5. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasar Hukum Positif Indonesia Rika Kurniaty

download 5. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasar Hukum Positif Indonesia Rika Kurniaty

of 6

description

Perlindungan Hukum Pekerja Anak

Transcript of 5. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasar Hukum Positif Indonesia Rika Kurniaty

  • Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasar Hukum Positif Indonesia

    (Legal Protection for Child Labor Based on the Indonesian Positive Law)

    Rika Kurniaty

    Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

    Jl.MT.Haryono Nomor 169 Malang 65145

    e-mail: [email protected]

    ABSTRACT

    Children are the next generation of each nation. Therefore the future of a nation lies on them. They need to be

    prepared and guided since the very beginning so that they can grow to be physically and mentally healthy,

    developed, independent and prosperous children who will become qualified human resources ready to face the

    future challenge. However, recently in Indonesia, the phenomenon of child labor is increasing in number.

    Generally these children work in various working fields, particulary in informal fields such as in factories,

    fish traps as well as other sectors. An interesting thing to be discussed here is the factors causing them to be

    labored. Furthermore, this article also aims at explaining the legal protection in the Indonesian Positive Law

    for Child Labor in the normatively juridical way.

    Key words: perlindungan hukum (legal protection), pekerja anak (child labor), hukum positif ( positive law)

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sebagaimana manusia lainnya, sehingga

    tidak ada manusia ataupun pihak lain yang boleh merampas hak tersebut. Di Indonesia terutama dalam tiga dekade

    terakhir, perhatian pemerintah, Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), dan lembaga-lembaga lainnya terhadap

    kesejahteraan anak semakin meningkat. Permasalahan anak yang paling mendasar dan banyak disoroti oleh banyak

    pihak adalah masalah pekerja anak. Sektor-sektor pekerjaan pada pekerja anak pada umumnya merupakan bidang

    marginal serta tidak memerlukan ketrampilan khusus, seperti menjadi buruh pabrik/ industri, jermal-jermal,

    pembantu rumah tangga, penjual koran, kuli angkut, pedagang kaki lima, prostitusi, dan pekerjaan seadanya

    (serabutan) lainnya. Namun hampir semua pekerjaan anak bermotifkan ekonomi.

    Pada saat ini jumlah pekerja anak semakin tahun semakin bertambah. Yang menarik, hal ini tidak saja

    terjadi di Indonesia melainkan juga hampir diseluruh belahan dunia. Menurut data yang diperoleh dari International

    Labour Organization (ILO) Jakarta, saat ini sekitar 8,4 juta anak diseluruh dunia terjebak dalam perbudakan,

    perdagangan, pratik ijon, pelacuran, pornografi, serta pekerjaan terlarang (Kompas, Edisi 16 Juni 2003: hlm.13).

    Menurut data dari kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, di Indonesia diperkirakan jumlah anak yang

    menjadi pekerja anak mencapai 165.000 orang.

    Aturan hukum yang mengatur masalah pekerja anak di Indonesia memang sudah ada. Bahkan pada masa

    kolonial Belanda, sebenarnya pernah ada aturan hukum yang melarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur,

    antara lain: (1).Ordonantie 17 Desember 1952 (Stb. No.647) yang diperbaharui dengan Ordonantie No.9 tahun 1949

    mengenai peraturan tentang pembatasan kerja anak-anak, (2). Ordonantie 27 Februari 1926 (Stb. No.87) mengenai

    peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda kapal. Akan tetapi, aturan-aturan ini masih memuat pengecualian

    yang membuat aspek perlindungan terhadap anak tidak konsisten. Sebagai contoh, pasal 2 Ordonantie 27 Februari

    1926 yang menyebutkan: anak dibawah umur 12 tahun tidak boleh menjalankan pekerjaan kapal, kecuali bila ia

    bekerja pada pengawasan ahlinya atau keluarga sampai derajat ketiga.

    Peraturan-peraturan ini memang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui Undang-undang Nomor 13

    Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi hal ini dapat memberikan gambaran bahwa upaya perlindungan

    pekerja anak secara konsisten, terutama di Indonesia merupakan suatu hal yang baru.

    Secara umum upaya perlindungan anak khususnya pekerja anak merupakan upaya perlindungan terhadap

    Hak Asasi Manusia. Instrumen hukum yang merupakan landasan perlindungan Hak asasi manusia sebagai isu global

    adalah the 1948 Universal Declaration Of Human Right (DUHAM). Deklarasi ini merupakan perjanjian payung hak

    asasi manusia yang merupakan peraturan utama dalam mengatur perlindungan hak asasi manusia. Secara khusus

    masalah perlindungan anak diatur dalam The Convention On The Rights Of The Child atau konvensi hak anak.

    B. Perumusan Masalah

    Adapun perumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap

    pekerja anak di Indonesia?

  • PEMBAHASAN

    A. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pekerja Anak

    Pelibatan anak dalam sektor produktif sesungguhnya bukan sekedar karena motif-motif ekonomi saja,

    melainkan juga karena kebiasaan dan faktor kultural. Pada daerah pedesaan pada umumnya, terlebih lagi dalam

    lingkungan keluarga miskin, kebiasaan untuk melibatkan anak dalam kegiatan kerja, baik di rumah atau di luar

    rumah dipandang sebagai ritus dalam life circle seorang anak. Sebagai suatu keharusan dan proses yang mesti dilalui

    sebelum beranjak dewasa memasuki kehidupan rumah tangganya kelak (Bagong Suyanto, 2000: 87). Dalam banyak

    sektor, anak-anak terlibat bekerja dikarenakan beberapa faktor yang melatarbelakangi, yaitu:

    1. Faktor Ekonomi

    Rendahnya ekonomi keluarga merupakan faktor dominan yang menyebabkan anak-anak terlibat

    mencari nafkah. Anak sering manjadi sumber penghasilan yang sangat penting. Bahkan dalam banyak

    hal pekerja anak dipandang sebagai mekanisme survival untuk mengeliminasi tekanan kemiskinan yang

    tidak terpenuhi dari hasil kerja orangtua.

    2. Faktor Motivasi

    Terlibatnya anak dalam kegiatan ekonomi juga karena adanya dorongan untuk bekerja. Bekerja untuk

    membantu meringankan beban orangtua, bekerja untuk mendapatkan penghormatan dari masyarakat,

    juga keinginan menikmati hasil usaha kerja, merupakan faktor-faktor motivasi pekerja anak. Akan

    tetapi sebab terbesar yang mendorong anak-anak bekerja adalah tuntutan orangtua dengan tujuan

    mendapat tambahan pemasukan bagi keluarga. Anak-anak seringkali tidak dapat menghindar untuk

    tidak ikut terlibat dalam pekerjaan.

    3. Faktor Kultural

    Fenomena pekerja anak ini tidak terlepas dari realitas yang ada pada masyarakat kita, yang secara

    kultural memandang anak sebagai potensi keluarga yang wajib berbakti kepada orang tua. Anak yang

    bekerja justru diangap sebagai anak yang berbakti. Dengan budaya yang seperti ini maka posisi anak

    yang mempunyai hak dan wajib dilindungi menjadi terabaikan.

    B. Instrumen Hukum Walaupun belum ada peraturan yang secara spesifik dan komprehensif melindungi pekerja anak di

    Indonesia, namun beberapa peraturan perundang-undangan yang ada dapat digunakan sebagai landasan kebijakan

    dalam melindungi pekerja anak di Indonesia. Adapun aturan-aturan tersebut adalah:

    1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi ILO Convention No.138 Concerning Minimum

    Age for Admission to Employment the Abolition of Forced Labour atau Konvensi ILO No. 138 Mengenai

    Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973.

    Konvensi ini telah diadopsi oleh konferensi umum ILO pada tanggal 26 Juni 1973, dan Indonesia telah

    meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999. Konvensi ini sendiri, seperti yang

    tercantum dalam alenia keempat pembukaannya, dimaksudkan untuk menetapkan suatu naskah umum mengenai

    batasan umur yang secara berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang ada yang berlaku pada sektor

    ekonomi yang terbatas. Hal ini karena sebelumnya memang sudah ada rumusan tentang batasan umur minimal untuk

    bekerja, hanya saja rumusan itu berbeda-beda untuk setiap jenis dan sektor kerja. Alenia keempat pembukaan ini

    juga menyebutkan bahwa tujuan dari konvensi ini sendiri adalah untuk menghapus anak sebagai pekerja pada

    kegiatan ekonomi secara keseluruhan.

    Dalam rangka perlindungan terhadap anak sebagai pekerja, konvensi memuat beberapa asas yang antara

    lain:

    a. Asas penghapusan kerja anak, dirumuskan dalam Pasal 1 yang mengamanatkan kepada setiap anggota

    untuk mengambil kebijakan secara nasional untuk menjamin penghapusan kebijakan anak sebagai pekerja

    secara efektif. Selain itu, setiap anggota diwajibkan untuk secara progresif menaikan usia minimum untuk

    diperbolehkan bekerja sampai pada suatu tingkat yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan fisik dan

    mental orang muda.

    b. Asas perlindungan, dalam Pasal 2 dirumuskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah

    15 tahun. Umur 15 tahun ini diadopsi dari usia sekolah wajib. Pasal 2 juga menyatakan bahwa tidak

    seorang pun yang berada di bawah usia wajib diperbolehkan bekerja atau masuk bekerja dalam suatu

    jabatan pada wilayah negara anggota ILO. Pasal ini juga memuat larangan untuk bekerja pada alat

    angkutan yang ada pada wilayah negara tersebut. Pasal 3 konvensi merumuskan bahwa untuk jenis

    pekerjaan yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral orang muda, batasan umur tidak

    boleh kurang dari 18 tahun. Pasal 3 juga merumuskan bahwa jenis-jenis pekerjaan yang berbahaya harus

    ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan nasional.

  • 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Convention No. 182 Concerning the

    Prohibition and Intermediate Action for the Elimination of The Worst Forms of Child Labour Atau Konvensi

    ILO No.182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk

    Pada Anak Tahun 1999.

    Rumusan instrumen internasional yang ditetapkan oleh ILO sebagai kelanjutan dari upaya perlindungan

    pekerja yang telah dirumuskan oleh konvensi sebelumnya adalah konvensi ILO No.182. konvensi ini lahir

    berdasarkan pertimbangan bahwa dipandang perlu adanya instrumen ketenagakerjaan yang baru untuk menghapus

    bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.

    Beberapa muatan asas yang berkaitan dengan perlindungan anak terhadap eksploitasi anak sebagai pekerja

    dalam konvensi ini adalah asas perlindungan, asas pencegahan, asas penerapan secara efektif, dan asas kerjasama

    nasional. Konvensi ini juga memuat norma-norma yang berkaitan langsung dengan konsep perlindungan anak

    sebagai pekerja. Pasal 1 mewajibkan negara angota untuk mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin

    pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja anak sebagai hal yang mendesak. Selanjutnya dalam pasal

    3 dirumuskan istilah bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang mengandung pengertian:

    a. Segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek sejenis perbudakan, seperti perdagangan anak,

    kerja ijon, perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara

    paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;

    b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau

    untuk pertunjukan-pertunjukan porno;

    c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi

    dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;

    d. Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan

    kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.

    Pasal lain yang berkaitan dengan asas perlindungan anak sebagai pekerja adalah pasal 4, yang

    merumuskan bahwa untuk pekerjaan berbahaya harus diatur oleh peraturan atau undang-undang nasional, juga

    mensyaratkan bahwa negara-negara peserta wajib untuk melakukan identifikasi tempat-tempat adanya bentuk-bentuk

    pekerjaan terburuk tersebut berada. Lebih lanjut pasal ini juga merumuskan adanya peninjauan berkala dan revisi

    tentang jenis-jenis pekerjaan terburuk tersebut. Hal ini membuka peluang masuknya rumusan baru tentang jenis-jenis

    pekerjaan terburuk bagi anak.

    Untuk hal-hal yang berkaitan dengan penerapan secara efektif diatur dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7.

    Pada prinsipnya konvensi ILO No.182 mencoba memberikan rumusan perlindungan terhadap anak sehingga anak

    tidak dipekerjakan.

    3. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak Tahu 1989 Atau

    Convention on The Rights of The Child

    Setelah DUHAM dicetuskan, 5 tahun kemudian para aktivis HAM melalui negara-negara anggota berhasil

    mendesak agar PBB mau mencetuskan suatu perjanjian untuk perlindungan hak anak. Konvensi yang kemudian

    dikenal sebagai konvensi hak anak itu dicetuskan setelah melihat bahwa ternyata tidak serta merta DUHAM juga

    melindungi harkat anak-anak sebagai manusia (Mansour fakih, 2000:110). Konvensi hak anak disahkan oleh majelis

    umum PBB pada tanggal 20 November 1989. setahun kemudian, pada tahun 1990 Indonesia meratifikasi konvensi

    ini melaui Kepres No.36 tahun 1990.

    Menurut UNICEF, materi hukum mengenai hak-hak anak dalam konvensi hak anak dapat dikelompokan

    dalam empat kategori hak-hak anak, yaitu (Muhammad Joni, 2001: 35).

    a. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), yaitu hak-hak yang meliputi hak untuk

    melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk memperoleh standar

    kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-baiknya (the rights to the highest standart of health and

    medical care attainable);

    b. Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang

    meliputi perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan keterlantaran bagi anak yang tidak

    mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi;

    c. Hak untuk tumbuh kembang (development rights), yaitu hak-hak yang meliputi segala bentuk

    pendidikan (formal dan informal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi

    perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak;

    d. Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak yang meliputi hak untuk menyatakan

    pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express his view in all

    matter affecting that child);

  • Mengenai hak kelangsungan hidup diatur dalam Pasal 6 dan 24. selain itu pasal-pasal yang relevan dengan

    hak ini adalah Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 30, Pasal 32,

    Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 38 (Muhammad Joni, 2001: 35).

    Hak terhadap perlindungan (Protection rights) dalam konvensi hak anak, dikemukakan atas tiga kategori,

    yaitu:

    a) Pasal-pasal mengenai larangan diskriminasi anak, meliputi Pasal 2, Pasal 7, Pasal 23 dan Pasal 30;

    b) Pasal-pasal mengenai larangan eksploitasi anak, meliputi Pasal 10, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20,

    Pasal, 21, Pasal 25, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39 dan Pasal 40;

    c) Pasal-pasal mengenai krisis dan keadaan darurat anak, meliputi Pasal 10, Pasal 22, Pasal 25, Pasal 38 dan

    Pasal 39;

    Mengenai hak untuk tumbuh kembang (development rights) dalam konvensi hak anak pada intinya terdapat

    hak untuk memperoleh akses pendidikan dalam segala bentuk dan tingkatan (education rights), dan hal yang

    berkaitan dengan taraf hidup anak secara memadai untuk perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial

    anak (the rights to standart of living) (Muhammad Joni, 2001: 35).

    Hak anak atas pendidikan diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 29, sedangkan hak untuk tumbuh kembang

    mengacu pada beberapa pasal, yaitu pasal 17 (hak untuk memperoleh informasi), Pasal 28 dan Pasal 29 (hak untuk

    memperoleh pendidikan), Pasal 31 (hak untuk bermain dan rekreasi), Pasal 14 (hak kebebasan berfikir, berhati

    nurani, dan beragama), Pasal 5, 6, 13, 14, dan 15 (hak untuk pengembangan kepribadian social dan psikologis), Pasal

    2 dan Pasal 7 (hak atas identitas, nama, dan kebangsaan), Pasal 24 (hak atas kesehatan dan pengembangan fisik),

    Pasal 12 dan Pasal 13 (hak untuk didengar), serta Pasal 9, 10, dan 11 (hak untuk keluarga) (Muhammad Joni, 2001:

    35).

    Dari penjelasan diatas terlihat bahwa perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi merupakan bagian dari hak

    terhadap kelangsungan hidup (survival rights). Lebih lanjut konvensi juga menentukan langkah-langkah yang harus

    diambil, yaitu antara lain:

    a. Menentukan umur minimum atau umur-umur minimum untuk ijin bekerja;

    b. Menetapkan peraturan-peraturan yang tepat mengenai jam-jam kerja dan syarat-syarat perburuhan;

    c. Menentukan hukuman atau sanksi-sanksi lain yang tepat untuk menjamin pelaksanaannya yang

    efektif;

    Disini berarti negara penanggung jawab perlidungan anak harus mampu mengambil kebijakan baik secara

    yuridis, sosial, serta melakukan kerjasama internasional dalam rangka melindungi hak anak dari eksploitasi ekonomi.

    Hal ini tentunya termasuk harmonisasi hukum nasional terhadap instrumen hukum internasional yang mengatur

    perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi.

    4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

    Undang-undang ini merupakan undang-undang organik tentang perlindungan hak asasi manusia dari UUD

    1945 hasil amandemen IV. Rumusan mengenai hak anak disebutkan dalam pasal 52 yang menyatakan bahwa setiap

    anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Selain itu pasal ini juga menyebutkan

    bahwa hak anak adalah hak asasi manusia sehigga demi kepentingan anak, hak tersebut harus diakui dan dilindungi

    oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

    Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala

    bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan

    orang tuanya atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut, pasal

    ini merupakan rumusan perlindungan hak anak yang harus dilindungi oleh hukum.

    Beberapa pasal lain dalam UU HAM yang memuat ketentuan perlindungan anak, terutama dalam bentuk

    perlindungan terhadap anak sebagai pekerja adalah Pasal 64 dan Pasal 65. Pasal 64 berbunyi: setiap anak berhak

    untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan

    dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental

    spritualnya.dan Pasal 65 berbunyi: setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi

    dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari segala bentuk penyalahgunaan narkotika,

    psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

    5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

    Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, seperti dijelaskan dalam Pasal 1, bertujuan menciptakan suatu tata

    kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik

    secara rohani, jasmani, maupun sosial. Karena itu anak harus diberikan perlindungan secara khusus untuk

    melindungi dari hal-hal yang dapat membahayakan kesejahteraan mereka.

    Masalah perlindungan anak sebagai pekerja memang tidak diatur dalam rumusan undang-undang tentang

    kesejahteraan anak. Hanya saja jika kita melihat permasalahan pekerja anak dalam kerangka perlindungan anak,

  • maka akan ditemukan bahwa pekerja anak sebagai suatu hal yang bertentangan dengan undang-undang ini.

    Contohnya Pasal 2 ayat (4) yang merumuskan bahwa anak memiliki hak atas perlindungan dari lingkungan hidup

    yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Rumusan ini berkaitan

    erat dengan dengan konsep perlindungan anak sebagai pekerja. Di banyak tempat, anak yang bekerja akan selalu

    berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan tereksploitasi. Begitu juga dengan kondisi kerja yang dapat

    membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

    6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

    Undang-undang tentang perlindungan anak ini ditetapkan pada tahun 2002, dua belas tahun setelah

    Indonesia menyatakan meratifikasi konvensi hak anak. Dari lamanya rentang waktu ini terlihat kurang seriusnya

    pemerintah untuk benar-benar melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak. Pasal 2 menyebutkan bahwa

    perlindungan anak bertujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

    berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

    kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera,

    selanjutnya Pasal 20 mewajibkan kepada negara, pemerintah, masyarakat, kelurga dan orangtua untuk ikut

    bertanggung jawab terhadap perlindungan anak. Bagian lain dari undang-undang ini merumuskan ancaman pidana

    bagi pelaku eksploitasi anak, termasuk orang yang mengetahui adanya eksploitasi. Pasal-pasal dalam undang-undang

    ini sangat berkaitan dengan rumusan perlindungan anak sebagai pekerja. Terutama dengan kaitan jenis-jenis

    pekerjaan terburuk bagi anak seperti yang dimaksudkan dalam konvensi ILO No. 182. dengan adanya ketentuan

    pidana dalam undang-undang ini, maka perlindungan terhadap anak terutama dalam hal anak sebagai pekerja,

    diharapkan dapat terlaksana. Memang undang-undang ini tidak mengatur secara khusus mengenai perlindungan anak

    sebagai pekerja. Akan tetapi ketentuan-ketentuan konvensi ILO No.138 dan konvensi ILO No.182 telah dijadikan

    dasar hukum adanya undang-undang ini.

    7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    Rumusan perlindungan anak sebagai pekerja dalam undang-undang ini ditemukan dalam Pasal 68, yaitu:

    pengusaha dilarang mempekerjakan anak.bagian lain dari undang-undang ini, yaitu pasal 185 memuat rumusan

    pidana bagi siapapun yang melanggar ketentuan Pasal 68 dengan ancaman pidana satu sampai empat tahun penjara

    dan/ atau denda Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Hanya

    saja Pasal 68 kemudian menjadi kontradiktif dengan pengecualian yang diberikan oleh Pasal 69. Pasal 69

    memungkinkan adanya penyimpangan dari rumusan Pasal 68 yang sebenarnya sudah cukup tegas melindungi hak-

    hak anak sebagai pekerja.

    Sedangkan rumusan mengenai larangan eksploitasi anak diatur dalam Pasal 74 yang memuat larangan untuk

    mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk.. Pelanggaran terhadap ketentuan ini,

    seperti diatur dalam pasal 183 merupakan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara dua sampai

    lima tahun dan/atau denda antara Rp.200.0000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai Rp.500.000.000,- (lima ratus juta

    rupiah).

    Undang-undang ini juga mengatur perlindungan anak yang bekerja diluar hubungan kerja (Pasal 75), yang

    mewajibkan pemerintah untuk melakukan upaya penanggulangan terhadap anak-anak yang bekerja diluar hubungan

    kerja. Pasal ini juga menetapkan bahwa upaya penanggulangan ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Berdasarkan paparan diatas, kesimpulan yang dapat diutarakan adalah sebagai berikut:

    1. Perlindungan bagi anak sebagai pekerja pada dasarnya telah diatur secara umum dalam beberapa rumusan

    undang-undang dan konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sejauh ini, Indonesia telah

    memiliki kebijakan tentang perlindungana anak yang mapan, dalam artian lengkap dan telah memiliki

    fondasi atau landasan kebijakan lengkap, tetapi belum ada peraturan yang secara khusus dan spesifik dalam

    memberikan perlindungan kepada pekerja anak.

    2. Pelibatan anak dalam sektor produktif sesungguhnya bukan sekedar karena motif-motif ekononomi saja,

    melainkan juga karena faktor motivasi, faktor kebiasaan atau faktor kultural. Namun pada kenyataannya

    keterlibatan anak dalam pekerjaan, mayoritas didorong oleh kemiskinan faktor atau ekonomi.

    B. Saran

    1. Pemerintah Indonesia perlu segera merumuskan suatu undang-undang yang secara khusus mengatur

    perlindungan anak sebagai pekerja. Adanya suatu undang-undang yang khusus ini sendiri dilakukan dalam

    rangka memenuhi amanat dalam konvensi-konvensi internasional yang menghendaki adanya langkah-

    langkah legislatif untuk menghapus anak sebagai pekerja. Undang-undang ini sendiri harus membuka

    ruang-ruang bagi publik yang diatur secara jelas untuk secara aktif berpartisipasi dan ikut mengawasi

    negara dalam rangka memberi perlindungan bagi anak dari eksploitasi sebagai pekerja.

  • 2. Dalam kaitannya dengan upaya penghapusan anak sebagai pekerja pemerintah haruslah mempunyai target

    untuk menghapus pekerja anak secara tuntas. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang bersifat nasional

    dengan upaya penghapusan kemiskinan yang telah terstruktur, karena hal inilah yang menjadi penyebab

    utama timbulnya fenomena anak sebagai pekerja. Hal lain yang harus diperhatikan dalam upaya

    penghapusan anak sebagai pekerja adalah membangun sistem pendidikan yang kuat dan tidak membebani

    rakyat. Dengan kata lain pendidikan harus digratiskan atau paling tidak harus lebih murah, karena selama

    ini anak-anak yang terpaksa bekerja mayoritas dikarenakan orangtua mereka tidak sanggup membiayai

    pendidikan yang bertambah mahal. Selain itu, harus dibangunnya kesadaran publik akan pentingnya

    perlindungan anak, kesadaran bahwa anak mempunyai peran yang sangat penting sebagai penerus bangsa.

    DAFTAR PUSTAKA

    Fakih, Mansour, 2000, Persoalan Ketidakadilan Sosial Dan HAM Dalam Pendidikan Kewarganegaraan Dan Hak

    Asasi Manusia, Sobirin Malian Dan Suparman Marzuki (Ed), UII Press, Yogyakarta.

    Hariadi, Sri Sanituti, Sinung D Kristianto & Bagong Suyanto, 2000, Anak Rawan: Bunga Rampai Tentang Anak-

    Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Kerjasama Pusat Kajian Fisip Unair, LPA Jatim,

    Dan UNICEF, Surabaya.

    Hariadi, Sri Sanituti & Bagong Suyanto, 1999, Anak Jalanan Di Jawa Timur: Masalah Dan Upaya Penangannya,

    Kerjasama BK3S Dan Kanwil Depsos Jatim

    Haryadi, Dedi, Tjandraningsih dan Indrasari, 1995, Buruh Anak Dan Dinamika Industri Kecil, Akatiga,

    Bandung.

    Suyanto, Bagong, 2003, Pekerja Anak Dan Kelangsungan Pendidikannya, Airlangga University Press, Surabaya.

    --------------------, 1999, Situasi Kerja Anak Dan Permasalahan Pendidikan Dasar Di Jawa Timur, Airlangga

    University Press, Surabaya.

    Tadjhoedin, Noer Effendi, 1992, Buruh Anak Phenomena Dikota Dan Pedesaan-Dalam Buruh Anak Disektor

    Informal-Tradisional Dan Formal, Pusat Pembinaan Sumberdaya Manusia, Yayasan Tenaga Kerja

    Indonesia.