6.paper m 008

6
Simposium Nasional RAPI VIII 2009 ISSN : 1412-9612 M-38 ANALISA KARAKTERISTIK KOROSI PADA SAMBUNGAN LAS KNALPOT SEPEDA MOTOR Wijoyo 1 , Edi Susilo Widodo 1 , Triyono 1,2 1 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Universitas Surakarta Jl. Raya Palur Km. 5 Surakarta 57772 Telp 0271 825117 2 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta Email : [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi karakteristik korosi dan mencari cara untuk menyelesaikan permasalahan korosi pada sambungan las knalpot sepeda motor. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah knalpot sepeda motor HONDA Supra. Selanjutnya knalpot ini dipotong pada 3 bagian yaitu bagian tanpa las, bagian sambungan las tengah dan bagian sambungan las ujung knalpot. Kemudian dilakukan uji korosi dengan standard ASTM A 262.93.a. (Practice B). Untuk pembersihan digunakan standar ASTM G1-90 (Practice C 7.5). Uji korosi dilakukan pada temperatur ruang, 90 o C dan 110 o C. Hal ini sesuai dengan temperatur knalpot saat tidak dipakai dan saat dipakai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik untuk masing-masing bagian tidak unik, sehingga kita tidak bisa mengatakan bagian mana yang paling rentan terhadap korosi tanpa diikuti keterangan kondisi temperatur pengujiannya. Urutan laju korosi dari terendah sampai tertinggi adalah sebagai berikut : (a) semua bagian dengan kondisi temperatur ruang, (b) bagian tanpa las dengan temperatur 90 o C, (c) bagian las tengah dengan temperatur 90 o C, (d) bagian las ujung knalpot dengan temperatur 90 o C dan bagian las tengah dengan temperatur 110 o C, (e) bagian tanpa las dengan temperatur 110 o C dan (f) bagian ujung knalpot dengan temperatur 110 o C. Jenis korosi yang terjadi pada semua bagian adalah merupakan jenis korosi sumuran (pitting corrosion). Kata kunci : knalpot, korosi, sambungan las, temperatur Pendahuluan Knalpot adalah salah satu komponen terpenting pada kendaraan bermotor. Knalpot berfungsi sebagai peredam suara, penyerap gas sisa pembakaran yang beracun dan sebagai pengontrol tekanan pada ruang bakar dan karburator. Sehingga konstruksi dari knalpot sudah dirancang sedemikian sehingga mampu menjalankan fungsinya tersebut. Jika konstruksi knalpot tersebut rusak maka fungsi knalpot akan terganggu. Kerusakan knalpot yang paling sering kita jumpai adalah terjadinya korosi pada sambungan las di ujung belakang dan juga di sambungan las lain. Jika sudah terjadi kerusakan seperti ini, maka suara sepeda motor menjadi sangat bising, penyerapan gas beracun kurang sempurna dan dalam jangka waktu agak lama akan mengakibatkan kerusakan pada mesin. Selain itu dalam peraturan lalu lintas kebisingan knalpot ada batasan-batasannya. Ada seorang pengendara sepeda motor yang mempunyai surat-surat lengkap tetapi karena knalpotnya jebol tetap dianggap melanggar peraturan lalu lintas. Pada dasarnya knalpot sudah dirancang anti korosi, di mana bahan yang digunakan merupakan baja paduan krom. Tetapi jika diperhatikan lebih seksama, terjadinya korosi selalu terjadi pada daerah di sekitar las. Penurunan ketahanan korosi tersebut disebabkan oleh pembentukan endapan krom karbida (Cr 23 C 6 ) di daerah HAZ baja tahan karat sehingga terjadi korosi batas butir (intergranular corrosion) yang disebut dengan weld decay. Kromium (Cr) dalam baja mempunyai afinitas (daya tarik-menarik) yang lebih besar terhadap karbon dibanding besi. Ketika baja karbon atau baja paduan rendah dilas dengan logam pengisi yang mempunyai kandungan kromium tinggi, karbon akan berdifusi dari logam dasar ke logam las pada suhu di atas sekitar 450 o C dan akan meningkat lebih cepat pada suhu 595 o C atau lebih, dan daerah temperatur ini disebut temperatur sensitis (Davis, 1995). Karena kromium adalah unsur yang aktif melindungi baja tahan karat dari korosi, sehingga jika unsur krom terikat oleh karbon menjadi karbida maka terdapat daerah-daerah yang kekurangan kromium, umumnya pada batas butir. Daerah inilah yang rentan terhadap korosi, sehingga disebut korosi batas butir. Selain itu, temperatur knalpot juga menjadi factor penyebab kerentanan korosi pada sambungan las. Fontana (1987) dan Jones (1992) menyatakan bahwa kecepatan korosi suatau logam akan meningkat jika temperatur lingkungannya bertambah. Pada saat ini metode yang digunakan oleh bengkel-bengkel untuk mencegah korosi adalah memasukkan oli ke dalam knalpot. Tetapi tindakan ini tidak direkomendasikan oleh produsen sepeda motor, karena akan

Transcript of 6.paper m 008

Page 1: 6.paper m 008

Simposium Nasional RAPI VIII 2009 ISSN : 1412-9612

M-38

ANALISA KARAKTERISTIK KOROSI PADA SAMBUNGAN LAS KNALPOT SEPEDA MOTOR

Wijoyo1, Edi Susilo Widodo1, Triyono1,2 1Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Universitas Surakarta

Jl. Raya Palur Km. 5 Surakarta 57772 Telp 0271 825117 2Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta Email : [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi karakteristik korosi dan mencari cara untuk menyelesaikan permasalahan korosi pada sambungan las knalpot sepeda motor. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah knalpot sepeda motor HONDA Supra. Selanjutnya knalpot ini dipotong pada 3 bagian yaitu bagian tanpa las, bagian sambungan las tengah dan bagian sambungan las ujung knalpot. Kemudian dilakukan uji korosi dengan standard ASTM A 262.93.a. (Practice B). Untuk pembersihan digunakan standar ASTM G1-90 (Practice C 7.5). Uji korosi dilakukan pada temperatur ruang, 90oC dan 110oC. Hal ini sesuai dengan temperatur knalpot saat tidak dipakai dan saat dipakai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik untuk masing-masing bagian tidak unik, sehingga kita tidak bisa mengatakan bagian mana yang paling rentan terhadap korosi tanpa diikuti keterangan kondisi temperatur pengujiannya. Urutan laju korosi dari terendah sampai tertinggi adalah sebagai berikut : (a) semua bagian dengan kondisi temperatur ruang, (b) bagian tanpa las dengan temperatur 90oC, (c) bagian las tengah dengan temperatur 90oC, (d) bagian las ujung knalpot dengan temperatur 90oC dan bagian las tengah dengan temperatur 110oC, (e) bagian tanpa las dengan temperatur 110oC dan (f) bagian ujung knalpot dengan temperatur 110oC. Jenis korosi yang terjadi pada semua bagian adalah merupakan jenis korosi sumuran (pitting corrosion). Kata kunci : knalpot, korosi, sambungan las, temperatur

Pendahuluan

Knalpot adalah salah satu komponen terpenting pada kendaraan bermotor. Knalpot berfungsi sebagai peredam suara, penyerap gas sisa pembakaran yang beracun dan sebagai pengontrol tekanan pada ruang bakar dan karburator. Sehingga konstruksi dari knalpot sudah dirancang sedemikian sehingga mampu menjalankan fungsinya tersebut. Jika konstruksi knalpot tersebut rusak maka fungsi knalpot akan terganggu. Kerusakan knalpot yang paling sering kita jumpai adalah terjadinya korosi pada sambungan las di ujung belakang dan juga di sambungan las lain. Jika sudah terjadi kerusakan seperti ini, maka suara sepeda motor menjadi sangat bising, penyerapan gas beracun kurang sempurna dan dalam jangka waktu agak lama akan mengakibatkan kerusakan pada mesin. Selain itu dalam peraturan lalu lintas kebisingan knalpot ada batasan-batasannya. Ada seorang pengendara sepeda motor yang mempunyai surat-surat lengkap tetapi karena knalpotnya jebol tetap dianggap melanggar peraturan lalu lintas.

Pada dasarnya knalpot sudah dirancang anti korosi, di mana bahan yang digunakan merupakan baja paduan krom. Tetapi jika diperhatikan lebih seksama, terjadinya korosi selalu terjadi pada daerah di sekitar las. Penurunan ketahanan korosi tersebut disebabkan oleh pembentukan endapan krom karbida (Cr23C6) di daerah HAZ baja tahan karat sehingga terjadi korosi batas butir (intergranular corrosion) yang disebut dengan weld decay. Kromium (Cr) dalam baja mempunyai afinitas (daya tarik-menarik) yang lebih besar terhadap karbon dibanding besi. Ketika baja karbon atau baja paduan rendah dilas dengan logam pengisi yang mempunyai kandungan kromium tinggi, karbon akan berdifusi dari logam dasar ke logam las pada suhu di atas sekitar 450 oC dan akan meningkat lebih cepat pada suhu 595 oC atau lebih, dan daerah temperatur ini disebut temperatur sensitis (Davis, 1995). Karena kromium adalah unsur yang aktif melindungi baja tahan karat dari korosi, sehingga jika unsur krom terikat oleh karbon menjadi karbida maka terdapat daerah-daerah yang kekurangan kromium, umumnya pada batas butir. Daerah inilah yang rentan terhadap korosi, sehingga disebut korosi batas butir.

Selain itu, temperatur knalpot juga menjadi factor penyebab kerentanan korosi pada sambungan las. Fontana (1987) dan Jones (1992) menyatakan bahwa kecepatan korosi suatau logam akan meningkat jika temperatur lingkungannya bertambah.

Pada saat ini metode yang digunakan oleh bengkel-bengkel untuk mencegah korosi adalah memasukkan oli ke dalam knalpot. Tetapi tindakan ini tidak direkomendasikan oleh produsen sepeda motor, karena akan

Page 2: 6.paper m 008

Simposium Nasional RAPI VIII 2009 ISSN : 1412-9612

M-39

menyebabkan terak karbon di dinding knalpot. Jika ini dilakukan dalam jangka waktu lama dan terus menerus maka akibat yang timbul adalah penyumbatan saluran gas buang dan menghalangi pendinginan knalpot.

Berdasarkan teori dan fakta tersebut, adalah hal yang sangat penting untuk meneliti karakteristik korosi dan mencari cara untuk menyelesaikan permasalahan korosi pada sambungan las knalpot sepeda motor. Parameter yang digunakan untuk meneliti karakteristik korosi adalah temperatur, karena hal ini sesuai dengan kondisi pemakaian knalpot yaitu temperatur ruang (saat motor mati), dan 90oC (pengukuran temperatur saat motor berjalan). Sehingga dari hasil penelitian ini dapat direkomendasikan baik kepada industri, pengguna sepeda motor maupun peneliti untuk “memperlakukan” knalpot secara tepat. Tinjuan Pustaka

Kromium (Cr) dalam baja mempunyai afinitas (daya tarik-menarik) yang lebih besar terhadap karbon dibanding besi. Ketika baja karbon atau baja paduan rendah dilas dengan logam pengisi yang mempunyai kandungan kromium tinggi, karbon akan berdifusi dari logam dasar ke logam las pada suhu di atas sekitar 450 oC dan akan meningkat lebih cepat pada suhu 595 oC atau lebih (Davis, 1995).

Pembentukan karbida krom (Cr23C6) yang disebut sebagai sensitisation pada logam las busur teredam (submerged arc welding/SAW) 308 terjadi pada proses perlakuan panas (6000C) yang dilakukan untuk menghilangkan tegangan sisa. Pembentukan karbida krom ini meningkatkan kepekaan logam las 308 terhadap korosi batas butir (intergranular corrosion/ IGC). Pengujian slow strain rate test (SSRT) pada logam las 308 setelah perlakuan panas menunjukkan bahwa laju korosi batas butir sebesar 1 mm/jam (Hamada dan Yamauchi, 2001).

Untuk memperbaiki ketahanan korosi baja tahan karat 302 dan 304 diperlukan solution heat treatment dengan pemanasan sampai dengan 10500C (19000F), akan tetapi proses ini rentan terhadap oksidasi yang berlebihan bila tidak dilakukan pada kondisi vakum (www.welding-adviser.com ).

Komposisi kimia las mempunyai pengaruh signifikan pada performa las. Sifat mekanik dan ketahanan korosi merupakan sifat yang bergantung pada komposisi las. Lasan akan peka terhadap retak panas bila terbentuk struktur yang seluruhnya austenit, tetapi retak akan berkurang bila austenit mengandung lebih dari 4% ferit. Walaupun demikian, peningkatan kandungan ferit tersebut dapat mengurangi ketahanan korosi logam (Sutaryono, 2004).

Widiyono dan Soeharto (1995) meneliti tentang pengaruh perlakuan panas pasca pengelasan sambungan las baja tahan karat AISI 304 terhadap korosi batas butir. Perlakuan panas yang dilakukan dengan memanaskan sampai 1050oC selama 1 jam lalu didinginkan pada media pendingin yang bervariasi yaitu air, oli dan udara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media pendingin air adalah media yang paling baik memperbaiki ketahanan korosi tetapi dari hasil uji mekanik menyebabkan penurunan keuletan.

Kandungan austenit di daerah lebur tidak terlalu bergantung pada masukan panas tetapi terutama dikontrol oleh komposisi logam las. Kekerasan deposit las bervariasi dengan masukan panas. Masukan panas las rendah mengakibatkan kekerasan lebih tinggi dalam logam las dan di sepanjang batas lebur A36 (logam dasar) dari pada masukan panas tinggi. Kekerasan yang tinggi sepanjang batas lebur diakibatkan oleh formasi martensit pada permukaan di daerah tersebut. Keberadaan martensit ini dipengaruhi oleh komposisi logam dasar dan pengisi serta perbedaan dalam kecepatan difusi karbon. Bila migrasi karbon berkurang/ terbatas, kemungkinan formasi martensit juga berkurang (Barnhouse dan Lippold, 2003). Bahan Dan Metodologi Penelitian

Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah knalpot Supra X 100 cc orisinil yang terbuat dari bahan baja karbon rendah. Gambar knalpot tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Knalpot Honda Supra X 100 cc

Untuk mengetahui komposisi kimia dari knalpot, maka pada ujung knalpot yang sering mengalami korosi dipotong menjadi dua bagian pada yakni pada bagian ujung dan selongsong dari knalpot, seperti terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Ujung Knalpot yang dipotong

Page 3: 6.paper m 008

Simposium Nasional RAPI VIII 2009 ISSN : 1412-9612

M-40

Gambar 3. Selongsong dan ujung pada knalpot

Pengujian Komposisi Kimia Material Knalpot Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui secara pasti jenis material knalpot. Dengan diketahui jenis materialnya, maka perlakuan panas dan pengujian korosi dapat dilakukan dengan tepat. Pengujian komposisi kimia dilakukan di PT. Itokoh Ceperindo Klaten. Pengujian Temperatur Knalpot

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui daerah operasi temperatur knalpot. Dengan diketahuinya daerah operasi temperatur knalpot, maka temperatur pengujian korosi dapat disesuaikan dengan daerah operasi yang sebenarnya.

Pengujian ini adalah mengukur temperatur knalpot saat dingin dan temperatur knalpot sesaat setelah motor dipakai 1 jam. Pengukurannya menggunakan termokopel digital.

Hasil pengukuran adalah pada saat dingin temperatur knalpot sama dengan temperatur ruang dan pada saat panas adalah untuk diujung knalpot 90oC, sedangkan untuk bagian pangkal (dengan dengan mesin) temperaturnya adalah 110oC. Sehingga pada pengujian korosi nanti temperatur ujinya adalah suhu ruang, 90oC dan 110oC. Pengujian Korosi

Pengujian korosi dengan menggunakan standar ASTM A 262.93.a. (Practice B). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan larutan pengkorosi berupa larutan asam nitrat (HNO3) dan air destilasi sebagai pelarut. Pengujian korosi ini dilakukan dalam kondisi larutan pengkorosi mempunyai temperatur suhu ruang, 90oC dan 110oC. Untuk pembersihan digunakan standar ASTM G1-90 (Practise C 7.5) yaitu dengan menggunakan larutan pembersih korosi berupa larutan yang mempunyai komposisi 500 mL larutan hydrochloric acid (HCl), 3.5 gram hexamethylene tetramine, dan air destilasi kemudian mencampurnya sampai volumenya mencapai 1000 mL. Pengujian ini dilakukan dalam periode waktu total selama 120 jam dimana nantinya akan dilakukan secara bertahap sehingga didapatkan data yang mencukupi.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan Hasil Uji Komposisi Kimia

Uji komposisi kimia dilakukan untuk mengetahui spesifikasi material knalpot. Hal ini harus dilakukan karena data material knalpot tidak ditemukan di dalam referensi dan pihak HONDA juga tidak bersedia memberikan data material knalpot tersebut. Uji komposisi kimia ini dilakukan di PT. Itokoh Ceperindo Klaten dengan menggunakan metode spektrometri dengan 3 sampel titik tembak. Bagian yang diuji komposisi kimia adalah bagian selongsog knalpot dan bagian ujung knalpot. Hasil uji komposisi kimia adalah seperti terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi kimia ujung knalpot Unsur C S Ni Si Cr Mn Mo W P Cu Kadar (%) 0.027 0.011 0.079 <0.002 0.03

8 0.18

3 <0.00

4 0.05 0.01

3 <0.00

4 Tabel 2. Komposisi kimia selongsong knalpot

Unsur C S Ni Si Cr Mn Mo W P Cu Ti Kadar (%) 0.01

2 0.016

0.141

<0.002

0.046

0.133

<0.004

0.05

0.017

<0.004

0.05

Dari kedua tabel di atas dapat diketahui bahwa material knalpot baik pada ujung maupun pada selongsongnya adalah bukan terbuat dari baja tahan karat, hal ini dapat dilihat dari kandungan krom (Cr) dan Nikel (Ni) yang tidak memenuhi kriteria baja tahan karat yaitu 12-18%. Berdasarkan tabel tersebut disimpulkan bahwa material knalpot adalah terbuat dari baja karbon. Dan dari kedua tabel tersebut dapat diketahui pula bahwa material selongsong dan ujung knalpot ada sedikit perbedaan pada kadar karbonnya. Material ujung knalpot mempunyai kandungan karbon yang lebih tinggi yaitu 0,027% dan kandungan sebesar ini diklasifikasikan sebagai baja karbon sedang. Sedangkan material selongsong knalpot mempunyai kandungan karbon yang lebih rendah yaitu 0,012% dan ini termasuk dalam klasifikasi baja karbon rendah. Dari data ini maka rencana semula untuk melakukan perlakuan panas pada knalpot

Page 4: 6.paper m 008

Simposium Nasional RAPI VIII 2009 ISSN : 1412-9612

M-41

tidak jadi dilakukan. Karena menurut hasil penelitian Sutiyo (2006) perlakuan panas pada baja karbon tidak mempengaruhi laju korosi. Uji Korosi

Hasil uji korosi dapat ditampilkan dalam bentuk tabel laju korosi seperti terlihat pada Tabel 3, histogram laju korosi rata-rata seperti terlihat pada Gambar 4 dan grafik perbandingan seluruh kasus seperti terlihat pada Gambar 5.

Tabel 3. Laju korosi rata-rata Laju korosi rata-rata (gr/jam) BAGIAN

TEMP. RUANG 90oC 110oC TANPA LAS 0.0181 0.2939 0.6106 LAS TENGAH 0.0176 0.4143 0.5091 UJUNG KNALPOT 0.0147 0.5053 0.8273

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

LAJU

KO

RO

SI (g

r/Jam

)

TANPA LAS LAS TENGAH UJUNG KNALPOT

LAJU KOROSI RATA-RATA

TEMP. RUANG90oC110oC

Gambar 4. Histogram laju korosi rata-rata

Dari Tabel 3 dan histogram pada Gambar 4 dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut: a. Pada temperatur ruang, laju korosi rata-rata pada semua bagian hampir sama. b. Kenaikan temperatur menjadi 90oC, laju korosi rata-rata semua bagian meningkat, tetapi peningkatan untuk

masing-masing bagian tidak sama. Peningkatan laju korosi rata-rata tertinggi terjadi pada daerah ujung knalpot.

c. Kenaikan temperatur dari 90oC menjadi 110oC, laju korosi rata-rata semua bagian meningkat, tetapi peningkatan untuk masing-masing bagian tidak sama. Peningkatan laju korosi rata-rata terendah terjadi pada daerah las tengah knalpot.

Sedangkan dari Gambar 5 dapat ditegaskan bahwa urutan laju korosi dari terendah sampai tertinggi adalah sebagai berikut :

1. Semua bagian dengan kondisi temperatur ruang. 2. Bagian tanpa las dengan temperatur 90oC. 3. Bagian las tengah dengan temperatur 90oC. 4. Bagian las ujung knalpot dengan temperatur 90oC dan bagian las tengah dengan temperatur 110oC. 5. Bagian tanpa las dengan temperatur 110oC. 6. Bagian ujung knalpot dengan temperatur 110oC

Kenaikan laju korosi masing-masing kasus jika dibandingkan dengan kondisi laju korosi plat tanpa las pada temperatur ruang adalah seperti terlihat pada Tabel 4.

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120Waktu (jam)

Laju

Kor

osi (gr

/Jam

)

Tanpa Las Temp. Ruang

Las Tengah Temp. Ruang

Las Ujung Temp. Ruang

Tanpa Las 90oC

Las Tengah 90oC

Las Ujung 90oC

Tanpa Las 110oC

Las Tengah 110oC

Las Ujung 110oC

Gambar 5. Perbandingan laju korosi untuk seluruh kasus

Page 5: 6.paper m 008

Simposium Nasional RAPI VIII 2009 ISSN : 1412-9612

M-42

Tabel 4. Perbandingan laju korosi dengan laju korosi plat tanpa las pada temperatur ruang

Prosentase kenaikan laju korosi (%) Bagian Temperatur Ruang 90oC 110oC

Tanpa las 0.0 1521.1 3268.1 Las tengah -2.9 2185.3 2708.0 Las ujung -19.0 2687.2 4463.3

Dari Tabel 4 tersebut dapat dilihat bahwa urutan kenaikan laju korosi dibandingkan dengan laju korosi plat

tanpa las pada temperatur ruang adalah sama dengan urutan yang sudah dijelaskan di atas. Terlihat bahwa laju korosi pada ujung knalpot pada temperatur 110oC meningkat sampai 4463.3 % atau meningkat sebesar 44,6 kali dibandingkan dengan laju korosi plat tanpa las pada suhu ruang. Dan inilah bagian dan kondisi terkritis dari knalpot yang paling rentan terhadap korosi. Dan fakta di lapangan menunjukkan kesesuaian, yaitu pada bagian ujung knalpot inilah yang paling sering mengalami korosi. Visualisasi Korosi

Visualisasi korosi bertujuan untuk mengetahui jenis korosi yang terjadi pada spesimen uji. Untuk pengujian korosi pada knlapot sepeda motor, visualisasi korosinya dapat dilihat pada Gambar 6.

tanpa las las tengah las ujung

Gambar 6. Visualisasi korosi

Dari Gambar 6 di atas terlihat bahwa korosi yang terjadi pada semua bagian adalah merupakan jenis korosi sumuran (pitting corrosion), hal ini ditunjukkan dengan adanya lubang-lubang jarum yang sempit dan dalam pada bagian yang terkorosi. Kesimpulan

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik untuk masing-masing bagian tidak unik, sehingga kita tidak bisa mengatakan bagian mana yang

paling rentan terhadap korosi tanpa diikuti keterangan kondisi temperatur pengujiannya. Urutan laju korosi dari terendah sampai tertinggi adalah sebagai berikut:

a. Semua bagian dengan kondisi temperatur ruang. b. Bagian tanpa las dengan temperatur 90oC. c. Bagian las tengah dengan temperatur 90oC. d. Bagian las ujung knalpot dengan temperatur 90oC dan bagian las tengah dengan temperatur 110oC. e. Bagian tanpa las dengan temperatur 110oC. f. Bagian ujung knalpot dengan temperatur 110oC

2. Korosi yang terjadi pada semua bagian adalah merupakan jenis korosi sumuran (pitting corrosion). Daftar Pustaka Annual Book of ASTM Standars, (1998), G1-90 dan A262. -------, (2003), Welding Dissimilar Metals with Wisconsin Wire Works Copper-Base Filler Metals, Wisconsin Wire

Work Inc. Barnhouse, J., and Lippold, J., C., (2003), Microstructure/Property Relationships in Dissimilar Welds Between

Duplex Stainless Steels and Carbon Steels, Welding Research Supplement, p. 1-14. Davis, J., R., (1995), Handfacing, Weld Cladding and Dissimilar Metal Joining, ASM Handbook Vol. 6.

Page 6: 6.paper m 008

Simposium Nasional RAPI VIII 2009 ISSN : 1412-9612

M-43

Easterling, K., (1983), Introduction to the Physical Metallurgy of Welding, Butterworth & Co Publishers Ltd. Fontana, M.G., (1987), Corrosion Engineering, McGraw-Hill Book Co-Singapore. Hamada dan Yamauchi, (2001), Influence of Stresses Relieving on Corrosion Behavior of Weldments, Metallurgical

and Materials Transactions, Volume 29A. Jones, D.A., (1992), Principles and Prevention of Corrosion, Macmillan Publishing Company. Kou, Sindo, (1987), Welding Metallurgy, John Wiley & Sons, Inc. Shackelford, J., F., (1992), Introduction to Materials Science for Engineers Sutaryono, (2004), Sifat Fisik, Mekanik dan Korosi Sambungan Las Logam Berbeda Antara Baja Tahan Karat AISI

316L dengan Baja Karbon Rendah AISI C1010, Skripsi S1 Jurusan Teknik Mesin UNS. Wiryosumarto, Harsono, (2000), Teknologi Pengelasan Logam, Pradnya Paramita, Jakarta.

Widiyono, E., dan Soeharto, (1995), Pengaruh Laku Panas pada Hasil Las Baja Tahan Karat terhadap Korosi Batas Butir, Journal ilmiah IPTEK ITS.