54 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dasar ... · dengan cara air aroma exsen yang tidak...
Transcript of 54 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dasar ... · dengan cara air aroma exsen yang tidak...
54
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Hukum oleh Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi
Pidana, Sehingga Terjadi Disparitas Putusan Dalam Kasus Penjualan
“Minuman Keras Oplosan” Yang Mengakibatkan Matinya Orang
1. Kasus Posisi
Kasus posisi adalah uraian singkat mengenai kronologi atau peristiwa
suatu tindak pidana. Dalam penelitian ini penulis mengambil tiga putusan
yang akan dianalisis. Dari ketiga putusan tersebut nanti akan diuraikan
mengenai kasus posisi, dakwaan, tuntutan dan putusan.
Ketiga putusan tersebut masing-masing memiliki dakwaan yang
hampir sama antara dakwaan yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal
tuntutan, penuntut umum mengambil satu tuntutan dari dakwaan alternatif
tersebut. Terdapat perbedaan antara putusan yang satu dengan lainnya.
Kebebasan Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu kasus
merupakan mahkota bagi Hakim. Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus
mempertimbangkan banyak hal, baik berkaitan dengan kasus yang sedang
diperiksa, tingkat perbuatan dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak
korban dan keluarganya, serta rasa keadilan masyarakat. Sehingga tidak
terjadi perbedaan penjatuhan putusan (disparitas).
Berikut adalah bagan mengenai kasus posisi, dakwaan, tuntutan dan
putusan secara singkat:
55
56
57
58
59
60
61
62
2. Pertimbangan Hukum
a. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor: 77/Pid. B/2012/PN.
Pwi
Berdasarkan keterangan terdakwa, keterangan saksi-saksi,
keterangan ahli dan alat bukti berupa visum et repertum serta barang bukti
yang lain, maka terdapat fakta hukum sebagai berikut:
Menimbang, dakwaan yang disusun secara alternatif maka Majelis
bebas memilih dakwaan mana yang terbukti dan sesuai dengan fakta
persidangan.
Menimbang, Majelis membuktikan dakwaan pertama primair yakni
melanggar Pasal 204 ayat (2) KUHP, yang mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut:
1) Barang Siapa
Bahwa yang dimaksud “setiap orang” adalah sebagai
pendukung hak dan kewajiban yang identitasnya jelas, diajukan ke
persidangan yang karena telah didakwa melakukan tindak pidana dan
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Memang benar terdakwa
adalah Sudiyono bin Marwan, dibuktikan dengan fakta-fakta di
persidangan, tidak ada kekeliruan orang (error in persona). Unsur
“setiap orang” telah terpenuhi menurut hukum.
2) Menjual, Menawarkan, Menerima/Membagi-bagikan Barang
Bahwa berdasarkan pemeriksaan di persidangan terungkap
fakta bahwa terdakwa menjual minuman yang disebutnya jenis
63
gingseng di warung depan rumah terdakwa di Dsn.Kauman Rt.03
Rw.04 Desa Klambu, Kec.Klambu, Kabupaten Grobogan. Minuman
yang terdakwa jual tersebt terdakwa peroleh dengan cara membeli dari
Sutiyono dan Mulyono, sekitar sebulan sekali kadang-kadang lebih
dari satu bulan sekali dan setiap membeli minuman sebanyak 2 (dua)
jerigen yang terdiri dari minuman berwarna kuning merah dan
berwarna hijau yang setiap jerigennya berisi 30 liter, dengan harga Rp.
600.000,- (enam ratus ribu rupiah).
Bahwa terdakwa menjual minuman yang disebutnya jenis
gingseng tersebut dengan cara eceran, ada pembeli yang minum di
warung terdakwa dan ada juga yang beli kemudian dibawa pergi dan
diminum ditempat lain. Bahwa Terdakwa menjual minuman
beralkohol tersebut setiap setengah liter minuman berwarna hijau
dengan harga Rp.15.000,-(lima belas ribu rupiah), dan minuman yang
warna kuning setiap setengah liter dengan harga Rp. 20.000,- (dua
puluh ribu rupiah). Terdakwa telah menjual minuman tersebut selama
sekitar 2 tahun. Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi menurut
hukum
3) Diketahuinya Bahwa Barang itu Berbahaya Bagi Jiwa atau
Kesehatan Orang dan Sifat Yang Berbahaya itu
Didiamkannya, Ada Orang Mati Lantaran Perbuatan Itu
Terdakwa telah menjual minuman beralkohol jenis Gingseng
yang berwarna kuning dan hijau, di warung depan rumah terdakwa di
64
Dsn.Kauman Rt.03 Rw.04 Desa Klambu, Kec.klambu, Kabupaten
Grobogan. Terdakwa tidak mengetahui tentang bahan-bahan atau cara
pembuatan minuman beralkohol jenis Gingseng yang terdakwa jual
tersebut karena terdakwa tidak membuatnya sendiri melainkan
terdakwa membeli dari orang lain yaitu dari Sdr.Sutiyono bin Sabarno
dan sdr. Mulyono, yang beralamat di Dsn.Sukorejo Rt.04,Rw.05 Desa
Krangganharjo, Kec.Toroh, Kab.Grobogan.
Minuman beralkohol jenis gingseng yang dijual oleh terdakwa
tersebut selanjutnya dibeli oleh masyarakat diantaranya yaitu
Supriyono bin Suwarno, Jumadi bin Karmuji, Busono bin Sadig, Muh
Romin bin Sutrisno, Ari Prabowo dan Muh Subuh bin Rasimin dan
orang-orang yang telah membeli minuman di tempat terdakwa
tersebut kemudian sakit dan dibawa ke RSUD dr. Raden Soedjati
Soemodiardjo Purwodadi, beberapa orang kemudian sampai
meninggal dunia.
Berdasarkan hasil laboratorium disebutkan bahwa sampel
cairan orange yang telah dijual oleh terdakwa tersebut mengandung
ethanol 15,31% dan Methanol 4,39%.
Ahli yang bernama Bambang Siswanto, SKM Bin Sahli,
memberikan keterangan bahwa tubuh manusia tidak dapat menerima
methanol yang mempunyai sifat meracuni, untuk tubuh manusia yang
kemasukan Methanol dengan kadar 0,4% orang tersebut bisa koma,
untuk tubuh manusia yang kemasukan Methanol dengan kadar 4,39%
65
dapat menimbulkan kematian. Methanol yang masuk tubuh manusia
mulai 0,1 sampai 4% dapat merusak jaringan tubuh, sehingga dapat
menimbulkan muntah, mual, pusing, pandangan kabur, meracuni
darah sehingga dapat menimbulkan kematian.
Bahwa selanjutnya orang-orang yang minum dari minuman
yang telah dijual oleh terdakwa tersebut mengalami kesakitan dan
selanjutnya dibawa ke RSUD dr. Raden Soedjati Soemodiardjo
Purwodadi sebanyak 27 orang. Bahkan kemudian sebanyak 4 orang
meninggal dunia. Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi menurut
hukum.44
b. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor: 300/Pid.
B/2014/PN. Gpr
1) Pelaku Usaha Yang Memproduksi dan/atau
Memperdagangkan Barang dan/atau Jasa
Bahwa unsur ini terdiri dari 2 (dua) elemen yang bersifat
alternatif, dan dengan terpenuhinya salah satu elemen maka unsur ini
terpenuhi menurut hukum.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan
menjadi fakta hukum, bahwa kegiatan yang dilakukan oleh terdakwa
yaitu melakukan pembuatan minuman keras (miras) dengan cara air
aroma exsen yang tidak dimasak diberi 1 liter alkohol dan diberi gula
sedikit bisa menghasilkan 12 botol minuman keras (miras) yang setiap
44 Pertimbangan Hukum Putusan Nomor: 77/Pid. B/2012/PN. Pwi.
66
botolnya berisi 600 mili liter dan minuman tersebut kemudian dijual
ke orang lain atau khalayak umum untuk mendapatkan keuntungan,
yang mana kegiatan ini merupakan kegiatan di bidang ekonomi,
sehingga terdakwa dalam kegiatannya membuat minuman keras
tersebut dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan keuntungan
termasuk ke dalam pengertian Pelaku Usaha yang memproduksi dan
memperdagangkan minuman keras (miras) oplosan.
Fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan menjadi fakta
hukum, bahwa terdakwa mendapatkan keuntungan sebesar
Rp.10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) setiap botolnya.
Bahwa unsur pelaku usaha dalam pertimbangan diatas,
mengarah kepada subjek hukum yaitu orang sebagai manusia
(naturlijke person) sebagai pemangku hak dan kewajiban yang dapat
diminta pertanggungjawaban.
Dari pertimbangan di atas, yang dimaksud sebagai “pelaku
usaha” dalam kasus ini adalah Terdakwa Triono Basuki bin Bonidi
yang di persidangan telah membenarkan semua identitasnya
sebagaimana termuat dalam surat dakwaan Penuntut Umum dan juga
berkas kasus lainnya, dengan demikian tidak terjadi terjadinya error in
persona.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan
menjadi fakta hukum, bahwa hasil dari kegiatan terdakwa tersebut
berupa minuman keras (miras) yang telah dikemas dengan botol
67
volume 600 mili liter merupakan benda berwujud yang dapat
dihabiskan dengan cara diminum sehingga minuman keras (miras)
tersebut termasuk kedalam pengertian “Barang” sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka
Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa termasuk dalam
kategori pelaku usaha yang telah memproduksi dan
memperdagangkan barang berupa minuman keras (miras) dalam botol,
dengan demikian unsur ini telah terpenuhi menurut hukum.
2) Yang Tidak Memenuhi Atau Tidak Sesuai Dengan Standar
Yang Dipersyaratkan Dan Ketentuan Peraturan perundang-
undangan
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 huruf b Undang-Undang no 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, mewajibkan setiap
pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Disamping itu pula bahwa dalam pasal 7 huruf d Undang-
Undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen juga
mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin mutu barang dan/atau jasa
yang diproduksi dan/atau diperdagangkannya berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa. Sehingga apabila pelaku usaha
baik secara lalai maupun sengaja tidak melaksanakan ketentuan
68
tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang
dan melanggar hukum.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan
menjadi fakta hukum, bahwa terdakwa melakukan kegiatan
memproduksi minuman keras, kemudian minuman keras (miras)
dengan cara air aroma exsen yang tidak dimasak diberi 1 liter alkohol
dan diberi gula sedikit bisa menghasilkan 12 botol miras yang setiap
botolnya berisi 600 mili liter tersebut dikemas dengan botol air
mineral 600 mili liter, tanpa disertai dengan keterangan seperti merk,
takaran, kandungan, khasiat, dan sebagainya, dan berdasarkan alat
bukti surat berupa hasil penelitian Laboratorium Forensik Polri yang
menyimpulkan kandungan miras tersebut adalah etanol dengan kadar
50,33% - 95,61% dan kandungan methanol dengan kadar 0,001 %
adalah sangat berbahaya karena mengandung kadar ethanol melebihi
dari 50,33%. Kandungan Methanol sangat berbahaya karena dapat
mengakibatkan terganggunya fungsi hati, rusaknya lambung,
kerusakan jaringan tubuh, mengganggu fungsi otak, jantung, ginjal
dan sebagainya.
Terdakwa tidak mencantumkan dalam botol atau hasil
produksinya keterangan apapun, seperti bahan-bahan yang
dipergunakan dalam proses pembuatan minuman atau label dalam
botol kemasan, takaran, kandungan, khasiat, dan sebagainya, dengan
demikian botol kemasan hasil produksi Terdakwa tidak dapat
69
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa sebagaimana diamanatkan dalam
pasal 7 huruf b sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
tentu minuman keras tersebut dipastikan tidak terjamin mutunya.
Ditambah pula dengan tidak adanya ijin yang dimiliki oleh terdakwa
untuk menjual minuman keras (miras) dalam bentuk apapun atau tidak
memiliki ijin edar baik sebagai perusahaan industri rumah tangga
yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan maupun ijin edar dalam skala
pabrikan yang diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), maka majelis berkesimpulan bahwa minuman keras (miras)
hasil dari usaha Terdakwa adalah tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-
undangan, sehingga unsur ini pun telah terpenuhi menurut hukum.45
c. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor: 150/Pid.
B/2014/PN. Kdi
1) Setiap Orang
Bahwa menunjuk pada subyek hukum dalam kasus ini, telah
dihadapkan ke persidangan seseorang yang bernama Winanto bin
Solikin, yang telah dibenarkan identitasnya oleh yang bersangkutan
dan selama proses pemeriksaan di persidangan dianya menunjukkan
sikap dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
45 Pertimbangan Hukum Putusan Nomor: 300/Pid. B/2014/PN. Kdi.
70
Sebagaimana dimaksud oleh Penuntut Umum dalam surat
dakwaannya sehingga majelis berpendirian bahwa maksud “Setiap
Orang” telah terpenuhi secara sah menurut hukum, namun soal
terbukti atau tidaknya kesalahan Terdakwa, Majelis masih akan
dipertimbangkan unsure-unsur berikutnya.
2) Yang Melakukan Kegiatan atau Proses Produksi Pangan
Dengan Menggunakan Bahan Baku, Bahan Tambahan
Pangan, dan/atau Bahan lain yang Dihasilkan dari Rekayasa
Genetika Pangan yang Belum Mendapatkan Persetujuan
Keamanan Pangan Sebelum Diedarkan Sebagaimana
Dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang RI No. 18
Tahun 2012
Berdasarkan keterangan saksi Riwayat bin Siman di
persidangan bahwa saksi mengetahui kalau Terdakwa sebagai
pembuat minuman keras (arak) dan saksi pernah membeli 9
(sembilan) kali yang per dosnya berisi 12 botol aqua ukuran 1,5 liter
seharga Rp. 270.000,- (dua ratus tujuh puluh ribu rupiah) dan
selanjutnya saksi jual kepada siapapun termasuk sdr. Sulkan bin
Siman dan dimana dan cara Terdakwa membuat minuman keras (arak)
tersebut, saksi tidak mengetahuinya karena tidak pernah kerumahnya
sedangkan menurut keterangan saksi Sulkan bin Sujud dipersidangan
bahwa saksi pekerjaannya berjualan dan membuka warung kopi juga
menyediakan minuman keras (arak) dan selama ini saksi mengambil
71
(kulakan) minuman keras (arak) di tempat Riwayat bin Siman dan
dijual kembali kepada konsumen/siapapun termasuk sdr. Heri als.
Dongkel dan sdr. Sunarko als. Kebo dan saksi tidak tahu siapa yang
membuat minuman keras (arak) tersebut.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris
Kriminalistik No. Lab. : 0335/KKF/2014 tanggal 20 Januari 2014
yang dikeluarkan Laboratorium Forensik Cabang Surabaya atas 4
(empat) botol plastik aqua terdiri dari 3 (tiga) botol plastik aqua
ukuran 1500 ml berisi cairan jernih + 1.500 ml yang semuanya positif
mengandung alkohol jenis etanol dan metanol dengan masing-masing
kadar yang berbeda tiap botolnya dan 1 (satu) botol plastik aqua
ukuran 600 ml berisi serbuk putih + 45,51 gram adalah serbuk dengan
bahan aktif Glutaraldehyde Sodium Bisulfit atau bahan pengawet, hal
ini sesuai dengan keterangan Terdakwa Winanto bahwa sejak bulan
September 2013, Terdakwa telah melakukan kegiatan produksi
minuman keras jenis arjo yang dilakukan di rumah kontrakkannya di
Desa Margourip, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri yang
produksi minuman arjo tersebut dipasarkan oleh Terdakwa di wilayah
Kecamatan Purwoasri, Kecamatan Ngancar dan sebagian diluar
wilayah Kabupaten Kediri yaitu wilayah Malang, Kabupaten Blitar
dan Kota Blitar.
Pembuatan arak jowo atau cukrik dengan bahan alkohol yang
dituangkan ke dalam drum untuk selanjutnya dicampur dengan air
72
mentah dengan perbandingan 1 liter alkohol untuk 5 (lima) liter air
selanjutnya diberi pemanis buatan (cap tiga T), setelah selesai
selanjutnya arak jowo buatannya tersebut hanya diperkirakan oleh
Terdakwa mengandung 18 % alkohol tanpa menggunakan alat
pengukur kadar alkohol kemudian dengan menggunakan selang
dimasukkan ke dalam botol aqua bekas kemasan 1,5 liter yang
selanjutnya untuk dijual kepada pengecer yang salah satunya adalah
sdr. Riwayat, hal ini juga sesuai dengan barang-barang bukti yang
disita dan ditunjukkan dalam persidangan adalah 60 (enam puluh)
botol arjo kemasan 1,5 L; 9 (sembilan) botol ciu kemasan 1,5 L; 36
(tiga puluh enam) botol berisi alkohol kemasan 1,5 L; 30 (tiga puluh)
jirigen ciu; 2 (dua) kantung tutup botol air mineral; 1 (satu) kantong
pemanis buatan; 2 (dua) buah selang; 2 (dua) drum volume 200 L; 64
(enam puluh empat) botol plastic kosong kemasan 1,5 L; Uang Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah).
Bahwa yang dimaksud Etanol adalah sejenis cairan yang
mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna dan merupakan
alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari
yang digunakan terutama untuk industri farmasi dan kosmetik serta
untuk minuman beralkohol sedangkan Metanol berbentuk cairan yang
ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun
dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol. Metanol
digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar
73
dan sebagai bahan additif bagi etanol industry dan karena sifatnya
yang beracun, hal ini sesuai pula menurut Ahli dr. Azis Samsurizal
yang menerangkan bahwa etanol dapat memabukkan dan kandungan
etanol yang diijinkan untuk dikonsumsi maksimal 55 % dan apabila
dikonsumsi dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan
organ seperti hati sedangkan methanol tidak boleh sama sekali
dikonsumsi karena sifatnya yang dapat meracuni tubuh apabila
mengkonsumsi methanol dapat menyebabkan keracunan, mual,
muntah, kejang-kejang, kerusakan mata, syok hingga kematian. Unsur
tersebut telah terpenuhi secara sah menurut hukum.46
3. Analisis
Dalam analisis ini penulis membandingkan ketiga putusan tersebut
mengenai pertimbangan hukumnya. Mengapa Majelis Hakim menjatuhkan
putusan yang berbeda-beda dengan dasar hukum yang berbeda-beda.
Sedangkan delik dalam tindak pidana ini sama yaitu penjual yang menjual
minuman keras oplosan, patut diketahuinya bahwa barang tersebut berbahaya
bagi orang lain tetapi didiamkan oleh terdakwa, sehingga ada orang yang mati
karena hal tersebut.
Analisis ini menggunakan dua tinjauan yaitu pertimbangan hukum
secara yuridis dan non yuridis. Adapun analisis penulis adalah sebagai
berikut:
46 Pertimbangan Hukum Putusan Nomor: 150/Pid. B/2014/PN. Gpr.
74
a. Analisis Putusan Nomor: 77/Pid. B/2012/PN. Pwi
Dakwaan yang dipakai merupakan dakwaan subsidair, apabila
dakwaan yang pertama/primair tidak terpenuhi, maka Majelis Hakim akan
mempertimbangkan pasal yang lainnya. Pasal yang didakwakan kepada
Sudiyono Bin Marwan (terdakwa) adalah sebagai berikut: pertama
(primair) Pasal 204 ayat (2) KUHP yang berbunyi “barang siapa yang
menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang, yang
diketahuinya bahwa barang tersebut berbahaya bagi jiwa atau kesehatan
orang dan sifat yang berbahaya itu didiamkannya. Jika perbuatan tersebut
mengakibatkan matinya orang”.
Dakwaan subsidair Pasal 204 ayat (1) KUHP yang berbunyi
“barang siapa yang menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-
bagikan barang, yang diketahuinya barang tersebut berbahaya bagi jiwa
dan kesehatan orang dan sifat berbahaya itu didiamkannya”.
Dakwaan kedua Pasal 55 huruf d KUHP jo Pasal 57 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yang berbunyi “barang siapa
dengan sengaja mengedarkan pengan yang dilarang untuk diedarkan
karena mengandung bahan beracun, berbahaya dapat merugikan atau
membahayakan kesehatan atau jiwa manusia telah menimbulkan kerugian
terhadap kesehatan manusia dan menimbulkan kematian”.
Dakwaan subsidair dibuat oleh penuntut umum bilamana
berpendapat bahwa hanya melakukan satu tindak pidana akan tetapi ia
ragu-ragu dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam
75
dakwaan ini dirumuskan beberapa perumusan tindak pidana yang disusun
sedemikian rupa dari yang paling berat sampai paling ringan. Hal ini
dimaksudkan agar terdakwa tidak lepas dari pemidanaan. Konsekuensi
pembuktiannya adalah pertama harus diperiksa terlebih dahulu dakwaan
primair dan apabila tidak terbukti baru beralih ke dakwaan subsidair, dan
demikian seterusnya. Tetapi sebaliknya apabila dakwaan primair telah
terbukti, maka dakwaan subsidairnya tidak perlu dibuktikan lagi.47
Ditinjau dari teori dan praktek bentuk dakwaan subsidair diajukan,
apabila peristiwa tindak pidana yang terjadi:
a) Menimbulkan suatu akibat;
b) Akibat yang ditimbulkan itu meliputi atau bertitik singgung dengan
beberapa ketentuan pasal pidana yang hampir saling berdekatan cara
melakukan tindak pidana tersebut.48
Peranan surat dakwaan salah satunya sebagai dasar tuntutan pidana
(requisitoir). Tuntutan pidana adalah kewenangan penuntut umum untuk
mengajukannya setelah pemeriksaan di persidangan dinyatakan selesai
oleh Majelis Hakim ketua sidang atau ketua majelis, dasar hukumnya
Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP. Dalam buku “Peristilahan Hukum
dalam Praktek” requisitoir yaitu tuntutan hukuman penuntut umum pada
47 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985, Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan,
Jakarta: Sinar Grafika, hal 25-26. 48 Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hal 404.
76
pengadilan negeri setelah pemeriksaan ditututp.49 Surat tuntutan
(requisitoir) memuat hal-hal mengenai:
a) Hal tindak pidana yang didakwakan;
b) Fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan;
c) Analisis hukum terhadap fakta-fakta untuk memberikan konstruksi
hukum atas peristiwa yang didakwakan;
d) Pendapat tentang hal terbukti tidaknya dakwaan;
e) Permintaan penuntut umum pada Majelis Hakim.
Dalam kasus dengan terdakwa Sudiyono bin Marwan ini penuntut
umum mengajukan tuntutan yaitu menyatakan terdakwa Sudiyono bin
Marwan telah terbukti dan sah melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 204 ayat (2) KUHP dengan pidana penjara selama 5
(lima) tahun.
Untuk menjatuhkan putusan Majelis Hakim mempertimbangan dari
segala aspek mulai dakwaan, keterangan terdakwa, keterangan saksi,
barang bukti, kondisi terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, agama
terdakwa.
Mengenai keteranga terdakwa dalam kasus ini, Sudiyono selaku
terdakwa mengakui bahwa telah menjula minuman beralkohol jenis
Ginseng yang mengakibatkan orang (pembeli) meninggal dunia. Terdakwa
tidak mengetahui bahan-bahan atu cara pembuatannya, terdakwa membeli
minuman keras jenis Ginseng tersebut dari orang lain yang bernama
49 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Op. cit, hal 401.
77
Sutiyono, yang dibelinya setiap sebulan sekali, kadang lebih dari sebulan
sebanyak 2 (dua) jerigen, setiap jerigen berisi 30 liter. Kemudian terdakwa
menjualnya seharga seharga Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) untuk
warna kuning/merah, sedangkan yang warna hijau per liternya seharga Rp
10.000., (sepuluh ribu rupiah).
Saksi yang diajukan dalam persidangan ini sebanyak 6 (orang)
saksi yang bernama Subekti bin Asmuin merupakan perangkat Desa
Klambu sebagai Kepala Dusun, saksi Nur Kholis bin H. Samingun sebagai
modin yang memandikan dan mengkafani para korban. Dalam
keterangannya saksi sempat bertanya kepada salah satu korban yang
meninggal dunia yaitu Moh. Romin, ia sakit karena telah minum minuman
keras yang telah dijual oleh terdakwa (Sudiyono). Korban minuman keras
sebanyak 27 (dua puluh tujuh) orang, yang meninggal sebanyak 4 (empat)
orang dan 23 (dua puluh tiga) orang masih bisa diselamatkan.
Saksi Jinurokhim binti Sunari, Moch Subuh bin Nasimin, Busono
bin Sadiq dan Jumadi bin Tarmuji mereka merupakan pembeli minuman
keras jenis Ginseng yang dibelinya di rumah Sudiyono (terdakwa)
kemudian meminumnya. Keadaan saksi setelah minum minuman keras
jenis Ginseng tersebut merasa lemas, mual-mual, pusing. Saksi
menerangkan bahwa tidak pernah membeli minuman keras di tempat lain,
karena di Klambu hanya terdakwa (Sudiyono) yang menjual.
Saksi dr. Khotimatun Khasanah binti Suhardian merupakan dokter
yang memeriksa para korban baik masih bisa diselamatkan maupun yang
78
meninggal dunia. Dari hasil pemeriksaan pasien terindikasi keracunan
alkohol dengan gejala pasien lemah, mual-mual, kesadaran berkurang,
pandangan kabur dan sesak nafas.
Dalam kasus ini penuntut umum juga mengajukan 1 (satu) orang
ahli yang tugas pokoknya adalah sebagai pengawasan peredaran makanan
dan farmasi di Kabupaten Grobogan dan dalam kasus ini ditunjuk oleh
Penyidik untuk membaca dari hasil laborat yang dilakukan oleh Puslab
Polri Polda Jateng. Dari hasil laboratorium cairan orange mengandung
etanol 15,31% dan methanol 4,39%, dampaknya apabila ketahanan tubuh
manusia tersebut baik dia akan mengalami pusing dan mual-mual, namun
apabila ketahanan tubuh manusia itu buruk maka akan dapat menimbulkan
kematian. Tubuh manusia tidak dpaat menerima methanol yang
mempunyai sifat meracuni, untuk tubuh manusia yang kemasukan
methanol dengan kadar 0,4% orang tersebut bisa koma, untuk tubuh
manusia kemasukan methanol dengan kadar 4,39% dapat menimbulkan
kematian.
Dari semua keterangan saksi dan ahli, terdakwa menerangkan
bahwa semua keterangan tersebut benar. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1)
KUHAP, alat bukti dalam kasus pidana antara lain, keterangan saksi,
keterangan ahli, keterangan terdakwa, surat, petunjuk. Kemudian
dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP “Majelis Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seoarang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
79
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Menurut penulis, dalam kasus ini sudah memenuhi Pasal 184 ayat
(1) KUHAP, dimana terdapat tiga alat bukti yang bisa dijadikan pedoman
Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan, yaitu keterangan terdakwa,
keterangan saksi, surat berupa visum et repertum dan keterangan ahli
dengan diperkuat oleh barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum
dalam persidangan, sebagaimana Pasal 39 ayat (1) KUHAP “barang bukti
salah satunya merupakan benda yang telah dipergunakan langsung untuk
melakukan tindak pidana”.
Barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum di antaranya, 1
(satu) jerigen plastic warna putih yang berisikan alkohol sebanyak 5 (lima)
liter, 4 (empat) botol bahan tambahan makanan (essense) rasa melon, 3
(tiga) bungkus pemanis buatan (natrium cyclamate) cap raja tawon, 24
(dua puluh empat) bungkus perasa makanan (citric acid), merk gajah, 1
(satu) botol pewarna makanan, warna hijau, 1 (satu) buah alat alkohol
meter, atau pengukur kadar alkohol, 1 (satu) kotak/toples berisi pewarna
makanan, warna merah, 1 (satu) kotak/toples berisi natrium cyclamate dan
sat buah cencok, 1 (satu) buah gelas ukuran plastic, 2 (dua) buah botol
essense, kosong, 1 (satu) botol berisikan air putih, 1 (satu) botol minuman
racikan beralkohol “ginseng” warna hijau rasa melon, 1 (satu) botol
minuman racikan beralkohol “ginseng” warna hijau rasa jeruk, 1 (satu)
buah ember plastic warna hitam, 1 (satu) buah jerigen plastic warna putih,
80
kapasitas 10 liter (kosong), 2 (dua) jerigen plastic kapasitas 20 liter
berisikan “CIU”. Kesemua barang-barang bukti tersebut merupakan
barang bukti yang digunakan terdakwa untuk melakukan tindak pidana
berupa menjual minuman keras yang mengakibatkan matinya orang.
Dalam kasus dengan terdakwa Sudiyono bin Marwan, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Purwodadi menjatuhkan putusan, terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Menjual barang yang diketahuinya barang itu berbahaya bagi jiwa atau
kesehatan Orang dan sifat yang berbahaya itu didiamkan, dan ada orang
mati lantaran perbuatan itu”, sebagaimana diatur dalam Pasal 204 ayat (2)
KUHP. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut telah terpenuhi
secara hukum, berikut uraiannya:
a) Barang siapa
Barang siapa adalah setiap orang sebagai pendukung hak dan
kewajiban yang identitasnya jelas, diajukan ke persidangan dan dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. Berdasarkan fakta-fakta di
persidangan, terbukti bahwa terdakwa adalah Sudiyono bin Marwan
dan tidak ada kekeliruan orang.
b) Menjual, menawarkan, menerima atau membagi-bagikan barang
Bahwa memang benar terdakwa menjual minuman keras jenis Ginseng
yang dibelinya dari Sutiyono, sekitar satu bulan sekali kadang lebih
sebanyak 2 (dua) jerigen dari minuman berwarna kuning merah dan
berwarna hijau yang setiap jerigennya berisi 30 liter, dengan harga Rp.
81
600.000,- (enam ratus ribu rupiah). Terdakwa telah menjual minuman
tersebut selama sekitar 2 tahun.
c) Diketahuinya Bahwa Barang itu Berbahaya Bagi Jiwa atau Kesehatan
Orang dan Sifat Yang Berbahaya itu Didiamkannya, Ada Orang Mati
Lantaran Perbuatan Itu
Terdakwa menjual minuman beralkohol jenis Gingseng yang berwarna
kuning dan hijau yang tidak mengetahui tentang bahan-bahan atau cara
pembuatannya karena terdakwa tidak membuatnya sendiri melainkan
terdakwa membeli dari orang lain yaitu dari Sdr.Sutiyono bin Sabarno
dan sdr. Mulyono. Minuman beralkohol jenis gingseng yang dijual
oleh terdakwa tersebut selanjutnya dibeli oleh masyarakat dan orang-
orang yang telah membeli minuman di tempat terdakwa tersebut
kemudian sakit dan dibawa ke RSUD dr. Raden Soedjati Soemodiardjo
Purwodadi, beberapa orang kemudian sampai meninggal dunia.
Berdasarkan hasil laboratorium disebutkan bahwa sampel cairan
orange yang telah dijual oleh terdakwa tersebut mengandung ethanol
15,31% dan Methanol 4,39%. Tubuh manusia tidak dapat menerima
methanol yang mempunyai sifat meracuni, untuk tubuh manusia yang
kemasukan Methanol dengan kadar 0,4% orang tersebut bisa koma,
untuk tubuh manusia yang kemasukan Methanol dengan kadar 4,39%
dapat menimbulkan kematian. Methanol yang masuk tubuh manusia
mulai 0,1 sampai 4% dapat merusak jaringan tubuh, sehingga dapat
82
menimbulkan muntah, mual, pusing, pandangan kabur, meracuni darah
sehingga dapat menimbulkan kematian.
Unsur-unsur dalam Pasal 204 ayat (2) KUHP telah terpenuhi
menurut hukum, untuk itu Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara
selama 3 (tiga) dari tuntutan penuntut umum yaitu pidana penjara selama 5
(lima) tahun. Putusan Majelis Hakim yang lebih ringan dari tuntutan
dipertimbangkan dari sisi non yuridis yang diterapkan di dalam unsure
yang memberatkan dan meringankan hukuman bagi terdakwa, guna
memperoleh penerapan hukum yang adil bagi terdakwa, sesuai Pasal 28
ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kekuasaan Kehakiman. Adapun unsur yang memberatkan adalah sebagai
berikut:
a) Mengakibatkan 4 (empat) orang meninggal dunia
Perbuatan terdakwa yang menjual minuman keras jenis Ginseng
(oplosan) yang tidak sesuai dengan takarannya, mengakibatkan
pembeli (konsumen) yang meminum minuman keras tersebut
meninggal dunia sebanyak 4 (empat) orang dan masih bisa
diselamatkan sebanyak 23 (dua puluh tiga) orang.
Sedangkan unsur-unsur yang meringankan adalah sebagai berikut:
a) Terdakwa mengakui terus terang, menyesal dan berjanji tidak
mengulangi lagi perbuatannya
Hadirnya terdakwa dalam persidangan secara tidak langsung
menghukum moral terdakwa. Sehingga berfikir dan merasa bersalah
83
bahkan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya dan berjanji
untuk tidak mengulanginya lagi.
b) Terdakwa sopan di persidangan
Selama persidangan menurut Majelis Hakim dan penuntut umum
terdakwa bersikap sopan dan mengatakan apa adanya mengenai segala
sesuatu yang telah dilakukannya tanpa menutup-nutupi. Sehingga
mempermudah jalannya persidangan.
c) Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga
Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan masih memliki
tanggungan yang harus dinafkahinya. Sehingga apabila terdakwa
dikenai hukuman penjara yang lama, maka tidak ada yang menghidupi
anggota keluarganya.
Menurut penulis, penerapan hukum materiil dalam kasus ini sudah
tepat, dimana penuntut umum di dalam dakwaannya menyatakan terdakwa
terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana penjualan
minuman keras yang diketahuinya berbahaya bagi orang lain, tetapi
didiamkannya, karena perbuatan tersebut menyebabkan matinya orang,
sebagaimana diatur dalam Pasal 204 ayat (2) KUHP dengan tuntutan
pidana penjara 5 (lima) tahun. Dalam hal ini juga dibuktikan oleh Majelis
Hakim dakwaan primairnya, sehingga tidak perlu memeriksan dakwaan
subsidair. Dapat diketahui bahwa Majelis Hakim dalam memutus perkara
nomor: 77/Pid. B/2012/PN. Pwi mempertimbangkan fakta-fakta yang
84
terungkap di persidangan, baik yang bersifat yuridis maupun non yuridis
dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.
b. Analisis Putusan Nomor: 300/Pid. B/2014/PN. Gpr
Kasus tindak pidana penjualan minuman keras oplosan dengan
terdakwa Triono Basuki bin Bonidi, dalam dakwaannya Penuntut Umum
menggunakan dakwaan alternatif. Bentuk dakwaan alternatif adalah antara
dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan, atau one that
substitutes for another.
Pengertian yang diberikan kepada bentuk dakwaan yang bersifat
alternatif, antara satu dakwaan dengan dakwaan yang lain tersirat
perkataan “atau” yang memberi pilihan kepada Majelis Hakim untuk
menerapkan salah satu di antara dakwaan-dakwaan yang diajukan. Bersifat
dan berbentyk alternative accusation atau alternative tenlastelegging
dengann cara pemeriksaan: memeriksa dahulu dakwaan secara
keseluruhan, kemudian dari hasil pemeriksaan atas keseluruhan dakwaan,
Majelis Hakim memilih dan menentukan dakwaan mana yang tepat dan
terbukti dipertanggungjawabkan kepada terdakwa.50
Tujuan yang hendak dicapai dari bentuk dakwaan alternatif,
adalah:
a) Untuk menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari
pertanggungjawaban hukum pidana (crime liability)
50 Kurniawan Respati Sudarsono, 2010, Analisis Konstruksi Hukum Penuntut Umum dalam
Menyusun Dakwaan Terhadap Tindak Pidana yang Mengandung Perbarengan dan Implikasi
Yuridisnya (Studi Kasus Nomor 22/Pid. B/2009/PN. TL di Pengadilan Negeri Trenggalek), Penulisan Hukum (Skripsi), Surakarta.
85
b) Memberi pilihan kepada Majelis Hakim menerapkan hukum yang lebih
tepat.51
Dakwaan dalam putusan nomor: 300/Pid. B/2014/PN. Gpr adalah
sebagai berikut: Kesatu, Pasal 204 ayat (2) KUHP, yang berbunyi “barang
siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang
yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal
sifat berbahaya itu tidak diberitahu, jika perbuatan itu mengakibatkan
orang mati”, atau;
Kedua, Pasal 146 huruf b jo Pasal 137 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 Tentang Pangan yang berbunyi “barang siapa yang
melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dengan menggunakan
bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau menjual, menawarkan,
menyerahkan tau membagi-bagikan barang yang diketahuinya
membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat lain yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan
persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan”, atau;
Ketiga, Pasal 62 ayat (1) huruf b jo Pasal 8 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang
berbunyi “sebagai Pelaku Usaha yang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang/jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dari ketentuan peraturan perundang-
undangan”.
51 Yahya Harahap, Op. cit, hal 401.
86
Beban pembuktian dalam peradilan pidana, Penuntut Umum
memiliki beban pembuktian yang diarahkan kepadanya, untuk
membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana, maka harus
menghadirkan saksi dan mengajukan alat bukti. Pasal 66 KUHAP,
“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.
Dalam praktek hukum acara pidana dikenal dengan saksi
meringankan (a de charge) dan saksi memberatkan (a charge). Saki
meringankan, Pasal 65 KUHAP yang berbunyi “tersangka atau terdakw
berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang
memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya”.
Saksi memberatkan, Pasal 160 c KUHAP yang berbunyi “dalam
hal ada saksi yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat
pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat
hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusan, Majelis Hakim ketua sidang wajib mendengar
keterangan saksi tersebut”.
Dalam perkara dengan terdakwa Triono Basuki bin Bonidi,
Penuntut Umum mengajukan 2 (dua) orang saksi:
a) Saksi Martono, S. Sos., menerangkan pada pokoknya:
Pada hari Senin, 20 Januari 2014 sekitar pukul 13.00 WIB satu unit
kesatuan narkoba yang terdiri dari 7 (tujuh) orang termasuk saksi telah
melakukan pemantauan dan penangkapan terhadao terdakwa dan
87
melakukan penggeledahan di rumah terdakwa dan menemukan 48
(empat puluh delapan) botol miras ukuran 600 mili. Saksi mengetahui
hal tersebut dari laporan masyarakat dan mendapat perintah untuk
menindaklanjuti dan melakukan penangkapan. Terdakwa
memproduksi/membuat minuman keras tidak memiliki ijin. Pada
kemasan botol tidak ditemukan merk/tulisan/keterangan yang
menerangkan tentang nama/merk/khasiat/kegunaan minuman
beralkohol tersebut.
b) Saksi Sulistyawan, menerangkan pada pokoknya:
Bahwa benar saksi telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa
pada hari Senin, 20 Januari 2014, sekitar pukul 10.30 WIB di
rumahnya RT. 001, RW. 002, Dusun Puhsarang, Desa Pusharang,
Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Dengan menemukan barang
bukti tanpa dilengkapi dengan surat ijin dari pihak yang berwenang.
Dalam kemasan botok tidak ada petunjuk yang menjelaskan tentang
nama/merk/khasiat/kegunaan minuman tersebut. Terdakwa juga tidak
pernah menguji takaran, kandungan dan timbangan kepada instansi
terkait yang berwenang mengawasi racikan minuman beralkohol dan
terdakwa tidak memiliki keahlian, kewenangan maupun ijin untuk
meracik minuman beralkohol jenis apapun.
Dari semua keterangan saksi tersebut, terdakwa tidak keberatan
dan membenarkannya. Penuntut umum juga mengajukan alat bukti surat
yaitu hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Polri cabang Surabaya
88
terhadap minuman alkohol oplosan buatan terdakwa Nomor Lab.
0578/KKF/2014, dengan kesimpulan telah ditemukan kandungan etanol
dengan kadar 50,33% sampai 95,61% dan kandungan methanol dengan
kadar 0,001%.
Saksi yang diajukan oleh Penuntut Umum merupakan saksi yang
memberatkan terdakwa (a charge), yang dalam kasus ini membenarkan
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana menjual minuman keras
oplosan. Dalam perkara ini terdakwa tidak mengajukan saksi yang
meringankan terdakwa (a de charge).
Dua alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum diperkuat
dengan keterangan terdakwa, yang menerangkan pada pokoknya: terdakwa
ditangkap pada hari Senin, 20 Januari 2014, sekitar pukul 10.30 WIB di
rumahnya. Terdakwa membuat minuman alkohol oplosan sejak 2013 dan
menjualnya. Cara mengoplos minuman tersebut dengan cara air aroma
exsen yang tidak dimasak diberi 1 liter alkohol dan diberi gula sedikit, dan
menghasilkan 12 botol minuman keras yang setiap botolnya berisi 600 mili
liter, terdakwa juga meminumnya setiap hari. Terdakwa awalnya diajari
oleh temannya dalam membuat minuman keras oplosan, pada waktu
terdakwa merasakan minuman tersebut. selama berjualan terdakwa belum
pernah mendengar ada orang yang sakit akibat minuman keras oplosan
buatannya. Terdakwa menjual minuman tersebut seharga Rp 6000,00
(enam ribu rupiah) per botolnya. Terdakwa tidak memiliki ijin untuk
mengoplos minuman keras tersebut.
89
Tindak pidana yang dilakukan terdakwa diperkuat oleh barang-
barang bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam persidangan, di
antaranya: 48 (empat puluh delapan) botol miras ukuran 600 mili liter, 2
(dua) plastik alkohol isi 10 liter, ember besar, saringan torong air, takaran
air dan gayung. Barang bukti tersebut telah diperlihatkan di persidangan
dan terhadap barang bukti tersebut telah dibenarkan oleh saksi dan
terdakwa.
Penuntut Umum dalam tuntutannya: Menyatakan terdakwa Triono
Basuki bin Bonidi bersalah melakukan tindak pidana “Sebagai pelaku
usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang/jasa yang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan” melanggar Pasal 62 (1) jo.
Pasal 8 ayat (1) a Undang-Undang No. 8/1999 tentang perlindungan
konsumen sebagaimana dalam surat dakwaan Ketiga Jaksa Penuntut
Umum, dan menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun.
Dakwaan Penuntut Umum tersebut disusun secara alternatif, maka
Majelis diberikan kewenangan untuk memilih dakwaan mana yang
cenderung mendekati untuk terpenuhinya unsur-unsur dalam surat
dakwaan. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, Majelis Hakim
berpendapat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa lebih cenderung
mendekati unsur-unsur dalam dakwaan alternatif ketiga yaitu Pasal 62 ayat
90
(1) jo Pasal 8 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Pelaku Usaha Yang Memproduksi dan/atau Memperdagangkan
Barang dan/atau Jasa
Kegiatan yang dilakukan oleh terdakwa yaitu melakukan pembuatan
minuman keras oplosan (miras) dengan cara air aroma exsen yang
tidak dimasak diberi 1 liter alkohol dan diberi gula sedikit bisa
menghasilkan 12 botol minuman keras (miras) yang setiap botolnya
berisi 600 mili liter. Terdakwa mendapatkan keuntungan sebesar
Rp.10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) setiap botolnya. Yang dimaksud
sebagai “pelaku usaha” dalam kasus ini adalah Terdakwa Triono
Basuki bin Bonidi yang di persidangan telah membenarkan semua
identitasnya sebagaimana termuat dalam surat dakwaan Penuntut
Umum dan juga berkas kasus lainnya, dengan demikian tidak terjadi
terjadinya error in persona.
2. Yang Tidak Memenuhi Atau Tidak Sesuai Dengan Standar Yang
Dipersyaratkan Dan Ketentuan Peraturan perundang-undangan
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 huruf b UU no 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, mewajibkan setiap pelaku usaha untuk
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Apabila pelaku usaha baik
secara lalai maupun sengaja tidak melaksanakan ketentuan tersebut
91
adalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dan
melanggar hukum. Terdakwa melakukan kegiatan memproduksi
minuman keras, tanpa disertai dengan keterangan seperti merk,
takaran, kandungan, khasiat, dan sebagainya, dan berdasarkan alat
bukti surat berupa hasil penelitian Laboratorium Forensik Polri yang
menyimpulkan kandungan miras tersebut adalah etanol dengan kadar
50,33% - 95,61% dan kandungan methanol dengan kadar 0,001 %
adalah sangat berbahaya karena mengandung kadar ethanol melebihi
dari 50,33%. Kandungan Methanol sangat berbahaya karena dapat
mengakibatkan terganggunya fungsi hati, rusaknya lambung,
kerusakan jaringan tubuh, mengganggu fungsi otak, jantung, ginjal dan
sebagainya.
Dalam persidangan Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang
dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan
pembenar dan/atau alasan pemaaf. Berdasarkan fakta-fakta hukum di
persidangan serta pertimbangan hukum, Majelis Hakim menjatuhkan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan. Pidana tersebut
lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum yaitu 2 (dua) tahun penjara,
karena dalam hal ini Majelis Hakim mempertimbangan aspek non yuridis,
di antaranya:
Keadaan yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa dapat merusakan kesehatan dan sangat berbahaya
bagi tubuh dan organ manusia.
92
Tindak pidana yang dilakukan terdakwa yaitu menjual minuman keras
oplosan dapat mengakibatkan merusak kesehatan bahkan
mengakibatkan meninggal dunia. Memang selama ini terdakwa
menjula minuman keras tersebut belum ada korban jiwa, tetapi apabila
hal tersebut dibiarkan, akan menjadi wabah di masyarakat dan
ditakutkan akan menimbulkan korban jiwa.
2. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam
pemberantasan peredaran minuman keras.
Minuman keras merupakan, minuman yang berbahaya bagi tubuh, di
samping memabukkan juga bisa merusak kesehatan dan menimbulkan
kematian. Untuk itu Pemerintah melakukan pemberantasan agar tidak
semakin menyebar dan mengantisipasi untuk tidak dijangkau oleh
anak-anak.
Keadaan yang meringankan:
1. Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulanginya
lagi.
Kedatangan terdakwa di dalam persidangan merupakan hukuman moril
bagi terdakwa untuk menyesal dan berjanji untuk tidak mengulangi
perbuatan tersebut.
2. Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana dan belum
pernah dipidana sebelumnya.
Terdakwa sebelumnya tidak memiliki riwayat sebagai terpidana, dan
baru kali ini terkena kasus tindak pidana penjualan minuman keras
93
oplosan. Hal tersebut dijadikan Majelis Hakim untuk
mempertimbangkan hukuman yang akan diberikan kepada terdakwa.
3. Terdakwa bersikap sopan, tidak berbelit-belit, serta mengakui semua
perbuatannya di dalam persidangan.
Untuk mencari kebenaran materiil, di dalam persidangan terdakwa
tidak sulit untuk dimintai keterangan dan mengakui semua perbuatan
yang telah dilakukannya.
4. Terdakwa tulang punggung keluarga dan memiliki anak yang masih
kecil.
Pekerjaan terdakwa merupakan tukang parkir, yang menghidupi
keluarganya. Sehingga terdakwa lewat Penasehat Hukumnya
memohon keringanan karena terdakwa merupakan tulang punggung
keluarga.
Menurut Penulis, Penuntut Umum dan Majelis Hakim sudah tepat
dalam menerapkan hukum yang ada. Dalam menjatuhkan putusan, Majelis
Hakim juga mempertimbangkan dari aspek yuridis maupun non yuridis,
sehingga menjadikan putusan tersebut, adil dan manfaat bagi terdakwa
maupun orang lain dalam kasus tersebut, serta memberikan kepastian
hukum mengenai penerapan perundang-undangan yang ada. Mejelis
Hakim dalam kasus ini tidak hanya melihat peraturan yang bersifat umum
yaitu KUHP, tetapi juga melihat peraturan perundang-undangan yang lain
yang bersifat khusus mengatur hal tersebut, misalnya: Undang-Undang
Pangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Hal tersebut
94
dipakai oleh Majelis Hakim, karena unsur-unsur tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa lebih mendekati kepada peraturan yang sifatnya
khusus, dakwaannya juga merupakan dakwaan alternatif.
c. Analisis Putusan Nomor: 150/Pid. B/2014/PN. Kdi
Dakwaan dalam Putusan Nomor: 150/Pid. B/2014/PN. Kdi adalah
dakwaan alternatif. Terdakwa bernama Winanto bin Solikin yang
merupakan warga Dsn/Ds. Margourip, Kec. Ngancar, Kab. Kediri. Dalam
dakwaannya Penuntut Umum mendakwakan atas perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa yaitu:
Kesatu, Pasal 204 ayat (2) KUHP yang berbunyi “barang siapa
menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang
diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat
berbahaya itu tidak diberitahu, jika perbuatan itu mengakibatkan orang
mati”, atau;
Kedua, Pasal 146 huruf a jo Pasal 137 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 Tentang Pangan yang berbunyi “barang siapa yang
melakukan kegiatan atau produksi pangan dengan menggunakan bahan
baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari
Rekayasa Genetika Pangan yang belum mendapatkan persetujuan
keamanan pangan sebelum diedarkan”, atau;
Ketiga, Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “pelaku usaha yang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang/jasa yang tidak
95
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Penuntut Umum mengajukan 2 (dua) orang saksi, yang
memberikan keterangannya di persidangan, di antaranya:
a) Saksi Riwayat bin Siman, menerangkan pada pokoknya:
Saksi mengenal terdakwa sekitar satu tahun lalu ketika terdakwa main
ke rumah saksi. Saksi merupakan salah satu pembeli minuman keras
untuk dijual lagi kepada masyarakat. Jenis minuman yang saksi beli
adalah minuman arak dalam kemasan botol aqua 1,5 liter. Satu dos nya
berisi 12 botol bekas aqua dan setiap dos seharga Rp 270.000,- (dua
ratus tujuh puluh ribu rupiah). Saksi dalam memesan minuman
tersebut dengan cara menelpon, kemudian terdakwa mengantarkannya.
Saksi berjualan minuman tersebut karena ditawari terdakwa dan saksi
tidak mengetahui bagaimana terdakwa membuatnya. Setelah saksi
menjualnya kepada orang lain, ada yang meninggal akibat minum
minuman keras yang dijual terdakwa.
b) Saksi Sulkan bin Sujud, menerangkan pada pokoknya:
Saksi sering memberi minuman keras ke Riwayat seharga Rp 35.000,-
(tiga puluh lima ribu rupiah). Menurut saksi yang membeli minuman
keras di warung saksi adalah Narko dan Heri, yang memesan minuman
arak 1 botol dan dicampur dengan Bicola warna merah sampai jam 4
sore. Kemudian pada hari Minggu Narko meninggal dunia, dan disusul
oleh Heri pada hari Senin. Setelah minum keadaan Narko dan Heri
96
baik-baik saja, bahkan Narko masih bekerja mencangkul sawah.
Korban meninggal karena meminum minuman jenis arak tersebut.
Kedua keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan dan tidak
keberatan. Penuntut Umum dalam hal ini mohon agar beberapa keterangan
saksi dan ahli dibacakan di persidangan dan sudah disumpah, karena saksi
dan ahli tersebut tidak hadir di persidangan meskipun telah dipanggil
secara patut dan sah. Terdakwa juga tidak keberatan dengan adanya hal
tersebut dan membenarkan keterangan para saksi dan ahli.
Pasal 187 huruf a KUHAP mengatur bahwa berita acara, termasuk
berita acara pemeriksaan saksi (BAP Saksi) merupakan alat bukti surat.
Mengenai BAP Saksi sebagai alat bukti surat dikuatkan dengan adanya
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1985 tentang Kekuatan
Pembuktian Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan Visum et Repertum yang
dibuat di Luar Negeri oleh Pejabat Asing. Ketentuan Surat Edaran
Mahkamah Agung ini memberi penegasan bahwa berita acara, termasuk
berita acara pemeriksaan saksi, bukan hanya sekedar pedoman hakim
untuk memeriksa suatu perkara pidana, melainkan sebuah alat bukti yang
memiliki kekuatan pembuktian.
Dalam hal ini merujuk pada Pasal 187 huruf a KUHAP BAP
merupakan alat bukti surat, termasuk juga berita acara pemeriksaan saksi
yang dibuat di luar negeri oleh pejabat asing. Pendapat banyak ahli hukum
juga setuju bahwa BAP Saksi sebagai alat bukti surat berdasarkan Pasal
187 huruf a KUHAP. Bahkan R. Soesilo dalam berbagai buku yang ia
97
tulis, menyatakan bahwa BAP Saksi merupakan alat bukti keterangan
saksi. R. Soesilo mengatakan pendapatnya, sebagai berikut:
“Sesungguhnya berita acara itu dapat disamakan dengan suatu
keterangan saksi yang tertulis, bahkan nilainya sebagai alat bukti
lebih besar daripada kesaksian untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, oleh karena berita acara itu dibuat oleh pegawai
penyidik yang oleh undang-undang diwajibkan untuk itu. Pada
hakekatnya berita acara itu adalah suatu keterangan saksi yang
oleh undang-undang diberi nilai sebagai bukti yang sah”. Menurut Teguh Samudera, BAP adalah golongan akta autentik
yang dibuat oleh pegawai umum, yakni pejabat penyidik yang
bersangkutan, yang merupakan laporan tentang sesuatu perbuatan atau
kejadian resmi yang telah dilakukan olehnya. Terjadinya pembacaan BAP
Saksi di depan persidangan kerap terjadi dalam praktik pembuktian di
persidangan. Pada prinsipnya, KUHAP menganut prinsip bahwa
keterangan saksi harus diberikan di depan persidangan, sebagaimana
ditentukan di dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi, bagi
ketentuan ini, ada pengecualiannya, yaitu ketentuan dalam Pasal 162
KUHAP. Berdasarkan Pasal 162 KUHAP, maka KUHAP memberikan
sebuah pengecualian bagi ketentuan bahwa keterangan saksi harus
diberikan di depan persidangan. Pasal 162 ayat (1) KUHAP
memungkinkan untuk membacakan keterangan saksi dalam tahap
penyidikan, yakni BAP Saksi, bilamana saksi yang bersangkutan dalam
alasan:
1. Meninggal dunia; atau
2. Berhalangan hadir karena alasan yang sah; atau
98
3. Tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya;
atau
4. Bilamana ada kepentingan negara.
Keempat alasan ini bersifat limitatif, dalam arti, bahwa BAP Saksi
boleh saja dibacakan di depan persidangan, hanya bila ada alasan tersebut
yang dialami oleh seorang saksi yang seharusnya hadir di depan sebuah
persidangan. Di luar keempat alasan ini, maka BAP Saksi idealnya tidak
diperbolehkan untuk dibacakan di depan persidangan, karena Pasal 185
ayat (1) KUHAP telah menentukan dengan tegas, bahwa keterangan saksi
yang bernilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah
keterangan saksi yang diberikan di depan persidangan.52
Berikut beberapa keterangan saksi dan ahli yang dibacakan dalam
persidangan:
a) Saksi Heri Priadi, dibacakan oleh Penuntut Umum pada pokoknya:
Saksi pada hari Senin, 23 Desember 2013 menerima informasi di Dsn.
Jasan, Ds. Pakis, Kec. Kunjang, Kab. Kediri ada dua orang meninggal
dunia. Sunarno (Narko) meninggal pada hari Minggu, sedangkan Heri
meninggal pada hari Senin. Sunarko, Heri dan Istadi mengkonsumsi
minuman kras jenis arak jawa di warung Sulkan, yang dibeli dari
terdakwa. Terdakwa membuat miras dengan cara mencampurkan
cairan alkohol dengan air mentah, perbandingannya 1:3 yaitu ½ liter
cairan alkohol dicampur dengan 4 ½ liter air mentah, ditambahkan
52 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
99
sedikit pemanis buatan. Pada tanggal 24 Desember 201 dilakukan
penggeledahan di rumah terdakwa dan ditemukan beberapa barang
bukti yang digunakan untuk membuat minuman keras jenis arak jawa.
Minuman keras tersebut tidak ada labelnya dan tidak tahu berapa kadar
alkoholnya.
b) Saksi Bambang Nurdiansyah, dibacakan Penuntut Umum pada
pokoknya:
Bahwa keterangan saksi Bambang sama dengan keterangan saksi Heri
Priadi, untuk itu tidak ditulis dan dijelaskan ulang oleh penulis.
c) Saksi Asmiatun, dibacakan Penuntut Umum pada pokoknya:
Saksi merupakan ibu kandung Sunarko yang telah meninggal dunia
pada hari Minggu, 23 Desember 2013, sekitar pukul 05.00 WIB.
Sebelum meninggal, Sunarko mengeluh sakit kepala, pusing-pusing
dan masuk angin.
d) Ahli dr. Aziz Samsurizal, dibacakan Penuntut Umum di bawah
sumpah di hadapan penyidik, pada pokoknya:
Ahli bekerja pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri sejak 2009
selaku Kepala Seksi Kefarmasian dan Penyehatan Makanan Minumann
pada Dinas Kesehatan Kab. Kediri. Sepengetahuan ahli etanol memang
bisa dikonsumsi dengan kandungan maksimal 55% sesuai PERMEN
PERIN No. 71/M/IND/PER/7/2012 Tentang Pengendalian dan
Pengawasan Industri Minuman Beralkohol, untuk methanol tidak
diperuntukkan sebagai konsumsi atau minuman tetapi lebih sebagai
100
bahan kimia industri maupun bahan bakar karena Methanol bersifat
racun bagi tubuh. Untuk peredaran minuman beralkohol harus berijin
dari Kementrian Perdagangan untu ijin industrinya sedangkan dari
BPOM untuk peredarannya.
Setelah keterangan saksi dan ahli, maka selanjutnya keterangan
terdakwa, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: jenis
minuman yang terdakwa jual adalah arak, yang dibeli dari Tuban dalam
kemasan botol dan Solo dalam jerigen, dan tidak mengetahui cara
pembuatannya. Terdakwa membuat minuman sendiri sekitar satu bulanan.
Riwayat membeli minuman keras dari terdakwa kadang 2 atau 3 minggu
sekali sebanyak 3 kardus, setiap kardus berisi 12 botol kemasan 1,5 liter
seharga Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) s/d Rp 270.000,-
(dua ratus tujuh puluh ribu rupiah) dengan laba Rp 50.000,- (lima puluh
ribu rupiah). Terdakwa tidak memiliki ijin dan tidak mencantumkan lebel
dalam kemasan. Terdakwa mengetahui ada yang meninggal setelah diberi
tahu oleh polisi. Terdakwa membuat minuman keras sendiri untuk
mendapatkan uang.
Dalam persidangan Penuntut Umum juga mengajukan alat bukti
surat berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik, yang
dikeluarkan oleh Laboratorium Forensik Cabang Surabaya Nomor Lab.
0335/KKF/2014, tanggal 20 Januari 2014 yang dibuat dan ditandatangani
oleh Ir. Fadjar Septi Ariningsih, Koko Sunoko, S.Sos, Dra. Fitryana Hawa.
101
Barang bukti yang disita dan ditunjukkan dalam persidangan
adalah 60 (enam puluh) botol arak jawa kemasan 1,5 Liter, 9 (sembilan)
botol ciu kemasan 1,5 Liter, 36 (tiga puluh enam) botol berisi alkohol
kemasan 1,5 Liter, 30 (tiga puluh) jirigen ciu, 2 (dua) kantung tutup botol
air mineral; 1 (satu) kantong pemanis buatan, 2 (dua) buah selang, 2 (dua)
drum volume 200 Liter, 64 (enam puluh empat) botol plastik kosong
kemasan 1,5 Liter, uang Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah).
Berdasarkan pemaparan di atas, oleh karena dakwaan Penuntut
Umum alternatif, maka Majelis Hakim mempertimbangkan unsur-unsur
dalam pasal mana yang sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan yaitu dakwaan kedua Pasal 146 Huruf a jo Pasal 137 Undang-
Undang RI No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, yang unsur-unsurnya
sebagai berikut:
1. Setiap Orang
Setiap orang adalah subyek hukum dalam kasus ini, telah dihadapkan
ke persidangan seseorang yang bernama Winanto bin Solikin, yang
telah dibenarkan identitasnya oleh yang bersangkutan dan selama
proses pemeriksaan di persidangan menunjukkan sikap dapat
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
2. Yang Melakukan Kegiatan atau Proses Produksi Pangan Dengan
Menggunakan Bahan Baku, Bahan Tambahan Pangan, dan/atau
Bahan lain yang Dihasilkan dari Rekayasa Genetika Pangan yang
Belum Mendapatkan Persetujuan Keamanan Pangan Sebelum
102
Diedarkan Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) UURI No.
18 Tahun 2012
Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No. Lab. :
0335/KKF/2014 tanggal 20 Januari 2014 yang dikeluarkan
Laboratorium Forensik Cabang Surabaya atas 4 (empat) botol plastik
aqua terdiri dari 3 (tiga) botol plastik aqua ukuran 1500 ml berisi
cairan jernih + 1.500 ml yang semuanya positif mengandung alkohol
jenis etanol dan metanol dengan masing-masing kadar yang berbeda
tiap botolnya dan 1 (satu) botol plastik aqua ukuran 600 ml berisi
serbuk putih + 45,51 gram adalah serbuk dengan bahan aktif
Glutaraldehyde Sodium Bisulfit atau bahan pengawet. Pembuatan arak
jowo atau cukrik oleh terdakwa dengan bahan alkohol yang dituangkan
ke dalam drum untuk selanjutnya dicampur dengan air mentah dengan
perbandingan 1 liter alkohol untuk 5 (lima) liter air selanjutnya diberi
pemanis buatan (cap tiga T), setelah selesai selanjutnya arak jowo
buatannya tersebut hanya diperkirakan oleh Terdakwa mengandung 18
% alkohol tanpa menggunakan alat pengukur kadar alkohol kemudian
dengan menggunakan selang dimasukkan ke dalam botol aqua bekas
kemasan 1,5 liter yang selanjutnya untuk dijual kepada pengecer yang
salah satunya. Terdakwa juga belum memiliki ijin untuk membuat dan
mengedarkan minuman keras.
Kedua unsur tersebut telah terpenuhi dan sah menurut hukum.
Sehingga Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara 5 (lima) bulan dan
103
15 (lima belas) hari, jauh lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum yaitu
pidana penjara 2 (dua) tahun dan 3 (tiga) bulan. Penjatuhan pidana tersebut
dipertimbangankan oleh Majelis Hakim dari beberapa aspek, selain dari
aspen yuridis, hal tersebut juga dari aspek non yuridis, yaitu:
Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat.
Banyak masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya perbuatan
terdakwa, karena hal yang dilakukan oleh terdakwa sifatnya negatif.
2. Minuman produksi terdakwa membahayakan masyarakat.
Minuman keras yang terdakwa buat bisa merusak kesehatan, bahkan
mengakibatkan kematian. Seperti halnya yang dialami oleh Narko dan
Heri setelah minum minuman keras buatan terdakwa.
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya.
Selama di persidangan, terdakwa mengakui perbuatannya. Sehingga
tidak mempersulit jalannya persidangan.
2. Terdakwa menyesali perbuatannya.
Hadirnya terdakwa dalam persidangan, secara tidak langsung
menghukum moril terdakwa dan menyesali segala perbuatan yang
telah dilakukannya dan tidak akan mengulanginya lagi.
3. Terdakwa belum pernah dihukum.
Sebelumnya terdakwa tidak memiliki riwayat sebagai mantan
narapidana.
104
Menurut penulis, Penuntut Umum kurang tepat dalam mengajukan
tuntutan. Begitupun dengan Majelis Hakim yang menjatuhkan putusan
sangat jauh dari tuntutan Penuntut Umum. Memang benar hal tersebut
berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam persidangan. Tetapi dalam kasus
ini Majelis Hakim menjatuhkan pidana sangat ringan terhadap terdakwa
yang menjual minuman keras mengakibatkan matinya orang.
Sepengetahuan penulis Pasal yang seharusnya dipakai oleh Penuntut
Umum dan Majelis Hakim yaitu Pasal 204 ayat (2) KUHP.
Berdasarkan hasil pemaparan penulis di atas terkait analisis terhadap tiga
putusan terpilih. Penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam ketiga putusan
tersebut terdapat disparitas putusan dalam menjatuhkan pemidanaan. Hal tersebut
terlihat dalam amar putusan dan dasar hukum yang digunakan.
Dalam Putusan Nomor: 300/Pid. B/2014/PN. Gpr yang dalam hal tersebut
terdakwa hanya membuat minuman keras oplosan mendapatkan pidana penjara 1
(satu) tahun dan 2 (dua) bulan, dan belum ada korban jiwa akibat perbuatan
tersebut. Tetapi dalam Putusan Nomor: 150/Pid. B/2014/PN. Kdi dimana
terdakwa membuat minuman keras dan menjualnya, kemudian mengakibatkan
konsumen meninggal dunia hanya dihukum pidana penjara selama 5 (lima) bulan
dan 15 (lima belas) hari.
Menurut penulis hal tersebut sangat tidak adil, sedangkan sudah jelas alat
bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum, yang pertama berupa Berita Acara
Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik, yang dikeluarkan oleh Laboratorium
105
Forensik Cabang Surabaya Nomor Lab. 0335/KKF/2014, tanggal 20 Januari 2014,
menjelaskan bahwa 4 (empat) botol plastik aqua terdiri dari 3 (tiga) botol plastik
aqua ukuran 1500 ml berisi cairan jernih + 1.500 ml yang semuanya positif
mengandung alkohol jenis etanol dan metanol dengan masing-masing kadar yang
berbeda tiap botolnya dan 1 (satu) botol plastik aqua ukuran 600 ml berisi serbuk
putih + 45,51 gram adalah serbuk dengan bahan aktif Glutaraldehyde Sodium
Bisulfit atau bahan pengawet.
Menurut Ahli dr. Azis Samsurizal yang menerangkan bahwa etanol dapat
memabukkan dan kandungan etanol yang diijinkan untuk dikonsumsi maksimal
55 % dan apabila dikonsumsi dalam jangka panjang dapat mengakibatkan
kerusakan organ seperti hati sedangkan methanol tidak boleh sama sekali
dikonsumsi karena sifatnya yang dapat meracuni tubuh apabila mengkonsumsi
methanol dapat menyebabkan keracunan, mual, muntah, kejang-kejang, kerusakan
mata, syok hingga kematian.
Berdasarkan keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan dr. Yohana
Kartikasari tanggal 14 Februari 2014, selaku dokter Rumah Sakit HVA
Toelongrejo Pare bahwa selaku dokter yang menangani pasien bernama Herin
Suwono menyatakan berdasarkan status rekam medis diagnose penurunan
kesadaran curiga intixicasi (keracunan) alkohol oplosan dan pasien meninggal
dunia.
Dalam peradilan pidana mengenal lima alat bukti, dalam perkara dengan
Putusan Nomor: 150/Pid. B/2014/PN. Kdi terdapat sekurang-kurangnya 4 alat
bukti, yaitu keterangan terdakwa, keterangan saksi, keterangan ahli dan surat,
106
artinya kebenaran materiil bahwa terdakwa melakukan tindak pidana menjual
minuman keras oplosan yang mengakibatkan matinya orang.
Dalam putusan tersebut Majelis Hakim menjatuhkan lebih ringan karena
tidak ada otopsi yang dilakukan oleh Kepolisian. Otopsi adalah investigasi medis
jenazah untuk memeriksa sebab kematian. Tetapi sudah ada lebih dari dua alat
bukti yang menyatakan bahwa korban meninggal karena minum minuman keras
oplosan.
Tetapi dalam hal ini Majelis Hakim menjatuhkan pidana yang sangat
ringan, jauh dari peraturan perundang-undangan yang sudah mengaturnya.
Sehingga keadilan dalam hal ini tidak tercapai yaitu untuk keluarga korban yang
ditinggalkan, bisa saja korban merupakan tulang punggung keluarga. Dalam hal
kemanfaatan, hal tersebut tidak bermanfaat bagi para pihak dalam kasus tersebut.
Karena hukumannya sangat ringan, bisa jadi tidak menimbulkan efek jera sesuai
dengan tujuan pemidanaan, sehingga kemungkinan terdakwa setelah keluar dari
penjara melakukan hal yang sama. Terjadinya disparitas putusan tidak hanya
terjadi karena Majelis Hakim berpendapat lain. Melainkan disebabkan karena
salah satu aparat penegak hukum, yaitu dalam hal Kepolisian tidak melakukan
otopsi terhadap korban tindak pidana. Seharusnya otopsi itu wajib dilakukan oleh
Polisi apabila terdapat tindak pidana yang mengakibatkan matinya orang, untuk
dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Sehingga dapat
diketahui korban meninggal karena tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
atau karena hal lain.
107
B. Implikasi Hukum Terjadinya Disparitas Penetapan Sanksi Pidana
Terhadap Penjual “Minuman Keras Oplosan” Yang Mengakibatkan
Matinya Orang Terhadap Keadilan, Kepastian Dan Kemanfaatan
Pada dasarnya putusan pengadilan harus mampu dan berani tampil
menyuarakan hati nurani masyarakat. Pengadilan dalam melaksanakan fungsi dan
tugasnya bekerja sesuai dengan hati nurani dan impian rakyat. Institusi pengadilan
tidak hanya menjadi mesin undang-undang, tetapi juga mampu mengamati
kehidupan bangsa secara intens.
Sesungguhnya putusan hakim diperlukan untuk menyelesaikan suatu kasus
yang diajukan ke pengadilan. Putusan hakim harus dapat menyelesaikan kasus
yang diajukan, jangan sampai justru memperuncing masalah, bahkan justru
menimbulkan kontroversi di kalangan praktisi hukum maupun masyarakat umum.
penyebab kontroversi putusan hakim tersebut adalah keadaan hakim yang kurang
menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan hukum yang berkembang pesat
sesuai dengan perkembangan zaman, serta dipengaruhi oleh kurang telitinya
hakim untuk menentukan proses suatu kasus. Putusan hakim merupakan hasil dari
proses persidangan di pengadilan. Sementara pengadilan sendiri sebagai tempat
pelarian terakhir bagi pencari keadilan. Untuk itu harus ada unsur keadilan dalam
setiap putusan, sehingga tidak terjadi disparitas putusan.
Berbicara mengenai tujuan hukum banyak teori yang berpendapat
berbeda-beda. Tetapi dalam hal ini penulis memakai teori tujuan hukum yang
dikemukakan oleh Gustav Redbruch sebagai 3 (tiga) nilai dasar hukum yaitu
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Selanjutnya Redbruch mengajarkan
108
penggunaan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana prioritas pertama
selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum.
Berikut adalah implikasi hukum terjadinya disparitas putusan terhadap tujuan
hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan:
1. Implikasi Hukum Terjadinya Disparitas Putusan terhadap Keadilan
Sesungguhnya konsep suatu putusan yang mengandung keadilan, sulit
dicarikan tolak ukurnya bagi pihak-pihak yang bersengketa. Adil bagi satu
pihak, belum tentu dirasakan adil oleh pihak lain. Hakim mempunyai tugas
untuk mengakkan keadilan.53 Hal ini sesuai dengan kepala putusan yang
berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Putusan hakim yang penekanannya lebih ke unsur keadilan, bukan
berarti bahwa kepastian hukum dan kemanfaatan tidak ada. Unsur kepastian
hukum dan kemanfaatan tetap ada dalam putusan hakim tersebut. Pemenuhan
unsur kepastian hukum tersebut adalah telah memberikan jalan keluar dari
masalah hukum bagi kedua belah pihak yang didasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Sementara pemenuhan unsur kemanfaatan, putusan
tersebut telah menciptakan kepuasaan bagi para pihak.
Putusan hakim di pengadilan harus sesuai dengan tujuan sejatinya,
yaitu: pertama, putusan hakim harus melakukan solusi autoritatif, artinya
memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak.
Kedua, putusan hakim harus mengandung efisiensi, yaitu biaya cepat,
sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang tertunda merupakan
53 Yohanes Suhardin, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum, Jurnal
Mimbar Hukum, Vol. 21 No. 2, Juni 2009, Yogyakarta: FH UGM, hal 350.
109
ketidakadilan. Ketiga, putusan hakim harus sesuai dengan tujuan undang-
undang yang dijadikan dasar putusan pengadilan. Keempat, putusan hakim
harus mengandung aspek stabilitas yaitu ketertiban sosial dan ketentraman
masyarakat. Kelima, putusan hakim harus ada fairness, yaitu memberi
kesempatan yang sama bagi para pihak.54
Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya
dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan
pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum
(equality before the law).
Disparitas yang masih sering terjadi dapat berakibat fatal, akibat dari
disparitas dapat berdampak bagi terpidana dan masyarakat secara luas.
Dampaknya bagi terpidana yaitu apabila setelah dijatuhi hukuman
membandingkan pidana yang diterimanya dengan pidana yang diterima orang
lain. Terpidana yang merasa diperlakukan tidak adil oleh hakim dapat
diapahami, karena pada umumnya keadilan merupakan perlakuan
“yustiable”.55
2. Implikasi Hukum Terjadinya Disparitas Putusan terhadap Kepastian
Hakim dalam menyelesaikan kasus di pengadilan, mempunyai tugas
untuk menemukan hukum yang tepat. Hakim dalam menemukan hukum, tidak
cukup hanya mencari dalam undang-undang saja, sebab kemungkinan
peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara jelas dan lengkap,
54 Fence M. Wantu, 2012, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam
Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Gorontalo, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo, hal 484-485.
55 Muladi dan Barda Nawawi Arif, 2005, Tori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni: Bandung, hal 5.
110
sehingga hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lain hukum adat
dan hukum tertulis. Hakim bertugas sebagai penggalinya dan merumuskannya
dalam suatu putusan. Putusan hakim merupakan bagian dari proses penegakan
hukum yang bertujuan untuk mencapai salah satunya kebenaran hukum atau
demi terwujudnya kepastian hukum. Putusan hakim merupakan produk
penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan secara hukum
(yuridis) dari hasil proses secara sah di persidangan. Pertimbangan hukum
yang dipakai oleh para hakim sebagai landasan dalam mengeluarkan amar
putusan merupakan determinan dalam melihat kualitas putusan.
Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan
hasil yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara
yuridis serta dipertimbangkan dengan hati nurani. Hakim selalu dituntut untuk
selalu dapat menafsirkan makna peraturan perundang-undangan yang
dijadikan dasar untuk diterapkan. Penerapan hukum harus sesuai dengan kasus
yang terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili secara
utuh, bijaksana dan objektif.56
Dalam konteks kepastian hukum, dalam peraturan perundang-
undangan sudah jelas diatur. Tetapi penerapannya dalam menjatuhkan
putusan, masih banyak putusan yang masih jauh dari tujuan hukum yaitu
kepastian. Sedangkan negara kita adalah negara hukum sebagaimana
56 Fence M. Wantu, Op. cit, hal 482-483.
111
tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sudah jelas mengenai
pengaturannya. Diharapkan agar tidak terjadi disparitas putusan. Implikasinya
jika kepastian tidak tercapai, maka untuk tujuan hukum yang lainnya juga
tidak akan tercapai.
Tidak tercapainya kepastian hukum tersebut bisa membuat masyarakat
luas berfikiran untuk mengulangi tindak pidana yang sama bahkan melakukan
tindak pidana yang lain. Karena masyarakat beranggapan aparat penegak
hukum dalam menerapkan hukum yang ada masih kurang.
3. Implikasi Hukum Terjadinya Disparitas Putusan terhadap
Kemanfaatan
Putusan hakim akan mencerminkan kemanfaatan, manakala hakim
tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar
keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi
kepentingan pihak-pihak yang berkasus dan kepentingan masyarakat pada
umumnya. Artinya hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah
mempertimbangkan hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut
membawa manfaat atau kegunaan bagi semua pihak. Hakim diharapkan dalam
menerapkan peraturan perundang-undangan maupun hukum yang ada
didasarkan pada tujuan atau kemanfaatan bagi para pihak yang berkasus dan
masyarakat.
Mengingat putusan hakim merupakan hukum, maka hakim harus
memelihara keseimbangan dalam masyarakat dengan memulihkan kembali
tatanan pada masyarakat pada keadaan semula (restutio in integrum).
112
Masyarakat sangat mengharapkan penyelesaian kasus melalui pengadilan itu
akan membawa manfaat atau kegunaan bagi kehidupan bersama dalam
masyarakat. Penekanan kepada asas kepastian hukum oleh hakim lebih
cenderung mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari hukum positif
yang ada. Peraturan perundang-undangan ditegakkan demi kepastian hukum.
Kendala yang dihadapi hakim yang cenderung kepada kepastian hukum
mengalami kebuntuan manakala ketentuan tertulis tidak dapat menjawab
persoalan-persoalan yang ada. Dalam situasi demikian hakim harus
menemukan untuk mengisi kelengkapan hukum. Dasar pemikirannya bahwa
hukum adalah untuk manusia atau orang banyak, oleh karena itu tujuan hukum
harus berguna untuk manusia.57
Implikasi jika kemanfaatan tidak tercapai, maka akan timbul
ketidakpuasan dan kecemburuan dari para pihak. Sedangkan putusan
dijatuhkan untuk memberi manfaat bagi para pihak. Karena putusan tidak
memberi manfaat bagi para pihak, untuk terdakwa misalnya memberi manfaat
berupa efek jera. Tetapi apabila hal tersebut tidak terpenuhi, kemungkinan
terdakwa untuk mengulangi hal yang sama bisa terjadi.
57 Yanto Sufriadi, Penerapan Hukum Progresif dalam Pemulihan Krisis Hukum di tengah
Kemacetan Demokrasi di Era Global, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 17 No. 2, April 2010, Yogyakarta: FH UII, hal 226.