54183382 Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

download 54183382 Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

of 16

Transcript of 54183382 Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

KAJIAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DI SEKITAR KITA DENGAN MENGAPLIKASIKAN TEORI LAKOFF,YUEGUO GU, PRANOWO, DAN GRICE

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia yang dibina oleh Muh. Fatoni Rohman, S.Pd Oleh Khori Widayanti NIM 0710963019

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG FAKULTAS MIPA JURUSAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI ILMU KOMPUTER September 2010

Daftar Isi

HALAMAN SAMPUL DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Topik Bahasan 1.3 Tujuan BAB II ISI DAN PEMBAHASAN 2.1 Definisi Kesantunan 2.2 Kesantunan Berbahasa 2.3 Teori-teori Kesantunan Berbahasa 2.4 Penggunaan Bahasa Indonesia Disekitar Kita dengan Mengaplikasikan Teori Kesantunan BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran DAFTAR PUSTAKA 15 15 16 9 4 5 6 3 3 3 2

2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya, bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Seandainya ada bahasa yang sudah mampu mengungkapkan sebagian besar pikiran dan perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan karena bahasa itu lebih baik tetapi karena pemilik dan pemakai bahasa sudah mampu menggali potensi bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang lebih baik bukan bahasanya tetapi kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya sama, yaitu sebagai alat komunikasi. Pendapat Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa menentukan perilaku budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak mampu menutup -nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak baik dan tidak santun. Dalam kesantunan berbahasa ada beberapa teori yang mendasarinya yaitu teori Lakoff, teori Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice.

1.2 Topik Bahasan Adapun topik bahasan dalam makalah ini adalah mengkaji penggunaaan Bahasa Indonesia yang ada di sekitar kita dengan mengaplikasikan 4 teori kesantunan yaitu; teori Lakoff, teori Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice.

1.3 Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah agar kita mengetahui kesantunan dalam berbahasa dengan cara mengkaji penggunaan Bahasa Indonesia yang ada disekitar kita dengan menerapkan teori dari beberapa pakar.

3

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kesantunan Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masingmasing peserta tutur senantiasa tidak saling

mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka. Kesantunan (politeness), kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut tatakrama. Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari- hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari- hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya. Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut

4

berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah. Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak) dan cara bertutur (berbahasa).

2.2 Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut : (1) Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu. (2) Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu. (3) Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan. (4) Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara. (5) Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara. (6) Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan. Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun5

mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Beberapa teori yang mendasari kesantunan berbahasa yaitu teori Lakoff, teori Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice.

2.3 Teori-teori Kesantunan Berbahasa A. Teori Lakoff Lakoff (1972), dalam prinsip kesantunannya, menawarkan tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan menjadi santun. Ketiga kaidah itu adalah 1. Formalitas Kaidah formalitas, dimaknai "jangan memaksa" atau "jangan angkuh". Akibat logis dari kaidah itu adalah bahwa tuturan yang memaksa dan angkuh merupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan yang memaksa dan angkuh seperti "Bodoh, percuma kau belajar," dapat melahirkan reaksi frontal pada kejiwaan anak, yang eksesnya melahirkan bentuk perilaku yang menjengkelkan Perilaku . semacam itu, sering menjadi sebab terjadinya KdRT. 2. Ketidaktegasan Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian rupa sehingga mitra tuturnya dapat menentukan pilihan. Tuturan "Jika masih bersemangat dan ingin nilaimu baik, rajin-rajinlah belajar," sebenarnya merupakan tekanan dari si penutur (dalam konteks itu orang tua) terhadap mitra tutur (anak). Namun, tekanan itu disampaikan dengan santun karena memberikan pilihan kepada anak, sehingga tidak tersinggung dan bersikap menjengkelkan. 3. Persamaan/kesekawanan. Kaidah persamaan/kesekawanan, menyarankan kepada penutur untuk bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain membuat mitra tutur merasa senang. Ujaran "Nilai rapormu lumayan baik, sebaik semangat belajarmu," selain sebenarnya mengkritik juga mengajarkan

kesantunan kepada anak. Kesantunan dalam berbahasa menurut Lakoff meliputi : 1. Cara mengungkapkan jarak sosial dan hubungan peran yang berbeda dalam komunikasi.6

2. Penggunaan muka (face) dalam komunikasi, yaitu strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif.

B. Teori Yueguo Gu Berdasarkan kesantunan orang Cina, yaitu mengaitkan kesantunan dengan norma-norma kemasyarakatan yang bermoral. Bersifat preskriptif dalam konsep Cina limao (politeness) dan terikat pada ancaman sangsi moral dari masyarakat. 1. Nosi muka (face) di dalam konteks cina tidak dianggap sebagai keinginan (want) psikologis, tetapi sebagai norma-norma kemasyarakatan. 2. Kesantunan tidak bersifat instrumental tetapi bersifat normatif. 3. Muka tidak terancam jika keinginan individu tidak terpenuhi, namun terancam jika individu gagal memenuhi standar yang ditentukan masyarakat. Perilaku individu harus disesuaikan dengan harapan masyarakat mengenai sikap hormat (respectfulness), sikap rendah hati (modesty), sikap hangat dan tulus (warmth and refinment). Ada empat maksim dalam teori Gu: a. Maksim denigrasi diri yaitu menuntut penutur untuk merendahkan diri dan meninggikan orang lain. b. Maksim sapaan yaitu sapalah lawan bicara anda dengan bentuk sapaan yang sesuai. c. Maksim budi pertimbangan keuntungan nyata pada diri mitra tutur. d. Maksim kedermawana yaitu tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangan keuntungan antara penutur dan mitra tutur.

C. Teori Pranowo Menurut Pranowo (2008), fakta pemakaian Bahasa Indonesia yang santun dapat diidentifikasi dari : 1. Pembicaraan wajar dengan akal sehat, yaitu bertutur secara santun tidak perlu dibuat-buat tetapi sejauh penutur berbicara, secara wajar dengan akal sehat, tuturan akan terasa santun. 2. Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, sehingga kalimat tidak perlu berputar-putar agak pokok masalah tidak kabur. 3. Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur. 4. Penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum.

7

5. Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas sambil menyindir. 6. Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius. Selain itu, ada pula fakta bahwa pemakaian BI yang santun ditandai dengan pemakaian bahasa verbal, seperti :y perkataan tolong pada waktu menyuruh orang lain, y ucapan terima kasih setelah orang lain melakukan tindakan seperti yang

diinginkan oleh penutur,y penyebutan kata bapak, Ibu dari pada kata Anda, y penyebutan kata beliau dari pada kita dia untuk orang yang lebih

dihormati,y pergunakan kata minta maaf untuk ucapan yang dimungkinkan dapat

merugikan mitra tutur. Di samping bentuk-bentuk verbal seperti di atas, perilaku santun juga dapat didukung dengan bahasa non-verbal, seperti : memperlihatkan wajah ceria, selalu tampil dengan tersenyum ketika berbicara, sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur, posisi tangan yang selalu merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang).

Pemakaian bahasa non-verbal seperti itu akan dapat menimbulkan aura santun bagi mitra tutur.

D. Teori Grice Grice (1978) mengidentifikasi bahwa komunikasi secara santun harus memperhatikan prinsip kerja sama. Ketika berkomunikasi, seorang penutur harus memperhatikan : 1. Prinsip kualitas. Artinya, jika seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain, informasi yang disampaikan harus didukung dengan data. 2. Prinsip kuantitas, artinya kerika berkomunikasi dengan orang lain, yang dikomunikasikan harus sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang.

8

3. Prinsip relevansi (hubungan), artinya ketika berkomunikasi yang dibicarakan harus relevan atau berkaitan dengan yang dsedang dibicarakan dengan mitra tutur. 4. Prinsip cara, artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain di samping harus ada masalah yang dibicarakan juga harus memperhatikan cara menyampaikan. Kadang-kadang ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya pokok masalah yang dibicarakan sangat bagus dan menarik, namun jika cara menyampaikan justru menyinggung perasaan, terkesan menggurui, kata-kata yang digunakan terasa kasar, atau cenderung melecehkan, tujuan komunikasi dapat tidak tercapai.

2.4 Penggunaan Bahasa Indonesia Disekitar Kita dengan Mengaplikasikan Teori Kesantunan 2.4.1 Teori Lakoff Aplikasi atau penerapan dari teori Lakoff dalam berbahasa sehari-hari antara lain : a. Kaidah Formalitas atau jangan memaksa - Tolong ambilkan buku saya dimeja ya lebih santun dari pada Ambilkan buku saya dimeja - Permisi, bias saya liat SIM dan STNKnya lebih santun dari pada Lihat SIM dan STNKnya b. Kaidah Ketidaktegasan - Silahkan kerjakan ini sekarang atau besok lebih santun dari pada Kerjakan ini sekarang juga! - Berikan surat ini ke pak RT besok atau lusa lebih santun dari pada Kasihkan surat ini ke pak RT besok! c. Kaidah Persamaan/ Kesekawanan - Selamat pagi buk, habis dari pasar ya, banyak sekali bawaannya lebih santun dari pada belanja apa mborong buk, banyak sekali bawaannya - Silahkan masuk, anggap saja rumah sendiri lebih santun dari pada Masuk aja!

2.4.2 Teori Pranowo a. Penutur berbicara wajar dengan akal sehat - Saya minta sekali lagi, jangan ada dusta di antara kita. Pemerintah kurang bagus, saya akan bikin bagus. All-out, segala tenaga. Harapan saya, tema

9

dunia usaha juga begitu, melakukan langkah yang sama (SBY, Jawa Pos, 1/4/2008:1) - Selama masih ada korupsi, selama itu pula kesejahteraan belum tercapai (Kholiq Arif, Suara Merdeka, 02/05/08). Data di atas menandakan bahwa penutur berbicara secara wajar, tidak perlu berbunga-bunga, tidak dilebih-lebihkan tetapi dapat diterima oleh akal sehat. b. Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan Tak ada masalah, silakan saja. Kita tidak asal menangkap, tapi sudah didasarkan pada bukti awal yang cukup kalau tersangka membantah, itu haknya (Johan Budi, Juru Bicara KPK, KR, hal 28, 02/05/08). Kalau masalah korupsi, asal atasannya tegas, tentu yang bawahan tidak ikut ikutan (Bambang Sadono, Suara Merdeka, 02/05/08). Data di atas mencermikan bahwa setiap bertutur ada masalah pokok yang dikemukakan. c. Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur Saya merasa sedih, kecewa atas peristiwa itu karena nila setitik rusak susu sebelanga (Hendarwan, Jaksa Agung; Kedaulatan Rakyat, 4 Maret 2008). Voting juga merupakan bentuk demokrasi. Jadi kalau tidak ada kata mufakat dalam musyawarah, maka voting bisa juga (Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI; Kedaulatan Rakyat, 3 Maret 2008). Komunikasi akan santun jika antara penutur dengan mitra tutur dalam berbicara selalu berprasangka baik satu sama lain. d. Penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum Kalau saya baca, delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya kok seperti menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah salah semua. Seperti zaman kegelapan (SBY, Presiden RI; Jawa Pos, 1/4/2008:1 Data di atas menunjukkan bahwa penutur menyampaikan kritik secara terbuk a dan mau menerima kritik secara terbuka pula. Namun penutur juga berusaha mendudukkan permasalahan kritik secaraproporsional dengan mengatakan analisisnya kok sepertimenyatakan bahwa yang dilakukan oleh pemerintah salah semua. Meskipun berisi kritik secara terbuka dan relatif keras, masih dapat dikatakan berkadar santun karena tidak ada person yang ditohok secara langsung (kiritik umum). Dengan demikian, komunikasi yangsantun tidak harus menghindari penyampaian kritik. Sejauh kritik itu disampaikan secara terbuka,10

dan bersifat umum, kritik tidak ditujukan kepada seseorang secara langsung, tuturan tetap dapat dirasakan sebagai tuturan yang santun. e. Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas sambil menyindir Saya sangat berterima kasih kepada negeri ini. Tidak ada lagi ambisi saya secara ekonomi dan politik. Sebagi non-pri, jabatan politik saya saat itu sudah yang tertinggi sebagai anggota DPR. Nggak mungkin naik lagi. Demikian pula dengan ambisi ekonomi, sudah cukuplah yang saya punya ini (Sofjan Wanadi, Ketua Umum Apindo (2008-2013); Jawa Pos, 30/3/2008:14) Kalau saya baca, delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya kok seperti menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah salah semua. Seperti zaman kegelapan (SBY, Presiden RI; Jawa Pos, 1/4/2008:1) f. Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius Saya minta sekali lagi, jangan ada dusta di antara kita. Pemerintah kurang bagus, saya akan bikin bagus. All-out, segala tenaga. Harapan saya, tema dunia usaha juga begitu, melakukan langkah yang sama (SBY, Presiden RI; Jawa Pos, 1/4/2008:1). Ibu Mega sempat bertanya, apakah Bibit dan mbak Rustri bias menang. Beliau bilang, Awas Tjahjo,kalau sampai kalah, aku sembelih kamu, ungkap Puan ketika memberi sambutan menggantikan Megawati. (Puan Mahaarani, Suara Merdeka, 03/03/08). Data di atas menggambarkan bahwa penutur sebenarnya sedang berbicara serius tetapi disampaikan secara berkelakar/bercanda.

2.4.3 Teori Grice a. Maksim Kuantitas berbunyi Berikanlah jumlah informasi yang tepat. Pemberian jumlah informasi dalam berkomunikasi dengan orang lain hendaknya dapat memberi keterangan seinformatif mungkin, tetapi jangan pula

memberikan keterangan lebih daripada yang diinginkan. Ini berarti, informasi yang diberikan kepada orang lain dalam peristiwa tutur hendaknya secukupnya saja. Jangan lebih dan jangan kurang. Contoh: a) Guru : Apakah kamu sudah menyelesaikan PR Matematika?11

Siswa

: Sudah Pak

b) Guru Siswa

: Apakah jawaban kamu sama dengan jawaban Toni? : Sebenarnya sama, tetapi langkah-langkah yang Saya gunakan berbeda dengan Toni karena Saya menggunakan buku terbitan Ganesha. Ternyata buku tersebut sangat lengkap dalam membahas soal seperti yang Bapak terangkan tadi. Apa Bapak sudah punya buku itu?

Jika dibandingkan antara dialog (a) dan dialog (b) terlihat perbedaan. Dialog (a) antara guru dan siswa terdapat kerja sama yang baik. Siswa telah memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai dan mencukupi. Berbeda halnya dengan dialog (b), antara guru dan siswa tidak terlihat adanya kerja sama yang baik. Ini dikarenakan siswa memberikan kontribusi yang berlebihan yang tidak diperlukan guru.

b. Maksim Kualitas berbunyi Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar. Maksim ini menyarankan agar dalam peristiwa tutur, kita tidak mengatakan kepada orang lain sesuatu yang kita yakini salah. Artinya, sesuatu yang diyakini salah jangan dikatakan atau disarankan untuk dilakukan oleh orang lain. Jangan menyebarkan kesalahan. Selanjutnya, apabila tidak diketahui secara persis (kebenaran atau kesalahannya) juga jangan dikatakan atau disarankan untuk dilakukan atau dicontoh orang lain. Daripada memberikan informasi atau keterangan yang membingungkan, lebih baik diam. Contoh: (a) Adit : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?

Denny : Dia tidak di kelas XII IPS A, tapi di kelas XII C IPA. (b) Adit : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?

Denny : Ia di kelas XII C IPE. Cape dech! (c) Adit : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?

Denny : Di kelas XII IPA C. Dialog (a), Denny memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Hal ini akan menyebabkan Adit berpikir agak lama untuk mengetahui mengapa Denny memberikan kontribusi yang tidak diharapkannya dan dianggapnya salah. Dengan bukti-bukti yang memadai, akhirnya Adit mengetahui bahwa12

jawaban yang diberikan Denny adalah salah karena telah membandingkan dirinya dengan Lili. Pada dialog (b), jawaban Denny dianggap melanggar maksim kualitas dengan tujuan untuk mendapatkan efek lucu. Kelucuan itu terdapat pada kelas XII C IPE, cape dech. Pada dialog (c), jawaban Denny telah dianggap menyatakan atau memberikan kontribusi yang sebenarnya.

c. Maksim Hubungan berbunyi Usahakan perkataan Anda ada relevansinya. Melalui maksim hubungan ini kita dalam peristiwa tutur dituntut untuk selalu menyatakan sesuatu yang relevan. Dengan kata lain, dalam percakapan harus diketahui fokus persoalan yang sedang dibicarakan dan perubahan yang terjadi pada fokus tersebut. Pemahaman terhadap fokus persoalan akan membantu dalam menginterpretasi serta mereaksi tuturan-tuturan yang dilakukan lawan bicara. Contoh: (a) Udin : Di mana buku Biologiku? Dani : Di rak meja. (b) Udin : Di mana buku Biologiku? Dani : Tadi ada Yuni yang duduk di kursi kamu saat istirahat tadi. (c) Udin : Di mana buku Biologiku? Dani : Saya dipanggil Ibu Ranti! Pada dialog (a), informasi yang disampaikan Dani ada relevansinya dengan pertanyaan Udin. Sama halnya pada dialog (b), informasi yang disampaikan Dani menggunakan penalaran sebagai berikut: Walaupun Dani tidak mengetahui jawaban yang tepat atas pertanyaan Udin, namun jawaban itu dapat membantu Udin mendapatkan jawaban yang benar. Karena, jawaban Dani mengandung implikasi kemungkinan Yuni lah yang meminjam buku Biologi Udin yang terdapat di rak meja, paling tidak Udin tahu di mana buku Biologinya sekarang. Akan tetapi, dialog (c), jawaban Dani tidak dapat dianggap sebagai suatu jawaban yang menunjukkan adanya kerja sama yang baik karena tidak membantu Udin untuk mendapatkan buku Biologinya. Pernyataan Dani dapat dikatakan relevan bila jawaban tersebut diinterpretasikan sebagai suatu keterangan mengapa Dani tidak dapat menjawab pertanyaan Udin. d. Maksim Cara berbunyi Usahakan perkataan Anda mudah dimengerti. Pada maksim ini yang dipentingkan adalah cara mengungkapkan ide, gagasan,13

pendapat, dan saran kepada orang lain. Maksim cara, dalam meng ungkapkan sesuatu itu harus jelas. Untuk mencapai kejelasan ini maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu a) hindari pernyataan-pernyataan yang samar, b) hindari ketakasaan, c) usahakan agar ringkas, dan d) usahakan agar berbicara dengan teratur. Contoh: (a) Ucok Ujang Ucok (b) Ucok Ujang Ucok : Siapa teman Anda, orang Korea itu? : K-I-M E-O-K S-O-O : (bengong) : Itu dia, guru baru datang. : Dia guru baru? : Bukan!

(c) Orang tua murid : Atas perhatian, kebijaksanaan, dan kemurahan hati Bapak, saya ucapkan beribu terima kasih. Guru (d) Tini Tono : Sama-sama. : Bagaimana keadaan rumah yang baru Anda beli? : Alhamdulillah, cukup memuaskan bagi keluarga saya. Pagarnya dari besi bercat hitam. Halamannya berukuran kira kira 6 x 5 m, berisi taman yang terdiri dari bunga-bunga dan rerumputan. Bagian depan terdapat garasi mobil. Dalam bagunan itu terdapat ruang keluarga, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang tempat mencuci pakai, dan alat-alat dapur. Pada dialog (a), jawaban Ujang merupakan jawaban yang kabur karena dilakukan dengan mengeja nama seseorang melalui kata demi kata. Nama orang itu KIM EOK SOO ditulis dalam huruf Korea, tetapi pengucapannya dieja sehingga tidak jelas dimengerti oleh Ucok. Pada dialog (b) kalimat yang diucapkan Ucok menimbulkan ketakasaan atau mengandung makna lebih dari satu. Sementara itu, pada dialog (c) pernyataan yang disampaikan oleh orang tua murid terlalu berlebihan. Berbeda dengan dialog (d) Tono memberikan informasi yang jelas bagi Tini.

14

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Dalam berkomunikasi perlu adanya kesantunan, sehingga orang yang berkomunikasi dengan kita akan terasa nyaman dan senang. Berbicara santun tidak harus dengan menggunakan bahasa baku, karena belum tentu menurut orang kita berbicara dengan santun. Ada teori dari beberapa pakar yang menjelaskan tentang bagaimana berbicara dengan santun, yang antara lain di kemukaan Lakoff, Yueguo Gu, Pranowo dan Grice. Teori yang mereka kemukakan tidak menyebutkan bahwa berbicara yang santun harus dengan bahasa baku, tetapi mereka menjelaskan kesantunan dalam berbicara ini dengan aspek-aspek yang sesuai dengan kahidupan sehari-sehari sehingga mudah untuk kita terapkan.

3.2 Saran Dalam penulisan makalah ini, banyak sekali kekurangan, oleh karena itu untuk pengkajian lebih ulang diharapkan dapat terlengkapi kekurangan-kekurangan tersebut. Untuk perpustakan Brawijaya sebaiknya menambah koleksi buku yang membahas tentang teori-teori kesantunan.

15

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, A. S. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional. Jasmine. 2010, Prinsip Kerja Sama dan Kesantunan, (online), (http://jasminealmaghribi.blogspot.com/2010/02/prinsip-kerja-sama-nkesantunan.html, diakses 27 Oktober 2010). Pranowo, dkk. 2004. Kesantunan Berbahasa para Politisi di Media Massa. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma. Wahab, Abdul. 1995. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya : Airlangga University Press.

16