59262029-MAKALAH-IMUNOLOGI
-
Upload
galih-putra-rangga -
Category
Documents
-
view
42 -
download
2
description
Transcript of 59262029-MAKALAH-IMUNOLOGI
MAKALAH SISTEM IMUN
DEFISIENSI SISTEM IMUN
Kelompok
Sukma Anugrah 260110090092
Refi Nurul Fazwah 260110090093
Shandy Giovani 260110090094
Ratu Nida Farihah 260110090095
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2011
DEFISIENSI SISTEM IMUN
I. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak penyakit yang bermunculan. Penyakit sistem
imun adalah penyakit yang sedang ramai dibahas. Defisiensi sistem imun yang paling
melekat di masyarakat adalah HIV/AIDS, padahal masih banyak penyakit sistem
imun yang terdapat di sekitar kita. Defisiensi imun disebabkan oleh berbagai faktor.
Misalnya virus, mutasi, antigen, genetik dan lain sebagainya. Melalui makalah ini,
kami mencoba untuk memberikan informasi mengenai defisiensi sistem imun.
II. ISI
1. Definisi
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengindentifikasi
dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai
macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh
dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit. Serta menghancurkan zat-
zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dari
jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa.
a. Defisiensi Imun
Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem
Imun tidak aktif, kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen
berkurang pada baik golongan muda dan golonga tua, respon imun
berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat terjadi karena
penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari
fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling
umum yang menyebabkan difisiensi imun di negara berkembang. Diet
kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas
selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibody, IgA
dan produksi sitokin, Defisiensi nutrisi seperti zinc, Selenium, zat besi,
tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9) juga
mengurangi respon imun.
Difisiensi imun juga dapat didapat dari chronic granulomatus disease
(penyakit yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan
fagosit berkurang), contohnya: Aids dan beberapa tipe kanker.
b. Autoimunitas
Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun yang disebut
autoimunitas. Sistem imun gagal untuk memusnahkan dengan tepat antara
diri sendiri dan orang lain yang menyerang dari bagian tubuh.
c. Hipersensitivitas
Adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Mereka
terbagi menjadi 4 kelas (tipe I-IV) yaitu:
1. Reaksi anafilaksi
2. Reaksi sitotoksik
3. reaksi imun kompleks
4. reaksi toep lambat
2. Penyakit Imun
Penyakit defisiensi imun muncul ketika sistem imun kurang aktif
daripada biasanya, menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun
merupakan penyebab dari penyakit genetika, seperti severe combined
immunodeficiency, atau diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi, seperti
sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus
HIV.
A. Defisiensi Imun nonspesifik
1. Defisiensi Komplemen
a. kongenital
b. fisiologik
c. didapat
2. Defisiensi Interferon dan lisozim
a. Defisiensi Interferon kongenital
b. Defisiensi Interferon dan lisozim didapat
3. Defisiensi Sel NK
a. Defisiensi kongenital
b. Defisiensi didapat
4. Defisiensi Sistem Fagosit
a. Defisiensi Kuantitatif
b. Defisiensi Kualitatif
B. Defisiensi Imun spesifik
1. Defisiensi Kongiental atau primer
Defisiensi sel B : infeksi rekuren oleh bakteri berupa gangguan
perkembangan sel B.
Defisiensi sel T : kerentanan meningkat terhadap virus, jamur dan
protozoa
2. Defisiensi Imun fisiologik
a. Kehamilan
b. Usia tahun pertama
c. Usia lanjut
3. Defisiensi Didapat atau sekunder
a . malnutrisi
b. infeksi
c. obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah
d. Penyinaran
e. Penyakit berat
f. kehilanggan ig/leukosit
g. Stres
4. AIDS
3. Penyebab Defisiensi Imun
a. Defek genetik
Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal
ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen
tunggal khusus pada sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-
linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor
sel T) Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik (misal
common variable immunodeficiency)
b. Obat atau toksin
Imunosupresan (kortikosteroid, siklosporin)Antikonvulsan (fenitoin)
c. Penyakit nutrisi dan metabolic
Malnutrisi ( misal kwashiorkor)Protein losing enteropathy (misal
limfangiektasia intestinal)Defisiensi vitamin (misal biotin, atau
transkobalamin II) Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati
Akrodermatitis)
d. Kelainan kromosom
Anomali DiGeorge (delesi 22q11) Defisiensi IgA selektif (trisomi 18)
e. Infeksi Imunodefisiensi transien (pada campak dan
varicella )Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV, infeksi rubella
kongenital)
Defisiensi komplemen
Aktivitas komplemen yang rusak biasanya terjadi sekunder terhadap penyakit
yang menggunakan komplemen melalui jalur klasik atau alternatif. Contohnya adalah
penyakit lupus eritematosus sistemik yang mengkonsumsi jalur klasik kompenen
komplemen C1, C4 dan C2 dan mengakibatkan rusaknya kemampuan komplemen
untuk melarutkan kompleks imun.
Pada manusia, defisiensi komponen komplemen yang diturunkan dikaitkan
dengan sindrom klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1, C4 atau C2 mempunyai
lupus-like syndrome, seperti ruam malar, artralgia, glomerulonefritis, demam atau
vaskulitis kronik dan infeksi piogenik rekuren. Antinuklear dan antibodi anti-dsDNA
dapat tidak ditemukan. Adanya defisiensi komponen komplenen jalur klasik ini
menurunkan kemampuan individu untuk eliminasi kompleks imun.
Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara primer atau sekunder,
contohnya defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau H akan meningkatkan risiko
untuk terkena infeksi bakteri rekuren. Individu biasanya terkena infeksi yang
mengancam nyawa, seperti pneumonia, septikemia dan meningitis.
Terdapat hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau properdin
dengan infeksi neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai infeksi gonokokus
rekuren, terutama septikemia dan artritis, atau meningitis meningokukos rekuren.
Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem komplemen diturunkan
yang paling sering dan penyebab angioedema herediter.
Defisiensi imun sekunder
Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum dibandingkan penyebab
primer. Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan produksi yang menurun
atau katabolisme (“hilangnya” komponen imun) yang dipercepat.
Hilangnya protein yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia dan
hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau melalui
saluran cerna (protein-losing enteropathy). Hilangnya imunoglobulin melalui renal
setidaknya bersifat selektif parsial, sehingga kadar IgM masih dapat normal meskipun
kadar IgG serum dan albumin menurun. Protein juga dapat hilang dari saluran cerna
melalui penyakit inflamatorius aktif seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan
penyakit seliak.
Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi. Defisiensi protein
menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak organ, termasuk sistem imun.
Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi, dan defek pada imunitas
seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen dihubungkan dengan nutrisi yang
buruk, dan membaik setelah suplementasi diet protein dan kalori yang cukup.
Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan terhadap infeksi.
Leukemia limfositik kronik yang tidak diobati umumnya berhubungan dengan
hipogamaglobulinemia dan infeksi rekuren yang cenderung bertambah berat dengan
progresifitas penyakit. Limfoma Non-Hodgkin mungkin berhubungan dengan defek
pada imunitas humoral dan seluler. Penyakit Hodgkin biasanya berhubungan dengan
kerusakan yang nyata dari imunitas seluler, namun imunoglobulin serum masih
normal sampai fase akhir penyakit.
Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien dengan
keganasan diseminata menandakan adanya defek imun, meskipun sulit membedakan
efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan. Obat imunosupresif
mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit dan polimorf, namun
hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi. Pasien dengan obat untuk mencegah
penolakan organ transplan juga dapat timbul infeksi oportunsistik meskipun tidak
biasa. Bentuk iatrogenik lain dari defisiensi imun sekunder adalah yang berhubungan
dengan splenektomi.
Infeksi HIV Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom
defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV.
Infeksi HIV menyebabkan terganggunya fungsi sistem imun alamiah dan
didapat. Gangguan yang paling jelas adalah pada imunitas selular, dan dilakukan
melalui berbagai mekanisme yaitu efek sitopatik langsung dan tidak langsung.
Penyebab terpenting kurangnya sel T CD4+ pada pasien HIV adalah efek sitopatik
langsung. Beberapa efek sitopatik langsung dari HIV terhadap sel T CD4+ antara lain:
Pada produksi virus HIV terjadi ekspresi gp41 di membran plasma dan
budding partikel virus, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
membran plasma dan masuknya sejumlah besar kalsium yang akan
menginduksi apoptosis atau lisis osmotik akibat masuknya air. Produksi virus
dapat mengganggu sintesis dan ekspresi protein dalam sel sehingga
menyebabkan kematian sel.
DNA virus yang terdapat bebas di sitoplasma dan RNA virus dalam jumlah
besar bersifat toksik terhadap sel tersebut.
Membran plasma sel T yang terinfeksi HIV akan bergabung dengan sel T
CD4+ yang belum terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4, dan akan
membentuk multinucleated giant cells atau syncytia. Proses ini menyebabkan
kematian sel-sel T yang bergabung tersebut. Fenomena ini banyak diteliti in
vitro, dan syncytia jarang ditemukan pada pasien AIDS.
4. Klasifikasi Defisiensi
2.4.1 Defisiensi imun primer
a. Defisiensi imun humoral (sel B)
Hipogamaglobulinemia x-linked (hipogamaglobulinemia kongenital)
Hipogamaglobulinemia transien (pada bayi) Defisiensi imun tak terklasifikasi, umum,
bervariasi (hipogamaglobulinemia didapat)
o Defisiensi imun dengan hiperIgM
Defisiensi IgA selektif
Defisiensi imun IgM selektif
Defisiensi sub kelas IgG selektif
Defisiensi sel B sekunder berhubungan dengan obat, kehilangan protein
Penyakit limfoproliferatif x-linked
b. Defisiensi imun selular (sel T)
Aplasia timus kongenital (sindrom DiGeorge)Kandidiasis mukokutaneus kronik dengan
atau tanpa endokrinopati)Defisiensi sel T berhubungan dengan defisiensi purin nukleosid
fosforilase
Defisiensi sel T berhubungan dengan defek glikoprotein membran
Defisiensi sel T berhubungan dengan absen MHC kelas I dan atau kelas II
(sindrom limfosit telanjang)
c. Defisiensi imun gabungan humoral (sel B) dan selular (sel T)
Defisiensi imun berat gabungan (autosom resesif, x-linked, sporadik)Defisiensi imun selular
dengan gangguan sintesis imunoglobulin (sindrom Nezelof)Defisiensi imun dengan ataksia
teleangiektasis
Defisiensi imun dengan eksim dengan trombositopenia (sindrom Wiskott-Aldrich)
Defisiensi imun dengan timoma
Defisiensi imun dengan short-limbed dwarfism
Defisiensi imun dengan defisiensi adenosin deaminase
Defisiensi imun dengan defisiensi nukleosid fosforilase
Defisiensi karboksilase multipel yang tergantung biotin
Penyakit graft-versus-host
Sindrom defisiensi imun didapat (AIDS)
d. Disfungsi fagosit
Penyakit granulomatosis kronikDefisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase Defisiensi
mieloperoksidase
Sindrom Chediak-Higashi
Sindrom Job
Defisiensi tuftsin
Sindrom leukosit malas
Peninggian IgE, defek kemotaksis dan infeksi rekuren
(Dikutip dari AJ Amman, 1991)
Penyebab defisiensi antibodi primer
Usia
(tahun)Anak Dewasa
< 2
Transient hypogammaglobulinaemia of
infancyX-linked
agammaglobulinaemiaHyper-IgM with
immunoglobulin deficiency
Dapat terjadi, namun
jarangDapat terjadi, namun
jarang
3-15
Selective antibody
deficienciesCommon variable
immunodeficiencySelective IgA
deficiency
16-50
Selective antibody
deficienciesCommon
variable
immunodeficiencySelective
IgA deficiency
> 50Antibody deficiencies with
thymoma
2.4.2 Defisiensi imun sekunder
Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum dibandingkan penyebab
primer. Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan produksi yang menurun
atau katabolism “hilangnya” komponen imun) yang dipercepat. Hilangnya protein
yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia dan hipoproteinemia terjadi
terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau melalui saluran cerna (protein-losing
enteropathy). Hilangnya imunoglobulin melalui renal setidaknya bersifat selektif
parsial, sehingga kadar IgM masih dapat normal meskipun kadar IgG serum dan
albumin menurun. Protein juga dapat hilang dari saluran cerna melalui penyakit
inflamatorius aktif seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit seliak.
Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi. Defisiensi protein
menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak organ, termasuk sistem imun.
Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi, dan defek pada imunitas
seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen dihubungkan dengan nutrisi yang
buruk, dan membaik setelah suplementasi diet protein dan kalori yang cukup. Bentuk
iatrogenik lain dari defisiensi imun sekunder adalah yang berhubungan dengan
splenektomi
5. Prognosis
Prognosis penyakit defisiensi imun untuk jangka pendek dipengaruhi oleh
beratnya komplikasi infeksi. Untuk jangka panjang sangat tergantung dari jenis dan
penyebab defek sistem imun. Tetapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa
perjalanan penyakit defisiensi imun primer buruk dan berakhir fatal, seperti juga
halnya pada beberapa penyakit defisiensi imun sekunder (AIDS). Diperkirakan
sepertiga dari penderita defisiensi imun meninggal pada usia muda karena komplikasi
infeksi. Mortalitas penderita defisiensi imun humoral adalah sekitar 29%. Beberapa
penderita defisiensi IgA selektif dilaporkan sembuh spontan Sedangkan hampir
semua penderita defisiensi imun berat gabungan akan meninggal pada usia dini.
Defisiensi imun ringan, terutama yang berhubungan dengan keadaan
fisiologik (pertumbuhan, kehamilan), infeksi, dan gangguan gizi dapat diatasi dengan
baik bila belum disertai defek imunologik yang menetap.
6. Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, penting ditanyakan riwayat
kesehatan pasien dan keluarganya, sejak masa kehamilan, persalinan dan morbiditas
yang ditemukan sejak lahir secara detail. Walaupun penyakit defisiensi imun tidak
mudah untuk didiagnosis, secara klinis Sesuai dengan gejala dan tanda klinis tersebut
maka dapat diarahkan terhadap kemungkinan penyakit defisiensi imun.
Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan
dengan yang diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10 tahun. Pada bentuk
defisiensi antibodi kongenital, infeksi rekuren biasanya terjadi mulai usia 4 bulan
sampai 2 tahun, karena IgG ibu yang ditransfer mempunyai proteksi pasif selama 3-4
bulan pertama. Beberapa defisiensi antibodi primer bersifat diturunkan melalui
autosom resesif atau X-linked. Defisiensi imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi
dibandingkan dengan defek primer.
Pemeriksaan laboratorium penting untuk diagnosis. Pengukuran
imunoglobulin serum dapat menunjukkan abnormalitas kuantitatif secara kasar.
Imunoglobulin yang sama sekali tidak ada (agamaglobulinemia) jarang terjadi,
bahkan pasien yang sakit berat pun masih mempunyai IgM dan IgG yang dapat
dideteksi. Defek sintesis antibodi dapat melibatkan satu isotop imunoglobulin, seperti
IgA atau grup isotop, seperti IgA dan IgG. Beberapa individu gagal memproduksi
antibodi spesifik setelah imunisasi meskipun kadar imunoglobulin serum normal. Sel
B yang bersirkulasi diidentifikasi dengan antibodi monoklonal terhadap antigen sel B.
Pada darah normal, sel-sel tersebut sebanyak 5-15% dari populasi limfosit total. Sel B
matur yang tidak ada pada individu dengan defisiensi antibodi membedakan infantile
X-linked agammaglobulinaemia dari penyebab lain defisiensi antibodi primer dengan
kadar sel B normal atau rendah.
7. Gejala Klinis Defisiensi Imun
a. Gejala yang biasanya dijumpai
Infeksi saluran napas atas berulang Infeksi bakteri yang
berat Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi, atau respons
pengobatan inkomplit
b. Gejala yang sering dijumpai
Gagal tumbuh atau retardasi tumbuhJarang ditemukan kelenjar atau
tonsil yang membesarInfeksi oleh mikroorganisma yang tidak lazim
Lesi kulit (rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia,
eksim, teleangiektasi, warts yang hebat).
Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan
Jari tabuh
Diare dan malabsorpsi
Mastoiditis dan otitis persisten
Pneumonia atau bronkitis berulang
Penyakit autoimun
Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik,
neutropenia, trombositopenia)
c. Gejala yang jarang dijumpai
Berat badan turunDemamPeriodontitis
Limfadenopati
Hepatosplenomegali
Penyakit virus yang berat
Artritis atau artralgia
Ensefalitis kronik
Meningitis berulang
Pioderma gangrenosa
Kolangitis sklerosis
Hepatitis kronik (virus atau autoimun)
Reaksi simpang terhadap vaksinasi
Bronkiektasis
Infeksi saluran kemih
Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari)
Stomatitis kronik
Granuloma
Keganasan limfoid
(Dikutip dari Stiehm, 2005)
8. Pemeriksaan Lanjutan
a. Defisiensi Sel B
Uji Tapis:
Kadar IgG, IgM dan IgA, Titer isoaglutinin, Respon antibodi pada vaksin
(Tetanus, difteri, H.influenzae)
Uji lanjutan:
Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20), Kadar subklas IgG, Kadar IgE dan IgD,
Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli, Respons antibodi
terhadap, vaksin tifoid dan pneumokokus, Foto faring lateral untuk mencari
kelenjar adenoid
Riset:
Fenotiping sel B lanjut, Biopsi kelenjar, Respons antibodi terhadap antigen khusus
misal phage antigen, Ig-survival in vivo, Kadar Ig sekretoris, Sintesis Ig in vitro,
Analisis aktivasi sel, Analisis mutasi
b. Defisiensi sel T
Uji tapis:
Hitung limfosit total dan morfologinya, Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung
sel T total, Th dan Ts, Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid
tetanus, tuberculin, Foto sinar X dada : ukuran timus
Uji lanjutan:
Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8), Respons proliferatif terhadap mitogen,
antigen dan sel alogeneik, HLA typing, Analisis kromosom
Riset:
Advance flow cytometr, Analisis sitokin dan sitokin reseptor, Cytotoxic assay (sel
NK dan CTL), Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside
urin/PNP), Pencitraan timus dab fungsinya, Analisis reseptor sel T, Riset aktivasi
sel T, Riset apoptosis, Biopsi, Analisis mutasi
c. Defisiensi fagosit
Uji tapis:
Hitung leukosit total dan hitung jenis, Uji NBT (Nitro blue tetrazolium),
kemiluminesensi : fungsi metabolik neutrofil, Titer IgE
Uji lanjutan:
Reduksi dihidrorhodamin, White cell turn over, Morfologi special, Kemotaksis dan
mobilitas random, Phagocytosis assay, Bactericidal assays
Riset:
Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin), Oxidative metabolism,
Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH), Analisis mutasi
c. Defisensi komplemen
Uji tapis:
Titer C3 dan C4, Aktivitas CH50
Uji lanjutan:
Opsonin assays, Component assays, Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)
Riset:
Aktivitas jalur alternative, Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune adherence)
9. Pengobatan
Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan kelainan klinisnya
maka pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi. Pada dasarnya
pengobatan tersebut bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi, atau kausal.
Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum dengan memenuhi
kebutuhan gizi dan kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa,
kebutuhan oksigen, serta melakukan usaha pencegahan infeksi. Substitusi dilakukan
terhadap defisiensi komponen imun, misalnya dengan memberikan eritrosit, leukosit,
plasma beku, enzim, serum hipergamaglobulin, gamaglobulin, imunoglobulin
spesifik. Kebutuhan tersebut diberikan untuk kurun waktu tertentu atau selamanya,
sesuai dengan kondisi klinis.
Pengobatan imunomodulasi masih diperdebatkan manfaatnya, beberapa
memang bermanfaat dan ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang diberikan antara
lain adalah faktor tertentu (interferon), antibodi monoklonal, produk mikroba (BCG),
produk biologik (timosin), komponen darah atau produk darah, serta bahan sintetik
seperti inosipleks dan levamisol.
Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab defisiensi
imun, terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi, suplemen gizi,
pengobatan keganasan, dan lain-lain). Defisiensi imun primer hanya dapat diobati
dengan transplantasi (timus, hati, sumsum tulang) atau rekayasa genetik.
Tatalaksana defisiensi antibodi
Terapi pengganti imunoglobulin (immunoglobulin replacement therapy)
merupakan keharusan pada anak dengan defek produksi antibodi. Preparat dapat
berupa intravena atau subkutan. Terapi tergantung pada keparahan
hipogamaglobulinemia dan komplikasi. Sebagian besar pasien dengan
hipogamaglobulinemia memerlukan 400-600 mg/kg/bulan imunoglobulin untuk
mencegah infeksi atau mengurangi komplikasi, khususnya penyakit kronik pada paru
dan usus. Imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan pilihan terapi, diberikan
dengan interval 2-3 minggu. Pemantauan dilakukan terhadap imunoglobulin serum,
setelah mencapai kadar yang stabil (setelah 6 bulan), dosis infus dipertahankan di atas
batas normal.
Tatalaksana defek imunitas seluler
Tatalaksana pasien dengan defek berat imunitas seluler, termasuk SCID tidak
hanya melibatkan terapi antimikrobial namun juga penggunaan profilaksis. Untuk
mencegah infeksi maka bayi dirawat di area dengan tekanan udara positif. Pada
pasien yang terbukti atau dicurigai defek sel T harus dihindari imunisasi dengan
vaksin hidup atau tranfusi darah. Vaksin hidup dapat mengakibatkan infeksi
diseminata, sedangkan tranfusi darah dapat menyebabkan penyakit graft-versus-host.
Tandur (graft) sel imunokompeten yang masih hidup merupakan sarana satu-
satunya untuk perbaikan respons imun. Transplantasi sumsum tulang merupakan
pilihan terapi pada semua bentuk SCID. Terapi gen sedang dikembangkan dan
diharapkan dapat mengatasi defek gen.
Tatalaksana pada penderita HIV
Pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap, meliputi
pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana medikamentosa,
tatalaksana psikologis dan penanganan sisi social yang akan berperan dalam
kepatuhan program pemantauan dan terapi. Pemberian imunisasi harus
mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta panduan yang berlaku.
Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV adalah, selama
asimtomatik, semua jenis vaksin dapat diberikan, termasuk vaksin hidup. Tetapi bila
simtomatik, maka pemberian vaksin polio oral dan BCG sebaiknya dihindari.
Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset
mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu
mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4
memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan paling tidak 3
kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada homolog manusia.
Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu analog
nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim
transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat
mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya
progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada
jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.
Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4+ yang terinfeksi dan
sebagian kecil oleh sel lain yang terinfeksi. Terapi obat dikembangkan untuk
menghambat semua produksi HIV yang terdeteksi untuk beberapa tahun. Penurunan
viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi dalam 3 fase. Fase pertama adalah
penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat dengan waktu paruh kurang dari 1
hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa virus diproduksi oleh sel yang hanya hidup
sebentar (short-lived) yaitu sel T CD4+ yang merupakan reservoir utama (93 – 97%
dari seluruh sel T) dan sumber virus.
Fase kedua penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2 minggu
menyebabkan jumlah virus dalam plasma berkurang hingga di bawah ambang
deteksi. Hal ini menunjukkan berkurangnya reservoir virus dalam makrofag. Fase
ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus di sel T memori
yang terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang dari sel memori,
diperlukan berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkan reservoir virus ini.
imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan produk darah intravena. Ini berisi
IgG menggenang (imunoglobulin (antibodi) G) diekstraksi dari plasma lebih dari
seribu donor darah. IVIG's terakhir antara 2 minggu dan 3 bulan efek. Hal ini
terutama digunakan sebagai pengobatan dalam tiga kategori utama:
▪ kekebalan kekurangan seperti agammaglobulinemia X-linked,
hypogammaglobulinemia (defisiensi imun primer), dan diperoleh dikompromikan
kondisi kekebalan (defisiensi imun sekunder) menampilkan tingkat antibodi yang
rendah.
▪ autoimmune penyakit mis Immune trombositopenia ITP dan penyakit
inflamasi misalnya Kawasaki penyakit. Infeksi akut.
IVIG diberikan sebagai terapi plasma protein pengganti (IgG) untuk pasien
kekurangan kekebalan tubuh yang telah menurun atau dihapuskan kemampuan
produksi antibodi. Pada pasien kekurangan kekebalan tubuh, IVIG diberikan untuk
mempertahankan tingkat antibodi yang cukup untuk mencegah infeksi dan
menganugerahkan kekebalan pasif. Pengobatan diberikan setiap 3-4 minggu. Dalam
kasus pasien dengan penyakit autoimun, IVIG diberikan dengan dosis tinggi
(biasanya 1-2 gram IVIG per kg berat badan) untuk mencoba mengurangi keparahan
penyakit autoimun seperti dermatomiositis. IVIG berguna dalam beberapa kasus
infeksi akut seperti infeksi HIV pediatrik dan sindrom Guillain-Barre.
Mekanisme yang tepat di mana IVIG menekan peradangan berbahaya belum
definitif dibentuk namun diyakini melibatkan reseptor Fc penghambatan. IVIG dapat
bekerja melalui model multi-langkah dimana bentuk disuntikkan pertama IVIG jenis
kompleks kekebalan pada pasien. Setelah imun kompleks ini terbentuk, mereka
berinteraksi dengan mengaktifkan reseptor Fc pada sel dendritik yang kemudian
menengahi anti -inflamasi efek membantu untuk mengurangi keparahan penyakit
autoimun atau negara inflamasi. IVIG juga blok reseptor antibodi pada sel-sel
kekebalan tubuh (makrofag), yang menyebabkan kerusakan menurun oleh sel-sel,
atau peraturan dari fagositosis makrofag. IVIG juga dapat mengatur respon imun
dengan mereaksikan dengan sejumlah reseptor membran pada sel-sel T, sel B, dan
monosit yang berkaitan dengan autoreactivity dan induksi toleransi diri.
III. KESIMPULAN
Defisiensi sistem imun merupakan penyebab utama menurunnya pertahanan
tubuh terhadap antigen. Defisiensi sistem imun dapat disebabkan karena infeksi
virus, hipersensitivitas, mutasi genetik pada sistem imun, faktor psikologis dan usia.
Gangguan pada sistem imun meliputi gangguan limfosit B dan T, gangguan
makrofag (inflamasi), gangguan sistem komplemen, maupun gangguan imunitas
sistemik. Dan salah satu penyakit yang umum diderita terkait dengan infeksi
gastrointestinal adalah HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH,Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediated immune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB Saunders, 1991; 353-76.
Bratawidjaja, K.G., 2004. Imunologi Dasar.edisi ke-6. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Judarwanto.2010. Penyakit Defisiensi Imun. http://childrenallergyclinic. wordpress.com/2009/05/19/penyakit-defisiensi-imun/ [diakses tanggal 23 Mei 2011]
Mayariance.2010.Defisienis Imunitas. http://mayariance.wordpress.com/2010 /05/04/defisiensi-imunitas/ [diakses 19 Mei 2011]
Tom.2009.Kendala Pengembangan Vaksin HIV http://www.zonabawah.co.cc /2011/05/kendala-pengembangan-vaksin-hiv-human.html [diakses 17 Mei 2011]
Sanders, W.B.1992.Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia.