5 KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN … · laboratorium berdasarkan rumus dari modifikasi...

15
55 5 KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN SERO 5.1 PENDAHULUAN Kondisi lingkungan pada suatu habitat sangat penting diketahui karena dapat menentukan karakteristik berbagai organisme yang ada di dalamnya (Levinton 1982). Kondisi lingkungan tersebut biasanya dinyatakan dengan menggunakan sejumlah parameter lingkungan yang dapat dipakai untuk menjelaskan hubungan di antara fenomena biologis dari sejumlah organisme yang menjadi perhatian dan faktor fisika kimia lingkungan. Kondisi lingkungan fisika kimia dalam suatu skala ruang dapat berubah dalam skala waktu yang berbeda, misalnya harian, musiman dan tahunan. Oleh karena itu, penelitian tentang kondisi lingkungan suatu habitat seyogianya memperhatikan ragam yang dihasilkan oleh faktor waktu. Sebagai konsekuensinya, fenomena atau perubahan biologis juga dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu. Sehubungan dengan masalah dan tujuan dari penelitian ini, kondisi lingkungan dari tiga habitat ikan yang menjadi tempat pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua dijelaskan. Informasi tentang kondisi lingkungan di setiap habitat tersebut dimanfaatkan untuk menjelaskan karakteristik komunitas ikan yang merupakan potensi perikanan lokal. Dalam bab ini akan disajikan kondisi lingkungan dari tempat pemasangan sero. Kondisi perairan tersebut dinyatakan sebagai parameter biologi, fisika dan kimia lingkungan, yaitu suhu air, salinitas, pH, kadar oksigen terlarut (DO), kadar zat hara, klorofil-a, fitoplankton, dan zooplankton. 5.2 METODE PENELITIAN 5.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan data dengan cara pengambilan contoh-contoh air dan biota dilakukan selama 4 (bulan) sejak tanggal 22 Januari hingga 14 Mei 2011. Contoh-contoh tersebut diambil dari tiga lokasi tempat sero yang dilengkapi dengan experimental crib di perairan pantai Pitumpanua, yaitu di muara sungai (3 o 40 24,9 LS; 120 o 25’39,4 BT), mangrove (3 o 42 09,9 LS; 120 o 26’15,3 BT),

Transcript of 5 KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN … · laboratorium berdasarkan rumus dari modifikasi...

55

5 KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN SERO

5.1 PENDAHULUAN

Kondisi lingkungan pada suatu habitat sangat penting diketahui karena

dapat menentukan karakteristik berbagai organisme yang ada di dalamnya

(Levinton 1982). Kondisi lingkungan tersebut biasanya dinyatakan dengan

menggunakan sejumlah parameter lingkungan yang dapat dipakai untuk

menjelaskan hubungan di antara fenomena biologis dari sejumlah organisme yang

menjadi perhatian dan faktor fisika kimia lingkungan. Kondisi lingkungan fisika

kimia dalam suatu skala ruang dapat berubah dalam skala waktu yang berbeda,

misalnya harian, musiman dan tahunan. Oleh karena itu, penelitian tentang

kondisi lingkungan suatu habitat seyogianya memperhatikan ragam yang

dihasilkan oleh faktor waktu. Sebagai konsekuensinya, fenomena atau perubahan

biologis juga dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu.

Sehubungan dengan masalah dan tujuan dari penelitian ini, kondisi

lingkungan dari tiga habitat ikan yang menjadi tempat pemasangan sero di

Kecamatan Pitumpanua dijelaskan. Informasi tentang kondisi lingkungan di

setiap habitat tersebut dimanfaatkan untuk menjelaskan karakteristik komunitas

ikan yang merupakan potensi perikanan lokal.

Dalam bab ini akan disajikan kondisi lingkungan dari tempat pemasangan

sero. Kondisi perairan tersebut dinyatakan sebagai parameter biologi, fisika dan

kimia lingkungan, yaitu suhu air, salinitas, pH, kadar oksigen terlarut (DO), kadar

zat hara, klorofil-a, fitoplankton, dan zooplankton.

5.2 METODE PENELITIAN

5.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengumpulan data dengan cara pengambilan contoh-contoh air dan biota

dilakukan selama 4 (bulan) sejak tanggal 22 Januari hingga 14 Mei 2011.

Contoh-contoh tersebut diambil dari tiga lokasi tempat sero yang dilengkapi

dengan experimental crib di perairan pantai Pitumpanua, yaitu di muara sungai

(3o40’24,9” LS; 120o25’39,4” BT), mangrove (3o42’09,9” LS; 120o26’15,3” BT),

56

dan lamun (3o42’18,9” LS; 120o26’24,6” BT) (Gambar 2). Contoh-contoh tersebut

kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi jenis biota dan densitasnya serta

kadar zat hara di laboratorium pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

(FIKP), Universitas Hasanuddin, Makassar.

5.2.2 Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan selama pengamatan kondisi

lingkungan dan pengambilan contoh air di lapangan serta analisis di laboratorium

disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis alat dan bahan yang digunakan pengambilan contoh air dan pengamatan kualitas air di laboratorium

No

Alat dan bahan

Jumlah Kegunaan

1 Perahu motor 1 unit Sebagai sarana transportasi 2 Global Position System (GPS) 1 buah Untuk mengetahui titik kordinat lokasi

pengambilan sampel 3 DO meter 1 unit Secara simultan mengukur suhu perairan dan

oksigen terlarut 4 Handrefraktometer 1 unit Mengukur salinitas 5 Cammerer water sampler 1 unit Mengambil contoh air 6 Jaring plankton No. 25 1 unit Mengambil plankton 7 Larutan lugol 1 botol Mengawetkan contoh air 8 pH meter 1 buah Untuk mengukur pH peraian 9 Current meter 1 buah Mengukur arus perairan 10 Mikroskop 1 buah Identifikasi plankton 11 Spectrofotometer 1 buah Analisis laboratorium untuk nutrien 12 Aseton 90% * Analisis klorofil a 13 Botol sampel (botol aqua) 9 buah Menyimpan contoh air untuk nutrien 14 Botol sampel 9 buah Menyimpan contoh air untuk plankton 15 Papan skala 1 buah Mengukur kedalaman perairan 16 plastik sampel * Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir 17 Cool Box 1 buah Menyimpan/memisahkan sampel 18 Buku identifikasi plankton 1 buah Mengidentifikasi plankton 19 Kamera 1 buah Pengambilan gambar 20 Alat tulis/data sheet * Mencatat data 21 Alat bantu lainnya * Digunakan di lapangan dan di laboratorium

5.2.3 Teknik Pengumpulan Data

Rangkuman tentang jenis data yang dikumpulkan dan jenis metode

pengumpulan data atau analisis yang dilakukan serta metode, alat, dan tempat

pengukuran/pengambilan contoh air disajikan pada Tabel 7.

57

Tabel 7 Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian No Parameter Satuan Metode Alat Analisis Parameter Fisika 1 Suhu oC - DO meter In situ 2 Kecepatan Arus m/det Visual Current meter In situ 3 Kedalaman

Perairan m Visual Meteran In situ

Parameter Kimia 4 pH - Potensiometrik pH Meter In situ 5 Oksigen Terlarut ml/L - DO meter In situ 6 Salinitas o/oo - Handrafroktometer In situ 7 N-Nitrat mg/L Brucine Spektrofotometer Lab 8 Silikat mg/L Molybdosilicate Spektrofotometer Lab 9 Ortofosfat mg/L Stanous chloride Spektrofotometer Lab Parameter Biologi 10 Plankton sel/L Lackley Drop

Microstransect Counting

Plankton Net 25, Lab

11 Klorofil a mg/m3 Boyd (1982) Spektrofotometer Lab

Penjelasan yang lebih rinci untuk beberapa hal dalam Tabel 7 tersebut

disajikan pada bagian berikut.

5.2.3.1 Pengukuran kedalaman air

Kedalaman air diukur dengan menggunakan papan skala. Selama

penelitian, pengukuran ini hanya dilakukan sebanyak 2 (dua), yaitu pada saat

pasang tertinggi dan surut terendah. Setiap lokasi pemasangan sero dengan

experimental crib dianggap mewakili satu habitat. Pada setiap lokasi tersebut ada

tiga titik tempat pengukuran kedalaman air.

5.2.3.2 Pengukuran kecepatan dan arah arus air

Kecepatan arus air diukur dengan sebuah current meter bermerek valeport

seri 07481. Pengukuran parameter ini dilakukan sebelum kegiatan pengambilan

ikan (hauling) dari bunuhan (crib). Pengukuran kecepatan air dilakukan pada

pukul 7.30 – 12.00 WITA pada hari yang sama. Pengukuran kecepatan arus

dilakukan pada 3 posisi di setiap daerah penangkapan ikan.

58

5.2.3.3 Pengambilan contoh air untuk analisis zat hara dan klorofil-a

Contoh air untuk analisis zat hara (nitrat, fosfat, dan silikat) dan klorofil-a

diambil dengan Cammerer water sampler. Pengambilan contoh air dilakukan

pada pukul 7.00-9.00 WITA di stasiun yang telah ditentukan di muara sungai,

mangrove, dan lamun. Kegiatan ini dilakukan 8 kali pengamatan bersamaan

dengan trip operasi penangkapan ikan. Contoh air yang dianalisis berasal dari

lapisan dekat dengan dasar perairan. Contoh air tersebut disimpan dalam botol

sampel (botol aqua) yang ditaruh dalam cool box. Analisis laboratorium terhadap

contoh air ini dilakukan di laboratorium dengan menggunakan spectrophotometer

merek Hach type drel 2800. Analisis zat hara dan klorofil a dilakukan dengan

metode yang berbeda (Tabel 7).

5.2.3.4 Pengambilan contoh plankton

Contoh plankton diperoleh dari penyaringan terhadap 30 liter air laut

dengan jaring plankton berbentuk serok (scoop net) dengan diameter 30 cm dan

panjang 120 cm dan terbuat dari bahan jaring No. 25 (meshsize 64 µm).

Pengambilan contoh dilakukan pada pukul 7.00–9.00 WITA pada hari yang sama

dengan pengambilan contoh ikan. Hasil saringan dari setiap stasiun langsung

disimpan dalam botol sampel yang berukuran 25 ml. Contoh plankton ini

diawetkan dengan larutan lugol sebanyak 0,5 ml sesuai dengan cara yang

dilakukan oleh Cole dan Cloern (19870 dan Al-Gahwari (2003). Sampel tersebut

disimpan dalam cool box untuk proses identifikasi jenis plankton dan analisis

kuantitatif di laboratorium.

5.2.3.5 Penghitungan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton

Penghitungan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dilakukan di

laboratorium berdasarkan rumus dari modifikasi metode Lackley Drop

Microstransect Counting (APHA 2005). Setiap sampel di ambil 1 ml pada setiap

backet kemudian diencerkan dengan 250 ml, kemudian diambil sebanyak tiga

tetes untuk diamati. Perhitungan plankton dilakukan dengan cara sensus di atas

sedwick. Jumlah fitoplankton dan zooplankton dihitung dengan rumus berikut:

59

.....................................................(1)

Keterangan : N : Jumlah total plankton (sel/liter). n : Jumlah rata-rata plankton. Vr : Volume air yang tersaring (ml). Vo : Volume air satu tetes (ml). Vs : Volume air yang disaring (l).

5.2.3.6 Penghitungan kelimpahan klorofil-a

Kandungan klorofil-a dihitung dengan jumlah air yang disaring dengan

menerapkan rumus Boyd (1982) berikut:

..............................(2) Keterangan: A665 : Absorban pada panjang gelombang 665 nm. A750 : Absorban pada panjang gelombang 750 nm. V : Ekstraksi aseton yang diperoleh (ml). L : Panjang lintasan cahaya pada cairan dalam cuvet (1 cm). S : Volume sampel yang disaring (ml).

5.2.4 Analisis Data Lingkungan

Deskripsi setiap parameter lingkungan untuk masing-masing habitat

(muara sungai, mangrove dan lamun) diperoleh dari analisis statistika univarian

(Zar 1984). Perbandingan nilai setiap parameter di antara ketiga habitat dilakukan

dengan menerapan sidik ragam (analysis of variance atau ANOVA). Dalam

analisis ini ada dua faktor yang dipertimbangkan dapat mempengaruhi nilai

sebuah parameter lingkungan, yaitu faktor habitat (H) dan faktor waktu

pengambilan data (T). Pada model linier yang diterapkan dalam analisis statistika

dimasukan faktor interaksi antara H dan T, yaitu HT (Zar 1984 dan Petersen

1985). Oleh karena itu, model linear untuk sidik ragam ini adalah:

Yijk = µ + Hi + Tj + HTij + eijk………………………………..(3)

Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....8 Yijk = Respon pengamatan ke-i dan kelompok ke-j

µ = Nilai rataan umum Hi = Pengaruh habitat ke-i; Tj = Pengaruh waktu penagmbilan contoh ke-j; HTij = Pengaruh interaksi εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j.

60

Pengambilan kesimpulan dilakukan pada taraf α = 0,05. Kalkulasi untuk analisis

statistika univariate ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS Release

15.0.

Karakteristik kondisi lingkungan di ketiga habitat juga dilakukan dengan

menerapkan analisis statistika multivariate, yaitu principle component analysis

(PCA), dan analisis gerombol (cluster analysis). Pada kedua analisis ini kondisi

lingkungan setiap habitat dinyatakan secara simultan dengan 8 (delapan) variabel

(yaitu parameter lingkungan). Konfigurasi posisi setiap contoh yang dihasilkan

sebagai output analisis statistika dieksplorasi untuk melihat perbedaan

(persamaan) kondisi lingkungan di antara ketiga habitat. Parameter lingkungan

yang diperkirakan menentukan konfigurasi tersebut diketahui dari analisis

diskriminan (Legendre dan Legendre 1983). Kalkulasi untuk tiga jenis analisis

statistika multivariate ini dilakukan dengan perangkat lunak Excel Stat 6.0.

5.3 HASIL PENELITIAN

5.3.1 Deskripsi Habitat

Pada ekosistem lamun ditemukan jenis lamun yang paling dominan yaitu

Enhalus acoroides dan juga ditemukan jenis Halodule pinifolia dan Cymodocea

rotundata dalam sebaran yang jumlahnya sedikit. Jenis substrat di daerah lamun

yaitu berpasir halus, berbeda pada substrat di sekitar mangrove dan muara sungai

yaitu berpasir campur lumpur. Vegetasi yang tumbuh di sekitar mangrove yaitu

didomonasi oleh tumbuhan mangrove jenis Rhizophora sp, Avicennia sp, dan

Sonneratia sp. Pada sekitar muara sungai didapatkan tumbuhan mangrove yang

jumlahnya sangat sedikit, namun pada sepanjang tepi sungai lebih dominan

tumbuh jenis mangrove yaitu Rhizophora sp. Untuk kondisi lingkungan lokasi

pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo di setiap habitat

selama penelitian disajikan pada Tabel 8. Berikut penjelasan singkat dari setiap

parameter tersebut dan perbandingannya di antara ketiga kawasan tempat

pemasangan sero yang masing-masing dicirikan oleh habitat muara sungai,

mangrove dan lamun.

61

Tabel 8 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) 11 parameter fisika-kimia dan biologi di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan sero selama penelitian

No Parameter Muara sungai Mangrove Lamun

1 Suhu perairan (oC) 28,28b ±0,62 28,79a ±0,60 29,00a ±0,66

2 Kecepatan arus (m/dtk) 0,26a ±0,29 0,22b ±0,38 0,16c ±0,32

3 Salinitas (o/oo) 29,60b ±1,21 30,99a ±0,96 31,15a ±0,84

4 pH 6,92b ±0,13 6,95ab ±0,15 7,01a ±0,12

5 Kadar DO (ppm) 5,75b ±0,44 5,96ab ±0,43 6,14a ±0,50

6 Nitrat (µg/L) 0,21a ±0,09 0,19a ±0,09 0,13b ±0,07

7 Fosfat (µg/L) 0,12a ±0,02 0,11a ±0,03 0,09b ±0,03

8 Silikat (µg/L) 0,008 ±0,003 0,007 ±0,003 0,007 ±0,003

9 Klorofil a (µg/m3) 0,835b ±0,282 0,687ab ±0,192 0,976a ±0,162

10 Fitoplankton (sel/liter) 11773a±6341 6711b ±3,861 13011a±4473

11 Zooplankton (ind/liter) 1010a ±961 368b ±260 936a ±582 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (α =

0,05) berdasarkan uji beda rerata Tukey

5.3.2 Karakteristik Habitat

Persebaran spasiotemporal parameter lingkungan berdasarkan habitat dan

waktu pengamatan dianalisis dari rata-rata 3 kali pengukuran menggunakan

analisis PCA (24 observasi). Parameter lingkungan yang dianalisis sebanyak 8

(delapan) parameter yaitu : suhu, salinitas, kecepatan arus, pH, kadar oksigen

terlarut (DO), nitrat, fosfat, dan silikat. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa

besarnya ragam terjelaskan pada 3 (tiga) sumbu utama pertama sebesar 78,93%

dengan akar ciri masing-masing secara berurut masing-masing sumbu 1 (F1) =

3,211, sumbu 2 (F2) = 1,814, dan sumbu 3 (F3) = 1,289. Parameter lingkungan

yang berpengaruh besar pada sumbu utama diantaranya DO, pH, dan fosfat yang

berkorelasi positif dengan sumbu 1 (F1). Nitrat dan suhu berkontribusi besar

dalam pembentukan sumbu utama kedua (F2) (Lampiran 13).

Observasi di muara sungai (MS7 dan MS5), mangrove (MG7 dan MG8),

dan lamun (LM8) berkontribusi besar dalam pembentukan sumbu utama pertama

dan berkorelasi negatif dengan sumbu utama pertama. Observasi (MS6), (MG4

dan MG6), dan (LM3, LM4, dan LM5) berkontribusi besar dan berkorelasi positif

62

dalam pembentukan sumbu utama pertama. Observasi (MS4), (MG4), dan (LM4)

berkontribusi besar dan berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama

kedua, sedangkan observasi (MS6) (MG6) dan (LM6) berkontribusi besar dan

berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama kedua (Lampiran 13).

Berdasarkan plot dan observasi dan parameter lingkungan (Gambar 10 & 11)

menunjukkan bahwa sebagian besar observasi dari lamun dan mangrove

beragregat pada sumbu satu positif. Observasi-observasi tersebut dicirikan oleh

suhu, salinitas, pH, dan DO yang tinggi. Dalam arah yang berlawanan di sumbu 1

negatif tersebar sebagian besar observasi di muara sungai. Kelompok observasi ini

dicirikan oleh kadar nitrat dan fosfat serta kecepatan arus yang lebih tinggi.

Berdasarkan hasil sidik gerombol (cluster analysis) pada skala jarak

similiritas 50% terdapat 3 (tiga) kelompok besar observasi yaitu kelompok satu

(MS6, MG1, MG3, MG6, LM1, LM3, LM4, dan LM8) dan kelompok (MS2,

MS7, dan MG7), dan lainnya kelompok tiga (Gambar 8).

Gambar 8 Diagram gerombol (cluster) untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8

parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

63

Gambar 9 Plot stasiun dan waktu pengamatan parameter fisika kimia lingkungan

selama lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

Gambar 10 Konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan

terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

64

Gambar 11 Kekuatan 8 parameter fisika kimia lingkungan dalam membentuk

konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

5.4 PEMBAHASAN

5.4.1 Deskripsi Habitat

Perubahan rata-rata suhu perairan selama penelitian menujukkan fluktuasi

dan pola yang sama diantara ketiga habitat. Terjadi perbedaan suhu yang

signifikan menurut habitat. Suhu di muara sungai (28,28 oC) lebih rendah

dibanding suhu di sekitar mangrove dan lamun (Tabel 8 & Lampiran 12).

Rendahnya suhu di muara sungai sangat besar kemungkinan dipengaruhi oleh

limpasan air tawar yang bersuhu relatif lebih rendah dibandingkan suhu air di

perairan pantai. Faktor limpasan air tawar memang merupakan pemicu

menurunnya suhu perairan di sekitar muara sungai, seperti hasil penelitian yang

didapatkan oleh Wahyudewantoro (2009) ternyata suhu di estuari Binuaengeun

Banten akibat limpasan air tawar. Berbeda yang didapatkan oleh Andriani (2004)

di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yang kisaran suhunya lebih tinggi

(30,0-32,0 oC) hal ini dikarenakan lokasinya semi tertutup dan terisolasi sehingga

tidak ada percampuran massa air tawar yang bersuhu lebih dingin. Hal yang sama

65

juga didapatkan oleh Zainuddin (2011) di perairan Palopo dan sebelah timur

Teluk Bone (Perairan Kolaka).

Nilai salinitas di daerah lamun tidak berbeda dengan di mangrove, tetapi

kedua daerah tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan di muara sungai

(Tabel 8 & Lampiran 12). Rendahnya salintas di muara sungai dikarenakan pada

muara sungai dipengaruhi oleh daratan, dimana dari daratan masuk aliran air

tawar melalui sungai menuju muara sungai yang menyebabkan penurunan

salinitas di daerah muara sungai tersebut, atau pada muara sungai terjadi proses

percampuran air tawar dari sungai. Salinitas yang tinggi di daerah mangrove dan

lamun karena terletak di wilayah yang jauh dari muara sungai. Semakin jauh dari

muara sungai ke arah laut, salinitas akan bertambah (Duxburry 2002). Sebaran

salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,

penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 2005).

Kecepatan arus berbeda pada setiap stasiun. Kecepatan arus tertinggi

dijumpai pada daerah muara sungai (0,26 m/detik) (Tabel 8 & Lampiran 12). Hal

ini kemungkinan besar disebabkan besarnya arus yang mengalir karena derasnya

aliran sungai yang masuk ke perairan muara sungai. Tidak jauh berbeda yang

didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu yaitu 0,19 m/detik (Andriani

2004). Namun relatif kuat yang didapatkan di Teluk Kotania pada pasang dan

surut masing-masing 0,7 m/detik (Supriyadi 2009), di Selat Bangka yaitu lebih

dari 50 cm/detik (Nurhayati 2007), dan di perairan Berau memiliki nilai tertinggi

adalah sebesar 115,3 cm/detik dan kecepatan arus permukaan terendah diperoleh

nilai sebesar 5,4 cm/detik (Aryawati 2007).

Nilai pH cenderung lebih rendah didapatkan di muara sungai karena

adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara.

(Tabel 8 & Lampiran 12). Secara umum kisaran pH yang didapatkan yaitu 6,7-7,2

jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Andriani (2004) di

perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yaitu 8,0-8,1. Kisaran yang

didapatkan selama penelitian masih menunjang kehidupan fitoplankton yaitu

berada pada kisaran 6,5-8,5 (Prescod 1973). Lebih lanjut Sachlan (1982) bahwa

fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7-8 bilamana terdapat cukup mineral di

dalam perairan tersebut.

66

Nilai kandungan oksigen terlarut berbeda berdasarkan habitat. Kadar

oksigen terlarut di daerah lamun berbeda dengan di muara sungai, tetapi kedua

daerah tersebut tidak berbeda nyata dengan di daerah mangrove (Tabel 8). Kadar

oksigen terlarut yang didapatkan di ketiga habitat berada pada kisaran 5,0-6,1 ml/l

(Lampiran 12). Salmin (2005) mengemukakan bahwa perairan yang kadar oksigen

terlarutnya (DO) > 5 maka perairan tersebut tingkat pencemarannya rendah dan

bisa dikategorikan sebagai perairan yang baik. Kadar oksigen terlarut rata-rata

yang didapatkan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di

perairan Berau Kalimantan Timur berkisar antara 4,77–6,14 ml/l (Aryawati 2007),

di perairan pantai Kabupaten Pinrang Selat Makassar 3,8-8,7 ppm (Umar 2009),

dan di Selat Makassar Kabupaten Barru berkisar antara 3,9-7,9 (Hatta 2010).

Kandungan nitrat berbeda setiap habitat. Kandungan nitrat di muara sungai

(0,209 µg/L) lebih tinggi dibandingkan di daerah mangrove dan lamun. Rata-rata

kandungan nitrat (0,175 µg/L) (Tabel 8 & Lampiran 12) secara umum di perairan

pantai Pitumpanua Teluk Bone sedikit lebih rendah ambang batas kebutuhan

oftimal pertumbuhan fitoplankton. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Mackentum (1969) bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh fitoplankton laut

adalah 0,203-0,790 µg–at/l, bila kurang dari nilai tersebut maka menyebabkan

nitrat sebagai faktor pembatas di perairan tersebut.

Rata-rata kandungan fosfat di habitat muara sungai dan mangrove (0,118

µg/L dan 0,110 µg/L) lebih tinggi dibanding pada lamun (Tabel 8 & Lampiran

12). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena adanya masukan dari daratan.

Nontji (1984) menyatakan bahwa kandungan fosfat di suatu perairan antara lain

dapat disebabkan karena masukan dari darat atau karena terjadinya pengayaan

dari lapisan dalam, baik karena penaikan air maupun karena pengadukan. Lebih

lanjut dijelaskan pula bahwa proses penaikan air lebih banyak terjadi di perairan

dalam sedangkan proses pengadukan lebih banyak berperan di perairan dangkal.

Nilai rata-rata kandungan fosfat yang ditemukan di lokasi penelitian masih

kondisi yang normal (baik). Hal ini diperkuat oleh Mackentum (1969) bahwa

kandungan fosfat yang baik bagi pertumbuhan fitoplankton adalah berkisar 0,09-

1,80 µg/L dan ditambahkan oleh Sumardianto (1985) dalam Andriyani (2004)

bahwa kandungan ortofosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah

67

0,27-5,51 µg/L dan jika kurang dari 0,02 µg/L maka akan menjadi faktor

pembatas.

Rata-rata kandungan silikat (0,015 µg/L) di perairan pantai Pitumpanua

Teluk Bone tidak menunjukkan adanya perbedaan, baik berdasarkan waktu

pengamatan maupun habitat (Tabel 8 dan Lampiran 12). Menurut Cushing dan

Walsh (1976) dalam Aryawati (2007) salah satu sumber silikat adalah buangan

dari darat melalui run off. Lebih lanjut Millero dan Sohn (1991) menerangkan

bahwa pada dasarnya sumber silikat di laut sebagian besar merupakan hasil

pelapukan yang terbawa oleh aliran sungai. Hasil penelitian ini sama yang

didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bonen yaitu sebesar 0,011-

0,031 µg/L (Andriani 2004).

Kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua menunjukkan nilai

yang sangat fluktuatif dan heterogen. Kandungan klorofil-a di habitat muara

sungai dan lamun (0,835 dan 0,976 mg/m3) lebih tinggi dibandingkan di habitat

mangrove (0,687 mg/m3) (Tabel 8 & Lampiran 12). Tinggi rendahnya kandungan

klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sangat berhubungan dengan

pasokan nutrien yang berasal dari darat melalui aliran sungai-sungai yang

bermuara ke perairan tersebut. Afdal & Riyono (2004) mempertegas bahwa tinggi

rendahnya kandungan klorophil-a di laut sangat dipengaruhi oleh faktor hidrolgi

perairan (suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat). Pada kedalaman 0-50 m suhu,

salinitas, nitrat, dan fosfat tidak terlalu mempengaruhi kandungan klorofil-a,

sedangkan pada kedalaman 100 m mempengaruhi.

Bila dibandingkan dengan kandungan klorofil di perairan pantai

Pitumpanua Teluk Bone dengan perairan Barru Selat Makassar maka kandungan

klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memiliki nilai yang lebih

tinggi. Menurut Hatta (2010) kandungan klorofil-a di perairan Barru Selat

Makassar berkisar 0,015-0,383 mg/m3 dan menurut Alianto et al. (2008)

kandungan klorofil-a di perairan Teluk Banten memiliki berkisar 0,069-0,303

mg/m3. Tetapi apabila dibandingkan dengan kandungan klorofil-a di perairan

Ujung Watu, Jepara; pantai Kartini, Jepara, dan Teluk Jakarta, nilai kandungan

klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone relatif lebih rendah.

Di perairan Ujung Watu, Jepara kandungan rata-rata klorofil-a adalah sebesar 4,68

68

mg/m3 (Sutomo et al. 1989). Kadar klorofil-a yang tinggi di perairan Indonesia

umumnya disebabkan karena penyuburan yang terjadi akibat turbulensi atau

pengadukan air di daerah dangkal, aliran dari sungai-sungai (run off) ataupun

karena ”upwelling”.

Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan pantai Pitumpanua

berbeda secara signifikan berdasarkan waktu pengamatan dan habitat. Rata-rata

kelimpahan fitoplankton tertinggi selama penelitian di dapatkan di habitat lamun

sebesar 13011 sel/l (Tabel 8 & Lampiran 12). Kelimpahan ini lebih tinggi

dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di perairan Bua

Kabupaten Luwu Teluk Bone (4511 sel/liter) dan yang didapatkan oleh Hatta

(2010) di perairan Barru Selat Makassar yaitu berkisar 431-5438 sel/liter.

Tingginya kelimpahan yang didapatkan kemungkinan disebabkan karena lokasi

pengambilan sampel berada pada daerah pantai yang tersedia banyak unsur hara

yang dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan

perkembangbiakannya. Berbeda yang didapatkan oleh Djokosetiyanto & Rahardjo

( 2006) di perairan pantai Dadap Teluk Jakarta yaitu 21955 sel/liter sangat jauh

lebih tinggi dibandingkan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Sedangkan

rata-rata kelimpahan tertinggi zooplankton di dapatkan di habitat muara sungai

yaitu sebesar 1010 ind/liter (Tabel 8 & Lampiran 12). Bila dibandingkan

kelimpahan yang di dapatkan Thoha (2007) di Teluk Gilimanuk, Bali yang

mendapatkan kelimpahan zooplankton rata-rata 23938 ind/l, sangat jauh lebih

rendah bila dibandingkan yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk

Bone. Kelimpahan zooplankton yang didapatkan selama penelitian berada pada

kisaran yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di Kabupaten Luwu Teluk Bone

yaitu 920-1227 ind/liter dengan rata-rata kelimpahan 1022 ind/liter.

69

5.4.2 Karakteristik Habitat

Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa karakteristik di lokasi penelitian

dicirikan oleh parameter DO, pH, salinitas, dan silikat cenderung lebih tinggi di

daerah sekitar mangrove dan lamun, sedangkan parameter kadar nitrat, fosfat, dan

kecepatan arus cenderung lebih tinggi di daerah muara sungai (Gambar 10 & 11).

Secara umum, kadar nitrat di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone

memperlihatkan nilai yang tinggi di daerah muara sungai dibandingkan pada

daerah lamun dan sekitar mangrove. Hal ini bisa dimengerti karena lokasi ini

dapat disebabkan kondisi sekitar muara sungai, dimana sepanjang pinggiran

sungai terdapat mangrove yang dapat menyumbangkan hara dari serasahnya yang

membusuk mengalir ke muara sungai. Sesuai dengan pernyataan Wattayakorn

(1988) bahwa kandungan nitrat di suatu daerah estuaria selain berasal dari

perairan itu sendiri juga tergantung kepada keadaan sekelilingnya antara lain,

sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut, juga

tergantung kepada hutan mangrove yang serasahnya membusuk, karena adanya

bakteri, terurai menjadi zat hara. Begitu juga dengan kandungan fosfat di muara

sungai lebih tinggi dibanding dengan lamun dan mangrove, kemungkinan besar

oleh karena adanya masukan dari darat. Nontji (1984) mempertegas bahwa

tingginya fosfat di muara karena proses pengadukan lebih banyak terjadi di

perairan dangkal. Alasan tersebut sejalan dengan kecepatan arus yang ditemukan

di muara sungai juga tinggi. Tingginya kecepatan arus tersebut disebabkan karena

derasnya aliran sungai yang mengalir keluar masuk muara sungai sehingga terjadi

pengadukan di muara sungai.

Parameter suhu, DO, pH, dan salinitas lebih tinggi ditemukan di daerah

lamun dan sekitar mangrove (Gambar 10 & 11). Tingginya kadar oksigen terlarut

(DO) kemungkinan disebabkan karena tingginya efek produksi fotosintesis dari

lamun, begitupula halnya dengan nilai pH kemungkinan diakibatkan oleh

kurangnya proses penguraian bahan organik dibandingkan di muara sungai.

Salinitas yang tinggi di lamun dan mangrove diakibatkan tidak adanya

percampuran air tawar yang bersalinitas rendah seperti pada di habitat muara

sungai. Kandungan silikat secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata antara ketiga habitat tersebut (α = 0,05, Lampiran 8).