69087834 Referat Patofisiologi Peningkatan Sgot Dan Sgpt Pada Penyakit Infeksi Virus
-
Upload
akbar-sidiq -
Category
Documents
-
view
259 -
download
1
description
Transcript of 69087834 Referat Patofisiologi Peningkatan Sgot Dan Sgpt Pada Penyakit Infeksi Virus
REFERAT PATOFISIOLOGI PENINGKATAN SGOT DAN SGPT PADA PENYAKIT INFEKSI VIRUS
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Telah diketahui sebelumnya bahwa pemeriksaan enzim hati, yaitu transaminase yang terdiri
dari Alanine Aminotransferase (ALT) atau Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT),
dan Aspartate Aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic Oksaloasetat Transaminase
(SGOT), telah banyak digunakan sebagai pemeriksaan fungsi hati dan penanda untuk
kerusakan sel lainnya.
SGPT adalah enzim yang terdapat pada sel darah merah, otot jantung, otot skelet, ginjal dan
otak. Sedangkan SGOT ditemukan pada hati. Kedua enzim ini dapat meningkat karena
adanya gangguan fungsi hati, dan penanda kerusakan sel lainnya, yang salah satu
penyebabnya adalah proses infeksi yang disebabkan oleh virus.
Berikut akan dibahas mengenai bagaimana enzim transaminase yang diproduksi oleh
hati dapat meningkat karena adanya infeksi virus, terutama virus dengue.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hati
2.1.1 Anatomi dan Histologi
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau lebih 25%
berat badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat
kompleks. Secara mikroskopis didalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap
lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial
mengelilingi vena sentralis. Hati terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi kurang
lebih 60% sel hati, sedangkan sisanya terdiri dari sel-sel epithelial system empedu dalam
jumlah yang bermakna dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya endotelium, sel
kuffper dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Sel-sel lain yang terdapat dalam
dinding sinusoid adalah sel fagositik. Sel Kupffer yang merupakan bagian penting sistem
retikuloendothellial dan sel stellata disebut sel itu, limfosit atau perisit. Yang memiliki
aktifitas miofibroblastik yang dapat membantu pengaturan aliran darah. Sel kupffer lebih
permeabel yang artinya mudah dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang
lain Sinusoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan kerusakan hati.
Peningkatan aktifitas sel-sel stellata tampaknya merupakan faktor kunci dalam pembentukan
jaringan fibrotik di dalam hati. (9),(23),(16),(36)
Gambar 2.1 Penampang potongan melintang hati (33)
2.1.2 Fisiologi
Berbagai macam fungsi hati dijalankan oleh sel yang disebut sebagai hepatosit,
dimana 70-80% menyusun sitoplasma hati. Berikut berbagai macam fungsi hepatosit:
1. Sintesis protein
2. Penyimpanan protein
3. Metabolisme karbohidrat
4. Sintesis kolesterol, garam empedu dan fosfolipid
5. Detoksifikasi, modifikasi, dan ekskresi substansi endogen dan eksogen.
Hepatosit merupakan sel tubuh yang memproduksi albumin serum, fibrinogen dan
faktor pembekuan darah kecuali faktor III dan IV. Selain itu, hati juga mempunyai peranan
dalam sintesis lipoprotein, ceruloplasmin, transferin, komplemen, dan glikoprotein. Hepatosit
juga memproduksi protein dan enzim intraselular termasuk transaminase. Enzim yang
dihasilkan oleh hepatosit yaitu Alanine Aminotransferase (ALT) atau Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase (SGPT), dan Aspartate Aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic
Oksaloasetat Transaminase (SGOT). SGPT terdapat pada sel darah merah, otot jantung, otot
skelet, ginjal dan otak. Sedangkan SGOT ditemukan pada hati. Enzim tersebut akan keluar
dari hepatosit jika terdapat peradangan atau kerusakan pada sel tersebut. Kedua enzim ini
dapat meningkat karena adanya gangguan fungsi hati, dan penanda kerusakan sel lainnya,
yang salah satu penyebabnya adalah proses infeksi yang disebabkan oleh virus.
Gambar 2.2 Hepatosit (6)
Sintesis protein berlangsung di reticulum endoplasma yang kasar, sedangkan sekresi
protein berlangsung di reticulum endoplasma yang kasar dan yang halus. Retikulum
endoplasmic juga ikut berperan dalam konjugasi protein dengan lemak. (13),(18),(20),(24)
Hati berperan dalam pembentukan asam lemak dari karbohidrat dan mensintesis trigliserid
dari asam lemak dan gliserol. Hepatosit juga mensintesis apoprotein yang akan membawa
lipoprotein (VLDL, HDL). Hati juga merupakan organ dimana terjadi glukoneogenesis dan
pembentukan karbohidrat dari prekursor seperti alanine, gliserol, dan oksaloasetat,
glikogenolisis dan glikogenesis. (9), (23),(34) Hati menerima lipid dari sirkulasi sistemik dan
memetabolisme kilomikron. Hati juga mensintesis kolesterol dari asetat dan sintesis garam
empedu. (9),(23),(35),(36),(37)
Hati mempunyai kemampuan untuk memetabolisme, detoksifikasi, dan menginaktivasi
substansi eksogen, seperti obat, metabolism obat, insektisida, dan substansi endogen seperti
steroid, dan mengubah ammonia menjadi urea untuk diekskresi dari tubuh. (9),(23),(35),(36),(37)
Hati juga berperan dalam metabolism bilirubin, 75% dari total Bilirubin di dalam
tubuh diproduksi oleh sel darah yang hancur, sisanya oleh dihasilkan dari katabolisme protein
heme, dan juga oleh inaktivasi eritropoeisis sumsum tulang. Bilirubin yang tidak terkonjugasi
bersama dengan albumin ditranspor ke sirkulasi sebagai suatu kompleks dengan albumin,
walaupun sejumlah kecil dialirkan ke dalam sirkulasi secara terpisah. Bilirubin diubah dari
larut lemak menjadi larut air di hati. Kemudian masuk ke sistem pencernaan dalam bentuk
empedu ke duodenum dan dieksresikan menjadi sterekobilin. Melalui sirkulasi menuju ke
ginjal dan dieksresikan dalam bentuk urobilin. (23)
2.2 Virus
Virus adalah suatu kompleks yang terdiri dari protein dan genom RNA dan DNA.
Virus tidak mempunyai struktur seluler dan proses metabolic sendiri, bereplikasi dengan
memasuki sel yang hidup berdasarkan informasi genom virus itu sendiri. (9),(17),(39),
Virus adalah partikel infeksius autonom yang berbeda dengan mikroorganisme
lainnya, tidak mempunyai struktur selular dan hanya terdiri dari protein dan asam nukleat
(DNA atau RNA). Virus tidak mempunyai proses metabolisme sendiri, dimana virus akan
masuk ke dalam sel dan bereplikasi di sel tersebut melalui informasi genetik yaitu asam
nukleat. Sel host menerima asam nukleat tersebut dan memprosesnya untuk dijadikan
komponen virus baru. Virus menginfeksi bakteri, tumbuhan, hewan, dan manusia. (9), (17),(39)
2.2.1 Struktur dan morfologi virus
Partikel virus matur disebut virion yang mempunyai 3 komponen dasar yaitu,
pertama, genome DNA atau RNA, double stranded atau single stranded, linear atau sirkuler,
dan sebagian segmented. Single stranded asam nukleat mempunyai kutub positif dan kutub
negatif. Komponen yang kedua adalah capsid, bagian yang mengkode protein yang
mengandung asam nukelat dan menentukan antigen. Kapsid mempunyai bentuk kubik,
helical, atau kompleks yang dibentuk oleh subunit yang bernama capsomer. Pada sebagian
virus terdapat envelope yang mengelilingi capsid yang di bentuk dari membran sel. (9),(17),(39)
Gambar 2.3 Skema diagram dari virus herpes terbungkus dengan nukleokapsid
ikosahedral. Dimensi masing-masing nukleokapsid dan partikel envelope adalah 110 dan 180
nm. capsid yang terdiri dari 162 capsomeres: 150 dengan enam kali lipat dengan lima kali
lipat dan 12 sumbu simetri.(9)
2.2.2 Klasifikasi virus
Virus diklasifikasikan berdasarkan kriteria morfologi dan biokimia, yaitu berdasarkan
genome, bentuk capsid, ada tidaknya envelope, diameter dari virion, dapat dilihat pada tabel
berikut (9),(17)
Tabel 2.1 Klasifikasi virus (9)
Table 170-1 Virus Families Pathogenic for Humans
Family
Representative Viruses Type of RNA/DNA
Lipid Envelope
RNA Viruses
Picornaviridae
PoliovirusCoxsackievirusEchovirusEnterovirusRhinovirusHepatitis A virus
(+) RNA No
Caliciviridae
Norwalk agentHepatitis E virus
(+) RNA No
Togaviridae
Rubella virusEastern equine encephalitis
virusWestern equine
encephalitis virus
(+) RNA Yes
Flaviviridae
Yellow fever virusDengue virusSt. Louis encephalitis virusWest Nile virusHepatitis C virusHepatitis G virus
(+) RNA Yes
Coronaviridae
Coronavirusesa (+) RNA Yes
Rhabdoviridae
Rabies virusVesicular stomatitis virus
(–) RNA Yes
Filoviridae
Marburg virusEbola virus
(–) RNA Yes
Paramyxoviridae
Parainfluenza virusRespiratory syncytial virusNewcastle disease virusMumps virusRubeola (measles) virus
(–) RNA Yes
Orthomyxoviridae
Influenza A, B, and C viruses
(–) RNA, 8 segments
Yes
Bunyaviridae
HantavirusCalifornia encephalitis virusSandfly fever virus
(–) RNA, 3 circular segments
Yes
Arenaviridae
Lymphocytic choriomeningitis virus
Lassa fever virus
(–) RNA, 2 circular segments
Yes
South American hemorrhagic fever virus
Reoviridae
RotavirusReovirusColorado tick fever virus
ds RNA, 10–12 segments
No
Retroviridae
Human T-lymphotropic virus types I and II
Human immunodeficiency virus types 1 and 2
(+) RNA, 2 identical segments
Yes
DNA Viruses
Hepadnaviridae
Hepatitis B virus ds DNA with ss portions
Yes
Parvoviridae
Parvovirus B19 ss DNA No
Papovaviridae
Human papillomavirusesJC virusBK virus
ds DNA No
Adenoviridae
Human adenoviruses ds DNA No
Herpesviridae
Herpes simplex virus types 1 and 2b
Varicella-zoster virusc
Epstein-Barr virusd
Cytomegaloviruse
Human herpesvirus 6Human herpesvirus 7Kaposi's sarcoma–
associated herpesvirusf
ds DNA Yes
Poxviridae
Variola (smallpox) virusOrf virusMolluscum contagiosum
virus
ds DNA Yes
2.2.3 Replikasi virus
Replikasi virus terdiri dari beberapa fase, yaitu adsorption dari virus terhadap reseptor
spesifik pada permukaan sel, penetrasi virus ke intraseluler dan virus melepaskan asam
nukleat ke intraseluluer (uncoating), proliferasi komponen virus, virus mengkode sintesis
protein capsid dan noncapsid, replikasi asam nukleat virus dan enzim seluler, assembly dari
asam nukleat yang mengalami replikasi dan protein capsid yang baru, pelepasan progeny
virus pada sel.
Gambar 2.4 Replikasi virus
2.2.4 Respon Sel Host terhadap Infeksi Virus
Respon sel host terhadap infeksi virus bermacam-macam tergantung virus apa yang
menjadi penyebab. Beberapa reaksi sel host terhadap infeksi virus, diantaranya adalah
cytocidal infection (infeksi sitosidal), Replikasi virus dapat menginisiasi proses pada sel yaitu
sitolisis atau perubahan sel meliputi morfologi, fungsi, dan antigenicity. Perubahan pada sel
dapat disebabkan oleh virus mengambil alih sintesis makromolekul sel, akumulasi partikel
dan protein virus, modifikasi dan terganggunya struktur sel. Mekanisme virus dalam
membuat sel lisis : (1) Replikasi virus dan akumulasi komponen virus dan progeny pada sel,
menganggu struktur dan fungsi sel, jika menganggu lisosom, sel akan melakukan autolysis;
(2) Ekspresi antigen virus pada permukaan sel dan menganggu sitoskeleton, sel dan sel
berinteraksi dan perubahan pada morfologi seluler yang menjadi sitolisis. Selain cytocidal
infection, respon lainnya adalah noncytocidal infection virus tidak mennghancukan sel, tapi
sel dihancurkan melalui reaksi imunologi sekunder; infeksi laten, genom viral ada di dalam
sel dan tidak ada penghancuran sel; transformasi tumor, sel yang terinfeksi virus diubah
menjadi sel kanker oleh virus tersebut.
2.2.5. Pathogenesis virus
Mekanisme patologi penyakit virus adalah sebagai berikut perlekatan virus pada port
d’ entrée, replikasi local, penyebaran ke target organ, penyebaran ke organ lain.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi mekanisme pathogenesis virus terhadap sel
diantaranya, masuknya virus ke dalam jaringan, kerentanan sel terhadap multiplikasi virus,
dan kerentanan virus terhadap host.
2.2.5.1 Patogenesis seluler
Virus akan menginfeksi sel yang kemudian membuat sel yang terinfeksi tersebut
mengalami kerusakan atau kematian. Kerusakan dan kematian sel secara langsung
disebabkan oleh (1) penyimpangan energi sel (2) sintesis makomolekular sel terhenti (3)
kompetisi mRNA virus terhadap ribosom (4) kompetisi viral promoter dan transcriptional
enhancers pada faktor yang mempengaruhi transkripsi sel yaitu RNA polymerase, inhibisi
pertahanan dengan interferon. Sedangkan secara tidak langsung penyebab kerusakan sel
adalah genome virus, induksi mutasi genome host, inflamasi, dan respon imun host.(17),(18),(22),
(32),(39)
Menurut (25), virus dapat menyebabkan cedera pada sel melalui beberapa mekanisme.
diantaranya adalah (1) cytopathic effect, yaitu perubahan degenerative pada suatu sel yang
berhubungan dengan infeksi virus (2) mengihibisi sintesis RNA dan protein host yang akan
mengakibatkan integritas membrane terganggu, leakage enzim dari lisosom, degradasi
sitoplasmik, (3) Pembentukan syncticium oleh envelope virus, (4) infeksi virus dapat
menginduksi apoptosis.(25)
2.2.6 Reaksi pertahanan tubuh terhadap infeksi virus
Sebagian besar infeksi virus dibatasi dengan reaksi pertahanan tubuh baik dengan
antigen non spesifik dan spesifik. Reaksi pertahanan tubuh yang spesifik lebih cepat bekerja
daripada yang spesifik, sebagian memang selalu ada dan selalu di tempat yang sama(barrier
anatomis, inhibitor non spesifik, dan sel fagosit) dan sisanya di rangsang oleh proses
infeksi(demam, inflamasi dan interferon).(17),(18),(23),(39)
Barrier anatomi terletak di permukaan bagian tubuh (kulit dan mukosa) atau diantara
bagian tubuh (sel endotelial dan membran basalis). Inhibitor nonspesifik yaitu cairan tubuh
dan jaringan yang akan secara langsung menginaktivasi virus. Pada proses fagositosis sel
yang berperan adalah leukosit dan macrofag yang akan menginaktivasi virus, virus yang
persisten atau multiplikasi virus. Demam menghambat replikasi virus karena meningkatnya
suhu tubuh. Saat terjadi infeksi virus, demam dapat terjadi karena zat pirogen endogen seperti
interleukin 1 dan 6 , interferon, prostaglandin dan tumor necrosis factor Inflammasi
mengahmbat replikasi virus melalui peningkatan temperatur lokal, penurunan tekanan
oksigen, perubahan metabolic dan produksi asam. Interferon mengikat untuk sel dan
mendorong sel tersebut untuk memblokir berbagai tahap replikasi virus. Interferon juga (1)
menghambat pertumbuhan beberapa sel tumor normal dan dan parasit intraseluler, seperti
rickettsiae dan protozoa; (2) memodulasi respon imun, dan (3) mempengaruhi diferensiasi
sel. Terdapat tiga jenis utama interferon, alfa, beta, dan gamma interferon. Alpha interferon
diproduksi terutama oleh leukosit tertentu (sel dendritik, makrofag dan sel B), interferon beta
oleh sel epitel dan fibroblas, dan interferon gamma oleh sel T dan Natural Killer cells. Dua
jenis interferon lainnya terkait dengan interferon alfa. Omega interferons berbagi tentang
identitas tujuh puluh persen dengan interferon alfa.(17),(18),(23),(39)
2.2.7 Respon imun tubuh terhadap infeksi virus
Kekebalan terhadap infeksi virus disebabkan oleh berbagai mekanisme spesifik dan
nonspesifik. Aktivasi fungsi kekebalan yang berbeda dan jangka waktu dan besarnya respon
imun tergantung pada bagaimana virus berinteraksi dengan sel host pada apakah itu adalah
cytolytic, steady-state, laten, dan / atau infeksi terintegrasi) dan bagaimana virus menyebar
(oleh lokal, primer hematogen, hematogen sekunder, dan / atau melalui sistem saraf). Oleh
karena itu, antigen virus yang mungkin berada di berbagai bagian tubuh tergantung pada rute
penyebaran dan fase infeksi. Lokal infeksi di permukaan seperti mukosa dapat menimbulkan
respon imun lokal selular dan humoral (IgA), namun tidak selalu kekebalan sistemik. Host
memiliki beberapa fungsi pertahanan kekebalan yang dapat menghilangkan virus dan / atau
penyakit virus. (9),(17)
Pada imunitas humoral, yang terjadi virus dan / atau sel yang terinfeksi virus dapat
merangsang limfosit B untuk menghasilkan antibodi (khusus untuk antigen virus) Antibodi
netralisasi paling efektif ketika virus terdapat di serum) atau pada saluran gastrointestinal dan
saluran pernapasan). IgG, IgM, IgA dan semuanya telah ditunjukkan untuk mengerahkan
kegiatan antiviral. Antibodi dapat menetralkan virus dengan: 1) memblokir virus interaksi
sel-host atau 2) mengenali antigen virus pada sel yang terinfeksi virus yang dapat
menyebabkan sel sitotoksik antibodi-dependent (ADCC) atau lisis melalui kompleme.
Antibodi IgG bertanggung jawab untuk kegiatan antiviral yang paling dalam serum,
sedangkan IgA adalah antibodi yang paling penting ketika virus menginfeksi permukaan
mukosa. (9),(17)
Imunitas seluler mengarah (1) pengenalan dan / atau membunuh virus dan sel yang
terinfeksi virus oleh leukosit dan (2) produksi sitokin oleh sel-sel ini yang dirangsang oleh
virus atau sel yang terinfeksi virus. T limfosit sitotoksik, Natural killer cells (NK) dan
makrofag antivirus dapat mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi virus. T Helper dapat
mengenali sel sel yang terinfeksi virus dan menghasilkan sejumlah sitokin penting. Sitokin
diproduksi oleh monosit (monokines), sel T, dan sel NK (limfokin) memainkan peran penting
dalam mengatur fungsi kekebalan dan mengembangkan fungsi kekebalan antivirus.(9),(17)
Penyakit yang berhubungan dengan respon imun dapat terjadi pada infeksi virus
tertentu di mana antigen virus dan hipersensitivitas imun yang tidak terkendali bertahan untuk
jangka waktu lama. Penyakit ini dapat dimediasi oleh humoral dan dimediasi oleh sel.
sindrom Immune-kompleks dapat dimediasi oleh virus / virus kompleks antigen antibodi. sel
T (sitotoksik dan helper) juga bisa memediasi cedera immunopathologic melalui sejumlah
mekanisme. Immunopatologi dapat terjadi pada jaringan/ kerusakan organ tubuh melalui sel
T sitotoksik, induksi melalui sitokin inflamasi, antibody dan komplemen, kompleks antigen
antibodi. (9),(17)
Awalnya, respon nonspesifik (inhibisi nonspesifik, aktivitas NK cell, dan interferon)
menghambat multiplikasi virus selama fase akut infeksi virus. Kemudian imun spesifik
(humoral dan seluler) merespon untuk membantu menghilangkan fungsi virus pada akhir fase
akut, dan selanjutnya untuk menjaga pertahanan khusus untuk reinfeksi. (9),(17)
2.3 Cedera Sel (7),(9),(18),(23)
Cedera sel tampaknya merupakan tanda umum di hampir semua penyakit. Cedera
didefinisikan sebagai perubahan dalam struktur sel atau fungsi yang dihasilkan dari beberapa
stres yang melebihi kemampuan sel untuk kompensasi melalui mekanisme fisiologis normal
adaptif.
Sel biasanya merespon keadaan stres dengan dua cara, pertama, adaptasi - dengan
mengubah struktur dan / atau proses biokimia untuk mencapai keadaan "stabil yang baru" dan
mempertahankan fungsi fisiologis yang mendekati normal (homeostasis). Sebagai contoh,
paparan sinar matahari menyebabkan dibentuknya melanosit lebih banyak di kulit untuk
mensintesis melanin lebih banyak untuk melindungi sel dari radiasi UV yang berpotensi
merugikan. Kedua, cedera jika sel tidak cukup beradaptasi, fungsi sel mungkin terganggu,
dan sel dikatakan terluka. Misalnya paparan radiasi sinar matahari dapat menyebabkan
"sunburn" - cedera epidermis. Jika sel dalam keadaan luka kemudian dapat memulihkan
fungsi-fungsi normal sel itu sendiri, cedera dikatakan reversibel. Sedangkan jika sel
mengalami cedera yang cukup parah, namun, titik "kembali tidak" tercapai, sel akan mati dan
cedera sel ini dikatakan ireversibel.
Gambar 2.5. Bagan Respon sel terhadap stress (18)
Bagaimana sel merespon terhadap stres tergantung pada berat dan durasi eksposur
terhadap stres (intensitas dosis). Sebagai contoh, jika suplai darah jantung koroner terganggu
untuk hanya 1-2 menit, dapat menyebabkan kematian jaringan jantung fungsional (infark
miokard) dan kerentanan yang dimiliki sel jenis tertentu dari sel untuk stres yang diberikan.
Beberapa sel lebih sensitif terhadap stres dibandingkan sel lainnya. Misalnya, hepatosit dan
sel otot rangka dapat mentolerir beberapa jam dengan gangguan aliran darah. Neuron dan
miokardium, sebaliknya, hanya bisa mentolerir penguranag aliran darah untuk waktu yang
singkat tanpa kerusakan ireversibel. Secara umum, sel yang lebih khusus adalah, semakin
rentan terhadap cedera.
2.3.1 Target Molekul Cedera Seluler
Sel yang mengalami cedera berhubungan dengan kerusakan pada molekul struktural
dan fungsional sel. Bagian dan proses yang rentan terhadap stress adalah (1) membran sel, (2)
metabolisme energi, (3) sintesis protein, dan (4) gen. Karena banyak dari sistem biokimia sel
ini tergantung, cedera di satu tempat biasanya menyebabkan cedera sekunder untuk proses
selular lainnya. Integritas membran sel - lipid membran selektif permeabel sangat penting
untuk menjaga lingkungan internal sel. Dengan mengatur molekul apa saja yang memasuki
dan keluar sel, membran plasma menjaga sel dalam keseimbangan osmotik dengan cairan
ekstraselular. Energi protein tergantung pada "pump" yang berada pada membran plasma
yang menentukan perbedaan konsentrasi ion dan muatan listrik antara bagian dalam dan di
luar sel (potensial istirahat membran). Potensi membran istirahat sangat penting untuk fungsi
syaraf dan otot. Fungsi organel intraseluler seperti mitokondria, lisosom, retikulum
endoplasma dan juga tergantung pada integritas membran lipid.
Membran sel dapat terganggu karena degradasi fosfolipid - komponen utama
molekul biologis membran. Kerusakan pada membran plasma meningkatkan permeabilitas
sel terhadap natrium dan air. Hal ini menyebabkan sel membengkak, dan bahkan bisa
menyebabkan gangguan sel (lisis). Kalium dapat bocor keluar dari sel yang mempengaruhi
kemampuan untuk mempertahankan potensial istirahat membran. Cedera pada membran
mitokondria membatasi mengganggu metabolism energi. Cedera pada lisosom melepaskan
enzim hidrolitik ke sitoplasma untuk protein pencernaan selular. Kerusakan pada retikulum
endoplasma mengganggu sintesis protein dan transport intraseluler dari senyawa biologis
penting.
Gambar 2.6 Membran plasma pada sel (18)
Peranan Kalsium - Sel juga menggunakan energi yang bergantung pada membran
"pump" untuk menjaga konsentrasi ion kalsium intraseluler tidak terlalu rendah. Jika
membran sel terluka, ion kalsium dapat berpindah dari cairan ekstraselular, dan dari tempat
penyimpanan intraseluler, ke dalam sitoplasma. Konsekuensi dari kalsium sitosol meningkat
adalah aktivasi enzim protein kinase. Ini mengarah pada aktivasi enzim lain seperti
phospholipases, ATPase, protease, dan endonuklease yang menyerang dan memecah
komponen penting dari sel (lipid membran, ATP, protein cytoskeletal, DNA).
Respirasi aerobik dan Produksi ATP - Sel memerlukan pasokan energi yang konstan,
terutama dalam bentuk ATP, untuk metabolisme dan reaksi biosintetik. Hipoksia atau
gangguan fungsi mitokondria, mengganggu kemampuan sel untuk menggunakan oksigen
untuk menghasilkan ATP dalam jumlah yang cukup. Hal ini, merusak kemampuan sel untuk
memanfaatkan nutrisi untuk mensintesis protein struktural dan fungsional diperlukan untuk
menjaga sel. Deplesi ATP juga menggeser metabolisme energi terhadap glikolisis anaerobik.
Selain menjadi kurang efisien dalam hal produksi energi, glikolisis juga disertai dengan
akumulasi fosfat anorganik dan asam laktat yang akan menurunkan pH dalam sel. Proses
asidosis akan mengganggu fungsi enzim dan dapat merusak DNA inti.
Peranan Oksigen yang mencetuskan radikal bebas (Reactive Oxygen Species) -
Meskipun oksigen sangat penting untuk metabolisme energi normal, oksigen juga
memainkan peranan khusus dalam cedera sel. Ketika mitokondria menghasilkan energi
dengan mengurangi oksigen molekul air, sejumlah kecil mengurangi bentuk sebagian oksigen
(superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hydroxyl) yang dihasilkan dalam proses
tersebut . "Radikal bebas" adalah molekul berumur pendek yang mengandung elektron tidak
berpasangan dalam orbital luar - sebuah elektron yang tidak berkontribusi terhadap ikatan
intramolekul normal, "ikatan kimia bebas" yang tidak stabil dan sangat reaktif. Radikal bebas
umumnya merupakan produk sementara reaksi oksidasi-reduksi atau terjadi ketika ikatan
kovalen rusak dan satu elektron dari pasangan masing-masing tetap dengan setiap atom.
Meskipun radikal bebas memainkan peranan fisiologis penting dalam reaksi oksidasi-reduksi
intraseluler dan membunuh bakteri fungsi sel darah putih, radikal bebas juga dapat
berinteraksi dengan molekul biologis penting - menghapus elektron atom hidrogen atau
ikatan kovalen dan mengganggu. Untungnya, sel biasanya hanya menghasilkan jumlah yang
sangat kecil dari oksigen yang mencetuskan radikal bebas, dan merupakan (anti-oksidan).
Namun, ketika sel-sel yang terluka, sejumlah besar radikal bebas dapat
mengumpulkan - dengan cepat depleting anti-oksidan - dan memungkinkan radikal bebas
bereaksi dengan komponen biokimia sel. Radikal bebas dapat menyerang ikatan ganda
fosfolipid tak jenuh di membran sel yang akhirnya mendegradasi integritas struktural
membran sel. Radikal bebas juga merusak fungsi enzim dengan menyebabkan fragmentasi
rantai polipeptida atau-silang dari sulfhidril (-SH) grup di protein.
Protein Fungsional dan Struktural - denaturasi enzim selular atau protein struktural
parah dapat mengganggu fungsi selular. Hampir semua proses seluler, yang tergantung pada
enzim - protein katalis yang memfasilitasi reaksi biokimia di dalam sel. Tanpa enzim, sintesis
dan metabolisme akan terjadi reaksi yang lebih lambat untuk menjadi lebih berguna untuk
sel. Kerusakan protein struktural dapat merusak sistem transportasi intraseluler sel dan
mengganggu protein sitoskeleton mendukung sel. Pengaturan Genetik - Kerusakan DNA sel
mengganggu replikasi sel, dan merusak sintesis protein struktural dan fungsional penting. Hal
yang mungkin merupakan faktor utama dalam patogenesis cedera sel ireversibel.
Gambar 2.7. Oksigen dan Radikal Bebas (18)
2.3.2 Penyakit yang berhubungan dengan memproduksi stres selular
(patologis Stimuli).
Hipoksia - pengambilan oksigen jaringan adalah salah satu mekanisme untuk cedera
selular. Hipoksia dapat disebabkan oleh suplai darah terganggu (iskemia), oksigenasi yang
kurang dari darah karena penyakit paru atau hypoventilasi, ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah secara memadai (gagal jantung), atau gangguan oksigen pada darah
(anemia, keracunan karbon monoksida, dll). Seperti disebutkan di atas, hipoksia memakai
ATP seluler dan menghasilkan radikal bebas dari oksigen.
Cedera Kimia - Sejumlah besar obat dan agen kimia lingkungan dapat menyebabkan
cedera sel, termasuk senyawa anorganik, ion, dan molekul organik - termasuk produk dari
metabolisme normal dan racun dihasilkan oleh mikroorganisme.
Agen fisik - Berbagai macam bentuk cedera fisik dapat membahayakan sel dan
jaringan, meliputi: (1) cedera mekanikal (patah tulang, luka, pendarahan). (2) keadaan yang
telalu panas atau dingin (luka bakar, panas stroke, kelelahan panas, radang dingin,
hipotermia). (3) Ionisasi atau radiasi - (x-ray, unsur radioaktif, radiasi ultraviolet). (4) Electric
shock. (5) Mendadak perubahan tekanan atmosfer (cedera ledakan, dekompresi cedera dalam
penyelam). (6) trauma kebisingan.
Infeksi - cedera sel tubuh oleh patogen virus, bakteri, jamur, protozoa, atau cacing.
Cara organisme patogenik menyebabkan penyakit: (1) replikasi di dalam sel host dan
mengganggu integritas struktural dari sel (efek cytopathic langsung - misalnya, herpes virus),
(2) menghasilkan toksin yang berbahaya untuk sel host (misalnya, Clostridia dan difteri), atau
(3) memicu respons peradangan atau kekebalan yang secara tidak sengaja mencederai sel host
(misalnya, demam rematik, TBC).
Respon imun - reaksi hipersensitivitas (anafilaksis, alergi), atau (autoimmun) dapat
mengakibatkan peradangan akut atau kronis dan cedera sel. Supresi abnormal dari sistem
kekebalan tubuh dapat meningkatkan kerentanan terhadap invasi mikroba.
Ketidakseimbangan nutrisi - Kekurangan substrat seluler normal (misalnya, kalori,
protein, karbohidrat, mineral, vitamin) dapat menghasilkan masalah seperti obesitas,
kekurangan gizi, anemia defisiensi besi, dan sebagainya.
2.3.3 Manifestasi Penyakit di Tingkat Seluler
2.3.3.1 Perubahan Struktural Adaptif.
Sel-sel dapat beradaptasi dengan tekanan lingkungan dengan memodifikasi ukuran /
bentuk, pola pertumbuhan, dan / atau aktivitas metabolik. Dalam keadaan yang ekstrim,
perubahan selular adaptif juga penanda untuk cedera dan penyakit.Berikut adalah perubahan
struktural adaptif:
Atropi - Penurunan ukuran sel karena terjadi penurunan metabolisme dan penurunan
sintesis protein. Sel atropik memiliki protein structural yang kurang, lebih sedikit
mitokondria, dan kurangnya retikulum endoplasma. Meskipun sel atrophic telah mengurangi
fungsi, mereka tidak mati. Aktivitas sel atrofi dengan penurunan metabolime membuat sel
tersebut kurang rentan terhadap cedera. Ketika sel atrofi mecapai jumlah tertentu, seluruh
jaringan bahkan organ juga akan mengalami atrofi. Kadang-kadang jumlah sel pada jaringan
atrofi juga dapat menurun disebut sebagai involusi.
Penyebab atrofi diantaranya : (1) Penurunan beban kerja (atrofi otot karena
immobilisasi). (2) Kehilangan inervasi (misalnya, otot atrofi pada pasien dengan cedera
tulang belakang atau saraf perifer). (3) suplai darah berkurang (misalnya, stenosis a. ginjal
dapat menyebabkan atrofi ginjal). (4) gizi yang tidak memadai (misalnya, kekurangan protein
dalam diet menyebabkan atrofi otot, kekurangan vitamin B12 berhubungan dengan atrofi
lambung). (5) Kehilangan rangsangan endokrin (misalnya, penurunan fungsi dari kelenjar
hipofisis dapat menyebabkan atrofi kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, ovarium, dan testis).
Atrofi fisiologis dari endometrium, epitel vagina, dan payudara terjadi dengan menopause
dan hilangnya rangsangan estrogen. (6) Penuaan sel berhubungan dengan atrofi selular dan
involusi - terutama di jantung dan otak.
Hipertrofi - Peningkatan massa jaringan akibat peningkatan ukuran sel daripada
jumlah sel. Peningkatan ukuran sel disebabkan percepatan sintesis protein dan komponen
struktural lainnya dari sel.
Hipertrofi dapat disebabkan oleh: (1) Peningkatan fungsi (misalnya, meningkatkan
massa otot rangka dalam menanggapi latihan; ukuran jantung meningkat sebagai respons
terhadap beban kerja normal yang dikenakan oleh hipertensi kronis atau penyakit jantung
katup). (2) stimulasi hormonal (misalnya, stimulasi estrogenik dari otot polos rahim selama
kehamilan untuk meningkatkan ukuran rahim). Bagaimanapun, peningkatan ukuran sel
akhirnya tidak lagi mampu mengkompensasi beban kerja meningkat. Hal ini mungkin terjadi
karena ketidakmampuan sel untuk selamanya menyediakan oksigen dan nutrisi sebagai akibat
dari peningkatan ukuran sel. Misalnya, meskipun pembesaran jantung merupakan mekanisme
adaptif untuk hipertensi kronis, akhirnya miokardium mencapai batas adaptif dan tidak
mampu untuk terus memberikan suplai yang cukup untuk memenuhi permintaan. Gagal
jantung kemudian terjadi kemudian.
Gambar 2.8.Adaptasi sel terhadap stress (18)
Hiperplasia - Kenaikan massa jaringan karena terjadi peningkatan tingkat pembelahan
sel dan proliferasi selular. Hiperplasia dapat terjadi secara fisiologis atau patologis. (1)
Hiperplasia fisiologis dapat terjadi sebagai akibat dari stimulasi hormonal normal (misalnya,
pembesaran payudara perempuan selama masa pubertas dan kehamilan, atau sebagai
mekanisme kompensasi untuk jaringan yang terluka(misalnya, hiperplasia sel kulit selama
penyembuhan oleh karena suatu abrasi). (2) Hiperplasia patologis adalah hasil dari stimulus
berbahaya (misalnya, kapalan di tangan seorang buruh), atau stimulasi hormon yang
berlebihan (misalnya, tiroid dan hipertensi, pembesaran prostat yang berhubungan dengan
paparan androgen). Hiperplasia dan hipertrofi erat kaitannya. Kedua proses sering terjadi
bersama-sama dalam jaringan yang terluka. Keduanya adalah reversibel jika stimulus tersebut
hilang. Hiperplasia patologis mungkin dapat mengarah kanker (neoplasia). Jadi perubahan
hiperplastik di beberapa jaringan mungkin dianggap premalignant. Misalnya hiperplasia,
kronis endometrium uterus (seperti yang terlihat dengan terapi penggantian estrogen)
berhubungan dengan peningkatan risiko kanker endometrium.
Metaplasia - Perubahan reversibel dalam struktur sel dari satu sepenuhnya berbeda
bentuk ke bentuk lainnya dalam menanggapi stimulus berbahaya. Metaplasia merupakan
upaya oleh jaringan untuk menggantikan jenis sel rentan dengan yang lebih tahan. Misalnya,
sel-sel yang melapisi trakea normal dan bronchioles yang mengeluarkan lendir, silia epitel
kolumnar yang sangat sensitif terhadap bahan kimia dalam asap tembakau. Pada perokok, sel-
sel ini akhirnya digantikan oleh epitel skuamosa berlapis yang lebih tahan terhadap asap.
Metaplasia berpotensi reversibel. Jika stimulus abnormal hilang, sel dapat kembali kenormal.
Perokok yang berhenti bisa kembali normal mengeluarkan lendir epitel bronkial. Namun, jika
stimulus yang terus berlanjut, dapat berisiko menkadi ganas.
Displasia - Tidak seperti atrofi, hipertrofi, dan hiperplasia yang mungkin adaptasi
fisiologis serta manifestasi penyakit, displasia (dan mungkin metaplasia) selalu dikaitkan
dengan proses patologis.
2.3.3.2 Pembengkakan sel
Suatu gambaran umum dari hampir semua cedera sel. Suatu bentuk cedera
reversibel terkait dengan masuknya abnormal natrium dan air ke dalam sel.
2.3.3.3 Akumulasi intraselular
Cara lain sel untuk beradaptasi terhadap cedera yang disebabkan gangguan jalur
metabolisme adalah mengumpulkan dan menyimpan berbagai zat di dalam sitoplasma.
Akumulasi intraselular mungkin substrat proses biosintesis atau konstituen seluler normal
seperti lemak, protein, atau karbohidrat - atau pigmen seperti melanin dan bilirubin.
Lipofuschin (lipid pigmen kaya berasal dari membran sel rusak) umumnya ditemukan di
penuaan sel atau luka kronis pada jaringan. Zat ini memberikan jaringan-jaringan yang
berwarna kuning-coklat. Akumulasi intraselular biasanya tidak berbahaya bagi sel di dalam
diri sel tersebut- sel tersebut hanya penanda yang menunjukkan disfungsi seluler (misalnya,
akumulasi lipid dalam hepatosit dengan penyakit hati alkoholik). Dalam beberapa kasus,
bagaimanapun, akumulasi intraseluler dapat mengganggu fungsi sel dan memberikan
kontribusi untuk proses penyakit (misalnya, besi yang berlebihan dan hemochromatosis, asam
urat dan asam urat, amiloid beta dan penyakit Alzheimer).
2.3.3.4 Kalsifikasi
Cedera dan kematian sel dapat menyebabkan pelepasan ion fosfat dan asam lemak
intraselular ke lingkungan ekstraselular. Senyawa ini bereaksi dengan ion kalsium
membentuk garam kalsium yang tidak larut diendapkan dalam jaringan. Jenis kalsifikasi
sangat umum dalam aterosklerosis dan penyakit yang terkait dengan peradangan kronis.
kalsifikasi abnormal juga dapat terjadi dalam kondisi yang berhubungan dengan
hyperkalsiemia - kelebihan kadar kalsium dalam darah (misalnya, hiperparatiroidisme).
2.3.3.5 Kebocoran enzim
Cedera pada membran sel juga dapat dikaitkan dengan kebocoran enzim intraselular
normal menjadi cairan ekstraseluler. Peningkatan kadar plasma enzim ini sering digunakan
sebagai penanda tidak langsung laboratorium untuk cedera sel. Sebuah contoh umum adalah
infark miokard yang berkaitan dengan peningkatan serum creatine kinase (CK) dan troponins
jantung. Hepatobiliary penyakit sering disertai oleh peningkatan enzim AST, ALT, dan
fosfatase alkali.
2.3.3.6 Kematian Sel: Nekrosis dan Apoptosis
Konsekuensi akhir dari cedera ireversibel adalah sel mati yang biasanya berbentuk
nekrosis. Perubahan struktural yang menyertai nekrosis hasil dari dua proses:
1. Enzim pencernaan sel dengan enzim hidrolitik lysosomal (kadang-kadang disebut nekrosis
pencairan)
2. Denaturasi dan pengendapan protein selular (nekrosis koagulasi).
likuifakasi nekrosis terjadi di beberapa infeksi bakteri (misalnya, Stafilokokus) dan cedera
iskemik pada jaringan otak. Nekrosis koagulasi merupakan manifestasi umum dari cedera sel
hipoksia (misalnya, infarka miokard). Nekrosis disertai dengan peradangan dan cedera
sekunder untuk sekitar jaringan normal.
Gambar 2.9. Nekrosis dan Apoptosis (18)
Nekrosis harus dibedakan dari apoptosis , yaitu sel mati terprogram secara genetik.
Pada apoptosis, ada pembongkaran teratur protein seluler dan DNA dengan gangguan
minimal pada jaringan normal. Apoptosis adalah proses fisiologis normal yang dirancang
untuk menghilangkan yang tidak diinginkan, fungsional normal, atau pikun (tua dan usang)
sel. Hal ini memainkan peran penting dalam embrio berkembang, tergantung pada jaringan
hormon tertentu, dan penuaan. Namun, dalam beberapa kasus, mungkin apoptosis proses
patologis yang disebabkan oleh cedera sel (misalnya, infeksi virus, cedera radiasi, dll).
2.4 Mekanisme Cedera Sel pada Infeksi Virus
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, mekanisme cedera sel yang disebabkan oleh
infeksi virus diantaranya (1) penyimpangan energi sel (2) sintesis makomolekular sel terhenti
(3) kompetisi mRNA virus terhadap ribosom (4) kompetisi viral promoter dan
transcriptional enhancers pada faktor yang mempengaruhi transkripsi sel yaitu RNA
polymerase, inhibisi pertahanan dengan interferon. Sedangkan secara tidak langsung
penyebab kerusakan sel adalah genome virus, induksi mutasi genome host, inflamasi, dan
respon imun host.(7),(17),(18),(22), (32),(39)
2.4.1 Dengue
Demam dengue (DD) , demam berdarah dengue (DBD) dan dengue shock syndrome
(DSS) disebabkan virus dengue. Virus ini termasuk group B Arthropod borne virus
(Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN-l, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe DEN-3
merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
Virus Dengue ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes albopictus,
Aedes polynesiensis. Penularannya dapat langsung, yaitu melalui gigitan pada orang yang
sedang mengalami viremia, maupun secara tidak langsung setelah melalui inkubasi dalam
tubuhnya, yakni selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada anak diperlukan waktu
4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam
tubuh. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan berkembaang biak dalam tubuhnya, maka
nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada
manusia, penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara
5- 7 hari. (3),(9),(21),(23),(30)
Hepar merupakan salah satu target organ virus dengue. Saat hepatosit terinfeksi
oleh virus dengue, virus ini akan mengganggu sintesis RNA dan protein sel, yang kemudian
akan mengakibatkan cedera secara langsung pada hepatosit. Virus dengue juga dapat
mengakibatkan cedera sel secara tidak langsung melalui gen virus itu sendiri, reaksi inflamasi
dan respon imun host. Selain hepatosit, dengue juga menyerang sel lain, seperti sel darah
merah, sel otot, sel otot jantung, ginjal dan otak. Respon imun yang terjadi pada infeksi virus
dengue yang dapat menyebabkan cedera sel adalah respon imun seluler dan humoral. Reaksi
pertahanan tubuh non spesifik juga dapat mengakibatkan cedera pada hepatosit.(1),(3),(21),(28),(30)
Untuk menginfeksi sel, virus dengue harus menempel pada permukaan sel host.
Proses perlekatan ini tergantung dari host range dan tissue tropism. Protein envelope virus
dengue merupakan protein pelekat virus. Yang kemudian diikuti dengan penetrasi, dan
internalisasi terjadi dengan endositosis dan fusi secara langsung. DC-spesific ICAM-3
grabbing non integrin (DC-SIGN) digunakan oleh virus untuk masuk ke dalam monocyte
derived dendritic cells; Receptor Fcγ digunakan pada infeksi sekunder untuk memasuki
monosit. dan monocyte and macrophage complement receptor (CR3) memediasi IgM-
dependent yang memicu replikasi flavivirus.
Beberapa virus dapat berikatan dengan heparin sulfat (HS) yang merupakan
glycosaminoglycan yang terdapat pada sel. HS dapar bekerja langsung pada reseptor virus
atau sebagai low-affinity virus-binding site, yang membuat virus terakumulasi sebelum
dipindahkan ke high affinity receptor. HS dilaporkan, bahwa mempunyai peran dalam
masuknya keempat serotype virus pada sel HepG2. Bagaimanapun, derajat internalisasi
tergantung dari serotype virus dengue.
Saat ini, mekanisme yang tepat tentang interaksi (antara protein yang
memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel) antara sel hepatosit dan virus dengue belum
diketahui. Glucose regulated protein 78 (GRP-78) telah dilaporkan, digunakan oleh DEN-2
untuk jalan masuknya virus ke dalam HepG2 (human hepatoblastoma cell line), sedangakn
DEN-1 menggunakan 37/67 high affinity laminin receptor untuk memasuki sel hati. Laminin
receptor binding muncul pada interaksi yang berhubungan dengan HS.
Terjadinya infeksi pada sel oleh karena virus ditentukan oleh 2 faktor yaitu
kemampuan virus dalam memasuki sel dan faktor antara sel yang
memperbolehkan(permissive) virus untuk bereplikasi. Pada infeksi virus dengue, terjadi
modulasi serotype dan strain virus dan tipe sel yang memperbolehkan virus masuk ke dalam
sel. Sel HepG2 menunjukkan pengaruhnya terhadap fisiologi sel, dimana sel pada fase G2
pada siklus sel memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi dan tingkat produksi
virus yang lebih tinggi dalam setiap sel.
Masih dalam penelitian, ikatan sel HepG2 dengan DEN-1 dan DEN-2, ditemukan
non saturable, yang berhubungan dengan Huh7 cells. Ini menunjukkan terdapat tingkat
kerjasama antara ikatan virus dengue dengan sel hati. Ikatan ini akan memfasilitasi ikatan
partikel virus lainnya, sehingga memudahkan partikel yang berperan untuk diikat. Proses ini
juga disertai dengan perubahan pada ikatan molekul permukaan sel.
Setelah virus dengue berhasil memasuki sel hati dan bereplikasi di dalam sel hati,
dengan demikian sintesis protein sel akan terganggu dan sel tidak menjadi utuh lagi atau
sel ,dalam hal ini, mengalami cedera.
Pada infeksi dengue, dapat terjadi apoptosis pada hati baik secara in vivo maupun in
vitro. Councilman bodies merupakan sel hati dimana telah terjadi apoptosis. Aktivasi faktor
transkripsi NF-KB berperan dalam proses apoptosis.
Beberapa mekanisme dapat terjadi pada induksi apoptosis sel oleh virus dengue, yaitu
cytopathic effect (CPE) terhadap virus, disfungsi mitokondrial karena hipoksia dan pengaruh
respon imun humoral dan seluler pada hati. Peningkatan level stress reticulum endoplasmic
merupakan salah satu faktor yang menginduksi apoptosis. Baru-baru ini, diketahui virus
dengue menginduksi ekspresi TRAIL (tumor necrosis factor-relates apoptosis-inducing
ligand). Infeksi DEN-2 telah diketahui merupakan penyebab dari aktivasi promoter TRAIL,
dimana inhibitor proteosome dan antibody TRAIL dapat menghambat DEN-2 yang
menginduksi apoptosis. Bagaimanapun proses apoptosis terjadi, akhirnya akan mengarah
pada cedera sel, yang pada kasus ini adalah hepatosit.
Mekanisme immunopatologi
Respon imun host terhadap infeksi dengue dapat berupa bawaan (innate) dan
adaptive. Respon imun innate terpicu secara cepat dan berperan sebagai barisan pertama
sampai respon imun adaptif spesifik terbentuk dan berperan dalam melawan infeksi virus ini.
Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktifitas netralisasi yang
mengenali protein E dan monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus
penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui
aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan
penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap
serotip virus yang sama tersebut, tetapi apabila terjadi antibodi yang non-netralisasi yang
memiliki sifat memacu replikasi virus dan keadaan penderita menjadi parah; hal ini terjadi
apabila epitop virus yang masuk tidak sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospes.
Antibody dependent enhancement (ADE) menjelaskan infeksi sekunder dengan
serotype virus dengue yang heterolog dapat secara signifikan meningkatkan resiko terjadinya
DSS/DHF. Selama infeksi dengue sekunder, antibody non-neutralizing membentuk kompleks
dengan virus. Hipotesis virulensi virus berdasarkan pengamatan bahwa beberapa virus
dengue mempunyai potensial epidemic yang lebih besar. Strain virulensi ini berreplikasi lebih
cepat dan produksi virus lebih banyak.
Respon sel T CD4+ dan CD8+ telah diketahui mempunyai peran dalam klirens
viremia dengue akut. Pada infeksi primer dengue, spesifik serotype dan serotype cross
reractive memory T cells terbentuk. Pada infeksi sekunder, terhadap serotype yang berbeda,
sebagian besar serotype cross reractive memory CD4+ and CD8+ T cells melawan infeksi
dengan cara mengeluarkan sitokin.
Saat infeksi virus dengue, monosit, sel B, sel T dan sel mast memproduksi sitokin
dalam jumlah yang banyak. Konsentrasi serum TNFα, IL-2, IL-6 dan IFN γ mencapai puncak
pada 3 hari pertama, sementara IL-10, IL-5, dan IL-4 muncul kemudian. Telah diketahui
bahwa respon Th-2 (IL-4, IL-5) terdapat pada DSS.DHF, dimana Th1(IFNγ) tampak
melindungi sel dari infeksi yang berat.
Dengue virus-spesific CD4+ and CD8+ T cells dapat menyebabkan kerusakan pada
sel dengan sitolitik secara langsung atau melalaui efek sitokin. Sitokin yang diproduksi
selama respon imun berlangsung mempunyai efek yang merugikan yaitu memicu deposisi
eksesif matriks extraselular.
Gagnon et al, 1999 telah mengemukakan bahwa CD4+ cytotoxic T cells (CTLs)
mungkin memediasi kerusakan hati. CD4+ T cell memdiasi cytotoxic dengan 2 cara yaitu
melepaskan perforin dan granenzym dari CTL yang teraktivasi atau interaksi dari ligand Fas
pada sel T denga Fas yang ada pada sel target.
Saat ini, peran respon imun terhadap kerusakan sel hati belum dketahui secara jelas.
Telah diketahui bahwa Tsel T spesifik dapat mengikat reseptor spesifik sel yang terinfeksi
virus dengue yang kemudian menginduksi apoptosis. Ini adalah mungkin bahwa sebagian sel
T yang memasuki sel hati dapat menyebabkan kerusakan sel hati dan menginduksi apoptosis
sel hati. Sel T juga memproduksi sitokin dan chemokine dan menyebabkan kerusakan organ
target dalam kasus ini adalah hati.
2.4.2 Virus lain
Virus lain yang dapat mengakibatkan cedera pada hepatosit diantaranya adalah
virus hepatitis A,B,C, E, adenovirus, herpes virus (Epstein-Barr virus, cytomegalovirus
[CMV], and herpes simplex virus), parvovirus, adenovirus, and severe acute respiratory
syndrome (SARS). Mekanisme cedera sel yang terjadi pada infeksi virus di atas sama dengan
virus dengue dan virus-virus lainnya, yang mungkin membedakan, adalah respon imun
seluler terhadap infeksi virus ini terlihat lebih menonjol. (8),(11),(12),(14),(15),(19),(29)
BAB III
PEMBAHASAN
SGPT adalah enzim yang terdapat pada sel darah merah, otot jantung, otot skelet,
ginjal dan otak. Sedangkan SGOT ditemukan pada hati. Kedua enzim ini dapat meningkat
karena adanya gangguan fungsi hati, dan penanda kerusakan sel lainnya, yang salah satu
penyebabnya adalah proses infeksi yang disebabkan oleh virus.
Virus adalah suatu kompleks yang terdiri dari protein dan genom RNA dan DNA.
Virus tidak mempunyai struktur seluler dan proses metabolic sendiri, bereplikasi dengan
memasuki sel yang hidup berdasarkan informasi genom virus itu sendiri.
Penyebab kerusakan dan kematian sel oleh infeksi virus secara langsung
diantaranya(1) penyimpangan energi sel (2) sintesis makomolekular sel terhenti (3) kompetisi
mRNA virus terhadap ribosom (4) kompetisi viral promoter dan transcriptional enhancers
pada faktor yang mempengaruhi transkripsi sel yaitu RNA polymerase, inhibisi pertahanan
dengan interferon. Sedangkan secara tidak langsung penyebab kerusakan sel adalah genome
virus, induksi mutasi genome host, inflamasi, dan respon imun host.
Cedera sel dapat disebabkan oleh infeksi virus, diantaranya adalah virus dengue.
Hepar merupakan salah satu target organ virus dengue. Saat hepatosit terinfeksi oleh virus
dengue, virus ini akan mengganggu sintesis RNA dan protein sel, yang kemudian akan
mengakibatkan cedera secara langsung pada hepatosit. Virus dengue juga dapat
mengakibatkan cedera sel secara tidak langsung melalui gen virus itu sendiri, reaksi inflamasi
dan respon imun host. Selain hepatosit, dengue juga menyerang sel lain, seperti sel darah
merah, sel otot, sel otot jantung, ginjal dan otak Reaksi pertahanan tubuh juga ikut berperan
untuk terjadinya cedera sel dan kematian sel pada infeksi virus. Saat terjadi infeksi virus,
demam dapat terjadi karena zat pirogen endogen seperti interleukin 1 dan 6 , interferon,
prostaglandin dan tumor necrosis factor, yang merupakan produksi dari sel T dan Natural
Killer cells, sel dendritik, makrofag dan sel B. Interferon juga dapat memodulasi respon imun
host terhadap virus. Respon imun yang terjadi pada infeksi virus dengue yang dapat
menyebabkan cedera sel adalah respon imun seluler dan humoral. Reaksi pertahanan tubuh
non spesifik juga dapat mengakibatkan cedera pada hepatosit.
Untuk menginfeksi sel, virus dengue harus menempel pada permukaan sel host.
Proses perlekatan ini tergantung dari host range dan tissue tropism. Protein envelope virus
dengue merupakan protein pelekat virus. Yang kemudian diikuti dengan penetrasi, dan
internalisasi terjadi dengan endositosis dan fusi secara langsung. DC-spesific ICAM-3
grabbing non integrin (DC-SIGN) digunakan oleh virus untuk masuk ke dalam monocyte
derived dendritic cells; Receptor Fcγ digunakan pada infeksi sekunder untuk memasuki
monosit. dan monocyte and macrophage complement receptor (CR3) memediasi IgM-
dependent yang memicu replikasi flavivirus.
Beberapa virus dapat berikatan dengan heparin sulfat (HS) yang merupakan
glycosaminoglycan yang terdapat pada sel. HS dapar bekerja langsung pada reseptor virus
atau sebagai low-affinity virus-binding site, yang membuat virus terakumulasi sebelum
dipindahkan ke high affinity receptor. HS dilaporkan, bahwa mempunyai peran dalam
masuknya keempat serotype virus pada sel HepG2. Bagaimanapun, derajat internalisasi
tergantung dari serotype virus dengue.
Saat ini, mekanisme yang tepat tentang interaksi (antara protein yang memfasilitasi
masuknya virus ke dalam sel) antara sel hepatosit dan virus dengue belum diketahui. Glucose
regulated protein 78 (GRP-78) telah dilaporkan, digunakan oleh DEN-2 untuk jalan
masuknya virus ke dalam HepG2 (human hepatoblastoma cell line), sedangakn DEN-1
menggunakan 37/67 high affinity laminin receptor untuk memasuki sel hati. Laminin
receptor binding muncul pada interaksi yang berhubungan dengan HS.
Terjadinya infeksi pada sel oleh karena virus ditentukan oleh 2 faktor yaitu
kemampuan virus dalam memasuki sel dan faktor antara sel yang
memperbolehkan(permissive) virus untuk bereplikasi. Pada infeksi virus dengue, terjadi
modulasi serotype dan strain virus dan tipe sel yang memperbolehkan virus masuk ke dalam
sel. Sel HepG2 menunjukkan pengaruhnya terhadap fisiologi sel, dimana sel pada fase G2
pada siklus sel memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi dan tingkat produksi
virus yang lebih tinggi dalam setiap sel.
Masih dalam penelitian, ikatan sel HepG2 dengan DEN-1 dan DEN-2, ditemukan non
saturable, yang berhubungan dengan Huh7 cells. Ini menunjukkan terdapat tingkat kerjasama
antara ikatan virus dengue dengan sel hati. Ikatan ini akan memfasilitasi ikatan partikel virus
lainnya, sehingga memudahkan partikel yang berperan untuk diikat. Proses ini juga disertai
dengan perubahan pada ikatan molekul permukaan sel.
Setelah virus dengue berhasil memasuki sel hati dan bereplikasi di dalam sel hati,
dengan demikian sintesis protein sel akan terganggu dan sel tidak menjadi utuh lagi atau
sel ,dalam hal ini, mengalami cedera.
Pada infeksi dengue, dapat terjadi apoptosis pada hati baik secara in vivo maupun in
vitro. Councilman bodies merupakan sel hati dimana telah terjadi apoptosis. Aktivasi faktor
transkripsi NF-KB berperan dalam proses apoptosis.
Beberapa mekanisme dapat terjadi pada induksi apoptosis sel oleh virus dengue, yaitu
cytopathic effect (CPE) terhadap virus, disfungsi mitokondrial karena hipoksia dan pengaruh
respon imun humoral dan seluler pada hati. Peningkatan level stress reticulum endoplasmic
merupakan salah satu faktor yang menginduksi apoptosis. Baru-baru ini, diketahui virus
dengue menginduksi ekspresi TRAIL (tumor necrosis factor-relates apoptosis-inducing
ligand). Infeksi DEN-2 telah diketahui merupakan penyebab dari aktivasi promoter TRAIL,
dimana inhibitor proteosome dan antibody TRAIL dapat menghambat DEN-2 yang
menginduksi apoptosis. Bagaimanapun proses apoptosis terjadi, akhirnya akan mengarah
pada cedera sel, yang pada kasus ini adalah hepatosit.
Respon imun host terhadap infeksi dengue dapat berupa bawaan (innate) dan
adaptive. Respon imun innate terpicu secara cepat dan berperan sebagai barisan pertama
sampai respon imun adaptif spesifik terbentuk dan berperan dalam melawan infeksi virus ini.
Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktifitas netralisasi yang
mengenali protein E dan monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus
penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui
aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan
penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap
serotip virus yang sama tersebut, tetapi apabila terjadi antibodi yang non-netralisasi yang
memiliki sifat memacu replikasi virus dan keadaan penderita menjadi parah; hal ini terjadi
apabila epitop virus yang masuk tidak sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospes.
Antibody dependent enhancement (ADE) menjelaskan infeksi sekunder dengan
serotype virus dengue yang heterolog dapat secara signifikan meningkatkan resiko terjadinya
DSS/DHF. Selama infeksi dengue sekunder, antibody non-neutralizing membentuk kompleks
dengan virus. Hipotesis virulensi virus berdasarkan pengamatan bahwa beberapa virus
dengue mempunyai potensial epidemic yang lebih besar. Strain virulensi ini berreplikasi lebih
cepat dan produksi virus lebih banyak.
Respon sel T CD4+ dan CD8+ telah diketahui mempunyai peran dalam klirens
viremia dengue akut. Pada infeksi primer dengue, spesifik serotype dan serotype cross
reractive memory T cells terbentuk. Pada infeksi sekunder, terhadap serotype yang berbeda,
sebagian besar serotype cross reractive memory CD4+ and CD8+ T cells melawan infeksi
dengan cara mengeluarkan sitokin.
Saat infeksi virus dengue, monosit, sel B, sel T dan sel mast memproduksi sitokin
dalam jumlah yang banyak. Konsentrasi serum TNFα, IL-2, IL-6 dan IFN γ mencapai puncak
pada 3 hari pertama, sementara IL-10, IL-5, dan IL-4 muncul kemudian. Telah diketahui
bahwa respon Th-2 (IL-4, IL-5) terdapat pada DSS.DHF, dimana Th1(IFNγ) tampak
melindungi sel dari infeksi yang berat.
Dengue virus-spesific CD4+ and CD8+ T cells dapat menyebabkan kerusakan pada
sel dengan sitolitik secara langsung atau melalaui efek sitokin. Sitokin yang diproduksi
selama respon imun berlangsung mempunyai efek yang merugikan yaitu memicu deposisi
eksesif matriks extraselular.
Gagnon et al, 1999 telah mengemukakan bahwa CD4+ cytotoxic T cells (CTLs)
mungkin memediasi kerusakan hati. CD4+ T cell memdiasi cytotoxic dengan 2 cara yaitu
melepaskan perforin dan granenzym dari CTL yang teraktivasi atau interaksi dari ligand Fas
pada sel T denga Fas yang ada pada sel target.
Saat ini, peran respon imun terhadap kerusakan sel hati belum dketahui secara jelas.
Telah diketahui bahwa Tsel T spesifik dapat mengikat reseptor spesifik sel yang terinfeksi
virus dengue yang kemudian menginduksi apoptosis. Ini adalah mungkin bahwa sebagian sel
T yang memasuki sel hati dapat menyebabkan kerusakan sel hati dan menginduksi apoptosis
sel hati. Sel T juga memproduksi sitokin dan chemokine dan menyebabkan kerusakan organ
target dalam kasus ini adalah hati.
Virus lain yang dapat mengakibatkan cedera pada hepatosit diantaranya adalah virus
hepatitis A, B, C, E, adenovirus, herpes virus (Epstein-Barr virus, cytomegalovirus [CMV],
and herpes simplex virus), parvovirus, adenovirus, and severe acute respiratory syndrome
(SARS). Mekanisme cedera sel yang terjadi pada infeksi virus di atas sama dengan virus
dengue dan virus-virus lainnya, yang mungkin membedakan, adalah respon imun seluler
terhadap infeksi virus ini terlihat lebih menonjol.
Pada cedera sel, timbul proses-proses yang dapat memberikan manifestasi penyakit
pada tingkat seluler. Salah satu manifestasi penyakit pada tingkat seluler adalah adalah
kebocoran enzim. Enzim yang dihasilkan oleh hepatosit yaitu Alanine Aminotransferase
(ALT) atau Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), dan Aspartate Aminotransferase
(AST) atau Serum Glutamic Oksaloasetat Transaminase (SGOT) akan mengalami kebocoran
dan akan keluar dari hepatosit dan ikut dalam sirkulasi sitemik, dimana di sirkulasi sitemik
ditemukan peningkatan kadar enzim tersebut disebabkan oleh cedera sel. Dengan kata lain
peningkatan enzim tersebut dapat menjadi sebuah tanda yang menunjukkan adanya cedera
pada hepatosit yang disebabkan oleh infeksi virus.(4),(10),(13),(26),(27),(31)
BAB IV
KESIMPULAN
Peningkatan enzim hepar yaitu Alanine Aminotransferase (ALT) atau Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), dan Aspartate Aminotransferase (AST) atau Serum
Glutamic Oksaloasetat Transaminase (SGOT), disebabkan adanya kebocoran enzim yang
merupakan salah satu manifestasi penyakit dari cedera hepatosit (dan sel-sel lain yang
menghasilkan SGPT) oleh infeksi virus yang disebabkan baik secara langsung melalui (1)
penyimpangan energi sel (2) sintesis makomolekular sel terhenti (3) kompetisi mRNA virus
terhadap ribosom (4) kompetisi viral promoter dan transcriptional enhancers pada faktor
yang mempengaruhi transkripsi sel yaitu RNA polymerase, inhibisi pertahanan dengan
interferon, dan secara tidak langsung penyebab kerusakan sel adalah genome virus, induksi
mutasi genome host, inflamasi, dan respon imun host, oleh infeksi virus baik dengue maupun
virus lainnya.