Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

35
Acara I SURIMI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama: Debora Rika Angelita NIM: 13.70.0041 Kelompok: D1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

description

Surimi merupakan produk antara (semi-proses) dari daging ikan. Surimi dan produk berbasis surimi sudah dikenal secara internasional. Dalam beberapa waktu terakhir, industri pengolahan surimi sudah mulai banyak berkembang, baik yang berasal dari ikan maupun selain ikan.

Transcript of Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara I

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama: Debora Rika Angelita

NIM: 13.70.0041

Kelompok: D1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, talenan, baskom, mangkok,

timbangan analitik, kain saring, spatula, loyang, freezer, presser, alat penggiling daging,

plastik bening, dan milimeter blok.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, polifosfat, garam, gula

pasir, dan es batu.

1.2. Metode

1

Pencucian ikan

Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut(Fillet daging ikan)

Page 3: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr

2

Penggilingan fillet menggunakan alat penggiling daging dengan ditambah es batu

Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali

Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)

Page 4: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3%

(kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5)

Pembekuan selama 1 malam di dalam freezer

Thawing

Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma

Uji hardness menggunakan texture analyzer

Page 5: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC

Hasil press digambar di milimeter blok

Penghitungan WHC :

Luas atas=13

a(h0+4 h1+2h2+4 h3+…+hn)

Luas bawah=13

a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)

Luas area basah=Luasatas−Luas bawah

mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948

Page 6: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengamatan Surimi

Kel. PerlakuanHardness

(gf)WHC

(mg H2O)Sensori

Kekenyalan Aroma

1Sukrosa 2,5% + garam 2,5%

+ polifosfat 0,1%108,24 188832,63 + + +

2Sukrosa 2,5% + garam 2,5%

+ polifosfat 0,3%121,52 216793,25 + + + +

3Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,3%188,05 130435,97 + + + + +

4Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,5%103,44 271751,05 + + + +

5Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,5%91,87 273975,32 + + + + +

Keterangan :Kekenyalan Aroma + : tidak kenyal + : tidak amis + + : kenyal + + : amis+ + + : sanagat kenyal + + + : sanagat amis

Berdasarkan data pada tabel 1, dapat dilihat bahwa nilai hardness tertinggi dihasilkan

oleh kelompok D3 dengan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3%, sedangkan

nilai hardness terendah dihasilkan oleh kelompok D5 dengan sukrosa 5%, garam 2,5%,

dan polifosfat 0,5%. Nilai WHC tertinggi dihasilkan oleh kelompok D5 sebesar

273975,32 mg H2O, sedangkan nilai WHC terendah dihasilkan oleh kelompok D3

sebesar 130435,97 mg H2O. Secara sensoris, surimi yang sangat kenyal dihasilkan oleh

kelompok D5, surimi yang kenyal dihasilkan oleh kelompok D3 dan D4, sedangkan

surimi yang tidak kenyal dihasilkan oleh kelompok D1 dan D2. Surimi pada kelompok

D2 dan D3 beraroma sangat amis, sedangkan kelompok D1, D4, dan D5 beraroma amis.

5

Page 7: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Menurut Moeljanto (1994), ikan merupakan bahan pangan yang mengandung protein

hewani tinggi, dapat didapatkan dengan mudah, serta harganya murah sehingga banyak

dikonsumsi masyarakat. Ikan bersifat perishable (cepat membusuk). Hal ini didukung

pula oleh teori dari Liptan (2000), kandungan protein yang tinggi pada ikan

menjadikannya sebagair bahan pangan bermutu tinggi. Ikan mudah sekali mengalami

pembusukan atau rusak, sehingga diperlukan adanya pengolahan produk ikan supaya

menjadi tahan lama atau memperpanjang umur simpan ikan,. Salah satu pengolahan

ikan yang dapat dilakukan adalah dengan membuatnya menjadi produk setengah jadi

(surimi). Nilai ekonomi dari ikan dapat ditingkatkan dengan pembuatan surimi karena

akan memperpanjang umur simpan tanpa mengurangi kandungan gizi dari daging ikan.

Pada praktikum surimi kloter D, ikan yang digunakan adalah ikan bawal. Menurut

Anggraini (2002), ikan bawal memiliki rasa daging yang enak dan gurih, meskipun duri

pada dagingnya cukup banyak. Ikan bawal air tawar banyak diminati karena harganya

yang relatif murah sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat, mudah dalam

pembudidayaan dan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Klasifikasi ikan bawal

air tawar (Colossoma macropomum) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Subfilum : Craniata

Kelas : Pisces

Subkelas : Neopterigii

Ordo : Cypriniformes

Subordo : Cyprinoidea

Famili : Characidae

Genus : Colossoma

Species : Colossoma macropomum

Menurut Cortez-Vega (2012), surimi merupakan produk antara (semi-proses) dari

daging ikan. Surimi dan produk berbasis surimi sudah dikenal secara internasional.

Dalam beberapa waktu terakhir, industri pengolahan surimi sudah mulai banyak

6

Page 8: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

berkembang, baik yang berasal dari ikan maupun selain ikan. Ducept et al. (2012)

menambahkan, produksi surimi yang berasal dari seafood sudah berkembang di negara

barat sebagai seafood analog. Menurut Martín-Sánchez et al. (2009), surimi sering

digunakan dalam pembuatan produk imitasi seafood, seperti kaki kepiting. Surimi

sangat memiliki kandungan nutrisi yang tinggi dengan harga yang relatif murah.

Industri surimi biasanya menggunakan ikan berdaging putih lebih banyak dibandingkan

lainnya. Hal ini dikarenakan ikan yang berdaging putih memberikan tekstur yang lebih

baik pada produk akhir. Penelitian yang berkaitan dengan produksi surimi terus

meningkat. Selain ikan, sumber potensial yang dapat diolah menjadi surimi adalah

ayam, beef, babi, kepiting, dan cephalopoda.

Menurut Irianto & Giyatmi (2009), surimi terdiri dari konsentrat protein miofibril dan

memiliki daya guna tinggi dalam pengembangan produk olahan ikan. Protein miofibril

merupakan bagian terbesar dari daging ikan yang dapat larut pada larutan garam.

Protein ini terdiri dari miosin, aktin, tropomiosin serta aktomiosin yang merupakan

gabungan aktin dan miosin. Plastisitas dan daya ikat air daging, tekstur produk-produk

perikanan, serta sifat fungsional daging lumat sangat dipengaruhi oleh keberadaan

protein miofibril ini. Suzuki (1981) berpendapat bahwa protein miofibril yang terdapat

dalam ikan berfungsi untuk konstraksi otot. Protein miofibril dapat diekstrak dengan

menggunakan garam netral yang berkekuatan ion sedang (>0,5M). Penampakan dari

protein miofibril ikan mirip otot hewan mamalia, namun lebih mudah kehilangan

aktivitas ATP-ase dan laju agregasi lebih cepat.

Peranginangin, et al. (1999) berpendapat bahwa surimi adalah daging ikan yang

dilumatkan, dibersihkan, dan dicuci berulang-ulang, sehingga sebagian besar komponen

bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Surimi harus disimpan dalam keadaan beku dan

ditambahkan bahan antidenaturasi atau cryoprotectant. Pada dasarnya semua jenis ikan

dapat dijadikan surimi, namun surimi yang lebih baik akan dihasilkan dari ikan yang

berdaging putih, tidak terlalu amis, tidak berbau lumpur, serta mempunyai kemampuan

membentuk gel yang bagus. Namun menurut pendapat Arfat & Benjakul (2012), tidak

semua ikan dapat dijadikan bahan dasar pembuatan surimi. Tingginya enzim proteolitik

dalam ikan dapat menghambat pembentukan gel pada produk surimi. Hal ini

Page 9: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

menyebabkan daging ikan menjadi tidak segar karena pH yang kurang sesuai. Sonu

(1986) menambahkan bahwa surimi telah dibuat sejak tahun 1980-an dan berasal dari

bahasa Jepang. Surimi memiliki karakteristik khusus yang terkait dengan kemampuan

membentuk gel dan tekstur, waktu stabilitasnya di dalam penyimpanan beku, serta

pengaruh penambahan gula sebagai cryoprotectant.

Menurut Suzuki (1981), bahwa berdasarkan kandungan garamnya, surimi dibedakan

menjadi dua jenis yaitu mu-en surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en surimi (surimi

dengan garam), serta ada pula yang disebut dengan na-ma surimi (surimi mentah yang

tidak mengalami proses pembekuan). Ikan yang ditangkap pada fase bertelur, pada

musim panas dan berukuran kecil akan lebih cepat mengalami denaturasi daripada ikan

yang ditangkap pada fase tidak bertelur, pada musim semi dan berukuran besar.

Menurut Peranginangin, et al. (1999), penyimpanan surimi harus dalam keadaan beku

dengan adanya penambahan bahan anti denaturasi atau cryoprotectant, namun

perubahan produk akan tetap terjadi walaupun disimpan pada suhu sangat rendah. Hal

ini didukung oleh teori Nopianti, et al. (2011) yang mengungkapkan bahwa selama

penyimpanan beku, kekuatan gel akan menurun. Hal ini dapat terjadi karena mudah

rusaknya protein miofibril pada surimi mentah selama proses penyimpanan beku.

Kristal es juga dapat terbentuk selama proses penyimpanan beku, hal ini menyebabkan

protein miofibril akan mengalami hidrasi, penurunan pH, perubahan konsentrasi garam,

hingga terdenaturasi.

3.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Surimi

Menurut Suzuki (1981), kekuatan gel surimi sangat menentukan kualitas surimi. Hal ni

dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: jenis ikan, umur, kematangan gonad, tingkat

kesegaran ikan, pH, kadar air, volume, konsentrasi, dan jenis penambahan anti

denaturan (cryoprotectant), dan frekuensi pencucian. Jenis, umur, kematangan gonad,

dan kesegaran ikan dalam pembuatan surimi telah diatur dalam SNI 01-2694-1992.

Dalam SNI 01-2694-1992, kebersihan bahan baku yang digunakan harus terjaga,

terbebas dari bau yang mengindikasikan pembusukan, terbebas dari tanda dekomposisi

dan pemalsuan, terbebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu, serta

tidak membahayakan kesehatan. Apabila ikan tidak langsung diolah atau harus

Page 10: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

menunggu proses lebih lanjut, ikan harus disimpan dengan es atau air dingin (0°C-5°C).

Kesegaran ikan menurut SNI 01-2694-1992 sekurang-kurangnya harus bersih, berwarna

dan berbau daging spesifik tergantung pada jenis ikan, elastis padat, dan kompak dalam

hal daging, serta netral agak manis dalam hal rasa.

Menurut Nurkhoeriyati et al. (2008), terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan

untuk menjaga kualitas produk surimi yaitu:

Proses pembentukan gel akibat terbukanya lipatan protein dan reaksi antar

molekul protein yang berdekatan, sehingga membentuk ikatan intermolekular.

Daya ikat air, dimana air yang diikat oleh protein melalui interaksi antara

molekul air dan gugus hidrofilik dari gugus samping protein terjadi melalui

ikatan hydrogen.

Proses emulsifikasi yang mengekstrak lapisan protein miofibril larut.

Selain faktor di atas, Schwarz & Lee (1988) menambahkan bahwa suhu air pencuci dan

proses penggilingan daging ikan juga merupakan faktor penting. Hal ini dikarenakan

jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci

karena akan berpengaruh terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih tinggi dari 15°C

akan menyebabkan lebih banyaknya protein yang hilang karena larut air.

Dalam industri seafood, limbah padat yang berasal dari proses pembuatan surimi dapat

biasanya dapat dikonversi menjadi fishmeal. Sedangkan limbah cairnya, dengan

kandungan padatan yang rendah sering dibuang ke aliran limbah tanaman. Penelitian

menunjukkan bahwa protein yang direcovery dari limbah pencucian proses pembuatan

surimi dapat diubah menjadi konsentrat protein menggunakan ultrafiltration. Konsentrat

protein ini memiliki kadar air dan lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan surimi

(Stine et al., 2012).

3.2. Cara Kerja Praktikum

Pembuatan surimi pada praktikum ini mula-mula dilakukan dengan mencuci ikan

hingga bersih dengan air mengalir. Kemudian dilakukan pemisahan bagian yang bukan

daging, seperti kepala, isi perut, insang, sisik, sirip, tulang, ekor, dan kulit, sehingga

didapatkan fillet daging ikan. Pembuangan bagian bukan daging sesuai dengan pendapat

Page 11: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Peranginangin, et al. (1999), isi perut ikan, kepala, dan sisik ikan yang akan dibuat

surimi harus dihilangkan dan dicuci bersih. Hal ini didukung oleh pendapat Fortina

(1996), tahap ini dilakukan karena kepala dan isi perut ikan mengandung banyak

minyak dan lemak yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis pada produk

surimi. Miyake, et al. (1985) menambahkan bahwa isi perut juga mengandung enzim

protease yang dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel dari produk surimi.

Amalia (2002) berpendapat bahwa pencucian ikan dilakukan untuk meningkatkan

kekuatan gel, memperbaiki penampakan. menghilangkan komponen larut air, lemak dan

darah. Menurut Martín-Sánchez et al. (2009), penanganan pada saat memfillet ikan

sangat penting, hal ini termasuk pada proses pemisahan tulang, kepala, isi perut dan

kotoran lainnya. Tahapan ini sangat mempengaruhi kualitas dan yield dari surimi karena

endogenus dan mikroba patogen dari perut dan kulit akan menyebabkan kontaminasi

pada daging ikan, yang akan mempengaruhi kemampuan pembentukan gel surimi.

Terdapat beberapa alternatif cara dalam melakukan pemcucian, seperti : air flotation

washing (AFW), pencucian dengan larutan alkali sehingga dapat meningkatkan

kelarutan protein sarkoplasma dan pH otot, sehingga menurunkan tingkat denaturasi,

pencucian menggunakan ozon yang akan menyebabkan proses dekolorisasi karena

kemampuan oksidannya yang kuat.

Setelah dipisahkan dan dicuci, sebanyak 100 gram daging putih ditimbang dan

kemudian digiling hingga halus menggunakan blender. Arpah (1993) mengemukakan

bahwa penggilingan ikan bertujuan untuk memperluas permukaan daging ikan, sehingga

mempermudah penyerapan bahan-bahan dan lebih optimal. Selama penggilingan

ditambahkan es batu agar suhu ikan tetap terjaga rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat

Irianto (1990), penambahan es batu bertujuan untuk menjaga kesegaran daging ikan dan

protein tidak mengalami denaturasi. Gaman & Sherrington (1994) menambahkan bahwa

penggunaan es batu dapat meminimalkan tumbuhnya mikroorganisme pembusuk karena

suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim yang mempercepat kerusakan ikan. Hal

ini diperkuat oleh pendapat Zaitzev, et al (1969), penambahan es batu sangat penting

karena ikan sangat mudah sekali mengalami kerusakan akibat kandungan air yang

tinggi, dan pH yang mendekati netral. Menurut Ducept et al. (2012), kondisi

pencampuran merupakan kunci utama dalam mempertahankan tekstur akhir surimi.

Page 12: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

Apabila proses pencampuran berjalan cukup lama, pemanasan karena gesekan yang

terjadi akan mempengaruhi gel protein dan menyebabkan protein kehilangan fungsinya,

sehingga setelah pemasakan, gel protein akan berkurang kohesifnya

Selanjutnya daging ikan yang telah dihancurkan, dicuci kembali dengan air es sebanyak

3 kali lalu disaring menggunakan kain saring. Menurut Matsumoto & Noguchi (1992),

proses pencucian merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan surimi. Hal ini

dikarenakan frekuensi dari pencucian akan mempengaruhi kekuatan gel produk dan

dapat mencegah terdenaturasinya protein miofibril selama penyimpanan beku. Hal ini

didukung oleh Nopianti, et al., (2011), kualitas produk dipengaruhi pula oleh proses

pencucian karena dapat menghilangkan lemak, darah, pigmen, dan komponen penyebab

bau, selain itu pencucian juga dapat membuat peningkatan kemampuan dari konsentrasi

protein miofibril dan memperbaiki kemampuan pembentukan gel. Penggunaan air

dalam keadaan dingin pada proses pencucian juga bertujuan agar meminimalisir

terjadinya kerusakan ikan. Penyaringan dalam proses ini bertujuan untuk memisahkan

air dari daging ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kimball (1992), penyaringan

dilakukan untuk memisahkan bagian-bagian yang tidak diharapkan. Menurut Suyitno

(1989), penyaringan akan memisahkan partikel padat dengan partikel cair. Partikel

padat berupa daging ikan, sedangkan partikel cair berupa air yang digunakan dalam

tahap pencucian.

Selanjutnya dilakukan penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok D1, D2); 5%

(kelompok D3,D4,D5), lalu ditambahkan garam sebesar 2,5% dari berat daging (semua

kelompok). Penambahan sukrosa bertujuan untuk mencegah terjadinya denaturasi

protein pada surimi. Hal ini sesuai dengan pendapat Suzuki (1981), penambahan

sukrosa berperan sebagai bahan anti denaturasi protein surimi (cryoprotectant),

sedangkan penambahan garam bertujuan untuk melarutkan protein myofibril untuk

pembentukan gel. Pelarutan protein miofibril dilakukan agar miosin mudah berikatan

dengan aktin membentuk aktomiosin yang berperan dalam pembentukan gel. Jenis

surimi yang dibuat pada praktikum ini adalah jenis surimi ka-en karena dilakukan

penambahan garam. Penambahan garam sebanyak 2,5% sesuai dengan pendapat Tan, et

al. (1988) dan Shimizu & Toyohara (1992), konsentrasi garam yang paling umum

Page 13: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

digunakan untuk membuat produk surimi adalah 2-3%. Cryoprotectant dalam bentuk

sukrosa berperan dalam menstabilkan produk surimi dan melindungi produk surimi dari

denaturasi selama proses pembekuan dan penyimpanan beku. Hal ini dikarenakan

dengan penambahan cryoprotectant, tegangan permukaan air maupun energy dapat

meningkatkan, serta menjaga pengambilan molekul air dari protein sehingga dapat

menstabilkan protein pada surimi.

Setelah ditambahkan sukrosa dan garam, selanjutnya ditambahkan polifosfat sebanyak

0,1% (kelompok D1); 0,3% (kelompok D2,D3); 0,5% (kelompok D4, D5). Penambahan

polifosfat ditujukan untuk memperbaiki sifat surimi terutama sifat elastisitas dan

kelembutannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Suzuki (1981), polifosfat bermanfaat

untuk memperbaiki daya ikat air (WHC) serta memberikan sifat lembut pada produk

surimi. Menurut Shaviklo, et al. (2010), tujuan penambahan polifosfat dalam

pembuatan surimi adalah untuk meningkatkan efek cryoprotectant, karena dapat

memberi efek buffer pada pH daging ikan dan dapat berperan sebagai agen pengkelat

atau pengikat ion logam. Perbedaan konsentrasi sukrosa dan polifosfat pada masing-

masing kelompok dilakukan untuk mengetahui konsentrasi tepat yang menghasilkan

surimi paling baik dan hubungan antara konsentrasi bahan tambahan dengan

karakteristik surimi.

Menurut Lertwittayanon et al. (2013), perbedaan tipe dan konsentrasi dari garam akan

mempengaruhi kemampuan dewatering (penghilangan sebagian kadar air) dari daging

giling dan kemampuan pembentukan gel surimi, sebagai contoh MgCl2 dan CaCl2.

Namun, warna putih dari gel akan berkurang dengan pencucian menggunakan MgCl2.

Penggunaan NaCl dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi dalam penghilangan

kadar air pada surimi dan meningkatkan kekuatan gel surimi. Ion Na+ dan Cl- memiliki

kemampuan dalam mengikat muatan lawan pada asam amino di protein, sehingga

menyebabkan berkurangnya gaya tolak menolak antara molekul protein yang

berdekatan. Hal ini menyebabkan terjadinya migrasi air dari ruang antar molekul protein

(salting out).

Page 14: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

Selanjutnya, daging lumat dimasukkan ke dalam plastik dan dibekukan dalam freezer

selama 1 malam. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (1993), penyimpanan surimi

dalam freezer bertujuan untuk mempertahankan kualitas surimi yang optimal. Pada suhu

rendah, aktivitas mikroba akan terhambat akibat tidak aktifnya enzim-enzim dalam

mikroba. Pengemasan dengan plastik bertujuan untuk menghindari adanya kontak

langsung dengan udara sekitar agar tidak tejadinya oksidasi pada daging ikan. Surimi

akhir berwarna putih, hal ini sesuai dengan pendapat Cortez-Vega (2012), warna putih

dari surimi sangat dipengaruhi oleh penghilangan protein sarkoplasma dari otot dan

penghilangan pigmen heme, yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku,

jumlah pencucian, tipe dari larutan pencuci.

Setelah itu, menurut Lee (1984), sebelum diolah lebih lanjut, maka surimi harus

dithawing terlebih hulu. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan saat praktikum. Setelah

tidak adanya kristal es dalam surimi, dilakukan pengujian sensoris yang meliputi tingkat

kekenyalan dan aroma oleh panelis, selanjutnya surimi ditekan dengan alat press untuk

selanjutnya digambar di atas kertas millimeter blok untuk menghitung Water Holding

Capacity (WHC) pada produk jadi.

3.2.1. Water Holding Capacity (WHC)

WHC (Water Holding Capacity) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi

produk seperti surimi, yang akan berpengaruh baik secara ekonomi maupun kualitas

produk akhir itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai WHC tertinggi ke

terendah berturut-turut dihasilkan oleh kelompok D5 (sukrosa 5%, garam 2,5%,

polifosfat 0,5%), D4 (sukrosa 5%, garam 2,5%, polifosfat 0,5%), D2 (sukrosa 2,5%,

garam 2,5%, polifosfat 0,3%), D1 (sukrosa 2,5%, garam 2,5%, polifosfat 0,1%), dan D3

(sukrosa 5%, garam 2,5%, polifosfat 0,3%). Semakin tinggi kadar polifosfat dan

sukrosa, maka nilai WHC-nya pun juga akan meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat

Lilis & Rudy (2011), semakin tinggi kadar anti denaturan dan garam, maka nilai WHC

(Water Holding Capacity) juga semakin meningkat. Hal ini dikarenakan mekanisme

kerja dari cryoprotectant adalah menghambat proses denaturasi protein selama

pembekuan dan penyimpanan beku, sehingga dapat menginaktifkan kondensasi dengan

cara mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen. Hal ini didukung pula oleh

Page 15: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

pernyataan Winarno, et al. (1980), penambahan sukrosa dapat berpengaruh terhadap

daya ikat dari air atau WHC. Semakin banyak sukrosa yang ditambahkan maka WHC

akan semakin tinggi. Sukrosa dapat berperan sebagai agen untuk menghambat

pertumbuhan mikroorganisme karena sifat sukrosa yang dapat mengikat air sehingga

menurunkan kadar Aw. Shaviklo, et al. (2010) menambahkan pula bahwa penambahan

sukrosa dan garam secara bersamaan seharusnya dapat meningkatkan WHC. Selain itu,

penambahan sukrosa dan polifosfat juga akan berpengaruh pada nilai WHC surimi, hal

ini disebabkan karena penambahan polifosfat akan mempertahankan pH sehingga nilai

WHC akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang diperoleh.

3.2.2. Sensori

Pengamatan secara sensoris pada surimi yang dilakukan meliputi tingkat kekenyalan

dan aroma. Menurut Heruwati, et al. (1995), tingkat elastisitas dari produk yang

dihasilkan (pembentukan gel ikan) merupakan salah satu kriteria penentuan mutu

surimi. Semakin kenyal surimi, maka kualitas yang dihasilkan akan semakin bagus.

Nopianti, et al. (2011) menjelaskan bahwa fosfat merupakan komponen alami yang

terdiri dari garam fosfor dan mineral lain. Komponen fosfat sodium tripolyphosphate

(STTP), sodium pyrophosphate (SPP), sodium hexametaphosphate (SHMP), dan

tetrasodium pyrophosphate (TSP) sering digunakan dalam produk surimi. Penggunaan

bahan tambahan ini berfungsi sebagai penurun viskositas pasta. Selain itu, fosfat juga

berfungsi untuk meningkatkan retensi air dan juga kemampuan untuk menyerap kembali

cairan saat surimi di thawing.

Kekenyalan surimi dapat diukur secara sensori maupun dengan menggunakan texture

analyzer. Namun, hasil yang dinilai lebih valid adalah menggunakan texture analyzer.

Hal ini terkait dengan perbedaan tingkat kepekaan panelis, penilaian bersifat subjektif,

maupun human error yang mungkin dialami oleh panelis. Berdasarkan data hasil

pengamatan, surimi pada kelompok D5 (sukrosa 5%, garam 2,5%, polifosfat 0,5%)

memiliki kekenyalan yang paling tinggi secara sensori. Namun, dengan menggunakan

texture analyzer, nilai hardness dari D5 adalah yang terkecil. Nilai hardness berturut-

turut dari tinggi ke rendah diperoleh dari kelompok D3 (sukrosa 5%, garam 2,5%,

polifosfat 0,3%), D2 (sukrosa 2,5%, garam 2,5%, polifosfat 0,3%), D1 (sukrosa 2,5%,

Page 16: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

garam 2,5%, polifosfat 0,1%), D4 (sukrosa 5%, garam 2,5%, polifosfat 0,5%), dan D5

(sukrosa 5%, garam 2,5%, polifosfat 0,5%). Hal ini sesuai dengan pendapat Nopianti, et

al. (2011), semakin tinggi penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi yang

dihasilkan semakin kenyal karena senyawa fosfat dapat meningkatkan pH yang

berdampak membaiknya pembentukan gel, hal ini disebabkan karena peningkatan

kemampuan daya ikat air umumnya terjadi pada pH yang tinggi. Penambahan polifosfat

sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan kekuatan gel yang tinggi,

sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun semakin keras. Hal ini

diperkuat dengan pernyataan Peranginangin, et al. (1999), penambahan polifosfat yang

baik sebesar 0,2%-0,3% dalam bentuk garam natrium tripolifosfat yang berpengaruh

terhadap kekenyalan surimi. Kekenyalan yang tinggi atau kekuatan gel yang besar

merupakan salah satu indikator yang penting dalam kualitas produk surimi. Chen, et al.

(1997) mengungkapkan bahwa oksidasi yang mempercepat perubahan ikatan kimia,

termasuk diantaranya ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi protein sehingga

kekuatan gel dan kekenyalan akan menurun. Menurut Cortez-Vega (2012), tekstur dari

surimi sangat dipengaruhi oleh kualitas dan konsentrasi protein pada bahan baku,

kondisi pencucian, yang akan berdampak pada karakteristik gel yang dihasilkan oleh

surimi.

Bau amis pada surimi dapat timbul karena adanya reaksi oksidasi pada ikan. Menurut

Peranginangin, et al. (1999) oksidasi akan menyebabkan asam lemak berubah menjadi

off-flavor dan dapat dihilangkan pada saat tahap pencucian. Berdasarkan data hasil

pengamatan, keloompok D1, D4, dan D5 beraroma amis, sedangkan kelompok D2 dan

D3 beraroma sangat amis. Bau amis ini dapat muncul karena adanya senyawa

trimetilamin yang masih terkandung dalam surimi meskipun telah dilakukan proses

pencucian. Menurut Irianto & Giyatmi (2009), perlakuan pencucian seharusnya dapat

menghilangkan bau / aroma yang tidak diinginkan, seperti bau yang disebabkan oleh

senyawa trimetilamin (salah satu senyawa utama pembentuk aroma pada ikan). Hal ini

didukung oleh pendapat Peranginangin, et al. (1999), surimi merupakan daging ikan

lumat yang telah dibersihkan dan dicuci berulang-ulang sehingga sebagian besar

komponen bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Aroma amis surimi dapat dipengaruhi

oleh bahan baku ikan. Jika bahan baku ikan yang digunakan untuk diolah menjadi

Page 17: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

surimi tidak terlalu amis, maka surimi yang dihasilkan juga tidak akan beraroma terlalu

amis. Aitken, et al. (1982) menambahkan, metode sensoris memiliki beberapa kelebihan

dan kekurangan. Kelebihannya adalah tidak membutuhkan fasilitas laboratorium

lengkap, dapat diaplikasikan pada semua produk, prosesnya cepat, tidak merusak

sampel sehingga dapat diolah lebih lanjut, dan sesuai dengan kriteria evaluasi yang

mampu diterima oleh konsumen, sedangkan kekurangannya adalah penilaian yang

dilakukan bersifat subjektif sehingga sulit untuk distandarisasi.

Page 18: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Tahap kepala dan isi perut ikan dikarenakan banyak mengandung minyak dan

lemak yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis pada produk surimi.

Pencucian ikan dilakukan untuk meningkatkan kekuatan gel, memperbaiki

penampakan, menghilangkan komponen larut air, lemak dan darah.

Penambahan es batu selama penggilingan bertujuan untuk menjaga kesegaran

daging ikan dan protein tidak mengalami denaturasi.

Penambahan sukrosa berperan sebagai bahan anti denaturasi protein surimi

(cryoprotectant), sedangkan penambahan garam bertujuan untuk melarutkan

protein myofibril untuk pembentukan gel.

Polifosfat bermanfaat untuk memperbaiki daya ikat air (WHC) serta memberikan

sifat lembut pada produk surimi.

Warna putih dari surimi sangat dipengaruhi oleh penghilangan protein sarkoplasma

dari otot dan penghilangan pigmen heme, yang sangat dipengaruhi oleh

karakteristik bahan baku, jumlah pencucian, tipe dari larutan pencuci.

Semakin tinggi kadar anti denaturan dan garam, maka nilai WHC (Water Holding

Capacity) juga semakin meningkat.

Semakin banyak sukrosa yang ditambahkan maka WHC akan semakin tinggi.

Penambahan sukrosa dan polifosfat juga akan berpengaruh pada nilai WHC surimi,

hal ini disebabkan karena penambahan polifosfat akan mempertahankan pH

sehingga nilai WHC akan meningkat.

Semakin kenyal surimi, maka kualitas yang dihasilkan akan semakin bagus.

Semakin tinggi penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi yang dihasilkan

semakin kenyal.

Penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan

kekuatan gel yang tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun

semakin keras.

Bau amis pada surimi dapat timbul karena adanya reaksi oksidasi pada ikan.

17

Page 19: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

Semarang, 22 Oktober 2015Praktikan, Asisten Dosen :

Debora Rika Angelita Yusdhika Bayu S.(13.70.0041)

Page 20: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrat Yasir, A. & Benjakul, S. (2012). Gelling Characteristics of Surimi from Yellow Stripe Trevally (Selaroides leptolepis).

Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.

Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anggraini, N. (2002). Pengaruh Konsentrasi Tepung Tapioka, Suhu, dan Waktu Perebusan Terhadap Mutu Kamaboko Ikan Bawal Air Tawar. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of Horse Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal of Food Science. Vol. 62 (5): 985 –991.

Cortez-Vega, W. R. (2012). Comparisons of the Properties of Whitemouth Croaker (Micropogonias furnieri) Surimi and Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi-Like Material. Food and Nutrition Sciences, 03(11), 1480–1483.

Ducept, F., de Broucker, T., Souliè, J. M., Trystram, G., & Cuvelier, G. (2012). Influence of the mixing process on surimi seafood paste properties and structure. Journal of Food Engineering, 108(4), 557–562.

Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan (Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Heruwati E. S.; Murtini J.T.; Rahayu S. & Suherman. (1995). Pengaruh Jenis Ikan dan Zat Penambah terhadap Elastisitas Surimi Ikan Air Tawar. Jurnal Penelitian Perikanan Inonesia 1: 12-17.

Irianto B. (1990). Teknologi Surimi: Salah Satu Cara Mempelajari Nilai Tambah Ikan yang Kurang Dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9 (2): 35-39.

19

Page 21: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.

Kimball, J.W. (1992). Biologi jilid 1 Edisi 5. Erlangga. Jakarta.

Lee C. M. (1984). Surimi Process Technology. Journal Food Techonology 38 (11) : 69-80.

Lertwittayanon, K., Benjakul, S., Maqsood, S., & Encarnacion, A. B. (2013). Effect of different salts on dewatering and properties of yellowtail barracuda surimi. International Aquatic Research, 5(1), 10.

Lilis, S. & Rudy P. (2011). Sifat Fisik dan Kimia Nikumi Daging Kuda dengan Penambahan Antidenaturan dan Natrium. Jurnal Ilmu Ternak. Vol.11. No.1, p.6-12.

Liptan (Lembar Informasi Pertanian). (2000). Pengolahan Ikan Nila Merah. LPTP Puntikayu. Sumatera Selatan.

Martín-Sánchez, a. M., Navarro, C., Pérez-Álvarez, J. a., & Kuri, V. (2009). Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi: A Review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 8(4), 359–374.

Matsumoto J.J. & Noguchi S. F. (1992). Cryostabilization of Protein in Surimi. In: Lanier T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.

Miyake, Y.; Y. Hirasawa & M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.

Moeljanto. (1994). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Nopianti, R.; Nurul Huda & Noryanti Ismail. (2011). A Review on The Loss of The Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and The Improvement of Gel-forming Properties of Surimi. American Journal of Food Technology Vol. 6 (1): 19-30.

Nurkhoeriyati, T.; Nurul Huda & Ruzita A. (2008). Perkembangan Terbaru Teknologi Surimi. Malaysia.

Peranginangin R; Wibowo S; Nuri Y. & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.

Saanin, H. (1984). Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan, Bina Cipta. Jakarta.

Page 22: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

21

Schwarz M. D. & Lee C. M. (1988). Comparison of The Thermostability of Red Hake and Alaska Pollack Aurimi During Processing. Journal of Food Science. Vol. 53 (5): 1347-1351.

Shaviklo, G. R.; Gudjon T. & Sigurjon Arason. (2010). The Influence of Additives and Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 333-340.

Shimizu Y & Toyohara H. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. In: Lanier TC, Lee CM, ed. Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. Page.425-442. New York.

Sonu S. C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island. California.

Standar Nasional Indonesia. (1992). Surimi Beku. Badan Standarisasi Nasional [SNI 01-2694-1992]. Jakarta.

Stine, J. J., Pedersen, L., Smiley, S., & Bechtel, P. J. (2012). Recovery and Utilization of Protein Derived From Surimi Wash-Water. Journal of Food Quality, 35(1), 43–50.

Suyitno. (1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas. Jakarta.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ., Ltd. London.

Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.

Winarno F. G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno F. G.; Fardiaz S. & Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Zaitsev, V.; I. Kizevetter; L. Lagunov; T. Makarova; L. Minder & V. Podselalov. (1969). Fish Curing and Processing. MIR Publishers. Moscow.

Page 23: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

Luas atas=13

a(h0+4 h1+2h2+4 h3+…+hn)

Luas bawah=13

a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)

Luas area basah=Luasatas−Luas bawah

mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948

Kelompok D1

Luas atas=13

36,5 (89+4 (186 )+2 (197 )+4 (180 )+99 )=24893 mm2

Luas bawah=13

36,5 ( 89+4 (38 )+2 (23 )+4 ( 47 )+99 )=6983,667 mm2

Luas area basah=24893−6983,667=17909,33 mm2

mg H 2O=17909,33−8,00,0948

=188832,63 mg

Kelompok D2

Luas atas=13

40 (124+4 (213 )+2 (227 )+4 (210 )+133 )=32040 mm2

Luas bawah=13

40 (124+4 (67 )+2 (54 )+4 (57 )+133 )=11480 mm2

Luas area basah=32040−11480=20560 mm2

mg H 2O=20560−8,00,0948

=216793,25 mg

Kelompok D3

Luas atas=13

32 ( 105+4 (129 )+2 (148 )+4 (146 )+88 )=16949,33 mm2

Luas bawah=13

32 (105+4 (25 )+2 (14 )+4 (27 )+88 )=4576 mm2

22

Page 24: Surimi_Debora Rika Angelita_13.70.0041_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

23

Luas area basah=16949,33−4576=12373,33 mm2

mg H 2O=12373,33−8,00,0948

=130435,97 mg

Kelompok D4

Luas atas=13

45 (121+4 (201 )+2 (211)+4 (204 )+90 )=33795 mm2

Luas bawah=13

45 (121+4 (34 )+2 (30 )+4 (32 )+90 )=8025 mm2

Luas area basah=33795−8025=25770 mm2

mg H 2O=25770−8,00,0948

=271751,05 mg

Kelompok D5

Luas atas=13

47 ( 95+4 (182 )+2 (201 )+4 (195 )+107 )=33095,04 mm2

Luas bawah=13

47 (95+4 (24 )+2 (20 )+4 (29 )+107 )=7114,18 mm2

Luas area basah=33095,04−7114,18=25980,86 mm2

mg H 2O=25980,86−8,00,0948

=273975,32 mg

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal