Destruksi Habitat

21
DESTRUKSI HABITAT MAKALAH Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Biokonservasi yang Diampu oleh Prof. Ir. Suhadi, M.Si Oleh: Kelompok 4 Allysa Khanza 120342422475 Tiara Dwi N 120342400172 UNIVERSITAS NEGERI MALANG

description

Biokonservasi

Transcript of Destruksi Habitat

Page 1: Destruksi Habitat

DESTRUKSI HABITAT

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Biokonservasi

yang Diampu oleh Prof. Ir. Suhadi, M.Si

Oleh:

Kelompok 4

Allysa Khanza 120342422475

Tiara Dwi N 120342400172

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

September 2015

Page 2: Destruksi Habitat

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Alam liar adalah lahan bagi sumber daya alam, ekologi, dan ekonomi yang penting.

Alam termasuk sumber daya yang terbarukan, yang keberadaannya tergantung pada

kualitas habitat yang ada. Pentingnya habitat didasarkan pada peran ekologisnya dalam

memberikan perlindungan, tempat berkembang biak, serta tempat untuk mencari makan

bagi banyak macam spesies di alam. Habitat liar adalah komponen penting bagi integritas

ekologis dan keberlangsungan jangka panjang ekosistem (Kideghesho, dkk., 2006).

Saat manusia mengubah lahan liar untuk lahan peternakan, perkebunan, perkotaan,

atau proyek perairan (bendungan, hydropower, dan irigasi), kehidupan manusia tersebut

memiliki pengaruh bagi ekosistem, dan seringkali menyebabkan hilangnya biodiversitas.

Beberapa tahun belakangan, hilangnya biodiversitas menjadi isu utama bidang ekologi

dan konservasi sebagai masalah dunia. Pada kajian ekologi spesies langka, overhunting

dikatakan sebagai factor terpenting dari kepunahan. Namun, belakangan ini destruksi

habitat disadari sebagai salah satu faktor yang sama pentingnya dalam menyebabkan

kepunahan. Lagipula habitat yang terdestruksi tidak mampu ditinggali spesies langka,

sampai habitat tersebut direkonstruksi. Kita juga menyadari akhirnya bahwa saat ini tidak

ada lagi habitat alami di dunia ini, semuanya sedikit banyak telah mendapat campur

tangan manusia (Soule dalam Nakagiri dan Tainaka, Tanpa Tahun).

Oleh karena pentingnya habitat bagi kelangsungan makhluk hidup di alam liar, maka

penting pula mempelajari dinamika habitat sebagai tempat tinggal makhluk hidup.

Berdasar uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas

lebih lanjut mengenai kehancuran habitat (destruksi habitat), termasuk di dalamnya faktor

penyebab dan akibat yang ditimbulkan destruksi habitat.

B. TUJUAN

1. Mengetahui pengertian destruksi habitat.

2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya destruksi habitat.

3. Mengetahui akibat adanya destruksi habitat.

4. Mengenal tentang ekologi restorasi atau restorasi habitat.

Page 3: Destruksi Habitat

BAB II

ISI

A. PENGERTIAN DESTRUKSI HABITAT

Manusia telah merubah banyak hal di permukaan bumi termasuk ekosistem alaminya

secara drastis. Ini bukanlah hal baru, namun telah berjalan selama betahun-tahun, namun

terakselerasi tajam selama kurang lebih 2 abad terakhir, dan terutama pada beberapa

dekade terakhir. Banyak ekosistem alam yang hancur, runtuh, dan rusak karena kapak

atau gergaji, sampai hanya menyisakan sedikit sisa yang mampu bertahan. Hutan yang

terkena dampak terparah, hutan dunia telah berkurang lebih dari setengahnya dalam tiga

abad terakhir. Duapuluh lima negara telah kehilangan seluruh penutupan hutannya, hutan

tropis menghilang sebesar 130.000 km2 tiap tahunnya, yang setara dengan 50 lapangan

sepakbola tiap menitnya (Laurance, 2010).

Secara umum pengertian destruksi adalah perusakan, pemusnahan, penghancuran,

atau pembinasaan, sedangkan habitat adalah tempat tinggal bagi makhluk hidup atau

lingkungan fisik di sekitar makhluk hidup yang menunjang kehidupan makhluk hidup

tersebut. Jadi secara bahasa destruksi habitat adalah musnahnya atau hancurnya habitat

dan fungsinya sebagai tempat tinggal bagi makhluk hidup. Hunter dalam Kideghesho

(2006) menyatakan bahwa ada tiga bentuk destruksi habitat yang ada di alam, yaitu

degradasi, fragmentasi, dan hilangnya keseluruhan fungsi habitat. Ketiganya memiliki

perincian sebagai berikut:

1. Degradasi habitat adalah berkurangnya kualitas habitat (faktor fisik lingkungan)

yang dapat diberikan dan disediakan lingkungan untuk menunjang kehidupan

makhluk hidup di dalamnya (menurunnya standar faktor pembatas).

2. Fragmentasi habitat adalah proses yang terjadi secara alami dimana bentang darat

yang ada terbagi menjadi bagian-bagian kecil, atau sebagian kecil ekosistem

alami, dan terisolasi dari acuan lingkungan awalnya atau lingkungan yang

didominasi aktivitas manusia.

3. Hilangnya keseluruhan fungsi habitat terjadi ketika kualitas habitat dalam

menyediakan kebutuhan hidup bagi makhluk hidup sangat rendah sehingga tidak

dapat memberikan apapun lagi bagi makhluk hidup dan mahkluk hidup tidak

dapat memanfaatkan apapun lagi dari lingkungannya.

Page 4: Destruksi Habitat

Destruksi habitat terjadi saat habitat alami seperti hutan atau hutan hujan tropis

berubah secara dramatis yang menyebabkannya tidak mampu lagi mendukung kehidupan

makhluk hidup yang secara alami telah hidup disana. Populasi tumbuhan dan hewan

hancur atau hilang, dan hal ini mengawali hilangnya biodiversitas. Destruksi habitat

dianggap sebagai faktor utama adanya kelangkaan spesies yang terjadi di dunia. Beberapa

habitat hancur sepenuhnya. Seringnya, habitat berkurang secara luas dan terfragmen

secara simultan, meninggalkan sebagian kecil habitat asli seperti pulau yang terisolasi di

tengah lautan (Laurance, 2010).

B. PENYEBAB DESTRUKSI HABITAT

Penyebab destruksi habitat secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu yang disebabkan

oleh fenomena alam dan aktivitas manusia. Sejauh ini, kegiatan yang dilakukan manusia yang

paling banyak dan paling cepat dan paling kuat menyebabkan degragasi habitat, bahkan

mungkin destruksi habitat alami. Destruksi yang terjadi karena fenomena alam sering

diikenal sebagai suksesi, dimana beberapa penyebabnya antara lain adalah:

1. Petir

2. Kebakaran hutan

3. Badai

4. Gempa Bumi

5. Banjir

6. Dan fenomena alam lain yang berpotensi menghilangkan fungsi dan keberadaan

habitat secara keseluruhan atau sebagian.

Berdasarkan seluruh kejadian alam yang ada dapat menimbulkan adanya destruksi

habitat, baik degradasi, fragmentasi, ataupun hilangnya fungsi. Namun destruksi habitat yang

terjadi akibat fenomena alam ini merupakan kejadian alami yang benar-benar terjadi di alam

dan tidak cenderung memberikan dampak secara luas. Destruksi karena fenomena alam ini

juga cenderung lebih cepat terpulihkan oleh alam itu sendiri.

Sedangkan faktor terbesar yang memicu timbulnya destruksi habitat adalah kerna

aktivitas manusia. Menurut Nakagiri dan Tainaka (Tanpa Tahun), dalam skala global

agrikultur adalah yang paling besar sumbangannya dalam destruksi habitat, baru setelahnya

diikuti oleh aktivitas industri lainnya. Berikut beberapa aktivitas manusia yang memicu

terjadinya destruksi habitat:

Page 5: Destruksi Habitat

1. Praktek pertanian dan agrikultur lainnya sepeti misalnya pembukaan lahan,

pencangkulan, pembajakan padang rumput, pembakaran hutan, dan lainnya. Aktivitas

agrikultur umumnya selalu terkait dengan pembukaan lahan baru dimana hal tersebut

membuat hilangnya ekosistem hutan serta berbagai habitat yang ada di dalamnya.

2. Proyek konstruksi dan pembangunan seperti pembangunan kota, urbanisasi,

pembuatan jalan, gedung-gedung tempat aktivitas manusia, pembuatan bendungan,

hydropower, dan lainnya. Pembangunan kota jelas memberikan efek bagi

lingkungannya. Pada penerapannya, pembangunan yang dilakukan oleh manusia pasti

merusak habitat yang ada, dan membuatnya menjadi habitat baru untuk manusia.

3. Perkebunan dan pertambangan. Aktivitas perkebunan umumnya memicu adanya

introduksi spesies eksotis dan menghilangkan spesies lokal yang ada. Pertambangan

memicu adanya perubahan struktur dan testur tanah di lingkungan tersebut dan

membuatnya berdampak pada habitat terestrial yang ada.

4. Polusi karena berbagai aktivitas manusia. Semua aktivitas manusia pasti memberikan

efek samping yang tidak bisa dihilangkan dan pasti berefek negatif bagi lingkungan di

sekitarnya.

5. Overeksploitasi spesies lokal. Spesies lokal yang memang telah ada di sana bila

memberikan nilai ekonomis bagi manusia akan dimanfaatkan secara terus menerus.

Bisa saja spesies lokal yang dimanfaatkan merupakan spesies kunci, maka hal ini

dapat berkembang menjadi destruksi spesies kunci dan membuat habitatnya tidak

stabil.

Aktivitas-aktivitas tersebut berjalan sebanding dengan pertumbuhan populasi manusia

dan kenaikan angka kemiskinan. Destruksi habitat yang terjadi karena aktivitas manusia ini

terjadi dalam skala luas dan memiliki efek penghancur besar bagi lingkungan. Selain itu

destruksi karena perbuatan manusia ini sukar terpulihkan secara alami, butuh campur tangan

manusia lagi untuk memulihkan habitat seperti sediakala. Oleh karena itu, mempertahankan

kualitas habitat yang baik dan memastikan intergritas ekologis dalam jangka panjang menjadi

masalah paling penting saat ini.

C. AKIBAT DESTRUKSI HABITAT

Destruksi habitat yang disebabkan oleh manusia merupakan hal yang tercepat yang

dilakukan selama evolusi dalam sejarah kehidupan, serta menimbulkan kerusakan terparah

pada ekosistem. Akibat penting yang ditimbulkan yaitu kepunahan spesies yang disebabkan

oleh destruksi langsung maupun destruksi tidak langsung (Nakagiri dan Tainaka, Tanpa

Page 6: Destruksi Habitat

tahun). Destruksi langsung misalnya seperti penebangan liar dan kebakaran, dan bencana

alam.

Gambar : Destruksi habitat yang diakibatkan oleh ulah manusia (Sumber : Sodhi dan Ehrlich, 2010)

Ancaman Eksosistem Pertanian Akibat Adanya Revolusi Hijau

Penerapan sistem revolusi hijau (green revolution), khususnya dengan adanya

introduksi varietas padi unggul dari Filipina, dan penggunaan pupuk kimia, serta penggunaan

pestisida yang tak terkendali menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak sedikit, seperti

kepunahan ratusan varietas padi lokal, ledakan hama baru, serta pencemaran tanah dan air.

Revolusi Hijau memang telah berjasa meningkatkan produksi padi secara nasional (makro).

Akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan oleh destruksi habitat tersebut yaitu kepunahan

varietas atau jenis hayati yang hidup di dalam ekosistem. Pada akhirnya, baik secara langsung

ataupun tidak langsung, manusia yang sangat tergantung pada kelestarian ekosistem tapi

berlaku kurang bijaksana terhadap lingkungannya, akan merasakan berbagai akibatnya.

Selain itu, punahnya fungsi-fungsi penting dari agro-perhutanan tradisional juga

merupakan dampak yang ditimbulkan oleh adanya revolusi hijau. Misalnya, fungsi pengatur

tata air (hidrologi), pengatur iklim mikro, penghasil seresah dan humus, sebagai habitat satwa

liar, dan perlindungan varietas dan jenis-jenis tanaman lokal.

Ancaman Ekosistem Pesisir dan Laut

Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km atau sekitar 14% garis pantai

dunia, dengan luas perairannya mencapai 5,8 juta km2 (termasuk ZEEI). Kekayaan yang

Page 7: Destruksi Habitat

dimiliki di kawasan pesisir dan lautan adalah meliputi hutan mangrove, terumbu karang dan

ikan hias, rumput laut, dan perikanan (Tajuk Warta Kehati, 2000).

Indonesia memiliki wilayah terumbu karang terluas dengan bentangan dari barat ke

timur sepanjang kurang lebih 17.500 km. Rumput laut juga ditemukan di banyak tempat.

Sedangkan perikanan laut Indonesia, kaya akan jenis-jenis ikan ekonomi penting, seperti

tuna, cakalang, ikan karang, pelagik kecil, dan udang. Pada akhir tahun 1980-an, luas hutan

mangrove masih tercatat mencapai 4,25 juta ha, dengan sebaran yang terluas ditemukan di

kawasan Irian Jaya/Papua (69 %), Sumatera (16 %), dan Kalimantan (9 %). Namun di P .

Jawa, kawasan hutan mangrove (bakau) sudah sangat terbatas, hanya tinggal tersisa di

bebarapa kawasan saja (Tajuk Warta Kehati, 2000).

Hutan mangrove di berbagai kawasan banyak terganggu. Misalnya, penduduk lokal

telah lama menggunakan berbagai pohon bakau untuk kayu bakar, bahan bangunan, tonggak-

tonggak bagan, tempat memasang jaring ikan, bahan arang dan lain sebagainya. Hutan

mangrove juga telah dibuka secara besar-besaran untuk dijadikan daerah pemukiman,

perkebunan, bercocok tanam dan pertambakan udang. Selain itu, pengambilan kayu-kayu

mangrove berfungsi sebagai bahan bakar pabrik minyak kelapa, pabrik arang, dan bahan

bubur kayu (pulp). Penebangan hutan mangrove dapat membawa dampak negatif, misalnya

keanekaragaman jenis fauna di hutan tersebut berkurang secara drastis, sementara habitat

satwa liar, seperti jenis-jenis burung dan mamalia terganggu berat. Dampak lain adalah

hilangnya tempat bertelur dan berlindung jenis-jenis kepiting, ikan dan udang sehingga

banyak nelayan mengeluh karena makin sedikitnya hasil tangkapan mereka. Pengikisan

pantai pun makin menjadi, akibatnya air asin dari laut merembes ke daratan. Maka daerah

pertanian dan pemukiman jadi terganggu (Tajuk Warta Kehati, 2000).

Destruksi habitat pada ekosistem pesisir dan laut adalah penggunaan bahan peledak

dan racun sianida untuk menangkap ikan serta pengambilan terumbu karang. Hal tersebut

menyebabkan berbagai gangguan dan kerusakan terhadap jenis-jenis terumbu karang dan

ikan hias (Tajuk Warta Kehati, 2000).

Destruksi Kawasan Hutan

Jenis mammalia langka seperti Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)

mengalami nasib yang mengkhawatirkan. Hal tersebut diakibatkan oleh maraknya aksi

pembabatan hutan, pemasangan perangkap berat, dan pemburuan diam-diam yang terjadi di

wilayah hutan Sumatera Barat. Sehingga hal ini sangat mengancam terhadap keselamatan

satwa langka yang telah dilindungi undang-undang itu (Tajuk Warta Kehati, 2000).

Page 8: Destruksi Habitat

Jenis-jenis burung di alam tak luput juga dari gangguan manusia. Sebut saja misalnya

Jalak Putih Bali, jenis-jenis burung Cendrawasih dan Gelatik Jawa. Jalak putih Bali

(Leucopsar rothschildi) yang merupakan burung endemik di Bali Barat dan telah dilindungi

undang-undang di Indonesia, nasibnya terus terancam akibat gangguan yang cukup serius dan

tak henti dari ulah manusia, yaitu adanya perburuan liar dan perusakan habitat sebagai tempat

tinggalnya di daerah-daerah hutan. Perburuan liar banyak dilakukan oleh penduduk, karena

jenis burung itu laku dijual mahal di pasar-pasar burung di kota sehingga para pemburu liar

ini mendapat penghasilan yang cukup besar dari memperdagangkan burung itu. Gangguan

populasi burung tersebut juga diperberat lagi oleh perusakan habitat melalui penebangan

kayu secara liar yang dilakukan penduduk untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangganya atau

untuk dijual (Tajuk Warta Kehati, 2000).

Menurunnya Populasi Amfibi

Amfibi berperan penting dalam penyeimbang ekosistem, amfibi juga dapat

berfungsi sebagai indicator kesehatan lingkungan. Beberapa tahun terakhir, beberapa

jenis amfibi terutama katak menjadi komoditas ekspor yang sangat menjanjikan

keuntungan besar. Mengingat banyaknya fungsi dan manfaat amfibi, maka keberadaan

amfibi di alam harus tetap dipertahankan (Rahman, 2009).

Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab menurunnya populasi jenis amfibi

di alam. Ancaman utama (90%) terhadap populasi amfibi dunia adalah kerusakan habitat.

Beberapa jenis amfibi sensitif terhadap destruksi hutan karena mempunyai kemampuan

penyebaran yang terbatas. Oleh karena itu perubahan habitat hutan seperti adanya

pembalakan liar atau aktifitas lainnya dapat mengurangi kemampuan satu jenis untuk

bertahan hidup (Rahman, 2009).

Kerusakan habitat karena adanya pencemaran lingkungan bahan kimia juga dapat

menyebabkan penurunan populasi amfibi. Bahan kimia (misal; pestisida, logam berat,

asam, dan pupuk nitrogen) dapat menimbulkan kematian, pra-kematian, efek langsung

dan tidak langsung pada amfibi. Efek tersebut antara lain kematian, penurunan tingkat

pertumbuhan, perilaku abnormal, penurunan tingkat keberhasilan reproduksi, dan

kelemahan sistem imun (Rahman, 2009).

Menurunnya Daya Dukung Lingkungan Satwa Liar

Salah satu akibat lain adanya destruksi habitat ialah menurunnya daya dukung

lingkungan bagi satwa liar. Seperti yang terjadi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

(TNBTS), karena adanya pembalakan liar serta lemahnya petugas Balai Besar TNBTS

menyebabkan satwa langka seperti lutung jawa, rusa, dan babi hutan yang ada di kawasan

Page 9: Destruksi Habitat

konserasi TNBTS menjadi terancam. Hal tersebut terkait dengan adanya daya dukung

lingkungan bagi satwa langka yang sudah tidak memadahi lagi (Kusbiantoro, 2014).

Hal lain yang mengancam keberadaan hewan langka seperti lutung jawa dan macan

tutul jawa yang ada di Taman Nasional Gunung Merapi adalah rusaknya habitat karena

terkena dampak erupsi ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 2010. Beberapa jenis

satwa mampu beradaptasi dengan kerusakan habitat yang parah, sedang atau ringan.

Beberapa jenis mungkin tidak toleran terhadap kerusakan habitat, khususnya kerusakan

vegetasi sebagai cover (pelindung). Lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812)

dan macan tutul jawa merupakan satwa langka penting yang sulit beradaptasi dengan

kerusakan habitat akibat erupsi. Daya dukung lingkungan seperti kehilangan pakan berupa

tumbuhan bawah karena hangus terbakar atau tertutup abu vulkanik juga dialam oleh kijang

(Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) pasca erupsi Gunung Merapi (Gunawan et al.,

2012).

Menurunnya Populasi Satwa Liar

Habitat harimau di Sumatera tergerus oleh adanya pembalakan hutan yang dilakukan

manusia. Hal tersebut berpengaruh terhadap populasi harimau sumatera. Hingga tahun 2009,

jumlah harimau sumatera yang ada di Aceh berjumlah 150—200 ekor, bila dibandingkan

dengan tahun 1994 yang mencapai 400—500 ekor. Adanya destruksi habitat berupa

pembalakan liar menyebabkan habitat harimau sumatera berkurang menjadi 80% pada tahun

2009. Berkurangnya habitat juga berpengaruh terhadap wilayah utama jelajah harimau yaitu

berupa hutan yang masih lestari. Harimau sumatera memiliki daya jelajah maksimal hingga

250 km2. Oleh karena pengurangan habitat serta menyempitnya daya jelajah harimau

sumatera yang disebabkan oleh destruksi habitat, maka menyebabkan berkurangnya populasi

harimau sumatera (Dishut Aceh, 2014).

a b

c

Page 10: Destruksi Habitat

Gambar: kerusakan habitat menimbulkan menurunnya populasi harimau sumatera. a) Harimau Sumatera ; b) dan c) Pembalakan liar yang dilakukan manusia

D. RESTORASI HABITAT

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.

P.64/Menhut-II/2014, Restorasi Ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur hayati

(flora dan fauna) beserta unsur non-hayatinya (tanah dan air) pada suatu ekosistem kawasan

dengan jenis asli, sehingga tercapai keseimbangan ekosistemnya. Lewis (2003)

menambahkan bahwa Restorasi atau rehabilitasi dapat disarankan ketika suatu sistem

telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau

memperbaharui diri secara alami. Dalam kondisi seperti ini, ekosistem homeostasis telah

berhenti secara permanen dan proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara

alami dari kerusakan terhambat oleh berbagai sebab, misalnya akibat aktivitas-aktivitas

manusia, baik secara langsung maupun tidak. Dalam beberapa kejadian, dampak terhadap

kerusakan ekosistem diperparah dengan terjadinya bencana alam seperti kebakaran hutan,

banjir, badai, atau letusan gunung berapi, yang mengakibatkan ekosistem tidak dapat lagi

dipulihkan seperti sediakala.

Rahmawati (2002) berpendapat bahwa prinsip-prinsip dan pengetahuan ekologi

merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam melakakukan restorasi

ekosistem rusak, karena hal mendasar yang harus diketahui dalam memahami berbagai

masalah dalam merestorasi suatu ekosistem yang rusak. Hal mendasar tersebut seperti:

pengetahuan tentang spesies, komunitas dan ekosistem, ekotype, substitusi spesies,interaksi

antar individu, spesies dan ekosistem, serta suksesi. Merestorasi ekosistem rusak bertujuan

untuk :

(1). Protektif; dalam hal ini memperbaiki stabilitas lahan,mempercepat penutupan tanah dan

mengurangi surface run off dan erosi tanah,

(2). Produktif; yang mengarah pada peningkatan kesuburan tanah (soil fertility) yang lebih

produktif, sehingga bisa diusahakan tanaman yang tidak saja menghasilkan kayu, tetapi juga

dapat menghasilkan produk non-kayu (rotan, getah, obat-obatan, buah-buahan dan lain-lain),

yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat disekitarnya

(3). Konservatif; yang merupakan kegiatan untuk membantu mempercepat terjadinya suksesi

secara alami kearah peningkatan keanekaragaman hayati spesies lokal; serta menyelamatkan

dan pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan potensial lokal yang telah langka.

Page 11: Destruksi Habitat

Konsep Dasar Restorasi Ekosistem

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan restorasi habitat ekosistem menurut

Waryono (2002) antara lain sebagai berikut.

(1) Penanganan dan pengendalian lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor

penyebabnya. Langkah-langkah kongkrit yang dilakukan untuk pengendalian

lingkungan fisik, antara lain dengan melakukan kegiatan pembinaan dan

peningkatan kualitas habitat, serta peningkatan pemulihan kualitas kawasan hijau

melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, dan atau perkayaan jenis tetumbuhan yang

sesuai.

(2) Pemulihan secara ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya Kegiatan

pemulihan habitat, dilakukan terhadap kawasan-kawasan terdegradasi atau terganggu

fungsi ekosistemnya, untuk mengembalian peranan fungsi jasa bio-

ekohidrologisnya dan dilakukan dengan cara: (a) rehabilitasi, dan atau (b)

Reklamasi habitat, sedangkan peningkatan kualitas kawasan mangrove dilakukan

dengan pengembangan jenis tumbuhan yang erat kaitannya dengan sumber pakan,

tempat bersarang atau sebagai bagian dari habitat dan lingkungan hidupnya.

(3) Mengharmoniskan perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui,

mengerti, memahami hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab

untuk mempertahankan dan melestarikan. Mengharmoniskan perilaku lingkungan

sosial dapat dilakukan dengan melakukan pemberdayaan masyarakat, seperti: (a)

pembinaan masyarakat melalui penghijauan, pelatihan, dan penyuluhan (secara

informal) (b) pendidikan formal, dengan memasukan muatan lokal pengenalan

hutan dan lingkungan pada kurikulum nasional Pendidikan Dasar dan Menengah

(SD, SLTP, dan SMU).

(4) Meningkatkan akutabilitas kinerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-

pihak terkait lainnya. Langkah konkrit di atas dapat dilakukan serasi dan selas serta

sejalan berdasarkan kaidah-kaidah konservasi, akutabilitas kinerja petugas juga perlu

dibekali dengan pengetahuan yang dinilai memadai.

Page 12: Destruksi Habitat

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

1. Destruksi habitat adalah pemusnahan habitat dan fungsinya sebagai tempat tinggal

makhluk hidup baik karena fenomena alam atau aktivitas manusia. Destruksi

habitat memiliki tiga bentuk umum yaitu degradasi habitat, fragmentasi habitat,

dan hilangnya fungsi habitat.

2. Penyebab destruksi habitat terbagi menjadi dua macam yaitu karena fenomena

alam dan karena aktivitas manusia. Destruksi yang disebabkan fenomena alam

dikenal sebagai suksesi, penyebabnya antara lain badai, petir, banjir, gempa bumi,

dan kebakaran hutan. Sedangkan destruksi karena aktivitas manusia terjadi karena

aktivitas agrikultur, proyek konstruksi dan pembangunan, perkebunan dan

pertambangan, polusi, dan overeksplotasi spesies lokal.

3. Akibat yang ditimbulkan oleh adanya destruksi habitat adalah adanya ancaman

terhadap ekosistem pertanian karena diterapkannya revolusi hijau, ancaman

ekosistem pesisir dan laut, destruksi kawasan hutan, menurunnya populasi amfibi,

menurunnya daya dukung satwa liar, menurunnya populasi satwa liar.

4. Restorasi habitat meliputi restorasi ekosistem. Restorasi Ekosistem adalah upaya

untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) beserta unsur non-hayatinya

(tanah dan air) pada suatu ekosistem kawasan dengan jenis asli, sehingga tercapai

keseimbangan ekosistemnya

Page 13: Destruksi Habitat

DAFTAR RUJUKAN

Dinas Kehutanan Aceh. 2014. Dampak Kerusakan Hutan terhadap Harimau Sumatera. (Online) (http://dishut.acehprov.go.id/index.php/news/read /2014/09/10/4/dampak-kerusakan-hutan-terhadap-harimau-sumatra.html), diakses pada 17 September 2015.

Gunawan, Hendra., Mas’ud, Fauzi., Subiandono, Endro., Krisnawati, Haruni., dan Heriyanto. 2012. Manajemen Habitat Dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan.

Kideghesho, Jafari R., Nyahongo, Julius W., Hassan, Shombe N., Tarimo, Tadeo C., Mbije, Nsajigwa C. 2006. Factors And Ecological Impact of Wildlife Habitat Destruction in the Serengeti Ecosystem in Northern Tanzania. AJEAM-RAGEE 11 (4): 17-32.

Laurance, William F. 2010. Habitat Destructions: Death by Thousand Cuts. New York: Oxford University Press.

Lewis III, Roy R “Robin. 2007. Ecological Mangrove Restoration. (Online) (https://cmsdata.iucn.org/downloads/ecological_mangrove_restoration_bahasa_indonesia__72_dpi_.pdf), diakses pada 18 September 2015.

Nakagiri, N., Tainaka, K. Tanpa Tahun. Indirect Effect of Habitat Destructions on Ecosystems. Journal of Risk Analysis 4 (2): 521-526.

Rahman, Luthfia Nuraini. 2009. Penurunan Populasi Amfibi Dunia: Apa Penyebab dan Upaya Pencegahannya?. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.

Rahmawati, S. 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang Berdasarkan Kaidah Ekologi. Medan : USU Digital Library.

Sodhi, dan Ehrlich. 2010. Conservation Biology for All. (Online) (http://ukcatalogue.oup.com/product/9780199554249.do), diakses pada 18 September 2015.

Tajuk Warta Kehati. 2000. Kerusakan Lingkungan Mengancam Keanekaragaman Hayati. (Online) (http://indonesiaforest.webs.com/ancam_bio.pdf), diakses pada 18 September 2015.

Waryono, Tarsoen. 2002. Restorasi Ekologi Hutan Mangrove. Kumpulan Makalah Periode 1987—2008 : 1—9.