DUGAAN EUTROFIKASI DI DANAU MATANO DITINJAU DARI KOMUNITAS …
2 HABITAT PEMIJAHAN IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO · HABITAT PEMIJAHAN IKAN . T. sarasinorum....
-
Upload
phungtuong -
Category
Documents
-
view
231 -
download
0
Transcript of 2 HABITAT PEMIJAHAN IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO · HABITAT PEMIJAHAN IKAN . T. sarasinorum....
11
2 HABITAT PEMIJAHAN IKAN T. sarasinorum
DI DANAU MATANO
Pendahuluan
Penelitian mengenai habitat pemijahan ikan air tawar endemik Sulawesi
yang dikaitkan dengan preferensi arena pemijahan belum pernah dilakukan dan ini
adalah penelitian pertama. Penelitian dilakukan di Danau Matano, salah satu
danau tua di dunia yang terdapat di bagian tengah Pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi
merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea, yang merupakan habitat
campuran dari fauna Asia dan Australia, serta menjadi arena evolusi berbagai
fauna endemik. Keunikan flora fauna Sulawesi tidak terlepas dari sejarah
geologinya; pertemuan daratan Asia dengan daratan Australia menyebabkan
terjadinya perpindahan flora dan fauna dari kedua daratan tersebut. Oleh karena
itu kekhasan ekosistem perairan umum dengan keanekaragaman fauna khasnya di
Sulawesi tidak terlepas dari peristiwa sejarah terbentuknya Pulau Sulawesi.
Whitten et al. (2002) mencatat 76% spesies ikan yang ditemukan di
Sulawesi tidak ditemukan dimana pun di dunia. Danau Matano, Mahalona dan
Towuti yang berada di bagian tengah Sulawesi merupakan salah satu tempat yang
memiliki spesies ikan endemik. Ketiga danau ini berdekatan dan membentuk
suatu sistem danau yang dikenal dengan sebutan ―Kompleks Danau-danau
Malili‖. Ada dua danau lain yang termasuk dalam kompleks danau-danau ini yaitu
danau Wawontoa dan Masapi.
Danau Matano merupakan hulu dari rangkaian sistem kompleks danau-
danau Malili. Walaupun ketiga danau ini dihubungkan oleh sistem aliran dari dua
danau yang ada di hilirnya, namun danau ini terisolasi dari sistem hilir oleh
rintangan fisik bagi penyebaran biota akuatik.
Danau Matano diidentifikasi sebagai sumber utama kehadiran spesies-
spesies endemik dalam kompleks danau-danau Malili (Hafner et al. 2001). Ikan-
ikan endemik dari Danau Matano merupakan anggota dari famili ikan laut, dan
diduga telah menguasai danau itu sejak awal kejadian danau. Saat ini tercatat ada
empat famili ikan endemik yang menghuni Danau Matano yaitu: Telmatherinidae
dengan sembilan anggota (T. sarasinorum, T. abendanoni, T. antoniae, T. opudi,
T. obscura, T. wahjui, T. bonti dan T. albolabiosus), Gobiidae dengan empat
12
anggota (Glossogobius matanensis, G. intermedius, Mugilogobius adeia, M.
latifrons), Adrianichthyidae, dan Hemirhamphidae masing-masing satu anggota
yaitu Oryzias matanensis dan Dermogenys weberi (Tantu & Nilawati 2008).
Menurut Soeroto (1997), mayoritas ikan air tawar Sulawesi adalah ikan sekunder,
yaitu ikan yang mampu mentolerir kandungan garam; juga anggota dari famili
ikan laut. Contoh ikan-ikan sekunder adalah Oriziidae dan Adrianichthyidae,
sedangkan anggota dari famili ikan laut adalah Gobiidae, Eleotridae, Atherinidae
dan Hemiramphidae.
Kelompok Telmatherinidae merupakan kelompok yang memiliki anggota
paling banyak yang menghuni Danau Matano, dan T. sarasinorum adalah salah
satu jenis dominan yang menempati daerah litoral danau. Studi mengenai T.
sarasinorum belum banyak dilakukan, secara spesifik misalnya Gray et al. (2006)
mempelajari tingkah laku kawin dari ikan ini. Umumnya studi yang berkaitan
dengan Telmatherinidae ditujukan pada aspek keragaman dan evolusi, radiasi
adaptif, genetika populasi, pemeliharaan polimorfisme warna jantan, dan
perbandingan tingkah laku kawin (Herder et al. 2006; Heath et al. 2006; Gray et
al. 2006; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007; Tantu & Nilawati
2007; Tantu & Nilawati 2008). Belum ada penelitian yang secara khusus
mempelajari habitat pemijahan ikan endemik di Danau Matano, dan penelitian ini
merupakan penelitian pertama dengan obyek ikan T. sarasinorum.
Penelitian ini menguraikan aspek habitat yang berkaitan dengan faktor-
faktor fisik kimiawi perairan. Tujuan penelitian adalah menganalisis profil habitat
pemijahan yang meliputi substrat pemijahan dan aspek fisik kimiawi perairan
yang mendukung keberadaan strategi reproduksi. Diharapkan hasil penelitian ini
dapat membantu upaya-upaya konservasi ikan dan habitatnya di Danau Matano.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Danau Matano Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi
Selatan pada batas wilayah geografis 02° 25ʹ 00ʺ LS - 02° 34ʹ 00ʺ LS dan 121°
12ʹ 00ʺ - 121° 29ʹ 00ʺ BT. Pengamatan di lapangan dilakukan pada bulan
September 2008 – Agustus 2009 pada 15 lokasi sampling (Gambar 1).
Pengamatan di lokasi sampling dilakukan untuk menganalisis keadaan lingkungan
lokasi sampling, seperti pemanfaatan lahan di sekitar danau, vegetasi yang ada di
13
pinggiran danau dan aktivitas masyarakat yang diduga bermakna bagi habitat
ikan. Penilaian habitat pemijahan dilakukan melalui pengamatan bawah air
dengan melakukan snorkeling untuk menentukan keadaan habitat dan substrat
pemijahan. Habitat pemijahan ditentukan melalui penilaian adanya aktivitas
pemijahan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ikan dalam habitat spesifik.
Gambaran utuh mengenai keadaan habitat diperoleh dengan mengukur parameter
fisik kimiawi perairan secara in situ (suhu, oksigen terlarut, pH, kecerahan dan
transparansi air) dan ex situ (padatan tersuspensi total dan padatan terlarut total).
Penentuan lokasi pemijahan didasarkan pada hasil pengamatan bawah air
oleh pengamat yang melakukan renang snorkeling dengan kecepatan lambat pada
transek sepanjang 50 meter pada kedalaman antara 0,5 sampai dengan 2 meter
sejajar garis pantai. Pengamat mengidentifikasi lokasi-lokasi yang secara khusus
dijadikan sebagai arena pemijahan. Arena pemijahan didefinisikan sebagai area
terbatas yang menjadi tempat berlangsungnya aktivitas kawin yang ditunjukkan
oleh adanya pertunjukan pasangan jantan-betina, persaingan jantan-jantan untuk
mendapatkan betina, aktivitas berpasangan, dan aktivitas kawin pasangan T.
sarasinorum (Nilawati et al. 2010). Pengamat mencatat jumlah arena pemijahan
yang terdapat dalam garis transek dan menilai persentase luas tutupan materi yang
menyusun substrat pemijahan. Klasifikasi ukuran materi substrat mengikuti
Wolman (1954) dalam Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi ukuran substrat
Materi Kisaran ukuran (mm)
Lumpur/lempung 0-0.06 Pasir halus 0.061-0.25
Pasir sedang 0.26-0.5
Pasir kasar 0.51-2 Kerikil 2-64
Batu bulat 65- 256
Batu besar 257-4096
Batuan dasar >4096 Catatan: Komposisi substrat menurut Wolman (1954)
Pengukuran kondisi fisik kimiawi perairan untuk suhu, oksigen terlarut dan
pH dilakukan secara in-situ menggunakan Water Quality Checker Horiba.
Pengukuran padatan tersuspensi total dan padatan terlarut total dilakukan di
laboratorium. Sampel air dikoleksi di dalam botol sampel lalu diberi larutan
14
pengawet. Kecerahan diukur sebagai ukuran jarak pandang pengamat di dalam air
terhadap benda berwarna putih berukuran 30 cm x 30 cm. Tinggi muka air danau
dan curah hujan wilayah diperoleh berdasarkan data yang dikoleksi selama
periode sampling dari stasiun pengamatan PT. INCO Sorowako.
Analisis statistik
Analisis keragaman satu arah dilakukan untuk menilai perbedaan antara
parameter-parameter lingkungan yang diamati di dalam suatu lokasi dengan
menggunakan fasilitas yang terdapat dalam perangkat lunak Minitab versi 14.
Untuk mengetahui apakah terdapat korelasi di antara parameter-parameter
lingkungan yang diukur dilakukan penghitungan koefisien korelasi Pearson r
dengan alat bantu perangkat lunak Minitab 14. Nilai uji statistik r bisa positif atau
negatif tetapi selalu terletak di antara -1 dan +1. Nilai mendekati +1 menunjukkan
korelasi positif yang kuat, sedangkan nilai mendekati -1 menunjukkan korelasi
negatif yang kuat. Nilai 0 menunjukkan kurangnya korelasi, walaupun hal ini juga
dapat berarti bahwa terdapat suatu korelasi yang lebih kompleks (McCleery et al.
2007).
Gambar 1 Sketsa lokasi sampling di Danau Matano
Ket.: 1) S. Lawa, 2) Desa Matano, 3) Paku, 4) Sokoio, 5) Pantai Kupu-kupu,
6,13) Pantai Salonsa, 7) Pantai Old Camp, 8) S. Tanah Merah,
9,14) P. Otuno I, 10,15) P. Otuno II, 11) S. Petea, dan 12) S. Soluro
15
Hasil dan Pembahasan
Deskripsi lokasi sampling
Sebanyak 15 lokasi di daerah litoral Danau Matano dijadikan sebagai titik
pengamatan. Kelima belas lokasi ini menyebar dari bagian barat danau sampai ke
bagian timur danau. Secara spasial lokasi-lokasi ini dapat dikelompokkan ke
dalam 3 zona yaitu: zona 1 adalah lokasi sampling yang terletak di bagian barat
danau (S. Lawa, Pantai Desa Matano, Pantai Paku dan Pantai Sokoio), zona 2 di
bagian tengah danau (Pantai Kupu-kupu, Pantai Salonsa I-A, Pantai Salonsa I-B,
Pantai Old-Camp, dan Pantai S. Tanah Merah) dan zona 3 di bagian timur danau
(P. Otuno I-A, P. Otuno I-B, P. Otuno II-A, P. Otuno II-B, Pantai Sungai
Petea, dan Pantai Sungai Soluro). Masing-masing lokasi secara ringkas
dideskripsikan sebagaimana ditampilkan pada Lampiran 1. Beberapa vegetasi
yang ditemukan di lokasi adalah Myrtacea (Lampiran 2), pohon sagu, Nephentes,
pohon mangga dan Pandanus sp.
Gambar 2 Kontur dasar di kedua tipe arena pemijahan
16
Menurut kontur dasar perairan kelima belas lokasi penelitian ini memiliki
dua bentuk kontur dasar yaitu, kontur dasar landai dan kontur dasar curam
(Gambar 2). Kontur dasar landai umumnya memiliki substrat dasar batu-batuan
dan pasir.
Arena pemijahan
Pengamatan bawah air berhasil mengidentifikasi adanya habitat spesifik
yang digunakan oleh T. sarasinorum untuk melakukan aktivitas perkawinan.
Habitat pemijahan spesifik ini dalam penelitian ini disebut sebagai arena
pemijahan, yang didefinisikan sebagai tempat berlangsungnya peristiwa
perkawinan atau pemijahan kelompok ikan T. sarasinorum. Terdapat dua tipe
arena pemijahan T. sarasinorum di Danau Matano (Gambar 3). Pertama arena
pemijahan yang terletak di dasar perairan dengan kontur dasar landai yang
substrat dasarnya terdiri dari pasir dan kerikil yang berada di antara batuan, atau
ruang berbentuk kolam-kolam pasir bercampur kerikil. Kedua arena perakaran,
ranting atau batang pohon yang terendam di perairan.
Gambar 3 Arena pemijahan T. sarasinorum: arena batu berpasir (atas)
dan arena perakaran (bawah)
17
Sebuah arena dapat diidentifikasi dengan mengamati adanya peristiwa
pemijahan yang ditandai oleh adanya rangkaian aktivitas kelompok ikan.
Aktivitas itu berupa adanya beberapa ikan jantan yang sedang berusaha
mendapatkan seekor betina yang ada di dalam arena pemijahan; adanya ikan
betina yang berpasangan; serta ikan betina melakukan gerakan pelepasan telur dan
dalam waktu yang hampir bersamaan ikan jantan melepaskan sperma yang
ditandai oleh terlihatnya pasangan ikan jantan dan betina secara bersama-sama
menekan abdomennya ke dasar substrat.
Secara keseluruhan ada 15 lokasi sampling yang diamati dan di dalamnya
ditemukan 24 arena pemijahan yang terdiri atas 19 arena pemijahan pada substrat
dasar perairan dan 5 arena pemijahan di perakaran. Luas keseluruhan arena
pemijahan yang diamati dalam lokasi sampling kurang lebih 90 m² (Tabel 2).
Susunan substrat dasar perairan di arena pemijahan bervariasi mulai dari substrat
halus lumpur sampai dengam substrat batuan dasar. Tidak semua lokasi sampling
memiliki arena pemijahan. Pantai Sokoio dan Sungai Petea tidak memiliki arena
pemijahan. Tidak adanya arena pemijahan di Pantai Sokoio diduga berkaitan
dengan tutupan substrat yang didominasi oleh batu-batuan besar yang tidak
memiliki jebakan pasir atau kolam-kolam pasir. Di sekitar S. Petea substrat dasar
perairannya banyak mengandung lumpur.
Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi bahwa arena pemijahan selalu
berada di dekat tepian danau pada daerah bervegetasi pohon, dan berada dalam
area bayang-bayang atau teduhan yang berasal dari pohon di tepi danau atau dari
batu besar – batuan dasar di dekatnya. Umumnya jarak arena dari tepian berkisar
antara 2 – 10 m, dan kedalaman arena berkisar antara 0,30 – 3,00 m.
Jumlah pasangan ikan yang berada di dalam arena berkisar antara 2 sampai
12 pasang. Umumnya arena perakaran memiliki jumlah pasangan ikan lebih
banyak daripada arena batu berpasir. Menurut Vono & Barbosa (2001),
kompleksitas struktur suatu habitat menentukan jumlah kehadiran ikan. Pemilihan
arena dengan naungan dari bayang-bayang pohon atau batu besar di dalamnya
mungkin berhubungan dengan strategi reproduksi ikan ini. Pada area yang
mendapatkan bayang-bayang tersebut intensitas cahaya lebih rendah, telur-telur
yang dilepaskan sulit kelihatan oleh predator telur T. sarasinorum dan atau
18
kompetitor pembuahan. Sejauh ini tidak ditemukan penelitian mengenai pengaruh
bayangan pohon atau benda lain di dalam habitat pemijahan ikan terhadap
preferensi habitat pemijahan di dalam sistem lain.
Pemilihan tempat pelepasan telur (oviposition) dapat berdampak pada
kelangsungan hidup keturunan (Smith et al. 2001). Tempat pelepasan telur dapat
berbeda-beda kualitasnya. Pada spesies yang ikan jantannya melakukan
pengasuhan terhadap anak, pemilihan pasangan oleh betina sering dipengaruhi
oleh karakteristik posisi sarang, selain memperhatikan resiko predasi dan kondisi
oksigen yang ada (Spence et al. 2007). Pemilihan tempat pelepasan telur adalah
salah satu cara betina menjamin kelangsungan hidup anak. Seperti halnya ikan T.
sarasinorum, ikan zebrafish betina adalah pemilih tempat pelepasan telur (Smith
et al. 2001). Jadi jika ikan betina aktif memilih tempat pelepasan telur, ikan jantan
bisa meningkatkan keberhasilan pemijahannya dengan mengamankan telur yang
telah dibuahi. Hal ini tampak pada ikan T. sarasinorum; ikan jantan tampak
berusaha menutupi telur yang telah dibuahinya dengan alga atau pasir. Dengan
demikian usaha-usaha pemilihan tempat pelepasan telur dan perlindungan telur
yang baru dilepaskan oleh ikan T. sarasinorum sesungguhnya adalah bentuk
kepedulian induk (parental care).
Ikan ini memijah pada substrat batu berpasir, dan tidak ditemukan memijah
pada substrat belumpur. Hal ini merupakan strategi reproduksi ikan untuk
menjamin kelangsungan keturunannya. Telur yang dilepaskan pada substrat
berlumpur bisa tertutup lumpur dan tidak mendapat oksigen, sehingga telur mati.
Sebaliknya, substrat kerikil memungkinkan air bersirkulasi melalui ruang-ruang
antara sehingga telur-telur teroksigenasi. Selain itu telur yang dilepaskan di antara
kerikil terlindung dari kanibalisme dan predasi. Ikan salmon mengubur telur-
telurnya di dalam kerikil yang longgar dan banyak ikan cyprinid melepaskan telur
secara bebas (egg-scattering) lebih suka memijah pada substrat kerikil (Shackle et
al. 1999). Komposisi substrat dan kedalaman habitat merupakan penentu
keberadaan ikan-ikan siklid di Danau Malawi (Genner et al. 2004). Habitat
pemijahan ikan T sarasinorum sebagian besar tersebar di sisi selatan danau. Hal
ini disebabkan bagian selatan Danau Matano mempunyai daerah litoral yang lebih
19
Tabel 2 Lokasi pengamatan, jumlah arena pemijahan dan deskripsi karakter substrat pemijahan
Lokasi
Pengamatan
Arena
pemijahan
Habitat 1/ Habitat 2
Jumlah
arena
(dalam transek)
Luas arena
(m2)
Jarak dari tepi danau
(m)
Kedalaman arena
(m)
Jumlah
pasangan
dalam arena
Karakter substrat dan % tutupan pada arena
No Lumpur/
lempung Pasir Kerikil
Batu
bulat
Batu
besar
Batuan
dasar
1 S. Lawa Habitat 1 2 6 4,0 - 8,0 0,30 - 0,60 2 - 5 - 30 20 50 - -
2 Desa Matano Habitat 1 1 8 5,0 - 10,0 0,40 - 0,60 2 - 4 - 20 80 - - -
3 Paku Habitat 1 2 8 5,0 - 10,0 0,40 - 0,60 3 - 6 - 20 30 50 - -
4 Sokoio - - - - - - - - - 60 40 -
5 Pantai Kupu-kupu Habitat 1 3 8 5,0 - 6,0 0,30 - 0,65 4 - 6 - 20 20 60 - -
6 Pantai Salonsa-A Habitat 1 2 10 5,0 - 10,0 0,30 - 0,75 4 - 8 - 30 20 40 10 -
7 Old Camp Habitat 1 3 6 3,0 - 5,0 0,40 - 0,60 3 - 5 - 30 55 15 - -
8 S. Tanah Merah Habitat 1 1 10 3,0 - 5,0 0,40 - 0,60 2 - 5 - 40 40 20 - -
9 P. Otuno I-A Habitat 1 2 10 2,0 - 5,0 0,40 - 0,60 3 - 4 - 40 20 20 20 -
10 P. Otuno II-A Habitat 1 2 5 4,0 -5,0 0,40 - 0,60 3 - 4 - 30 60 10 - -
11 S. Petea - - - - - - 50 30 20 - - -
12 S. Soluro Habitat 1 1 5 3,0 - 5,0 0,60 - 0,80 3 - 6 - 30 40 30 - -
13 Pantai Salonsa-B Habitat 2 1 4 2,0 - 3,0 0,30 - 0,60 2 - 4 - 30 40 30 - -
14 P. Otuno I-B Habitat 2 2 4 3,0 - 5,0 2,50 - 3,00 5 - 12 - - 30 70 - -
15 P. Otuno II-B Habitat 2 2 6 2,0 - 4,0 2,00 - 2,50 5 - 10 10 20 40 - 30 -
Ket: Habitat 1 : Substrat dasar batu berpasir
Habitat 2 : Substrat perakaran
19
19
20
lebar daripada bagian utara. Selain itu, pada sisi utara Danau Matano banyak
terdapat batuan besar yang tidak disertai pasir.
Sementara itu, vegetasi adalah gambaran umum dari habitat alami zebrafish
(Spence et al. 2007). Larvae zebrafish mempunyai perlengkapan untuk melekat
dan mampu menempel pada tumbuhan setelah menetas sampai pecahnya
gelembung renang. Penjelasan adaptif untuk preferensi ini ditunjukkan dengan
meningkatnya kelangsungan hidup telur-telur di dalam kerikil. Telur-telur yang
diinkubasi di dalam kerikil menunjukkan kelangsungan hidup yang secara
signifikan lebih tinggi daripada di dalam lumpur. Pengaruh ini mungkin karena
telur-telur yang diinkubasi di dalam kerikil mengalami oksigenasi yang lebih baik
dibandingkan dengan yang diinkubasi di dalam lumpur; di dalam lumpur telur
mungkin menghadapi resiko lebih besar terhadap mati lemas/kekurangan nafas
atau infeksi oleh mikroorganisme (Wootton 1990). Unsur oksigen sangat
diperlukan untuk perkembangan embrio.
Keuntungan lain dari kerikil sebagai substrat pemijahan adalah telur-telur
jatuh di antara kerikil dan dengan demikian terlindung dari gangguan atau
kanibalisme (Spence et al. 2007). Ikan T. sarasinorum yang memijah mencari
daerah substrat yang lebih berpori berupa alga pada perakaran dan pasir.
Pemilihan arena pemijahan di daerah yang ternaungi mungkin lebih berhubungan
dengan kondisi intensitas cahaya yang lebih rendah (Goddard & Mathis 1997).
Adanya preferensi tempat pemijahan demikian penting dalam menentukan
manajemen habitat.
Keadaan hidrologis dan parameter fisik kimiawi perairan Danau Matano
Curah hujan dan fluktuasi muka air
Curah hujan dan tinggi muka air danau berfluktuasi secara temporal
(Gambar 4 dan Lampiran 3). Curah hujan dan fluktuasi muka air dalam satu tahun
menunjukkan ketidak serasian, terutama pada periode bulan Mei sampai dengan
Agustus. Data tersebut menunjukkan saat curah hujan menurun, tinggi muka air
danau justru bergerak naik. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April dan Mei
masing-masing 14,78 mm dan 11,37 mm, dan terendah pada bulan Juni yaitu 2,98
mm.
21
Tinggi muka air danau jika dilihat mulai dari Februari – Agustus 2009
tampak periode ini merupakan periode pengisian air danau. Hal ini karena pola
yang terbentuk adalah peningkatan tinggi muka air secara terus-menerus tanpa
fluktuasi mengikuti periode pola curah hujan. Puncak-puncak muka air danau
tampaknya berada dalam periode bulan Agustus - Desember. Keadaan muka air
terendah pada bulan Februari berada pada ketinggian 391,46 m dpl, sedangkan
muka air tertinggi berada pada bulan September dengan ketinggian 392,65 m dpl.
Gambar 4 memberikan informasi bahwa terdapat penurunan air yang terjadi
sangat drastis pada periode bulan Desember - Januari dan titik terendahnya terjadi
pada bulan Februari. Data ini menunjukkan bahwa tidak terjadi fluktuasi alami
pada tinggi muka air danau. Data yang ditampilkan pada periode Desember,
Januari dan Februari menunjukkan ada kegiatan pelepasan massa air Danau
Matano.
Pola tersebut dikhawatirkan akan mengganggu biota perairan yang
memanfaatkan daerah litoral sebagai tempat bereproduksi. Hal ini disebabkan
pada saat muka air terendah sebagian daerah litoral menjadi kering. Pada saat itu
ikan berpindah ke daerah yang masih tergenangi air dengan kedalaman sekitar
0,50 m.
Gambar 4 Curah hujan rata-rata harian wilayah dan tinggi muka air di Danau
Matano selama penelitian
391,00
391,20
391,40
391,60
391,80
392,00
392,20
392,40
392,60
392,80
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00 Tin
ggi m
uka air (m
dpl)
Cura
h h
uja
n (
mm
)
Waktu
Curah hujan Tinggi muka air
22
Fluktuasi muka air memengaruhi proses dan pola ekologis danau dalam
beberapa hal (Wantzen et al. 2008). Pada tahun 2003 dibangun dam di S. Petea
yang dimaksudkan untuk pengadaan listrik bagi keperluan industri. Dam tersebut
selesai dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 2005. Pada waktu pintu air dam
ditutup, massa air Danau Matano meningkat. Daerah pinggir danau yang
tergenang menjadi bertambah luas. Naiknya muka air menyebabkan daerah-
daerah yang tadinya tidak tergenangi menjadi tergenang. Pada saat itu pinggiran
danau mengalami abrasi yang menyebabkan tanah bagian atas turun ke perairan
menutupi daerah litoral yang menjadi tempat hidup ikan. Sedimentasi ini dapat
memengaruhi keberadaan ikan di daerah tersebut.
Pada waktu pintu air di dam tersebut dibuka, massa air danau keluar menuju
danau-danau di bagian hilir yaitu Danau Mahalona dan Towuti. Hal tersebut
menyebabkan penurunan muka air secara tiba-tiba. Daerah-daerah litoral yang
tadinya tergenang menjadi kering. Habitat pemijahan ikan asli danau itu yang
umumnya terdapat di daerah litoral tiba-tiba menjadi kering. Telur-telur ikan yang
baru dilepaskan diduga menjadi mati. Hal ini tentu berpengaruh terhadap
keberadaan spesies ikan di habitatnya.
Secara alami, pada waktu air surut daerah litoral yang biasanya mengering
dimanfaatkan oleh organisme terestrial seperti serangga untuk menjalankan
sebagian siklus hidupnya untuk bereproduksi. Daun-daun dari pinggiran danau
yang jatuh ke daerah litoral mengering. Pada waktu muka air meningkat, daerah
tersebut tergenang air dan daun-daun mengalami dekomposisi. Serangga di
perairan dan hasil dekomposisi tumbuhan itu menjadi sumber makanan bagi ikan-
ikan di Danau Matano.
Tetapi perlu ditekankan bahwa fluktuasi muka air adalah pola alami yang
dibutuhkan untuk kelangsungan hidup banyak spesies. Fluktuasi muka air alami di
danau menjamin produktivitas dan biodiversitas. Hanya banjir dan kekeringan
yang ekstrim dan yang bukan waktunya memberikan pengaruh berbahaya bagi
biota.
Pengaturan muka air danau untuk produksi listrik dan mengontrol banjir
adalah sebagian dari pengaruh antropogenik utama dalam ekosistem akuatik
boreal. Lebih dari 300 danau di Finlandia, yang merupakan sepertiga dari total
23
luas perairan daratan di negara itu, telah mengalami pengaturan oleh manusia
(Aroviita & Hämäläinen 2008). Fluktuasi muka air yang diubah adalah sebagian
dari pengaruh antropogenik besar di dalam ekosistem danau dan sungai.
Konstruksi dam dan reservoir untuk produksi listrik tenaga air dan pengontrol
banjir, pemindahan air untuk irigasi, bersama-sama dengan penggunaan air
lainnya, telah mengubah rejim alami hidrologis perairan tawar di seluruh dunia.
Bagian perairan yang terutama rentan terhadap perubahan muka air adalah zona
litoral danau. Organisme di daerah litoral danau mungkin terpengaruh langsung
oleh kekeringan, dan terpengaruh tidak langsung oleh berkurangnya ketersediaan
habitat dan sumber-sumber makanan.
Banyak faktor abiotik terutama di zona litoral danau-danau besar, yang
dapat memengaruhi interaksi biotik pada berbagai kedalaman air: tekanan hidrolik
pada organisme yang disebabkan oleh aksi gelombang lebih rendah di perairan
yang lebih dalam (Baumgärtner et al. 2008). Stabilitas habitat, ukuran partikel
substrat dan tempat berlindung makroavertebrata berubah dengan kedalaman air.
Sampainya cahaya dan spektrum cahaya menjadi lebih sempit dengan kedalaman,
dan komunitas alga epilitik—sumber makanan bagi peramban—berubah. Suhu
dan kisaran suhu harian bervariasi bergantung pada kedalaman air dan musim.
Fluktuasi muka air jangka panjang berhubungan dengan pergeseran garis
pantai yang besar, oleh karena itu dampak utama fluktuasi muka air jangka
panjang terhadap ekositem danau adalah perubahan habitat (Hofmann et al. 2008).
Fluktuasi muka air jangka panjang membanjiri/menggenangi daerah pinggiran
yang sebelumnya kering atau permukaan sedimen di bawah permukaan air yang
terpapar pada atmosfir. Jadi, fluktuasi muka air jangka panjang berperan dalam
pemilihan spesies sessil yang beradaptasi pada kondisi kering atau basah. Selain
itu, fluktuasi muka air jangka panjang menghasilkan suatu perubahan sifat
permukaan sedimen di zona litoral, karena ukuran butiran di wilayah pantai tidak
tersebar secara homogen tetapi berubah dari besar ke kecil menuju wilayah yang
lebih dalam di danau.
Daerah yang terutama dipengaruhi oleh fluktuasi muka air jangka pendek
adalah zona litoral danau yang dangkal, bahkan sekalipun ketinggian gelombang
kecil. Zona litoral sangat penting bagi seluruh ekosistem karena daerah ini
24
ditandai oleh tingginya keragaman dan kelimpahan spesies dan penting untuk
reproduksi dan siklus hidup banyak spesies ikan. Fluktuasi muka air dan curah
hujan tampak tidak memengaruhi jumlah ikan T. sarasinorum di habitatnya (Bab
3). Kondisi berbeda dapat dilihat pada pemijahan ikan; puncak pemijahan ikan
tampak dipengaruhi oleh fluktuasi muka air dan curah hujan (Bab 4).
Dinamika karakteristik fisik kimiawi perairan
Perairan Danau Matano memiliki karakteristik sifat fisik kimiawi perairan
yang unik. Mengingat proses kejadiannya, serta sebagai salah satu danau tertua
dan terdalam kedelapan di dunia yang dihuni oleh relatif banyak organisme
akuatik endemik tentu mempunyai kualitas perairan yang menarik. Dibandingkan
dengan danau-danau tua dunia, kondisi danau saat ini relatif masih lebih baik.
Tetapi berdasarkan pengukuran kondisi air (Tabel 3) tampak bahwa perairan
danau tidak terlepas dari pengaruh berbagai aktivitas yang ada di sekelilingnya.
Tabel 3 Kisaran parameter fisik kimiawi perairan pada setiap lokasi sampling di
Danau Matano
Parameter fisik Parameter kimiawi
Lokasi sampling
Suhu (ºC)
Kecerahan (m)
Oksigen terlarut (mg/l)
pH
Padatan
tersus- pensi total
(mg/l)
Padatan
terlarut total
(mg/l)
S. Lawa 26,70-29,20 10,20-18,30 5,88-7,43 8,48-8,77 0,50-2,40 80,00-130,00
Ds. Matano 27,80-29,50 11,30-20,30 5,42-6,94 8,45-8,75 0,40-1,60 84,00-134,00
Paku 27,30-29,30 10,00-19,20 5,02-6,93 8,54-8,75 0,30-3,90 80,00-130,00
Sokoio 27,40-30,80 12,25-18,30 5,46-7,22 8,55-8,75 0,40-1,50 80,00-132,00
Pt. Kupu-kupu 28,80-29,80 13,35-18,55 5,18-6,36 8,35-8,79 0,30-1,50 80,00-134,00
Pt. Salonsa-A 28,20-30,00 12,40-17,00 5,22-6,93 8,43-8,74 0,40-2,40 70,00-146,00
Old Camp 28,50-30,20 14,10-21,10 5,02-6,93 8,52-8,79 0,40-1,20 80,00-143,00
S. Tanah Merah 28,30-30,50 13,40-18,45 5,02-6,93 8,47-8,87 0,40-1,50 100,00-134,00
P. Otuno I-A 28,50-30,00 12,10-19,40 5,65-7,45 8,34-8,68 0,70-2,60 90,00-144,00
P. Otuno II-A 29,30-30,40 14,10-18,25 5,02-6,93 8,34-8,68 0,30-2,10 80,00-132,00
S. Petea 28,40-30,40 8,60-13,10 5,77-7,23 8,48-8,65 0,60-2,60 100,00-140,00
S. Soluro 27,30-29,50 13,10-17,20 4,93-6,93 8,34-8,82 0,40-1,40 100,00-154,00
Pt. Salonsa-B 28,00-29,40 12,40-17,00 5,67-6,53 8,22-8,68 0,40-2,40 70,00-146,00
P. Otuno I-B 28,33-30,00 14,00-19,80 5,60-7,35 8,25-8,64 0,70-2,60 90,00-145,00
P. Otuno II-B 29,10-30,08 15,25-19,55 5,22-6,88 8,22-8,66 0,20-1,80 84,00-121,00
Selama periode sampling kisaran suhu perairan adalah 26,70 - 30,80 0C;
kecerahan perairan 8,60 – 21,10 m; oksigen terlarut 4,93 – 7,45 mg l-1
; pH 8,22 –
25
8,87; padatan tersuspensi total 0,20 - 3,90 mg l-1
; dan padatan terlarut total 70 –
154 mg l-1
. Secara spasial terdapat perbedaan nilai hasil pengukuran parameter
fisik kimiawi antara lokasi sampling (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 dan hasil uji
rata-rata one way Anova dapat dideskripsikan dinamika parameter fisik kimiawi
perairan berikut ini (Gambar 5).
Gambar 5 Fluktuasi parameter fisik kimiawi perairan secara spasial di Danau
Matano
Suhu perairan di lokasi sampling S. Lawa selama periode sampling (26,70 –
29,20 0C) merupakan suhu terendah dibandingkan dengan suhu di lokasi sampling
lain kecuali pada bulan November, Februari, Maret, April, Juni dan Agustus.
26
Sungai Lawa merupakan sungai utama yang mengalirkan air masuk ke dalam
danau. Lokasi sampling di S. Lawa mempunyai naungan dari pohon di pinggiran
danau.
Keadaan suhu perairan menurut lokasi sampling menunjukkan adanya
perbedaan nyata rata-rata nilai pengukuran suhu di antara lokasi sampling. Suhu
terendah berada di S. Lawa (28,08 0C) dan tertinggi di P. Otuno II-A (29,86
0C).
Walaupun suhu air di S. Lawa merupakan suhu air terendah dibandingkan dengan
suhu air di lokasi-lokasi lain di Danau Matano, hasil uji statistik one way Anova
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan suhu air di Desa Matano, Pantai Paku
dan S. Soluro. Daerah S. Lawa, Desa Matano dan Pantai Paku terletak di bagian
hulu danau, sedangkan lokasi sampling di S. Soluro terletak dekat dengan sumber
air masuk Danau Matano. Jika dilihat menurut zona, maka tampak bahwa suhu
rata-rata perairan di lokasi-lokasi penelitian dalam zona 1 memiliki nilai lebih
rendah daripada dua zona yang ada di bagian hilir. Tampak bahwa semakin ke
bagian timur danau suhu rata-rata relatif semakin tinggi. Penelitian yang
dilakukan oleh Haffner et al. (2001) menemukan bahwa secara vertikal suhu
permukaan berkisar antara 27,53 0C – 29,06
0C, dan suhu permukaan dengan suhu
pada kedalaman 40 meter hanya memiliki selisih 0,030C (27,53˚C di permukaan
dan 27,56 0C untuk pengukuran pukul 09.00). Pengukuran pada waktu menjelang
sore hari (pukul 15.00) suhu di permukaan lebih tinggi 1,47 0C daripada keadaan
suhu pada kedalaman 20 m (29,06 0C di permukaan dan 27,59
0C di kedalaman 20
m). Menurut Haffner et al. (2001), perairan Danau Matano mengalami
percampuran secara vertikal, dan terjadi proses penghangatan secara vertikal
setiap hari.
Perbandingan kandungan oksigen terlarut rata-rata di antara lokasi-lokasi
menunjukkan bahwa S. Lawa memiliki oksigen terlarut tertinggi (5,88 – 7,43 mg
l-1
). Oksigen terlarut di S. Lawa ini paling tinggi dibandingkan dengan oksigen
terlarut di lokasi-lokasi lain di Danau Matano. Hal ini mungkin disebabkan lokasi
sampling di daerah ini berada di daerah aliran masuk (inlet) danau dan pengaruh
kecepatan arus air yang datang; air lebih bergolak dan air yang lebih sejuk dapat
menahan lebih banyak oksigen. Oksigen terlarut rata-rata terendah berada di S.
27
Soluro (5,76 mg l-1
± 0,56), berbeda nyata dengan oksigen terlarut rata-rata di S.
Lawa, P. Otuno I-A, S. Petea, dan P. Otuno I-B.
Secara keseluruhan nilai pH perairan di lokasi-lokasi sampling tidak
bervariasi lebar, dan tidak ada perbedaan yang nyata. Walaupun demikian, nilai
pH air tertinggi ditemukan di lokasi S. Tanah Merah yaitu 8,87 pada bulan Juni.
Nilai pH air terendah ditemukan di Pantai Salonsa B (8,22) pada bulan September,
dan di P. Otuno II-B (8,22) pada bulan Januari. Berdasarkan pengamatan di
bagian hulu S. Lawa terdapat penebangan kayu dan pengambilan rotan yang
dilakukan oleh penduduk sekitar danau. Nilai pH di lokasi sampling S. Lawa
masih berada dalam kisaran basa dan tidak berbeda jauh dengan kisaran pH di
lokasi lain, sehingga diduga aktivitas penduduk tersebut tidak berpengaruh
terhadap nilai pH perairan setempat; diamati bahwa penduduk tidak membuang
sisa gergajian ke dalam perairan. Kisaran pH perairan Danau Matano berada
dalam kisaran basa. Hal ini berkaitan dengan proses kejadian danau; Danau
Matano merupakan perairan laut yang terperangkap saat pembentukan pulau
Sulawesi. Daerah ini merupakan daerah karst. Batuan yang terdapat di dasar
perairan dilapisi antara lain batuan kapur - terutama kalsium karbonat dari
cangkang hewan (Whitten et al. 2002).
Nilai padatan tersuspensi total rata-rata antar lokasi sampling secara statistik
tidak berbeda nyata. Padatan tersuspensi total rata-rata antar lokasi berkisar antara
0,71 – 1,35 mg l-1
. Padatan tersuspensi total rata-rata relatif tinggi di S. Petea.
Padatan tersuspensi total rata-rata antar lokasi menunjukkan beda nyata antar
lokasi. Padatan tersuspensi total rata-rata tertinggi ditemukan di S. Petea (126,00
mg l-1
± 13,58). Kandungan padatan tersuspensi total rata-rata di S. Petea berbeda
nyata dengan di Pantai Kupu-kupu, Pantai Salonsa-A, P. Otuno II-A, dan Pantai
Salonsa-B. Padatan tersuspensi total dan padatan terlarut total di daerah S. Petea
paling tinggi dibandingkan dengan yang terdapat di lokasi-lokasi pengamatan lain.
Hal ini mungkin berhubungan dengan letak S. Petea di bagian timur danau,
tepatnya pada out-let danau.
Kecerahan perairan rata-rata di P. Salonsa-A dan P. Salonsa-B adalah
15,021 m (± 1,251). Kecerahan perairan rata-rata di kedua lokasi ini berbeda
nyata dengan di S. Petea. Kecerahan tampak memengaruhi jarak visual ikan yang
28
berkaitan dengan aktivitas ikan dalam mencari makan dan pemijahan. Ikan-ikan di
S. Petea tidak menggunakan daerah ini sebagai lokasi memijah karena tidak
terdapat habitat untuk memijah di lokasi ini. Kecerahan paling rendah di S. Petea
(8,60 – 13,10 m) karena sungai ini merupakan out-let danau; semua materi yang
keluar danau harus melalui sungai ini. Sungai ini berarus kuat yang dapat
membawa materi keluar danau.
Lokasi pemijahan ikan di S. Lawa yang kandungan oksigen terlarutnya
tinggi mempunyai ikan-ikan yang panjang bakunya paling tinggi dibandingkan
dengan lokasi lain. Hal sebaliknya tampak di lokasi S. Petea yang mempunyai
ikan-ikan dengan panjang baku yang rendah. Oksigen terlarut di S. Petea paling
rendah dibandingkan dengan lokasi lain. Dalam kasus ini diduga oksigen berperan
dalam proses pertumbuhan ikan. Menurut Tom (1998), oksigen penting dalam
proses respirasi dan metabolisme ikan. Laju metabolisme dipengaruhi oleh
konsentrasi oksigen di dalam air. Jika konsentrasi oksigen terlarut menurun,
aktivitas respirasi dan makan juga berkurang. Akibatnya laju pertumbuhan
menurun dan kemungkinan serangan penyakit meningkat.
Tabel 4 Kisaran parameter fisik kimiawi perairan pada setiap bulan di Danau
Matano
Parameter fisik Parameter kimiawi
Bulan Suhu
(ºC)
Kecerahan
(m)
Oksigen terlarut
(mg/l)
pH
Padatan tersus-
pensi total
(mg/l)
Padatan terlarut
total
(mg/l)
Sep '08 27,50-30,10 10,60-16,00 5,65-6,94 8,22-8,82 0,30-3,90 84,00-146,00
Okt '08 26,80-30,08 9,85-21,10 5,65-7,22 8,36-8,79 0,40-2,40 80,00-125,00
Nov '08 28,30-30,30 9,45-19,15 5,46-6,93 8,33-8,74 0,40-2,40 80,00-133,00
Des '08 27,60-30,20 11,75-16,50 5,18-7,22 8,29-8,67 0,40-2,40 80,00-140,00
Jan '09 26,70-30,50 10,20-18,55 5,18-7,45 8,22-8,78 0,50-1,50 90,00-138,00
Feb '09 28,00-30,20 12,40-20,30 4,93-6,75 8,35-8,58 0,40-2,60 80,00-140,00
Mar '09 27,40-30,30 10,35-17,00 5,02-7,02 8,34-8,79 0,40-2,10 80,00-134,00
Apr '09 27,30-29,60 8,60-19,80 5,02-7,03 8,25-8,72 0,40-2,10 70,00-134,00
Mei '09 28,30-30,20 12,10-19,00 5,43-7,23 8,44-8,75 0,20-1,10 80,00-154,00
Jun '09 27,30-30,30 10,50-17,10 5,22-6,93 8,54-8,87 0,40-1,50 90,00-132,00
Jul '09 27,70-30,80 11,10-18,40 5,35-7,43 8,54-8,72 0,50-1,40 90,00-143,00
Agu '09 28,40-30,30 10,15-19,35 5,02-7,35 8,49-8,75 0,40-2,10 80,00-145,00 Keadaan fisik kimiawi perairan selama periode sampling berfluktuasi
dinamis menurut waktu sampling. Fluktuasi parameter fisik kimiawi perairan
29
secara temporal disajikan dalam Tabel 4 dan Gambar 6, dan dideskripsikan
sebagai berikut.
Gambar 6 Fluktuasi parameter fisik kimiawi perairan secara temporal di Danau
Matano
Suhu perairan terendah tercatat pada bulan Januari (26,70 0C) di S. Lawa,
dan tertinggi pada bulan Juli (30,80 0C) di Sokoio. Nilai suhu yang terukur
dipengaruhi oleh waktu pengukuran, kondisi naungan di lokasi dan kondisi
substrat. Suhu tinggi di perairan Sokoio kemungkinan dipengaruhi oleh dinding-
dinding batuan yang menyusun pinggiran danau. Batuan menyerap panas yang
kemudian dipantulkan yang antara lain menyebabkan perairan di sekitarnya
30
menjadi lebih hangat. Selain itu di lokasi sampling tidak terdapat naungan; daerah
ini merupakan daerah perairan terbuka. Uji rata-rata dengan menggunakan one
way Anova dengan fasilitas Minitab versi 14 pada tingkat kepercayaan 95%
diperoleh hasil beda nyata antar waktu sampling (p < 0,05). Suhu pada bulan
September 2008 berbeda nyata dengan suhu bulan November 2008, Januari 2009,
Juli 2009 dan Agustus 2009. Sementara itu suhu bulan Juli 2009 berbeda nyata
dengan suhu rata-rata bulan September 2008, Oktober 2008 dan Maret 2009.
Kandungan oksigen terlarut rata-rata perairan dengan nilai terendah pada
bulan Juni 2009 yaitu 6,29 mg l-1
(± 0,58) dan tertinggi pada bulan Mei 2009 yaitu
6,37 mg l-1
(± 0,57). Oksigen terlarut rata-rata selama waktu penelitian September
2008 – Agustus 2009 tidak berbeda nyata antar waktu sampling.
Nilai pH perairan danau terendah pada bulan September dan Januari yaitu
8,22 dan tertinggi pada bulan Juni 2009 yaitu 8,87. Nilai pH perairan relatif tidak
bervariasi jauh antar bulan selama penelitian.
Kandungan padatan tersuspensi total rata-rata perairan danau terendah pada
bulan Mei 2009 yaitu 0,59 mg l-1
(± 0,24) dan tertinggi pada bulan September
2008 yaitu 1,27 mg l-1
(± 1,02). Padatan tersuspensi total rata-rata bulan Mei 2009
berbeda nyata dengan kandungan rata-rata bulan September dan Oktober 2008.
Kandungan padatan terlarut total rata-rata adalah terendah pada bulan
Februari 2009 yaitu 100,20 mg l-1
(± 19,50) dan tertinggi pada bulan Juni 2009
yaitu 118,13 mg l-1
(± 15,25). Padatan terlarut total rata-rata setiap bulan selama
penelitian tidak berbeda nyata.
Kecerahan perairan rata-rata di Danau Matano terendah pada bulan Juni
2009 yaitu 14,56 m (± 1,67) dan tertinggi pada bulan Februari 2009 yaitu 16,91 m
(± 2,18). Kecerahan perairan rata-rata bulan Februari 2009 berbeda nyata dengan
kecerahan perairan rata-rata bulan Agustus 2009. Penetrasi cahaya di danau
dikontrol oleh sedimen-sedimen tersuspensi dari aliran-aliran sungai dan
hamparan danau oleh kelimpahan fitoplankton yang mengabsorpsi cahaya untuk
fotosintesis (Anderson 1996). Danau Matano diketahui sebagai danau yang
perairannya jernih. Nilai pengukuran bahan tersuspensi dan terlarut total relatif
rendah sehingga tidak sampai menyebabkan perairan di arena pemijahan keruh.
31
Puncak musim pemijahan ikan T. sarasinorum terjadi pada akhir musim
kemarau dan awal musim hujan (Bab 4). Pada waktu-waktu tersebut suhu
cenderung meningkat menjadi lebih hangat daripada bulan-bulan sebelumnya.
S. P
etea
Sokoio
P. Otu
no II-B
P. Otu
no I-A
Pan
tai S
alon
sa-B
S. Solur
o
S. Tan
ah M
erah
P. O
tuno
II-A
Old C
amp
Des
a M
atan
o
P. O
tuno
I-B
Panta
i Salon
sa-A
Paku
Panta
i Kup
u-ku
pu
S. Law
a
65,54
77,03
88,51
100,00
Lokasi
Tin
gkat
kesa
maan (
%)
DendrogramSingle Linkage; Correlation Coefficient Distance
85,00
Gambar 7 Pengelompokan habitat pemijahan ikan T. sarasinorum di Danau
Matano
Kondisi fisik kimiawi perairan di semua lokasi sampling tidak bervariasi
jauh, sehingga pengelompokan lokasi sampling dilakukan berdasarkan tingkat
kesamaan karakter substrat, luas arena pemijahan, jarak dari tepian danau dan
kedalaman arena di masing-masing lokasi (Gambar 7). Hasil pengelompokan
lokasi diperoleh tiga kelompok lokasi yang memiliki kesamaan karakter substrat
pada selang kepercayaan 85%. Kelompok pertama (S. Lawa, Desa Matano, Paku,
Pantai Kupu-kupu, Pantai Salonsa A, Pantai Salonsa B, Old Camp, S. Tanah
Merah, P. Otuno I-A, P. Otuno I-B, P. Otuno II-A, P. Otuno II-B, S. Soluro),
kelompok kedua (Sokoio), dan kelompok ketiga (S. Petea). Kualitas perairan di
lokasi-lokasi tersebut tidak berbeda jauh.
Gambar 7 menunjukkan bahwa kesamaan lokasi-lokasi di dalam suatu
kelompok lebih banyak ditentukan oleh kondisi substrat habitat pemijahan.
Kelompok pertama mempunyai substrat dasar yang disukai oleh ikan untuk
pemijahan. Kelompok pertama ini mencakup dua tipe arena pemijahan ikan.
Sementara lokasi dalam kelompok kedua mempunyai substrat yang terdiri dari
32
batu besar dengan dinding batuan dasar. Lokasi dalam kelompok kedua ini tidak
mempunyai pasir; sehingga tidak ada arena pemijahan ikan. Kelompok ketiga
mempunyai substrat dasar dengan kandungan lumpur tinggi, dan tidak terdapar
arena pemijahan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa substrat dasar di
lokasi menentukan perbedaan setiap lokasi.
Efektivitas percampuran vertikal di dalam kolom air juga dikonfirmasi
terjadi pada pH dalam kisaran basa (7,4) dan konduktivitas tidak berubah menurut
kedalaman (Haffner et al. 2001). Jumlah fitoplankton sangat kecil (< 10 sel ml-1
)
dan kelimpahan spesies tidak berubah di dalam kolom air. Kedalaman eufotik
adalah 40 m dan 32 m pada tahun 1993 dan 1995. Apabila sel-sel fitoplankton
tercampur merata di dalam zona eufotik adalah mungkin bahwa percampuran
vertikal membatasi produksi ototrofik. Tetapi pengamatan mikroskopis
menunjukkan bahwa detritus C lebih berlimpah daripada biomassa alga, sehingga
adalah mungkin bahwa jaring makanan Danau Matano disebabkan oleh masukan
detritus organik yang berasal dari sekeliling danau.
Profil oksigen menunjukkan profil fotosintesis lemah hingga ke bawah kira-
kira 40 m, dan setelah kedalaman itu oksigen berkurang hingga di bawah 1%
kejenuhan. Danau Matano adalah oligotrofik dalam hal jumlah total nitrogen dan
total fosfor di atas 100 m dari kolom air. Konsentrasi nitrogen dan fosfor sangat
rendah dan sering tidak terdeteksi. Tingginya kecerahan perairan menunjukkan
sistem dengan sangat sedikit bahan biotik dan abiotik tersuspensi. Profil oksigen
menunjukkan kurva fotosintetik yang meluas ke bawah hingga 40 m, sama dengan
prediksi kedalaman eufotik (Crowe et al. 2008). Setelah 40 m konsentrasi oksigen
berkurang; penurunan ini merupakan respon terhadap laju respirasi mikroba yang
tinggi yang berhubungan dengan metabolisme bahan organik yang mengalami
sedimentasi.
Di bawah 100 m terdapat gradien suhu/kimia yang tetap yang menunjukkan
bahwa Danau Matano dapat didefinisikan sebagai meromiktik (Crowe et al.
2008), dengan sangat sedikit pertukaran kimiawi antara perairan bagian atas dan
bawah. Struktur demikian menyumbang secara signifikan pada hilangnya nutrien
secara terus-menerus dari epilimnion melalui sedimentasi bahan planktonis.
33
Selain itu, sel-sel alga yang tertinggal kecil kemungkinannya untuk kembali ke
lapisan epilimnion.
Faktor-faktor fisik seperti ketersediaan cahaya dan percampuran bukan
merupakan faktor pembatas, walaupun sedikit pertukaran nutrien melalui lapisan
termal yang dalam bisa berperan penting. Sedimentasi bahan biologis dan
geologis dapat secara terus-menerus menurunkan cadangan nutrien pada
permukaan air bagian atas.
Hampir semua jenis aktivitas (pertanian, urbanisasi, komunikasi,
pertambangan, industri) menyebabkan peningkatan materi tersuspensi di
permukaan perairan, terutama disebabkan oleh deforestasi (Meybeck et al. 1989).
Salah satunya adalah perubahan siklus hidrologis yang mengubah intensitas dan
kemampuan percampuran badan air dan keseimbangan hidrologis. Namun
demikian hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi-lokasi sampling
menunjukkan tidak terdapat perubahan nilai yang mencolok antar bulan. Dengan
demikian dapat dipandang bahwa kualitas perairan saat ini tidak menyebabkan
perubahan keberadaan ikan; jumlah ikan pada setiap bulan sampling tidak banyak
bervariasi (Bab 3).
Kesimpulan
Habitat pemijahan ikan T. sarasinorum tersebar di sepanjang daerah litoral
danau. Terdapat dua tipe habitat pemijahan dalam penelitian ini yaitu habitat batu
berpasir dan habitat perakaran. Dari 12 lokasi penelitian ditemukan tiga lokasi
yang mempunyai dua tipe habitat pemijahan (habitat batu berpasir dan habitat
perakaran) yaitu Pantai Salonsa, P. Otuno I, dan P. Otuno II. Lokasi lainnya hanya
memiliki satu tipe habitat, yaitu habitat batu berpasir. Tempat pemijahan pada
setiap habitat berbentuk arena. Arena ini secara spesifik berada pada daerah yang
mendapat naungan bayang-bayang yang berasal dari pohon di tepian danau dan
atau dari batu-batu besar yang ada di sekitarnya.
Ikan-ikan yang memijah di arena batu berpasir meletakkan telur di antara
pasir, sedangkan ikan yang memijah di arena perakaran meletakkan telur pada
alga atau sponge air tawar yang menyelimuti perakaran atau batang pohon yang
tumbang di dalam air.
34
Parameter fisik kimiawi perairan selama penelitian bervariasi sempit.
Kisaran suhu perairan adalah 26,70 - 30,80 0C; kecerahan perairan 8,60 – 21,10
m; oksigen terlarut 4,93 – 7,45 mg l-1
; pH 8,22 – 8,87; padatan tersuspensi total
0,20 - 3,90 mg l-1
; dan padatan terlarut total 70 – 154 mg l-1
. Aktivitas manusia di
sekeliling danau belum menyebabkan perubahan kualitas air hingga saat ini.