6. BAB IIrepository.poltekkes-tjk.ac.id/448/3/2.pdf · 2. Perilaku sehat adalah perilaku yang...
Transcript of 6. BAB IIrepository.poltekkes-tjk.ac.id/448/3/2.pdf · 2. Perilaku sehat adalah perilaku yang...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar
1. Kesehatan jiwa
Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 18 tahun 2014, adalah
kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, dan
sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya. Sedangkan menurut American Nurse Associationkeperawatan jiwa
merupakan satu bidang spesialistik praktik keperawatan yang menerapkan teori
perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik
sebagai kiatnya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah
suatu kondisi perasaan sejahtera secara subyektif, suatu penilaian diri tentang
perasaan mencakup aspek konsep diri, kebugaran dan kemampuan pengendalian
diri.Indikator mengenai keadaan sehat mental/ psikologis/ jiwa yang minimal
adalah individu tidak merasa tertekan atau depresi.
Menurut Word Health Organization, kesehatan jiwa bukan hanya tidak
ada gangguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yang positif
yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang
mencerminkan kedewasaan kepribadiannya.
Kriteria sehat jiwa meliputi:
a. Sikap positif terhadap diri sendiri
Individu dapat menerima dirinya secara utuh, menyadari adanya kelebihan
dan kekurangan dalam diri dan menyikapi kekurangan atau kelemahan
tersebut dengan baik.
b. Tumbuh kembang dan beraktualisasi diri
Individu mengalami perubahan kearah yang normal sesuai dengan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan dan dapat mengekspresikan potensi dirinya
7
c. Integrasi
Individu menyadari bahwa semua aspek yang dimilikinya adalah satu
kesatuan yang utuh dan mampu bertahan terhadap stres dan dapat mengatasi
kecemasannya.
d. Persepsi sesuai dengan kenyataan
Pemahaman individu terhadap stimulus eksternal sesuai dengan kenyataan
yang ada. Persepsi individu dapat berubah jika ada informasi baru dan
memiliki empati terhadap perasaan dan sikap orang lain.
e. Otonomi
Individu dapat mengambil keputusan secara bertanggung jawab dan dapat
mengatur kebutuhan yang menyangkut dirinya tanpa bergantung pada orang
lain.
2. Prinsip keperawatan kesehatan jiwa
Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan profesional yang
didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang
siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang maladaftif yang disebabkan
oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi
keperawatan jiwa melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan,
mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa
individu, keluarga dan masyarakat. Prinsip keperawatan jiwa berdasarkan pada
paradigma kesehatan yang dibagi menjadi 4 komponen yaitu manusia,
lingkungan, kesehatan dan keperawatan.
a. Manusia
1. Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik
2. Setiap individu mempunyai kebutuhan dasar yang sama dan penting.
3. Setiap individu mempunyai harga diri dan martabat .
4. Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai
aktualisasi diri.
5. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk berubah dan keinginan
mencapai tujuan hidup.
8
6. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk berubah dan kemauan untuk
mengejar tujuan.
7. Setiap individu mempunyai kapasitas koping yang berbeda-beda.
8. Setiap individu mempunyai hak untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan dirinya.
9. Semua perilaku individu bermakna dimana perilaku tersebut meliputi
persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.
b. Lingkungan
1. Lingkungan adalah faktor eksternal yang berpengaruh terhadap
perkembangan manusia, mencakup antara lain lingkungan sosial, status
ekonomi dan kesehatan.
2. Perawat bertanggung jawab dalam memelihara tatanan pengobatan sebagai
bagian dari lingkungan fisik dan sosial, yang berhubungan dengan
lingkungan personal.
3. Terapi lingkungan dapat membantu perawat dalam menjaga pola pertahanan
tubuh terhadap penyakit dan meningkatkan pola interaksi sehat.
4. Perawat berperan sebagai fasilitator interaksi lingkungan kesehatan.
c. Kesehatan
1. Sehat adalah simbol perkembangan kepribadian dan proses kehidupan
manusia yang berlangsung terus menerus menuju kehidupan yang kreatif
dan konstruktif,
2. Perilaku sehat adalah perilaku yang memfasilitasi pemenuhan kebutuhan,
kepuasan, kesadaran diri dan integritas pengalaman yang berarti, misalnya
pengalaman sakit.
3. Menurut rentang sehat-sakit atau rentang ansietas manusia sehat diartikan
sebagai manusia yang tidak memiliki ansietas.
4. Intervensi keperawatan berfokus kepada proses membina dan
mempertahankan hubungan saling percaya guna memenuhi kebutuhan klien.
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
menunjukkan salah satu kebutuhan dasar manusia oleh karena itu setiap
9
individu mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama dalam
pelayanan kesehatan.
d. Keperawatan
Keperawatan merupakan satu bentuk pelayanan atau asuhan yang
bersifat humanistik, profesional, dan holistik berdasarlan ilmu dan kiat,
memiliki standart asuhan dan menggunakan kode etik, serta dilandasi oleh
profesionalisme yang mandiri dan kolaborasi. Konsep keperawatan adalah
suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat profesional dalam memenuhi
kebutuhan dasar manusia yang dapat ditujukan kepada individu, keluarga atau
masyarakat dalam rentang sehat-sakit (A.Aziz, 2004dalam Kelliat,2012).
Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan
menggunakan diri sendiri sebagai alat dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada klien. Strategi dalam pemberian asuhan keperawatan jiwa adalah
menggunakan diri secara terapeutik dan interaksi interpersonal dengan
menyadari diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Kesadaran ini merupakan
dasar untuk perubahan sikap dan perilaku klien.Perawat memberikan stimulus
yang konstruktif pada klien dan membantu klien berespons secara adaptif
dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya.
10
B. Tinjauan Konsep Asuhan Keperawatan
1. Konsep Diri
Pengertian Konsep Diri :
1. Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalalm
berhubungan dengan orang lain. ( Stuart dan Sundeen, 1998 ).
2. Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal,
emosional, intelektual, sosial dan spiritual ( Beck, Willian dan Rawlin, 1986 )
Menurut Stuart dan Sundeen, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan konsep diri. Faktor – faktor tersebut terdiri dari :
a. Teori perkembangan
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap
sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain.
Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari
lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui
bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya
dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri
sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang
nyata.
b. Significant Other ( orang yang terpenting atau yang terdekat )
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang
lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan
diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat
dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat
dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup,
pengaruh budaya dan sosialisasi.
c. Self Perception ( persepsi diri sendiri )
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannnya, serta
persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat
dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep
diri merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu
11
dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif, yang dapat dilihat
dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan
lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan
individu dan sosial yang terganggu.
Rentang Konsep Diri
Menurut Stuart dan Sudden, Rentang konsep diri mulai dari respon Adaptif
sampai dengan respon Maladaptif yang terdiri dari :
1. Respon Adaptif
2. Respon Maladaptif
Aktualisasi Diri → Konsep Diri Positif → Harga Diri Rendah Kekacauan
Identitas → Depersonalisasi
a. Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman yang nyata yang sukses dan diterima.
b. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif apabila individu memiliki pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri.
c. Harga Diri Rendah
Harga diri rendah adalah transisi antara respon konsep diri adaptif dengan
respon konsep diri maladaptif.
d. Kekacauan Identitas
Kekacauan identitas adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek –
aspek identitas masa kanak – kanak ke dalam kematangan aspek psikososial
kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.
e. Depersonalisasi
Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.
12
KOMPONEN KONSEP DIRI
a. Gambaran Diri / Citra Tubuh ( Body Image )
Gambaran diri adalah sikap atau cara pandang seseorang terhadap tubuhnya
secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaaan tentang
ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang
secara berkesinambungan di modifikasi dengan pengalaman baru setiap individu.
( Stuart dan Sundeen, 1998 )
Gambaran diri ( body image ) berhubungan dengan kepribadian. Cara individu
memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya.
Pandangan yang realistis terhadap dirinya menerima dan mengukur bagian
tubuhnya akan merasa lebih aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan
meningkatkan harga diri. ( Keliat, 1992 )
Pada anak usia sekolah mempunyai perbedaan citra tubuh dengan seorang bayi,
salah satu perbedaan yang menyolok adalah kemampuan untuk berjalan, dimana
hal ini bergantung pada kematangan fisik. Pada masa remaja dengan adanya
perubahan hormonal akan mempengaruhi citra tubuhnya misalnya menopause.
Pada masa usia lanjut sebagai akibat dari proses penuaan terjadi perubahan
penurunan penglihatan, pendengaran, dan mobilitas sehingga hal ini dapat
mempengaruhi citra tubuh seorang lansia.
b. Ideal Diri ( Self Ideal )
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku
berdasarkan standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu. ( Stuart dan
Sundeen, 1998 ).
Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau
sejumlah aspirasi, cita – cita, nilai – nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan
mewujudkan cita – cita dan harapan, nilai – nilai yang ingin dicapai berdasarkan
norma sosial ( keluarga, budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan.
c. Harga Diri ( Self esteem )
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri.
Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri
13
sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan,
tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga. (Stuart dan Sundeen,
1998).
d. Peran ( Role Performance )
Peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial
berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran yang
ditetapkan adalah peran dimana seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang
diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu ( Stuart dan
Sundeen, 1998).
Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari
seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat ( Keliat, 1992 ).
Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan
dan cocok dengan ideal diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stressor
terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta
posisi yang tidak mungkin dilaksanakan ( Keliat, 1992 ).
e. Identitas ( Identity )
Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung
jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu.
Mempunyai konotasi otonomi dan meliputi persepsi seksualitas seseorang.
Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan seterusnya berlangsung
sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama pada masa remaja (Stuart dan
Sundeen, 1998).
Pada masa anak- anak , untuk membentuk identitas dirinya, anak harus mampu
membawa semua perilaku yang di pelajari kedalam keutuhan yang koheren ,
konsisten dan unik ( Erikson, 1963 ). Rasa identitas ini secara kontiniu timbul dan
di pengaruhi oleh situasi sepanjang hidup.
Pada masa remaja, banyak terjadi perubahan fisik, emosional, kognitif dan
social. Dimana dalam masa ini apabila tidak dapt memenuhi harapan dorongan
diri pribadi dan social yang membantu mendefinisikan tentang diri maka remaja
ini dapat mengalami kebingungan identitas. Seseorang dengan rasa identitas yang
kuat akan merasa terintegrasi bukan terbelah ( Ericson, 1963).
14
KEPRIBADIAN YANG SEHAT ( HEALTHY PERSONALITY )
Kepribadian yang sehat adalah yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Stuart dan
Sundeen, 1998):
1. Konsep diri yang positif
2. Gambaran diri yang tepat dan positif
3. Ideal diri yang realistis
4. Harga diri yang tinggi
5. Penampilan diri yang memuaskan
6. Identitas yang jelas
Menurut Elizabeth (Syamsu Yusuf, 2003 ), kepribadian yang sehat adalah :
1. Mampu menilai diri sendiri secara realisitik; mampu menilai diri apa adanya
tentang kelebihan dan kekurangannya, secara fisik, pengetahuan, keterampilan
dan sebagainya.
2. Mampu menilai situasi secara realistik; dapat menghadapi situasi atau kondisi
kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerima secara wajar,
tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu yang sempurna.
3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik; dapat menilai
keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional, tidak menjadi
sombong, angkuh atau mengalami superiority complex, apabila memperoleh
prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika mengalami kegagalan, dia
tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistik.
4. Menerima tanggung jawab; dia mempunyai keyakinan terhadap
kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang
dihadapinya.
5. Kemandirian; memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir, dan bertindak,
mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta
menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
6. Dapat mengontrol emosi; merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi
situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau konstruktif , tidak
destruktif (merusak).
15
7. Berorientasi tujuan; dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas
dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak
atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara
mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan dan keterampilan.
8. Berorientasi keluar (ekstrovert); bersifat respek, empati terhadap orang lain,
memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan
bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti
dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan
dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan mengorbankan
orang lain, karena kekecewaan dirinya.
a. Penerimaan sosial; mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan
memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.
b. Memiliki filsafat hidup; mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup
yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
c. Berbahagia; situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang didukung
oleh faktor-faktor achievement (prestasi) acceptance (penerimaan), dan
affection (kasih sayang)
Menurut Elizabeth (Syamsu Yusuf, 2003 ), kepribadian yang tidak sehat adalah :
1. Mudah marah (tersinggung)
2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan
3. Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
4. Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih muda
atau terhadap binatang
5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun
sudah diperingati atau dihukum
6. Kebiasaan berbohong
7. Hiperaktif
8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
9. Senang mengkritik/ mencemooh orang lain
10. Sulit tidur
11. Kurang memiliki rasa tanggung jawab
16
12. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan faktor yang
bersifat organis)
13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama
14. Pesimis dalam menghadapi kehidupan
15. Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan
PERILAKU KLIEN DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI
1) Perilaku yang adaptif :
a. Syok Psikologis
Merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat terjadi pada
saat pertama tindakan. Syok psikologis digunakan sebagai reaksi terhadap
ansietas. Mekanisme koping yang digunakan seperti mengingkari, menolak dan
proyeksi untuk mempertahankan diri.
b. Menarik diri
Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan, tetapi karena tidak
mungkin maka klien lari atau menghindar secara emosional. Klien menjadi
tergantung, pasif, tidak ada motivasi dan keinginan untuk berperan dalam
perawatannya.
c. Penerimaan atau pengakuan secara bertahap
Setelah klien sadar akan kenyataan, maka respon kehilangan atau berduka
muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan gambaran diri
yang baru.
2) Perilaku yang maladaptif
a. Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah.
b. Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh.
c. Mengurangi kontak sosial sehingga terjadi menarik diri.
d. Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh.
e. Preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang.
f. Mengungkapkan keputusasaan.
g. Mengungkapkan ketakutan ditolak.
17
h. Depersonalisasi.
i. Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh.
FAKTOR PREDISPOSISI, PRESIPITASI, PENILAIAN TERHADAP
STRESSOR, SUMBER KOPING DAN MEKANISME KOPING KLIEN
DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI
1. Faktor Predisposisi
Faktor – faktor yang mempengaruhi gambaran diri, adalah munculnya stressor
yang dapat mengganggu integrasi gambaran diri. Stressor dapat berupa :
a. Operasi
Mastektomi, amputasi, luka operasi yang semuanya mengubah gambaran
diri. Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik atau protesa.
b. Kegagalan fungsi tubuh
Hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan depersonalisasi yaitu tidak
mengakui atau asing terhadap bagian tubuh, sering berkaitan dengan
fungsi syaraf.
c. Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi tubuh.
Sering terjadi pada klien gangguan jiwa. Klien mempersiapkan
penampilan dan pergerakan tubuh sangat berbeda dengan kenyataan.
d. Tergantung pada mesin.
Klien intensife care yang memandang immobilisasi sebagai tantangan,
akibatnya sukar mendapatkan informasi umpan balik. Penggunaan alat –
alat intensife care dianggap sebagai gangguan.
e. Perubahan tubuh
Berkaitan dengan tumbuh kembang, dimana seseorang akan merasakan
perubahan pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia. Tidak jarang
seseorang menanggapinya dengan respon negatif dan positif.
Ketidakpuasan juga dirasakan seseorang jika didapati perubahan tubuh
yang tidak ideal.
18
f. Umpan balik interpersonal yang negatif
Adanya tanggapan yang tidak baik berupa celaan, makian sehingga
membuat seseorang menarik diri
g.Standart sosial budaya
Berkaitan dengan kultur sosial budaya yang berbeda pada setiap orang dan
keterbatasannya serta keterbelakangan dari budaya tersebut menyebabkan
pengaruh pada gambaran diri individu, seperti adanya perasaan minder.
1) Faktor – faktor yang mempengaruhi ideal diri ( keliat, 1998 ) :
a. Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas
kemampuannya.
b. Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapk ideal diri.
c. Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang
realistis, keinginan untuk mengklaim diri dari kegagalan, perasaan
cemas dan rendah diri.
d. Kebutuhan yang realistis.
e. Keinginan untuk menghindari kegagalan.
f. Perasaan cemas dan rendah diri.
2) Faktor – faktor yang mempengaruhi harga diri.
Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain, dan ideal diri yang tidak realistik.
a. Perkembangan individu
Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan
orang tua menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan mengakibatkan
anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal untuk mencintai orang
lain.
Pada saat anak berkembang lebih besar, anak mengalami kurangnya
pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting
baginya. Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk
mandiri, memutuskan sendiri akan tanggung jawab terhadap
19
perilakunya. Sikap orang tua yang terlalu mengatur dan mengontrol,
membuat anak merasa tidak berguna.
b. Ideal diri tidak realistis
Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya
hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat standart yang tidak
dapat dicapai, seperti cita – cita yang terlalu tinggi dan tidak realistis.
Yang pada kenyataan tidak dapat dicapai membuat individu
menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya diri akan hilang.
c. Gangguan fisik dan mental
Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri.
d. Sistem keluarga yang tidak berfungsi
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu
membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua memberi umpan
balik yang negatif dan berulang – ulang akan merusak harga diri anak.
Harga diri anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan
masalah tidak adekuat. Akhirnya anak memandang negatif terhadap
pengalaman dan kemampuan di lingkungannya.
e. Pengalaman traumatik yang berulang, misalnya akibat aniaya fisik,
emosi dan seksual.
Penganiayaan yang dialami dapat berupa penganiayaan fisik, emosi,
peperangan, bencana alam, kecelakaan atau perampokan. Individu
merasa tidak mampu mengontrol lingkungan. Respon atau strategi
untuk menghadapi trauma umumnya mengingkari trauma, mengubah
arti trauma, respon yang biasa efektif terganggu. Akibatnya koping
yang biasa berkembang adalah depresi dan denial pada trauma.
3) Faktor – faktor yang mempengaruhi penampilan peran.
Faktor yang mempengaruhi penampilan peran adalah stereotipik
peran seks, tuntutan peran kerja, dan harapan peran kultural.
a. Konflik peran interpersonal.
b. Contoh peran yang tidak adekuat.
c. Kehilangan hubungan yang penting.
20
d. Perubahan peran seksual.
e. Keragu – raguan peran.
f. Perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan
dengan proses menua.
g. Kurangnya kejelasan peran atau pengertian tentang peran.
h. Ketergantungan obat.
i. Kurangnya keterampilan sosial.
j. Perbedaan budaya.
k. Harga diri rendah.
l. Konflik antar peran yang sekaligus di perankan.
4) Faktor – faktor yang mempengaruhi identitas diri.
Faktor yang mempengaruhi identitas personal meliputi ketidak
percayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan
dalam struktur sosial.
2. Faktor Presipitasi
a. Trauma
Penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang
mengancam kehidupan.
b. Ketegangan peran
Adalah stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami individu
dalam peran atau posisi yang diharapkan.
c. Transisi peran perkembangan
Perubahan normative yang berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini
termasuk tahap perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan
norma – norma budaya, nilai – nilai dan tekanan untuk penyesuaian diri.
Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap
perkembangan harus dilalui individu dengan menjelaskan tugas
perkembangan yang berbeda – beda. Hal ini merupakan stressor bagi konsep
diri.
21
d. Transisi peran situasi
Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau
berkurangnya orang yang penting dalam kehidupan individu melalui
kelahiran atau kematian orang yang berarti. Perubahan status menyebabkan
perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik
peran, peran tidak jelas atau peran berlebihan.
e. Transisi peran sehat – sakit
Pergeseran dari keadaaan sehat ke keadaan sakit. Stressor pada tubuh dapat
menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat perubahan konsep diri.
Perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri.
Transisi ini mungkin dicetuskan oleh :
1) Kehilangan bagian tubuh
2) Perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh
3) Perubahan fisik berhubungan dengan tumbuh kembang normal
4) Prosedur medis dan keperawatan.
3.Penilaian Terhadap Stressor
Seorang dengan harga diri rendah memiliki penilaian sendiri terhadap setressor
atau masalah atau penurunan kepercayaan diri yang dimiliki. Kebanyakan dari
mereka memiliki kemampuan berfikir daya ingat serta konsentrsi menurun.
Mereka akan menjadi pelupa dan sering mengeluh sakit kepala. Wajah seseorang
yang stress tampak tegang dahi berkerut, mimik nampak serius, bicara berat, sukar
untuk senyum atau tertawa.
4. Sumber Koping
a. Aktivitas olah raga dan aktivitas lain di luar rumah
b. Hobi dan kerajinan tangan
c. Seni yang ekspresif
d. Kesehatan dan perawatan diri
e. Pekerjaan, vokasi atau posisi
f. Bakat tertentu
g. Kecerdasan
22
h. Imaginasi dan kreativitas
i. Hubungan interpersonal
5. Mekanisme Koping
a. Jangka Pendek
1) Kegiatan yang memberi dukungan sementara ( kompetisi olahraga, kontes
popularitas )
2) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis identitas ( musik
keras, pemakaian obat-obatan, kerja keras, nonton TV terus-menerus )
3) Kegiatan mengganti identitas sementara ( ikut kelompok sosial,
keagamaan, politik )
4) Kegiatan yang mencoba menghilangkan anti identitas sementara (
penyalahgunaan obat )
b. Jangka Panjang
1) Menutup identitas dari orang – orang yang berarti, tanpa mengindahkan
hasrat, aspirasi atau potensi diri sendiri. Terlalu cepat mengadopsi identitas
yang disenangi dari orang lain.
2) Identitas negatif yaitu asumsi yang bertentangan atau tidak wajar dengan
nilai dan harapan masyarakat.
3) Pertahanan Ego
Termasuk penggunaan fantasi, disosiasi, isolasi, proyeksi, pergeseran
(displacement), peretakan (splitting), berbalik marah terhadap diri sendiri,
dan amuk.
a. Fantasi adalah kemampuan menggunakan tanggapan – tanggapan yang
sudah ada (dimiliki) untuk menciptakan tanggapan baru.
b. Disosiasi adalah respon yang tidak sesuai dengan stimulus.
c. Isolasi adalah menghindarkan diri dari interaksi dengan lingkungan luar.
d. Proyeksi adalah kelemahan dan kekurangan dalam diri sendiri dilontarkan
pada orang lain.
23
e. Displacement adalah mengeluarkan perasaan – perasaan yang tertekan
pada orang yang kurang mengancam dan kurang menimbulkan reaksi
emosi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN DIAGNOSA MEDIK YANG
TERKAIT DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI
a. NANDA Nursing Diagnoses : Definition and Clasification, Philadelphia,
1994
1) Penyesuaian, kerusakan
2) Ansietas
3) Gangguan citra tubuh
4) Komunikasi, kerusakan verbal
5) Koping, individu tidak efektik
6) Gangguan penyaluran energi
7) Berduka, disfungsi
8) Keputusasaan
9) Gangguan identitas personal
10) Ketidakberdayaan
11) Penampilan peran, perubahan
12) Defisit perawatn diri
13) Gangguan harga diri
14) Perubahan persepsi sensori
15) Pola seksualitas, perubahan
16) Interaksi sosial, kerusakan
17) Isolasi sosial
18) Distress spiritual
19) Kesejahteraan spiritual, potensial untuk ditingkatkan
20) Proses pikir, perubahan
21) Amuk, risiko terhadap
22) Gangguan harga diri rendah
24
RENCANA KEPERAWATAN, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI
KLIEN DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI
A. Rencana Keperawatan
1) Tujuan Umum
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
2) Tujuan khusus
a. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki.
b. Klien dapat menilai kemampuan diri yang dapat digunakan.
c. Klien dapat membuat rencana sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
d. Klien dapat melaksanakan kegiatan sesuai jadwal secara bertahap.
e. Klien dapat memanfaatkan system pendukung yang ada.
3) Kriterian Evaluasi
a. Klien dapat menyebutkan minimal dua aspek positif fisiknya.
b. Klien dapat menyebutkan minimal dua aspek positif intelektualnya.
c. Klien dapat menyebutkan minimal dua kegiatan yang dapat dilakukan di
rumah dan di rumah sakit.
d. Klien dapat menjelaskan masalah yang dihadapi.
e. Klien dapat menyebutkan koping yang digunakan.
f. Klien dapat menjelaskan keefektifan koping yang digunakan.
g. Klien dapat memutuskan rencana kegiatan yang akan dilakukan secara
bertahap.
h. Klien dapat menyusun jadwal kegiatan selama satu minggu.
i. Klien dapat menunjukan kegiatan yang telah dicontohkan.
j. Klien dapat mendemonstrasikan kembali kegiatan yang telah dicontohkan.
k. Klien dapat menyebutkan manfaat kegiatan yang telah dilakukan.
l. Klien dapat memanfaatkan keluarga.
m. Klien dapat memanfaatkan sarana/fasilitas kesehatan.
n. Klien dapat memanfaatkan sarana yang ada di lingkungan tempat
tinggalnya.
25
2. Konsep Dasar Defisit Perawatan Diri
a. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien ditanyakan terganggu
keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya jika tidak dapat
melakukan perawatan diri. (Depkes 2000)
b.Komponen perawatan diri
Pada konsep management keperawatan pasien yang dirawat inap akan
dikategorikan mengelompokkan ketergantungan pasien menjadi lima kategori,
yaitu:
1. Kategori I: Perawatan Mandiri, yang meliputi; 1) Aktivitas sehari-hari, pada
kategori ini seperti makan dan minum; dapat dilakukan secara mandiri
2) Keadaan umum; baik, seperti klien yang masuk rumah sakit untuk keperluan
pemeriksaan/ chek up atau bedah minor 3) Kebutuhan pendidikan kesehatan
dan dukungan emosi, membutuhkan penjelasan untuk tiap prosedur tindakan,
membutuhkan penjelasan untuk persiapan pulang dan emosi stabil; 4)
Pengobatan dan tindakan; tidak ada, atau hanya pengobatan dan tindakan
sederhana.
2. Kategori II: Perawatan Minimal, yang meliputi; 1) Aktivitas sehari-hari, pada
kategori ini, seperti makanan dan minuman; perlu bantuan dalam persiapannya
dan masih dapat makan sendiri. Merapihkan diri; perlu sedikit bantuan.
Kebutuhan eliminasi; perlu dibantu ke kamar mandi atau menggunakan urinal.
Kenyamanan posisi tubuh; dapat melakukan sendiridengan sedikit bantuan; 2)
Keadaan umum tampak sakit ringan, perlu pemantauan tanda vital; 3)
Kebuutuhan pendidikan kesehatan dan dukungan emosi; membutuhkan waktu
10-15 menit per shift, sedikit bingung atau agitasi, tak terkendali dengan obat;
4) Pengobatan dan tindakan; membutuhkan waktu 20-30 menit per shift, perlu
sering di evaluasi keefektifan pengobatan dan tindakan, perlu observasistatus
mental stiap 2 jam.
26
3. Kategori 3: Perawat Moderat, mrliputi; 1) Aktifitas sehari-hari, pada kategori
ini; seperti makan dan minum; disuapi, masih dapat mengunyah dan menelan.
Menerapikan diri; tidak dapat melakukan sendiri. Kebutuhan eliminasi;
disedakan pisppot/urinal, sering ngompol. Kenyamanan posisi tubuh;
bergantung pada bantuan perawat. 2) Keadaan umum; gejala akut, bisa hilang
timbul, perlu pemantauan fisik dan emosi tiap 2-4 jam. Klien dengan infus,
perlu di pantau stiap 1 jam. 3) Kebutuhan pendidikan kesehatan dan dukungan
emosi; membutuhkan waktu 10-30 menit per shift, gelisah, menolak bantuan,
cukup dikendalikan dengan obat. 4) Pengobatan dan tindakan: membutuhkan
waktu 30-60 menit per shift, perlu sering diawasi terhadap efek samping
pengobatan dan tindakan, perlu observasi status mental stiap 1 jam.
4. Kategori VI: Perawatan Ekstensif (semi total), meliputi; 1) Aktivitas sehari-
hari, pada kategori ini seperti seperti makan dan minum; tidak bisa mengunyah
dan menelan, perlu makan lewt sonde. Merapihkan diri; perlu di urus semua,
diamkan, pentaan rambut dan kebersihan mulut. Kebutuhan eliminasi; sering
ngompol lebih dari 2 kali per shift. Kenyamanan posisi tubuh; perlu dbantu
oleh 2 orang. 2) Keadaan umum; tampak sakit berat, dapat kehilangan cairan
atau darah, gangguan sistem pernafasan akut dan perlu sering dpantau. 3)
Kebutuhan pendidikan kesehatan dan dukungan emosi; membutuhkan waktu
lebih dari 30 menit per shift, gelisah, agitasi dan tidak dapat dikendalikan
dengan obat. 4) Pengobatan dan tindakan membutuhkan waktu kurang dari 60
menit per shift, perlu observasi status mental setiap kurang dari 1 jam.
5. Kategori V: Perawatan Intensif (Total); pada kategori ini, pemenuhan
kebuthan dasar seluruhnya bergantung pada perawat. Keadaan umum; harus di
observasi secara terus menerus. Perlu frekuensi pengobatan dan tindakann yang
lebih sering, maka klien dirawat oleh seorang perawat per shif
Dari ke V kategori, peneliti terfokus dengan kategori II, Perawatan
Minimal, yang meliputi; 1) Aktivitas sehari-hari, pada kategori ini, seperti
makanan dan minuman; perlu bantuan dalam persiapannya dan masih dapat
makan sendiri. Merapihkan diri; perlu sedikit bantuan. Kebutuhan eliminasi;
perlu dibantu ke kamar mandi atau menggunakan urinal. Kenyamanan posisi
27
tubuh; dapat melakukan sendiridengan sedikit bantuan; 2) Keadaan umum
tampak sakit ringan, perlu pemantauan tanda vital; 3) Kebuutuhan pendidikan
kesehatan dan dukungan emosi; membutuhkan waktu 10-15 menit per shift,
sedikit bingung atau agitasi, tak terkendali dengan obat; 4) Pengobatan dan
tindakan; membutuhkan waktu 20-30 menit per shift, perlu sering di evaluasi
keefektifan pengobatan dan tindakan, perlu observasistatus mental stiap 2 jam.
RENTANG RESPONS PERAWATAN DIRI
ADAPTIF MALADAPTIF
Gambar 2.1 Rentang Respon Defisit Perawatan diri (Satrio, 2015)
Ø Pola perawatan diri seimbang, saat kien mendapatkan sensor dan mampu untuk
berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien
masih melakukan perawatan diri.
Ø Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stressor kadang-
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
Ø Tidak melakukan perawatan diri, klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.
Pola perawatan
diri seimbang
Tidak melakukan
perawatan diri
Kadang perawatan diiri
kadang tidak
28
1. Tanda dan Gejala
Menurut Fitria di dalam buku Mukhripah & Iskandar 2012 defisit perawatan
diri memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:
a. Mandi/Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air
mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta
masuk dan keluar kamar mandi.
b. Berpakaian/ Berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian.
Kklien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian
dalam,memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan
kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki,
mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil
pakaian dan mengenakan sepatu.
c. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
mendapatkan makanan, mengambil makanan dan memasukkan kedalam
mulut, menggambil cangkir atau gelas, serta mencerna makanan dengan
aman.
d. Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
kamar kecil, duduk ata bangkit dari closet, memanipulasi pakaian untuk
toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan
menyiram toilet atau kamar kecil.
29
Menurut Depkes 2012, tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah:
a. Fisik
1. Badan bau, pakaian kotor,
2. Rambut dan kulit kotor
3. Kuku panjang dan kotor
4. Gigi kotor disertai mulut bau
5. Penampilan tidak rapi
b. Psikologis
1. Malas, tidak ada inisiatif
2. Menarik diri
3. Merasa tidak berdaya, rendah diri dan merasa hina
c. Sosial
1. Interaksi kurang
2. Kegiatan kurang
3. Tidak mampu berprilaku sesuai norma
4. Cara makan tidak teratur, BAB dan BAK di sembarang tempat, gosok gigi
dan mandi tidak mampu mandiri
Menurut Sulastri (2016) Tanda dan Gejala defisit perawatan diri dapat dinilai dari
pertanyaan pasien tentang kebersihan diri, berdandan dan berpakaian, makan dan
minum, BAB dan BAK dan didukung dengan data hasil observasi
a. Data subjektif
Pasien mengatakan tentang :
1. Malas mandi
2. Tidak mau menyisir rambut
3. Tidak mau menggosok gigi
4. Tidak mau memotong kuku
5. Tidak mau berhias/berdandan
6. Tidak bisa/tidak mau menggunakan alat mandi/kebersihan diri
7. Tidak menggunakan alat makan dan minum saat makan dan minum
8. BAB dan BAK sembarangan
30
9. Tidak membersihkan diri dan tempat BAB dan BAK setelah BAB dan
BAK
10. Tidak mengetahui cara perawatan diri yang benar
b. data objektif
1. Badan bau, kotor, berdaki, rambut rontok, gigi rontok, kuku panjang, tidak
menggunakan alat-alat mandi, tidak mandi dengan benar.
2. Rambut kusut, berantakan, kumis dan jenggot tidak rapi, tidak mampu
berdandan memilih, mengambil dan memakai pakaian, memakai sendal,
sepatu, tidak pandai memakai resleting, memakai barang-barang yang
perlu dalam berpakaian, melepas barang=barang yang perlu dalam
berpakaian.
3. Makan dan minum sembarangan, berceceran, tidak menggunakan alat
makan, tidak mampu(menyiapkan makanan, memindahkan makanan ke
alat makan, memegang alat makan, memebawa makanan dari piring ke
mulut, mengunyah, menelan makanan secara aman, menyelesaikan
makanan).
4. BAB dan BAK tidak ada tempatnya, tidak membersihkan diri setelah BAB
dan BAK, Tidak mampu (menjaga kebersihan toilet, menyiran toilet).
2. Jenis-jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Herdman, T. Heather (2015) jenis perawatan diri terdiri dari:
a. Defisit Perawatan Diri: Mandi;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktifitas perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit Perawatan Diri: Berpakaian;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berias untuk diri sendiri.
c. Defisit Perawatan Diri: Makan;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
sendiri
31
d. Defisit Perawatan Diri: Eliminasi;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan eliminasi
sendiri.
3. Batasan Karakteristik Defisit Perawatan Diri
Menurut Herdman, T. Heather (2015), batasan karakteristik klien dengan Defisit
Perawatan Diri adalah:
a. Defisit Perawatan Diri : mandi
1. ketidakmampuan untuk mengakses kamar mandi,
2. ketidakmampuan mengeringkan tubuh,
3. ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi,
4. ketidakmampuan menjangkau sumber air,
5. ketidakmampuan mengatur air mandi,
6. ketidakmampuan membasuh tubuh.
b. Defisit Perawatan Diri: Berpakaian
1. ketidakmampuan mengancing pakaian,
2. ketidakmampuan mendapatkan pakaian,
3. ketidakmampuan mengenakan atribut pakaian,
4. ketidakmampuan mengenakan sepatu,
5. ketidakmampuan mengenakan kaus kaki,
6. ketidakmampuan melepaskan atribut pakaian,
7. ketidakmampuan melepas sepatu,
8. ketidakmampuan melepas kaus kaki
9. hambatan memilih pakaian
10. hambatan mempertahanakan penampilan yang memuaskan,
11. hambatan mengambil pakain ,
12. hambatan mengenakan pakaian pada bagia tubuh bawah,
13. hambatan mengenakan pakaian pada bagian tubuh atas
14. hambatan memasang sepatu,
15. hamabatan memasang kaus kaki,
16. hambatan melepaskan pakaian,
17. hamabatan melepas sepatu,
32
18. hamabatan melepas kaus kaki,
19. hambatan mengunakan alat bantu,
20. hambatan menggunakan resleting.
c. Defisit Perawatan Diri : Makanan
1. ketidakmampuan menambil makanan dan mengambil kemulut,
2. ketidakmampuan mengunyah makanan,
3. ketidakmampuan menghabiskan makanan,
4. ketidakmampuan menempatakan makanaan ke perlengkapan makanan,
5. ketidakamapuan menggunakan perlengkapan makanan,
6. ketidakmampuan memakan makanan dalam cara yang dapat diterima
secara sosial,
7. ketidakmampuan memakan maakan dengan cara yang aman,
8. ketidakmampuan memakanan dalam jumlah memadai,
9. ketidakmampuan memanipulasi makanan dalam mulut
10. ketidakmampuan membuka wadah makanan,
11. ketidakmampuan mengambil gelas dan cangkir,
12. krtidakmampuan makanan untuk dimakan,
13. ketidakmampuan menelan makan,
14. ketidakmampua menggunakan alat bantu.
d. Defisit Perawatan Diri: Eliminasi
1. ketidakmampuan melakukan hygiene eliminasi yang tepat,
2. ketidakmampuan menyiram toilet atau kursi buang air(commode),
3. ketidakmampuan naik ke toilet (commode),
4. ketidakmampuan memanipulasi pakaian untuk eliminasi,
5. ketidakmampuan berdiri dari toilet,
6. ketidakmampuan untuk duduk di toilet.
33
4. Dampak Masalah Defisit Perawatan Diri
Menurut Damayanti (2012) terdapat 2 damapk yang disebabkan oleh Defisit
Perawatan Diri:
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang di derita seseorang karna tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering
terjadi adalah: Gangguan integritas kulit, Gangguan membran mukosa mulut,
infeksi pada amata dan telinga, gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah yang berhubungan dengan personal hygine adalah gangguan
kebutuhan rasa nayaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga
diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
5. Lingkup Defisit Perawatan Diri
Menurut Sutejo (2017) terdapa 4 lingkup defisit perawatan diri yaitu:
a. kebersihan diri
tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, pakaian kotor, bau badan, bau
napas, dan penampilan tidak rapi
b. berdanadan atau berhias
kurangnya minat dalam memilih pakaian yang sesuai, tidak menyisir rambut,
atau mencukur kumis.
c. Makan
Menalami kesukaran dalam mengambil, ketidakmampuan membawa makanan
dari piring kemulut,dan makan hanya beberapa suap dari piring.
d. Toileting
ketidakmampuan atau tidakadanya keinginan untuk melakukan defekasi atau
berkemih tanpa bantuan.
B. Proses Terjadinya Defisit Perawatan Diri
Stuart (2009) mendefinisiskan stressor predisposisi sebagai factor risiko yang
menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari
34
individu untuk menghadapi stres baik yang biologuis, psikososial dan sosial
kulttural.
Masalah Keperawatan Yang Sering Muncul:
a. Defisit perawatan diri
b. Harga diri rendah
c. Isolasi sosial
Tabel 2.1 Data yang perlu dikaji Masalah
Keperawatan
Data Yang Perlu Dikaji
Defisit perawatan diri Subyektif:
Pasien mengatakan tentang:
1. Malas mandi
2. Tidak mau menyisir rambut
3. Tidak mau mengggosok gigi
4. Tidak mau memotong kuku
5. Tidak mau berhias/ berdandan
6. Tidak mau mengunakan alat mandi/ kebersihan diri
7. Tidak mengenakan pakaian yang sesuai
8. Tidak menggunakan alat makan dan minum saat makan dan
minum
9. BAB dan BAK sembarangan
10. Tidak membersihkan diri dan tempat BAB dan BAK setelah
BAB dan BAK
11. Tidak mengetahui cara perawatan diri yang benar
Objektif:
1. Badan bau, kotor, berdaki, rambut kotor, gigi kotor, kuku
panjang, tidak menggunakan alat-alatt mandi,tidak mandi
dengan benar.
2. Rambut kusut, berantakan, kumis dan jenggot tidak rapih,
pakaian tidak rapih, tidak mampu berdandan, memilih
mengambil, dan memakai pakaian, mekakai sandal, sepatu,
memakai resleting, memakai barang-barang yang perlu
dalam berpakaian, melepas barang-barang yang perlu dalam
berpakaian.
3. Makan dan minum sembarangan, berceceran tidak
35
menggunakan alat makan, tidak mampu (menyiapkan
makan, memindahkan makanan ke alat makan, memegang
alat makan, membawa makanan dari piring ke mulut,
mengunyah, menelan makanan secara aman, menyelesaikan
makan)
4. BAB dan BAK tidak pada tempatnya, tidak membesihkan
diri setelah BAB dan BAK, tidak mampu (menjaga
kebersihan toilet, menyiram toilet) (kemenkes 2012)
D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. PengkajianDefisit Perawatan Diri
Menurut Videbeck (2008) pengkajian merupakan langkah pertama proses
keperawatan dan meliputi pengumpulan, organisasi, dan analisis
informasi.dalam keperawatan kesehatan jiwa, proses ini sering disebut
sebagai pengkajian psikososial, yang mencakup pemeriksaan status mental.
Tujuan pengkajian psikososial ialah membangun gambaran status emosional
klien saat ini, kapasitas mental, dan fungsi prilakunya.Pengkajain ini
berfungsi sebagai dasar dalam mengembangkan rencana perawatan untuk
memnuhi kebutuhan klien.Pengkajian ini juga merupakan landasan klinis
yang digunakan untuk mengavaluasi ke efektifan terspi dan intervensi, atau
tolak ukur kemajuan klien.
Menurut Sulastri (2012) Pengkajian pada Defisit Perawatan Diri dapat
dilakukan dengan cara wawancara dan observasi kepada pasien dan
keluarga ( pelaku rawat). Tanda dan gejala Defisit Perawatan Diri yang
dapat ditemukan dengan wawancara, melalui pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana kebersihan diri pasien?
2. Apakah pasien malas mandi, mencuci rambut, menggosok gigi,
menggunting kuku?
3. Bagaimana penampilan pasien?
4. Apakah klien menyisir rambut, berdandan, bercukur(untuk laki-laki)?
5. Apakah pakaian pasien rapi dan sesuai?
6. Apakah klien menggunakan alat mandi atau kebersihan diri?
36
7. Bagaimana makan dan minum pasien?Apakah pasien menggunakan alat
makan dan minum saat makan dan minum?
8. Bagaimana BAB dan BAK pasien?
9. Apakah pasien membersihkan diri dan tempat BAB dan BAK setelah
BAB dan BAK?
10. Apakah pasien mengetahui cara perawatan diri yang benar?
Adapun tanda dan gejala defisit perwatan diri yang dapat ditemukan melalui
observasi adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
b. Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut acak –acakan,
pakaian kotor dan tidak rapih, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak
bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
c. Ketidakmampuan makan dan minum secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan dan minum sendiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tepatnya.
d. Ketidakmampuan BAB dan BAK secara mandiri, ditandai dengan BAB dan
BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB
dan BAK.
Sedangkan menurut Damaiyanti (2012)Pengkaijian pada defisit perawatan
diridibagi menjadi dua:
1. Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah
a. Data subjektif: pasien merasa lemah, malas untuk beraktifitas, merasa tidak
berdaya.
b. Data objektif: rambut kotor, acak-acakan, badan dan pakaian kotor, dan bau,
mulut dan gigi bau, kulit kusam dan kotor, kuku panjang dan tidak terawat.
2. Mekanisme koping:
a. Regresi
b. Penyangkalah
c. Isolasi sosial, manarik diri,
d. Intelektualisasi
37
2. Diagnosa Keperawatan Defisit Perawatan Diri
Menurut Sulastri (2017) diagnosa keperawatan defisit perawatan
dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala defisit perawatan diri yang di temukan.
Jika hasil pengkajian menjukan tanda dan gejala defisit perawatan diri maka
diagnosis keperawatan di tegakkan adalah “ defisit perawatan diri : kebersihan
diri, makan dan minum, BAB dan BAK.”
Sedangkan menurut Sutejo (2017) berdasarkan data yang diperoleh, diagnosis
masalah keperawatan dalam gangguan defisit perawatan diri meliputi kebersihan
diri, berhias, makan, eliminasi.
(SDKI, 2016) Diagnosa Keperawatan: Defisit perawatan diri b.d gangguan
psikologis.
3. Rencana tindakan keperawatan pada klien Defisit perawatan diri
Rencana tindakan keperawatan pada pasien defisit perawatan diri adalah
suatu bentuk susunan perencanaaan tindakan keperawatan untuk mengatasi pasien
dengan defisit perawatan diri.Tindakan keperawatan diantaranya terdapat strategi
pelaksanaan tindakan keperawatan, dan terapi aktifitas kelompok.Tindakan-
tindakan ini dapat ditunjukan pada tindakan keperawatan untuk individu, tindakan
keperawatan untuk keluarga, dan tindakan keperawatan untuk kelompok.
4. ImplementasiDefisit Perawatan Diri
Proses implementasi adalah melaksanakan rencana tindakan yang sudah
disusun dan disesuaikan dengan kondisi saat itu. Pelaksanaan tindakan
keperawatan bisa lebih dari apa yang telah direncanakan atau lebih sedikit dari
apa yang sudah direncanakan bahkan mampu memodifikasi dari perencanaan
yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pada saat asuhan diberikan.
Dalam mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa menggunakan
intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah penyakit meningkat,
mempertahankan, dan memulihkan kesehatan fisik dan mental (Damaiyanti,
2012).
38
5.EvaluasiDefisit Perawatan Diri
a. Evaluasi kemampuan pasien defisit perawatan diri berhasil apabila pasien dapat
1) Mandi, memcuci rambut, menggosok gigi dan menggunting kuku dengan
benar.
2) Mengganti pakaian dengan bersih
3) Membereskan pakaian kotor
4) Berdandan dengan benar
5) Mampersiapkan makanan
6) Mengambil makanan dan minuman dengn rapi
7) Menggunakan alat makan dan minum dengan benar
8) BAB dan BAK pada tempstnys
9) BAB dab BAK dengan bersih
b. Evaluasi kemampuan keluarga defisit perawatan diri berhasil apabila keluarga
dapat:
1) Mengenal amsalah yang dirasakan dalam merawat pasien (pengertian, tanda
dan gejala, dan proses terjadinya defisit perawatan diri)
2) Menyediakan fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan oleh pasien
3) Merawat dan membimbing pasien dalam merawat diri: kebrsihan diri ,
berdandan (wanita),bercukur (pria), makan dan minum, BAB dan BAK
4) Follow up ke puskesmas, mengenal tanda kambuh dan rujukan
Tinjauan Konsep Penyakit Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia (schizophrenia) adalah gangguan pada fungsi otak.Menurut Nancy
Andreasen (2008) dalam Broken Brain, The Biological Revolution in Psychiatry,
bahwa bukti-bukti terkini tentang serangan skizofrenia merupakan suatu hal yang
melibatkan banyak sekali faktor.Faktor-faktor itu meliputi perubahan struktur
fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor genetik.Melinda Hermann
(2008), mendefinisikanj skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang
memengaruhi persepsi klien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya
39
(Neurological disease that effects a person’s perception, thinking, language,
emotion, and social behavior)
2. Proses Terjadinya Skizofrenia
Di dalam otak terdapat milyaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi
tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel yang lain.
Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitters
yang membawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung sambungan
sel yang lain. Di dalam otak yang terserang skizofrenia, terdapat kesalahan atau
kerusakan pada sistem komunikasi tersebut.
Bagi keluarga dengan penderita schizophrenia di dalamnya, akan mengerti
dengan jelas apa yang dialami penderita schizophrenia dengan membandingkan
otak dengan telepon. Pada orang yang normal, sistem switch pada otak bekerja
dengan normal.Sinyal-sinyal persepsi yang datang dikirim kembali dengan
sempurna tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan
akhirnya melakukan tindakan sesuai kebutuhan saat itu.Pada otak klien
schizophrenia, sinyal-sinyal yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak
berhasil mencapai sambungan sel yang dituju.
Skizofrenia terbentuk secara bertahap dimana keluarga maupun klien tidak
menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu yang
lama.Kerusakan yang perlahan-lahan ini yang akhirnya menjadi skizofrenia yang
tersembunyi dan berbahaya.Gejala yang timbul secara perlahan-lahan ini bisa saja
menjadi skizofrenia acute.Periode skizofrenia akut adalah gangguan yang singkat
dan kuat, yang meliputi halusinasi, penyesatan pikiran (delusi), dan kegagalan
berpikir.
Kadang kala skizofrenia menyerang secara tiba-tiba.Perubahan perilaku yang
sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau minggu.Serangan yang
mendadak selalu memicu terjadinya periode akut secara cepat.Beberapa penderita
mengalami gangguan seumur hidup, tapi banyak juga yang bisa kembali hidup
secara normal dalam periode akut tersebut.Kebanyakan didapati bahwa mereka
dikucilkan, menderita depresi yang hebat, dan tidak dapat berfungsi sebagaimana
40
layaknya orang normal dalam lingkungannya. Dalam beberapa kasus, serangan
dapat meningkat menjadi apa yang disebut skizofrenia kronis. Klien menjadi buas,
kehilangan karakter sebagai manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki
motivasi sama sekali, depresi, dan tidak memiliki kepekaan tentang perasaannya
sendiri.
3. Tanda dan Gejala Skizofrenia
Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi 2 (dua), yaitu gejala
positif dan gejala negatif.
a. Gejala positif
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu
menginterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang datang. Klien
skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang
sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada
tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasa timbul, yaitu klien
merasakan ada suara dari dalam dirinya.Kadang suara itu dirasakan menyejukkan
hati, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat
berbahaya, seperti bunuh diri.
Menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan
kenyataaan.Misalnya, pada penderita skizofrenia, lampu traffic di jalan raya yang
berwarna merah-kuning-hijau, dianggap sebagai suatu isyarat dari luar
angkasa.Beberapa penderita skizofrenia berubah menjadi seorang
paranoid.Mereka selalu merasa sedang diamat-amati, diintai, atau hendak
diserang.
Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana klien skizofrenia tidak
mampu memproses dan mengatur pikirannya.Kebanyakan klien tidak mampu
memahami hubungan antara kenyataan dan logika.Karena klien skizofrenia tidak
mampu mengatur pikirannya membuat mereka berbicara secara serampangan dan
tidak bisa ditangkap secara logika.Ketidakmampuan dalam berpikir
mengakibatkan ketidakmampuan mengendalikan emosi dan perasaan.Hasilnya,
41
kadang penderita skizofrenia tertawa atau berbicara sendiri dengan keras tanpa
mempedulikan sekelilingnya.
Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak dapat memahami siapa dirinya,
tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu manusia. Dia juga tidak bisa
mengerti kapan dia lahir, dimana dia berada, dan sebagainya.
b. Gejala negatif
Klien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti kehilangan energi dan
minat dalam hidup yang membuat klien menjadi orang yang malas. Karena klien
skizofrenia hanya memiliki energi yang sedikit, mereka tidak bisa melakukan hal-
hal yang lain selain tidur dan makan. Perasaan yang tumpul membuat emosi klien
skizofrenia menjadi datar.Klien skizofrenia tidak memiliki ekspresi baik dari raut
muka maupun gerakan tangannya, seakan-akan dia tidak memiliki emosi
apapun.Tapi ini tidak berarti bahwa klien skizofrenia tidak bisa merasakan
perasaan apapun. Mereka mungkin bisa menerima pemberian dan perhatian orang
lain, tetapi tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka.
Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan berharap, selalu
menjadi bagian dari hidup klien skizofrenia.Mereka tidak merasa memiliki
perilaku yang menyimpang, tidak bisa membina hubungan relasi dengan orang
lain, dan tidak mengenal cinta.Perasaan depresi adalah sesuatu yang sangat
menyakitkan.Disamping itu, perubahan otak secara biologis juga memberi andil
dalam depresi. Depresi yang berkelanjutan akan membuat klien skizofrenia
menarik diri dari lingkungannya. Mereka selalu merasa aman bila sendirian.
Dalam beberapa kasus, skizofrenia menyerang manusia usia muda antara 15
hingga 30 tahun, tetapi serangan kebanyakan terjadi pada usia 40 tahun ke atas.
Skizofrenia bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal jenis kelamin, ras, maupun
tingkat sosial ekonomi.Diperkirakan penderita skizofrenia sebanyak 1% dari
jumlah manusia yang ada di bumi.
Menurut Bleuler, ciri khas skizofrenia dapat diidentifikasi dari 4 A gejala khas
(Bleuler’s) yaitu:
1) Affect : symptoms one month to one year before psychotic break
42
(Mempengaruhi: gejala satu bulan sampai satu tahun sebelum istirahat
psikotik.)
2) Associative looseness: person feels something strange or weird is happening to
them (Kehilangan Asosiatif: Orang merasa aneh atau aneh sedang terjadi pada
mereka).
3) Autism: misinterprets things in the environment (Autisme: salah menafsirkan
sesuatu di lingkungan).
4) Ambivalence: feelings of rejection, lack of self-respect, loneliness,hoplessness,
isolation, withdrawal, and inability to trust others (Ambivalensi: perasaan
penolakan, kurangnya harga diri, kesepian, keputusasaan, isolasi, penarikan
diri, dan ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain).
4. Tipe skizofrenia
There several types of schizophrenia, and no one characteristic is common to all.
Psychotic symptoms include:
a. Delusions (Delusi)
b. Hallucinations (Halusinasi)
c. Incoherence(Ketidaklogisan)
d. Catatonic or hyperactive behavior (Perilaku Hiperaktik)
e. Flat affect (Afek Datar)
5. Pengobatan Skizofrenia
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.
Terapis jangan melihat pada penderita skizofrenia sebagai penderita yang tidak
dapat disembuhkan lagi atau suatu makhluk yang aneh dan inferior, seperti orang
dengan penyakit lipra dahulu.Bila sudah dapat diadakan kontak, maka dilakukan
bimbingan tentang hal-hal yang praktis.
Biarpun penderita mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan
dan bimbingan yang baik penderita dapat ditolong untuk berfungsi terus, bekerja
43
sederhana di rumah atau pun di luar rumah serta dapat membesarkan dan
menyekolahkan anaknya.
Keluarga atau orang lain di lingkungan penderita diberi penerangan (manipulasi
lingkungan) agar mereka lebih sabar menghadapinya.
a. Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah: pertama
untukmengendalikan gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan.Efektifitas
dari antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia telah dibuktikan oleh berbagai
penelitian buta ganda yang terkontrol. Untuk antipsikotik tipikal atau generasi
pertama, tidak ada bukti bahwa obat yang satu lebih baik daripada yang lain
untuk gejala-gejala tertentu.
Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau konis.Fase
akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh)
yang perlu segera diatasi.Tujuan pengobatan di sini adalah mengurangi gejala
psikotik yang parah.Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang
dalam waktu 2-3 minggu.Biarpun tetap masih ada waham dan halusinasi,
penderita tidak begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif, mau ikut
serta dalam kegiatan lingkungannya dan mau turut terapi kerja.
Setelah 4-8 minggu, pasien masuk ke tahap stabilisasi sewaktu gejala-gejala
sedikit banyak sudah teratasi, tetapi risiko relaps masih tinggi, apalagi bila
pengobatan terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah gejala-gejala mereka,
maka dosis dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika serangan itu baru yang
pertama kali.Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari satu kali, maka sesudah
gejala-gejala mereda, obat diberi terus selama satu atau dua tahun.
Setelah 6 bulan, pasien masuk fase rumatan (maintenance) yang bertujuan untuk
mencegah kekambuhan.Kepada pasien dengan skizofrenia menahun, neuroleptika
diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang
naik-turun sesuai dengan keadaan pasien (seperti juga pemberian obat kepada
pasien dengan penyakit badaniah yang menahun, misalnya diabetes melitus,
hipertensi, payah jantung, dan sebagainya).Senantiasa kita harus waspada
terhadap efek samping obat.
44
Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat
memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak mengganggu fungsi
psikososial pasien.
Hasil pengobatan akan lebih baik bila antipsikotik mulai diberi dalam dua tahun
pertama dari penyakit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini, tetapi dosis
ditetapkan secara individual.
Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respons pasien
pada pengobatan sebelumnya.Ada beberapa kondisi khusus yang perlu
diperhatikan, misalnya pada wanita hamil lebih dianjurkan haloperidol, karena
obat ini mempunyai data keamanan yang paling baik. Pada pasien yang sensitif
terhadap efek samping ekstrapiramidal lebih baik diberi antipsikotik atipik,
demikian pula pada pasien yang menunjukkan gejala kognitif atau gejala negatif
yang menonjol.
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia, pemberian
obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping , karena
pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi ketaatberobatan
(compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk menggunakan
antipsikotik atipik atau antipsikotik tipikal, teta[i dengan dosis yang rendah.
b. Terapi Elektro-konvulsi (TEK)
Seperti juga konvulsi yang lain, cara kerja elektrokonvulsi belum diketahui
dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat memperpendek
serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan tetapi
terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang.
Bila dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka dengan TEK lebih sering
terjadi serangan ulang.Akan tetapi TEK lebih mudah diberikan, dapat dilakukan
secara ambulant, bahaya lebih sedikit, lebih murah dan tidak memerlukan tenaga
yang khusus seperti pada terapi koma insulin.
TEK baik hasilnya pada jenis katatonik terutama stupor. Terhadap skizofrenia
simplex efeknya mengecewakan: bila gejala hanya ringan lantas diberi TEK,
kadang-kadang gejala menjadi lebih berat.
c. Psikoterapi dan Rehabilitasi
45
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisis tidak membawa hasil yang diharapkan,
bahkan ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan pada penderita dengan
skizofrenia karena justru dapat menambah isolasi dan autisme.Yang dapat
membantu penderita adalah psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta
bimbingan yang praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke
masyarakat.Teknik terapi perilaku kognitif (cognitive behaviour therapy)
belakangan dicoba pada penderita skizofrenia dengan hasil yang menjanjikan.
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan
orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi, karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan
yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan
bersama.Pemikiran masalah filsafat atau kesenian bebas dalam bentuk melukis
bebas atau bermain musik bebas, tidak dianjurkan sebab dapat menambah
autisme.Bila dilakukan jua, maka harus ada pemimpin dan ada tujuan yang lebih
dahulu sudah ditentukan.
Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila mungkin, diatur sedemikian
rupa sehingga ia tidak mengalami stres terlalu terlalu banyak. Bila mungkin,
sebaiknya ia dikembalikan ke pekerjaan sebelum sakit, dan tergantung pada
tingkat kesembuhannya apakah tanggung jawabnya dalam pekerjaan itu akan
penuh atau tidak.
Lingkungan sekitar yang tidak setabil serta hostilitas dan ikut campur emosional
(expressed emotion ) yang tinggi yang dialami pasien dari orang-orang yang dekat
dengannya biasanya keluarga akan membawa risiko tinggi untuk kambuh. Untuk
ini terapi keluarga dapat bermanfaat
6. Prinsip Implementasi Keperawatan
Secara umum klien skizofrenia akan mengalami beberapa masalah keperawatan
seperti halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, perilaku kekerasan, waham,
depresi, dan sebagainya. Masalah tersebut dibahas secara rinci pada bab tersendiri.
46
Prinsip perencanaan keperawatan yang perlu dipertimbangkan adalah:
a. Pentingnya perawatan di rumah sakit dan menumbuhkan kemandirian
(Hospitalization, independency).
b. Perawat melakukan identifiksai dan pemenuhan kebutuhan dasar selama di
rumah sakit, (Identify long-term care basic needs).
c. Terapi medis yang tuntas (Adequate meqdical therapy).
d. Merencanakan tindak lanjut dan proses rujukan klien dan peran serta keluarga
(Identify and provide proper referrals for patient and family).
e. Merencanakan keterampilan dan perangkat kehidupan setelah kembali ke
masyarakat seperti sumber penghasilan dan ekonomi, dukungan sosial,
hubungan kekeluargaan dan ketahanan apabila mendapat stress (Follow up
living arrangements, economic resources, social support, family relationships,
vulnerability to stress).
f. Memberikan terapi modalitas (Modality therapy) dan melatih terapi kerja
(occupational therapy).
g. Pendidikan masyarakat dalam mencegah stigma (prevention to stigma).