7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A....

29
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan. Namun fokus penelitiannya berbeda dengan yang ada dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya oleh orang lain mengenai wujud kebudayaan akan dijadikan sebuah penelitian relevan oleh peneliti. Hal itu dilakukan untuk memperkuat dan membedakan hasil penelitian yang ada. Penelitian relevan yang dipakai dalam penelitian ini ada tiga buah penelitian. 1. Penelitian dengan Judul Wujud dan Unsur Kebudayaan dalam Kumpulan Cerita Legenda Jawa Kabupaten Cilacap yang Diterbitkan Oleh Yayasan Pembinaan Pendidikan Generasi Muda oleh Fiqih Nursanti Nugraheni Tahun 2013 Penelitian yang dilakukan oleh Fiqih bertujuan untuk mendeskripsikan wujud dan unsur kebudayaan yang ada dalam cerita legenda Jawa Kabupaten Cilacap. Hasil penelitian dari Fiqih yaitu: mendeskripsikan (1) wujud kebudayaan sebagai gagasan yang terdiri dari unsur kebudayaan yang berupa sistem pengetahuan, sistem peralatan hidup, teknologi, dan sistem religi, (2) wujud kebudayaan sebagai aktivitas yang terdiri dari unsur kebudayaan berupa bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi serta sistem religi, (3) wujud kebudayaan sebagai hasil karya manusia yang terdiri dari unsur kebudayaan berupa kesenian. Penelitian yang dilakukan Fiqih berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Pada penelitian yang dilakukan Fiqih, fokus penelitiannya adalah wujud dan unsur kebudayaan pada cerita legenda di Jawa yang ada dalam cerita legenda sedangkan 7 Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Transcript of 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A....

Page 1: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

Namun fokus penelitiannya berbeda dengan yang ada dalam penelitian ini. Hasil dari

penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya oleh orang lain mengenai wujud

kebudayaan akan dijadikan sebuah penelitian relevan oleh peneliti. Hal itu dilakukan

untuk memperkuat dan membedakan hasil penelitian yang ada. Penelitian relevan

yang dipakai dalam penelitian ini ada tiga buah penelitian.

1. Penelitian dengan Judul Wujud dan Unsur Kebudayaan dalam Kumpulan Cerita Legenda Jawa Kabupaten Cilacap yang Diterbitkan Oleh Yayasan Pembinaan Pendidikan Generasi Muda oleh Fiqih Nursanti Nugraheni Tahun 2013 Penelitian yang dilakukan oleh Fiqih bertujuan untuk mendeskripsikan wujud

dan unsur kebudayaan yang ada dalam cerita legenda Jawa Kabupaten Cilacap. Hasil

penelitian dari Fiqih yaitu: mendeskripsikan (1) wujud kebudayaan sebagai gagasan

yang terdiri dari unsur kebudayaan yang berupa sistem pengetahuan, sistem peralatan

hidup, teknologi, dan sistem religi, (2) wujud kebudayaan sebagai aktivitas yang

terdiri dari unsur kebudayaan berupa bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,

sistem peralatan hidup dan teknologi serta sistem religi, (3) wujud kebudayaan sebagai

hasil karya manusia yang terdiri dari unsur kebudayaan berupa kesenian. Penelitian

yang dilakukan Fiqih berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Pada

penelitian yang dilakukan Fiqih, fokus penelitiannya adalah wujud dan unsur

kebudayaan pada cerita legenda di Jawa yang ada dalam cerita legenda sedangkan

7

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 2: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

8

penelitian yang dilakukan peneliti hanya berfokus pada wujud kebudayaan dalam

upacara pemakaman adat Tana Toraja yang ada dalam cerpen Tedong Helena dan

Syair Duka karya Denny Prabowo. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang

dilakukan Fiqih dan peneliti berbeda dari segi objek dan sumber data penelitian.

2. Penelitian dengan Judul Wujud dan Unsur Kebudayaan Bali dalam Kumpulan Cerpen “Perempuan yang Mengawini Keris” karya Wayan Sunarta (Studi Antropologi Sastra) oleh Novi Septiana Tahun 2014

Selain Fiqih, penelitian tentang wujud kebudayaan juga dilakukan oleh Novi

Septiana mahasiswa jurusan Pendididkan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada tahun

2014. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan wujud dan unsur

kebudayaan yang ada dalam kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini Keris

karya Wayan Sunarta. Hasil penelitian dari skripsi ini mendeskripsikan tentang: (1)

Wujud kebudayaan yang terdapat pada kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini

Keris meliputi: (a) Wujud kebudayaan sebagai suatu ide yang meliputi gagasan

tentang nyentana, ngaben, balian, leak, hyang widy, karmapala, klian, kelompok

janger, patung, dan bli. (b) Wujud aktivitas meliputi aktivitas tentang rapat adat,

nyentana, sesaji, seni patung, seni lukis, seni tari, dan ngaben. (c) Wujud ketiga hasil

karya manusia meliputi mangsi, pengerumpak, tombak, keris, panah, patung, leak,

bade, lukisan, daun lontar, dan gamelan semarpegulingan. (2) Unsur kebudayaan yang

terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini Keris karya Wayan

Sunarta terdiri dari tujuh unsur yaitu (a) bahasa yang membahas tentang penggunaan

kata bli, (b) sistem pengetahuan yaitu sistem pengetahuan alam flora (kayu, daun

lontar, dan pengerumpak), (c) organisasi sosial yaitu nyentana, klian, rapat adat,

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 3: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

9

kelompok janger, (d) sistem peralatan hidup dan teknologi yaitu sistem teknologi

persenjataan yang meliputi tombak, keris, dan panah, (e) sistem mata pencaharian

meliputi membuat patung dan menjual manik-manik, (f) sistem religi meliputi hyang

widhy, leak, balian, karmapala, ngaben, dan (g) kesenian meliputi seni patung, seni

tari, seni lukis, dan seni musik. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang

dilakukan Novi berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Novi fokus penelitiannya adalah wujud dan unsur kebudayaan

pada kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini Keris karya Wayan Sunarta

sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti fokus penelitiannya hanya pada wujud

kebudayaan pada upacara pemakaman yang pada upacara pemakaman adat Tana

Toraja dalam cerpen Tedong Helena dan Syair Duka karya Denny Prabowo.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang dilakukan Novi dan peneliti berbeda

dari segi objek dan sumber data penelitian.

3. Penelitian dengan Judul Budaya Korupsi dalam Novel Sang Koruptor Karya

Hario Kecik Oleh Syntia Desi Prapika Tahun 2013

Ada lagi penelitian lain yang membahas tentang wujud kebudayaan, dilakukan

oleh Syntia Desi Prapika mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Tahun 2013. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan budaya korupsi

yang ada dalam novel Sang Koruptor karya Hario Kecik. Hasil penelitian dari skripsi

ini yaitu: (1) wujud budaya korupsi yang berupa gagasan, meliputi: (a) sifat

kontrarevolusioner, yaitu suatu sifat antipasti atau tidak suka dengan segala

perjuangan demi membela rakyat, ia hanya mementingkan kebahagian diri sendiri dan

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 4: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

10

anggota keluarganya, (b) lemahnya sistem manajemen, yaitu berkaitan dengan

struktur organisasi, prosedur, pembinaan pegawai, dan supervis, (c) adanya budaya

turun-temurun, yaitu suatu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang, dan

kebiasaan tersebut terus dilestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, (d)

pengaruh lingkungan, yaitu seseorang bisa berpikiran untuk korupsi karena

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, (e) anggapan korupsi yang dijalankan bersama

patner lebih aman, yaitu suatu pemikiran yang menganggap bawa korupsi akan

berlangsung lama dan aman bila dijalankan bersama seorang teman: (2) wujud budaya

korupsi berupa tindakan meliputi: (a) melakukan pengaturan agar anggota keluarga

bebas tugas, (b) mengatur agar anggota keluarga bisa diterima kerja tanpa tes, (c)

melakukan korupsi secara berkelompok, (d) melakukan suap: (3) wujud budaya

korupsi berupa benda meliputi: (a) kekayaan, dan (b) kedudukan/ kehormatan.

Penelitian yang dilakukan Syntia berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Syntia fokus penelitiannya terhadap wujud

budaya korupsi yang ada dalam Novel Sang Koruptor karya Hario Kecik, sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh peneliti berfokus pada wujud kebudayaan pada upacara

pemakaman yang pada upacara pemakaman adat Tana Toraja dalam cerpen Tedong

Helena dan Syair Duka karya Denny Prabowo. Berdasarkan hal tersebut maka

penelitian yang dilakukan Syntia dan peneliti memiliki perbedaan pada sumber data

penelitian.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian yang

dilakukan oleh peneliti berbeda dari ketiga penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya oleh Fiqih, Novi, dan Syntia. Penelitian yang dilakukan peneliti berbeda

dengan penelitian ketiganya dilihat dari segi objek dan sumber data penelitiannya.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 5: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

11

B. Kebudayaan

1. Pengertian Kebudayaan

Berbicara mengenai kebudayaan memang tak ada habisnya. Kebudayaan

selalu melingkari masyarakat setiap hari dalam seluruh kegiatan masyarakat.

Kebudayaan menjadi pusat perhatian masyarakat setiap harinya. Secara sadar atau

tidak masyarakat sebenarnya selalu berdampingan dengan kebudayaan dan

memanfaatkan kebudayaan di dalam hidupnya. Kebudayaan melekat di dalam

masyarakat sedekat-dekatnya tanpa batasan. Namun apa itu kebudayaan seringkali

tidak dipahami definisinya oleh masyarakat.

Definisi kebudayaan ada begitu banyak di dunia ini. Para ahli banyak yang

mencari dan membuat definisi kebudayaan. Menurut Widagdho, dkk (2008: 11)

kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam

kehidupan masyarakat. Marvin Harris dalam Ratna (2007: 5) mengatakan bahwa

kebudayaan ialah seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh

dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Menurut Sulaeman (2007: 21)

kebudayaan adalah penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Menurut

Koentjaraningrat (2004: 9) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya

manusia, yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar, beserta keseluruhan dari

hasil budi dan karya manusia.

Setelah melihat dan menyimak beberapa definisi kebudayaan dari para ahli

maka dapat diambil sebuah kesimpulan tentang definisi kebudayaan. Peneliti

mengambil kesimpulan definisi dari kebudayaan adalah seluruh gagasan, aktivitas,

dan hasil karya dalam kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia dengan cara

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 6: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

12

belajar. Aktivitas-aktivitas manusia tersebut di antaranya meliputi kepercayaan, seni,

moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Artinya kebudayaan

selalu ada dalam kehidupan masyarakat sebagai pedoman hidup masyarakat yang

berbudaya. Jadi dapat dikatakan jika tidak ada kebudayaan maka tidak akan ada

sebuah kreasi di dalam masyarakat, sebab kebudayaanlah kunci yang membuat

masyarakat menjadi lebih berkembang.

2. Wujud Kebudayaan

Kebudayaan yang ada di dunia selalu memiliki wujud. Wujud kebudayaan

adalah bentuk dari sebuah kebudayaan. Wujud kebudayaan juga ada dalam

kebudayaan di Indonesia. Wujud kebudayaan memudahkan seseorang untuk melihat

secara lebih jelas bentuk dari kebudayaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana

wujud kebudayaan itu?

Ada banyak pakar yang mengemukakan mengenai wujud kebudayaan. salah

satu yang menyebutkan persoalan wujud kebudayaan adalah Koentjaraningrat.

Menurut Koentjaraningrat (2004: 5) kebudayaan paling sedikit mempunyai tiga

wujud, yaitu:

a. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud kebudayaan dalam kenyataan kehidupan manusia sebenarnya tidak

dapat dipisahkan satu sama lain. Hal itu disebabkan ketiganya saling berkaitan. Wujud

kebudayaan yang pertama (nilai, norma, peraturan) akan memberikan arah kepada

tidakan manusia. Tindakan manusia adalah bentuk dari wujud kebudayaan kedua yang

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 7: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

13

berupa aktivitas. Selanjutnya tindakan manusia tersebut akan mempengaruhi dan

menghasilkan benda-benda yang ada dalam kehidupan manusia. Benda tersebut

sebagai wujud ketiga dari kebudayaan yang berupa hasil karya manusia. Oleh karena

itulah ketiga wujud kebudayaan yang ada tidak dapat terpisahkan satu sama lain.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dibuat skema wujud kebudayaan yang ada

dalam kehidupan masyarakat, seperti di bawah ini:

Kemudian untuk mengetahui secara lebih dalam mengenai ketiga wujud kebudayaan

yang telah disebutkan sebelumnya, maka di bawah ini peneliti akan menguraikan

secara lebih detail tentang ketiga wujud kebudayaan tersebut.

a. Wujud Kebudayaan yang Berupa Nilai-Nilai, Norma-Norma, Peraturan, dan Sebagainya

Menurut Koentjaraningrat (2004: 5) wujud pertama dari kebudayaan biasa

juga disebut sebagai wujud ideal kebudayaan. Dikatakan ideal sebab wujud

kebudayaan ini umumnya adalah suatu bentuk kebudayaan yang dicita-citakan atau

diharapkan. Wujud kebudayaan ideal ini menjadi sebuah acuan bagi dua wujud

kebudayaan yang lainnya yang berupa aktivitas dan benda hasil karya manusia.

Maksudnya menjadi acuan ialah bahwa wujud ini mempengaruhi apa yang terjadi

pada dua wujud kebudayaan lainnya.

Wujud Kebudayaan

Wujud Kebudayaan

Berupa Nilai, Norma,

Peraturan, dsb

Wujud Kebudayaan

Berupa Aktivitas

Wujud Kebudayaan

Berupa Benda Hasil

Karya Manusia

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 8: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

14

Sifat dari wujud kebudayaan yang pertama cenderung abstrak

(Koentjaraningrat, 2014: 5). Maksudnya abstrak adalah bahwa wujud kebudayaan ini

tidak dapat dilihat dengan indera manusia. Wujud kebudayaan tersebut juga tidak

diraba, difoto, atau didokumentasikan. Lokasi dari wujud kebudayaan ini ada di dalam

kepala manusia atau dapat juga dikatakan lokasi wujud kebudayaan yang pertama ada

di dalam pikiran manusia di mana kebudayaan itu hidup. Jika masyarakat mengatakan

atau menyatakan tentang wujud kebudayaan yang pertama dalam bentuk tulisan, maka

sering kali wujud kebudayaan tersebut dapat ditemukan dalam buku-buku atau

karangan-karangan seputar kebudayaan yang bersangkutan. Selain dalam bentuk buku

atau karangan, kini kebudayaan ideal tersebut juga banyak ditemukan dan tersimpan

dalam bentuk disk, tape, arsip, koleksi microfilm dan microfish, kartu komputer, dan

tape komputer. Koentjaraningrat (2004: 6) mengatakan jika ada istilah lain untuk

menyebut wujud kebudayaan pertama dengan istilah adat istiadat. Jadi adat istiadat

yang ada dalam suatu masyarakat adalah bentuk dari wujud kebudayaan yang

pertama.

b. Wujud Kebudayaan yang Berupa Kompleks Aktivitas Kelakuan Berpola dari Manusia dalam Masyarakat

Menurut Koentjaraningrat (2004: 6) wujud kedua dari kebudayaan biasa

disebut dengan istilah sistem sosial. Sistem sosial berhubungan dengan aktivitas-

aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu sama lain, yang

dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola

tertentu yang mendasarkan adat tata kelakuan. Oleh karena itu wujud kebudayaan

yang kedua disebut sebagai aktivitas. Wujud kebudayaan kedua yang berupa

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 9: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

15

rangkaian aktivitas manusia selalu terjadi di sekeliling kehidupan masyarakat setiap

harinya.

Sifat wujud kebudayaan kedua cenderung konkret atau nyata. Artinya wujud

kebudayaan tersebut dapat dilihat dan ditemukan dengan indera manusia. Wujud

kebudayaan ini umumnya dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Wujud

kebudayaan kedua termasuk juga wujud yang mudah untuk ditemukan dan dilihat

dalam kehidupan sehari-hari. Wujud kebudayaan yang berupa aktivitas muncul sebab

adanya wujud kebudayaan pertama. Jadi dapat dikatakan jika wujud kebudayaan yang

berupa aktivitas ini sebagai pelaksanaan dari wujud kebudayaan yang pertama.

c. Wujud Kebudayaan yang Berupa Benda-Benda Hasil Karya Manusia.

Wujud kebudayaan yang terakhir adalah wujud kebudayaan yang ada sebagai

benda hasil karya manusia. Koentjaraningrat (2014: 6) menyebut wujud kebudayaan

ketiga sebagai wujud kebudayaan fisik. Maksudnya adalah bahwa wujud kebudayaan

ini merupakan seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam

masyarakat. Wujud kebudayaan ini muncul sebagai hasil dari kebudayaan.

Wujud kebudayaan ketiga ini memiliki sifat yang sangat konkret karena

berupa benda-benda hasil ciptaan manusia atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan

difoto. Benda-benda tersebut dapat juga dikatakan sebagai produk yang diciptakan

oleh manusia. Produk tersebut digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari

dalam melakukan hal-hal yang juga berkaitan dengan wujud kebudayaan lainnya.

Produk atau benda-benda ciptaan manusia tersebut dimulai dari benda yang sangat

besar sampai yang sangat kecil. Benda hasil karya yang paling besar misalnya seperti

pabrik, dan yang paling kecil misalnya seperti kancing baju.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 10: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

16

3. Unsur-Unsur Kebudayaan

Dalam kebudayaan selain terdapat wujud kebudayaan di dalamnya juga

terdapat berbagai macam unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan adalah bagian

dari kebudayaan yang ada di seluruh dunia. Unsur kebudayaan menurut

Koentjaraningrat (2004: 2) adalah sebuah pecahan dari konsep kebudayan guna

keperluan analisa. Dari definisi tersebut kita dapat mengambil kesimpulan jika unsur

kebudayaan adalah konsep kebudayaan yang dipecah. Unsur-unsur kebudayaan

meliputi semua hal yang ada baik yang kecil, bersahaja dan terisolasi, maupun yang

besar, kompleks, dan dengan hubungan yang luas.unsur kebudayaan tersebut dapat

ditemukan di mana saja di dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat unsur-unsur kebudayaan ada tujuh, dan memilki

urutan sebagai berikut (2004: 2):

a. Sistem religi dan Upacara Keagamaan b. Sistem dan organisasi kemasyarakatan c. Sistem pengetahuan d. Bahasa e. Kesenian f. Sistem mata pencaharian hidup g. Sistem teknologi dan peralatan

Susunan urutan unsur kebudayaan yang Koentjaraningrat kemukakan seperti di atas

bukanlah tanpa alasan. Koentjaraningrat memilki alasan tersendiri mengapa pada

akhirnya susunan unsur kebudayaan menjadi seperti itu. Alasan mengapa susuan

unsur kebudayaan menjadi seperti itu karena urutan tersebut menggambarkan unsur-

unsur mana yang paling sukar berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain, dan

mana yang paling mudah berubah atau diganti dengan unsur-unsur serupa dari

kebudayaan-kebudayaan lain. Urutan pertama dalam susunan unsur kebudayaan di

atas menjadi unsur yang paling sukar berubah. Hal itu berarti bahwa sistem religi dan

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 11: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

17

upacara keagamaan menjadi unsur kebudayaan yang paling sukar atau paling lambat

mengalami perubahan dibandingkan dengan unsur lainnya.

Menurut Koentjaraningrat (1981: 205-206) setiap unsur kebudayaan universal

sebenarnya dapat diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang lebih kecil sampai beberapa

kali. Koentjaraningrat mengikuti metode pemerincian dari R. Linton yang mengatakan

jika ada empat tahap dalam memperinci unsur kebudayaan, yaitu 1) cultural activities,

2) complexes, 3) traits, 4) items. Karena keempat hal tersebut serupa dengan

kebudayaan secara keseluruhan, maka di dalam setiap unsur universal akan selalu ada

tiga wujud kebudayaan. Unsur kebudayaan selalu dapat dilihat dari tiga segi wujud

kebudayaan. Di dalam masing-masing unsur kebudayaan seseorang dapat melihat

nilai, norma, peraturan, dsbnya, aktivitas yang terdapat di dalamnya, dan benda hasil

karya yang berkaitan dengan unsur tersebut.

Salah satu unsur kebudayaan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah

sistem religi dan upacara keagamaan. Sistem religi dan upacara keagamaan berkaitan

dengan keyakinan dan pelaksanaan . Pada unsur kebudayaan tersebut seseorang juga

dapat menemukan tiga wujud kebudayaan didalamnya yang berupa nilai, norma,

peraturan, dsb, aktivitas, dan benda hasil karya manusia.

C. Sistem Religi dan Upacara Keagamaan

Jika membicarakan tentang sistem religi dan upacara keagamaan rasanya

memang bukan lagi sesuatu yang asing. Ketidakasingan akan sistem religi dan upacara

keagamaan dikarenakan keduanya telah ada dan berkembang sejak lama dalam

kehidupan manusia. Sistem religi dan upacara keagamaan umumnya berdampingan

erat dengan kepercayaan masyarakat. Keduanya juga selalu berkaitan dengan

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 12: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

18

kehidupan masyarakat. Definisi dari sistem religi dan upacara keagamaan sendiri

berbeda, meskipun keduanya merupakan satu kesatuan dari unsur kebudayaan.

Menurut Warsito (2012: 75) penggunaan istilah sistem religi (bukan religi atau

agama saja), disebabkan karena di dalam tiap masyarakat, religi merupakan suatu

unsur yang kompleks dari banyak unsur yang semuanya menjadi suatu sistem/tata

tertentu. Semua aktivitas manusia yang bersangkut paut dengan religi berdasarkan atas

suatu getaran jiwa (religious emotion). Pendapat yang serupa dengan Warsito juga

dikemukakan oleh Ratna (2011: 429) yang mengatakan jika pengertian religi dianggap

lebih luas dibandingkan agama, karena religi meliputi seluruh sistem kepercayaan.

Pada umumnya berlaku pada kelompok-kelompok terbatas, sedangkan agama

mengacu hanya pada agama formal, Keberadaannya memperoleh pengakuan secara

hukum. Koentjaraningrat (1985: 376) mengatakan jika semua aktivitas manusia yang

bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa biasanya disebut

emosi keagamaan. Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan jika

sistem religi adalah suatu keyakinan yang bersifat spiritual yang terdiri dari berbagai

macam unsur.

Sama halnya dengan sistem religi, upacara keagamaan juga merupakan unsur

kebudayaan yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Namun pertanyaannya

kemudian, apa definisi dari upacara keagamaan? Masih banyak masyarakat yang

belum mengerti betul apa itu upacara keagamaan. Ada banyak pakar yang

mengemukakan definisi dari upacara keagamaan. Menurut Koentjaraningrat (2004:

147) upacara atau ritus itu melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam

sistem keyakinan. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam upacara yang

bersifat harian, musiman, atau kadangkala. Menurut Wijayanto (2002: 17) upacara

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 13: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

19

keagamaan merupakan suatu unsur adat istiadat yang sangat menarik perhatian karena

upacara tersebut merupakan hal yang paling konkret yang mempunyai bentuk serta

sifat yang beragam antara satu upacara keagamaan dengan upacara keagamaan yang

lain. Pendapat Wijayanto memiliki arti bahwa masing-masing agama memiliki

upacara keagamaan yang berbeda antara agama satu dengan agama lainnya. Menurut

Syukur (2003: 207) bahwa upacara keagamaan adalah suatu kegiatan resmi

melembaga yang biasanya dilakukan secara berkelompok. Berdasarkan ketiga

pendapat tersebut maka dapat disimpulkan jika upacara keagamaan adalah suatu

upacara yang melambangkan suatu konsep dari keyakinan dan merupakan unsur adat

istiadat yang berbeda pelaksanaannya antara satu agama dengan agama lainnya

dengan sistem pelaksanaan yang umumnya dilakukan secara berkelompok.

Menurut Turner dalam Rosidah (2011: 9) bahwa ritual atau upacara

keagamaan memiliki empat fungsi yaitu (1) sebagai media untuk mengurangi

permusuhan antarwarga, (2) sebagai penutup jurang perbedaan, karena saat ritual

semua membaur menjadi satu, (3) sebagai sarana untuk memantapkan kembali

hubungan, dan (4) sebagai media untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat.

Upacara keagamaan umumnya berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan

manusia. Umumnya upacara-upacara yang dilaksanakan berkaitan dengan siklus

hidup manusia seperti upacara kelahiran hingga pemakaman. Menurut pandangan

Gennep dalam Cakim (2009: 3), bahwa ritus dan upacara itu dibagi menjadi tiga,

yakni pertama perpisahan (sparation), kedua peralihan (marge), ketiga integrasi,

kegiatan ini seperti dalam acara selamatan kelahiran, pernikahan, dsb. Ketiga jenis

upacara tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat sebab

kehidupan memang kebanyakan menyangkut hal-hal tersebut.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 14: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

20

1. Ritus Perpisahan atau Upacara Pemakaman

Ritus perpisahan atau upacara perpisahan biasanya juga dikenal dengan istilah

upacara pemakaman. Hal itu disebabkan karena upacara pemakaman dimaknai

sebagai sebuah simbol perpisahan. Upacara pemakaman menjadi salah satu bagian

dari unsur kebuadayaan sebab upacara ini merupakan salah satu dari jenis upacara

keagamaan yang hampir selalu ada dalam agama manapun. Upacara pemakaman

menjadi sebuah upacara yang dianggap penting oleh masyarakat. Upacara pemakaman

sering ditemukan dalam masyarakat karena masyarakat menganggap bahwa manusia

paling dekat dengan kematian. Seperti yang dikemukakan oleh Sulaeman (2007: 109)

bahwa semua makhluk yang ada di muka bumi tidak kekal, pada suatu saat nanti pasti

akan mengalami kematian. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak heran jika

dalam agama apa pun akan selalu ada upacara pemakaman. Selain itu, upacara ini juga

dianggap sebagai media untuk mendoakan orang yang telah meninggal.

Upacara pemakaman menurut Hertz dalam Wijayanto (2002: 64) memiliki

pengertian sebagai sebuah upacara yang selalu dilakukan manusia dalam rangka adat

istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan

kolektif. Pendapat Hertz tersebut berarti bahwa sebenarnya memang sebuah upacara

pemakaman ada karena ide yang disetujui oleh masyarakat yang bersangkutan. Tidak

aneh jika dalam upacara pemakaman terdapat rangkaian-rangkaian tersendiri yang

rumit dan sakral. Rangkaian dalam upacara pemakaman disesuaikan dengan agama

yang dianut, namun masih terkait dengan kebudayaan yang dipercaya masyarakat.

Selain rangkaian-rangkaian upacara pemakaman, di dalam upacara pemakaman juga

biasanya tersedia hidangan-hidangan yang diperuntukkan bagi warga yang menghadiri

upacara tersebut.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 15: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

21

Hidangan-hidangan yang tersedia untuk tamu dalam upacara pemakaman

tidak sama. Hidangan itu berbeda antara upacara pemakaman pada agama yang satu

dengan agama yang lain. Namun tidak menutup kemungkinan jika hidangan dalam

upacara pemakaman juga dapat berbeda walaupun masih dalam satu agama.

Perbedaan hidangan dalam upacara pemakaman itu umumnya terjadi karena letak

geografis dan kebudayaan yang mempengaruhinya. Upacara pemakaman menjadi

upacara keagamaan tersendiri yang telah mengakar dan terjadi sejak lama, meskipun

pelaksanaan upacara pemakaman pada masyarakat terdahulu mungkin memiliki

sedikit perbedaan dengan pelaksanaan upacara pemakaman kini.

Upacara pemakaman di Indonesia ada berbagai macam jenis. Hal itu dapat

terjadi karena hampir di setiap daerah di Indonesia berbeda suku dan agama, sehingga

upacara pemakaman yang ada di Indonesia pun umumnya berbeda-beda antara satu

suku dengan lainnya. Sehubungan dengan penelitian ini, maka pada sub bab

selanjutnya peneliti akan membahas mengenai salah satu jenis upacara pemakaman

yang sangat terkenal di Indonesia yaitu upacara pemakaman adat Tana Toraja. Namun

sebelum peneliti membahas lebih jauh mengenai upacara pemakaman adat Tana

Toraja, peneliti akan memaparkan sedikit mengenai upacara pemakaman lain yang

ada di Indonesia. Upacara tersebut diantaranya:

a. Upacara Pemakaman di Jawa

Di Jawa kebanyakan masyarakatnya memeluk agama Islam. Agama Islam

berkembang cukup baik di Jawa. Menurut Koentjaraningrat (1985: 339) di Jawa ada

yang disebut Islam santri dan Islam kejawen. Islam santri adalah golongan yang

menjalankan ajaran-ajaran agama Islam, sedangkan Islam kejawen adalah golongan

orang Islam yang tidak melaksanakan atau tidak patuh terhadap ajaran-ajaran Islam

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 16: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

22

namun percaya pada ajaran keimanan agama Islam. Geertz dalam Sambulah (2012: 2)

menegaskan bahwa agama Islam di Jawa merupakan kumpulan ekspresi iman,

doktrin, ritual dan lain-lain yang dipraktikkan masyarakat sesuai dengan tradisi lokal

atau tempat dan waktu seiring dengan perkembangan dan penyebarannya.

Agama Islam yang dianut masyarakat Jawa berpengaruh terhadap upacara-

upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa. Menurut Ridwan (2008: 9)

berbagai aktivitas ritual yang selalu dijalani Islam kejawen biasanya mendasarkan

pada siklus kehidupan, yang salah satunya adalah upacara pemakaman. Upacara

pemakaman di Jawa terdiri dari beberapa rangkaian. Rangkaian-rangkaian yang ada

dalam upacara pemakaman biasanya ada rangkaian ketika sebelum jenazah

dikuburkan. Masyarakat Jawa memiliki tata urutan tersendiri dalam melaksanakan

upacara pemakaman, yaitu memandikan jenazah (proses membersihkan tubuh jenazah

dari ujung rambut hingga ujung kaki), mengkafani jenazah (proses membungkus

jenazah dengan kain kafan), menyolati jenazah (proses penyolatan jenazah sebelum

jenazah dikuburkan), berdoa untuk jenazah sebelum dibawa ke makam, mengubur

jenazah (proses menguburkan jenazah di dalam tanah), dan berdoa.

b. Upacara Pemakaman Adat Bali

Upacara pemakaman yang dilaksanakan di Bali juga berkaitan dengan agama

yang dianut masyarakatnya. Mayoritas masyarakat Bali menganut agama Hindu.

Agama ini mempengaruhi proses dari upacara pemakaman yang dilaksanakan di Bali.

Upacara pemakaman di Bali disebut dengan istilah Ngaben. Ernowo (2011: 1)

mengatakan jika ngaben adalah upacara pemakaman yang berupa pembakaran mayat

di Bali yang dilakukan oleh orang Hindu. Upacara ini dilaksanakan sebagai suatu

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 17: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

23

bentuk penghomatan bagi orang yang meninggal. Umumnya beberapa hari sebelum

pelaksanaan ngaben keluarga serta warga bahu membahu membuat bade dan lembu

yang digunakan sebagai tempat menyimpan jenazah (Hutagalung, 2009: 49). Upacara

ngaben menurut Ernowo (2011: 1) terdiri dari beberapa rangkaian yaitu nyirami

(membersihkan mayat), pemberian doa, penempatan mayat di bade, pengusungan

mayat menuju tempat upacara dilaksanakan, pembakaran mayat beserta bade dan

lembu yang telah dibuat sebelumnya hingga menjadi abu, dan membuang abu ke

sungai atau laut. Umumnya setelah semua prosesi dilaksanakan maka keluarga dapat

mendoakan orang yang meninggal tersebut di pura masing-masing.

c. Upacara Pemakaman Adat Tana Toraja

Tana Toraja adalah sebuah kabupaten yang terletak di wilayah Sulawesi

Selatan. Wilayah Tana Toraja sering dikenal dengan istilah negeri orang mati. Hal itu

disebabkan upacara pemakaman yang ada di Tana Toraja merupakan suatu upacara

pemakaman yang cukup unik yang hanya ada di Indonesia. Upacara tersebut memiliki

banyak rangkaian yang cukup panjang dan rumit yang berbeda dengan upacara

pemakaman di daerah lain di Indonesia. Pada sub bab kali ini, peneliti akan membahas

secara lebih detail mengenai upacara pemakaman adat Tana Toraja sehubungan

dengan penelitian ini yang akan membahas mengenai wujud kebudayaan yang ada

pada upacara pemakaman adat Tana Toraja dalam cerpen Tedong Helena dan Syair

Duka karya Denny Prabowo.

Sebelum membahas lebih lanjut seputar upacara pemakaman adat Tana Toraja,

peneliti mencoba untuk membahas sedikit tentang kepercayaan yang dianut oleh

masyarakat Tana Toraja. Mengapa harus kepercayaan? Hal itu dikarenakan upacara

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 18: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

24

pemakaman adat Tana Toraja salah satunya terlaksana karena kepercayaan yang

dianut oleh masyarakat Tana Toraja. Kepercayaan tersebut bahkan telah dianut jauh-

jauh waktu sebelum masuknya agama lain. Jadi kepercayaan masyarakat Tana Toraja

sangat penting kaitannya dengan upacara pemakaman adat Tana Toraja.

Di zaman yang semakin modern ini, kehidupan masyarakat di Tana Toraja

terus berkembang termasuk kepercayaan yang dianut oleh penduduk yang berdomisili

di Tana Toraja. Namun, masyarakat Tana Toraja memiliki kepercayaan asli yang

diturunkan oleh leluhur Tana Toraja. Kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja

disebut aluk todolo. Aluk ini dilaksanakan di dalam seluruh aspek kehidupan orang

Toraja. Meskipun penganut kepercayaan aluk todolo sekarang tidak banyak sebab

masyarakat Tana Toraja kini umumnya telah beragama Kristen.

Rayo ( 2012: 30-31) mengatakan bahwa aluk di Tana Toraja setidaknya ada

sembilan, yaitu :

(1) aluk padang, yaitu aluk yang berhubungan dengan tanah, (2) aluk pare, yaitu aluk yang berkaitan dengan padi, (3) aluk tananan pasa’, yaitu aluk yang berkaian dengan pasar, (4) alukna rampanan kapa’, yaitu aluk yang berkaitan dengan perkawinan, (5) alukna mellolo tau, yaitu aluk yang berhubungan dengan kelahiran manusia sampai dewasa, (6) alukna bangunan banua, yaitu aluk yang berkaitan dengan pembangunan rumah, (7) aluk rambu tuka’, yaitu aluk yang berhubungan dengan persembahan kepada Puang Matua, (8) aluk rambu solo’, yaitu aluk yang berhubungan dengan jiwa orang mati, dan (9) aluk bua’, yaitu aluk yang berkaitan dengan pesta sukacita.

Semua aluk yang ada dalam kepercayaan aluk todolo memiliki kedudukan yang sama

penting. Meskipun keseluruhan aluk penting bagi masyarakat di Tana Toraja, namun

ada salah satu aluk yang cukup terkenal bagi masyarakat Tana Toraja bahkan bagi

masyarakat di luar Tana Toraja. Aluk yang cukup terkenal ialah aluk rambu solo’.

Istilah rambu solo’ inilah yang biasa dikenal dengan upacara pemakaman khas Tana

Toraja.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 19: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

25

Upacara rambu solo’ telah diwariskan secara turun-temurun, sehingga telah

menjadi kewajiban bagi masyarakat Tana Toraja untuk melaksanakannya. Rambu

solo’ merupakan sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga

orang yang meninggal membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir

pada mendiang. Rayo (2012: 36) mengatakan “upacara rambu solo selain bentuk

penghormatan terhadap orang meninggal juga bertujuan untuk mengantarkan roh

orang yang sudah meninggal menuju tempat peristirahatan yang disebut puya

(surga)”. Artinya masyarakat Tana Toraja percaya bahwa upacara rambu solo’ yang

diadakan selama ini adalah suatu bentuk jalan bagi orang yang meninggal agar dapat

menuju surga. Ningsih (2000: 72) berpendapat bahwa “masyarakat Tana Toraja yang

masih hidup wajib memberikan upacara sebaik mungkin bagi orang yang sudah

meninggal”. Pendapat itu diperkuat oleh Rayo (2012: 36) yang mengatakan:

manusia yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh

prosesi upacara rambu solo digenapi karena jika belum, maka manusia yang

meninggal tersebut hanya dianggap sebagai manusia “sakit” atau “lemah”,

sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya manusia hidup, yaitu dibaringkan

di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu

diajak berbicara.

Upacara rambu solo berlangsung selama berhari-hari sesuai dengan

kesepakatan keluarga. Jadi umumnya upacara rambu solo berlangsung dengan penuh

kemeriahan berdasarkan status sosial. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh

Yamashita dalam Dian (1996: 59) bahwa menurut adat Toraja, pelaksanaan upacara

pemakaman didasarkan pada status sosial orang yang meninggal dan kekuatan

ekonomi keluarga yang ditinggalkan. Menurut Panggara (2014: 294) dalam

masyarakat Toraja dikenal empat strata sosial, yaitu (1) Tana’ Bulaan atau golongan

bangsawan; (2) Tanna Basi’ atau golongan bangsawan menengah; (3) Tana’

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 20: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

26

Karurung atau rakyat biasa; (4) Tana’ Kua-kua atau golongan hamba. Kelompok

sosial ini secara tidak langsung memberikan ciri-ciri yang khas dalam pelaksanaan

upacara rambu solo. Hal itu terjadi karena umumnya jika strata sosial itu berbeda

maka ada perbedaan dalam pelaksanaan upacara rambu solo. Jadi ukuran kemeriahan

upacara pemakaman dipertunjukkan secara khusus dengan sejumlah kerbau yang

dikorbankan selama upacara.

Kerbau-kerbau yang dikorbankan selama upacara rambu solo’ di Tana Toraja

memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Tana Toraja. Kerbau-kerbau maupun babi

yang dikorbankan pada upacara pemakaman adat Tana Toraja diyakini oleh

masyarakat Tana Toraja sebagai kendaraan bagi orang yang meninggal untuk menuju

surga. Sebab perjalanan menuju surga sangat jauh sehingga roh membutuhkan

kendaraan berupa kerbau dan babi yang dikorbankan dalam upacara rambu solo’. Jadi

dapat dikatakan bahwa kerbau menjadi syarat wajib untuk pelaksanaan rambu solo’.

Salah satu jenis upacara yang cukup terkenal dalam rambu solo’ yang sering

ditemukan dan menjadi bahan perbincangan adalah jenis upacara rapasan. Upacara

rapasan dapat dikatakan sebagai upacara yang tingkatannya paling tinggi. Upacara

rapasan memiliki rangkaian yang paling banyak.. Menurut Panggara (2014: 295)

upacara rapasan umumnya diperuntukkan bagi kaum bangsawan tinggi atau tana

bulaan’ yang biasanya dalam pelaksanaannya dilakukan sebanyak dua kali. Upacara

rapasan termasuk upacara rambu solo’ yang paling meriah. Menurut Panggara (2014:

295-296) upacara rapasan dapat dibagi ke dalam tiga jenis yaitu: (1) upacara Rapasan

Diongan’ atau Didandan Tana’ (artinya di bawah atau menurut syarat minimal), (2)

upacara yang kedua disebut Rapasan Sundan’ atau Doan (upacara sempurna atau

atas), dan (3) upacara Rapasan Sapu Randanan.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 21: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

27

1) Upacara Rapasan Diongan’ atau Didandan Tana’

Upacara rapasan diongan’ atau didandan tana’ adalah upacara yang memiliki

tingkat paling rendah dari ketiga jenis upacara rapasan. Menurut Panggara (2014:

295), upacara rapasan diongan’ atau didandan tana’ memiliki ketentuan, minimal

mengorbankan sembilan kerbau dan babi sebanyak yang dibutuhkan. Upacara ini

dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu upacara pertama, dilaksanakan selama tiga hari

di dalam tongkonan (rumah adat khas Tana Toraja) dan upacara yang kedua

dilaksanakan di rante (lapangan khusus untuk mengadakan upacara rambu solo’).

Korban kerbau pada upacara yang diadakan di tongkonan maupun di rante setidaknya

memiliki jumlah yang sama. Akan tetapi jika sulit untuk menyamakan jumlah korban

kerbau, maka boleh ada selisih asal jangan terlalu banyak.

2) Upacara Rapasan Sundun atau Doan

Upacara rapasan sundun atau doan memiliki beberapa syarat yang sedikit

berbeda dengan upacara rapasan diongan. Menurut Panggara (2014: 296) pelaksanaan

upacara rapasan sundun memiliki perbedaan yang kontras dalam hal jumlah kerbau

yang harus dikorbankan. Dalam upacara ini kerbau yang dikorbankan sekurang-

kurangnya sebanyak dua puluh empat ekor dengan babi yang tidak terbatas

jumlahnya. Hal itu terjadi karena upacara ini termasuk upacara yang memiliki

tingkatan lebih tinggi dibandingkan dengan upacara rapasan diongan. Upacara ini

umumnya dilaksanakan oleh kelompok yang memiliki strata tinggi dalam masyarakat

yaitu kelompok bangsawan menengah.

3) Upacara Rapasan Sapu Randanan

Upacara rapasan sapu randanan adalah jenis upacara rambu solo yang

memiliki tingkatan paling tinggi. Menurut Panggara (2014: 296) ketentuan jumlah

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 22: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

28

kerbau yang harus dikorbankan dalam upacara ini ada beberapa pendapat yaitu, ada

yang mengatakan di atas dua puluh empat kerbau, di atas tiga puluh kerbau, bahkan

ada yang mengatakan di atas 100 kerbau. Dapat dibayangkan bahwa upacara rapasan

sapu randanan sangatlah meriah karena begitu banyak kerbau yang dikorbankan dan

korban babinya pun tidak terbatas. Panggara (2014: 296) juga mengatakan, dalam

upacara ini dibuat duba-duba’ dan juga tau-tau yang diarak bersama dengan mayat

ketika akan diadakan upacara di rante. Duba-duba’ adalah tempat pengusungan mayat

yang mirip dengan rumah tongkonan, sedangkan tau-tau adalah patung dari orang

yang meninggal. Menurut Yamashita dalam Dian (1996: 63) persiapaan awal yang

utama untuk pemakaman adalah membangun rante (lapangan upacara), kemudian di

sekitar rante dibangun tempat-tempat upacara yang disebut lantang sebagai tempat

tinggal sementara bagi para keluarga, sanak saudara, dan tamu.

Ketiga jenis upacara rapasan yang telah disebutkan tersebut umumnya

memiliki rangkaian yang sama yaitu diadakannya upacara dalam dua tempat yang

berbeda. Menurut Panggara (2014: 295) upacara rapasan (rapasan diongan, rapasan

sundun, maupun rapasan sapu randanan) pelaksanaannya ada di dua tempat, yang

pertama pelaksanaan upacara rapasan di sekitar tongkonan, yang kedua pelaksanaan

di sekitar rante. Menurut Sulo (2014: 95) tahapan dalam upacara rambu solo

meliputi:

a) Ma’ papengkalao

Menurut Sulo (2014: 95) tahapan ma’papengkalao merupakan kegiatan

memindahkan jenazah dari tongkonan (rumah adat khas Tana Toraja, yang dalam

pelaksanaan rambu solo’ digunakan sebagai tempat disimpannya jenazah selama

semalam) ke salah satu alang (lumbung padi) yang ada dalam lokasi tongkonan

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 23: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

29

tersebut. Umumnya orang yang meninggal di Tana Toraja itu tidak langsung dikubur

namun disimpan di dalam rumah dan selanjutnya disimpan di dalam rumah adat

(tongkonan). Jadi prosesi pertama ini adalah pemindahan jenazah. Sulo (2014: 95)

mengatakan pada tahap yang pertama ini orang-orang sekitar yang berkumpul mulai

melakukan ma’badong (nyanyian dan tarian khusus yang dilakukan oleh sekelompok

orang sebagai lambang rasa duka yang dirasakan oleh keluarga orang yang

meninggal) di malam hari.

b) Mangisi Lantang

Menurut Sulo (2014: 95) mangisi lantang yaitu mengisi pondok-pondok yang

telah disediakan sebelumnya dengan membawa keperluan logistik. Pondok-pondok

yang ada dalam rambu solo dibangun secara mendadak beberapa hari sebelum

upacara rambu solo’ diadakan. Pondok-pondok itu diisi oleh sanak keluarga dan

kerabat orang yang meninggal. Jadi pondok-pondok disediakan sebagai tempat tinggal

sementara bagi para anggota keluarga karena selama prosesi upacara berlangsung

keluarga tidaklah tinggal di rumahnya.

c) Ma’ pasonglo

Tahapan upacara selanjutnya disebut dengan istilah ma’ pasonglo. Menurut

Sulo (2014: 96) upacara tahap ketiga ini adalah memindahkan jenazah dari lumbung

ke lakkian (tempat penyimpanan jenazah yang berada di lapanagan upacara). Kegiatan

ini biasanya didahului dengan ibadah dan makan bersama. Dalam tahap ini, biasanya

diselingi dengan tradisi ma’ pasilaga tedong. Tradisi ma’ pasilaga tedong adalah

aktivitas adu kerbau. Tujuan dari diadakannya tradisi ma’pasilaga tedong sebenarnya

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 24: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

30

adalah untuk menghilangkan rasa duka yang menyelimuti keluarga serta sanak

keluarga. Saat acara ini berlangsung, semua orang yang hadir dalam pesta akan

larut dalam keramaian ma’pasilaga tedong.

d) Allo Katongkonan

Menurut Sulo (2014: 96) tahapan yang keempat dalam upacara rambu solo

adalah allo katongkonan (menerima tamu). Artinya pada tahap ini pihak keluarga

dari orang yang meninggal menerima tamu-tamu yang datang untuk menghadiri

upacara rambu solo. Tamu-tamu tersebut disambut dengan sangat baik oleh pihak

keluarga. Tamu-tamu yang datang mendapat perlakuan yang istimewa dan terhormat.

Menurut Sulo (2014: 96) pada tahapan ini kemeriahan mulai nampak karena

kerabat mulai berdatangan dengan rombongan mereka masing-masing dan

dipersilakan memasuki pondok khusus untuk tamu. Di dalam pondok ini, para tamu

disuguhi sirih, rokok, berbagai jenis kue, dan minuman seperti kopi dan teh. Setelah

beberapa saat berada di pondok penerimaan tamu, rombongan yang datang

kemudian diarahkan menuju ke pondok-pondok milik anggota keluarga yang berduka.

Di pondok itu, tiap-tiap anggota keluarga yang dituju oleh rombongan menyuguhi

tamu mereka masing-masing dengan makanan dan minuman berupa tuak.

Pada tahap ini, para penari ma’badong (tarian dan nyanyian khas dalam

upacara rambu solo’) mulai menari sambil membawakan kadong badong. Dalam hal

ini, pa’badong (penari laki-laki dalam upacara rambu solo’) berusaha menampilkan

sosok sebagai seorang yang berduka dengan memasang mimik yang sedih. Hal ini

terlepas dari kenyataan bahwa pa’badong merupakan bagian dari keluarga yang

berduka ataukah hanya orang-orang yang diundang khusus untuk ma’badong di pesta

tersebut, semuanya harus menampakkan kesedihan selaku orang yang berduka.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 25: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

31

e) Allo Katorroan

Pada hari kelima umumnya adalah waktu istirahat. Menurut Sulo (2014: 96)

allo katorroan yaitu waktu di mana aktivitas upacara dihentikan sejenak. Jadi

pada hari kelima anggota keluarga orang yang meninggal beristirahat sejenak.

Meskipun dikatakan bahwa upacara dihentikan sejenak, namun yang sesungguhnya

terjadi bukan berarti tidak ada acara sama sekali karena masih ada acara yang

dilaksanakan. Menurut Sulo (2014: 97) di hari kelima masih ada tarian ma’badong

pada malam harinya.

f) Mantaa

Menurut Sulo (2014: 97) adat mantaa yaitu pemotongan hewan korban yang

dagingnya akan dibagikan secara adat kepada keluarga dan kerabat yang telah

ditentukan. Hewan korban itu berupa sejumlah kerbau dan babi. Tujuan dari adat ini

adalah agar orang lain bisa ikut merasakan kemeriahan dari upacara rambu solo’ dan

juga untuk tetap membangun silaturahmi yang baik dengan cara berbagi kepada

sesama.

g) Hari Pemakaman

Setelah keenam tahapan itu dilakukan, masih ada satu lagi tahapan terakhir.

Pada hari terakhir ini dikenal juga dengan istilah hari pemakaman. Menurut Sulo

(2014: 97) prosesi pada tahapan terakhir ini diawali dengan penurunan peti jenazah

dari lakkian (tempat penyimpanan jenazah selama rambu solo’ berlangsung),

kemudian peti itu dimasukkan ke dalam duba-duba (keranda khas Toraja yang

bentuknya mirip tongkonan), dan dilanjutkan dengan ibadah penguburan, ungkapan

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 26: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

32

terima kasih dari keluarga, dan mengarak peti jenazah menuju patane atau liang

(tempat jenazah dimakamkan).

Menurut Sulo (2014: 97) sebelum proses pemakaman umumnya anggota

keluarga diizinkan untuk menangis meratapi kepergian salah satu anggota keluarga

yang meninggal, karena sebelumnya anggota keluarga belum melakukan itu. Jadi pada

tahap ini suasana duka terlihat sangat jelas. Tangisan bergema di mana-mana. Setelah

itu diadakan arak-arakan peti jenazah menuju ke patane atau liang (tempat

jenazah dimakamkan). Sepanjang jalan menuju ke patane (tempat jenazah

dimakamkan), orang-orang yang mengarak peti jenazah berjalan saling mendorong

sambil berteriak-teriak, bahkan saling menyiram air sehingga keramaian pun

kembali ditampakkan.

Pada pelaksanaan upacara rambu solo’ biasanya ada beberapa benda yang

digunakan untuk menunjang kelancaran upacara tersebut. Benda yang digunakan

dalam upacara rambu solo’ seperti tongkonan (rumah adat khas Tana Toraja), lantang

(pondok sementara yang dibuat untuk keluarga selama upacara rambu solo’

berlangsung di rante), liang (lumbung padi), la bok duatalan (pisau khusus untuk

menyembelih kerbau), erong (peti mati khas Tana Toraja), tau-tau (boneka kayu yang

dibuat mirip dengan orang yang telah meninggal), lamba-lamba (kain merah panjang

yang dibentang saat prosesi pemindahan jenazah). Semua benda itu digunakan dalam

pelaksanaan upacara rambu solo’. Benda-benda tersebut menjadi hal yang sangat

penting, sebab tanpa adanya benda-benda tersebut pelaksanaan upacara rambu solo’

akan terhambat. Benda-benda yang digunakan dalam upacara rambu solo’ adalah

benda hasil karya masyarakat Tana Toraja.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 27: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

33

Benda-benda yang telah disebutkan sebelumnya selalu ada dalam upacara

rambu solo’ di Tana Toraja, namun selain benda-benda tersebut rupanya masih ada

benda lain yang juga digunakan dalam upacara rambu solo’, khususnya upacara jenis

rapasan. Benda yang dimaksud adalah tempat untuk mengikat kerbau yang akan

dikorbankan atau dalam bahasa Toraja dikenal dengan istilah simbuang. Menurut

Panggara (2014: 304):

Pada jenis upacara rapasan dibutuhkan simbuang yang terdiri dari simbuang induk (tempat untuk mengikat kerbau pudu), simbuang lambiri/ampiri (tempat untuk mengikat kerbau yang dikebiri), simbuang batu (tempat untuk mengikat kerbau belang), simbuang buangin (tempat untuk mengikat kerbau todik), simbuang nato (tempat untuk mengikat kerbau todik yang paling rendah tingkatannya).

Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya simbuang sangat

penting dalam pelaksanaan upacara rambu solo’.

Segala kerumitan yang ada dalam upacara rambu solo’ sebenarnya memiliki

tujuan yang baik. Tujuan utama dari upacara rambu solo adalah untuk menghormati

orang yang telah meninggal. Selain itu, terdapat juga harapan dari pelaksanaan

upacara rambu solo’. Harapan tersebut datang dari keluarga yang mengadakan rambu

solo’. Keluarga tersebut berharap agar arwah dari orang yang meninggal dapat

beristirahat dengan tenang di surga.

2. Ritus/ Upacara Marge (Peralihan)

Upacara jenis ini biasanya berkaitan dengan kehidupan manusia, yaitu masa di

mana manusia atau masyarakat mengalami perubahan dalam siklus hidupnya. Upacara

jenis ini biasanya selalu berbeda antara agama satu dengan agama lainnya. Seperti

misalnya dalam kepercayaan masyarakat Jawa yang beragama Islam akan ada sebuah

upacara seperti mitoni. Upacara ini biasa juga disebut sebagai peralihan tahap.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 28: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

34

3. Ritus/ Upacara Integrasi

Upacara jenis ini merupakan salah satu upacara yang juga selalu ada dalam

kehidupan masyarakat. Upacara integrasi adalah sebuah upacara yang umumnya

berkaitan dengan manusia yang diresmikan ke dalam tahap kehidupan dan lingkungan

sosial yang baru. Upacara ini biasa juga ditemui dalam bentuk upacara pernikahan.

Pada saat upacara pernikahan berlangsung maka akan terjadi suatu proses kehidupan

yang baru yang dialami oleh si pengantin. Kehidupan baru yang dialami pengantin

itulah yang menjadikan upacara ini termasuk dalam jenis upacara integrasi.

D. Antropologi Sastra

Apa itu antropologi sastra? Antropologi sastra adalah berasal dari dua kata

yaitu dua kata yaitu antropologi dan sastra. Antropologi sastra merupakan gabungan

dari dua cabang ilmu yang berbeda. Menurut Ratna (2011: 31) antropologi sastra

adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan

kebudayaan, dalam perspektif kebudayaan yang lebih luas. Artinya adalah suatu usaha

yang dilakukan oleh manusia untuk memahami karya sastra kaitannya dengan

kebudayaan yang ada. Pada antropologi sastra, karya sastra menjadi sumber pokok

kajian dengan mempertimbangkan aspek-aspek antropologisnya.

Antropologi sastra beranggapan bahwa data karya sastra selalu berada dalam

konteks, bukan sesuatu yang vakum. Menurut Poyatos dalam Ratna (2011: 33)

antropologi sastra juga berarti analisis sastra antarbudaya, kebudayaan yang berbeda-

beda, semacam sastra bandingan, yang di dalamnya akan berkembang dua cara yaitu:

a) analisis terhadap satu karya, karya tunggal seorang pengarang, b) analisis terhadap

sejumlah karya, baik dari pengarang yang sama maupun berbeda. Berdasarkan

pendapat tersebut maka antropologi sastra dapat menganalisis karya sastra yang

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016

Page 29: 7 BAB IIrepository.ump.ac.id/5203/3/Asti Fitriana Rizki BAB II.pdf7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.

35

berkaitan dengan kebudayaan dengan berbagai macam model atau cara. Disadari

ataupun tidak antropologi sastra sesungguhnya memberikan kemudahan kepada

peneliti dalam menganalisis karya sastra yang berkaitan dengan kebudayaan serta

memberikan banyak ilmu baru.

Antropologi sastra sebagai suatu cabang ilmu dari berbagai ilmu sebelumnya

juga memiliki nilai tersendiri. Menurut Ratna (2011: 68) antropologi sastra memiliki

lima nilai yang mutlak perlu didefinisikan, dikembangkan, dan dilembagakan. Lima

fungsi tersebut terdiri dari:

1. fungsi untuk melengkapi analisis ekstrinsik; 2. berfungsi mengantisipasi, mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru

hasil-hasil karya satra, yang di dalamnya banyak ditemukan masalah seputar kearifan lokal;

3. antropologi sastra diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan Indonesia, yang di dalamnya terdapat beraneka ragam adat kebiasaan;

4. merupakan wadah bagi tradisi dan sastra lisan; 5. mengantisipasi kecenderungan kontemporer, yaitu perkembangan

multidisiplin.

Berdasarkan pendapat Ratna mengenai nilai dalam antropologi sastra, peneliti dapat

melihat ada banyak hal yang berkaitan dengan kebudayaan, baik yang terkait dengan

karya sastra maupun yang terlepas dari karya sastra. Secara tidak langsung antropologi

sastra membuat seseorang menjadi mengetahui dan mendalami kebudayaan secara

lebih baik.

Antropologi sastra dengan sendirinya berkaitan dengan tradisi, adat istiadat,

mitos, dan peristiwa-peristiwa kebudayaan pada umumnya, sebagai peristiwa yang

khas (Ratna, 2011: 73). Jadi dengan kata lain dapat dikatakan jika bidang kajian

antropologi sastra tidak dapat terlepas dari kebudayaan. Maka ketika ada seseorang

yang melihat salah satu saja dari ciri kebudayaan yang ada, secara otomatis akan dapat

mengidentifikasi antropologisnya.

Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016