5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI DAN … V... · 53 5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI...

27
5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI DAN KLIMATOLOGI TERHADAP HASIL TANGKAPAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 5.1 Pendahuluan Ikan hidup dalam ekosistem laut, yang mana di dalamnya terjadi interaksi secara dinamis antara ikan dan komponen biotik lainnya. Selain itu juga terjadi interaksi antara ikan dan komponen abiotik yang menyusun ekosistem laut itu sendiri. Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup biota laut, jika lingkungan perairan tidak sehat, maka biota air yang hidup didalamnya ikut terganggu. Ikan tidak hidup sendiri (terisolasi), tetapi berinteraksi dengan berbagai jenis ikan lain serta komponen biotik lainnya yang hidup dalam ekosistem perairan, seperti fitoplankton, zooplankton, benthos, mollusca, crustacea, echinodermata, dan lain sebagainya (Dahuri, 2007). Ikan juga berinteraksi atau dipengaruhi oleh komponen abiotik yang menyusun ekosistem perairan. Salah satu organisme hidup yang paling penting dalam ekosistem perairan adalah fitoplankton (Ariyadej et al., 2008). Sebagai produsen primer, fitoplankton memainkan peran penting untuk sirkulasi dan aliran energi dalam ekosistem perairan. Keberadaannya sering digunakan sebagai kontrol terhadap pertumbuhan, kapasitas reproduksi dan populasi serta karakteristik organisme air lainnya. Disamping itu keberadaan fitoplankton sangat penting diketahui untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi lingkungan perairan. Selain itu, fitoplankton membantu untuk meningkatkan kualitas perairan dengan mengubah zat anorganik menjadi zat organik (Graham dan Wilcox, 2000). Fenomena oseanografi yang terjadi di perairan laut sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota laut. Faktor oseanografi tersebut adalah arus, suhu terutama suhu permukaan laut, salinitas (kadar garam), zat hara (nutrient) dan kandungan kimiawi air lainnya yang mempengaruhi kualitas perairan laut. Arus yang terjadi di laut, merupakan salah satu faktor oseanografi yang berpengaruh terhadap lingkungan perairan, dan selalu mendapat perhatian karena berkaitan erat dengan cuaca dan iklim. Martono (2008) berpendapat bahwa arus mempunyai

Transcript of 5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI DAN … V... · 53 5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI...

53

5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI

DAN KLIMATOLOGI TERHADAP HASIL TANGKAPAN LEMURU

(Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

5.1 Pendahuluan

Ikan hidup dalam ekosistem laut, yang mana di dalamnya terjadi interaksi

secara dinamis antara ikan dan komponen biotik lainnya. Selain itu juga terjadi

interaksi antara ikan dan komponen abiotik yang menyusun ekosistem laut itu

sendiri. Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan

hidup biota laut, jika lingkungan perairan tidak sehat, maka biota air yang hidup

didalamnya ikut terganggu.

Ikan tidak hidup sendiri (terisolasi), tetapi berinteraksi dengan berbagai

jenis ikan lain serta komponen biotik lainnya yang hidup dalam ekosistem

perairan, seperti fitoplankton, zooplankton, benthos, mollusca, crustacea,

echinodermata, dan lain sebagainya (Dahuri, 2007). Ikan juga berinteraksi atau

dipengaruhi oleh komponen abiotik yang menyusun ekosistem perairan. Salah

satu organisme hidup yang paling penting dalam ekosistem perairan adalah

fitoplankton (Ariyadej et al., 2008). Sebagai produsen primer, fitoplankton

memainkan peran penting untuk sirkulasi dan aliran energi dalam ekosistem

perairan. Keberadaannya sering digunakan sebagai kontrol terhadap pertumbuhan,

kapasitas reproduksi dan populasi serta karakteristik organisme air lainnya.

Disamping itu keberadaan fitoplankton sangat penting diketahui untuk melakukan

evaluasi terhadap kondisi lingkungan perairan. Selain itu, fitoplankton membantu

untuk meningkatkan kualitas perairan dengan mengubah zat anorganik menjadi

zat organik (Graham dan Wilcox, 2000).

Fenomena oseanografi yang terjadi di perairan laut sangat berpengaruh

terhadap kehidupan biota laut. Faktor oseanografi tersebut adalah arus, suhu

terutama suhu permukaan laut, salinitas (kadar garam), zat hara (nutrient) dan

kandungan kimiawi air lainnya yang mempengaruhi kualitas perairan laut. Arus

yang terjadi di laut, merupakan salah satu faktor oseanografi yang berpengaruh

terhadap lingkungan perairan, dan selalu mendapat perhatian karena berkaitan erat

dengan cuaca dan iklim. Martono (2008) berpendapat bahwa arus mempunyai

54

peranan penting dalam ekologi laut, karena mempengaruhi pola pemanfaatan

sumberdaya yang terkandung di dalamnya.

Suhu permukaan laut, sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman

yang terjadi antara Asia dan Australia. Perubahan ini menyebabkan perubahan

arah angin terjadi dua kali dalam satu tahun. Suhu permukaan laut sangat

berkaitan dengan sebaran klorofil-a. Sebaran klorofil-a, berhubungan dengan

kesuburan suatu wilayah perairan. Di Selat Bali, perubahan suhu musiman yang

terjadi antara Asia dan Australia, dimana bulan Desember – Maret, angin bertiup

dari daratan Asia menuju utara yaitu Australia, yang disebut dengan musim barat.

Pada bulan Juni – September, angin bertiup dari daratan Australia menuju daratan

Asia yang disebut dengan musim Timur. Perubahan suhu musiman ini

menyebabkan arah angin berubah dua kali dalam satu tahun.

Iklim dalam dinamika biofisika dan kimia perairan juga berpengaruh

terhadap karakteristik lingkungan perairan, serta interaksi dinamis antara laut dan

atmosfir. Terkait dengan ini, maka faktor iklim perlu mendapat perhatian

tersendiri dalam melakukan pengelolaan sumberdaya yang terkandung dalam

suatu lingkungan perairan. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (2011),

bahwa perubahan iklim merupakan perubahan pola dan intensitas unsur iklim

pada periode waktu yang dapat dibandingkan, dan biasa terjadi rata-rata 30

tahunan. Perubahan iklim dapat berupa perubahan cuaca rata-rata atau perubahan

distribusi cuaca terhadap kondisi rata-rata.

Angin merupakan faktor iklim yang cukup berpengaruh dalam

pemanfaatan sumberdaya ikan. Angin, sangat dipengaruhi oleh pola angin itu

sendiri. Angin terjadi karena ada gaya yang bekerja pada atmosfir bumi, dan

menyebabkan terjadinya keadaan tidak seimbang. (Handoko, 1999). Berkaitan

dengan adanya proses pemanasan global yang terjadi pada kurun waktu terakhir

ini, berdampak pada perubahan iklim. Hal ini juga akan berdampak pada

kehidupan biota laut. Dampak dari kondisi ini sangat dirasakan oleh nelayan di

Selat Bali, karena pada periode tahun 2009 – 2010 ikan lemuru seolah-olah

menghilang dari perairan Selat Bali.

55

Faktor oseanografi yang diteliti adalah sebaran kloropil-a, suhu permukaan

laut dan arus selama kurun waktu 2005- 2010. Uji kualitas perairan berkaitan

dengan unsur-unsur kimia air (Nitrat dan Fosfat) dilokasi fishing ground.

Menurut SK Menteri Lingkungan hidup nomor 115 tahun 2003 tentang mutu

kualitas air sesuai peruntukannya. Faktor klimatologi yang akan diteliti adalah

seberapa besar pengaruh angin dan hujan terhadap hasil tangkapan nelayan di

Selat Bali.

Selat Bali merupakan kawasan perairan laut yang memiliki sumberdaya

lemuru. Sumberdaya ini merupakan sumber mata pencaharian bagi nelayan yang

ada di kawasan tersebut yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana.

Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi

tahun 2010 terjadi penurunan hasil tangkapan lemuru sebesar 43,03 %. Apakah

penurunan hasil tangkapan tersebut dipengaruhi oleh faktor oseanografi dan

klimatologi? Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin meneliti seberapa besar

pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan ikan lemuru

di Selat Bali. Apakah faktor oseanografi dan klimatologi tersebut berpengaruh

secara langsung atau tidak langsung terhadap hasil tangkapan lemuru. Batasan

faktor oseanografi dan klimatologi yang diteliti yaitu berkaitan dengan sebaran

klorofil-a, suhu permukaan laut, arus angin, dan hujan.

5.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis faktor oseanografi dan

klimatologi (suhu permukaan laut, sebaran klorofil-a, arus, angin, dan hujan) di

Selat Bali. (2) Menganalisis pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap

hasil tangkapan lemuru.

5.3 Kebutuhan dan Metode Analisis Data

5.3.1 Kebutuhan data

Data yang dibutuhkan untuk analisis pengaruh faktor oseanografi dan

klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru di perairan laut Selat bali, adalah:

56

1) Hasil tangkapan ikan

Data hasil tangkapan lemuru yang didaratkan di Kabupaten Banyuwangi

(UPPPP Muncar) dan Kabupaten Jembrana. Data dikumpulkan secara time series

dari tahun 2005 – 2010. Kegunaan data ini untuk melihat hubungan hasil faktor-

faktor oseanografi dan klimatologi dan pengaruhnya terhadap tangkapan. Apakah

faktor-faktor oseanografi dan klimatologi mempengaruhi hasil tangkapan nelayan

lemuru di Selat Bali.

2) Faktor-faktor oseanografi

Data dan informasi yang dikumpulkan adalah kondisi eseanografi perairan

Selat Bali, yaitu data yang berkaitan atau berpengaruh terhadap ketersediaan

sumberdaya lemuru. Data tersebut adalah:

a. Sebaran klorofil-a

Data sebaran klorofil-a di Selat Bali diperoleh dengan cara mendownload

citra hasil pemotretan satelit Aqua MODIS dari internet yaitu melalui

http://oceancolor.gsfc.nasa.gov, Data citra satelit Aqua MODIS terhadap kondisi

perairan Selat Bali diambil periode 2005 – 2010. Citra yang diolah adalah citra

yang bebas awan, mencakup lintang dan bujur sesuai dengan areal yang diteliti.

Data time series tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, secara

deskriptif dilihat trend perubahan sebaran klorofil-a yang terjadi di Selat Bali.

Untuk melihat sebaran klorofil-a di lokasi fishing ground, dilakukan pengambilan

sampel air selama periode bulan Mei – Oktober 2011, hal ini dilakukan untuk

menjawab pertanyaan kenapa nelayan memilih lokasi tersebut untuk menurunkan

jaring. Setelah data yang diperlukan diperoleh, dilakukan penghitungan sebaran

klorofil-a berdasarkan koordinat yang sudah ditetapkan yaitu berdasarkan garis

lintang dan bujur.

b. Suhu permukaan laut (SPL)

Data untuk mengetahui suhu permukaan laut di Selat Bali, juga dilakukan

dengan cara mendownload citra hasil pemotretan satelit Aqua Modis. Data yang

diperlukan disini adalah data time series suhu permukaan laut periode tahun 2005

– 2010. Suhu permukaan laut sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan

57

perairan dan juga mempengaruhi kandungan nutrien, yang akan berpengaruh

terhadap keberadaan sumber makanan ikan lemuru. Melalui analisis ini

diharapkan dapat diketahui apakah suhu permukaan laut berpengaruh secara

langsung terhadap hasil tangkapan lemuru di Selat Bali.

c. Kualitas perairan

Pengujian terhadap kualitas perairan dilakukan untuk mengetahui unsur-

unsur kimia yang dapat mempengaruhi kualitas perairan Selat Bali. Unsur-unsur

kimia tersebut adalah kandungan nitrat, fosfat. Disamping itu juga dilakukan

pengukuran terhadap kadar salinitas dan pH air laut. Unsur-unsur tersebut sangat

berpengaruh terhadap kelimpahan dan sebaran klorophil-a, terutama unsur nitrat

dan fosfat. Unsur hara nitrogen (N) tidak mempunyai hubungan yang tetap dengan

unsur hara posfor (P), tetapi bersama-sama dengan karbon ( C ), N dan P, dapat

memproduksi zat organik. Walaupun hara C terdapat dalam jumlah yang banyak,

tetapi kedua unsur hara N dan P menjadi faktor pembatas dalam proses daur bahan

organik di laut.

Pengambilan sampel air laut dilakukan pada titik lokasi penangkapan ikan

oleh nelayan, selanjutnya untuk mengetahui pada koordinat berapa jaring

diturunkan, digunakan GPS (Global Positioning System). Pengujian sampel air

dilakukan di Laboratorium Analisa Kualitas Perairan Balai Riset dan Observasi

Kelautan- Perancak Bali.

3) Faktor klimatologi

Data faktor klimatologi yang berpengaruh terhadap lingkungan perairan

Selat Bali, diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

(BMKG) Kabupaten Banyuwangi yaitu data angin dan hujan. Data arus diperoleh

dari Badan Meteorologi dan Klimatologi Maritim (BMK Maritim) Surabaya.

Data dikumpulkan selama periode 2005–2010. Data ditampilkan secara deskriptif

dan spasial, berupa data triwulanan untuk melihat fluktuasi faktor klimatologi

selama periode tersebut, dan ditampilkan dalam bentuk tabel, gambar, dan grafik.

58

5.3.2 Metode analisis data

Analisis data disesuaikan dengan masing-masing parameter yang diuji.

Parameter tersebut adalah.

1. Analisis faktor oseanografi (sebaran klorofil-a dan suhu permukaan

laut)

a. Analisis sebaran klorofil-a

Sebaran klorofil-a yang dilakukan pada saat penelitian dan

membandingkan dengan data hasil penelitian sebelumnya. Data sebaran klorofil-a

di Selat Bali diperoleh dengan cara mendownload citra hasil pemotretan satelit

Aqua MODIS dari internet yaitu melalui http://oceancolor.gsfc.nasa.gov, Data

citra satelit Aqua MODIS terhadap kondisi perairan Selat Bali diambil periode

2005–2009. Citra yang diolah adalah citra yang bebas awan, mencakup lintang

dan bujur sesuai dengan areal yang diteliti. Setelah data yang diperlukan

diperoleh, dilakukan penghitungan sebaran klorofil-a pada koordinat yang sudah

ditetapkan yaitu berdasarkan garis lintang dan bujur.

Proses penentuan konsentrasi klorofil-a, dilakukan dengan menggunakan

sensor karakteristk ocean color, yang ditunjukkan dengan sinar biru dan hijau dari

permukaan laut. Pantulan sinar hijau dari permukaan laut merupakan informasi

konsentrasi klorofil-a yang dideteksi oleh sensor. Apabila sinar hijau yang

diterima oleh sensor semakin banyak, menunjukkan konsentrasi klorofil-a

semakin banyak. Perhitungan konsentrasi klorofil-a dilakukan menggunakan

parameter band 9, 10 dan 12. Algoritma OC4v4 digunakan nilai tertinggi (Rmax)

dari rasio RRS (443/RRS (555).

Penentuan nilai sebaran/konsentrasi klorophil-a, digunakan persamaan

algoritma OC4v4 sebagai berikut:

( ) ( ) ( ) ( )

,

dimana

R4s = log10(Rmax),

59

dimana:

Clo : Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

R4s : Rasio refleksi

RRS : Remote sensing reflectance.

Langkah berikutnya adalah memetakan sebaran klorofil-a di Selat Bali.

Pemetaan sebaran klorofil-a sangat dibutuhkan untuk menentukan daerah

penangkapan ikan. Harapannya adalah agar nelayan bisa mencapai fishing ground

untuk melakukan penangkapan dengan waktu yang lebih singkat.

b Analisis suhu permukaan laut (SPL)

Prosedur perhitungan suhu permukaan laut, diawali dengan melakukan

pengecekan pada citra piksel yang berawan. Langkah-langkah yang dilakukan

untuk mendeteksi awan adalah sebagai berikut:

1. Apabila kecerahan kanal 31 (T31) lebih kecil dari 2800 K, maka piksel tersebut

berawan

2. Apabila selisih antara kecerahan kanal 31 (T31) dan kanal 32 (T32) > 2.50 K,

maka piksel tersebut berawan

Untuk mengetahui piksel-piksel yang bebas awan, dilakukan penghitungan SST

dengan menggunakan persamaan dari Minnet et al (2001) vide Hariadi (2009)

sebagai berikut:

SST = c1+(c2xT31) + [c3x(T32-T31)] + [c4x( )-1) x (T32-T31)],

dimana :

SST = Sea Surface Temperature (0K)

T31 dan T32 = Kecerahan air pada kanal 31 dan 32

= Sudut zenith satelit ( = 0.001)

c1, c2, c3, c4 = Nilai koefisien.

Nilai koefisien (c1, c2, c3, c4) dapat dijabarkan pada Tabel 12.

60

Tabel 12 Koefisien Kanal 31 dan 32 untuk Satelit Aqua Modis

Koefisien (T32-T31) > 0.7 (T32-T31) < 0.7

c1 1.1107100 1.1960990

c2 0.9586865 0.9888366

c3 0.1741229 0.1300626

c4 1.8767520 1.6271250

Untuk mengeliminir sebaran/hamburan cahaya dari atmosfir, dilakukan

koreksi atmosferik. Komponen atmosfir yang dikoreksi adalah hamburan

Rayleigh dan aerosol, dengan proses multiple scattering aerosol model with 7/8

algorithm and NIR iteration, dengan perangkat lunak SeaDAS.

Agar data yang dihasilkan dari proses koreksi atmosferik dapat

memberikan informasi dari citra berkaitan dengan fenomena dilaut, maka

dilakukan koreksi geometrik melalui pengolahan citra yaitu proyeksi citra,

landmask, dan proyeksi skala warna garis dengan menggunakan menu Seadisp

pada program SeaDas.

Proses berikutnya adalah melakukan pemotongan (cropping) citra untuk

membatasi ruang lingkup spasial pada citra, sesuai dengan area penelitian. Untuk

proses pemotongan citra, diperlukan data pixel/line awal dan nilai pixel/line akhir,

dan nilai lintang/bujur awal serta nilai lintang/bujur akhir. Hasil proses tersebut,

dijabarkan dalam bentuk peta kontur yang berfungsi untuk penentuan pola

distribusi penyebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut. Keseluruhan

pengamatan dan pengolahan citra dilakukan di BROK Perancak Bali.

2. Analisis faktor klimatologi (angin, hujan, dan arus)

Analisis faktor klimatologi dilakukan secara deskriptif kuantitatif, yaitu

data yang diperoleh selama kurun waktu lima (5) tahun yaitu dari 2005 – 2010.

Data tersebut adalah data angin, curah hujan, dan arus. Data time series curah

hujan, diperoleh dari BMKG Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan untuk data

arus dan angin, yang terjadi di wilayah perairan Selat Bali diperoleh dari BMK

Maritim Surabaya. Data time series dikumpulkan dari tahun 2005 – 2010, yang

secara deskriptif menggambarkan kondisi faktor klimatologi selama periode 2005

61

– 2010. Faktor klimatologi yang terjadi di perairan Selat Bali ditampilkan dalam

bentuk tabel, gambar dan grafik. Analisis dilakukan dengan menggunakan

program Windwave.

3. Analisis kualitas perairan

Untuk mengetahui kualitas perairan dan unsur kimia yang dapat

mempengaruhi kualitas perairan Selat Bali adalah dengan pengambilan sampel air

laut pada saat nelayan melakukan penangkapan ikan. Unsur-unsur kimia tersebut

adalah kandungan nitrat dan posfat. Unsur-unsur tersebut sangat menentukan

kesuburan suatu perairan, terutama nitrat. Selain itu juga dilakukan analisis

terhadap salinitas dan kadar pH air. Peralatan yang digunakan sebagai berikut:

1. GPS (Global Positioning System) untuk menentukan koordinat lokasi nelayan

menurunkan jaring

2. Jirigen ukuran 2 (dua) liter sebanyak dua buah sebagai wadah sampel

3. Plastik hitam untuk menutup jirigen dari pengaruh cahaya

4. Box sterofoam yang sudah diisi es sebagai tempat penyimpanan jirigen

sampel.

Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei–Oktober 2011, sebanyak

24 (dua puluh empat) kali atau 24 titik (Gambar 13). Sampel diambil

menggunakan kapal nelayan, dan tanggal pengambilan disesuaikan dengan

kebiasaan nelayan setempat dalam melakukan penangkapan, yaitu mengikuti

penanggalan jawa. Pengujian sampel air untuk mengetahui unsur kimia air seperti

yang telah duraikan di atas, dilakukan di laboratorium kualitas perairan Balai

Riset dan Observasi Kelautan Perancak Bali. Selanjutnya, nilai yang diperoleh

dilakukan analisis dengan metode STORET yang tercantum dalam kepmen

lingkungan hidup nomor 115 tahun 2003.

62

Gambar 13 Posisi kapal ikan ketika penurunan jaring dan pengambilan sampel

untuk uji kualitas perairan

Metode STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status

mutu air yang umum digunakan. Dengan metoda STORET ini dapat diketahui

parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Baku

Mutu air mengacu pada Kepmen LH nomor 115 tahun 2003. Secara prinsip

metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku

mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu

air. Status mutu air, ditentukan dengan menggunakan sistem nilai dari “US-EPA

(Environmental Protection Agency)” dengan mengklasifikasikan mutu air dalam

empat kelas (Tabel 3).

4. Analisis pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil

tangkapan lemuru

Pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi dengan hasil tangkapan ikan

lemuru, dilakukan analisis secara regresi linier biasa. Berdasarkan hasil regresi

linier tersebut dapat diketahui seberapa besar pengaruh faktor oseanografi dan

klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru selama periode tahun 2005-2010.

Untuk melihat bagaimana pengaruh faktor klimatologi dan oseanografi terhadap

hasil tangkapan ikan lemuru, dilakukan analisis regresi dengan menggunakan

formula:

63

Y = a+b1X1+b2X2+...+bnXn, ................................................................(1)

dimana:

Y = Total hasil tangkapan lemuru

a = Konstanta

b1,b2...bn = Koefisien regresi

x1, x2,...xn = parameter oseanografi dan klimatologi

Software yang digunakan untuk melakukan analisis ini adalah program

pengolah data yang biasa digunakan untuk analisis regresi secara umum.

Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan formula tersebut di

atas, maka dapat diketahui seberapa tinggi pengaruh faktor oseanografi dan

klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru. Hasil perhitungan ditampilkan

dalam bentuk tabel dan grafik.

5.4 Hasil Penelitian

5.4.1 Trend sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut

Faktor-faktor oseanografi yang berpengaruh terhadap kondisi perairan Selat

Bali dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan adalah:

a. Sebaran klorofil-a

Hasil analisis data klorofil-a yang diambil dari citra satelit menunjukkan

bahwa secara periodik yaitu dari tahun 2005 – 2010 yang dihitung per triwulan,

dimana konsentrasi kloropil-a cenderung meningkat seiring dengan terjadinya

penurunan suhu permukaan laut (Gambar 14). Pada triwulan III tahun 2007

terjadi peningkatan klorofil-a. Sebaran klorofil-a untuk tahun 2009 dan 2010 pada

triwulan I, cenderung stabil.

Hasil pengujian sampel yang dilakukan selama periode bulan Mei –

Oktober 2011 menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada

bulan Agustus yaitu 4,2964 mg/m3, apabila dilihat produksi lemuru pada bulan

Agustus juga mengalami peningkatan. Hal ini mempertegas bahwa faktor sebaran

konsentrasi klorofil-a sangat berpengaruh terhadap tinggi-rendahnya hasil

tangkapan lemuru di Selat Bali, baik yang dilakukan oleh nelayan Kabupaten

Banyuwangi maupun nelayan Kabupaten Jembrana. Hasil pemotretan citra satelit

64

0.0000

0.5000

1.0000

1.5000

2.0000

2.5000

3.0000

3.5000

4.0000

4.5000

5.0000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Klo

rofi

l-a

(mg/

m3)

Bulan

Muncar Bali

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Klo

rofi

l-a

(mg/

m3

)

Tahun

Triwulan I Triwulan II Teriwulan III Triwulan IV

aqua modis, secara visual sebaran konsentrasi klorofil-a di Selat Bali untuk tahun

2010 dapat dilihat pada Lampiran 2.

.

Gambar 14 Trend tahunan konsentrasi klorofil-a triwulanan di perairan Selat

Bali periode 2005 – 2010

Sebaran klorofil-a tertinggi periode Mei – Oktober 2011 yang diperoleh

saat nelayan menurunkan jaring pada koordinat Lintang -8.62981 dan Bujur

114.4549, yaitu sebesar 4,2964 mg/m3. Sebaran klorofil-a terendah pada

koordinat Lintang -8.44806 dan Bujur 114.3797 yaitu 0,0090 mg/m3

(Gambar

15).

Gambar 15 Konsentrasi klorofil-a di Selat Bali periode Mei – Oktober 2011

(Data primer 2011)

65

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

2005 2006 2007 2008 2009 2010Rat

a-ra

ta s

uh

u p

erm

uka

an l

aut

(oC

)

Tahun

Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV

Berdasarkan hasil uji yang dilakukan di Laboratorium Kualitas Perairan

Laut BROK Perancak Bali, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan konsentrasi

sebaran klorofil-a pada paparan Bali dan paparan Jawa (Lampiran 4). Sebaran

klorofil-a pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh suhu permukaan laut yang

terjadi pada saat itu. Jika suhu permukaan laut tinggi, maka kandungan dan

sebaran klorofil-a menurun atau sedikit, namun pada saat pengambilan sampel

tidak dilakukan pengukuran suhu permukaan laut karena kekurangan alat pada

saat turun ke lapangan.

b. Suhu permukaan laut (SPL)

Analisis data suhu permukaan laut triwulanan selama periode 6 tahun

(2005-2010) menunjukkan pola variasi suhu permukaan laut mengikuti pola

musim (monsoon) yaitu musim timur (Juni–Agustus), musim barat (Desember–

Februari), musim peralihan I (Maret–Mei), dan musim peralihan II (September–

November). Peningkatan suhu permukaan laut mulai terlihat pada bulan

Nopember–April. Memasuki musim timur, suhu permukaan laut mulai

menunjukan penurunan yang cukup tinggi.

Gambar 16 Trend rata-rata triwulanan suhu permukaan laut di Selat Bali tahun

2005 – 2010

Penurunan suhu permukaan laut ini sebagai indikasi terjadinya proses

inderek upwelling yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a.

66

Pada tahun 2010, suhu permukaan laut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

tahun–tahun sebelumnya, bahkan hampir di setiap periode triwulan (Gambar 16).

Jika dilihat lebih rinci, dapat dijabarkan disini bahwa, peningkatan suhu

permukaan laut dari tahun 2005 – 2010 seiring dengan terjadinya penurunan

sebaran klorofil-a. Untuk membuktikan hal tersebut, dilakukan uji statistik

dengan uji korelasi pearson. Hasil uji menunjukkan ada kecenderungan sebaran

klorofil-a berkorelasi sangat kuat dengan suhu permukaan laut (Tabel 13).

Tabel 13 Korelasi klorofil-a dan suhu permukaan laut triwulanan dalam 2005-

2010

Klorofil-a SPL

Klorofil-a Pearson correlation 1 -.876(**)

Sig. (2-tailed) . .000

N 24 24

SPL Pearson correlation -.876(**) 1

Sig. (2-tailed) .000 .

N 24 24

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Secara visual, suhu permukaan laut di Selat Bali tahun 2010 berdasarkan

hasil pemotretan dengan satelit citra aqua modis, dapat dilihat pada Lampiran 3.

5.4.2 Trend curah hujan, kecepatan angin dan kekuatan arus

Rata-rata curah hujan triwulanan selama periode 2005 – 2010 di Selat Bali

berfluktuasi. Curah hujan tertinggi terjadi pada triwulan I tahun 2007 dengan

rata-rata 254,33 mm, dan paling rendah terjadi pada triwulan III tahun 2008

dengan rata-rata 17,67 mm. Tinggi rendahnya curah hujan yang terjadi di

perairan Selat berpengaruh kepada kondisi cuaca yang tidak memungkinkan

nelayan untuk turun ke laut. Hal ini berkaitan dengan kesulitan dalam melakukan

penurunan jaring, karena biasanya jika hujan turun cukup deras diikuti oleh angin

yang cukup kencang, sehingga arus permukaan juga meningkat. Kondisi

demikian membuat nelayan enggan untuk turun kelaut. Trend curah hujan yang

terjadi di Selat Bali selama kurun waktu 2005-2010 dapat dilihat pada Gambar 17.

67

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ke

cep

atan

an

gin

(kn

ot)

Tahun

Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Cu

rah

hu

jan

(m

m)

Tahun

Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV

Gambar 17 Trend curah hujan tahun 2005 – 2010 di Selat Bali Sumber: BMKG Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011

Angin, merupakan kecepatan angin yang terjadi di Selat Bali periode 2005

– 2010. Trend kecepatan angin yang terjadi selama periode tersebut di atas dapat

dilihat pada Gambar 18. Rata-rata tahunan kecepatan angin tidak menunjukkan

peningkatan yang signifikan, atau bisa dikatakan kecepatan angin cenderung

stabil. Arah angin yang terjadi sepanjang tahun 2005 – 2006, terutama

berpengaruh terhadap alur pelayaran kapal di Selat Bali. Secara visual kecepatan

dan arah angin dapat dilihat pada lampiran 5.

Gambar 18 Kecepatan angin yang terjadi di Selat Bali periode tahun 2005 - 2010 Sumber: BMK Maritim Surabaya (2011)

68

Kekuatan arus maksimum di Selat Bali periode tahun 2005 – 2010, terjadi

pada triwulan III tahun 2010 yaitu 14,71 cm/s, sedangkan kekuatan arus

minimum/terendah terjadi pada triwulan I tahun 2010 yaitu 5,01 cm/s. Apabila

kita lihat secara keseluruhan, rata-rata kekuatan arus dari tahun 2005 – 2010

cenderung meningkat. Kekuatan arus yang terjadi di Selat Bali, selama periode

2005 – 2010 dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Kekuatan arus air di Selat Bali periode 2005 – 2010 Sumber: BMK Maritim Surabaya (2011)

Korelasi faktor klimatologi (angin, hujan, dan arus) setelah dilakukan uji

secara statistik (Tabel 14) menunjukkan bahwa, angin ada kecenderungan

berkorelasi kuat dengan hujan (-0,533) dan memiliki kecenderungan berkorelasi

positif dengan arus (0,472).

Tabel 14 Korelasi faktor angin, hujan, dan arus periode 2005-2010 Angin Hujan Arus

Angin Pearson Correlation 1 -.533(**) .472(*)

Sig. (2-tailed) . .007 .020

N 24 24 24

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

69

5.4.3 Kualitas perairan di lokasi fishing ground

Uji kualitas perairan dilokasi fishing ground yang dilakukan pada periode

Mei – Oktober 2011 (Gambar 20). Setelah disesuaikan dengan standar baku mutu

kualitas perairan sesuai peruntukannya menurut SK Menteri Lingkungan Hidup

nomor 115 tahun 2003 (Tabel 2), maka kadar pH masih berada pada nilai baku

mutu, sedangkan untuk salinitas untuk kedua sisi yaitu Kabupaten Banyuwangi

dan Jembrana mengalami peningkatan di atas baku mutu.

Gambar 20 Kualitas perairan di lokasi fishing ground periode Mei-Oktober

2011

Kandungan Nitrat, di wilayah perairan dekat paparan Jawa yaitu

Kabupaten Banyuwangi berada di atas baku mutu yaitu sebesar 0,0938 mg/l,

sedangkan menurut baku mutu adalah 0,008 mg/l, hal yang sama juga terjadi

untuk Kabupaten Jembrana yaitu sebesar 0,079 mg/l. Kandungan Fosfat rata-rata

adalah 0.009 mg/l dan masih dibawah baku mutu yaitu 0.015 mg/l. Parameter pH

yang diuji menunjukan bahwa di lokasi fishing ground kadar pH masih normal

(7,95-8,41). Nilai pH sangat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan,

misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Hasil uji kualitas

perairan dapat dilihat pada Lampiran 4.

70

5.4.4 Pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil

tangkapan lemuru

Uji secara regresi dengan menggunakan program pengolah data,

membuktikan bahwa hasil tangkapan lemuru periode tahun 2005–2010

dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi yaitu sebaran klorofil-a (Tabel 15).

Faktor klimatologi yang berpengaruh adalah angin. Hasil yang tertera pada Tabel

15 menunjukkan bahwa, setiap kenaikan satu satuan klorofil-a dapat

meningkatkan hasil tangkapan sebanyak 17.338,792 ton ikan lemuru. Selanjutnya

setiap peningkatan satu satuan kecepatan angin dapat menurunkan hasil tangkapan

sebesar 11.521,697 ton ikan.

Tabel 15 Uji regresi pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil

tangkapan lemuru di Selat Bali tahun 2005 – 2010

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

Collinearity

Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

(Constant) 67579.015 14052.150 4.809 .000

Angin -11521.697 2869.60830 -.807 -4.015 ,001 .665 1.504

Klorofil-a 17338.792 8234.647 .423 2.106 .047 .665 1.504

Berdasarkan uji secara regresi, pengaruh faktor lingkungan perairan terhadap hasil

tangkapan lemuru, maka dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut:

Y = 67579,015 – 11521,697 angin + 17338,792 klorofil-a

Fluktuasi hasil tangkapan lemuru di Selat Bali dipengaruhi oleh sebaran

klorofil-a yang terdapat di lokasi fishing ground. Gambar 21 menunjukkan

bahwa pada triwulan IV untuk tahun 2006 dan triwulan I tahun 2007 merupakan

hasil tangkapan lemuru tertinggi yang diperoleh yaitu 58.338,349 ton dan

57.340,079 ton. Jika dilihat untuk triwulan IV tahun 2006 konsentrasi sebaran

klorofil-a (Gambar 14) juga mengalami peningkatan yaitu 1,19 mg/m3. Artinya,

dengan meningkatnya sebaran klorofil-a di wilayah perairan Selat Bali

memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru.

71

-

10,000.000

20,000.000

30,000.000

40,000.000

50,000.000

60,000.000

70,000.000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Has

il ta

ngk

apan

(to

n)

Tahun

Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV

Gambar 21 Fluktuasi hasil tangkapan lemuru berdasarkan triwulan selama

periode 2005-2010

Hal yang berbeda terjadi pada triwulan I tahun 2007, bahwa konsentrasi

klorofil-a kecil ( 0,35 mg/m3) akan tetapi hasil tangkapan tinggi, inilah fenomena

alam yang tidak dapat diprediksi oleh manusia. Jika dilihat pengaruh angin

terhadap hasil tangkapan (Gambar 18), kecepatan angin pada triwulan IV tahun

2006 adalah 4,00 knot, dan untuk triwulan I tahun 2007 kecepatan angin adalah

5,33 knot. Artinya, dengan kecepatan angin yang rendah memungkinkan nelayan

untuk melaut. Hasil perhitungan analisis ini merupakan parameter untuk analisis

model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali (bab

9).

5.5 Pembahasan

Sesuai dengan tujuan penelitian, dalam bab ini hal-hal yang ingin dibahas

berkaitan dengan faktor oseanografi dan klimatologi yang terjadi di perairan Selat

Bali selama kurun waktu 2005-2010, kualitas perairan di lokasi fishing ground

periode Mei-Oktober 2011, dan pembahasan tentang pengaruh faktor oseanografi

dan klimatologi terhadap hasil tangkapan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa faktor oseangorafi dan

klimatologi mempunyai hubungan yang erat dengan hasil tangkapan lemuru oleh

nelayan di Selat Bali, baik yang ditangkap oleh nelayan dari Kabupaten

72

Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana periode tahun 2005–2010. Faktor

oseanografi yang berpengaruh adalah klorofil-a, dimana klorofil-a merupakan

sumber makanan bagi plankton.

Rata-rata tahunan konsentrasi klorofil-a paling tinggi terjadi pada triwulan

III tahun 2007 yaitu 1,33 mg/m3. Hal ini erat kaitannya dengan fenomena

regional berupa El Nino dan menguatnya Indian Ocean Dipole (IOD). Hal yang

sama pernah terjadi pada tahun 1987 dan 1998 pada saat terjadi El Nino yang kuat

karena peningkatan suhu permukaan laut yang cukup signifikan. Begitu juga

yang terjadi pada tahun 2010 (Gambar 16), dimana suhu permukaan laut secara

keseluruhan lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu

rata-rata sebesar 29,63oC. Peningkatan suhu permukaan laut ini kemungkinan

akibat dari fenomena La Nina yang berkepanjangan yang terjadi di Samudera

Pasifik, yang mengalirkan air hangat ke Samudara Hindia. Kondisi ini dibarengi

dengan rendahnya rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,4425 mg/m3, dan

merupakan konsentrasi terendah selama 5 tahun terakhir. Berdasarkan hal

tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebaran klorofil-a sangat dipengaruhi

oleh tinggi rendahnya suhu permukaan laut.

Hasil analisis kandungan klorofil-a yang dilakukan dari bulan Mei -

Oktober 2011 di Laboratorium Kualitas Perairan BROK Perancak Bali (Gambar

15), dapat dilihat bahwa sebaran klorofil-a tertinggi tercatat pada bulan Agustus

baik itu disisi paparan Bali (1,1210 mg/m3), maupun disisi paparan Jawa (4,2964

mg/m3). Apabila kita sejajarkan dengan data time series dari citra satelit selama

kurun waktu 2005 – 2010, terlihat bahwa pada bulan Agustus memang terjadi

peningkatan sebaran klorofil-a di Selat Bali.

Klorofil-a terdapat pada fitoplankton. Klorofil-a, adalah suatu pigmen

aktif sel tumbuhan yang memiliki peran penting dalam berlangsungnya proses

fotosintesis didalam perairan (Prezelein, 1981). Konsentrasi sebaran klorofil-a,

sangat mempengaruhi keberadaan planton di suatu wilayah perairan. Kesuburan

plankton dalam satu ekosistem perairan ditentukan oleh interaksi yang terjadi

antara plankton tersebut dengan faktor fisika, kimia dan biologi air (Basmi 1988).

Keberadaan plankton yang merupakan sumber makanan lemuru dan sangat

73

berpotensi dalam meningkatkan jumlah atau kepadatan sumberdaya lemuru di

Selat Bali. Menurut Sartimbul et al. (2010) Selat Bali merupakan wilayah

upwelling dan memiliki kandungan nutrient yang sangat baik. Upwelling,

merupakan pergerakan massa air secara vertikal, sebagai akibat dari stratifikasi

densitas air laut (Surinati 2009). Perairan laut Selat Bali merupakan daerah

upwelling yang lebih baik bila dibandingkan dengan perairan laut lainnya,

sehingga jumlah ikan tidak pernah habis. Hendiarti et al. (2004) menyatakan

konsentrasi klorofil-a meningkat sebagai akibat upwelling. Upwelling disebabkan

oleh angin musim tenggara, yang terjadi sekitar bulan April hingga awal bulan

Oktober (Pranowo dan Realino 2004). Proses upwelling yang terjadi

menyebabkan Selat Bali mempunyai nilai lebih secara ekonomi, karena Selat Bali

merupakan habitat yang baik bagi ikan lemuru. Upwelling yang terjadi disuatu

kawasan perairan dapat dilihat dari penurunan atau kenaikan suhu permukaan laut

di wilayah perairan tersebut. Di Selat Bali sendiri titik upwelling terjadi di bagian

selatan yang mengarah ke Samudera Hindia. Berdasarkan hasil wawancara

dengan salah seorang nelayan di Pengambengan, mengatakan bahwa ikan di Selat

Bali tidak akan pernah habis, ibaratnya dapat diambil dengan “centong” saking

banyaknya.

Suhu permukaan laut sangat berpengaruh terhadap kesuburan perairan

laut. Secara keseluruhan selama kurun waktu enam tahun terakhir terjadi

peningkatan suhu permukaan laut. Berdasarkan hasil analisis citra (Gambar 16)

dapat dilihat, untuk tahun 2010 suhu permukaan laut bulanan jauh lebih tinggi

dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu rata-rata sebesar 29,630C. Peningkatan suhu

permukaan laut ini kemungkinan disebabkan oleh fenomena La Nina yang terjadi

di Samudera Pasifik, yang mengalirkan air dengan suhu panas ke Samudera

Hindia. Berdasarkan hasil foto citra satelit selama periode bulan Mei – Oktober

2011, suhu permukaan laut tidak dapat dilihat, karena permukaan laut lebih sering

tertutup awan, terutama untuk suhu permukaan laut pada Bulan Agustus.

Apabila dilihat lebih rinci, dapat dijabarkan disini bahwa, terjadi hubungan

yang sangat erat antara sebaran klorofil-a dengan suhu permukaan laut. Dari

tampilan trend rata-rata triwulanan sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut

dapat dilihat bahwa, apabila suhu permukaan laut meningkat, maka sebaran

74

klorofil-a menurun. Haluan et al. (1991) menyatakan bahwa sebaran suhu

horizontal lebih banyak dipengaruhi oleh arus permukaan.

Seperti kita ketahui bersama, akhir tahun 2009 sampai dengan akhir tahun

2010, terjadi fenomena hilangnya ikan lemuru dari perairan Selat Bali.

Berdasarkan hasil analisis ini, maka terjawab penyebab hilangnya ikan lemuru

dari Selat Bali terjadi sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan laut.

Peningkatan suhu permukaan laut yang sangat signifikan terjadi tahun 2009 –

2010 yaitu mencapai 29,50°C. Peningkatan yang terjadi menyebabkan klorofil-a

tidak mampu mentolerir keadaan tersebut. Jika konsentarasi sebaran klorofil-a

yang merupakan pigmen dari fitoplankton menipis, maka sumber makanan berupa

zat renik menjadi berkurang. Disamping itu lemuru tidak dapat hidup pada suhu

perairan laut yang tinggi (29,50°C). Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala

BROK Perancak Bali ada kemungkinan ikan lemuru turun ke lapisan perairan

yang lebih dalam, dan tidak terjangkau oleh alat tangkap purse seine yang dimiliki

oleh nelayan, karena tinggi maksimal rata-rata yang digunakan adalah 75 – 100

meter. Penyebab turunnya lemuru ke lapisan perairan lebih dalam diperkirakan

sebagai akibat proses la-nina yang berkepanjangan di Samudera Pasifik yang

mengalirkan suhu air yang hangat ke Samudera Hindia termasuk Selat Bali.

Suhu di lautan kemungkinan berkisar antara -1,87°C (titik beku air laut) di

daerah kutub sampai maksimum sekitar 42°C di daerah perairan dangkal

(Hutabarat, 2001). Namun untuk tingkat kesuburan perairan, suhu maksimal

adalah 28°C, kenapa demikian, hal ini dapat dilihat bahwa pada periode tahun

2006, dengan suhu perairan seperti tersebut diatas maka sebaran klorofil-a lebih

tinggi.

Menurut Desser et al (1992), bahwa struktur kinematik dan termodinamika

lapisan batas atmosfer planet menunjukkan respon yang baik untuk distribusi suhu

permukaan laut terjadi di Pasifik bagian timur. Rendahnya tingkat geser angin,

kecepatan angin permukaan laut, kelembaban relatif permukaan laut, dan tekanan

udara di atas permukaan laut menyebabkan perbedaan suhu pada setiap transisi di

khatulistiwa. Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang

75

dilakukan dilautan Pasifik, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara

awan, gelombang dan suhu permukaan laut.

Effendi (2003) menyebutkan bahwa suhu suatu badan air dipengaruhi oleh

faktor-faktor seperti musim, koordinat pada bumi, ketinggian dari permukaan laut,

waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman

badan air itu sendiri. Disini jelas terlihat bahwa faktor oseanografi sangat

berperan dalam penentuan kesuburan suatu perairan, sehingga dengan demikian

hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pihak-pihak yang berkompeten.

Kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya, adalah sangat berpengaruh kepada

ketersediaan sumberdaya perikanan target penangkapan.

Baik tidaknya suatu kawasan perairan sangat tergantung kepada faktor

manusia yang memanfaatkan apa-apa yang terkandung dalam lingkungan perairan

tersebut. Namun demikian, hal yang perlu disikapi dengan baik dan bijak,

bagaimana mempertahankan lingkungan perairan agar biota yang hidup

didalamnya dapat dikelola dengan baik.

Berbicara tentang kualitas perairan di lokasi penangkapan ikan (fishing

ground), terutama di Selat Bali sesuai dengan pokok bahasan sangat perlu

mendapat perhatian, karena di Selat Bali terdapat pelabuhan penyeberangan antara

Ketapang Kabupaten Banyuwangi dan Gili Manuk Kabupaten Jembrana.

Disamping itu, Muncar sebagai pusat pendaratan ikan terbesar di wilayah Jawa

Timur terdapat industri pengolahan ikan demikian juga halnya di Pengambengan.

Penelitian kualitas perairan air laut pernah dilakukan pada tahun 2008

yaitu di sepanjang pantai Cupel sampai dengan Pengambengan, hal ini berkaitan

dengan keberadaan industri perikanan yang ada di Pengambengan (Poppo et al,

2008). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perairan dilokasi penelitian

mengalami cemar ringan sampai cemar berat (mengacu pada permen LH no. 115

tahun 2003). Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali secara periodik mulai tahun

2009 sudah melakukan uji terhadap kualitas perairan Selat Bali. Namun kualitas

perairan yang diuji, mengarah kepada fungsi laut sebagai kawasan pariwisata

(Lampiran 8).

76

Uji kualitas perairan dilokasi fishing ground yang dilakukan pada periode

Mei – Oktober 2011, secara keseluruhan dari parameter yang diuji yaitu pH,

Salinitas, Nitrat (NO3) dan Posfat (PO4) dapat dilihat Gambar 20. Tingkat

keasaman (pH) perairan di lokasi fishing ground terdeteksi normal. Sebagian

besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada

kisaran 7–8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan,

misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selain itu toksisitas

logam-logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Effendi, 2003).

Derajat keasaman (pH) dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida serta ion–ion

yang bersifat asam atau basa. Fitoplankton yang memilik pigmen hijau dan lebih

sering disebut klorofil-a dan tanaman air akan mengambil karbondioksida selama

proses fotosintesis berlangsung, sehingga mengakibatkan pH perairan menjadi

meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari (Apridayanti, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pH di perairan Selat Bali berkisar

antara 7,92 – 8,47. Sementara kadar posfat sudah melebihi baku mutu yang

diperuntukan bagi biota laut, demikian juga untuk kadar nitrat. Rata-rata salinitas

juga terdeteksi lebih tinggi (Gambar 20), sehingga sesuai dengan keterangan dan

uraian terdahulu, maka pH perairan Selat Bali masih dapat mendukung kehidupan

organisme akuatik yang ada di dalamnya.

Zat hara, terutama posfat dan nitrat merupakan unsur yang sangat

diperlukan dalam jejaring rantai makanan dan mempunyai pengaruh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Salah satu organisme

yang membutuhkan zat hara adalah plankton. Keberadaan plankton merupakan

salah satu parameter biologi yang erat hubungannya dengan kandungan zat hara.

Tinggi rendahnya kelimpahan plankton tergantung kepada kandungan zat hara di

suatu perairan (Nybakken, 1982). Namun, Nitrogen sebagai unsur pembentuk

nitrat merupakan degradasi kontaminan utama penyebab penurunan kualitas air di

perairan pantai. Sedangkan diperairan laut lepas, kadar nitrat sangat cepat

mengalami perubahan dan sangat mempengaruhi kesuburan perairan.

Menurunnya tingkat kesuburan perairan bisa disebabkan oleh pengaruh

global warming yang terjadi dimuka bumi. Kemungkinan lain bisa saja terjadi

akibat pengaruh La Nina yang berkepanjangan di Samudera Pasifik yang

77

mengalirkan arus panas ke Samudera Hindia, sehingga berpengaruh terhadap

tingkat kesuburan perairan, dan salah satunya terjadi di Selat Bali.

Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dan

memberikan dampak kepada kehidupan laut sangat perlu diperhatikan khususnya

dalam hal penanggulangan dampak yang diberikan oleh keadaan tersebut. Hal ini

dikarenakan dampak yang ditimbulkan sangat merugikan bagi kegiatan

pemanfaatan sumberdaya perikanan, karena pada umumnya daerah penangkapan

ikan selalu berubah dan tidak pasti. Nelayan, pada saat turun melaut sangat

memperhatikan iklim yang lebih mereka kenal dengan faktor cuaca. Perubahan

iklim sangat sulit untuk dihindari, dan memberikan dampak terhadap berbagai

segi kehidupan. Dampak ekstrim dari perubahan iklim adalah terjadinya kenaikan

temperatur serta pergeseran musim.

Angin yang bertiup dilautan memberikan pengaruh terhadap arus

permukaan sekitar 2% dari kecepatan angin itu sendiri. Kekuatan arus ini akan

berkurang dengan makin bertambahnya kedalaman perairan sampai pada akhirnya

angin tidak berpengaruh, yaitu pada kedalaman 200 meter (Suardi, 2006).

Menurut Hutabarat (2001), angin merupakan salah satu faktor penting yang

dapat mempengaruhi iklim. Pada kehidupan sehari-hari nelayan, terutama nelayan

tradisional masih tergantung kepada angin dalam membantu menggerakkan

perahu mereka (perahu tanpa motor). Namun kadang kala angin dapat

menimbulkan bencana berupa badai yang dapat menghancurkan peralatan atau

bahkan menenggelamkan perahu mereka.

Tiga faktor utama yang mempengaruhi iklim yaitu suhu, curah hujan, dan

angin. Suhu sangat berpengaruh terhadap sebaran klorofil-a pada suatu perairan,

hujan berfungsi sebagai penetralisir kadar garam perairan laut dan menetralkan

suhu, Sedangkan angin berpengaruh terhadap arus yang terjadi di permukaan laut

(Hutabarat, 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa, diperkirakan jumlah total air

dipemukaan laut yang hilang setiap tahunnya kira-kira setebal 97,3 cm, dari

jumlah tersebut 89,7 cm tergantikan oleh curah hujan yang langsung jatuh ke

permukaan laut.

78

Arus di perairan Asia Tenggara, baik yang terjadi pada musim Barat

(bulan Desember - Pebruari) ataupun pada musim Timur (bulan Juni -Agustus),

dimana pada saat musim Barat ditandai dengan adanya aliran air dari arah utara

melalui Laut Cina Selatan bagian atas. Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan

pada waktu musim Timur terjadi kebalikannya yaitu arus mengalir dari arah

Selatan (Hutabarat, 2001).

Tinggi rendahnya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan

daerah dimana massa air berasal (Afdal dan Riyono, 2004). Romimohtarto dan

Thayib (1982) mengatakan bahwa perairan laut Indonesia (nusantara) dipengaruhi

oleh angin monsoon. Selanjutnya dikatakan bahwa angin monsoon yang terjadi

berkaitan erat dengan sistem tekanan tinggi dan tekanan rendah di atas benua Asia

dan Australia. Angin monsoon yang terjadi pada bulan Desember – Februari

dikenal sebagai angin barat, yaitu angin yang bertiup dari Asia ke Australia.

Bulan Juni–Agustus, terjadi kebalikannya yang dikenal sebagai monsoon timur.

Pergantian sistem angin ini memberi pengaruh yang nyata pada perairan

khususnya dilapisan permukaan. Menurut Nontji (2007) pada bulan Desember –

Februari, arus musim barat mengalir menuju timur. Pada musim panca roba yang

terjadi bulan April, arus ke timur mulai melemah bahkan mulai berbalik arah,

hingga dibeberapa tempat terjadi pusaran (eddies). Pada bulan Juni-Agustus arus

musim timur mulai datang, dan arah arus telah berbalik arah sepenuhnya menuju

ke barat yang akhirnya menuju ke Laut Cina Selatan. Pada musim panca roba

kedua, sekitar Oktober, pola arus berubah lagi. Kadangkala arah arus sering tak

menentu, apabila arus ke barat melemah, maka arus ke timur mulai menguat.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa faktor oseanografi dan

klimatologi mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru di Selat Bali,

baik yang ditangkap oleh nelayan dari Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten

Jembrana periode tahun 2005–2010. Berdasarkan persamaan regresi tersebut

dapat dilihat bahwa secara bersama-sama faktor oseanografi dan klimatologi yang

berpengaruh signifikan pada taraf uji 5% adalah klorofil-a dan angin. Sebaran

klorofil-a yang tinggi dilokasi fishing ground akan meningkatkan keberadaan

ikan, sehingga hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak. Hal ini terjadi karena

ikan berada pada suatu wilayah perairan berkaitan dengan adanya ketersediaan

79

makanan pada wilayah tersebut (Himelda et al., 2012). Setelah dilakukan uji

secara statistik, maka dapat diketahui bahwa faktor osenografi dan klimatologi

yang berpengaruh secara langsung terhadap hasil tangkapan lemuru adalah

sebesar 43,5% (R square). Sedangkan sebesar 56,5% berpengaruh secara tidak

langsung, dan diduga berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya lemuru di

Selat Bali, yang mana sumberdaya lemuru tersebut tidak berhasil ditangkap oleh

nelayan. Untuk membuktikannya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hasil

analisis ini merupakan salah satu parameter model dinamik keberlanjutan

pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) yang akan

dibahas pada bab 9.

5.6 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian di atas dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Faktor oseanografi dan klimatologi di wilayah perairan Selat Bali selama

periode 2005-2010, yang mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan

lemuru adalah klorofil-a (17.338,792), dan angin (–11.521,697) dengan

analisis regresi linier biasa pada taraf uji (5%), dengan R square 43,5%.

2. Berdasarkan hasil analisis terhadap kualitas perairan Selat Bali yang

dilakukan periode Mei–Oktober 2011, menunjukan indikasi adanya

penurunan kesuburan perairan di lokasi fishing ground.