522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil...

26
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists 29 Artikel Kolom Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil Perikanan Berupa Udang Rully Zulfikar Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 3 Maret 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 30 Maret 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016 Negara Indonesia adalah negara maritim dengan didominasi wilayah lautan, sehingga dengan wilayah yang luas ini sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan potensinya karena kandungan sumberdaya alam yang di dalamnya. Salah satunya adalah pantai yang panjang mendukung keanekaragaman dari sumberdaya alam yang terkandung didalamnya dan didukung tata letak dari negara Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau kecil dan besar yang ada didalamnya, dengan demikian maka negara Indonesia memiliki kekayaan perairan yang berupa ikan yang beraneka ragam macamnya, kerang-kerangan, rumput laut, hutan bakau, crustacean, decapoda, cumi- cumi, udang dan masih banyak lagi biota yang terkandung didalamnya Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang mudah membusuk. Hal ini dapat dilihat pada ikan yang baru ditangkap dalam beberapa jam saja kalau tidak diberi perlakuan atau penanganan yang tepat. Penanganan ikan basah harus dimulai segera setelah ikan diangkat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu renda dan memeperhatikan faktor kebersihan dan kesehatan. Salah satu hasil perikanan yang terbesar di indonesia adalah udang. Udang merupakan bahan makanan yang bernilai tinggi dan digemari oleh banyak orang, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penilaian tersebut didasarkan atas nilai komersial dan nilai gizinya. Banyak permintaan produk berupa udang segar baik di indonesia maupun diluar negeri maka dari itu harus cara penanganannya harus diperhatikan supaya udang tidak rusak maupun busuk pada saat di kirim, maka dari itu salah satu penanganannya dengan cara pembekuan. Prinsip dasar dari pembekuan adalah suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada suhu titik beku pangan tersebut. Seiring dengan membekunya sebagian kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es maka ketersediaan air menurun, akibatnya kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan yang pada akhirnya dapat mempertahankan mutu bahan pangan. Pembekuan dapat mempertahankan rasa dan nilai gizi bahan pangan yang lebih baik daripada metode lain, karena pengawetan dengan suhu rendah yaitu pembekuan dapat menghambat aktivitas mikroba, mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan aktivitas enzim yang dapat merusak kandungan gizi bahan pangan. Proses produksi penanganan udang beku yang baik pada salah satu perusahaan pengolahan ikan yaitu yang harus dilakukan adalah mulai dari penerimaan bahan baku, sortasi, perendaman, penimbangan, pencucian, penyusunan, pembekuan, glazing, pengemasan dan pelabelan, cold strage, eksport. Penerimaan bahan baku merupakan proses penerimaan bahan baku dari berbagai daerah atau suplier. Proses penerimaan bahan baku (receiving) merupakan tahap awal dari semua proses dalam pengolahan, dimana bahan baku yang telah diterima dari supplier baik udang hasil budidaya maupun udang tangkapan lainnya yang langsung dibawa ke perusahaan untuk diolah menjadi produk sesuai permintaan buyer. Udang segar diluar pabrik berada dalam bak Fiberglass atau blogblog plastic yang diberi es kemudian segera dibongkar di ruang penerimaan. Penerimaan bahan baku ini harus dicontrol oleh yang ahli dalam bidang nya yaitu QC. Sortasi yaitu untuk mengelompokkan udang berdasarkan range size yang dibutuhkan atau diinginkan. Sortasi dilakukan dengan tenaga manusia yang meliputi sortasi mutu, ukuran dan warna. hasil sortasi ditampung pada keranjang dan selanjutnya akan ditaruh pada meja-meja karyawan yang berbahan stainless steel yang berjumlah 8 buah untuk dilakukan pemisahan berdasarkan mutu, ukuran dan warna. Proses selanjutnya adalah perendaman yang bertujuan untuk mengembalikan berat udang setelah melalui beberapa proses sebelumnya. Larutan yang digunakan untuk soaking adalah STPP posphat yang berfungsi sebagai food aditif yang bertujuan untuk meningkatkan kekenyalan produk, brisol, garam dan air bersuhu 0-3 ° C. proses perendaman ini dilakukan di fiber yang berisi air es selama 30 menit – 1 jam. Penimbangan merupakan penimbangan yang dilakukan untuk mengetahui berat, size dan banyaknya udang dalam satu wadah yang berisi produk udang beku. Tujuan penimbangan yaitu, untuk mengetahui berapa banyak udang yang akan jadi produk udang beku yang siap dibekukkan, dalam proses penimbangan ini rantai dingin tetap diperhatikan pada tiap meja penimbangan dilapisi dengan es curai agar udang yang menunggu untuk ditimbang tetap terjaga mutunya, suhu yang digunakan yaitu 2º C. Kemudian setelah proses penimbangan dilakukan pencucian dengan air yang dicampur dengan es dan chlorine 25- 35 ppm. Pencucian dengan cara disiram 1 kali setelah itu raw material dicelup kedalam air chlorine yang kapasitasnya 25-35 ppm dan celup kembali raw material kedalam air biasa, supaya udang yang banyak mengandung chlorine dapat tercuci,standar suhu air pencucian yaitu 0-3°C.

Transcript of 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil...

Page 1: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

29

Artikel Kolom Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil Perikanan Berupa Udang Rully Zulfikar Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 3 Maret 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 30 Maret 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Negara Indonesia adalah negara maritim dengan didominasi wilayah lautan, sehingga dengan wilayah yang luas ini sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan potensinya karena kandungan sumberdaya alam yang di dalamnya. Salah satunya adalah pantai yang panjang mendukung keanekaragaman dari sumberdaya alam yang terkandung didalamnya dan didukung tata letak dari negara Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau kecil dan besar yang ada didalamnya, dengan demikian maka negara Indonesia memiliki kekayaan perairan yang berupa ikan yang beraneka ragam macamnya, kerang-kerangan, rumput laut, hutan bakau, crustacean, decapoda, cumi-cumi, udang dan masih banyak lagi biota yang terkandung didalamnya

Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang

mudah membusuk. Hal ini dapat dilihat pada ikan yang baru ditangkap dalam beberapa jam saja kalau tidak diberi perlakuan atau penanganan yang tepat. Penanganan ikan basah harus dimulai segera setelah ikan diangkat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu renda dan memeperhatikan faktor kebersihan dan kesehatan. Salah satu hasil perikanan yang terbesar di indonesia adalah udang. Udang merupakan bahan makanan yang bernilai tinggi dan digemari oleh banyak orang, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penilaian tersebut didasarkan atas nilai komersial dan nilai gizinya. Banyak permintaan produk berupa udang segar baik di indonesia maupun diluar negeri maka dari itu harus cara penanganannya harus diperhatikan supaya udang tidak rusak maupun busuk pada saat di kirim, maka dari itu salah satu penanganannya dengan cara pembekuan.

Prinsip dasar dari pembekuan adalah suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada suhu titik beku pangan tersebut. Seiring dengan membekunya sebagian kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es maka ketersediaan air menurun, akibatnya kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan yang pada akhirnya dapat mempertahankan mutu bahan pangan. Pembekuan dapat mempertahankan rasa dan nilai gizi bahan pangan yang lebih baik daripada metode lain, karena pengawetan dengan suhu rendah yaitu pembekuan dapat menghambat aktivitas mikroba, mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan aktivitas enzim yang dapat merusak kandungan gizi bahan pangan. Proses produksi penanganan udang beku yang baik pada salah satu perusahaan pengolahan ikan yaitu yang harus dilakukan adalah mulai dari penerimaan bahan baku, sortasi, perendaman, penimbangan, pencucian, penyusunan, pembekuan, glazing, pengemasan dan pelabelan, cold strage, eksport. Penerimaan bahan baku merupakan proses penerimaan bahan baku dari berbagai daerah atau suplier. Proses penerimaan bahan baku (receiving) merupakan tahap awal dari semua proses dalam pengolahan, dimana bahan baku yang telah diterima

dari supplier baik udang hasil budidaya maupun udang tangkapan lainnya yang langsung dibawa ke perusahaan untuk diolah menjadi produk sesuai permintaan buyer. Udang segar diluar pabrik berada dalam bak Fiberglass atau blogblog plastic yang diberi es kemudian segera dibongkar di ruang penerimaan. Penerimaan bahan baku ini harus dicontrol oleh yang ahli dalam bidang nya yaitu QC. Sortasi yaitu untuk mengelompokkan udang berdasarkan range size yang dibutuhkan atau diinginkan. Sortasi dilakukan dengan tenaga manusia yang meliputi sortasi mutu, ukuran dan warna. hasil sortasi ditampung pada keranjang dan selanjutnya akan ditaruh pada meja-meja karyawan yang berbahan stainless steel yang berjumlah 8 buah untuk dilakukan pemisahan berdasarkan mutu, ukuran dan warna. Proses selanjutnya adalah perendaman yang bertujuan untuk mengembalikan berat udang setelah melalui beberapa proses sebelumnya. Larutan yang digunakan untuk soaking adalah STPP posphat yang berfungsi sebagai food aditif yang bertujuan untuk meningkatkan kekenyalan produk, brisol, garam dan air bersuhu 0-3°C. proses perendaman ini dilakukan di fiber yang berisi air es selama 30 menit – 1 jam. Penimbangan merupakan penimbangan yang dilakukan untuk mengetahui berat, size dan banyaknya udang dalam satu wadah yang berisi produk udang beku. Tujuan penimbangan yaitu, untuk mengetahui berapa banyak udang yang akan jadi produk udang beku yang siap dibekukkan, dalam proses penimbangan ini rantai dingin tetap diperhatikan pada tiap meja penimbangan dilapisi dengan es curai agar udang yang menunggu untuk ditimbang tetap terjaga mutunya, suhu yang digunakan yaitu 2º C. Kemudian setelah proses penimbangan dilakukan pencucian dengan air yang dicampur dengan es dan chlorine 25-35 ppm. Pencucian dengan cara disiram 1 kali setelah itu raw material dicelup kedalam air chlorine yang kapasitasnya 25-35 ppm dan celup kembali raw material kedalam air biasa, supaya udang yang banyak mengandung chlorine dapat tercuci,standar suhu air pencucian yaitu 0-3°C.

Page 2: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

30

Udang yang telah ditimbang kemudian disusun di ruang penyusunan, udang disusun didalam inner pan oleh karyawan/pegawai di bagian penyusunan, penyusunan dilakukan berdasarkan hasil penimbangan agar ukuran udang dalam satu inner pan seragam. Penyusunan dilakukan dengan hati - hati agar tekstur udang tidak rusak. Tahap penyusunan udang dalam pan harus sesuai dengan aturan. Peraturan ini tergantung dari size udang. Udang yang telah disusun ke dalam pan kemudian diberi air es suhu <5°C sampai penuh, kemudian ditutup dengan penutup pan yang dilapisi plastik blok. Pemberian air es ini bertujuan untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan perubahan warna pada udang, jika udang telah disusun diatas plate kemudian CPF ditutup dengan rapat. Lama pembekuan pada CPF yaitu 4 jam dengan suhu -40°C. Udang yang telah dibekukkan selama 4 jam lalu kemudian di proses selanjutnya yaitu proses glazing yaitu untuk mencegah terjadinya oksidasi, dehidrasi dan memperbaiki penampilan karena terbentuk lapisan es tipis yang seragam, Glazing dilakukan dengan cara mencelupkan udang blok ke dalam bak yang berisi air dingin yang berjumlah 1 buah dan semprotan air dari pipa paralon yang diberi lubang. Proses selanjutnya setelah di glazing adalah pengemasan dan pelabelan sebelum produk ini di masukkan dalam cold stroge. Cara pengemasan dan pelabelan ini yaitu dengan terlebih dahulu produk dimasukkan kedalam plastic block yang berwarna bening kemudian dilakukan penggecekan inner carton dengan melihat kode expire, data dan size. Pengemasan ini bertujuan untuk melindungi produk dari resiko kerusakan cacat fisik, mempermudah identifikasi produk, mempermudah distribusi dan juga memperindah penampilan dari pada produk. Pengemasan dan pelabelan selesai dilakukan kemudian produk dimasukkan kedalam cold stroge merupakan penyimpanan terakhir dari produk sebelum

diekspor, dimana produk disimpan dengan menyusun berdasarkan sizenya, hal ini dilakukan agar saat akan dilakukan pengiriman barang petugas yang bertugas tidak akan kesulitan untuk mencari produk yang dimaksud. Selain itu cara penyusunan disini harus diperhatikan karena apabila cara penyusunan tidak sesuai standar maka akan berakibat pada produk yang dibekukan karena dapat merusak kemasan bahkan produk didalamnya tertindih oleh produk lainnya. Tujuan dari penyimpanan udang dalam cold storage yaitu untuk menjaga kondisi udang beku agar selama menunggu proses pemasaran tetap dalam kondisi yang segar dan masih fresh. Ekspor merupakan kegiatan dimana produk yang telah diolah dan selesai dipacking kemudian siap untuk dipasarkan atau di ekspor ke negara tujuan. Suhu dari container yang akan membawa produk tersebut harus memiliki standar suhu yaitu - 18°C, karena produk sampai ke tangan buyer harus dalam keadaan segar sesuai dengan standar permintaan buyer. Cara penanganan yang baik dan tepat akan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dan tidak mudah rusak dan aman untuk dikonsumsi. Penjelasan diatas adalah salah satu cara penanganan yang baik untuk produk udang yang dibekukkan dan tidak mudah rusak udang dalam perjalanan pada saat dikirim ke konsumen. Daftar Pustaka Adawyah , R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan.

Bumi Aksara : Jakarta. Afrianto , E dan Liviawati E. 2003. Pengawetan dan

Pengolahan Ikan. Kanisius: Yogyakarta. Afrianto , E Liviawati E. 2010. Penanganan Ikan Segar.

Widya Padjajaran. Bandung. Arfiati , D. 2006. Diktat Kuliah Ictyollogi. Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang

Page 3: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

31

Artikel Kolom Perbaikan Sifat Tepung Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi Sawut Ubi Kayu dengan Starter Bakteri Asam Laktat Annisa Kusumaningrum* dan Siswo Sumardiono Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang *Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 15 Maret 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 7 April 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Produksi ubi kayu di Indonesia mencapai total produksi sebesar 28.000.000 ton/tahun. Ubi kayu ini sangat besar potensinya untuk dimanfaatkan sebagai tepung ubi kayu termodifikasi. Salah satu metode untuk memodifikasi ubi kayu yaitu dengan proses fermentasi ubikayu menggunakan starter bakteri asam laktat Lactobacillus casei. Pada proses fermentasi sawut ubi kayu, mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan sel ubi kayu dan mendegradasi polimer pati menjadi lebih pendek. Proses degradasi granula pati ini menyebabkan perubahan sifat fisikokimia terutama daya kembang dari tepung ubi kayu yang dihasilkan. Variabel yang mempengaruhi proses fermentasi yaitu konsentrasi starter bakteri asam laktat dan waktu fermentasi sawut ubi kayu. Sifat fisikokimia tepung ubi kayu dengan perlakuan fermentasi dapat mencapai hasil yang lebih baik. Penelitian fermentasi yang telah dilakukan, menyatakan bahwa fermentasi 48 jam dan konsentrasi 6 % v/v menunjukan nilai swelling power, tingkat pengembangan papatan, dan viskositas yang sangat baik. Nilai baking expansion dan hardness juga menunjukkan nilai yang cukup baik. Artikel ini mengulas kesimpulan penelitian yang pernah dilakukan penulis dan peneliti lainnya untuk didapat komparasi hasil-hasil penelitian. Penggunaan kultur bakteri Lactobacillus plantarum pada fermentasi ubi kayu sudah banyak digunakan oleh para peneliti karena bakteri ini dinilai mudah didapat dan mudah beradaptasi. Kultur bakteri jenis lainnya adalah Lactobacillus casei. Penelitian yang dilakukan oleh Zacharof et al. (2012) menunjukan perbedaan growth rate (konstanta kecepatan pertumbuhan) pada media basal antara Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus casei. Konstanta kecepatan pertumbuhan Lactobacillus casei yaitu 0,16/jam sedangkan Lactobacillus plantarum 0,13/jam. Hal ini menunjukan Lactobacillus casei melakukan pembelahan sel per satuan waktu lebih banyak daripada Lactobacillus plantarum. Swelling Power Subagio (2006) pernah melakukan penelitian dan menghasilkan kesimpulan bahwa mikroba yang tumbuh pada singkong selama proses perendaman akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel umbi ubi kayu sehingga terjadi pembebasan granula pati. Enzim amilase ekstraselular kemudian dihasilkan oleh bakteri untuk merombak pati pada ubi kayu menjadi senyawa-senyawa sederhana sebagai energi untuk aktivitas dan pertumbuhan.

Amilase ekstraselular adalah enzim yang mampu mendegradasi amilosa menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu glukosa. Adanya proses pendegradasian tersebut mengakibatkan air yang terikat pada proses rehidrasi semakin banyak. Hal ini menyebabkan granula pati semakin membengkak dan mengembang sehingga swelling power naik.

Selama proses fermentasi, glukosa yang dihasilkan sebagai akibat pendegradasian tersebut diubah menjadi asam organik terutama asam laktat. Bakteri yang tumbuh pada substrat ubi kayu menunjukan bakteri asam laktat bersifat

homofermentatif. Sebanyak 95% glukosa diubah menjadi asam laktat, CO2 dan senyawa volatil (Muttarokah, 1998). Pada waktu perendaman 96 jam, nilai swelling power tepung ubi kayu dapat mengalami penurunan yang diakibatkan kondisi media perendam menjadi sangat asam. Kondisi asam pada pH rendah mengakibatkan pati lebih cepat terhidrolisis pada ikatan α-(1,4) (Fleche, 1985) sehingga meningkatkan gugus amilosa dimana amilosa cenderung larut dalam air.

Oktavian (2010) dan Rahman (2007) menyimpulkan bahwa pembuatan tepung ubi kayu modifikasi dengan metode fermentasi spontan yaitu dengan perendaman selama 72 jam menghasilkan tepung ubi kayu dengan kualitas sesuai dengan standar SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C) 7,71 g/g dan pH 4,33.

Fermentasi dibantu dengan starter bakteri asam laktat Lactobacillus casei dinilai dapat memperbaiki swelling power dan tingkat pengembangan tepung ubi kayu. Kombinasi proses fermentasi dengan penambahan starter Lactobacillus casei memungkinkan proses fermentasi terjadi dalam waktu yang lebih singkat. Proses fermentasi dapat mengakibatkan perubahan pada swelling power. Nilai Swelling power mengalami kenaikan pada waktu fermentasi 12 dan 24 jam yaitu berturut turut 12,62 dan 12,78 g/g, dan mencapai kondisi terbaik yaitu 13,18 g/g pada waktu fermentasi sawut ubi kayu 48 jam. Ini membuktikan bahwa dengan penambahan starter bakteri asam laktat Lactobacillus casei, meningkatkan nilai swelling power tepung ubi kayu dan mempersingkat waktu fermentasi dibanding dengan metode perendaman tanpa bakteri.

Pada awal proses fermentasi, jumlah bakteri Lactobacillus casei dengan konsentrasi 1% v/v mulai mendegradasi pati pada substrat sawut ubi kayu secara optimal sampai waktu fermentasi 48 jam. Swelling power mengalami penurunan pada waktu fermentasi 72

Page 4: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

32

dan 96 jam. Pada waktu fermentasi 72 jam, aktivitas bakteri mengalami penurunan dan mati pada waktu fermentasi 96 jam. Ubi kayu yang terfermentasi pada waktu cukup lama menyebabkan air perendam mencapai keadaan asam yang disebabkan oleh aktivitas bakteri pada saat fermentasi. Keadaan yang sangat asam ini menyebabkan meningkatnya degradasi amilosa dan menurunkan nilai swelling power (Demiate et al., 1999). Enzim yang dihasilkan bakteri mempunyai aktivitas yang optimal pada kondisi konsentrasi starter 6% v/v dan waktu fermentasi 48 jam sehingga swelling power dapat mencapai kondisi terbaik yaitu 14,13. Pada konsentrasi starter 7, 8, 9 dan 10 % v/v nilai swelling power menurun yang diakibatkan penambahan starter diatas 6% v/v sudah tidak efektif lagi untuk mendegradasi sawut ubi kayu dalam jumlah tersebut. Pada konsentrasi 7, 8, 9, 10% v/v nilai pH air perendam akhir konstan pada pH 4,3. Selama proses fermentasi glukosa yang dihasilkan dari pendegradasian pati, diubah menjadi asam organik terutama asam laktat sehingga pH menjadi rendah akibat aktivitas asam. Tingkat Pengembangan Tepung Ubi kayu Karakteristik tingkat pengembangan tepung ubi kayu digunakan sebagai bahan pembuat snack pilus. Kerenyahan produk berkaitan dengan tingkat pengembangan produk tersebut (Rahman, 2007). Tingkat pengembangan produk diukur dengan membandingkan volume setelah digoreng dengan volume adonan sebelum digoreng.

Pada waktu yang sama terjadi perbedaan tingkat pengembangan adonan antara metode perendaman dengan metode fermentasi menggunakan starter. Pada proses fermentasi menggunakan starter selama 48 jam nilai tingkat pengembangannya yaitu 224,319%, lebih besar dari metode perendaman 48 jam yang menunjukan nilai tingkat pengembangan 208,589%. Hal ini disebabkan pada awal fermentasi, bakteri pada starter sudah memulai aktivitasnya dalam menghasilkan enzim untuk mendegradasi pati ubi kayu. Selama proses fermentasi glukosa yang dihasilkan dari pendegradasian pati, diubah menjadi asam organik terutama asam laktat. Aktivitas enzim dan asam tertinggi pada metode fermentasi menggunakan 1% v/v starter bakteri Lactobacillus casei pada waktu fermentasi 48 jam sedangkan metode perendaman yaitu 72 jam.

Pada pembuatan adonan, tepung ubi kayu dicampur dengan air 60°C agar adonan matang. Tingkat kematangan adonan pati mempengaruhi pengembangan pada hasil akhir dan akibatnya akan mempengaruhi kerenyahan (Hariyadi, 1989). Pengembangan volume adonan terjadi pada proses penggorengan. Pengembangan ini dapat terjadi karena terbentuknya rongga-rongga udara pada adonan yang digoreng sehingga menyebabkan air yang terikat dalam adonan menguap (Nurhayati, 1994). Enzim mendegradasi secara optimal ikatan polimer pati menjadi lebih pendek sehingga air yang terikat pada waktu pembuatan adonan lebih banyak. Jumlah air

yang terikat dalam bahan pangan akan menentukan banyaknya letusan yang menguap selama penggorengan. Tingkat pengembangan yang menurun disebabkan oleh asam yang terbentuk menghidrolisis bagian amilosa pati sehingga meningkatkan degradasi amilosa menjadi oligosakarida sederhana. Selama pemanasan (penggorengan) terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa (Mulyandari, 1992). Asam amino yang terkandung di dalam minyak goreng bereaksi dengan komponen gula sederhana yang terkandung dalam bahan adonan sehingga setelah proses penggorengan, minyak goreng mengalami warna pencoklatan.

Proses fermentasi 48 jam menggunakan 1% v/v starter bakteri Lactobacillus casei menghasilkan tingkat pengembangan terbaik pada snack pilus. Proses fermentasi 48 jam kemudian divariasi konsentrasi starternya dari range 1 – 10 % v/v dan diharapkan bakteri dapat mendegradasi pati pada ubi kayu secara optimal. Hasil dari percobaan ini adalah tingkat pengembangan terbaik sebesar 596,399% yaitu pada variasi konsentrasi starter 6% v/v. Hal ini menunjukan pada konsentrasi starter 6 % v/v, enzim dan asam yang dihasilkan oleh bakteri mendegradasi pati ubi kayu secara sempurna. Nilai pH air perendam akhir yang terlalu asam pada konsentrasi starter 7, 8, 9, 10 % v/v menyebabkan tingkat pengembangan turun.

Tingkat pengembangan sebesar 596,399% pada tepung ubi kayu dengan metode fermentasi menggunakan 6% v/v starter bakteri Lactobacillus casei ini mendekati standar tingkat pengembangan produk snack pilus yang dilaporkan oleh Rahman (2007) yaitu 596,93%. Hasil Analisis Tepung Ubi kayu Variabel Terbaik

Dari hasil percobaan didapat yang pernah dilakukan, kondisi yang terbaik dari fermentasi sawut ubi kayu menggunakan starter bakteri asam laktat Lactobacillus casei yaitu pada kondisi operasi, waktu fermentasi 48 jam dan konsentrasi starter 6 % v/v. Selanjutnya tepung ubi kayu diuji lanjut yang meliputi baking expansion dan hardness pada produk roti muffin, kelarutan dan viskositas spesifik.

Komposisi tepung ubi kayu 25 % dan tepung gandum 75 % memberikan nilai baking expansion yaitu 2,28 cm3/g mendekati nilai baking expansion tepung gandum dengan komposisi 100% yaitu sebesar 2,64 cm3/g. Baking expansion merupakan perbandingan spesifik volume dengan berat roti dimana spesifik volume dari roti diukur melalui perluasan karakteristik dari ubi kayu yang dimodifikasi (Phimphilia et al., 2005).

Tepung ubi kayu yang pada prosesnya menggunakan fermentasi dengan menggunakan starter bakteri asam laktat Lactobacillus casei memiliki sifat yang lebih baik dibanding tepung ubi kayu dengan cara proses perendaman biasa selama 72 jam. Kelarutan tepung ubi kayu terfermentasi 6% Lactobacillus casei yang lebih tinggi dibanding tepung ubi kayu dengan perlakuan perendaman 72 jam menunjukan kemudahannya untuk dicerna dalam sistem

Page 5: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

33

pencernaan tubuh manusia dan keragaman pemanfaatannya sebagai bahan pangan (Retnowati et al., 2010).

Daftar Pustaka Akesowan, A. 2002. Viscosity and Gel Formation of a

Konjac Flour From Amorphophallus oncophyllus. Faculty of Science , University of the Thai Chamber of Commerce, Bangkok, Thailand.

Demiate, N.D., J.P. Huvenneb, M.P. Ceredac dan G. Wosiacki. 1999. Relationship Between Baking Behaviour of modified cassava starches and starch chemical structure determined by FTIR spectroscopy. Carbohydrate Polymer, 148 – 149.

Fleche, G. 1985. Chemical modification and degradation of starch. Di dalam : G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hariyadi, P. 1989. Mempelajari kinetika gelatinisasi pati sagu. Karya ilmiah. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kainuma K, odat T, Cuzuki S. 1967. Study of Starch Phosphates Monoester. Journal of Technology, Starch 14: 24-28.

Kanoni. 1999. Hand Out Pengetahuan Bahan (Viskositas). TPHP Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Mulyandari, S.H. 1992. Kajian perbandingan sifat-sifat pati umbi-umbian dan pati biji-bijian. Skripsi. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Nurhayati T. 1994. Pengaruh asam dan bleaching terhadap mutu tepung ikan (fish flour). Skripsi. Bogor. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Oktavian, P. 2010. Perubahan Karakteristik Fisiko Kimia Mocal (Modified Cassava Flour) selama Fermentasi (Kajian Lama Proses Fermentasi). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Phimphilai, S., Oratai C., Kajondaj P. dan Klanarong S. 2005. Effects of Ultraviolet Radiation and Temperature on Characteristic of Modified Cassava Starch. Department of Food Technology. Faculty of Engineering and Agroindustry. Maejo University. Thailand.

Retnowati, D.S., Andre C.K dan Sri B. 2010. Modifikasi Pati Ketela Pohon Secara Kimia denagn Oleoresin dari Minyak Jahe. Jurnal Rekayasa Proses, 4 (1) : 1-6.

Rahman, A.M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan Mocal (Modified Cassava Flour) sebagai Penyalut Kacang Pada produk Kacang salut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Subagio, A. 2006. Ubi Kayu : Subtitusi Berbagai Tepung-Tepungan. Food Review, 18-22.

Zacharof, M.P., R.W Lovitt dan K. Ratanapongleka. 2012. Optimization of Growth Conditions for Intensive Propagation, grow development and Lactic acid Production of Selected Strains of Lactobacillus. Multidisciplinary Nanotechnology Center, Swansea University, United Kingdom.

Page 6: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

34

Artikel Penelitian Subtitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ubi banggai (Dioscorea alata) dalam Pembuatan Mie Substitution Ubi Banggai Flour in the Production of Noodle Ramadhani Chaniago Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Luwuk, Sulawesi Tengah. Korespondensi dengan penulis ([email protected]). Artikel ini dikirim pada tanggal 25 Februari 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 2 April 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016. Abstrak

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu dan menurunkan harga jual produk, penggunaan terigu dapat dikurangi dengan penggunaan bahan-bahan lain. Penggunaan ubi banggai diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap terigu dan sekaligus memberdayakan potensi sumber daya lokal. Dioscorea berpotensi sebagai sumber pangan karena mengandung zat makanan yang cukup tinggi, atas dasar itulah sehingga dilakukan penelitian tentang subtitusi tepung terigu dengan tepung ubi banggai dalam pembuatan mie. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi subtitusi tepung terigu dengan ubi banggai dalam pembuatan mie. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Agroindustri Universitas Tadulako Palu. Penelitian ini menggunakan perbandingan tepung ubi banggai (TUB) dengan tepung terigu (TT) yang berbeda, yaitu : M0 = 100 % TUB; M1 = 75 % TUB + 25 % TT; M2 = 50 % TUB + 50 % TT; M3 = 25 % TUB + 75 % TT. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa warna mie ubi banggai yang disukai adalah perlakuan M0; dan tingkat kesukaan mie ubi banggai yang disukai adalah perlakuan M1; mie ubi banggai yang paling lunak adalah perlakuan M3. Kata kunci : tepung ubi banggai, tepung terigu, mie.

Abstract To reduce dependence on wheat and lower selling prices, the use of wheat can be reduced with the use of other materials. The use of potatoes Banggai expected to reduce dependence on wheat and simultaneously empower the potential of local resources. Dioscorea potential as a source of food because it contains high nutrients, therefore the substitution of wheat flour with cassava flour in the Banggai noodle-making was made. This study aimed to get formulations substitution of wheat flour with yam noodles Banggai in the making. This research was conducted at the Laboratory of Agro-Industry University Tadulako Palu. This study used Banggai flour (TUB) and wheat flour (TT): M0 = 100% TUB; M1 = 75% TUB + 25% TT; M2 = 50% TUB + 50% TT; M3 = 25% TUB + 75% TT. This study concluded: noodle color M0 was the preferred treatment (100% TUB); and the level of preference M1 was the preferred treatment; the most soft was M3 (25% TUB 75% TT). Keywords: Banggai Cassava Flour, Wheat Flour, Noodle Pendahuluan

Dalam mendukung program pemerintah tentang pemanfaatan sumber daya lokal terutama sumber-sumber bahan pangan, perlu dilakukan upaya-upaya pengembangan ataupun budidaya serta pengolahan pasca panen tanaman pangan lokal. Beberapa bahan pangan nonberas yang telah banyak dibudidayakan, namun pengolahan pasca panennya masih sederhana cara pengolahannya dan kurang variasi bentuk olahannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui pengembangan sumber daya pangan lokal menjadi bentuk makanan olahan seperti mie yang popular, proses pengolahannya mudah, dapat diterima oleh masyarakat luas dan mampu sejajar dengan beras baik dari segi nilai ekonomi, kandungan gizi maupun tingkat gengsinya.

Kepopuleran mie merupakan peluang yang sangat besar bila dikelola dengan baik. Masalah dalam industri mie saat ini adalah bahan baku utamanya yaitu terigu yang hingga saat ini masih impor. Untuk

mengurangi ketergantungan terhadap terigu dan menurunkan harga jual produk, penggunaan terigu dapat dikurangi dengan penggunaan bahan-bahan lain (Made, 1999). Penggunaan ubi banggai diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan terigu dan sekaligus memberdayakan potensi sumber daya lokal.

Dioscorea alata (ubi banggai) merupakan salah satu marga dari suku Dioscoreaceae yang banyak jenisnya. Dioscorea berpotensi sebagai sumber pangan karena mengandung zat makanan yang cukup tinggi. Kandungan zat-zat makanan dalam Dioscorea yaitu karbohidrat (15-25%), lemak (0,05-0,20%), dan protein (1-2,5%), atas dasar itulah sehingga dilakukan penelitian tentang subtitusi tepung terigu dengan tepung ubi banggai dalam pembuatan mie. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi subtitusi tepung terigu dengan ubi banggai dalam pembuatan mie.

Page 7: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

35

Materi dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober –

Desember 2014, di Laboratorium Agroindustri Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung ubi banggai, tepung terigu, air, garam, natrium benzoat. Sedangkat alat yang digunakan yaitu pisau, talenan, penggiling kering, ayakan 80 mesh, timbangan analitik, sendok plastik, baskom, talang, belanga, kompor, alat pencetak mie, sendok penyaring dan penetrometer. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pertama pengolahan ubi banggai ungu menjadi tepung yaitu ubi banggai diiris tipis-tipis, kemudian dijemur dengan sinar matahari selama 2-3 hari atau sampai kering setelah itu dihaluskan dengan menggunakan blender kering dan diayak dengan ayakan 80 mesh sehingga menghasilkan tepung yang halus. Dan pada tahap kedua mengkombinasikan tepung ubi banggai ungu dengan tepung terigu menjadi mie yaitu mencampurkan bahan-bahan sesuai perlakuan sehingga menjadi adonan yang kalis kemudian dilakukan pengukusan selama 2 menit selanjutnya adonan dibentuk dengan menggunakan roll pres. Lembaran adonan yang tipis dimasukkan kedalam alat pembentuk mie kemudian dilakukan blanching selama 15 detik dan ditiriskan kemudian diberi sedikit minyak goreng agar tidak lengket sambil diaduk-aduk merata dan didinginkan. Uji Organoletik Warna

Penentuan uji organoleptik warna dilakukan dengan skala hedonic (Soekarto, 1985). Caranya sampel diuji secara acak dengan memberikan kode pada bahan yang akan di uji pada 20 panelis. Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria : coklat muda, agak coklat muda, dan putih masing-masing berskala 3, 2, 1.

Uji Organoletik Rasa

Penentuan uji organoleptik rasa dilakukan dengan skala hedonic (Soekarto, 1985). Caranya sampel diuji secara acak dengan memberikan kode pada bahan yang akan di uji pada 20 panelis. Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria: suka, agak suka, dan tidak suka masing-masing mempunyai skala 3, 2, 1. Uji Organoletik Tingkat Kekerasan/ Tekstur

Penentuan uji organoleptik tingkat kekerasan/tekstur dilakukan dengan skala hedonic (Soekarto, 1985). Caranya sampel diuji secara acak dengan memberikan kode pada bahan yang akan di uji pada 20 panelis. Penilaian kenyal, agak kenyal, dan keras masing-masing mempunyai skala 3, 2, 1. Analisis Data

Rancangan penelitian ini menggunakan pola factorial Rancangan Acak Lengkap (RAL) searah. Percobaan terdiri dari satu 4 macam perlakuan, masing-masing perlakuan diulangan sebanyak 3 kali, maka ada 12 unit perlakuan. Dalam penelitian ini

menggunakan perbandingan tepung ubi banggai (TUB) dengan tepung terigu (TT) yang berbeda, yaitu : M0 = 100 % TUB M1 = 75 % TUB + 25 % TT M2 = 50 % TUB + 50 % TT M3 = 25 % TUB + 75 % TT

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sidik ragam, dan apabila perlakuan berbeda nyata diuji dengan BNJ 5 % yang berguna untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Variabel pengamatan dalam penelitian ini adalah uji organoleptik (warna, rasa/tingkat kesukaan), Tingkat kekerasan mie (elastisitas, tidak mudah putus).

Hasil dan Pembahasan Warna Mie

Hasil penilaian panelis menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi untuk warna mie dicapai oleh M0 yaitu 2,7 (coklat muda) diikuti oleh perlakuan M1 yaitu 2,50 (agak coklat muda) dan perlakuan M2 yaitu 1,90 (agak coklat muda) sedangkan penilaian yang paling terendah dicapai oleh perlakuan M3 dengan nilai rata-rata yaitu 1,45 (putih). Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan yang positif berarti mie ubi banggai hasil perlakuan M0 tersebut sangat berpeluang diterima oleh masyarakat atau konsumen (Tabel 1).

Hubungan antara perbandingan tepung ubi banggai dengan tepung terigu terhadap warna mie, semakin banyak tepung ubi banggai dan semakin sedikit tepung terigu maka warna mie akan semakin coklat. Hal ini dikarenakan warna mie yang ditambahkan tepung ubi banggai warna ungu yang lebih banyak akan terlihat lebih coklat daripada warna mie yang ditambahkan tepung terigu yang lebih banyak. Hal ini juga dikarenakan warna dari tepung ubi banggai yang coklat sehingga meningkatkan nilai warna dari mie yang menggunakan tepung ubi banggai daripada tanpa menggunakan tepung ubi banggai dan dengan penambahan tepung terigu yang lebih banyak. Pengunaan tepung ubi banggai juga dapat mengurangi atau bahkan menghindari pemakaian zat pewarna makanan yang dapat membahayakan kesehatan.

Menurut Winarno (1992) bahwa uji warna lebih banyak melibatkan indra penglihatan dan merupakan salah satu indikator juga untuk menentukan apakah suatu bahan pangan diterima atau tidak oleh masyarakat atau konsumen, karena makanan yang berkualitas (rasanya enak, bergizi, dan bertekstur baik) belum tentu akan disukai oleh konsumen bilamana bahan pangan tersebut memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau menyimpang dari warna aslinya.

Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor diantaranya adalah citarasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya. Warna dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan pada suatu bahan makanan (Winarno, 2002). Warna dalam makanan sangat penting karena berpengaruh terhadap kenampakan sehingga meningkatkan daya tarik dan memberi informasi yang lebih kepada konsumen tentang karakteristik makanan. Warna makanan sangat penting

Page 8: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

36

karena berpengaruh terhadap kenampakan sehingga meningkatkan daya tarik dan memberikan informasi kepada konsumen tentang karakteristik makanan (Ubaedillah, 2008).

Uji Kesukaan

Hasil penilaian panelis menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi untuk uji kesukaan mie dicapai oleh perlakuan M1 2,90 (suka) diikuti oleh perlakuan M0 yaitu 2,85 (suka) dan perlakuan M2 yaitu 2,65 (suka) sedangkan penilaian yang paling terendah dicapai oleh perlakuan M3 dengan nilai rata-rata yaitu 2,10 (agak suka) sebagaimana tampak pada Tabel 2. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan yang positif terhadap perlakuan tersebut. Berarti mie hasil perlakuan tersebut berpeluang diterima oleh masyakarakat atau konsumen.

Tabel 1. Nilai rata-rata warna mie ubi banggai

Perlakuan Nilai Warna M0 M1 M2 M3

3,70 a 3,50 a 2,90 ab 2,45 a

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5 %. Tabel 2. Hasil uji tingkat kesukaan mie ubi banggai

Perlakuan M0 M1 M2 M3

Rata-rata 2,7 2,5 1,9 1,45 Tabel 3. Rata-rata tingkat kekerasan mie ubi banggai

Perlakuan Kekerasan M0 M1 M2 M3

2,76 ab 2,66 b 5,12 ab 5,82 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5 %.

Hubungan antara perbandingan tepung ubi

banggai dengan tepung terigu terhadap rasa mie, semakin banyak tepung ubi banggai dan semakin sedikit tepung terigu maka rasa mie semakin disukai oleh panelis. Hal ini dikarenakan terjadinya kombinasi yang baik antara tepung ubi banggai yang lebih banyak (75%) dengan tepung ubi banggai yang lebih sedikit (25%) sehingga menimbulkan rasa yang unik dan disukai oleh panelis.

Uji kesukaan lebih banyak melibatkan indra lidah yang dapat diketahui melalui kelarutan bahan makanan tersebut dalam saliva dan kontak dengan syaraf perasa. Peramuan rasa merupakan suatu sugesti kejiwaan seseorang terhadap makanan serta menentukan nilai kepuasan orang yang memakannya. Rasa merupakan tanggapan atas adanya rangsangan yang sampai di indera pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasar yaitu manis, asam, asin, dan pahit. Pada konsumsi tinggi indera pengecap akan mudah mengenal rasa-rasa dasar tersebut. Beberapa komponen yang berperan dalam penentuan rasa

makanan adalah aroma makanan, bumbu makanan dan bahan makanan, keempukan atau kekenyalan makanan, kerenyahan makanan, tingkat kematangan dan temperatur makanan (Meilgaard, 2000).

Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Dalam menilai rasa lebih banyak menggunakan alat indra perasa. Pengindraan rasa dibagi menjadi 4 faktor yaitu asin, asam, manis dan pahit (Winarno, 1997). Rasa adalah perasaan yang dihasilkan oleh barang yang dimasukkan ke mulut, dirasakan terutama oleh indera rasa dan bau serta suhu dan mulut. Bau dan rasa menyatakan juga keseluruhan dari ciri bahan dasar yang sesungguhnya yaitu manis, asin, asem, dan pahit (Kartika, 1998). Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain.

Uji Kekerasan Mie

Penentuan tingkat kelunakan dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer. Parameter yang diukur adalah kedalaman penusukan jarum terhadap mie ubi banggai (mm/g/s). Semakin dalam tusukan atau semakin besar nilai kelunakan mie maka mie tersebut semakin lunak (Yustisia, 2013).

Hasil rata-rata terhadap uji kekerasan mie secara organoleptik sebagai hasil penilaian penetrometer (Tabel 3) menunjukkan bahwa nilai rata-rata tertinggi dicapai oleh perlakuan M3 dengan nilai 5,82 mm kedalaman tusukan/beban 100 gram/detik. Diikuti perlakuan M2 dengan nilai 5,12 mm kedalaman tusukan/beban 100 gram/detik dan perlakuan M0 dengan nilai 2,76 mm kedalaman tusukan/beban 100 gram/detik sedangkan nilai rata-rata yang terendah dicapai oleh perlakuan M1 dengan nilai 2,66 mm kedalaman tusukan/beban 100 gram/detik. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan M3 berbeda dengan perlakuan dengan M0 dan M1, tetapi tidak berbeda pada perlakuan M2.

Hubungan antara perbandingan tepung ubi banggai dengan tepung terigu terhadap tingkat kekerasan/tekstur mie. Dari hasil penilaian alat penetrometer bahwa nilai tekstur semakin rendah dengan semakin berkurangnya tepung terigu dan semakin meningkatnya jumlah tepung ubi banggai. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari perbandingan campuran adonan yang digunakan. Dimana tepung terigu memiliki glutein yang tinggi yang dapat meningkatkan tekstur atau kekenyalan mie sedangkan tepung ubi banggai memiliki glutein yang rendah yang dapat menurunkan tekstur atau kekenyalan mie. Sehinga dengan semakin sedikt penggunaan tepung terigu dan semakin tinggi penggunaan tepung ubi banggai akan menurunkan tekstur atau kekenyalan mie yang dihasilkan.

Tingkat kelunakkan yang tertinggi adalah perlakuan M3 berbahan baku terigu, sedangkan dari kelompok perlakuan saja tingkat kelunakkan tertinggi adalah kelompok perlakuan M3. Tingkat kelunakkan mie basah bebas gluten dipengaruhi oleh jenis tepung yang digunakan, setiap tepung mempunyai karakteristik

Page 9: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

37

yang berbeda seperti pada bentuk granula, kadar amilosa dan amilopektin serta suhu gelasi yang membedakan kemampuan gelasi satu tepung dengan tepung yang lain. Tepung terigu memiliki granula berbentuk oval yang berukuran 2-35 mikron, kadar amilosa 25%, amilopektin 75% dan suhu gelasi 52-64°C.

Kesimpulan

Warna mie ubi banggai yang disukai adalah perlakuan M0 (100% tepung ubi banggai); tingkat kesukaan mie ubi banggai yang disukai adalah perlakuan M1 (75% tepung ubi banggai 25% tepung terigu); mie ubi banggai yang paling lunak adalah perlakuan M3 (25% tepung ubi banggai 75% tepung terigu).

Daftar Pustaka Astawan Made. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Penebar

Swadaya. Jakarta. Kartika, dkk. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan

Pangan. Yogyakarta: UGM.

Meilgaard, dkk. 2000. Sensory Evaluation Techniques. Boston: CRC.

Soekarto, T.S. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bharata Karya Aksara, Jakarta.

Ubaedillah. 2008. Kajian Rumput Laut Eucheuma cotonii sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

-------------------. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

-------------------. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yustisia, Risti. 2013. Pengaruh Penambahan Telur Terhadap Kadar Protein, Serat, Tingkat Kekenyalan Dan Penerimaan Mi Basah Bebas Gluten Berbahan Baku Tepung Komposit. Artikel Penelitian. Program studi S1 Ilmu Gizi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Page 10: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

38

Artikel Penelitian Kajian Mutu Karaginan Rumput Laut Eucheuma cottonii Berdasarkan Sifat Fisiko-Kimia pada Tingkat Konsentrasi Kalium Hidroksida (KOH) yang Berbeda Study of Seaweed (Eucheuma cottonii) Carrageenan Quality based on Physicochemical Properties by Extraction using Different Potassium Hydroxide (KOH) La Ega, Cynthia Gracia Cristina Lopulalan dan Firat Meiyasa*

Program studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

*Korespondensi dengan penulis ([email protected]). Artikel ini dikirim pada tanggal 21 Maret 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 10 April 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016. Abstrak

Getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah), lazim dinamakan dengan Karaginan yang telah banyak digunakan dalam industri pangan sebagai pengental, pengemulsi, pensuspensi, dan faktor penstabil. Larutan alkali seperti KOH mempunyai dua fungsi, yaitu membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhidro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan mutu karaginan. Tujuan dari penelitian ini, untuk mengevaluasi pengaruh konsentrasi KOH dengan mengatur suhu konstan 90oC, pH 8-9, dan waktu ekstraksi 0,5 jam (30 menit) terhadap mutu karaginan berdasarkan sifat fisiko-kimia. Penelitian ini menggunakan berbagai konsentrasi KOH (2%, 4%, 6%, 8%, 10%, 12%). Karaginan terbaik yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah perlakuan dengan konsentrasi KOH 12%. Karakteristik fisiko-kimia yang dihasilkan dari karaginan terbaik yaitu kekuatan gel 449,51 dyne/cm2, viskositas 50,47 cP, titik jendal 35,88oC dan titik leleh 25,56oC, rendemen 45,26%, kadar air 9,23%, kadar abu 33,68%, kadar lemak 0,37%, kadar protein 0,80%, kadar serat kasar 4,12% dan kadar karbohidrat 51,81%. Kata Kunci: Rumput Laut Eucheuma cottonii, Kalium Hidroksida, Karaginan Abstract

Seaweed sap which is extracted with water or alkaline solution from certain species of Rhodophyceae class (red algae), commonly named by carrageenan which has been widely used in food industry as thickeners, emulsifiers, suspending agent, and stabilizer. Alkaline solution such as KOH has two functions, which are making the extraction of polysaccharides more perfect and accelerate the elimination of 6-sulfate of monomer units from 3.6-anhidro-D-galactose to improve the quality of carrageenan. The purpose of this study is to evaluate the effect of KOH concentration with constant temperature of 90°C, pH 8-9, and the extraction time 0.5 hour (30 min) on the quality of carrageenan based on the physicochemical properties. This study used various concentrations of KOH (2%, 4%, 6%, 8%, 10%, 12%). The best carrageenan was produced by 12% KOH extraction. Physicochemical characteristics of the best carrageenan were found to be 449.51 dyne/cm2 of gel strength, 50.47 cP of viscosity, 35.88oC of gelling point, melting point was 25.56oC. The yield was 45.26%, moisture content was 9.23%, ash content was 33.68%, fat content was 0.37%, protein content was 0.80%, crude fiber content was 4.12% and carbohydrate content was 51.81%. Keywords: Seaweed Eucheuma cottonii, Potassium Hydroxide, carrageenan Pendahuluan

Indonesia memiliki laut yang pantainya kaya akan berbagai sumber hayati dan lingkungannya potensial. Keadaan tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan disektor perikanan. Dewasa ini usaha – usaha pengolahan sumber daya alam dalam hal ini rumput laut telah menunjukkan berbagai kemajuan yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia (Aslan, 1998). Rumput laut (sea weed) menempati posisi penting dalam produksi perikanan Indonesia, khususnya usaha perikanan non ikan. Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan dalam sektor perikanan karena permintaan yang terus

meningkat, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor (Kordi, 2010).

Di pasar Internasional rumput laut yang berasal dari Indonesia masih dihargai rendah, hal tersebut disebabkan karena mutunya rendah yaitu kadar air dan kotoran (pasir, garam dan campuran jenis rumput lain). Selain itu, dari produktivitas rendemen hasil olahan masih rendah dan kekuatan gel karaginan yang dihasilkan masih belum memenuhi standar mutu. Disamping masalah mutu rendah dan persaingan dengan negara pengekspor lain juga adanya monopoli perdagangan dunia untuk komoditas ini, sehingga menyebabkan harga rumput laut sering tidak menentu yang berakibat merugikan petani (Aslan, 1998).

Page 11: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

39

Sebagian besar rumput laut di Indonesia diekspor dalam bentuk kering (Suwandi, 1992). Bila ditinjau dari segi ekonomi, harga hasil olahan rumput laut seperti karaginan jauh lebih tinggi daripada rumput laut kering. Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai tambah dari rumput laut dan mengurangi impor akan hasil-hasil olahannya, maka pengolahan rumput laut menjadi karaginan di dalam negeri perlu dikembangkan (Istini dan Zatnika, 1991).

Propinsi Maluku merupakan salah satu sentral produksi rumput laut (Wenno et al., 2012), dan hampir seluruh masyarakat Maluku Tenggara Barat membudidayakan rumput laut tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani rumput laut Desa Ritabel bahwa produksi rumput laut kering perminggu bisa mencapai 8-12 ton yang merupakan pendapatan masyarakat setempat. Namun masalah yang dihadapi oleh para petani rumput laut, hanya dapat memproduksi rumput laut kering yang harganya relatif rendah yaitu 6000-7000 rupiah per kilogram rumput laut kering.

Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah). Karaginan berfungsi untuk pengental, pengemulsi, pensuspensi, dan faktor penstabil. Karaginan juga dipakai dalam industri pangan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, bir, sosis, salad, es krim, susu kental, coklat, jeli. Industri farmasi memakai karaginan untuk pembuatan obat, sirup, tablet, pasta gigi, sampo dan sebagainya. Industri kosmetika menggunakannya sebagai gelling agent (pembentuk gel) atau binding agent (pengikat). Sedangkan industri non pangan seperti tekstil, kertas, cat air, transportasi minyak mentah, penyegar udara, pelapisan keramik, kertas printer atau mesin pencetak serta karpet dan sebagainya (Winarno, 1996). Usaha peningkatan pemanfaatan rumput laut merah Eucheuma cottonii menjadi tepung karaginan perlu dilakukan agar dapat digunakan untuk berbagai proses industri yang selama ini hanya dijual kering tanpa pengolahan, yaitu sebatas pembuatan permen dan dodol (Winarno, 1996).

Ekstraksi karaginan dilakukan dengan menggunakan air panas atau larutan alkali panas (Food Chemical Codex, 1981). Suasana alkalis dapat diperoleh dengan menambahkan larutan basa misalnya larutan NaOH, Ca(OH)2, atau KOH. Penggunaan alkali mempunyai dua fungsi, yaitu membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhidro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel dan reaktivitas produk terhadap protein (Towle dalam Peranginangin dan Yunizal, 2000). Dari beberapa larutan alkali yang digunakan untuk mengekstrak rumput laut maka digunakan kalium hidroksida (KOH), ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zulfriady dan Sudjatmiko, (1995) berpengaruh terhadap kenaikan rendemen dan mutu karaginan yang dihasilkan.

Selain itu, berdasarkan penelitian Tambunan dalam Peranginan dan Yunisal (2002) bahwa pada pH

8-9 menghasilkan viskositas 34-36 cP, suhu ekstraksi pada 90oC dapat menghasilkan rendemen karaginan yang lebih tinggi. Sudarto dalam Peranginan dan Yunisal (2002) melaporkan bahwa semakin lama waktu ekstraksi maka kekuatan gel akan menurun. Tambunan dalam Peranginan dan Yunisal (2002) juga melaporkan bahwa waktu ekstraksi 0,5 jam akan menghasilkan rendemen karaginan tertinggi yaitu 68,29%. Tujuan dari penelitian ini, untuk mengevaluasi pengaruh konsentrasi KOH dengan mengatur suhu konstan 90oC, pH 8-9, dan waktu ekstraksi 0,5 jam (30 menit) terhadap mutu karaginan berdasarkan sifat fisiko-kimia. Materi dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian dan untuk analisis dilakukan di Laboratorium THP-Faperta Universitas Pattimura, Laboratorium Kimia Dasar FMIPA Universitas Pattimura dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.

Bahan baku utama adalah rumput laut kering jenis Eucheuma cottonii yang dipanen dari Desa Ritabel-Kecamatan Tanimbar Utara-Kabupaten Maluku Tenggara Barat (umur 30-40 hari), Bahan yang digunakan untuk ekstraksi karaginan adalah KOH, Isopropil untuk pengendapan karagianan.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah gunting, baskom, shacker water bath, ayakan halus (80 mesh), erlenmeyer 1000 ml, gelas piala 100 ml, 500, 1000 ml, termometer, pH meter, spatula, cawan petri, penjepit cawan, cawan porselin, labu soxhlet, labu dekstruksi, kertas lakmus, alat destilasi, tabung reaksi, hot plate, magnetic stirrer, penangas air, oven, cawan kondensor, kertas saring, timbangan kasar, timbangan analitik, batang pengaduk, desikator, sarung tangan, kain lap, buku, pena, kertas label.

Metode Penelitian

Rumput laut yang dipanen kemudian dijemur di atas rak-rak selama 3 hari. Setelah itu, dicuci kembali untuk mengurangi kadar garam agar lebih bersih kemudian rumput laut dijemur kembali hingga kering. Rumput laut Eucheuma cottonii kering ditimbang masing-masing 20 gram. Selanjutnya dicuci untuk menghilangkan kadar garam dan kotoran lainnya. Setelah itu diekstrak pada suhu 90-95oC menggunakan larutan KOH dengan konsentrasi sesuai perlakuan (2%, 4%, 6%, 8%, 10%, 12%) selama 30 menit dengan perbandingan pelarut dan bahan baku 40 ml : 1 gr hingga pH larutan mencapai 8-9. Hasil filtrasi diendapkan dengan konsentrasi isopropil 100 ml dan diaduk-aduk kemudian dibiarkan selama 15 menit. Hasil endapan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50-60oC selama 3 hari. Setelah itu, digiling dan diayak dengan saringan berukuran 80 mesh. Selanjutnya tepung karaginan dibungkus dalam kemasan plastik. Prosedur Analisis Karaginan

Karaginan yang dihasilkan kemudian dianalisis: sifat kimia: kadar air (AOAC, 1995), kadar abu (AOAC,

Page 12: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

40

1995), kadar lemak (AOAC, 1995), kadar serat kasar (AOAC, 1995), kadar protein (AOAC, 1995), dan kadar karbohidrat by difference (Apriyantono et al., 1989): Analisis sifat fisik: viskositas (FMC, 1977), Kekuatan gel (FMC, 1997), rendemen (AOAC, 1995). Analisis data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari satu faktor yaitu konsentrasi KOH (A) dengan enam taraf perlakuan sebagai berikut: A1 (KOH 2%), A2 (KOH 4%), A3 (KOH 6%), A4 (KOH 8%), A5 (KOH 10%), A6 (KOH 12%). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali, sehingga banyaknya satuan percobaan adalah 18 satuan percobaan. Data dianalisis menggunakan ANOVA. Jika terdapat perbedaan nyata akan diuji lanjut dengan uji duncan (Steel and Torrie, 1993). Analisis data dilakukan dengn menggunakan perangkat lunak SPSS versi 22 dan menggunakan taraf nyata α = 5%. Hasil dan Pembahasan

Rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang digunakan pada penelitian ini dibudidayakan di perairan Tanimbar, Kecamatan Tanimbar Utara Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Karaginan menurut FAO dalam Murdinah (2009) adalah istilah umum untuk senyawa hidrokoloid yang diperoleh melalui proses ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air. Karaginan sangat penting peranannya sebagai stabilizer (penstabil), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, pengemulsi dan lain – lain. Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat – obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno, 1996). Di Indonesia belum ada standar mutu karaginan namun secara Internasional telah ditetapkan spesifikasi mutu karaginan sebagai syarat minimum yang diperlukan bagi industri pengolahan meliputi kualitas dan kuantitas hasil ekstrasi rumput laut. Standard mutu karaginan yang telah diakui dikeluarkan oleh Food Agriculture Organization (FAO), Food Chemicals Codex (FCC) dan standar mutu karaginan komersial. Spesifikasi mutu karaginan dapat dilihat pada Tabel 1.

Sifat Fisik Karaginan Eucheuma cottonii

Sifat fisik karaginan Eucheuma cottonii yang dianalisis adalah viskositas, kekuatan gel, titik leleh, titik gel dan rendemen (Tabel 2). Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan karaginan sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu (Wenno et al., 2012). Rata-rata viskositas karaginan berkisar antara 30,68-50,47 cP. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi KOH berpengaruh nyata terhadap viskositas, dimana nilai viskositas meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi KOH. Hal ini sejalan dengan Anwar et al. (2013) bahwa tingginya konsentrasi KOH maka dapat melarutkan garam-garam yang terkandung dalam rumput laut sehingga viskositas

dapat meningkat. Selain itu, Moirano, (1977) dalam Wenno et al. (2012) mengemukakan bahwa semakin kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat. Adanya garam-garam yang terlarut dalam karaginan akan menurunkan muatan sepanjang rantai polimer. Penurunan muatan ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antar gugus-gugus sulfat, sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas larutan menurun. Viskositas larutan karaginan akan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karaginan (Towle, 1973 dalam Wenno et al., 2012). Menurut standarisasi karaginan komersial syarat mutu nilai viskositas minimum 5 cP maka karaginan yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat mutu.

Kekuatan gel merupakan sifat fisik karaginan yang utama karena kekuatan gel menunjukkan kemampuan karaginan dalam pembentukan gel (Glicksman, 1979 dalam Murdinah, 2009). Rata-rata nilai kekuatan gel berkisar antara 449,51-559,51 dyne/cm2 dan hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi KOH berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel karaginan. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi KOH maka semakin rendah kekuatan gel karaginan yang dihasilkan. Hasil analisis kekuatan gel karaginan lebih rendah dibandingkan dengan karaginan komersial yaitu sebesar 685,50 dyne/cm2. Kekuatan gel dari karagenan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi KOH, pH, suhu dan waktu ekstraksi Tingginya kekuatan gel pada karagenan komersial disebabkan kandungan sulfatnya lebih rendah dibandingkan karagenan Eucheuma cottonii (Wulandari, 2009 dalam Desiana and Hendrawati, 2015). Rendahnya nilai kekuatan gel dalam penelitian ini mungkin dipengaruhi oleh waktu ekstraksi dan tingginya kandungan sulfat . Moirano (1977) dalam Basmal et al. (2005), bahwa semakin tinggi kandungan sulfat, kekuatan gel semakin rendah tetapi viskositas makin tinggi. Waktu ekstraksi berpengaruh terhadap kekuatan gel yang dihasilkan, hal ini sesuai dengan peningkatan sulfat yang terjadi dimana waktu ekstraksi semakin cepat kandungan sulfat semakin besar, akibatnya nilai kekuatan gel rendah (Faidliyah, 2010; Desiana dan Hendrawati, 2015). Menurut standarisasi karaginan komersial syarat mutu nilai kekuatan gel minimum 685,50 dyne/cm2 maka karaginan yang dihasilkan dalam penelitian ini tidak memenuhi syarat mutu.

Titik jendal adalah suhu larutan karaginan yang dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel, sedangkan titik leleh merupakan kebalikannya yaitu suhu larutan karaginan yang mencair dengan konsentrasi tertentu (Wenno et al., 2012). Rata-rata nilai titik jendal dan titik leleh karaginan yang dihasilkan berkisar antara 35,88-38,63oC dan 25,56-35,48oC. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi KOH berpengaruh nyata terhadap titik jendal dan titik leleh karaginan, dimana semakin tinggi konsentrasi

Page 13: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

41

KOH semakin rendah titik jendal dan titik lelehkaraginan yang dihasilkan. Hal ini diduga tingginya kandungan sulfat pada karaginan yang dihasilkan. Friedlander and Zelokovitch dalam Faidliyah (2010) menyatakan bahwa suhu titik jendal dan titik leleh berbanding lurus dengan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Rendahnya nilai titik leleh dan titik gel pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh tingginya kandungan sulfat.

Seperti yang dilaporkan oleh Reen dalam Faidliyah (2010) bahwa adanya sulfat cenderung menyebabkan polimer terdapat dalam bentuk sol, sehingga suhu titik jendal sulit terbentuk. Selain itu, menurut Yasita dan Rachmawati, (2009) bahwa suhu titik gel dan titik leleh karaginan Eucheuma cottonii lebih rendah dibandingkan karaginan komersial disebabkan karena masih adanya impuritas pada saat proses penyaringan. Selain itu umur panen juga berpengaruh terhadap nilai titik leleh dan titik gel. Menurut standarisasi karaginan komersial syarat mutu titik jendal dan titik leleh mimimum 34,10oC dan 50,21oC maka karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini telah memenuhi syarat mutu karaginan (titik jendal) dan tidak memenuhi syarat mutu karaginan (titik leleh).

Perlakuan konsentrasi KOH menghasilkan rendemen karaginan sebesar 34,43-45,26%. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi KOH berpengaruh nyata terhadap rendemen karaginan. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi KOH semakin tinggi rendemen karaginan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh bahan pengekstrak dan suhu ekstraksi, semakin tinggi konsentrasi KOH semakin tinggi rendemen karaginan. Hal ini sejalan dengan Kadir et al. (2013) bahwa rendemen karaginan mengalami peningkatan dengan bertambahnya konsentrasi KOH. Konsentrasi KOH sangat mempengaruhi rendemen yang dihasilkan karena semakin tinggi konsentrasi KOH selama proses alkalisasi berlangsung, menyebabkan pHnya semakin tinggi sehingga kemampuan KOH dalam mengekstrak semakin besar. Semakin tinggi suhu ekstraksi maka rendemen semakin tinggi hal ini dikarenakan rumput laut dapat terekstrak sempurna pada suhu yang tinggi sehingga menghasilkan rendemen yang tinggi (Hudha et al., 2012).

Penambahan KOH menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah rendemen karagenan yang dihasilkan, karena perlakuan penambahan alkali

Tabel 1. Spesifikasi mutu karaginan

Spesifikasi Karaginan Komersial Karaginan Standar FAO

Karaginan Standar FCC

Kadar Air (%) 14,34±0,25 Maks 12 Maks 12 Kadar Abu (%) 18,60±0,22 15-40 18-40 Kadar Protein (%) 2,80 - - Kadar Lemak (%) 1,78 - - Serat Kasar (%) Maks 7,02 - - Karbohidrat (%) Maks 68,48 - - Titik Leleh (oC) 50,21±1,05 - - Titik Jendal (oC) 34,10±1,86 - - Viskositas (cP) 5 - - Kekuatan gel (dyne/cm2) 685,50 ± 13,43 - -

Sumber : A/S Kobenhvsn Pektifabrik dalam Murdinah, (2009) Tabel 2. Sifat Fisik Karaginan Eucheuma cottonii

Parameter Konsentrasi Kalium Hidroksida (KOH) 2% 4% 6% 8% 10% 12%

Viskositas (cP) 30,68 ± 0,66a 34,85 ± 1,75b 39,23 ± 1,13c 42,09 ± 0,25d 46,77 ± 1,47e 50,47 ± 1,21f Kekuatan gel (dyne/cm2) 551,81 ± 4,59e 540,66 ± 2,80d 500,30 ± 1,89c 459,93 ± 7,18b 451,27 ± 2,47ab 449,51 ± 7,42a

Titik leleh (oC) 35,48 ± 0,87d 34,37 ± 0,90d 31,44 ± 1,21c 30,60 ± 1,46c 28,41± 0,54b 25,56 ± 1,18a Titik jendal (oC) 38,63 ± 1,45c 38,11 ± 0,22bc 37,38 ± 0,92 abc 36,59 ± 1,28ab 36,21 ± 0,48a 35,88 ± 0,66a Rendemen (%) 34,43 ± 1,57a 36,01 ± 1,19a 36,92 ± 1,19a 40,61 ± 2,23b 43,04 ± 2,82bc 45,26 ± 1,26c

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscripts berbeda, menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Tabel 3. Sifat Kimia Karaginan Eucheuma cottonii

Parameter Konsentrasi Kalium Hidroksida (KOH) 2% 4% 6% 8% 10% 12%

Kadar air (%) 11,31 ± 0,49c 11,00 ± 0,78c 10,72 ± 0,67 bc 10,35 ± 0,92 abc 9,62 ± 0,59 ab 9,23 ± 0,49a Kadar abu (%) 20,08 ± 0,66a 21,91 ± 0,75 b 26,59 ± 1,45c 29,88 ± 0,19d 32,74 ± 0,52e 33,68 ± 1,70f Kadar lemak (%) 1,50 ± 0,26c 1,43 ± 0,07c 1,25 ± 0,05 bc 1,04 ± 0,15b 0,89 ± 0,29b 0,37 ± 0,24a Kadar protein (%) 2,54 ± 0,46c 2,13 ± 0,73cb 1,57 ± 0,66 abc 1,73 ± 0,27 abc 1,19 ± 0,80 ab 0,80 ± 0,52a Kadar serat kasar (%) 5,35 ±0,88a 5,33 ± 0,69a 5,25 ± 0,68a 4,89 ± 0,50a 4,64 ± 0,67a 4,12 ± 0,43a Kadar karbohidrat (%) 59,24 ± 1,31d 55,50 ± 0,05c 54,63 ± 1,35bc 53,11 ± 0,44abc 52,25 ± 1,19ab 51,81± 2,73a

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscripts berbeda, menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)  

Page 14: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

42

menyebabkan kemampuan untuk mengekstrak semakin tinggi, di mana perlakuan alkali membantu ektraksi polisakarida menjadi sempurna dan mempercepat terbentuknya 3,6 anhidrogalaktosa selama proses ekstraksi berlangsung (Mustamin, 2012). Berdasarkan persyaratan mutu rendemen karaginan (SNI 01-2690-1998) mensyaratkan kadar karaginan rumput laut kering tidak kurang dari 25 persen. Maka rendemen yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi standar. Sifat Kimia Karaginan Eucheuma cottonii

Sifat kimia karaginan Eucheuma cottonii yang dianalisis adalah kadara air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat (Tabel 3). Pengujian kadar air dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar kandungan air dalam karaginan. Kadar air dalam karaginan sangat berpengaruh terhadap umur simpannya (Wenno et al., 2012).

Rata-rata kadar air karaginan yang dihasilkan berkisar antara 9,23-11,31% dan hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi KOH berpengaruh nyata terhadap kadar air. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi KOH maka semakin rendah kadar air karaginan, hal ini diduga disebabkan oleh kemampuan KOH dalam mengekstrak dan menghambat terjadinya peningkatan air dalam molekul rumput laut Eucheuma Cottonii sehingga kadar air menjadi berkurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan Anwar et al. (2013) bahwa penurunan kadar air alginat diakibatkan adanya suasana basa dari larutan KOH yang mampu menghambat terjadinya suatu peningkatan air dalam molekul alginat, dengan meningkatnya konsentrasi KOH yang digunakan maka dapat mengurangi garam-garam mineral yang terkandung didalamnya.

Desiana dan Hendrawati (2015) juga melaporkan bahwa dengan bertambahnya konsentrasi KOH maka kadar air mengalami penurunan. Menurut standarisasi karaginan komersial syarat mutu kadar air dibawa 15% maka karaginan yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat mutu.

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 3) menunjukkan bahwa perlakuan dengan konsentrasi KOH menghasilkan kadar abu karaginan sebesar 20,08-33.68%. Rata-rata Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan dengan konsentrasi KOH berpengaruh nyata terhadap kadar abu karaginan. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin tingginya konsentrasi KOH maka semakin tinggi pula kadar abu karaginan. Hal ini disebabkan adanya larutan KOH telah menyebabkan kation K+ bereaksi dengan karaginan sehingga menghasilkan kadar abu yang tinggi. Seperti yang dikemukakan oleh Basmal (2005) bahwa peningkatan kadar abu disebabkan adanya jumlah kation K+ yang bereaksi dengan karaginan lebih banyak atau sebaliknya. Suryaningrum et al. (1991) menyatakan bahwa tingginya kadar abu tepung karaginan karena sebagian besar berasal dari garam

dan mineral lainnya yang menempel pada rumput laut, seperti K, Mg, Ca, Na dan ammonium galaktosa serta kandungan 3,6-anhidrogalaktosa. Menurut standarisasi karaginan komersial syarat mutu kadar abu maksimum 15-40% maka karaginan yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat mutu.

Selain itu, hasil penelitian (Tabel 3) menunjukkan bahwa rata-rata kadar lemak yang dihasilkan berkisar antara 0,37-1,50% dan hasil analisis keragaman konsentrasi KOH berpengaruh nyata terhadap kadar lemak karaginan. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi KOH maka semakin rendah kadar lemak karaginan. Hal ini disebabkan karena selama proses ekstraksi serat-serat rumput laut akan terhidrolisis akibat kontak dengan panas dan adanya pengaruh KOH sehingga menyebabkan kadar lemak menurun akibat adanya oksidasi lemak. Seperti yang dikemukakan oleh Muchtadi (1992) bahwa selama proses pemanasan maupun pengeringan lemak dapat mengalami kerusakan akibat adanya panas. Menurut standarisasi karaginan komersial syarat mutu kadar lemak maksimum 1,78% maka karaginan yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat mutu.

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi KOH juga berpengaruh nyata terhadap kadar protein dengan rata-rata kadar protein sebesar 0,80-2,54%. terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi KOH semakin rendah kadar protein. Hal ini diduga karena adanya pengaruh konsentrasi KOH dan suhu ekstraksi yang menyebabkan polimer karaginan dilepaskan dari dinding sel rumput laut akibat kontak antara rumput laut dengan panas sehingga kadar protein karaginan menurun. Seperti yang diungkapkan oleh Murdinah (2009) bahwa selama proses ekstraksi pada suasana alkali dan suhu ekstraksi yang tinggi akan menurunkan kadar protein karaginan yang dihasilkan. Menurut standarisasi karaginan komersial syarat mutu kadar protein maksimum 2,80% maka karaginan yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat mutu.

Perlakuan konsentrasi KOH menghasilkan kadar serat kasar karaginan sebesar 4,12-5,35%. Hasil analisis keragaman menunjukan bahwa perlakuan konsentrasi KOH berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar, dimana semakin tinggi konsentrasi KOH semakin rendah kadar serat kasar. Hal ini sejalan dengan penelitian Almatsier (2009) dan Mustamin (2012) bahwa penurunan kadar serat kasar seiring dengan penambahan KOH, dimana semakin tinggi konsentrasi KOH semakin rendah kadar serat kasar yang dihasilkan. Menurut Rasyid (2003) bahwa yang perlu diperhatikan dalam pembuatan karaginan adalah proses ekstraksi yang meliputi cara ekstraksi, pH, waktu dan suhu karena akan mempengaruhi mutu karaginan. Selain itu umur panen juga berpengaruh terhadap kadar serat kasar, karena ruput laut dipanen pada umur 35 hari sehingga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai serat kasar. Menurut Suryaningrum dalam Soleh (2011) bahwa pemanenan

Page 15: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

43

rumput laut pada umur yang berbeda dapat mempengaruhi nilai serat kasar. Menurut standarisasi karaginan komersial syarat mutu kadar serat kasar maksimum 7,02 persen maka karaginan yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat mutu.

Perlakuan konsentrasi KOH menghasilkan kadar karbohidrat karaginan sebesar 51,81-59,24%. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi KOH berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi KOH maka semakin rendah kadar karbohidrat. Padahal diketahui bahwa konsentrasi KOH dan suhu ekstraksi dapat menyebabkan polimer karaginan dilepaskan dari dinding sel rumput laut sehingga kadar karbohidrat karaginan meningkat. Patria (2008) melaporkan bahwa penggunaan KOH dalam ekstraksi karaginan mempunyai 2 fungsi, yaitu membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhidro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan karbohidrat. Namun Kadar karbohidrat dalam penelitian ini dianalisis secara by-difference, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada kadar air, kadar abu, protein, lemak dan serat kasar yang ikut dalam perhitungan. Menurut standarisasi karaginan komersial syarat mutu kadar karbohidrat maksimum 68.48 persen maka karaginan yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat mutu. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa tingkat konsentrasi KOH 12% menghasilkan mutu karaginan terbaik dengan kekuatan gel 449,51 dyne/cm2, viskositas 50,47 cP, titik jendal 35.88oC dantitik leleh 25.56oC, rendemen 45.26%, kadar air 9,23%, kadar abu 33.68%, kadar lemak 0,37%, kadar protein 0,80%, kadar serat kasar 4.12% dan kadar karbohidrat 51,81%. Daftar Pustaka Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Anwar Fauzi, Djunaedi Ali, Gunawan Widi Santosa.

2013. Pengaruh Konsentrasi KOH yang Berbeda Terhadap Kualitas Alginat Rumput Laut Coklat Sargassum duplicatum J. G. Agardh. Journal Of Marine Research. Vol 2, Nomor 1, 7-14.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analitycal Chemist. Inc. Washington DC. p. 185–189.

Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Yasni, S., dan Budiyanto, S. 1989. Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. 275 pp.

Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta.

Basmal J, Syarifudin, Ma’ruf WF. 2005. Pengaruh Konsentrasi Larutan Potasium Hidroksida Terhadap Mutu Karaginan Kertas. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9 (5): 95-103.

Desiana Elvia & Hendrawati T.Y. 2015. Pembuatan Karagenan dari Eucheuma Cottonii dengan Ekstraksi KOH menggunakan Variabel Waktu Ekstraksi.Website:jurnal.ftumj.ac.id/index.php/semnastek.

Hudha, M. I., Sepdwiyanti, R., Sari, S. C. (2012). Ekstraksi Karaginan dari Rumput Laut (Eucheuma spinosum) dengan Variasi Suhu Pelarut dan Waktu Operasi. Berkala Ilmiah Teknik Kimia 1(1) : 17-20.

Faidliyah Nilna M. 2010. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia. Tinjauan Kualitas Karaginan Eucheuma cottonii pada Penggunaan Pelarut dan Waktu Ekstraksi yang Berbeda pada Metode Ekstraksi. Surabaya.

FMC Corp. 1977. Carrageenan. Marine Colloid Monograph Number One. Springfield, New Jersey. USA Marine Colloids Division FMC Corporation. p. 23–29.

Food Chemical Codex. 1981. Carrageenan. National Academy Press Washington. p 74 -75.

Istini S, Zatnika A. 1991. Optimasi Proses Sem irefine Carrageenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Di dalam: Teknologi Pasca Panen Rumput Laut. Prosiding Temu Karya Ilmiah;Jakarta, 11-12 Maret 1991. Jakarta: Departemen Pertanian. hlm 86-95.

Kadir. A.M, Supratomo dan Salengke. 2012. Karakteristik Alkali Treated Cottonii (ATC) dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii pada Berbagai Konsentrasi KOH, Lama Pemasakan dan Suhu Pemanasan.

Kordi, M. G. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. PT Rikena Cipta. Jakarta.

Muchtadi. D. Nurheni Sri Palupi, dan Made Astawan. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Hal. 5-28

Murdinah. 2008. Pengaruh Bahan Pengestrak dan Penjendal Terhadap Mutu Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan tahun 2008 Jilid 3. Kerjasama Jurusan Perikanan dan Kelautan UGM dengan Balai Basar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.

Mustamin Fatimah ST. 2012. Studi Pengaruh Konsentrasi KOH dan Lama Ekstraksi Terhadap Karakteristik Karagenan dari Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Skripsi Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar.

Patria, A. 2008. Pemanfaatan Karaginan dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii pada Pembuatan Dodol Kentang. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor . Hlm. 3-5.

Peranginangin, R., dan Yunizal, 2000. Teknologi ekstraksi pikokoloid dari rumput laut. hlm.135-154. Dalam: R. Rachmat, Sulistijo dan A. Rasyid (Eds). Prosiding Pra Kipnas VII Forum Komunikasi I Ikatan Fikologi Indonesia, 8 September, Forum

Page 16: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists  

44

Organisasi Profesi Ilmiah, Puspiptek, Serpong, Jakarta.

Rasyid, A. 2003. Alga Coklat (Phaeophyta) sebagai Sumber Alginat. Oseana Volume XXVIII No. 1: 33-38.

Sholeh, M. 2011. Pengaruh Umur Panen dan Teknik Pencucian Terhadap Mutu Karaginan Rumput Laut Eucheuma cottonii.https://id.scribd.com/doc/63894424/39/Viskositas. Diakses, 11 Maret 2016

[SNI] Standar Nasional Indonesia SNI 01-2690-1998. 1998. Rumput Laut Kering.

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. 748 hlm.

Suryaningrum TD, Soekarto ST, Manulang M. 1991. Identifikasi dan sifat fisika kimia karaginan. Kajian Mutu Komoditas Rumput Laut Budidaya Jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Jurnal Penelitian Pascapanen Perikanan. No. 69.

hlm 35-46. Suwandi, 1992, Isolasi dan Identifikasi Karaginan

Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii, Lembaga Penelitian Universitas Sumatra Utara, Medan.

Wenno. MR, JL Thenu, CGC Lopulalan. 2012. Karakteristik Kappa Karaginan dari Kappaphycus Alvarezii pada berbagai Umur Panen. JPB Perikanan Vol. 7 No. 1: 61–67.

Winarno, F.G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 112 pp.

Yasita D, Rachmawati ID. 2009. Optimasi Proses Ekstraksi pada Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii untuk Mencapai Food Grade. http://eprints.undip.ac.id/3333/. Diakses 11 Maret 2016

Zulfriady D, Sudjatmiko W. 1995. Pengaruh Kalsium Hidroksida dan Sodium Hidroksida Terhadap mutu Karaginan Rumput Laut E. spinosum. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bidang Pasca Panen, Sosial, Ekonomi dan Penangkapan. hlm 137-146.

Page 17: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists

44

Artikel Penelitian Optimasi Pembuatan Tepung Ferkusi (Fermentasi Kulit Singkong) Ditinjau dari Variasi Penambahan Angkak Optimization of Fermentation Ferkusi Flour as Revealed by Varied Concentration Addition of Red Yeast Rice Irma Ayuningtyas, Sri Hartini , Margareta Novian Cahyanti Program Studi Kimia, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga *Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 8 April 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 2 Mei 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016 Abstrak

Tepung ferkusi adalah tepung kulit singkong yang difermentasi menggunakan angkak. Proses fermentasi bertujuan untuk meningkatkan protein dan menghilangkan HCN. Tujuan penelitian ini untuk menghasilkan tepung ferkusi yang paling optimum ditinjau dari berbagai konsentrasi penambahan angkak. Fermentasi dilakukan dengan variasi penambahan konsentrasi angkak 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Parameter uji yang digunakan, yaitu analisa proksimat, aktivitas antioksidan (IC50), analisa HCN dan analisa kandungan asam amino. Data penelitian dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan konsentrasi penambahan angkak sebagai perlakuan dan waktu analisa sebagai kelompok. Hasil menunjukkan bahwa tepung dengan penambahan angkak sebanyak 5% merupakan hasil optimum dengan kadar air 10,64%, kadar abu 6,13%, karbohidrat 31,92%, protein 5,79%, lemak 5,49%, serat kasar 16,20%, derajat asam 8,21 mL NaOH 0,1 N/100g, IC50 4453,32 ppm, dan kandungan HCN bernilai negatif. Tepung ferkusi dengan penambahan angkak 5% mengandung 17 asam amino, yaitu aspartat, glutamat, serin, glisin, histidin, arginin, threonin, alanin, prolin, valin, isoleusin, leusin, phenilalanin, lisin, tirosin, sistein, dan metionin. Asam amino yang paling tinggi kadarnya adalah glutamat (8528,59 ppm) dan yang paling rendah sistein (175,04 ppm). Kata Kunci : Asam amino, Analisa Proksimat, Fermentasi, HCN, Kulit Singkong. Abstract

Ferkusi flour is cassava peel that has been fermented by red yeast rice. The fermentation process is intended to increase protein content and decrease HCN content in cassava peel. This research is aimed to produce the optimum ferkusi flour as reviewed by varied concentration addition of red yeast rice. The fermentation is conducted by using varied addition of red yeast rice concentration 0%, 5%, 10%, 15%, and 20%. Test parameter was proximate analysis, antioxidant activity (IC50), HCN analysis, and amino acid analysis. Data were analyzed using Randomized Completely Block Design (RCBD) with concentration addition of red yeast rice as a treatment and time analyses as a group. The result showed that flour wih addition 5% of red yeast rice is the optimum result with moisture content 10,64%, ash content 6,13%, carbohydrate 31,92%, protein 5,79%, fat 5,49%, fiber 16,20%, acidity 8,21 mL NaOH 0,1N/100g, IC50 4453,32 ppm, and HCN content is negative. Ferkusi flour with 5% red yeast rice addition contains 17 amino acids; there are aspartic acid, glutamic acid, serine, glysine, histidine, arginine, threonine, alanin, proline, valine, isoleusine, leusine, phenylananine, lisine, tyrosine, sisteine, and methionine. The highest content of amino acid is glutamate (8528,59 ppm) and the lowest one is sisteine (175,04 ppm). Key words: amino acid, cassava peel, fermentation, HCN, proximate analysis. Pendahuluan

Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia, secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan bahan pangan di Indonesia. Semakin meningkat kebutuhan akan bahan pangan menuntut adanya terobosan baru jenis bahan pangan lain yang dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, salah satunya dengan pemanfaatan singkong. Indonesia termasuk dalam tiga negara penghasil singkong (ubi kayu) terbesar di dunia. Produksi ubi kayu tahun 2008 sebesar 21.756.991 ton, dan tahun 2011 meningkat mencapai 24.044.025 ton. Pada tahun 2013 meningkat lagi menjadi 23.936.921 ton. Pada tahun 2014 diperkirakan sebesar 26 juta ton (Julianto, 2014).

Selama ini masyarakat belum mampu mengelola singkong secara optimal, singkong hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok pengganti beras, seperti gaplek atau diolah menjadi produk makanan sederhana seperti tape, dodol, keripik singkong, ataupun kolak singkong. Fokus pemanfaatan singkong cenderung pada umbi singkong sedangkan kulit singkong biasa dibuang begitu saja. Kulit singkong memiliki kandungan protein dan serat kasar lebih tinggi dibandingkan singkong, namun selama ini kulit singkong hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Pratiwi, 2013). Berdasarkan potensi kulit singkong, tepung kulit singkong atau fermentasi kulit singkong (ferkusi) dapat dijadikan salah satu bahan pangan alternatif di Indonesia.

Page 18: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists

45

Tepung ferkusi merupakan tepung dari kulit singkong yang diproses menggunakan cara fermentasi. Proses pembuatan tepung kulit singkong berbeda dengan pembuatan tepung terigu karena melalui tahap fermentasi. Fermentasi dilakukan untuk menurunkan kandungan asam sianida (HCN) dari kulit singkong. Menurut Pratiwi (2013), asam sianida (HCN) mudah hilang selama diproses, sianida hilang dalam perendaman, pengeringan, perebusan, dan fermentasi.

Proses fermentasi kulit singkong menggunakan kapang Monascus purpureus dalam bentuk angkak. Angkak dapat digunakan sebagai alternatif bahan pengganti pewarna sintetis. Pigmen merah dapat diperoleh dari fermentasi kapang Monascus purpureus. Penelitian Permana (2004) menemukan bahwa pewarna angkak bersifat stabil dan aman untuk digunakan, serta angkak dapat mencegah osteoporosis, anti diabetes, dan anti peradangan (Arunachalam and Narmadhapriya, 2011). Menurut Nuraini et al. (2009), penggunaan kapang Monascus purpureus dapat meningkatkan kualitas bahan pakan limbah pertanian (peningkatan kandungan monakolin dan protein kasar) seperti ampas sagu, kulit umbi ubi kayu, dedak dan ampas tahu. Di samping itu, kandungan asam amino, kualitas protein dan energi metabolis juga meningkat setelah melalui tahap fermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan tepung ferkusi yang paling optimum ditinjau dari berbagai konsentrasi penambahan angkak. Materi dan Metode Materi Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit singkong, garam, angkak, CuSO4.5H2O, NaKTatrat, NaOH, Na2CO3, asam sitrat, Na2S2O3, CH3COOH, H2SO4, Na2SO4, NaOH-Na2S2O3, glukosa, HCl, heksana, etanol 96%, NH4OH, indikator PP, AgNO3, KI, garam, soda kue, tepung terigu. Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah moisture balance Ohaus MB25, drying cabinet, neraca 2 digit TAJ602, neraca 4 digit Ohaus PA214, oven, furnace vulcan A550, waterbath Memmert WNB14, peralatan Kjeldahl, Spektrofotometer UV – Vis Shimadzu 1240. Metode Kulit singkong yang akan digunakan dicuci bersih dengan menggunakan air, kemudian direndam dalam air selama 48 jam untuk menurunkan kadar HCN. Setelah itu, kulit singkong dipotong kecil – kecil dan dikukus selama ± 30 menit. Kulit singkong yang telah dikukus dicampurkan dengan angkak. Penambahan starter angkak untuk pembuatan tepung ferkusi dilakukan dengan konsentrasi 0% (𝑤 𝑤), 5% (𝑤 𝑤), 10% (𝑤 𝑤), 15% (𝑤 𝑤), dan 20% (𝑤 𝑤). Setelah itu kulit singkong difermentasi selama ±72 jam. Kemudian dikeringkan dalam drying cabinet suhu 50˚C hingga

kering. Setelah difermentasi dan dikeringkan, dihaluskan menggunakan grinder dan dilakukan penentuan konsentrasi angkak yang paling optimal berdasarkan analisa proksimat kadar air, kadar abu, karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, derajat asam dan antioksidan. Tepung ferkusi yang paling optimal akan dianalisa kandungan asam aminonya menggunakan UPLC dengan kondisi pengoperasian fase stationer kolom ACCG – Tag Ultra C18. Fase gerak menggunakan sistem komposisi gradient dengan laju alir 0,7 mL per menit dan dideteksi menggunakan detektor PDA pada panjang gelombang 260nm. Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisa dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Sebagai perlakuan adalah konsentrasi penambahan angkak yaitu 0% (𝑤 𝑤), 5% (𝑤 𝑤), 10 % (𝑤 𝑤), 15 % (𝑤 𝑤) dan 20% (𝑤 𝑤); sedangkan sebagai kelompok adalah waktu analisa. Pengujian antar rataan perlakuan dilakukan dengan mengunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5% (Steel dan Torie, 1980).

Hasil dan Pembahasan Analisa Proksimat Tepung Ferkusi

Analisa proksimat tepung ferkusi dari berbagai konsentrasi penambahan angkak dapat dilihat dalam Tabel 1. Tepung ferkusi merupakan tepung yang dibuat dari kulit singkong yang difermentasi menggunakan angkak. Selama fermentasi berlangsung, terjadi perubahan sifat fisik dan kimia pada kulit singkong. Perubahan fisik yang terjadi yaitu substrat menjadi lembek, berair, dan mengeluarkan aroma harum. Terjadinya perubahan fisik karena kapang dapat mencerna kulit singkong kemudian menggunakan nutrisi yang terdapat dalam kulit singkong untuk melakukan metabolisme dan menghasilkan air, karbondioksida, dan sejumlah besar energi (ATP) (Rokhmah, 2008). Menurut Dwinaningsih (2010), selama proses fermentasi terjadi pemecahan karbohidrat menjadi glukosa dan air yang menyebabkan substrat menjadi lembek dan berair. Hasil analisa menunjukkan peningkatan kadar air, di mana kadar air terendah terdapat dalam penambahan angkak dengan konsentrasi 0%, meningkat pada konsentrasi 20%, 15%, 10%, dan yang paling tinggi pada penambahan 5%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan penambahan angkak selama proses fermentasi dapat meningkatkan kadar air tepung ferkusi. Meskipun selama proses fermentasi kulit singkong terlihat lembek dan berair, namun angkak yang ditambahkan tidak merubah tekstur dari produk fermentasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kandungan serat kasar tepung ferkusi yang cukup tinggi.

Page 19: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists

46

Serat kasar terdiri dari senyawa selulosa, hemiselulosa dan lignin yang tidak dapat dicerna oleh manusia (Prawitasari dan Estiningdriati, 2012). Rata - rata kadar serat tepung ferkusi berkisar antara 11,22% - 16,20%. Hasil uji menunjukkan bahwa penambahan angkak tidak berpengaruh pada kadar serat tepung ferkusi. Tingginya kadar serat dalam tepung menunjukkan enzim selulase yang dihasilkan Monascus sp. belum mampu menghidrolisa serat yang berupa polisakarida (selulosa) menjadi monosakarida (glukosa) (Hikmiyati dan Yanie, 2009). Proses penguraian serat kasar pada tepung ketika fermentasi memiliki pengaruh terhadap kadar abu. Menurut Kurniawan et al. (2013), menurunnya lignin dan serat kasar berhubungan dengan menurunnya kadar abu pada suatu bahan pangan. Kadar serat kasar dalam tepung ferkusi tergolong tinggi, sehingga kadar abu tepung ferkusi pun juga cukup tinggi. Kadar abu menunjukkan komponen mineral yang terdapat dalam tepung. Hasil uji menunjukkan bahwa adanya penambahan angkak tidak mempengaruhi kadar abu tepung, adanya penambahan angkak hanya berpengaruh pada penambahan 5%. Penambahan angkak tidak berpengaruh karena angkak sendiri memiliki kadar abu yang sangat kecil, yaitu 0,24% (Kawuri, 2013). Namun, apabila dilihat kadar abu tepung ferkusi berkisar antara 4,48% - 6,13%. Tingginya kadar abu tepung ferkusi ini dimungkinkan karena kulit singkong mengandung mineral kalsium 0,63% (Mahanany, 2013) dan sulfur 0,11% (Hikmah, 2015). Menurut Oboh (2006), di dalam kulit singkong terkandung natrium 0,04 ppm berat kering, kalium 0,05

ppm berat kering, serta zink 0,01 ppm berat kering. Selain itu, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wikanastry et al. (2012), yaitu kadar abu tepung kulit singkong sebesar 5,53%.

Perubahan kimia pada tepung ferkusi ditandai dengan adanya karbohidrat dan protein yang akan didegradasi oleh kapang Monascus sp. Kapang Monascus purpureus menghasilkan enzim amilase yang berfungsi menghidrolisis amilosa menjadi glukosa dan maltosa melalui pemutusan ikatan α(1,4)-glukosida (Kasim et al., 2006). Pada konsentrasi penambahan angkak 0%, kadar karbohidrat cukup tinggi kemudian menurun seiring dengan besarnya konsentrasi penambahan angkak, namun pada konsentrasi penambahan angkak 20% karbohidrat kembali naik. Penurunan kadar karbohidrat dimungkinkan karena adanya aktivitas metabolisme mikroorganisme yang dapat memecah karbohidrat menjadi glukosa (Greenwalt et al., 1998). Sedangkan peningkatan kembali kadar karbohidrat tepung ferkusi pada penambahan angkak 20% diduga karena telah terjadi ketidakseimbangan antara sumber nutrien dalam substrat dan jumlah mikroba sehingga aktivitas metabolisme mikroorganisme berjalan lambat. Hal ini menyebabkan kemampuan mikroorganisme untuk memecah karbohidrat (pati) menjadi senyawa yang lebih sederhana akan menurun (Suprihatin, 2010).

Glukosa hasil metabolisme selanjutnya digunakan untuk membentuk alkohol dan asam – asam organik yang nampak dengan penurunan karbohidrat diiringi kenaikan asam – asam organik. Asam – asam organik yang dihasilkan seperti asam laktat, asam

Tabel 1. Rata – rata Analisa Proksimat Tepung Ferkusi dengan Berbagai Konsentrasi Penambahan Angkak Konsentrasi Penambahan Angkak

0% 5% 10% 15% 20% Kadar Air (% ± SE) W=1,46

8,97 ± 0,96a 10,64 ± 1,58b 10,15 ± 1,08a 10,15 ± 0,97a 9,65 ± 0,42a

Kadar Abu (% ± SE) W=1,46

5,54 ± 0,82a 6,13 ± 0,94b 5,56 ± 0,85a 5,20 ± 0,85a 4,48 ± 0,88a

Karbohidrat (% ± SE) W=6,63

39,22 ± 8,69b 31,92 ± 6,70a 35,37 ± 5,15ab 35,58 ± 4,53ab 39,55 ± 8,34b

Protein (% ± SE) W=3,69

4,16 ± 1,16a 5,79 ± 2,88a 5,05 ± 2,10a 5,06 ± 1,44a 4,86 ± 1,97a

Lemak (% ± SE) W=1,66

2,64 ± 1,44a 5,49 ± 1,77b 6,36 ± 1,37b 6,23 ± 2,11b 6,06 ± 2,19b

Serat Kasar (% ± SE) W=3,83

14,14 ± 4,36a 16,20 ± 3,69b 14,47 ± 2,99a 14,06 ± 4,16a 11,22 ± 3,16a

Derajat Asam (mL NaOH 0,1 N/100 g

± SE) W=1,55

4,27 ± 1,05a 8,21 ± 1,21bc 9,27 ± 1,30bc 9,63 ± 1,06c 7,72 ± 1,15b

Antioksidan (IC50)

(ppm ± SE) W=1835,52

10.227,02 ± 1301,20b

4453,32 ± 519,83a

3934,46 ± 469,05a

4813,33 ± 387,09a

4920,35 ± 646,37a

Keterangan : Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda secara bermakna. Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda secara bermakna. W = BNJ 5%  

Page 20: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists

47

butirat, dan asam karbonat (Prasojo et al., 2013). Peningkatan ini meningkatkan nilai derajat asam (Greenwalt et al., 1998). Pada konsentrasi penambahan angkak 0% hingga 15% terjadi kenaikan derajat asam. Hal ini menunjukkan proses pemecahan karbohidrat berjalan optimal. Glukosa juga akan dimanfaatkan mikroba sebagai nutrisi untuk metabolisme menghasilkan asam – asam organik dan fenol sebagai antioksidan, sehingga pada penambahan angkak konsentrasi 0% sampai 15% suasana akan semakin asam (Frank, 1996). Sedangkan, pada konsentrasi 20% proses fermentasi berjalan kurang optimal maka proses pemecahan karbohidrat terhambat sehingga proses pembentukan asam – asam organik menurun dan nilai derajat asam juga menurun.

Penambahan angkak dalam proses fermentasi tepung ferkusi menyebabkan peningkatan kadar lemak tepung. Pada konsentrasi penambahan angkak 0%, kadar lemak tepung sebesar 2,64%. Setelah ditambahkan angkak, kadar lemak tepung ferkusi meningkat, yaitu berkisar antara 5,49% hingga 6,36%. Peningkatan kadar lemak tepung ferkusi ini dimungkinkan karena angkak yang ditambahkan pada proses fermentasi sebelumnya telah memiliki kadar lemak yang cukup tinggi, yaitu total asam lemak tidak jenuh (1,43%) dan total asam lemak (2,84%) (Kawuri, 2013). Selain itu, menurut Akindumila and Glatz (1998, dalam Kurniati et al., 2012), kenaikan kadar lemak dapat disebabkan karena mikroorganisme dapat memproduksi minyak mikroba selama proses fermentasi. Lebih lanjut menurut Kurniati et al. (2012), mikroorganisme seperti setiap sel hidup lainnya, menghasilkan lipid atau lemak. Inilah yang disebut dengan spesies berminyak, minyak yang dihasilkan disebut sebagai single cell oil (SCO), yang merupakan eufemisme mirip dengan single cell protein yang biasa digunakan untuk menunjukkan protein yang berasal dari sel tunggal.

Dalam proses fermentasi, Monascus sp. tidak hanya menghasilkan senyawa metabolit primer, namun juga menghasilkan senyawa metabolit sekunder. Monascus purpureus menghasilkan senyawa lovastatin yang dapat menghambat sintesis kolesterol karena menghambat aktifitas HMGCoA reduktase enzim penentu biosintesis kolestrol (Kasim et al., 2006). Selain sebagai penurun kolesterol, angkak juga dapat digunakan sebagai senyawa aktioksidan. Oleh sebab itu dilakukan pengukuran aktivitas antioksidan dari tepung ferkusi. Telah disebutkan sebelumnya bahwa glukosa yang dihasilkan dari pemecahan karbohidrat juga akan dimanfaatkan mikroba sebagai nutrisi untuk metabolisme menghasilkan asam – asam organik dan fenol sebagai antioksidan. Menurut Chairote et al. (2009), senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan yang terdapat di dalam angkak adalah demerumic acid. Senyawa fenolik (demerumic acid) dihasilkan oleh aktivitas metabolisme sekunder Monascus sp. terutama Monascus anka. M. anka dan M. pilous menunjukkan aktivitas antioksidan yang paling kuat dalam menangkal radikal bebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan angkak

berpengaruh pada aktivitas antioksidan tepung ferkusi. Nilai IC50 menunjukkan aktivitas antioksidan tanpa penambahan angkak 0% jauh lebih rendah dibandingkan dengan penambahan angkak (5%, 10%, 15%, dan 20%). Penurunan Kadar HCN

Keterbatasan penggunaan kulit singkong disebabkan adanya kandungan zat antinutrisi, yaitu HCN. Dalam pembuatan tepung ferkusi, pada tahap awal dilakukan pencucian kulit singkong dengan air mengalir dan dilakukan perendaman dalam air garam selama 16 jam, setelah itu kulit singkong dicuci kembali dengan menggunakan air mengalir. Menurut Coursey (1973), HCN mempunyai ikatan yang tidak begitu kuat, mudah menguap dan hilang atau berkurang dengan jalan pengolahan, seperti pencucian, perendaman, perebusan, pengukusan, dan pemanasan. Oleh sebab itu dilakukan proses perendaman dan pencucian terlebih dahulu. Secara umum senyawa racun berada dalam vakuola sel dan enzimnya berada pada sitoplasma. Rusaknya jaringan menyebabkan kedua senyawa bertemu dan terjadi reaksi. Namun dengan perendaman dalam air, senyawa yang terbentuk akibat reaksi tersebut akan larut, sedangkan senyawa – senyawa yang berada di dalam sel akan terdifusi keluar. Mengendornya jaringan umbi akan menyebabkan senyawa racun maupun senyawa lain yang terdapat di dalam sel keluar (Djaafar et al., 2009).

Setelah proses pencucian, dilakukan pengukusan kulit singkong. Menurut Montagnac et al. (2009), proses pengukusan tidak efektif dalam menurunkan kadar HCN kecuali kadar HCN yang terdapat di dalam suatu bahan pangan tidak terlalu tinggi. Proses pengukusan hanya akan menghilangkan kadar glukosida sianogenat sebesar 15 – 20%. Proses fermentasi dan pengeringan (oven-drying) dianggap efisien untuk menurunkan kadar glukosida sianogenat.

Fermentasi dianggap efektif untuk menurunkan kadar glukosida dalam kulit singkong. Westby and Choo (1994), melaporkan bahwa 95% linamarin hilang selama proses fermentasi. Pada saat fermentasi, linamarin dan linamarase mudah bercampur sehingga peluruhan sianogen meningkat. Residu akhir dari hasil fermentasi berupa sianohidrin dan HCN, kondisi setengah asam selama proses fermentasi akan meningkatkan pemecahan spontan sianohidrin dan HCN akan mudah menguap (bp. 25,7˚C) (Agbor and Mbome, 2006).

Setelah melalui proses fermentasi selanjutnya dilakukan pengeringan menggunakan oven (drying cabinet). Nambisan (1994) menyatakan bahwa pada suhu pengeringan 50 – 70˚C dapat menurunkan kadar sianida sebesar 53 – 60%. Pada suhu pengeringan di atas 55˚C, aktivitas dari linamarase terhambat sehingga linamarin akan terakumulasi dalam singkong kering. Berdasarkan hasil uji kandungan asam sianida (HCN) dalam tepung ferkusi negatif (limit of detection 0.25 ppm). Teknik – teknik pengolahan yang dilakukan pada pembuatan tepung ferkusi, mulai dari perendaman,

Page 21: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists

48

pencucian, fermentasi, hingga pengeringan dapat menurunkan kandungan asam sianida dalam kulit singkong. Kandungan Protein dan Komposisi Asam Amino

Protein merupakan hal yang penting dalam tepung karena kecukupan protein akan berpengaruh pada kualitas produk yang dihasilkan dari tepung tersebut. Semakin besar konsentrasi penambahan angkak tidak berpengaruh pada kadar protein tepung ferkusi (Tabel 1). Namun, apabila dibandingkan perlakuan antara penambahan angkak (5%, 10%, 15%, dan 20%) dengan tanpa penambahan angkak (0%), perlakuan dengan penambahan angkak menghasilkan kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan angkak. Kenaikan kadar protein dapat disebabkan oleh adanya perubahan dalam komponen yang terdapat di dalam bahan. Kandungan protein dalam suatu bahan dipengaruhi oleh adanya proses fermentasi dan metabolisme oleh Monascus sp. Menurut Safitri dan Hartini (2013) komposisi substrat yang berbeda akan mempengaruhi adanya aktivitas proteolitik kapang yang menguraikan protein menjadi asam amino dan menyebabkan adanya peningkatan nitrogen terlarut yang menyebabkan adanya kenaikan kadar protein terlarut.

Menurut Deliani (2008), selama proses fermentasi kandungan protein kasar hanya sedikit berubah, tetapi kelarutannya meningkat menjadi kira – kira 50%. Lebih lanjut menurut Steinkrauss et al. (1960) menyatakan bahwa peningkatan nilai pH atau penurunan nilai derajat asam selama fermentasi memungkinkan terjadinya penurunan kadar protein karena pertumbuhan kapang terhenti. Kondisi inilah yang dimungkinkan terjadi pada penambahan angkak 20% saat kandungan protein mengalami penurunan.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa fermentasi dapat meningkatkan kandungan asam amino tepung ferkusi. Tabel 2 memperlihatkan bahwa

dalam angkak dan kulit singkong tanpa fermentasi tidak terdeteksi adanya sistein (asam amino yang yang mengandung sulfur). Setelah difermentasi asam amino sistein tersebut terdapat sebesar 175,04 ppm dalam hasil fermentasi kulit singkong dengan penambahan angkak 5%. Dalam analisis angkak dan tepung kulit singkong tanpa fermentasi, sistein tidak terdeteksi karena kadarnya relatif rendah (limit of detection 48,42 ppm). Hasil ini mengindikasikan bahwa kandungan protein dalam kulit singkong terfermentasi tinggi.

Jumlah kadar 17 jenis asam amino pada tepung kulit singkong yang tidak difermentasi sebesar 40367,38 ppm. Setelah difermentasi menggunakan angkak meningkat menjadi 68681,96 ppm. Besar kenaikan jumlah asam amino tepung kulit singkong yang diakibatkan proses fermentasi sebesar 1,7 kali dengan rata – rata persentase kenaikannya sebesar 92,50%. Besar kenaikan sistein tidak dihitung karena kadarnya dalam tepung kulit singkong tanpa fermentasi tidak terdeteksi. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di mana terjadi peningkatan kadar asam amino selama proses fermentasi. Almasyuhri et al. (1999) menyatakan bahwa proses fermentasi dengan menggunakan R. oligosporus dan menggunakan laru pada singkong dapat meningkatkan kandungan asam amino sebesar 1,880 mg dan 2,050 mg asam amino dalam 100 g bahan kering.

Peningkatan kandungan asam amino disebabkan aktivitas proteolitik mikroorganisme. Enzim yang berperan dalam proses penguraian protein menjadi asam amino adalah enzim protease. Aktivitas protease terdeteksi 12 jam ketika pertumbuhan hifa kapang masih relatif sedikit. Hanya 5% dari hidrolisis protein yang digunakan sebagai sumber karbon dan energi, sisanya terakumulasi dalam bentuk peptida dan asam amino (Nurhidayat et al., 2006).

Apabila dilihat semua asam amino essensial mengalami peningkatan, yaitu histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, phenilalanin, threonin, dan valin.

Tabel 2. Kadar 17 Asam Amino dalam Tepung Tanpa Fermentasi (0%) dan Tepung Fermentasi Kulit Singkong yang Paling Optimal (5%)

Kadar Asam Amino (ppm)

Asam Amino Angkak Tanpa Fermentasi (0%) Fermentasi Paling Optimal (5%)

Aspartat* 5826,56 2894,85 5169,31 Glutamat* 12009,38 5633,27 8528,59 Serin* 3694,70 2107,19 4316,67 Glisin* 3268,95 2069,97 4073,04 Histidin* 1292,19 1256,34 1852,69 Arginin* 4045,05 6038,89 5649,11 Threonin** 2711,88 1875,76 3841,99 Alanin* 5204,68 4446,69 5562,96 Prolin 3255,66 1738,17 3055,23 Valin** 4038,64 1938,35 4156,65 Isoleusin** 2775,83 1514,57 3450,65 Leusin** 4790,41 2237,41 5414,41 Phenilalanin** 5092,86 2163,82 4914,06 Lisin** 1451,13 2456,05 3616,48 Tirosin* 2314,24 1462,90 3162,76 Sistein* Not detected Not detected 175,04 Metionin** 5165,60 53315 1742,32 Total 66937,76 40367,38 68681,96

*nonessensial asam amino, **essensial asam amino  

Page 22: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists

49

Penurunan kadar asam amino hanya terjadi pada asam amino arginin, namun asam amino arginin merupakan asam amino nonessensial dan penurunannya juga tidak terlalu signifikan. Dari hasil uji dapat dikatakan bahwa kulit singkong yang difermentasi menggunakan angkak memiliki kandungan asam amino yang jauh lebih tinggi dibandingkan tanpa fermentasi. Kesimpulan

Hasil tepung fermentasi kulit singkong (ferkusi) yang paling optimal pada penambahan angkak 5%. Hasil uji asam amino menunjukkan bahwa tepung ferkusi 5% mengandung aspartat, glutamat, serin, glisin, histidin, arginin, threonin, alanin, prolin, valin, isoleusin, leusin, phenilalanin, lisin, tirosin, sistein, dan metionin. Asam amino yang paling tinggi kadarnya adalah glutamat (8528,59 ppm) dan yang paling rendah sistein (175,04 ppm). Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini didanai oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk. melalui program Indofood Riset Nugraha 2015/2016. Daftar Pustaka Agbor, E.T. and Mbome, I.L., 2006. The Effect of

Processing Technique in Reducing Cyanogen Levels During The Production of Some Cameroonian Cassava Food. Journal of Food Composition and Analysis, 19(4): 354 - 363.

Almasyuhri, Ridwan E., Yuniati H., dan Hermana, 1999. Pengaruh Fermentasi Terhadap Kandungan Protein dan Komposisi Asam Amino dalam Singkong. Jurnal PGM, 22: 55 - 61.

Arunachalam, C. and Narmadhapriya, D., 2011. Monascus Fermented Rice and Its Beneficial Aspect : A New Review. Asian Journal of Pharrmaceutical and Clinical Research, 4(1): 29 - 31.

Chairote, Em-on., Chairote, G. and Lumyong, S., 2009. Red Yeast Rice Prepared from Thai Glutinous Rice and the Antioxidant Activity. Chiang Mai J. Sci., 36(1): 42 - 49.

Coursey, D.G., 1973. Cassava as Food: Toxicity and Technology. Prociding of Interdiciplinary Workshop, London, England: 27 - 36.

Deliani, 2008. Pengaruh Lama Fermenttasi Terhadap Kadar Protein, Lemak, Komposisi Asam Lemak dan Asam Fitat pada Pembuatan Tempe. Tesis. Program Studi Ilmu Kimia, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara.

Djaafar, T.F., Rahayu, S. dan Gardjito, M., 2009. Pengaruh Blanching dan Waktu Perendaman dalam Larutan Kapur Terhadap Kandungan Racun pada Umbi dan Ceriping Gadung. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 28(3): 192 - 198.

Dwinaningsih, E.A., 2010. Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe dengan Variasi Bahan Baku Kedelai/Beras dan Penambahan Angkak serta

Variasi Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Frank, G.W., 1996. The Fascination of Kombucha. http://www.kombu.de/fasz-eng.htm [15 Maret 2016]

Greenwalt, C.J., Ledford, R.A., K.H. Steinkrauss, 1998. Determination and Characterization of The Antimicrobial Activity of The Fermented Tea Kombucha. Department of Food Science Cornell University, New York. http://www.dobradieta.pl/forum/viewtopic.php?p=246975 [10 Maret 2016]

Hikmah, N., 2015. Pemanfaatan Ekstrak Kulit Singkong dan Air Cucian Beras pada Pertumbuhan Tanaman Sirsak (Annona muricata L.). Naskah Publikasi. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Hikmiyati, N. dan Yanie N.S., 2009. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Singkong Melalui Proses Hidrolisa Asam. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.

Julianto, 2014. Tabloid Sinar Tani : Produksi Singkong Nasional. http://tabloidsinartani.com/read-detail/read/produksi-singkong-nasional/ [1 Mei 2015].

Kasim, E., Suharna, N. dan Nurhidayat, N., 2006. Kandungan Pigmen dan Lovastatin pada Angkak Beras Merah Kultivar Buah Butong dan BP 1804 IF 9 yang Difermentasi dengan Monascus purpureus Jmba. Jurnal Biodiversitas, 7(1): 7 - 9.

Kawuri, R., 2013. Red Mold Rice (Angkak) sebagai Makanan Terfermentasi dari China: Suatu Kajian Pustaka. Jurnal Biologi, 17(1): pp.24 - 28.

Kurniati, L.I., Aida, N., Gunawan, S. dan Widjaja, T., 2012. Pembuatan Mocaf (Modified Cassava Flour) dengan Proses Fermentasi Menggunakan Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae, dan Rhizopus oryzae. Jurnal Teknik Pomits, 1(1): pp.1-6.

Kurniawan, B., Fathul, F. dan Widodo, Y., 2013. Delignifikasi Pelepah Daun Sawit Akibat Penambahan Urea, Phanerochaete chrysosporium dan Trametes sp. terhadap Kadar Abu, Kadar Air, Kadar Protein, Kadar Lemak dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN). e - Jurnal, Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. http://fp.unila.ac.id [10 Maret 2016]

Mahanany, D., 2013. Pemanfaatan Tepung Kulit Singkong Sebagai Bahan Substitusi Pembuatan Mie Basah Ditinjau dari Elastisitas dan Daya Terima. Naskah Publikasi. Program Studi DIII Gizi. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Montagnac, J.A., Davis, C.R. and Tanumihardjo, S.A., 2009. Processing Techniques to Reduce Toxicity and Antinutrients of Cassava for Use as a Staple Food. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 8: 17 - 27.

Page 23: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists

50

Nambisan B, 1994. Evaluation of The Effect of Various Processing Tecniques on Cyanogen Content Reduction in Cassva. Arta Hortic, 375: 193 - 201

Nuraini, Sabrina dan Latif, S.A., 2009. Kondisi Optimum dan Profil Produk Fermentasi dengan Monascus purpureus Dengan Substrat Limbah Agro Industri Sebagai Pakan Alternatif Ternak Unggas. Skripsi. Universitas Andalas, Padang.

Nurhidayat, Masdiana, C.P. dan Hartini, S., 2006. Mikrobiologi Industri. ANDI, Yogyakarta.

Oboh, G., 2006. Nutrient Enrichment of Cassava Peels Using a Mixed Culture of Saccharomyces cereviseae and Lactobacillus spp Solid Media Fermentation Techniques. Electronic Journal of Biotechnology, 9(1): 46-49

Permana, D.R., Sunnati M., Tisnadjaja D., 2004. Analisis Kualitas Produk Fermentasi Beras (Red Fermented Rice) dengan Monascus purpureus 3090. Jurnal Biodiversitas, 5(1): 7 12.

Prasojo, W., Suhartati, FM. dan Rahayu, S., 2013. Pemanfaatan Kulit Singkong Fermentasi Menggunakan Leuconostoc mesenteroides dalam Pakan Pengaruhnya Terhadap N-NH3 dan VFA (in vitro). Jurnal Ilmiah Peternakan, 1(1): 397 - 404.

Pratiwi, I.D., 2013. Pengaruh Substitusi Tepung Kulit Singkong Terhadap Kualitas Muffin. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Prawitasari, I. dan Estiningdriati, 2012. Kecernaan Protein Kasar dan Serat Kasar Serta Laju Digesta pada Ayam Arab yang Diberi Ransum dengan Berbagai Level Azolla Microphylla. Animal Agriculture Journal, 1: 471-83.

Rokhmah, L.N., 2008. Kajian Kadar Asam Fitat dan Kadar Protein Selama Pembuatan Tempe Kara Benguk (Mucuna pruriens) dengan Variasi Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Safitri, F. dan Hartini, S., 2013. Substitusi Buah Sukun (Artocapus altilis Forst) dalam Pembuatan Mie Basah Berbahan Dasar Tepung Gaplek Berprotein. Skripsi. Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Steel, R. dan Torie, J.H., 1980. Prinsip dan Prosedur Statitiska Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia, Jakarta.

Steinkrauss, K.H., Wagenknecht, A.C., Mattick, L.R., Lewin, L.M., Hand B.D., 1960. Changes in Soybean Lipids During Tempeh Fermentation. New York State Agricultural Experiment Station. Cornell University, New York.

Suprihatin, 2010. Teknologi Fermentasi. UNESA University Press, Surabaya. Westby A. and Choo B.K., 1994. Cyanogen Reduction

during Lactic Fermentation of Cassava. Acta Hortic, 375: 15 - 209.

Wikanastry, H., Cahya S. dan Agus S., 2012. Aplikasi Proses Fermentasi Kulit Singkong Menggunakan Starter Asal Limbah Kubis dan Sawi pada Pembuatan Pakan Ternak Berpotensi Probiotik. Seminar Hasil - hasil Penelitian LPPM. Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang.

Page 24: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists http://dx.doi.org/10.17728/jatp.170

51

Catatan Penelitian Pemodelan Isoterm Sorpsi Air Biskuit Coklat menggunakan Persamaan Caurie Water Sorption Isoterm Modeling of Chocolate Biscuit using Caurie Equation Margareta Novian Cahyanti, Jimmy Hindarto, Lydia Ninan Lestario Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana *Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 22 Maret 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 20 April 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kurva isoterm sorpsi air biskuit coklat, memprediksikannya menggunakan pemodelan Caurie, serta menentukan karakteristiknya.Kadar air monolayer dan luas permukaan penyerapan biskuit coklat ditentukan dengan model Caurie. Kurva isoterm sorpsi air biskuit coklat mempunyai bentuk sigmoid yang mendekati tipe II. Model Caurie dapat digunakan untuk memprediksikan fenomena isoterm sorpsi air biskuit coklat dengan nilai MRD 2,67%. Karakteristik isoterm sorpsi air biskuit coklat antara lain kadar air monolayer 3,07% dan luas permukaan penyerapan air 64,3 m2/g. Kata kunci : biskuit coklat, isoterm sorpsi air, model Caurie Abstract

The research was aimed to obtain moisture sorption curve of chocolate biscuit and predicted using Caurie model. Using the Caurie’s model, monolayer moisture content and surface area of adsorption was calculated. Result of the study showed that the moisture sorption isotherm curve of chocolate biscuithad the sigmoid form. Caurie model was appropriate to predict water sorption isotherm with MRD 2.67%. Monolayer moisture content 3,07% and surface area of adsorption 64,3 m2/g. Keywords : chocolate biscuit, water sorption isotherm, Caurie model Pendahuluan

Biskuit coklat merupakan salah satu jenis makanan yang dikenal luas oleh masyarakat. Dalam keadaan darurat biskuit sering digunakan sebagai bahan makanan berkalori tinggi. Salah satu permasalahan yang muncul dalam masa konsumsi biskuit adalah stabilitasnya. Stabilitas biskuit ditentukan oleh kadar air dan aktivitas air.

Hubungan antara kadar air dan aktivitas air digambarkan dalam suatu kurva isoterm sorpsi air. Pengetahuan dan pemahaman tentang isoterm sorpsi air penting dalam kaitannya dengan desain dan optimasi peralatan pengeringan, desain pembungkus, perkiraan mutu, stabilitas, dan masa simpannya (Gupala Rao, 2015). Pemahaman tentang kadar air optimum juga penting kaitannya dengan proses produksi dan pemilihan pembungkus yang erat kaitannya dengan pencegahan penurunan kualitas selama penyimpanan (Oluwamukomi, 2009).

Untuk membantu menjelaskan hubungan antara aktivitas air dan kadar air kesetimbangan digunakan berbagai model matematika. Beberapa model matematika yang sering digunakan dalam menjelaskan hubungan ini antara lain persamaan Langmuir, persamaan BET, model Oswin, model Smith, model Halsey, model Henderson, persamaan Iglesias-Chirife, model GAB dan model Peleg (Sahin and Sumnu, 2006). Model lain yang sering digunakan antara lain model Chen-Clayton dan Caurie (Sugiyono et al., 2011,

Budijanto et al., 2010). Model Caurie merupakan salah satu model yang dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik isoterm sorpsi air produk tertentu. Model Caurie dapat digunakan untuk mengetahui kadar air monolayer, jumlah adsorbed pada monolayer, kandungan air terikat, dan luas permukaan adsorpsi (Caurie, 1981).

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kurva isoterm sorpsi air biskuit coklat, memprediksikannya menggunakan pemodelan Caurie, serta menentukan karakteristiknya. Materi dan Metode Materi

Bahan penelitian yang digunakan adalah biskuit coklat. Bahan kimia yang digunakan aquades, KCl, K2CO3, NaCl, Mg(NO3)2, dan CH3COOK. Piranti yang digunakan antara lain desikator, neraca analitik, inkubator, dan oven. Kurva Isoterm Sorpsi Air

Penentuan kurva sorpsi pada penelitian ini menggunakan metode gravimetri statis (Hayati et al., 2004 yang telah dimodifikasi). Lima jenis larutan garam jenuh diletakkan dalam lima buah wadah kaca untuk memperoleh kelembapan relatif 40-80% atau aktivitas air 0,4-0,8. Sampel sebanyak 10 gram diletakkan dalam cawan porselin yang telah diketahui massanya kemudian disimpan dalam wadah kaca. Wadah kaca

Page 25: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists http://dx.doi.org/10.17728/jatp.170

52

disimpan dalam inkubator dengan suhu 30⁰C. Perubahan massa diamati setiap hari dan dihentikan ketika kadar air kesetimbangan tercapai atau sampel telah ditumbuhi jamur. Nilai kadar air ditentukan dengan menggunakan metode pengovenan. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan lima kali ulangan. Ketepatan Model Caurie

Aktivitas air dan kadar air kesetimbangan kemudian diolah menurut model Caurie. Menurut Caurie (1981) persamaan untuk model Caurie adalah sebagai berikut :

ln1𝑚 = − ln 𝐶𝑀! +  

2𝐶𝑀!

ln1− 𝑎!𝑎!

dengan rincian, m = kadar air kesetimbangan, C = konstanta Caurie, M0 = kadar air monolayer, aw = aktivitas air. Persamaan tersebut dapat membentuk garis lurus dengan y = ln !

! dan x=ln !!!!

!!.

Uji ketepatan model atau MRD (Mean Relative Determination) dilakukan untuk menguji ketepatan persamaan isoterm sorpsi air. Rumus MRD adalah sebagai berikut :

𝑀𝑅𝐷 =  100𝑛

𝑚𝑖 −𝑚𝑝𝑖𝑚𝑖

!

!!!

dengan rincian mi = kadar air hasil percobaan, mpi = kadar air hasil perhitungan, n = jumlah data

Jika nilai MRD<5 maka model dapat menggambarkan keadaan sebenarnya. Jika 5<MRD<10 maka model agak tepat menggambarkan keadaan sebenarnya dan jika MRD>10 maka model tersebut tidak tepat menggambarkan keadaan sebenarnya. Karakteristik Isoterm Sorpsi Air

Karakteristik isoterm sorpsi air pada umumnya ditentukan dengan menggunakan model Guggenheim-Anderson-de Boer (GAB) (Oluwamukomi, 2009; Aini et al., 2014). Model lain yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik isoterm sorpsi air adalah model Caurie (Caurie, 1981). Model Caurie dapat digunakan untuk menentukan kadar air monolayer, jumlah adsorbed pada monolayer, kandungan air terikat, dan luas permukaan adsorpsi. Kadar air monolayer diperoleh secara langsung dari persamaan Caurie. Jumlah air terikat diperoleh dengan mengalikan kadar air monolayer dan jumlah adsorbed pada monolayer. Luas permukaan adsorpsi (A) dapat digitung dengan rumus :

𝐴 =  𝑀!

𝐶!×𝑑×10!

dengan rincian, A = luas permukaan adsorpsi, Mc = kadar air monolayer, Cc = konstanta Caurie, d = diameter molekul air (3,673x10-10m) Hasil dan Pembahasan

Tabel 1 menunjukkan kelembapan relatif, aktivitas air, dan kadar air kesetimbangan masing-masing wadah kaca. Kurva isoterm sorpsi air biskuit

coklat dibuat dengan menghubungkan aktivitas air dengan kadar air kesetimbangan. Gambar 1 menunjukkan kurva isoterm sorpsi air biskuit coklat. Kurva kurva isoterm sorpsi air biskuit coklat berbentuk sigmoid atau menyerupai bentuk S, sehingga kurva isoterm sorpsi air biskuit coklat mendekati tipe II. Kurva isoterm sorpsi air tipe II mempunyai bentuk seperti sigmoid atau huruf S yang disebabkan karena hukum Raoult, efek kapilaritas, dan interaksi antara air dan permukaan bahan pangan (Sahin and Sumnu, 2006). Tabel 1. Kelembapan Relatif, Aktivitas Air, dan Kadar Air Kesetimbangan

Garam Kelembapan Relatif

Aktivitas Air

Kadar Air Kesetimbangan

CH3COOK 40 0,40 2,81 K2CO3 50 0,50 3,97 Mg(NO3)2 64 0,64 6,60 NaCl 72 0,72 9,45 KCl 80 0,80 12,38

Gambar 1. Kurva Isoterm Sorpsi Air Biskuit Coklat

Data hubungan kadar air kesetimbangan dan

aktivitas air kemudian diubah dalam berbagai model matematika untuk diprediksikan. Tabel 2 menunjukkan kadar air kesetimbangan hasil perhitungan untuk model Caurie. Kadar air hasil perhitungan dibandingkan dengan kadar air percobaan untuk perhitungan nilai MRD. Gambar 2 menunjukkan perbandingan kurva isoterm sorpsi air hasil percobaan dan prediksi model Caurie.

Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa kurva isoterm sorpsi aie biskuit coklat hasil percobaan mendekati prediksi Caurie hampir di semua aktivitas air. Ketepatan model diperkuat dengan hasil perhitungan MRD 2,67% yang menunjukkan bahwa model Caurie tepat menggambarkan fenomena isoterm sorpsi air biskuit. Karakteristik isoterm sorpsi air model Caurie dapat dilihat pada Tabel 3. Kadar air monolayer adalah air yang terikat secara kuat. Suatu produk pangan akan stabil pada kadar air monolayer. Kadar air monolayer bervariasi dan dipengaruhi oleh komposisi kimia, struktur, dan lingkungan seperti suhu (Rahman, 2009). Nilai kadar air monolayer akan turun seiring dengan naiknya suhu (Rakshit et al., 2011; Bajpai and Tiwari, 2013). Pangan mempunyai gugus OH, C=O, NH, dan gugus polar yang dapat berinteraksi dengan molekul air melalui ikatan hidrogen dan interaksi dipol-dipol. Interaksi air dengan senyawa non polar berupa hidrasi hidrofobik (Belitz et

Page 26: 522930 Cara Penanganan yang Baik Pengolahan Produk Hasil …library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Jurnal... · 2018. 5. 8. · SNI 01-2997-1992 yaitu swelling power (60°C)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (2) 2016 ©Indonesian Food Technologists http://dx.doi.org/10.17728/jatp.170

53

al., 2009). Ketika suhu dinaikan hidrasi hidrofobik akan turun sehingga jumlah air yang diikat juga akan turun (Noguchi, 1981). Tabel 2. Kadar Air Kesetimbangan Perhitungan Model Caurie

Garam Kadar Air Kesetimbangan (%bk) Pengukuran Model Caurie

CH3COOK 2,81 2,83 K2CO3 3,97 4,001 Mg(NO3)2 6,60 6,53 NaCl 9,45 8,87 KCl 12,38 12,98

Tabel 3. Karakteristik Isoterm Sorpsi Air Biskuit Coklat

Konstanta Caurie

Kadar Air Monolayer (g/kg solid)

Luas Permukaan Penyerapan (m2/g)

1,2998 3,07 64,3

Gambar 2. Perbandingan Kurva Isoterm Sorpsi Air Biskuit

Hasil Pengukuran dan Model Caurie Luas permukaan penyerapan air berhubungan

dengan sisi penyerap air. Semakin luas permukaan penyerapan air menunjukkan jumlah gugus OH, C=O, NH, dan gugus polar yang besar. Luas permukaan penyerapan air akan turun seiring dengan naiknya suhu (Rakshit et al., 2011). Kesimpulan

Kurva isoterm sorpsi air biskuit coklat mempunyai bentuk sigmoid yang mendekati tipe II. Model Caurie dapat digunakan untuk memprediksikan fenomena isoterm sorpsi air biskuit coklat dengan nilai MRD 2,67%. Karakteristik isoterm sorpsi air biskuit coklat antara lain kadar air monolayer 3,07 g/kg solid dan luas permukaan penyerapan air 64,3 m2/g. Daftar Pustaka Aini, N., V. Prihananto, G. Wijonarko. 2014.

Karakteristik Kurva Isotherm Sorpsi Air Tepung Jagung Instan. Agritech Volume 34 Nomor 1 halaman 50-55

Bajpai, S. and P. Tiwari. 2013. Investigation of Mosture Sorption Behavior of an Indian Sweet Son-Papdi.

Journal of Microbiology, Biotechnology and Food Science (5) halaman 2277-2282

Belitz, H.D., W. Grosch and P. Schieberle. 2009. Food Chemistry. Berlin. Springer

Budijanto, S. A.B. Sitanggang dan Y.D. Kartika. 2010. Penentuan Umur Simpan Tortilla dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Kadar Air Kristis serta Pemodelan Ketepatan Sorpsi Isotherminya. Jurnal Teknologi da Industri Pangan Volume XXI Nomor 2 halaman165-170

Caurie, M. 1981. Derivation of Full Range Moisture Sorption Isotherms.dalam Rockland, L.B and George F. Stewart(Eds).Water Activity : Influences on Food Quality : A Treatise on the Influence of Bound and Free Water on the Quality and Stability of Foods and Other Natural Products. London. Academic Press, Inc (London) Ltd

Gupala Rao, C. 2015.Enginering for Storage of Fruits and Vegetables: Cold Stograge Controlled Atmosphere Storage, Modified Atmosphere Storage.India. BS Publications

Hayati, R., A. Abdullah, M.K. Ayob, dan S.T. Soekarto. 2004. Isotermi Sorpsi Air dan Analisis Umur Simpan Ikan Kayu Tongkol (Euthynnus affinis) dari Aceh. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Volume 15 Nomor 3 halaman 207-213

Noguchi. 1981. Hydration Around Hydrophobic Groups. dalam Rockland, L.B and George F. Stewart(Eds).Water Activity : Influences on Food Quality : A Treatise on the Influence of Bound and Free Water on the Quality and Stability of Foods and Other Natural Products. London. Academic Press, Inc (London) Ltd

Oluwamukomi,M.O. 2009.Adsorption Isotherm Modeling of Soy-Melon-Enriched and Unriched “Gari” Using GAB Equation.African Journal of Food Science. Volume 3(5) pp 117-124

Rakshit, M., B. Moktan dan S.A. Hossain. 2014. Moisture Sorption Characteristics of Wadi, a Legume-based Traditional Condiment. Journal Food Science and Technology Volume 51 Nomor 2 halaman 301-307

Rahman, M.S. 2009.Food Stability Beyond Water Activity and Glass Transtion : Macro-Micro Region Concept in The State Diagram. International Journal of Food Properties 12 halaman 726-740

Sahin, S and S.G.Sumnu. 2006. Physical Properties of Foods.New York. Springer Science + Business Media LLC.

Sugiyono, E. Setiawan, E. Syamsir, dan H. Sumekar. 2011. Pengembangan Produk Mi Kering dari Tepung Ubi Jalar (Ipomea batatas) dan Penentuan Umur Simpannya dengan Metode Isoterm Sorpsi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Volume XXI Nomor 2 halaman 164-170