5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI DAN … V... · 53 5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI...
Transcript of 5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI DAN … V... · 53 5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI...
53
5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI
DAN KLIMATOLOGI TERHADAP HASIL TANGKAPAN LEMURU
(Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI
5.1 Pendahuluan
Ikan hidup dalam ekosistem laut, yang mana di dalamnya terjadi interaksi
secara dinamis antara ikan dan komponen biotik lainnya. Selain itu juga terjadi
interaksi antara ikan dan komponen abiotik yang menyusun ekosistem laut itu
sendiri. Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup biota laut, jika lingkungan perairan tidak sehat, maka biota air yang hidup
didalamnya ikut terganggu.
Ikan tidak hidup sendiri (terisolasi), tetapi berinteraksi dengan berbagai
jenis ikan lain serta komponen biotik lainnya yang hidup dalam ekosistem
perairan, seperti fitoplankton, zooplankton, benthos, mollusca, crustacea,
echinodermata, dan lain sebagainya (Dahuri, 2007). Ikan juga berinteraksi atau
dipengaruhi oleh komponen abiotik yang menyusun ekosistem perairan. Salah
satu organisme hidup yang paling penting dalam ekosistem perairan adalah
fitoplankton (Ariyadej et al., 2008). Sebagai produsen primer, fitoplankton
memainkan peran penting untuk sirkulasi dan aliran energi dalam ekosistem
perairan. Keberadaannya sering digunakan sebagai kontrol terhadap pertumbuhan,
kapasitas reproduksi dan populasi serta karakteristik organisme air lainnya.
Disamping itu keberadaan fitoplankton sangat penting diketahui untuk melakukan
evaluasi terhadap kondisi lingkungan perairan. Selain itu, fitoplankton membantu
untuk meningkatkan kualitas perairan dengan mengubah zat anorganik menjadi
zat organik (Graham dan Wilcox, 2000).
Fenomena oseanografi yang terjadi di perairan laut sangat berpengaruh
terhadap kehidupan biota laut. Faktor oseanografi tersebut adalah arus, suhu
terutama suhu permukaan laut, salinitas (kadar garam), zat hara (nutrient) dan
kandungan kimiawi air lainnya yang mempengaruhi kualitas perairan laut. Arus
yang terjadi di laut, merupakan salah satu faktor oseanografi yang berpengaruh
terhadap lingkungan perairan, dan selalu mendapat perhatian karena berkaitan erat
dengan cuaca dan iklim. Martono (2008) berpendapat bahwa arus mempunyai
54
peranan penting dalam ekologi laut, karena mempengaruhi pola pemanfaatan
sumberdaya yang terkandung di dalamnya.
Suhu permukaan laut, sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman
yang terjadi antara Asia dan Australia. Perubahan ini menyebabkan perubahan
arah angin terjadi dua kali dalam satu tahun. Suhu permukaan laut sangat
berkaitan dengan sebaran klorofil-a. Sebaran klorofil-a, berhubungan dengan
kesuburan suatu wilayah perairan. Di Selat Bali, perubahan suhu musiman yang
terjadi antara Asia dan Australia, dimana bulan Desember – Maret, angin bertiup
dari daratan Asia menuju utara yaitu Australia, yang disebut dengan musim barat.
Pada bulan Juni – September, angin bertiup dari daratan Australia menuju daratan
Asia yang disebut dengan musim Timur. Perubahan suhu musiman ini
menyebabkan arah angin berubah dua kali dalam satu tahun.
Iklim dalam dinamika biofisika dan kimia perairan juga berpengaruh
terhadap karakteristik lingkungan perairan, serta interaksi dinamis antara laut dan
atmosfir. Terkait dengan ini, maka faktor iklim perlu mendapat perhatian
tersendiri dalam melakukan pengelolaan sumberdaya yang terkandung dalam
suatu lingkungan perairan. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (2011),
bahwa perubahan iklim merupakan perubahan pola dan intensitas unsur iklim
pada periode waktu yang dapat dibandingkan, dan biasa terjadi rata-rata 30
tahunan. Perubahan iklim dapat berupa perubahan cuaca rata-rata atau perubahan
distribusi cuaca terhadap kondisi rata-rata.
Angin merupakan faktor iklim yang cukup berpengaruh dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan. Angin, sangat dipengaruhi oleh pola angin itu
sendiri. Angin terjadi karena ada gaya yang bekerja pada atmosfir bumi, dan
menyebabkan terjadinya keadaan tidak seimbang. (Handoko, 1999). Berkaitan
dengan adanya proses pemanasan global yang terjadi pada kurun waktu terakhir
ini, berdampak pada perubahan iklim. Hal ini juga akan berdampak pada
kehidupan biota laut. Dampak dari kondisi ini sangat dirasakan oleh nelayan di
Selat Bali, karena pada periode tahun 2009 – 2010 ikan lemuru seolah-olah
menghilang dari perairan Selat Bali.
55
Faktor oseanografi yang diteliti adalah sebaran kloropil-a, suhu permukaan
laut dan arus selama kurun waktu 2005- 2010. Uji kualitas perairan berkaitan
dengan unsur-unsur kimia air (Nitrat dan Fosfat) dilokasi fishing ground.
Menurut SK Menteri Lingkungan hidup nomor 115 tahun 2003 tentang mutu
kualitas air sesuai peruntukannya. Faktor klimatologi yang akan diteliti adalah
seberapa besar pengaruh angin dan hujan terhadap hasil tangkapan nelayan di
Selat Bali.
Selat Bali merupakan kawasan perairan laut yang memiliki sumberdaya
lemuru. Sumberdaya ini merupakan sumber mata pencaharian bagi nelayan yang
ada di kawasan tersebut yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana.
Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi
tahun 2010 terjadi penurunan hasil tangkapan lemuru sebesar 43,03 %. Apakah
penurunan hasil tangkapan tersebut dipengaruhi oleh faktor oseanografi dan
klimatologi? Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin meneliti seberapa besar
pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan ikan lemuru
di Selat Bali. Apakah faktor oseanografi dan klimatologi tersebut berpengaruh
secara langsung atau tidak langsung terhadap hasil tangkapan lemuru. Batasan
faktor oseanografi dan klimatologi yang diteliti yaitu berkaitan dengan sebaran
klorofil-a, suhu permukaan laut, arus angin, dan hujan.
5.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis faktor oseanografi dan
klimatologi (suhu permukaan laut, sebaran klorofil-a, arus, angin, dan hujan) di
Selat Bali. (2) Menganalisis pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap
hasil tangkapan lemuru.
5.3 Kebutuhan dan Metode Analisis Data
5.3.1 Kebutuhan data
Data yang dibutuhkan untuk analisis pengaruh faktor oseanografi dan
klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru di perairan laut Selat bali, adalah:
56
1) Hasil tangkapan ikan
Data hasil tangkapan lemuru yang didaratkan di Kabupaten Banyuwangi
(UPPPP Muncar) dan Kabupaten Jembrana. Data dikumpulkan secara time series
dari tahun 2005 – 2010. Kegunaan data ini untuk melihat hubungan hasil faktor-
faktor oseanografi dan klimatologi dan pengaruhnya terhadap tangkapan. Apakah
faktor-faktor oseanografi dan klimatologi mempengaruhi hasil tangkapan nelayan
lemuru di Selat Bali.
2) Faktor-faktor oseanografi
Data dan informasi yang dikumpulkan adalah kondisi eseanografi perairan
Selat Bali, yaitu data yang berkaitan atau berpengaruh terhadap ketersediaan
sumberdaya lemuru. Data tersebut adalah:
a. Sebaran klorofil-a
Data sebaran klorofil-a di Selat Bali diperoleh dengan cara mendownload
citra hasil pemotretan satelit Aqua MODIS dari internet yaitu melalui
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov, Data citra satelit Aqua MODIS terhadap kondisi
perairan Selat Bali diambil periode 2005 – 2010. Citra yang diolah adalah citra
yang bebas awan, mencakup lintang dan bujur sesuai dengan areal yang diteliti.
Data time series tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, secara
deskriptif dilihat trend perubahan sebaran klorofil-a yang terjadi di Selat Bali.
Untuk melihat sebaran klorofil-a di lokasi fishing ground, dilakukan pengambilan
sampel air selama periode bulan Mei – Oktober 2011, hal ini dilakukan untuk
menjawab pertanyaan kenapa nelayan memilih lokasi tersebut untuk menurunkan
jaring. Setelah data yang diperlukan diperoleh, dilakukan penghitungan sebaran
klorofil-a berdasarkan koordinat yang sudah ditetapkan yaitu berdasarkan garis
lintang dan bujur.
b. Suhu permukaan laut (SPL)
Data untuk mengetahui suhu permukaan laut di Selat Bali, juga dilakukan
dengan cara mendownload citra hasil pemotretan satelit Aqua Modis. Data yang
diperlukan disini adalah data time series suhu permukaan laut periode tahun 2005
– 2010. Suhu permukaan laut sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan
57
perairan dan juga mempengaruhi kandungan nutrien, yang akan berpengaruh
terhadap keberadaan sumber makanan ikan lemuru. Melalui analisis ini
diharapkan dapat diketahui apakah suhu permukaan laut berpengaruh secara
langsung terhadap hasil tangkapan lemuru di Selat Bali.
c. Kualitas perairan
Pengujian terhadap kualitas perairan dilakukan untuk mengetahui unsur-
unsur kimia yang dapat mempengaruhi kualitas perairan Selat Bali. Unsur-unsur
kimia tersebut adalah kandungan nitrat, fosfat. Disamping itu juga dilakukan
pengukuran terhadap kadar salinitas dan pH air laut. Unsur-unsur tersebut sangat
berpengaruh terhadap kelimpahan dan sebaran klorophil-a, terutama unsur nitrat
dan fosfat. Unsur hara nitrogen (N) tidak mempunyai hubungan yang tetap dengan
unsur hara posfor (P), tetapi bersama-sama dengan karbon ( C ), N dan P, dapat
memproduksi zat organik. Walaupun hara C terdapat dalam jumlah yang banyak,
tetapi kedua unsur hara N dan P menjadi faktor pembatas dalam proses daur bahan
organik di laut.
Pengambilan sampel air laut dilakukan pada titik lokasi penangkapan ikan
oleh nelayan, selanjutnya untuk mengetahui pada koordinat berapa jaring
diturunkan, digunakan GPS (Global Positioning System). Pengujian sampel air
dilakukan di Laboratorium Analisa Kualitas Perairan Balai Riset dan Observasi
Kelautan- Perancak Bali.
3) Faktor klimatologi
Data faktor klimatologi yang berpengaruh terhadap lingkungan perairan
Selat Bali, diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) Kabupaten Banyuwangi yaitu data angin dan hujan. Data arus diperoleh
dari Badan Meteorologi dan Klimatologi Maritim (BMK Maritim) Surabaya.
Data dikumpulkan selama periode 2005–2010. Data ditampilkan secara deskriptif
dan spasial, berupa data triwulanan untuk melihat fluktuasi faktor klimatologi
selama periode tersebut, dan ditampilkan dalam bentuk tabel, gambar, dan grafik.
58
5.3.2 Metode analisis data
Analisis data disesuaikan dengan masing-masing parameter yang diuji.
Parameter tersebut adalah.
1. Analisis faktor oseanografi (sebaran klorofil-a dan suhu permukaan
laut)
a. Analisis sebaran klorofil-a
Sebaran klorofil-a yang dilakukan pada saat penelitian dan
membandingkan dengan data hasil penelitian sebelumnya. Data sebaran klorofil-a
di Selat Bali diperoleh dengan cara mendownload citra hasil pemotretan satelit
Aqua MODIS dari internet yaitu melalui http://oceancolor.gsfc.nasa.gov, Data
citra satelit Aqua MODIS terhadap kondisi perairan Selat Bali diambil periode
2005–2009. Citra yang diolah adalah citra yang bebas awan, mencakup lintang
dan bujur sesuai dengan areal yang diteliti. Setelah data yang diperlukan
diperoleh, dilakukan penghitungan sebaran klorofil-a pada koordinat yang sudah
ditetapkan yaitu berdasarkan garis lintang dan bujur.
Proses penentuan konsentrasi klorofil-a, dilakukan dengan menggunakan
sensor karakteristk ocean color, yang ditunjukkan dengan sinar biru dan hijau dari
permukaan laut. Pantulan sinar hijau dari permukaan laut merupakan informasi
konsentrasi klorofil-a yang dideteksi oleh sensor. Apabila sinar hijau yang
diterima oleh sensor semakin banyak, menunjukkan konsentrasi klorofil-a
semakin banyak. Perhitungan konsentrasi klorofil-a dilakukan menggunakan
parameter band 9, 10 dan 12. Algoritma OC4v4 digunakan nilai tertinggi (Rmax)
dari rasio RRS (443/RRS (555).
Penentuan nilai sebaran/konsentrasi klorophil-a, digunakan persamaan
algoritma OC4v4 sebagai berikut:
( ) ( ) ( ) ( )
,
dimana
R4s = log10(Rmax),
59
dimana:
Clo : Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)
R4s : Rasio refleksi
RRS : Remote sensing reflectance.
Langkah berikutnya adalah memetakan sebaran klorofil-a di Selat Bali.
Pemetaan sebaran klorofil-a sangat dibutuhkan untuk menentukan daerah
penangkapan ikan. Harapannya adalah agar nelayan bisa mencapai fishing ground
untuk melakukan penangkapan dengan waktu yang lebih singkat.
b Analisis suhu permukaan laut (SPL)
Prosedur perhitungan suhu permukaan laut, diawali dengan melakukan
pengecekan pada citra piksel yang berawan. Langkah-langkah yang dilakukan
untuk mendeteksi awan adalah sebagai berikut:
1. Apabila kecerahan kanal 31 (T31) lebih kecil dari 2800 K, maka piksel tersebut
berawan
2. Apabila selisih antara kecerahan kanal 31 (T31) dan kanal 32 (T32) > 2.50 K,
maka piksel tersebut berawan
Untuk mengetahui piksel-piksel yang bebas awan, dilakukan penghitungan SST
dengan menggunakan persamaan dari Minnet et al (2001) vide Hariadi (2009)
sebagai berikut:
SST = c1+(c2xT31) + [c3x(T32-T31)] + [c4x( )-1) x (T32-T31)],
dimana :
SST = Sea Surface Temperature (0K)
T31 dan T32 = Kecerahan air pada kanal 31 dan 32
= Sudut zenith satelit ( = 0.001)
c1, c2, c3, c4 = Nilai koefisien.
Nilai koefisien (c1, c2, c3, c4) dapat dijabarkan pada Tabel 12.
60
Tabel 12 Koefisien Kanal 31 dan 32 untuk Satelit Aqua Modis
Koefisien (T32-T31) > 0.7 (T32-T31) < 0.7
c1 1.1107100 1.1960990
c2 0.9586865 0.9888366
c3 0.1741229 0.1300626
c4 1.8767520 1.6271250
Untuk mengeliminir sebaran/hamburan cahaya dari atmosfir, dilakukan
koreksi atmosferik. Komponen atmosfir yang dikoreksi adalah hamburan
Rayleigh dan aerosol, dengan proses multiple scattering aerosol model with 7/8
algorithm and NIR iteration, dengan perangkat lunak SeaDAS.
Agar data yang dihasilkan dari proses koreksi atmosferik dapat
memberikan informasi dari citra berkaitan dengan fenomena dilaut, maka
dilakukan koreksi geometrik melalui pengolahan citra yaitu proyeksi citra,
landmask, dan proyeksi skala warna garis dengan menggunakan menu Seadisp
pada program SeaDas.
Proses berikutnya adalah melakukan pemotongan (cropping) citra untuk
membatasi ruang lingkup spasial pada citra, sesuai dengan area penelitian. Untuk
proses pemotongan citra, diperlukan data pixel/line awal dan nilai pixel/line akhir,
dan nilai lintang/bujur awal serta nilai lintang/bujur akhir. Hasil proses tersebut,
dijabarkan dalam bentuk peta kontur yang berfungsi untuk penentuan pola
distribusi penyebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut. Keseluruhan
pengamatan dan pengolahan citra dilakukan di BROK Perancak Bali.
2. Analisis faktor klimatologi (angin, hujan, dan arus)
Analisis faktor klimatologi dilakukan secara deskriptif kuantitatif, yaitu
data yang diperoleh selama kurun waktu lima (5) tahun yaitu dari 2005 – 2010.
Data tersebut adalah data angin, curah hujan, dan arus. Data time series curah
hujan, diperoleh dari BMKG Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan untuk data
arus dan angin, yang terjadi di wilayah perairan Selat Bali diperoleh dari BMK
Maritim Surabaya. Data time series dikumpulkan dari tahun 2005 – 2010, yang
secara deskriptif menggambarkan kondisi faktor klimatologi selama periode 2005
61
– 2010. Faktor klimatologi yang terjadi di perairan Selat Bali ditampilkan dalam
bentuk tabel, gambar dan grafik. Analisis dilakukan dengan menggunakan
program Windwave.
3. Analisis kualitas perairan
Untuk mengetahui kualitas perairan dan unsur kimia yang dapat
mempengaruhi kualitas perairan Selat Bali adalah dengan pengambilan sampel air
laut pada saat nelayan melakukan penangkapan ikan. Unsur-unsur kimia tersebut
adalah kandungan nitrat dan posfat. Unsur-unsur tersebut sangat menentukan
kesuburan suatu perairan, terutama nitrat. Selain itu juga dilakukan analisis
terhadap salinitas dan kadar pH air. Peralatan yang digunakan sebagai berikut:
1. GPS (Global Positioning System) untuk menentukan koordinat lokasi nelayan
menurunkan jaring
2. Jirigen ukuran 2 (dua) liter sebanyak dua buah sebagai wadah sampel
3. Plastik hitam untuk menutup jirigen dari pengaruh cahaya
4. Box sterofoam yang sudah diisi es sebagai tempat penyimpanan jirigen
sampel.
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei–Oktober 2011, sebanyak
24 (dua puluh empat) kali atau 24 titik (Gambar 13). Sampel diambil
menggunakan kapal nelayan, dan tanggal pengambilan disesuaikan dengan
kebiasaan nelayan setempat dalam melakukan penangkapan, yaitu mengikuti
penanggalan jawa. Pengujian sampel air untuk mengetahui unsur kimia air seperti
yang telah duraikan di atas, dilakukan di laboratorium kualitas perairan Balai
Riset dan Observasi Kelautan Perancak Bali. Selanjutnya, nilai yang diperoleh
dilakukan analisis dengan metode STORET yang tercantum dalam kepmen
lingkungan hidup nomor 115 tahun 2003.
62
Gambar 13 Posisi kapal ikan ketika penurunan jaring dan pengambilan sampel
untuk uji kualitas perairan
Metode STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status
mutu air yang umum digunakan. Dengan metoda STORET ini dapat diketahui
parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Baku
Mutu air mengacu pada Kepmen LH nomor 115 tahun 2003. Secara prinsip
metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku
mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu
air. Status mutu air, ditentukan dengan menggunakan sistem nilai dari “US-EPA
(Environmental Protection Agency)” dengan mengklasifikasikan mutu air dalam
empat kelas (Tabel 3).
4. Analisis pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil
tangkapan lemuru
Pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi dengan hasil tangkapan ikan
lemuru, dilakukan analisis secara regresi linier biasa. Berdasarkan hasil regresi
linier tersebut dapat diketahui seberapa besar pengaruh faktor oseanografi dan
klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru selama periode tahun 2005-2010.
Untuk melihat bagaimana pengaruh faktor klimatologi dan oseanografi terhadap
hasil tangkapan ikan lemuru, dilakukan analisis regresi dengan menggunakan
formula:
63
Y = a+b1X1+b2X2+...+bnXn, ................................................................(1)
dimana:
Y = Total hasil tangkapan lemuru
a = Konstanta
b1,b2...bn = Koefisien regresi
x1, x2,...xn = parameter oseanografi dan klimatologi
Software yang digunakan untuk melakukan analisis ini adalah program
pengolah data yang biasa digunakan untuk analisis regresi secara umum.
Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan formula tersebut di
atas, maka dapat diketahui seberapa tinggi pengaruh faktor oseanografi dan
klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru. Hasil perhitungan ditampilkan
dalam bentuk tabel dan grafik.
5.4 Hasil Penelitian
5.4.1 Trend sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut
Faktor-faktor oseanografi yang berpengaruh terhadap kondisi perairan Selat
Bali dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan adalah:
a. Sebaran klorofil-a
Hasil analisis data klorofil-a yang diambil dari citra satelit menunjukkan
bahwa secara periodik yaitu dari tahun 2005 – 2010 yang dihitung per triwulan,
dimana konsentrasi kloropil-a cenderung meningkat seiring dengan terjadinya
penurunan suhu permukaan laut (Gambar 14). Pada triwulan III tahun 2007
terjadi peningkatan klorofil-a. Sebaran klorofil-a untuk tahun 2009 dan 2010 pada
triwulan I, cenderung stabil.
Hasil pengujian sampel yang dilakukan selama periode bulan Mei –
Oktober 2011 menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada
bulan Agustus yaitu 4,2964 mg/m3, apabila dilihat produksi lemuru pada bulan
Agustus juga mengalami peningkatan. Hal ini mempertegas bahwa faktor sebaran
konsentrasi klorofil-a sangat berpengaruh terhadap tinggi-rendahnya hasil
tangkapan lemuru di Selat Bali, baik yang dilakukan oleh nelayan Kabupaten
Banyuwangi maupun nelayan Kabupaten Jembrana. Hasil pemotretan citra satelit
64
0.0000
0.5000
1.0000
1.5000
2.0000
2.5000
3.0000
3.5000
4.0000
4.5000
5.0000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Klo
rofi
l-a
(mg/
m3)
Bulan
Muncar Bali
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Klo
rofi
l-a
(mg/
m3
)
Tahun
Triwulan I Triwulan II Teriwulan III Triwulan IV
aqua modis, secara visual sebaran konsentrasi klorofil-a di Selat Bali untuk tahun
2010 dapat dilihat pada Lampiran 2.
.
Gambar 14 Trend tahunan konsentrasi klorofil-a triwulanan di perairan Selat
Bali periode 2005 – 2010
Sebaran klorofil-a tertinggi periode Mei – Oktober 2011 yang diperoleh
saat nelayan menurunkan jaring pada koordinat Lintang -8.62981 dan Bujur
114.4549, yaitu sebesar 4,2964 mg/m3. Sebaran klorofil-a terendah pada
koordinat Lintang -8.44806 dan Bujur 114.3797 yaitu 0,0090 mg/m3
(Gambar
15).
Gambar 15 Konsentrasi klorofil-a di Selat Bali periode Mei – Oktober 2011
(Data primer 2011)
65
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010Rat
a-ra
ta s
uh
u p
erm
uka
an l
aut
(oC
)
Tahun
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan di Laboratorium Kualitas Perairan
Laut BROK Perancak Bali, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan konsentrasi
sebaran klorofil-a pada paparan Bali dan paparan Jawa (Lampiran 4). Sebaran
klorofil-a pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh suhu permukaan laut yang
terjadi pada saat itu. Jika suhu permukaan laut tinggi, maka kandungan dan
sebaran klorofil-a menurun atau sedikit, namun pada saat pengambilan sampel
tidak dilakukan pengukuran suhu permukaan laut karena kekurangan alat pada
saat turun ke lapangan.
b. Suhu permukaan laut (SPL)
Analisis data suhu permukaan laut triwulanan selama periode 6 tahun
(2005-2010) menunjukkan pola variasi suhu permukaan laut mengikuti pola
musim (monsoon) yaitu musim timur (Juni–Agustus), musim barat (Desember–
Februari), musim peralihan I (Maret–Mei), dan musim peralihan II (September–
November). Peningkatan suhu permukaan laut mulai terlihat pada bulan
Nopember–April. Memasuki musim timur, suhu permukaan laut mulai
menunjukan penurunan yang cukup tinggi.
Gambar 16 Trend rata-rata triwulanan suhu permukaan laut di Selat Bali tahun
2005 – 2010
Penurunan suhu permukaan laut ini sebagai indikasi terjadinya proses
inderek upwelling yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a.
66
Pada tahun 2010, suhu permukaan laut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun–tahun sebelumnya, bahkan hampir di setiap periode triwulan (Gambar 16).
Jika dilihat lebih rinci, dapat dijabarkan disini bahwa, peningkatan suhu
permukaan laut dari tahun 2005 – 2010 seiring dengan terjadinya penurunan
sebaran klorofil-a. Untuk membuktikan hal tersebut, dilakukan uji statistik
dengan uji korelasi pearson. Hasil uji menunjukkan ada kecenderungan sebaran
klorofil-a berkorelasi sangat kuat dengan suhu permukaan laut (Tabel 13).
Tabel 13 Korelasi klorofil-a dan suhu permukaan laut triwulanan dalam 2005-
2010
Klorofil-a SPL
Klorofil-a Pearson correlation 1 -.876(**)
Sig. (2-tailed) . .000
N 24 24
SPL Pearson correlation -.876(**) 1
Sig. (2-tailed) .000 .
N 24 24
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Secara visual, suhu permukaan laut di Selat Bali tahun 2010 berdasarkan
hasil pemotretan dengan satelit citra aqua modis, dapat dilihat pada Lampiran 3.
5.4.2 Trend curah hujan, kecepatan angin dan kekuatan arus
Rata-rata curah hujan triwulanan selama periode 2005 – 2010 di Selat Bali
berfluktuasi. Curah hujan tertinggi terjadi pada triwulan I tahun 2007 dengan
rata-rata 254,33 mm, dan paling rendah terjadi pada triwulan III tahun 2008
dengan rata-rata 17,67 mm. Tinggi rendahnya curah hujan yang terjadi di
perairan Selat berpengaruh kepada kondisi cuaca yang tidak memungkinkan
nelayan untuk turun ke laut. Hal ini berkaitan dengan kesulitan dalam melakukan
penurunan jaring, karena biasanya jika hujan turun cukup deras diikuti oleh angin
yang cukup kencang, sehingga arus permukaan juga meningkat. Kondisi
demikian membuat nelayan enggan untuk turun kelaut. Trend curah hujan yang
terjadi di Selat Bali selama kurun waktu 2005-2010 dapat dilihat pada Gambar 17.
67
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ke
cep
atan
an
gin
(kn
ot)
Tahun
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
300.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Cu
rah
hu
jan
(m
m)
Tahun
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
Gambar 17 Trend curah hujan tahun 2005 – 2010 di Selat Bali Sumber: BMKG Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011
Angin, merupakan kecepatan angin yang terjadi di Selat Bali periode 2005
– 2010. Trend kecepatan angin yang terjadi selama periode tersebut di atas dapat
dilihat pada Gambar 18. Rata-rata tahunan kecepatan angin tidak menunjukkan
peningkatan yang signifikan, atau bisa dikatakan kecepatan angin cenderung
stabil. Arah angin yang terjadi sepanjang tahun 2005 – 2006, terutama
berpengaruh terhadap alur pelayaran kapal di Selat Bali. Secara visual kecepatan
dan arah angin dapat dilihat pada lampiran 5.
Gambar 18 Kecepatan angin yang terjadi di Selat Bali periode tahun 2005 - 2010 Sumber: BMK Maritim Surabaya (2011)
68
Kekuatan arus maksimum di Selat Bali periode tahun 2005 – 2010, terjadi
pada triwulan III tahun 2010 yaitu 14,71 cm/s, sedangkan kekuatan arus
minimum/terendah terjadi pada triwulan I tahun 2010 yaitu 5,01 cm/s. Apabila
kita lihat secara keseluruhan, rata-rata kekuatan arus dari tahun 2005 – 2010
cenderung meningkat. Kekuatan arus yang terjadi di Selat Bali, selama periode
2005 – 2010 dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Kekuatan arus air di Selat Bali periode 2005 – 2010 Sumber: BMK Maritim Surabaya (2011)
Korelasi faktor klimatologi (angin, hujan, dan arus) setelah dilakukan uji
secara statistik (Tabel 14) menunjukkan bahwa, angin ada kecenderungan
berkorelasi kuat dengan hujan (-0,533) dan memiliki kecenderungan berkorelasi
positif dengan arus (0,472).
Tabel 14 Korelasi faktor angin, hujan, dan arus periode 2005-2010 Angin Hujan Arus
Angin Pearson Correlation 1 -.533(**) .472(*)
Sig. (2-tailed) . .007 .020
N 24 24 24
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
69
5.4.3 Kualitas perairan di lokasi fishing ground
Uji kualitas perairan dilokasi fishing ground yang dilakukan pada periode
Mei – Oktober 2011 (Gambar 20). Setelah disesuaikan dengan standar baku mutu
kualitas perairan sesuai peruntukannya menurut SK Menteri Lingkungan Hidup
nomor 115 tahun 2003 (Tabel 2), maka kadar pH masih berada pada nilai baku
mutu, sedangkan untuk salinitas untuk kedua sisi yaitu Kabupaten Banyuwangi
dan Jembrana mengalami peningkatan di atas baku mutu.
Gambar 20 Kualitas perairan di lokasi fishing ground periode Mei-Oktober
2011
Kandungan Nitrat, di wilayah perairan dekat paparan Jawa yaitu
Kabupaten Banyuwangi berada di atas baku mutu yaitu sebesar 0,0938 mg/l,
sedangkan menurut baku mutu adalah 0,008 mg/l, hal yang sama juga terjadi
untuk Kabupaten Jembrana yaitu sebesar 0,079 mg/l. Kandungan Fosfat rata-rata
adalah 0.009 mg/l dan masih dibawah baku mutu yaitu 0.015 mg/l. Parameter pH
yang diuji menunjukan bahwa di lokasi fishing ground kadar pH masih normal
(7,95-8,41). Nilai pH sangat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan,
misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Hasil uji kualitas
perairan dapat dilihat pada Lampiran 4.
70
5.4.4 Pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil
tangkapan lemuru
Uji secara regresi dengan menggunakan program pengolah data,
membuktikan bahwa hasil tangkapan lemuru periode tahun 2005–2010
dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi yaitu sebaran klorofil-a (Tabel 15).
Faktor klimatologi yang berpengaruh adalah angin. Hasil yang tertera pada Tabel
15 menunjukkan bahwa, setiap kenaikan satu satuan klorofil-a dapat
meningkatkan hasil tangkapan sebanyak 17.338,792 ton ikan lemuru. Selanjutnya
setiap peningkatan satu satuan kecepatan angin dapat menurunkan hasil tangkapan
sebesar 11.521,697 ton ikan.
Tabel 15 Uji regresi pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil
tangkapan lemuru di Selat Bali tahun 2005 – 2010
Model Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
Collinearity
Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
(Constant) 67579.015 14052.150 4.809 .000
Angin -11521.697 2869.60830 -.807 -4.015 ,001 .665 1.504
Klorofil-a 17338.792 8234.647 .423 2.106 .047 .665 1.504
Berdasarkan uji secara regresi, pengaruh faktor lingkungan perairan terhadap hasil
tangkapan lemuru, maka dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut:
Y = 67579,015 – 11521,697 angin + 17338,792 klorofil-a
Fluktuasi hasil tangkapan lemuru di Selat Bali dipengaruhi oleh sebaran
klorofil-a yang terdapat di lokasi fishing ground. Gambar 21 menunjukkan
bahwa pada triwulan IV untuk tahun 2006 dan triwulan I tahun 2007 merupakan
hasil tangkapan lemuru tertinggi yang diperoleh yaitu 58.338,349 ton dan
57.340,079 ton. Jika dilihat untuk triwulan IV tahun 2006 konsentrasi sebaran
klorofil-a (Gambar 14) juga mengalami peningkatan yaitu 1,19 mg/m3. Artinya,
dengan meningkatnya sebaran klorofil-a di wilayah perairan Selat Bali
memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru.
71
-
10,000.000
20,000.000
30,000.000
40,000.000
50,000.000
60,000.000
70,000.000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Has
il ta
ngk
apan
(to
n)
Tahun
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
Gambar 21 Fluktuasi hasil tangkapan lemuru berdasarkan triwulan selama
periode 2005-2010
Hal yang berbeda terjadi pada triwulan I tahun 2007, bahwa konsentrasi
klorofil-a kecil ( 0,35 mg/m3) akan tetapi hasil tangkapan tinggi, inilah fenomena
alam yang tidak dapat diprediksi oleh manusia. Jika dilihat pengaruh angin
terhadap hasil tangkapan (Gambar 18), kecepatan angin pada triwulan IV tahun
2006 adalah 4,00 knot, dan untuk triwulan I tahun 2007 kecepatan angin adalah
5,33 knot. Artinya, dengan kecepatan angin yang rendah memungkinkan nelayan
untuk melaut. Hasil perhitungan analisis ini merupakan parameter untuk analisis
model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali (bab
9).
5.5 Pembahasan
Sesuai dengan tujuan penelitian, dalam bab ini hal-hal yang ingin dibahas
berkaitan dengan faktor oseanografi dan klimatologi yang terjadi di perairan Selat
Bali selama kurun waktu 2005-2010, kualitas perairan di lokasi fishing ground
periode Mei-Oktober 2011, dan pembahasan tentang pengaruh faktor oseanografi
dan klimatologi terhadap hasil tangkapan.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa faktor oseangorafi dan
klimatologi mempunyai hubungan yang erat dengan hasil tangkapan lemuru oleh
nelayan di Selat Bali, baik yang ditangkap oleh nelayan dari Kabupaten
72
Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana periode tahun 2005–2010. Faktor
oseanografi yang berpengaruh adalah klorofil-a, dimana klorofil-a merupakan
sumber makanan bagi plankton.
Rata-rata tahunan konsentrasi klorofil-a paling tinggi terjadi pada triwulan
III tahun 2007 yaitu 1,33 mg/m3. Hal ini erat kaitannya dengan fenomena
regional berupa El Nino dan menguatnya Indian Ocean Dipole (IOD). Hal yang
sama pernah terjadi pada tahun 1987 dan 1998 pada saat terjadi El Nino yang kuat
karena peningkatan suhu permukaan laut yang cukup signifikan. Begitu juga
yang terjadi pada tahun 2010 (Gambar 16), dimana suhu permukaan laut secara
keseluruhan lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu
rata-rata sebesar 29,63oC. Peningkatan suhu permukaan laut ini kemungkinan
akibat dari fenomena La Nina yang berkepanjangan yang terjadi di Samudera
Pasifik, yang mengalirkan air hangat ke Samudara Hindia. Kondisi ini dibarengi
dengan rendahnya rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,4425 mg/m3, dan
merupakan konsentrasi terendah selama 5 tahun terakhir. Berdasarkan hal
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebaran klorofil-a sangat dipengaruhi
oleh tinggi rendahnya suhu permukaan laut.
Hasil analisis kandungan klorofil-a yang dilakukan dari bulan Mei -
Oktober 2011 di Laboratorium Kualitas Perairan BROK Perancak Bali (Gambar
15), dapat dilihat bahwa sebaran klorofil-a tertinggi tercatat pada bulan Agustus
baik itu disisi paparan Bali (1,1210 mg/m3), maupun disisi paparan Jawa (4,2964
mg/m3). Apabila kita sejajarkan dengan data time series dari citra satelit selama
kurun waktu 2005 – 2010, terlihat bahwa pada bulan Agustus memang terjadi
peningkatan sebaran klorofil-a di Selat Bali.
Klorofil-a terdapat pada fitoplankton. Klorofil-a, adalah suatu pigmen
aktif sel tumbuhan yang memiliki peran penting dalam berlangsungnya proses
fotosintesis didalam perairan (Prezelein, 1981). Konsentrasi sebaran klorofil-a,
sangat mempengaruhi keberadaan planton di suatu wilayah perairan. Kesuburan
plankton dalam satu ekosistem perairan ditentukan oleh interaksi yang terjadi
antara plankton tersebut dengan faktor fisika, kimia dan biologi air (Basmi 1988).
Keberadaan plankton yang merupakan sumber makanan lemuru dan sangat
73
berpotensi dalam meningkatkan jumlah atau kepadatan sumberdaya lemuru di
Selat Bali. Menurut Sartimbul et al. (2010) Selat Bali merupakan wilayah
upwelling dan memiliki kandungan nutrient yang sangat baik. Upwelling,
merupakan pergerakan massa air secara vertikal, sebagai akibat dari stratifikasi
densitas air laut (Surinati 2009). Perairan laut Selat Bali merupakan daerah
upwelling yang lebih baik bila dibandingkan dengan perairan laut lainnya,
sehingga jumlah ikan tidak pernah habis. Hendiarti et al. (2004) menyatakan
konsentrasi klorofil-a meningkat sebagai akibat upwelling. Upwelling disebabkan
oleh angin musim tenggara, yang terjadi sekitar bulan April hingga awal bulan
Oktober (Pranowo dan Realino 2004). Proses upwelling yang terjadi
menyebabkan Selat Bali mempunyai nilai lebih secara ekonomi, karena Selat Bali
merupakan habitat yang baik bagi ikan lemuru. Upwelling yang terjadi disuatu
kawasan perairan dapat dilihat dari penurunan atau kenaikan suhu permukaan laut
di wilayah perairan tersebut. Di Selat Bali sendiri titik upwelling terjadi di bagian
selatan yang mengarah ke Samudera Hindia. Berdasarkan hasil wawancara
dengan salah seorang nelayan di Pengambengan, mengatakan bahwa ikan di Selat
Bali tidak akan pernah habis, ibaratnya dapat diambil dengan “centong” saking
banyaknya.
Suhu permukaan laut sangat berpengaruh terhadap kesuburan perairan
laut. Secara keseluruhan selama kurun waktu enam tahun terakhir terjadi
peningkatan suhu permukaan laut. Berdasarkan hasil analisis citra (Gambar 16)
dapat dilihat, untuk tahun 2010 suhu permukaan laut bulanan jauh lebih tinggi
dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu rata-rata sebesar 29,630C. Peningkatan suhu
permukaan laut ini kemungkinan disebabkan oleh fenomena La Nina yang terjadi
di Samudera Pasifik, yang mengalirkan air dengan suhu panas ke Samudera
Hindia. Berdasarkan hasil foto citra satelit selama periode bulan Mei – Oktober
2011, suhu permukaan laut tidak dapat dilihat, karena permukaan laut lebih sering
tertutup awan, terutama untuk suhu permukaan laut pada Bulan Agustus.
Apabila dilihat lebih rinci, dapat dijabarkan disini bahwa, terjadi hubungan
yang sangat erat antara sebaran klorofil-a dengan suhu permukaan laut. Dari
tampilan trend rata-rata triwulanan sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut
dapat dilihat bahwa, apabila suhu permukaan laut meningkat, maka sebaran
74
klorofil-a menurun. Haluan et al. (1991) menyatakan bahwa sebaran suhu
horizontal lebih banyak dipengaruhi oleh arus permukaan.
Seperti kita ketahui bersama, akhir tahun 2009 sampai dengan akhir tahun
2010, terjadi fenomena hilangnya ikan lemuru dari perairan Selat Bali.
Berdasarkan hasil analisis ini, maka terjawab penyebab hilangnya ikan lemuru
dari Selat Bali terjadi sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan laut.
Peningkatan suhu permukaan laut yang sangat signifikan terjadi tahun 2009 –
2010 yaitu mencapai 29,50°C. Peningkatan yang terjadi menyebabkan klorofil-a
tidak mampu mentolerir keadaan tersebut. Jika konsentarasi sebaran klorofil-a
yang merupakan pigmen dari fitoplankton menipis, maka sumber makanan berupa
zat renik menjadi berkurang. Disamping itu lemuru tidak dapat hidup pada suhu
perairan laut yang tinggi (29,50°C). Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala
BROK Perancak Bali ada kemungkinan ikan lemuru turun ke lapisan perairan
yang lebih dalam, dan tidak terjangkau oleh alat tangkap purse seine yang dimiliki
oleh nelayan, karena tinggi maksimal rata-rata yang digunakan adalah 75 – 100
meter. Penyebab turunnya lemuru ke lapisan perairan lebih dalam diperkirakan
sebagai akibat proses la-nina yang berkepanjangan di Samudera Pasifik yang
mengalirkan suhu air yang hangat ke Samudera Hindia termasuk Selat Bali.
Suhu di lautan kemungkinan berkisar antara -1,87°C (titik beku air laut) di
daerah kutub sampai maksimum sekitar 42°C di daerah perairan dangkal
(Hutabarat, 2001). Namun untuk tingkat kesuburan perairan, suhu maksimal
adalah 28°C, kenapa demikian, hal ini dapat dilihat bahwa pada periode tahun
2006, dengan suhu perairan seperti tersebut diatas maka sebaran klorofil-a lebih
tinggi.
Menurut Desser et al (1992), bahwa struktur kinematik dan termodinamika
lapisan batas atmosfer planet menunjukkan respon yang baik untuk distribusi suhu
permukaan laut terjadi di Pasifik bagian timur. Rendahnya tingkat geser angin,
kecepatan angin permukaan laut, kelembaban relatif permukaan laut, dan tekanan
udara di atas permukaan laut menyebabkan perbedaan suhu pada setiap transisi di
khatulistiwa. Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang
75
dilakukan dilautan Pasifik, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara
awan, gelombang dan suhu permukaan laut.
Effendi (2003) menyebutkan bahwa suhu suatu badan air dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti musim, koordinat pada bumi, ketinggian dari permukaan laut,
waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman
badan air itu sendiri. Disini jelas terlihat bahwa faktor oseanografi sangat
berperan dalam penentuan kesuburan suatu perairan, sehingga dengan demikian
hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pihak-pihak yang berkompeten.
Kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya, adalah sangat berpengaruh kepada
ketersediaan sumberdaya perikanan target penangkapan.
Baik tidaknya suatu kawasan perairan sangat tergantung kepada faktor
manusia yang memanfaatkan apa-apa yang terkandung dalam lingkungan perairan
tersebut. Namun demikian, hal yang perlu disikapi dengan baik dan bijak,
bagaimana mempertahankan lingkungan perairan agar biota yang hidup
didalamnya dapat dikelola dengan baik.
Berbicara tentang kualitas perairan di lokasi penangkapan ikan (fishing
ground), terutama di Selat Bali sesuai dengan pokok bahasan sangat perlu
mendapat perhatian, karena di Selat Bali terdapat pelabuhan penyeberangan antara
Ketapang Kabupaten Banyuwangi dan Gili Manuk Kabupaten Jembrana.
Disamping itu, Muncar sebagai pusat pendaratan ikan terbesar di wilayah Jawa
Timur terdapat industri pengolahan ikan demikian juga halnya di Pengambengan.
Penelitian kualitas perairan air laut pernah dilakukan pada tahun 2008
yaitu di sepanjang pantai Cupel sampai dengan Pengambengan, hal ini berkaitan
dengan keberadaan industri perikanan yang ada di Pengambengan (Poppo et al,
2008). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perairan dilokasi penelitian
mengalami cemar ringan sampai cemar berat (mengacu pada permen LH no. 115
tahun 2003). Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali secara periodik mulai tahun
2009 sudah melakukan uji terhadap kualitas perairan Selat Bali. Namun kualitas
perairan yang diuji, mengarah kepada fungsi laut sebagai kawasan pariwisata
(Lampiran 8).
76
Uji kualitas perairan dilokasi fishing ground yang dilakukan pada periode
Mei – Oktober 2011, secara keseluruhan dari parameter yang diuji yaitu pH,
Salinitas, Nitrat (NO3) dan Posfat (PO4) dapat dilihat Gambar 20. Tingkat
keasaman (pH) perairan di lokasi fishing ground terdeteksi normal. Sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada
kisaran 7–8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan,
misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selain itu toksisitas
logam-logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Effendi, 2003).
Derajat keasaman (pH) dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida serta ion–ion
yang bersifat asam atau basa. Fitoplankton yang memilik pigmen hijau dan lebih
sering disebut klorofil-a dan tanaman air akan mengambil karbondioksida selama
proses fotosintesis berlangsung, sehingga mengakibatkan pH perairan menjadi
meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari (Apridayanti, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pH di perairan Selat Bali berkisar
antara 7,92 – 8,47. Sementara kadar posfat sudah melebihi baku mutu yang
diperuntukan bagi biota laut, demikian juga untuk kadar nitrat. Rata-rata salinitas
juga terdeteksi lebih tinggi (Gambar 20), sehingga sesuai dengan keterangan dan
uraian terdahulu, maka pH perairan Selat Bali masih dapat mendukung kehidupan
organisme akuatik yang ada di dalamnya.
Zat hara, terutama posfat dan nitrat merupakan unsur yang sangat
diperlukan dalam jejaring rantai makanan dan mempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Salah satu organisme
yang membutuhkan zat hara adalah plankton. Keberadaan plankton merupakan
salah satu parameter biologi yang erat hubungannya dengan kandungan zat hara.
Tinggi rendahnya kelimpahan plankton tergantung kepada kandungan zat hara di
suatu perairan (Nybakken, 1982). Namun, Nitrogen sebagai unsur pembentuk
nitrat merupakan degradasi kontaminan utama penyebab penurunan kualitas air di
perairan pantai. Sedangkan diperairan laut lepas, kadar nitrat sangat cepat
mengalami perubahan dan sangat mempengaruhi kesuburan perairan.
Menurunnya tingkat kesuburan perairan bisa disebabkan oleh pengaruh
global warming yang terjadi dimuka bumi. Kemungkinan lain bisa saja terjadi
akibat pengaruh La Nina yang berkepanjangan di Samudera Pasifik yang
77
mengalirkan arus panas ke Samudera Hindia, sehingga berpengaruh terhadap
tingkat kesuburan perairan, dan salah satunya terjadi di Selat Bali.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dan
memberikan dampak kepada kehidupan laut sangat perlu diperhatikan khususnya
dalam hal penanggulangan dampak yang diberikan oleh keadaan tersebut. Hal ini
dikarenakan dampak yang ditimbulkan sangat merugikan bagi kegiatan
pemanfaatan sumberdaya perikanan, karena pada umumnya daerah penangkapan
ikan selalu berubah dan tidak pasti. Nelayan, pada saat turun melaut sangat
memperhatikan iklim yang lebih mereka kenal dengan faktor cuaca. Perubahan
iklim sangat sulit untuk dihindari, dan memberikan dampak terhadap berbagai
segi kehidupan. Dampak ekstrim dari perubahan iklim adalah terjadinya kenaikan
temperatur serta pergeseran musim.
Angin yang bertiup dilautan memberikan pengaruh terhadap arus
permukaan sekitar 2% dari kecepatan angin itu sendiri. Kekuatan arus ini akan
berkurang dengan makin bertambahnya kedalaman perairan sampai pada akhirnya
angin tidak berpengaruh, yaitu pada kedalaman 200 meter (Suardi, 2006).
Menurut Hutabarat (2001), angin merupakan salah satu faktor penting yang
dapat mempengaruhi iklim. Pada kehidupan sehari-hari nelayan, terutama nelayan
tradisional masih tergantung kepada angin dalam membantu menggerakkan
perahu mereka (perahu tanpa motor). Namun kadang kala angin dapat
menimbulkan bencana berupa badai yang dapat menghancurkan peralatan atau
bahkan menenggelamkan perahu mereka.
Tiga faktor utama yang mempengaruhi iklim yaitu suhu, curah hujan, dan
angin. Suhu sangat berpengaruh terhadap sebaran klorofil-a pada suatu perairan,
hujan berfungsi sebagai penetralisir kadar garam perairan laut dan menetralkan
suhu, Sedangkan angin berpengaruh terhadap arus yang terjadi di permukaan laut
(Hutabarat, 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa, diperkirakan jumlah total air
dipemukaan laut yang hilang setiap tahunnya kira-kira setebal 97,3 cm, dari
jumlah tersebut 89,7 cm tergantikan oleh curah hujan yang langsung jatuh ke
permukaan laut.
78
Arus di perairan Asia Tenggara, baik yang terjadi pada musim Barat
(bulan Desember - Pebruari) ataupun pada musim Timur (bulan Juni -Agustus),
dimana pada saat musim Barat ditandai dengan adanya aliran air dari arah utara
melalui Laut Cina Selatan bagian atas. Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan
pada waktu musim Timur terjadi kebalikannya yaitu arus mengalir dari arah
Selatan (Hutabarat, 2001).
Tinggi rendahnya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan
daerah dimana massa air berasal (Afdal dan Riyono, 2004). Romimohtarto dan
Thayib (1982) mengatakan bahwa perairan laut Indonesia (nusantara) dipengaruhi
oleh angin monsoon. Selanjutnya dikatakan bahwa angin monsoon yang terjadi
berkaitan erat dengan sistem tekanan tinggi dan tekanan rendah di atas benua Asia
dan Australia. Angin monsoon yang terjadi pada bulan Desember – Februari
dikenal sebagai angin barat, yaitu angin yang bertiup dari Asia ke Australia.
Bulan Juni–Agustus, terjadi kebalikannya yang dikenal sebagai monsoon timur.
Pergantian sistem angin ini memberi pengaruh yang nyata pada perairan
khususnya dilapisan permukaan. Menurut Nontji (2007) pada bulan Desember –
Februari, arus musim barat mengalir menuju timur. Pada musim panca roba yang
terjadi bulan April, arus ke timur mulai melemah bahkan mulai berbalik arah,
hingga dibeberapa tempat terjadi pusaran (eddies). Pada bulan Juni-Agustus arus
musim timur mulai datang, dan arah arus telah berbalik arah sepenuhnya menuju
ke barat yang akhirnya menuju ke Laut Cina Selatan. Pada musim panca roba
kedua, sekitar Oktober, pola arus berubah lagi. Kadangkala arah arus sering tak
menentu, apabila arus ke barat melemah, maka arus ke timur mulai menguat.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa faktor oseanografi dan
klimatologi mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru di Selat Bali,
baik yang ditangkap oleh nelayan dari Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten
Jembrana periode tahun 2005–2010. Berdasarkan persamaan regresi tersebut
dapat dilihat bahwa secara bersama-sama faktor oseanografi dan klimatologi yang
berpengaruh signifikan pada taraf uji 5% adalah klorofil-a dan angin. Sebaran
klorofil-a yang tinggi dilokasi fishing ground akan meningkatkan keberadaan
ikan, sehingga hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak. Hal ini terjadi karena
ikan berada pada suatu wilayah perairan berkaitan dengan adanya ketersediaan
79
makanan pada wilayah tersebut (Himelda et al., 2012). Setelah dilakukan uji
secara statistik, maka dapat diketahui bahwa faktor osenografi dan klimatologi
yang berpengaruh secara langsung terhadap hasil tangkapan lemuru adalah
sebesar 43,5% (R square). Sedangkan sebesar 56,5% berpengaruh secara tidak
langsung, dan diduga berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya lemuru di
Selat Bali, yang mana sumberdaya lemuru tersebut tidak berhasil ditangkap oleh
nelayan. Untuk membuktikannya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hasil
analisis ini merupakan salah satu parameter model dinamik keberlanjutan
pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) yang akan
dibahas pada bab 9.
5.6 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian di atas dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Faktor oseanografi dan klimatologi di wilayah perairan Selat Bali selama
periode 2005-2010, yang mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan
lemuru adalah klorofil-a (17.338,792), dan angin (–11.521,697) dengan
analisis regresi linier biasa pada taraf uji (5%), dengan R square 43,5%.
2. Berdasarkan hasil analisis terhadap kualitas perairan Selat Bali yang
dilakukan periode Mei–Oktober 2011, menunjukan indikasi adanya
penurunan kesuburan perairan di lokasi fishing ground.