oleh spora kuman B.

anthracis yang ada di tanah (Ezzel, 1986).

Adanya spora dari kuman antraks di tanah

karena dilakukannya pemotongan

terhadap hewan tertular antraks.

Berdasarkan sejarah kejadian antraks di

setiap daerah, maka pemetaan penyakit

dapat dibuat, baik dengan pendekatan

dusun maupun dengan pendekatan desa.

Jadi, hanya dusun/desa tertular yang wajib

diberikan prioritas utama dalam kegiatan

vaksinasi. Prioritas vaksinasi lainnya juga

harus ditujukan pada ternak yang berada

di sepanjang aliran air (sungai), jika ada

ternak tertular antraks yang mati di daerah

perbukitan seperti yang dilaporkan terjadi

di Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa

Tenggara Timur pada tahun 1996 (Putra,

2004). Prioritas vaksinasi selanjutnya

adalah dusun/desa yang berada di sekitar

desa tertular antraks. Dengan

menggunakan pendekatan ini, jumlah

vaksin antraks yang tersedia di Kabupaten

Sumbawa yang setiap tahun sekitar

45.000 dosis, diharapkan akan lebih

mencapai sasarannya (perhatikan data

sementara desa tertular antraks di

Kabupaten Sumbawa).

Untuk dapat mengamati tingkat kekebalan

kelompok (herd immunity) pascavaksinasi

untuk mengevaluasi keberhasilan program

vaksinasi yang dilaksanakan, perlu

dilaksanakan surveilans seroepidemiologi.

Metode uji serologis yang ada saat ini

perlu dikembangkan sehingga memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang memadai

dan disebarkan penggunaannya

(Hardjoutomo dkk., 1993; Hardjoutomo

dan Poerwadikarta, 1996).

Page 10: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

Pada saat penyidikan dilakukan, antraks

di beberapa dusun/desa tertular di

Kabupaten Sumbawa masih sedang

berlanjut (kasus terakhir pada ternak

tanggal 11 Nopember 2004), yang

mengindikasikan tidak tingginya herd

immunity. Maka, telah disarankan untuk

segera melakukan vaksinasi sesuai

dengan pendekatan program vaksinasi

seperti yang telah diuraikan di atas.

Pembentukan antibodi antraks

memerlukan waktu sekitar dua minggu

pascavaksinasi sehingga dengan demikian

diharapkan mampu menahan peningkatan

kasus pada saat musim hujan. Desa/dusun

tertular antraks harus ditutup, untuk

menghambat penyebaran penyakit baik

pada ternak maupun pada manusia.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan

bahwa sudah saatnya ada suatu

penyempurnaan manajemen

penanggulangan antraks secara

keseluruhan baik pada tingkat nasional,

Propinsi, Kabupaten/Kota, yang meliputi:

prioritas penanganan penyakit secara

nasional, pendekatan program vaksinasi,

pengembangan vaksin khusus kambing,

peningkatan program penyuluhan,

pengembangan teknik uji serologi,

pengorganisasian pengendalian penyakit,

dan lain-lainnya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada

Bapak Ir. H. Lalu Widjaje (mantan

Kepala Dinas Peternakan Propinsi NTB)

dan semua staf, juga kepada Bapak Ir.

Ibrahim (Kepala Dinas Peternakan

Kabupaten Sumbawa) beserta staf, atas

segala bantuan yang diberikan selama

penyidikan dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2004) Laporan penyakit anthrax tahun

2003-2004 dan rencana pengendalian serta

pemberantasan penyakit anthrax di Propinsi

Nusa Tenggara Barat tahun 2004-2005.

Disampaikan saat dialog antara Menteri

Pertanian dan Pemerintah Propinsi NTB di

Kantor Gubernur NTB pada tanggal 31

Oktober 2004.

Bale, A. R., Sudana, I. G. dan Suendra, I. N.

(1984) Studi laboratorik penyakit radang

limpa (anthrax), tanda klinis dan diagnosa.

Laporan Tahunan Hasil Penyidikan

Penyakit Hewan di Indonesia Periode

Tahun 1982-1983. Direktorat Kesehatan

Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan,

Jakarta, 30-37.

Ezzell Jr., J. W. (1986) Bacillus anthracis. In

Pathogenesis of Bacterial Infections in

Animals. Edited by Carlton L. Gyles and

Charles O. Thoen. Iowa State University

Press, Ames, pp. 21-25.

Hardjoutomo, S. (1985) Diagnosa antraks secara

laboratorik pengaruh pemanasan pada

spesimen terhadap hasil pemeriksaan.

Penyakit Hewan XVII (29): 276-279.

Hardjoutomo, S. (1986) Antraks, salah satu

zoonosis penting di Indonesia. Jurnal

Penelitian dan Pengembangan Pertanian

V (1): 22-26.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. (1996)

Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia:

Sampai dimana kesiapan kita? Jurnal

Penelitian dan Pengembangan Pertanian

XV (2): 35-40.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., Patten, B.

dan Barkah, K. (1993) The aplication of

ELISA to monitor the vaccinal response of

anthrax vaccinated ruminants. Penyakit

Hewan XXV (46A): 7-10.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan

Martindah, E. (1995) Antraks pada hewan

dan manusia di Indonesia. Prosiding

Seminar Nasional Peternakan dan

Veteriner 7-8 Nopember 1995, Cisarua,

Bogor. Halaman: 305-318.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., Barkah, K.

(2002) Kejadian antraks pada burung unta

di Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia.

Wartazoa 12(3): 114-120.

Page 11: 73836961--5-Antraks-Wabah-Sbawa-Jun2005

Noor, S.M., Darminto, dan Hardjoutomo, S.

(2001) Kasus antraks pada manusia dan

hewan di Bogor pada awal tahun 2001.

Wartazoa 11(2): 8-14.

Poerwadikarta, M.B. (1998). Protein profiles of

field isloates of Bacillus anthracis from

different endemic areas of Indonesia.

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(1):

34-38.

Poerwadikarta, M.B., Hardjoutomo, S. dan

Barkah, K. (1993). Sensitivity of local

isloates of Bacillus anthracis against

several antibiotics. Penyakit Hewan

XXV(46: 133-136.

Putra, A.A.G. (1996). Letupan penyakit antraks

pada ternak di Kabupaten Ngada Propinsi

Nusa Tenggara Timur. Buletin Veteriner

XVI (64): 1-8.

Soemanagara, R. M. T. (1958) Ichtisar singkat dari

penyakit radang limpa, penyakit ngorok

dan radang paha di Indonesia. I. Anthrax,

radang limpa. Hemera Zoa LXV (7-8):

95-109.

Sudana, I. G., Soeharsono dan Malole, M. (1980)

Penyidikan penyakit hewan di Perwakilan

Kecamatan Ngadu Ngala, Kabupaten

Sumba Timur. Laporan Penyidikan BPPH

VI Denpasar.

Sudana, I. G., Bale, A. R., Hartaningsih, N. dan

Suendra, I N. (1983) Studi laboratorik

penyakit radang limpa (anthrax). IV. Daya

tahan spora anthrax terhadap beberapa

bahan kimia. Laporan Penyidikan BPPH

VI Denpasar.