6 ANALISIS SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (ardinella S … · berpedoman kepada hasil-hasil penelitian...
Transcript of 6 ANALISIS SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (ardinella S … · berpedoman kepada hasil-hasil penelitian...
81
6 ANALISIS SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (Sardinella
lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI
6.1 Pendahuluan
Secara umum, sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih
atau terbarukan, namun pemulihan tersebut memiliki keterbatasan dalam siklus
pemulihannya (Tietenberg, 2000) vide (Prihatini, 2003). Selanjutnya dikatakan
bahwa laju pemulihan sumberdaya sangat lambat, sehingga membutuhkan waktu
dan tidak dapat memulihkan stok atau sediaannya dalam waktu yang singkat
secara ekonomis (Conrad, 1999 dan Tietenberg, 2000) vide (Prihatini, 2003).
Selat Bali, merupakan selat yang memisahkan Pulau Jawa dan Bali dengan
bentuk seperti corong. Pada bagian selatan melebar sebesar 35 km dan bagian
utara menyempit dengan lebar 2,5 km. Secara geografis, Selat Bali terletak antara
114°20' – 115
°10' BT dan 8
°10' – 8
°50' LS dengan luas sekitar 2500 km
2.
Kegiatan penangkapan ikan di Selat Bali umumnya menggunakan alat tangkap
purse seine untuk melakukan penangkapan ikan lemuru, namun masih ada alat
tangkap lain yang dapat digunakan, seperti payang, jaring insang, pukat pantai,
bagan, dan lain-lain.
Beberapa tahun terakhir ini, produksi lemuru di Selat Bali cenderung
menurun. Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa
Timur dan Bali, serta statistik perikanan tangkap Indonesia tahun 2010 dijelaskan
bahwa hasil tangkapan lemuru di Selat Bali menurun sebesar 27,09%, dimana
hasil tangkapan tahun 2010 (65.720,90 ton) menurun sebesar (24.428,5 ton), bila
dibandingkan dengan tahun 2009 (90.149,40 ton). Menurut beberapa ahli,
keadaan ini dipicu oleh intensifnya pemanfaatan sumberdaya lemuru yang
dilakukan oleh nelayan setempat. Namun para ahli dan peneliti yang lain
mengatakan bahwa ini merupakan efek dari global warming atau global changes
yang berkepanjangan. Efek ini ditimbulkan oleh pergerakan arus panas dari
Samudera Pasifik yang berpengaruh terhadap suhu perairan di Indonesia termasuk
perairan Selat Bali.
Sebagai sumberdaya yang sangat dominan dan memiliki nilai ekonomis
tinggi, ikan lemuru yang ada di Selat Bali banyak dieksploitasi dan dimanfaatkan
82
oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Alat tangkap
yang digunakan oleh nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya ini adalah purse
seine, atau dengan nama daerah lebih dikenal dengan sleret. Namun tidak tertutup
kemungkinan alat tangkap selain purse seine juga dapat menangkap ikan lemuru
antara lain payang, gillnet, bagan dan pukat pantai.
Perikanan lemuru berperan sangat penting bagi masyarakat sekitar pesisir
Selat Bali. Jika pengelolaannya tidak dibenahi dari sekarang, maka tidak tertutup
kemungkinan ketersediaan sumberdaya tersebut akan terus menurun. Penurunan
hasil tangkapan sangat berpengaruh kepada kegiatan perekonomian masyarakat
pengguna. Mengingat intensifnya pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali,
perlu dilakukan pengelolaan secara menyeluruh sehingga antara pemanfaatan dan
kelestarian sumberdaya dapat dipertahankan.
Pengelolaan sumberdaya lemuru di Selat Bali, sudah waktunya untuk
dilakukan dan sangat mendesak. Merta (1992) melakukan pengkajian untuk
mengetahui keadaan stok sumberdaya lemuru yang ada di Selat Bali. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan sumberdaya lemuru sudah berada pada keadaan
lebih tangkap. Untuk mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru di
Selat Bali, perlu dilakukan analisis terhadap sumberdaya itu sendiri. Analisis ini
menyangkut seberapa tinggi tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya yang
dilakukan oleh pelaku usaha penangkapan.
King (1995) diacu dalam Nurhakim (2004) mengatakan bahwa tujuan
utama dari pengelolaan adalah melakukan konservasi terhadap stok yang ada
disuatu perairan. Namun demikian, dalam pembangunan perikanan akhir-akhir
ini, hal yang perlu dipertimbangkan adalah tujuan ekonomi yaitu berkaitan dengan
kondisi ekonomi, tujuan sosial berkaitan dengan kesejahteraan nelayan itu sendiri
dan tujuan pemeliharaan lingkungan yaitu berkaitan dengan tingkat pemanfaatan
sumberdaya yang diikuti dengan pemeliharaan lingkungan perairan sebagai
habitat ikan target penangkapan.
Wiyono (2001) menyatakan bahwa sampai saat ini kajian tentang
pengelolaan sumberdaya ikan yang mengaitkan faktor biologi, ekologi dan sosial-
ekonomi dalam satu kesatuan kajian masih jarang dilakukan. Selanjutnya
83
dikatakan bahwa faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap armada
penangkapan baik langsung maupun tidak langsung, dan pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya yang merupakan target utama
penangkapan.
6.2 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menghitung: (1) catch per
unit effort (CPUE), melakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang digunakan
oleh nelayan di Selat Bali yaitu nelayan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten
Jembrana. (2) Menghitung kembali pendugaan terhadap potensi lestari lemuru
dan yang lebih penting lagi adalah berapa sebenarnya jumlah effort standar
sehingga pemanfaatan sumberdaya lemuru dapat dilakukan secara berkelanjutan
dan lestari. (3) Analisis kebiasaan makan ikan lemuru, sehingga dapat diketahui
perubahan yang terjadi saat ini. (4) Mengukur panjang, berat dan lebar ikan yang
tertangkap dengan menggunakan kapal purse seine.
6.3 Kebutuhan dan Metode Analisis Data
6.3.1 Kebutuhan data
Data yang dibutuhkan adalah data produksi ikan lemuru. Data produksi
lemuru diambil dari Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dan Kebupaten
Jembrana Provinsi bali. Data dikumpulkan secara time series dari tahun 2005 –
2010. Parameter yang diukur adalah jumlah penangkapan (catch) dan jumlah unit
alat tangkap (effort), untuk melihat keragaan dan pemanfaatan ikan lemuru saat ini
serta untuk keperluan menghitung CPUE dan melakukan standarisasi terhadap alat
tangkap yang ada.
Pengukuran panjang, lebar dan berat ikan lemuru dilakukan untuk melihat
dan mengetahui kecenderungan ukuran ikan lemuru yang tertangkap oleh nelayan.
Pengukuran ini dilakukan secara langsung pada saat ikan lemuru didaratkan di
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan dan Unit Pengelola Pelabuhan
Perikanan Pantai (UPPPP) Muncar. Jumlah sampel disesuaikan dengan hasil
tangkapan yang diperoleh pada saat itu.
84
Analisis isi lambung dilakukan untuk mengetahui kecendrungan pola
makan (feeding habits) ikan lemuru, apakah kebiasaan makan ikan lemuru pada
saat berukuran sempenit, protolan, lemuru dan lemuru kucing berbeda satu sama
lain. Pengujian dilakukan di Laboratorium Zoologi, program studi biologi
Fakultas FMIPA pada Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. Pengujian
isi lambung ikan lemuru dilakukan berdasarkan ukuran ikan yang tertangkap
selama periode Mei–Oktober 2011.
Keperluan data tentang sebaran daerah penangkapan ikan lemuru
berpedoman kepada hasil-hasil penelitian terdahulu, disamping itu juga dilakukan
survey lapangan yaitu mengikuti secara langsung dengan kapal nelayan pada titik-
titik dimana mereka melakukan penangkapan ikan. Pengumpulan data untuk
mengetahui sebaran daerah penangkapan ikan, dilakukan selama 6 (enam) bulan
dari bulan Mei–Oktober 2011, dengan mengikuti kebiasaan nelayan setempat.
6.3.2 Metode analisis data
Metode yang digunakan untuk analisis data dilakukan sesuai
peruntukkannya sebagai berikut:
1) Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru
Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru perlu diketahui
untuk melihat perkembangan hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali dan
mengetahui perkembangan jumlah alat tangkap yang biasa digunakan oleh
nelayan setempat untuk memanfaatkan sumberdaya lemuru periode 2005–2010.
Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru dilakukan secara
deskriptif kuantitatif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Dari
gambaran keragaan tersebut dapat diketahui alat tangkap mana yang
menghasilkan lemuru paling tinggi.
2) Analisis produktivitas alat tangkap
Perhitungan nilai Catch per unit effort (CPUE), dilakukan untuk
mengetahui laju upaya penangkapan, dengan melakukan pembagian total hasil
tangkapan (catch) terhadap upaya penangkapan (effort). Formula yang digunakan
untuk menghitung nilai CPUE (Gulland 1983) adalah:
85
.......................................................................................................(6.1)
dimana,
Ci = hasil tangkapan ke-i (ton)
= upaya penangkapan ke-i
CPUEi = hasil tangkapan per unit upaya penangkapan ke-i (ton/unit).
Dalam perhitungan ini, jumlah armada penangkapan sebagai upaya penangkapan,
dengan asumsi jumlah trip masing-masing armada dalam satu tahun adalah sama.
Untuk mengelola sumberdaya perikanan lemuru ataupun perikanan secara
keseluruhan, jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) berlandaskan
kepada nilai optimum hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang digunakan
(Wiyono 2001), dimana nilai tersebut merupakan maximum sustainable yield
(MSY). Pemanfaatan dan penangkapan sumberdaya akan lestari dan hasil
tangkapan akan maksimum pada saat mencapai nilai MSY, sehingga dalam
melakukan pengkajian terhadap nilai upaya penangkapan (Emsy) dan nilai hasil
tangkapan (Cmsy) saat berada pada keadaan MSY merupakan faktor pembatas
dalam pemanfaatan sumberdaya yang tidak boleh terlampaui. Hal ini disebut
dengan fungsi pembatas. Untuk mengetahui Cmsy dan Emsy, ikan lemuru di Selat
Bali digunakan formula sebagai berikut:
=
, =
................................................................................(6.2)
dimana,
: nilai hasil tangkapan optimum
: nilai upaya penangkapan optimum
: konstanta
: koefisien
3) Analisis standarisasi alat tangkap
Standarisasi alat tangkap dilakukan untuk menyeragamkan satuan-satuan
upaya yang berbeda, sehingga upaya penangkapan dan alat tangkap standar dapat
86
dianggap sama. Gulland (1991) menyatakan, jika pada satu perairan terdapat
lebih dari satu jenis alat tangkap yang dioperasikan untuk memanfaatkan
sumberdaya yang sama, maka salah satu dari alat tangkap tersebut dapat
digunakan sebagai alat tangkap standar, dan jenis alat tangkap lainnya dapat
distandarisasikan terhadap jenis alat tangkap tersebut. Jenis alat tangkap yang
ditetapkan sebagai alat tangkap standar haruslah alat tangkap yang mempunyai
nilai produktifitas tertinggi. Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa masing-
masing alat tangkap yang distandarisasikan tidak mengalami perubahan yang
berarti, yang mana alat tangkap standar tersebut mempunyai nilai fishing power
index (FPI) sama dengan satu. Spare and Venema (1999) menetapkan formula
untuk perhitungan fishing power index (FPI) sebagai berikut:
:
,
dimana,
.....................................................................................................(6.3)
.....................................................................................................(6.4)
= x ..........................................................................(6.5)
= x .......................................................................(6.6)
dimana,
= hasil tangkapan pertahun alat tangkap standart (ton)
= upaya penangkapan per tahun alat tangkap standar (unit)
= hasil tangkapan per tahun alat tangkap lainnya (ton)
= upaya penangkapan per tahun alat tangkap lainnya (unit)
= hasil tangkapan per upaya penangkapan tahunan alat tangkap
standart (ton/unit)
87
= hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap lainnya
(ton/unit)
= Faktor daya tangkap alat tangkap lain
= Faktor daya tangkap alat tangkap standart
4) Analisis fungsi produksi ikan lemuru
Fungsi produksi dan pengkajian stok dapat dilakukan dengan
menggunakan surplus production methods (SPM), yaitu dengan mengestimasi
hasil tangkapan lestari (Cmsy) dan upaya penangkapan lestari (Emsy). Terdapat 5
model Surplus Production Methods yang digunakan dalam menghitung Cmsy dan
Emsy, yaitu model Schnute, Walter-Hilborn, DisEquilibrium Schaefer,
Equilibrium Schaefer, dan model Clark Yoshimoto dan Pooley (CYP). Kelima
model ini harus diujikan terlebih dahulu untuk menentukan model yang cocok dan
terbaik. Kriteria model terbaik adalah yang memiliki kesesuaian tanda, dan
penyimpangan (validasi) terkecil.
a. Metode Schnute (1977), dengan formula:
...........................(6.7)
b. Metode Walter Hilbron (1976) dengan formula:
................................................(6.8)
c. Metode Disequilibrium Schaefer dengan formula:
..................................................(6.9)
d. Metode equilibrium Schaefer (1954) dengan formula:
= q K E = ⁄ …………………………………………(6.10)
e. Metode Clark, Yoshimoto, dan Pooley (1992) dengan formula:
.........................(6.11)
2
)()
2(ln 111
tttt
t
t EEq
UU
qK
rr
U
U
)()2(
)ln()2
)2()ln(
2
2)ln( 11
tttt EE
r
qU
r
rqK
r
rU
ttt
tt qEUqK
rr
U
UU
211
ttt
t qEUqK
rr
U
U 11
88
dimana :
Ut : catch per unit effort (CPUE) pada periode t
Ut+1 : catch per unit effort (CPUE) pada periode t+1
Et : effort pada periode t
Et+1 : effort pada periode t+1
Ht : Hasil tangkapan periode t
K : Konstanta daya dukung
r : Konstanta pertumbuhan alami
q : Koefisien daya tangkap.
Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan masing-masing
formula di atas, maka dilihat model mana yang memiliki kesesuaian tanda
terhadap konstanta yang dibutuhkan. Jika perhitungan menghasilkan dua metode
pengujian yang memiliki kesesuaian tanda, maka dilakukan uji lanjut dengan
membandingkan antara dua persamaan tersebut untuk memperoleh fungsi
produksi yang paling best-fit yaitu dengan yang memiliki standar deviasi paling
kecil, dengan menggunakan formula:
( )
…………………………………………………………….(6.12)
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model penduga
seperti tersebut di atas, maka dilihat model penduga mana yang memiliki standar
deviasi terendah. Model penduga parameter yang baik adalah mempunyai nilai
deviasi (antara nilai duga dan nilai aktual) terendah, dan nilai konstanta yang
bersesuaian. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapat diduga berapa
sebenarnya potensi lestari sumberdaya lemuru di Selat Bali. Untuk memudahkan
analisis data, digunakan program pengolah data Microsoft Office Excell.
5) Pengukuran panjang, lebar dan berat ikan lemuru hasil tangkapan
nelayan
Dilakukan untuk mengetahui kecenderungan ukuran ikan lemuru yang
berhasil ditangkap oleh nelayan di Selat Bali. Pengukuran dilakukan secara
89
langsung, dengan mengambil sampel ikan hasil tangkapan dari beberapa kapal
yang mendarat. Pengukuran dilakukan selama 6 (enam) bulan, mulai bulan Mei –
Oktober 20011. Lokasi pengukuran dilakukan pada 2 (dua) tempat yaitu
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan Bali dan Unit Pengelola
Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar. Selanjutnya hasil pengukuran dikompilasi
dan dihitung rata-rata ukuran panjang, lebar dan berat ikan, kemudian hasil
tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik sehingga jelas terlihat pola
ukuran ikan lemuru yang tertangkap selama observasi.
Panjang ikan, merupakan panjang ikan total yang diukur dari ujung kepala
yang terdepan/termuka dan ujung sirip ekor paling belakang. Tinggi badan atau
lebar, diukur dari tempat yang tertinggi yaitu dari dasar sirip yang melewati garis
punggung, seperti terlihat pada Gambar 22 (Sa‟anin, 1984). Penyelesaian
perhitungan untuk mengetahui rata-rata ukuran ikan hasil tangkapan selama
periode pengukuran, dilakukan dengan program Microsoft Office Excell 2007,
Gambar 22 Cara pengukuran panjang dan lebar ikan sampel dengan
menggunakan kertas grafik
6) Analisis kebiasaan makan (feeding habits) ikan lemuru
Analisis ini dilakukan untuk melihat kecenderungan pola makan ikan
lemuru berdasarkan ukurannya. Analisis dilakukan di laboratorium Zoologi,
program studi Biologi Fakultas FMIPA pada Institut Teknologi Sepuluh
90
November Surabaya. Pelaksanaan analisis dilakukan pada bulan Juli - September
2011. Analisis dilakukan terhadap komposisi dan frekuensi (Fp). Kemunculan
dan komposisi ini dibedakan menjadi; (1) kemunculan makanan dominan atau
makanan utama (D), (2) kemunculan makanan sekunder (S), dan (3) kemunculan
jarang (J). Untuk mengetahui nilai frekuensi kemunculan makanan/mangsa
digunakan formula sebagai berikut (Yamashita, 1991).
( )
x 100 .......................................................................................(6.13)
dimana,
= persentase frekuensi kemunculan tiap jenis mangsa (j)
= jumlah lambung yang berisi makanan (j)
= jumlah lambung yang berisi total makanan.
Selanjutnya, untuk mengetahui indeks komposisi nilai makanan yang ada dalam
lambung sampel uji, digunakan formula sebagai berikut (Yamashita, 1991).
( )
x 100, .......................................................................................(6.14)
dimana,
= indeks komposisi nilai makanan
= jumlah tiap jenis makanan j pada lambung ikan sampel (nj)
= jumlah total makanan dalam lambung ikan sampel.
6.4 Hasil Penelitian
6.4.1 Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru
Kegiatan penangkapan ikan lemuru di Selat bali, sangat intensif dilakukan.
Jenis alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan di Selat Bali dalam rangka
pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru adalah purse seine (pukat cincin) atau lebih
dikenal dengan nama slerek/sleret. Alat tangkap lain yang digunakan adalah
payang, bagan, pukat pantai, dan gillnet. Namun alat tangkap yang dominan
digunakan untuk menangkap lemuru adalah purse seine, karena hasil tangkapan
yang diperoleh lebih banyak jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya.
91
Perkembangan jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam
pemanfaatan ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 16.
Pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa secara global alat tangkap yang banyak
beroperasi di Selat Bali adalah alat tangkap gillnet sebanyak 75,85%, pukat cincin
sebanyak 11,82%, bagan sebanyak 6,50%, payang sebanyak 2,98% dan pukat
pantai sebanyak 2,85%. Pukat cincin (purse seine), atau masyarakat setempat
mengenal dengan nama sleret lebih banyak dan paling dominan digunakan untuk
pemanfaatan ikan lemuru, mengingat alat tangkap ini memiliki kemampuan lebih
untuk menghasilkan lemuru dalam satu kali hauling.
Tabel 16 Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap yang digunakan untuk
penangkapan lemuru di Selat Bali tahun 2005 – 2010
Perkembangan jumlah alat tangkap
No Tahun Banyuwangi Jembrana
P. Cincin Payang Gillnet Bagan P. Pantai P Cincin Gillnet
1 2005 142 112 276 174 63 74 612
2 2006 166 112 276 174 64 74 1.277
3 2007 185 44 256 129 67 72 1.272
4 2008 185 44 256 129 59 77 1.240
5 2009 203 42 303 129 63 83 1.246
6 2010 203 42 303 129 63 107 1.335
Jumlah 1.084 396 1.670 864 379 487 6.982
Rata-rata 181 66 278 144 63 81 1.163
Sumber: DKP Kabupaten Banyuwangi (2011) dan DPKK Kabupaten Jembrana (2011)
Menurut data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Banyuwangi (2011) terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun
2007 yaitu sebesar 53.155,01 ton, sementara hasil tangkapan terendah terjadi
tahun 2005 yaitu sebesar 7.200,33 ton untuk alat tangkap purse seine. Hasil
tangkapan lemuru dengan menggunakan alat tangkap payang, tertinggi terjadi
pada tahun 2006 yaitu sebesar 3.080,19 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah
terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 457.56 ton. Untuk alat tangkap gillnet hasil
tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 5.689,92 ton, sedangkan
hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 355,53 ton. Hasil
tangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap bagan terjadi pada
tahun 2006 yaitu sebesar 1.540,09 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi
pada tahun 2010 yaitu sebesar 179,03 ton. hasil tangkapan lemuru tertinggi
92
untuk kabupaten Jembrana dengan menggunakan alat tangkap purse seine terjadi
tahun 2009 yaitu sebesar 42.930,80 ton, dan hasil tangkapan terendah terjadi
tahun 2005 yaitu sebesar 4.052,60 ton. hasil tangkapan lemuru tertinggi dengan
menggunakan alat tangkap pukat pantai terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar
196,70 ton dan hasil tangkapan terendah terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 26,30
ton. Untuk alat tangkap gillnet terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 388,00 ton,
sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 1,40 ton
(Tabel 17).
Tabel 17 Produksi lemuru Selat Bali tahun 2005 – 2010
Sumber: DKP Kabupaten Banyuwangi (2011) dan DPKK Kabupaten Jembrana (2011)
1) Purse seine
Purse seine atau pukat cincin, diperkenalkan kepada masyarakat dan
nelayan Muncar pada tahun 1974. Perkembangan alat tangkap ini sangat pesat,
bila dibandingkan dengan alat tangkap lain yang digunakan oleh nelayan
sebelumnya. hasil tangkapan lemuru yang dihasilkan dari Selat Bali, yaitu oleh
nelayan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana dengan menggunakan
alat tangkap purse seine dapat dilihat pada Tabel 17.
Hasil tangkapan tertinggi di Kabupaten Banyuwangi adalah pada tahun
2007 sebesar 53.155,01 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada
tahun 2005 sebesar 7.200,33 Ton. Hasil tangkapan lemuru tertinggi di Kabupaten
Jembrana terjadi pada tahun 2009 sebesar 42.930,80 ton, dan hasil tangkapan
terendah terjadi pada tahun 2005 sebesar 5.887,20 ton (Gambar 23).
93
-
10,000.00
20,000.00
30,000.00
40,000.00
50,000.00
60,000.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Has
il ta
ngka
pan
(ton
/thn
)
Tahun
Banyuwangi Jembrana
Perbedaan jumlah tangkapan yang didaratkan di Kebupaten Banyuwangi
dan Kabupaten Jembrana jelas terlihat. Hal ini dapat dipahami, karena rata-rata
jumlah alat tangkap purse seine yang ada di Kabupaten banyuwangi lebih banyak
bila dibandingkan dengan Kabupaten Jembrana (Tabel 17).
Gambar 23 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap purse seine di
Selat Bali tahun 2005 – 2010
Berdasarkan data yang diperoleh dari UPPPP Muncar, jumlah purse seine
yang beroperasi tahun 2010 adalah sebanyak 203 unit, sementara itu di Kabupaten
Jembrana jumlah purse seine yang beroperasi untuk tahun 2010 sebanyak 107
unit.
2) Payang
Payang, adalah jenis alat tangkap yang hampir menyerupai purse seine,
dimana alat tangkap ini juga memilik kantong dibagian tengahnya. Secara umum,
alat tangkap ini digunakan oleh masyarakat Banyuwangi atau terutama nelayan
Muncar untuk menangkap ikan tongkol. Namun pada saat sumberdaya lemuru
meningkat jumlahnya, maka alat tangkap ini juga menghasilkan lemuru sebagai
hasil tangkapan mereka. Produksi lemuru hasil tangkapan payang tertinggi terjadi
pada tahun 2007 yaitu sebesar 3.080,19 ton dan terendah terjadi pada tahun 2005
yaitu sebesar 457.06 ton.
Alat tangkap payang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi
untuk menangkap ikan lemuru, sementara nelayan Kabupaten Jembrana tidak
menggunakannya (Gambar 24). Alat tangkap payang ini oleh nelayan di
94
-
500.00
1,000.00
1,500.00
2,000.00
2,500.00
3,000.00
3,500.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Has
il ta
ngk
apan
(to
n/t
hn
)
Tahun
Banyuwangi
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
700.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Has
il ta
ngka
pan
(ton
/thn
)
Tahun
Banyuwangi Jembrana
Kabupaten Banyuwangi juga digunakan untuk menangkap ikan selain ikan
lemuru, atau lebih tepatnya alat tangkap ini digunakan sesuai dengan musim ikan.
Gambar 24 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap Payang di
Selat Bali tahun 2005 – 2010
3) Gillnet
Hasil tangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap gillnet di
Selat Bali, selama kurun waktu 6 tahun yaitu dari tahun 2005 – 2010 sangat
berfluktuasi. Pada tahun 2009 hasil tangkapan lemuru tertinggi dengan
menggunakan alat tangkap gillnet yaitu 573,58 ton, dan terendah terjadi tahun
2007 yaitu sebesar 201,10 ton (Gambar 25).
Gambar 25 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap Gillnet di
Selat Bali tahun 2005 – 2010
95
-
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Has
il ta
ngka
pan
(ton
/thn
)
Tahun
Jembrana
Sementara produksi gillnet yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Jembrana,
tertinggi terjadi tahun 2008 sebesar 388,00 ton. Hasil tangkapan terendah terjadi
tahun 1,40 ton.
4) Pukat Pantai
Alat tangkap pukat pantai, merupakan alat tangkap tradisional dan masih
banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Jembrana, terutama untuk
penangkapan ikan lemuru. Sementara itu nelayan Kabupaten Banyuwangi tidak
menggunakannya. Hasil tangkapan lemuru yang tercatat tidak begitu tinggi bila
dibandingkan dengan alat tangkap lain. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada
tahun 2008 sebesar 196,70 ton dan terendah terjadi tahun 2005 yaitu 26,30 ton.
Grafik pada Gambar 26 memperlihatkan fluktuasi jumlah hasil tangkapan lemuru
dengan menggunakan alat tangkap pukat pantai.
Gambar 26 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap pukat pantai
di Selat Bali tahun 2005 – 2010
5) Bagan
Hasil tangkapan lemuru dengan alat tangkap bagan tidak memperlihat
hasil tinggi sebagaimana menggunakan alat tangkap purse seine. Hasil tangkapan
paling tinggi terjadi tahun 2006, yaitu sebesar 1.540,09 ton. Untuk tahun-tahun
berikutnya terjadi penurunan, dan yang paling rendah terjadi tahun 2010 sebesar
178,99 ton (Gambar 27).
Secara garis besar dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan lemuru selama
kurun waktu 2005 sampai dengan 2010 berfluktuasi. Hasil tangkapan yang lebih
96
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Has
il ta
ngk
apan
(to
n/t
hn
)
Tahun
Banyuwangi
besar adalah menggunakan alat tangkap purse seine. Seperti kita ketahui bersama
dan sudah diuraikan pada penjelasan terdahulu, bahwa alat tangkap purse seine
merupakan alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan dalam
pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali.
Gambar 27 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap Bagan di Selat
Bali tahun 2005 – 2010
6.4.2 Analisis fungsi produksi perikanan lemuru
Setelah dilakukan penghitungan catch per unit effort (CPUE) ikan lemuru
dengan jenis alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan di Selat Bali,
maka dapat dilihat bahwa CPUE rata-rata tertinggi adalah dengan menggunakan
alat tangkap purse seine, baik yang mendaratkan hasil tangkapan di UPPPP
Muncar (164,5942 ton/unit) maupun di PPN Pangambengan Bali (311,1950
ton/unit).
Tabel 18 Total tangkapan (catch) CPUEstandar dan Effortstandar ikan lemuru di
Selat Bali tahun 2005 - 2010
Tahun C total CPUE std E std
2005 14.405,22 79,56 181,069
2006 67.627,19 221,47 305,357
2007 81.598,72 368,75 221,284
2008 57.594,10 319,48 180,273
2009 71.866,79 517,24 138,943
2010 56.380,72 360,67 156,322
TOTAL 349.472,75 1.867,17 1.183,248
Rata2 58.245,46 311,19 197,208
Sumber: UPPPP Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Dinas PKK Kabupaten Jembrana (2011),
data diolah
97
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(10,000.000)
-
10,000.000
20,000.000
30,000.000
40,000.000
50,000.000
60,000.000
70,000.000
80,000.000
90,000.000
0 100 200 300 400 500 600
Pe
man
faat
an (
ton
/th
n
Upaya (Effort)
Pemanfaatan ikan lemuru di Selat Bali dilakukan oleh nelayan yang berasal dari
Kabupaten Jembrana dengan tempat pendaratan utama di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Pengambengan (PPN Pengambengan) dan nelayan dari Kabupaten
Banyuwangi dengan tempat pendaratan utama di UPPPP Muncar (Tabel 18).
Berdasarkan uji kelima metode untuk mendapatkan hasil yang lebih best
fit untuk menentukan Cmsy dan Emsy terhadap 5 (lima) metode yaitu Schnute,
Walter Hilbron, Disequilibrium Schaefer, Equilibrium Schaefer dan Clark,
Yoshimoto dan Pooley (CYP) terhadap data, maka metode Clark Yoshimoto dan
Pooley (CYP) memenuhi syarat (Lampiran 9), dengan persamaan:
Berdasarkan persamaan yang diperoleh dengan menggunakan metode
Clark, Yoshimoto dan Pooley (CYP), maka dapat dihitung nilai potensi
maksimum lestari (Cmsy) dan diperoleh hasil sebesar 59.059,61 ton per tahun dan
nilai upaya maksimum lestari (Emsy) diperoleh sebesar 252,47 unit per tahun. Jika
dilihat total pemanfaatan sumberdaya lemuru tertinggi selama periode tahun 2005
– 2010 di Selat Bali terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 81.598,72 ton dan
terendah terjadi tahun 2005 sebesar 14.405,22 ton (Gambar 28). Berpedoman
kepada nilai Cmsy dan Emsy hasil perhitungan, maka pemanfaatan dan pengusahaan
sumberdaya lemuru sudah mengalami lebih tangkap (over fishing).
Gambar 28 Kurva hasil tangkapan lemuru di Selat Bali tahun 2005 – 2010
98
6.4.3 Standarisasi alat tangkap
Standarisasi terhadap alat tangkap perlu dilakukan, karena berdasarkan
data yang ada ikan lemuru dapat ditangkap dengan menggunakan beberapa alat
tangkap yaitu purse seine (paling dominan), payang, pukat pantai, gillnet dan
bagan. Seperti kita ketahui bersama bahwa kemampuan menangkap dari masing-
masing alat tangkap tersebut berbeda-beda. Tujuan dilakukan standarisasi alat
tangkap ini sebagai alat ukur terhadap tingkat kemampuan pemanfaatan satu jenis
alat tangkap sekaligus sebagai indikator pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru
secara optimal, dengan harapan pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara
terus menerus dan lestari.
Berdasarkan kemampuan menangkap yang berbeda tersebut, maka jumlah
upaya penangkapan oleh masing-masing alat tangkap dalam pemanfaatan
sumberdaya lemuru, merupakan penjumlahan dari upaya masing-masing alat
tangkap yang sudah distandarisasi dengan memasukkan nilai FPI. Hasil
perhitungan memperlihatkan bahwa CPUE rata-rata tertinggi dari tahun 2005–
2010 adalah alat tangkap purse seine yang mendaratkan hasil tangkapannya di
Kabupaten Jembrana. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka alat tangkap
ini terpilih sebagai alat tangkap standar dengan FPI sama dengan satu (Tabel 19).
Tabel 19 Fishing power index (FPI) alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap ikan lemuru
Tahun FPI
P bwi PR bwi B bwi GN bwi PP Jemb PR Jemb GN Jemb
2005 0.051 0.637 0.030 0.019 0.005 1 0.000
2006 0.124 1.256 0.040 0.007 0.002 1 0.000
2007 0.058 0.779 0.013 0.002 0.003 1 0.000
2008 0.105 0.508 0.008 0.007 0.010 1 0.001
2009 0.080 0.249 0.004 0.004 0.003 1 0.000
2010 0.059 0.222 0.004 0.003 0.002 1 0.000
Rata2 0.080 0.609 0.016 0.007 0.004 1 0.000
Sumber: Diolah dari data statistik DPK Kabupaten Banyuwangi dan DPKK Kabupaten
Jembrana (2011)
Keterangan:
P bwi : Payang Banyuwangi
PR bwi : Purse seine Banyuwangi
B bwi : Bagan Banyuwangi
99
GN bwi : Gillnet Banyuwangi
PP Jemb : Pukat pantai Jembrana
PR Jemb : Purse seine Jembrana
GN Jemb : Gillnet Jembrana
Upaya penangkapan standar merupakan upaya yang dilakukan oleh
masing-masing jenis alat tangkap dan merupakan hasil perkalian effort standar
dengan nilai FPI (Tabel 20). Upaya penangkapan (Tabel 20) dengan alat tangkap
purse seine tertinggi adalah yang mendaratkan hasil tangkapan lemuru di
Kabupaten Jembrana, yaitu tahun 2010 sebanyak 107 unit alat tangkap standar,
sedangkan terendah terjadi tahun 2005 dan 2006 yaitu sebanyak 74 unit alat
tangkap standar. Untuk purse seine yang mendaratkan hasil tangkapannya di
Pelabuhan Perikanan Muncar, upaya penangkapan tertinggi terjadi tahun 2006
sebanyak 142 unit alat tangkap standar, dan terendah tahun 2010 yaitu sebanyak 9
unit alat tangkap standar.
Tabel 20 Nilai upaya penangkapan standar alat tangkap penghasil ikan lemuru
Tahun Upaya penangkapan standar (Estd)
P bwi PR bwi B bwi GN bwi PP Jemb PR Jemb GN Jemb
2005 6 91 5 5 0 74 0
2006 14 208 7 2 0 74 0
2007 3 144 2 1 0 72 0
2008 5 94 1 2 1 77 1
2009 3 51 1 1 0 83 0
2010 2 45 0 1 0 107 0
Rata2 5 105 3 2 0 81 0
Sumber: Diolah dari data statistik DPK Kabupaten Banyuwangi dan DPKK Kabupaten Jembrana
(2011)
Keterangan:
P bwi : Payang Banyuwangi
PR bwi : Purse seine Banyuwangi
B bwi : Bagan Banyuwangi
GN bwi : Gillnet Banyuwangi
PP Jemb : Pukat pantai Jembrana
PR Jemb : Purse seine Jembrana
GN Jemb : Gillnet Jembrana
100
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00 Muncar
panjang
lebar
berat
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00Pengambengan
panjang
Lebar
berat
Upaya penangkapan alat tangkap payang di Kabupaten Banyuwangi
tertinggi terjadi tahun 2006 sebanyak 14 unit alat tangkap standar, dan terendah
adalah tahun 2005, 2007, dan tahun 2010 masing-masing sebanyak 2 unit alat
tangkap standar. Upaya penangkapan alat tangkap gillnet yang dioperasikan di
Kabupaten Banyuwangi tertinggi terjadi tahun 2008 yaitu sebanyak 2 unit alat
tangkap standar, sedangkan pada tahun 2005-2007 alat tangkap standar tidak
dioperasikan dikabupaten ini. Upaya penangkapan alat tangkap bagan yang
dioperasikan di Kabupaten Banyuwangi tertinggi secara berturut-turut terjadi
tahun 2006 sebanyak 7 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan alat
tangkap pukat pantai yang dioperasikan di Kabupaten Jembrana tertinggi terjadi
tahun 2008 sebanyak 1 unit alat tangkap standar, berikutnya secara berturut-turut
tahun 2005–2007 dan tahun 2008–2009 tidak ada alat tangkap standar yang
dioperasikan di kabupaten ini. Hasil analisis ini digunakan sebagai parameter
untuk analisis model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali
dengan pendekatan ekosistem (bab 9).
6.4.4 Ukuran panjang, lebar dan berat ikan lemuru hasil tangkapan
nelayan
Pengukuran ikan lemuru dilakukan selama 6 bulan, yaitu dari bulan Mei –
Oktober 20011. Pengukuran dilakukan di dua tempat yaitu di Pelabuhan
Perikanan Nusantara Pengambengan dan UPPPP Muncar. Kecenderungan ukuran
ikan lemuru yang ditangkap oleh nelayan berdasarkan pengamatan dari bulan Mei
sampai dengan bulan Oktober tertera pada Gambar 29.
Gambar 29 Rata-rata ukuran panjang, lebar dan berat lemuru hasil tangkapan
nelayan bulan Mei – Oktober 2011
101
Perbedaan ukuran panjang dan berat, hasil tangkapan lemuru yang didaratkan di
UPPPP Muncar dan PPN Pangambengan bisa saja terjadi. Perbedaan hasil
tangkapan dapat terjadi disebabkan oleh perbedaan daerah penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan masing-masing wilayah. Pada Gambar 29, terlihat bahwa
ukuran panjang, lebar dan berat lemuru hasil tangkapan nelayan di Muncar dan di
Jembrana berbeda.
Hasil pengukuran yang dilakukan pada bulan Juli 2011 di PPN
Pengambengan menunjukan ikan lemuru yang tertangkap rata-rata berukuran
panjang 12,48 cm, sementara di UPPPP Muncar adalah 13,29 cm. Jika dilihat
dari kisaran ukuran panjang ikan lemuru, pada bulan Juli 2011 ukuran lemuru
yang didaratkan di PPN Pengambengan dan UPPPP Muncar juga berbeda.
Ukuran sempenit yang terdata berada pada kisaran 9,90 – 12,50 cm, sedangkan di
UPPPP Muncar ukuran sempenit berada pada kisaran 10,00 – 12,50 cm. Grafik
pada Gambar 29, memperlihatkan dengan jelas perbedaan ukuran ikan lemuru
yang tertangkap di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan.
6.4.5 Kebiasaan makan (feeding habits) ikan lemuru
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap isi lambung ikan
lemuru, maka diperoleh hasil bahwa makanan utama lemuru adalah plankton,
namun dari hasil analisa terdapat perbedaan komposisi makanan berdasarkan
ukuran ikan lemuru. Saat lemuru berukuran sempenit kecendrungan makanannya
adalah phytoplankton. Pada saat berukuran protolan, kecenderungan komposisi
makanannya adalah zooplankton dan ketika berukuran lemuru, dan lemuru kucing,
kecenderungan komposisi makanannya adalah phytoplankton (Tabel 21).
Kebiasaan makan ikan lemuru sangat tergantung dengan ketersediaan
nutrien di perairan laut Selat Bali. Hasil uji laboratorium yang dilakukan untuk
mengetahui kecenderungan pola makan ikan lemuru menunjukkan bahwa secara
umum ikan lemuru merupakan hewan pemakan plankton (plankton feeder).
102
Tabel 21 Jenis makanan yang ada dalam lambung ikan lemuru sampel
Tanggal
kode
sampel
Jenis Makanan dalam
Lambung Ikan
NS
Nsj
Fp
frekuensi kumunculan
tiap jenis mangsa
D (%) S (%) J
26 Juli „11 Sempenit phytoplankton 3 3 100.00
zooplankton 3 3 100.00
sisik ikan 3 3 100.00
cacing 3 1 33.30
potongan udang 3 2 66.67
3 Agust „11 Protolan phytoplankton 3 3 100.00
zooplankton 3 3 100.00
Potongan Udang 3 3 100.00
Kulit Ikan 3 3 100.00
Cacing 3 1 33.30
sisik ikan 3 1 33.30
11 Agust „11 Lemuru phytoplankton 3 3 100.00
zooplankton 3 3 100.00
Cacing 3 2 66.67
Sisik Ikan 3 2 66.67
Kulit Ikan 3 3 100.00
potongan udang 3 1 33.30
1 Sept „11 L. kucing Phytoplankton 3 3 100.00
Zooplankton 3 3 100.00
Sisik Ikan 3 2 66.67
Cacing 3 2 66.67
Potongan Udang 3 2 66.67
Potongan Copepode 3 3 100.00
Sumber: Data primer berdasarkan uji laboratorium (2011)
Komposisi plankton yang ditemukan dari hasil bedah lambung (Tabel 22),
diketahui bahwa pada saat lemuru berukuran sempenit, kecenderungan pola
makan dan jenis makanannya adalah phytoplankton, dengan indeks komposisi
nilai makanan sebesar 48,78%. Pada saat berukuran protolan berubah menjadi
pemakan zooplankton (43,75%), namun pada saat berukuran lemuru dan lemuru
kucing indeks komposisi nilai makanan yang ditemukan pada sampel uji adalah
phytoplankton, yaitu 42,86% untuk lemuru dan 45,46% untuk lemuru kucing.
Jenis zooplankton dominan yang terdapat dalam lambung ikan sampel uji adalah
Trichodesmium sp (79), Leptrotintinnus sp (77), dan Triceratium sp (16). Jenis
phytoplankton dominan yang terdapat dalam lambung ikan sampel uji adalah
Cascimodiscus sp (45), Spyrogira sp (28), Volvox sp (20), dan Flagilaria sp (6).
Hasil uji Laboratotium terhadap jenis plankton yang terdapat di lambung ikan
lemuru sampel dapat dilihat pada Lampiran 11.
103
Tabel 22 Indeks komposisi nilai makanan dalam lambung ikan sampel uji
Sumber: Data primer berdasarkan uji laboratorium (2011)
6.4.6 Daerah penangkapan
Daerah penangkapan ikan lemuru (fishing ground), terdapat di sepanjang
paparan Jawa dan Bali. Nelayan Banyuwangi dan Jembrana sudah mempunyai
daerah penangkapan mereka masing-masing. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti terdahulu, dan hasil wawancara dengan nelayan
Banyuwangi dan Jembrana, bahwa daerah penangkapan lemuru adalah; (1) untuk
paparan Jawa: Klosot, Sembulungan, Wringinan, Tanjung Angguk, dan Karang
Ente, serta Grajagan (selatan Jawa); (2) untuk paparan Bali: Pulukan, Seseh, dan
Jimbaran.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Mei – Oktober
2011, bahwa daerah penangkapan lemuru berbeda menurut ukuran ikan. Pada
wilayah paparan Bali, sempenit yaitu lemuru dengan ukuran panjang 10 – 12,5 cm
dan protolan yaitu lemuru dengan ukuran panjang 13 – 14,5 cm lebih banyak
tertangkap di wilayah Pulukan. Lemuru dengan ukuran panjang 15 – 17,5 cm di
104
wilayah perairan Seseh, dan lemuru kucing dengan ukuran panjang 17,9 – 19 cm
lebih banyak tertangkap di Jimbaran. Pada wilayah paparan Jawa, sempenit dan
protolan banyak tertangkap di Karang Ente, Wringinan. Namun lemuru dan
lemuru kucing, sebagian besar sering tertangkap di Karang Ente dan sebagian
besar di wilayah Jimbaran.
6.5 Pembahasan
Sesuai dengan tujuan penelitian, dalam bab ini hal-hal yang ingin dibahas
berkaitan dengan (1) keragaan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan
oleh nelayan untuk menangkap lemuru, (2) berkaitan dengan fungsi produksi, (3)
berkaitan dengan kebiasaan makan lemuru, dan (4) berkaitan dengan sebaran
daerah penangkapan di perairan Selat Bali.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui tingkat pemanfaatan
sumberdaya lemuru yang dilakukan oleh nelayan Selat Bali sangat intensif.
Produksi lemuru terus meningkat dan pada tahun 2007 adalah produksi tertinggi
untuk Kabupaten Banyuwangi, sedangkan untuk Kabupaten Jembrana produksi
tertinggi terjadi pada tahun 2009. Purse seine atau masyarakat Selat Bali lebih
mengenal dengan nama sleret, yang berarti ditarik, merupakan alat tangkap
dominan yang digunakan oleh nelayan. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap
aktif, dengan cara pengoperasiannya adalah memburu gerombolan ikan.
Kegiatan penangkapan lemuru di Selat Bali merupakan kegiatan ekonomi
yang penting, baik itu untuk Kabupaten banyuwangi dan Kabupaten Jembrana.
Kontribusi yang dihasilkan cukup besar, terutama untuk memenuhi bahan baku
pengalengan. Kegiatan ini memberikan pendapatan daerah yang cukup besar.
Hariyanto et al. (2008) menyatakan bahwa, kegiatan perikanan tangkap sangat
menunjang kegiatan perekonomian daerah dan merupakan penyumbang
pendapatan daerah tertinggi.
Alat tangkap lain yang digunakan oleh nelayan Selat Bali adalah gillnet,
payang, pukat pantai dan bagan. Walaupun alat tangkap ini tidak memberikan
kontribusi terhadap hasil tangkapan yang diperoleh, namun sangat berkaitan
dengan usaha nelayan skala kecil. Berkaitan dengan hal tersebut, prinsip
pengelolaan terhadap sumberdaya lemuru di Selat Bali perlu dilakukan pengaturan
105
yang sangat selektif, terutama berkaitan dengan kelangsungan hidup nelayan yang
menggantungkan hidup mereka terhadap jenis alat tangkap yang mereka miliki.
Hal yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan adalah memperhatikan pola
penangkapan yang dilakukan sehingga pengelolaan sumberdaya dapat dilakukan
secara berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan, sangat berkaitan dengan
selektifitas alat tangkap yang digunakan dan faktor-faktor lingkungan perairan itu
sendiri sebagai habitat ikan target penangkapan. Selektifitas alat tangkap berkaitan
dengan ukuran mata jaring yang digunakan. Menurut DeAlteris and Riedel
(1996), bahwa studi tentang karakteristik dan pemilihan ukuran alat tangkap dan
mata jaring untuk penangkapan ikan, sudah mulai dilakukan sejak awal tahun
1900-an, hal ini dilakukan dalam rangka upaya aplikasi ke arah pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan.
Melakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang digunakan oleh
nelayan bertujuan untuk mewujudkan kemampuan suatu jenis alat tangkap dapat
berfungsi secara optimal (dalam segala aspek). Standarisasi alat tangkap perlu
dilakukan, agar tidak terjadi peningkatan kapasitas dalam pemanfaatan
sumberdaya yang berakibat pada lebih tangkap (over fishing). Berdasarkan hasil
analisis yang telah dilakukan untuk standarisasi terhadap alat tangkap (Tabel 20),
dan nilai Emsy sebesar 252,47 unit per tahun, sementara jumlah alat tangkap purse
seine sebagai alat tangkap standar yang beroperasi di Selat Bali tahun 2010
sebanyak 310 unit dan sudah melebih Emsy. Mengacu kepada SKB Gubernur
Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali tahun 1992 tentang pengaturan jumlah alat
tangkap purse seine yang boleh beroperasi yaitu sebanyak 273 unit dengan
pembagian 190 unit untuk Provinsi Jawa Timur dan 83 unit untuk Provinsi Bali,
maka pengendalian atau pengaturan ulang jumlah alat tangkap yang digunakan
harus dilakukan. Upaya pengendalian tersebut perlu dilakukan secara menyeluruh,
baik itu berupa perbaikan peraturan yang ada, juga perlu dilakukan peningkatan
pemahaman kepada pelaku usaha, sehingga tujuan pengelolaan berkelanjutan
dapat terwujud.
106
Berdasarkan SKB Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali tahun
1992 tentang pengaturan jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi
yaitu sebanyak 273 unit dengan pembagian 190 unit untuk Provinsi Jawa Timur
dan 83 unit untuk Provinsi Bali, sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian
terdahulu, maka perlu dilakukan evaluasi ulang atau penyesuaian dengan kondisi
yang ada saat ini. Menurut Kepala Bidang Perikanan-Dinas Pertanian Kehutanan
dan Kelautan Kabupaten Jembrana berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan,
perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap SKB tersebut, karena sudah terlalu
lama dan tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan saat ini. Pengaturan
ini berlaku untuk alat tangkap purse seine, sementara pengaturan untuk jenis alat
tangkap lainnya belum dilakukan. Hasil wawancara dengan nelayan gillnet yang
ada Kabupaten Jembrana, sebagian besar dari mereka belum pernah mengetahui
adanya pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat untuk alat
tangkap selain purse seine. Menurut pengamatan kami selama pengumpulan data
di lapangan, memang sangat perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap SKB dua
Gubernur seperti yang sudah diuraikan pada penjelasan terdahulu.
Upaya pengendalian jumlah alat tangkap yang digunakan, perlu dilakukan
secara menyeluruh, baik itu berupa perbaikan peraturan yang ada, juga perlu
peningkatan pemahaman kepada pelaku usaha, sehingga tujuan pengelolaan
berkelanjutan dapat terwujud. Perwujudan pengelolaan berkelanjutan berkaitan
dengan selektivitas alat tangkap yang digunakan. Menurut Sudirman et al (2011),
suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektivitas tinggi jika dalam
pengoperasiannya hanya menangkap target spesies dengan ukuran tertentu.
Secara ekonomi, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Selat Bali
untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru adalah menguntungkan. Namun demikian
hal yang perlu diperhatikan adalah efisiensi alat yang digunakan terhadap hasil
yang didapatkan setiap hari.
Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) merupakan ikan peruaya. Sifat
peruaya ini berkaitan erat dengan upaya mencari makan yang dilakukan oleh ikan
tersebut. Ikan akan mencari dan memilih suatu kombinasi optimum tertentu
terhadap kondisi-kondisi fisik dan biologi lingkungan perairan sebagai habitatnya
107
(Merta dan Nurhakim, 2004). Menurut Indrawati (2000), ikan lemuru cenderung
berada pada kondisi perairan dengan suhu antara 26,01°-27,00°C.
Kajian dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhanudin dan Praseno
(1982), bahwa dari hasil pemeriksaan isi perut, ikan lemuru termasuk pemakan
plankton (zooplankton dan phyitoplankton). Perbandingannya yaitu: zooplankton
berkisar antara 90,52 – 95,54%, sedangkan fitoplankton berkisar antara 4,46 –
9,48% (Burhanudin dan Praseno, 1982). Dalam penelitian tersebut tidak dirinci
secara jelas pada kondisi lemuru berukuran berapa yang merupakan pemakan
fitoplankton dan zooplankton. Keutamaan dalam penelitian ini terutama untuk
pengujian isi lambung sudah dibedakan berdasarkan ukuran ikan lemuru sesuai
dengan penamaan oleh masyarakat pesisir Selat Bali. Berdasarkan hasil yang
diperoleh ternyata lemuru pada saat berukuran sempenit adalah pemakan
fitoplankton. Pada saat lemuru berukuran protolan, pola makannya berubah
menjadi pemakan zooplankton, dan ketika berukuran lemuru dan lemuru kucing
kembali terjadi perubahan pola makan yaitu sebagai pemakan fitoplankton.
Dhulked (1962) menyatakan bahwa Sardinella longiceps dewasa adalah pemakan
phyitoplankton dan diduga bahwa ada perubahan pola dan kebiasaan makan
setelah ikan menjadi besar. Teori yang disampaikan oleh Dhulked (1962) terbukti
dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh terhadap sampel uji, bahwa
pada saat lemuru berukuran sempenit, kecenderungan pola makan dan jenis
makanannya adalah phytoplankton sebesar 48.78% (Tabel 22). Pada saat
berukuran protolan berubah menjadi pemakan zooplankton (43.75%), namun pada
saat berukuran lemuru dan lemuru kucing komposisi makanan yang ditemukan
pada sampel uji lebih banyak phytoplankton yaitu 42.86% untuk lemuru dan
45.46% untuk lemuru kucing (Tabel 22). Perubahan pola makan bisa disebabkan
oleh ketersediaan zat hara yang terdapat pada suatu wilayah perairan.
Berkurangnya sumber makanan bagi ikan pelagis terutama ikan lemuru sangat
mempengaruhi ketersediaan biomass sumberdaya dan selanjutnya dapat
mengurangi hasil tangkapan (Campo et al, 2006). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tinggi rendahnya hasil tangkapan, salah satunya dipengaruhi
oleh ketersediaan jumlah zat hara atau sumber makanan yang tersedia di suatu
108
perairan, karena daerah tersebut menjadi feeding ground ikan. Daerah feeding
ground merupakan daerah penangkapan yang baik bagi nelayan.
Sebagaimana sudah diuraikan di atas bahwa ikan lemuru merupakan ikan
pelagis kecil dan bersifat peruaya. Selama siang hari gerombolan ikan berada
dekat dengan dasar perairan, sedang pada malam mereka bergerak ke lapisan
permukaan membentuk gerombolan yang menyebar. Terkadang gerombolan
lemuru ditemukan di atas permukaan selama siang hari ketika cuaca berawan dan
gerimis. Walaupun sering ditemukan pada siang hari, namun ikan lemuru lebih
gampang ditangkap pada malam hari.
Habitat juvenil lemuru sering ditemukan diperairan dangkal dan menjadi
target dari alat tangkap tradisional, seperti liftnet, gillnet, dan lain lain. Lemuru
ukuran juvenile ini sering tertangkap di teluk Pang-Pang, dekat ujung
Sembulungan dan semenanjung Senggrong di sisi pulau Jawa. Sedangkan sisi
pulau Bali sering tertangkap di Teluk Jimbaran. Ukuran terkecil ikan lemuru
kurang dari 11cm (nama lokal disebut sempenit) secara umum dapat ditemukan
mulai bulan Mei-September dan kadang-kadang meluas sampai bulan Desember.
ikan yang lebih besar menghuni perairan lebih dalam dan secara umum semakin
ke arah selatan ukuran ikan bertambah panjang dan besar.
Daerah penangkapan bisa berubah. Faktor utama yang mempengaruhi
perubahan tersebut karena ikan lemuru sifatnya beruaya. Ruaya terjadi karena
adanya kepentingan untuk mencari makan, pembesaran, proses reproduksi, dan
bisa juga terjadi karena perubahan lingkungan perairan. Perubahan lingkungan
perairan menyebabkan perubahan sebaran suhu, salinitas dan kandungan zat hara
sebagai sumber makanan. Menurut Whitehead (1985), habitat ikan lemuru
menghuni suatu daerah dengan area yang luas, yaitu di sebelah timur Samudera
Hindia, yaitu. Pukhet, Thailand, pantai selatan Jawa Timur dan Bali, Australia
Barat, dan Samudera Pasifik (dari Pulau Jawa sebelah utara sampai Pilipina, Hong
Kong, Taiwan bagian selatan dan Jepang).
Nelayan memberikan nama kepada daerah penangkapan yang ada di
perairan Selat Bali secara turun-temurun. Nama tersebut diberikan berdasarkan
nama daratan yang terdekat pada saat operasi penangkapan berlangsung baik
109
berupa tanjung, teluk atau tanda-tanda lainnya. Nama daerah penangkapan yang
ada di Selat Bali berdasarkan hasil pencatatan selama penelitian terdapat 8 nama
daerah penangkapan yaitu : Klosot (Wringinan); Senggrong; Tanjung. Angguk;
Karang. Ente; Grajagan, ke lima daerah ini terletak di paparan Jawa, sedangkan
daerah penangkapan Pulukan; Seseh; Ulu watu terletak di paparan Bali. Selain itu
daerah penangkapan lainnya adalah Teluk Pang-pang, Teluk Banyubiru, dan
Teluk Senggrong yang merupakan daerah penangkapan alat bagan tancap dan
bagan apung.
Lemuru (Sardinella Lemuru Bleeker 1853) menghuni perairan tropis yang
ada di daerah Indo-Pacific. Menurut Whitehead (1985), sebagaimana sudah
diuraikan pada penjelasan terdahulu bahwa, habitat ikan lemuru menghuni suatu
daerah dengan area yang luas, yaitu di sebelah timur Samudera Hindia, yaitu.
Pukhet, Thailand, pantai selatan Jawa Timur dan Bali, Australia Barat, dan
Samudera Pasifik (dari Pulau Jawa sebelah utara sampai Pilipina, Hong Kong,
Taiwan bagian selatan dan Jepang). Di sebelah tenggara pulau Jawa dan Bali,
konsentrasi ikan Lemuru sebagian besar berada di Selat Bali.
6.6 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan terhadap analisis sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali ini
sebagai berikut:
1. Berdasarkan perhitungan CPUE, maka diperoleh CPUE rata-rata tertinggi
dengan menggunakan alat tangkap purse seine (311,1950 ton per unit)
2. Berdasarkan hasil perhitungan fungsi produksi, maka diperoleh nilai Cmsy
sebesar 59.059,63 ton pertahun, sedangkan nilai Emsy adalah 252,47 unit dan
diindikasikan sudah over fishing atau dalam kondisi kehati-hatian.
3. Hasil pengukuran panjang, lebar dan berat lemuru yang dilakukan selama
periode bulan Mei-Oktober 2011, menunjukkan bahwa ukuran lemuru yang
tertangkap tidak mengalami penurunan.
4. Berdasarkan hasil uji bedah lambung terhadap sampel ikan lemuru, terbukti
bahwa lemuru merupakan plankton feeder.