5 HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · sekolah, yang sudah termuat dalam silabus...

49
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Guru sebagai salah satu faktor kunci dalam penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah membawa dua persepsi dalam mengajarkan PLH kepada para siswanya, yaitu persepsi tentang lingkungan dan persepsi tentang penyelenggaraan PLH. Penelitian ini mengukur kedua persepsi tersebut dan berbagai faktor yang diperkirakan mempengaruhi persepsi, seperti faktor individu guru (umur, jenis kelamin, pendidikan formal dan non formal, serta pengalaman dan harapan) yang mempengaruhi persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH, serta program pengajaran PLH di sekolah sebagai faktor obyek/sasaran dan kondisi sekolah sebagai faktor situasi yang mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH. 5.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor individu, faktor obyek/sasaran, dan faktor situasi (Robbins 2003). Faktor individu guru berkaitan dengan karakteristik pribadi guru, pendidikan dan pengalaman guru yang diuraikan sebagai karakteristik guru. Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan penerapan PLH, yaitu kebijakan PLH dan keberadaan kurikulum PLH di sekolah, sedangkan faktor situasi dibatasi pada kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya yang meliputi lingkungan fisik (ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan, lahan sekolah, buku sumber/buku ajar, dan alat bantu/media pengajaran), lingkungan biologis (peluang penggunaan sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah dan sekitarnya sebagai sumber dan media pembelajaran) dan lingkungan sosial (dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru). Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu kategori peubah, yaitu sekolah, untuk keperluan analisis statistik lebih lanjut. 5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang Mempengaruhi Persepsi Data yang dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah usia/umur, jenis kelamin, pendidikan formal terakhir, pengalaman mengajar,

Transcript of 5 HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · sekolah, yang sudah termuat dalam silabus...

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Guru sebagai salah satu faktor kunci dalam penerapan Pendidikan

Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah membawa dua persepsi dalam mengajarkan

PLH kepada para siswanya, yaitu persepsi tentang lingkungan dan persepsi

tentang penyelenggaraan PLH. Penelitian ini mengukur kedua persepsi tersebut

dan berbagai faktor yang diperkirakan mempengaruhi persepsi, seperti faktor

individu guru (umur, jenis kelamin, pendidikan formal dan non formal, serta

pengalaman dan harapan) yang mempengaruhi persepsi guru tentang lingkungan

dan penyelenggaraan PLH, serta program pengajaran PLH di sekolah sebagai

faktor obyek/sasaran dan kondisi sekolah sebagai faktor situasi yang

mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.

5.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru

Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor individu, faktor obyek/sasaran,

dan faktor situasi (Robbins 2003). Faktor individu guru berkaitan dengan

karakteristik pribadi guru, pendidikan dan pengalaman guru yang diuraikan

sebagai karakteristik guru.

Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang

berkaitan dengan penerapan PLH, yaitu kebijakan PLH dan keberadaan kurikulum

PLH di sekolah, sedangkan faktor situasi dibatasi pada kondisi lingkungan

sekolah dan sekitarnya yang meliputi lingkungan fisik (ketersediaan sarana dan

prasarana pendidikan, seperti bangunan, lahan sekolah, buku sumber/buku ajar,

dan alat bantu/media pengajaran), lingkungan biologis (peluang penggunaan

sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah dan sekitarnya sebagai sumber dan

media pembelajaran) dan lingkungan sosial (dukungan kepala sekolah dan sesama

rekan guru). Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu

kategori peubah, yaitu sekolah, untuk keperluan analisis statistik lebih lanjut.

5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang Mempengaruhi

Persepsi

Data yang dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah

usia/umur, jenis kelamin, pendidikan formal terakhir, pengalaman mengajar,

36

pengalaman berorganisasi yang kegiatannya fokus pada alam, pendidikan PLH

formal/nonformal yang pernah didapatkan, dan pengalaman guru berinteraksi

dengan alam. Total jumlah guru yang menjadi responden dari keempat sekolah

contoh sebesar 31 orang guru.

a. Karakteristik demografis guru

Berdasarkan usia, 51,61% guru pada sekolah contoh berusia ≤ 30 tahun dan

9,68% berusia ≥ 51 tahun, sisanya berusia antara 31 – 50 tahun. Persentase guru

perempuan lebih besar daripada guru laki-laki, yaitu 54,84% guru perempuan, dan

45,16% guru laki-laki. Sebagian besar guru sekolah contoh memiliki pendidikan SMA

(51,61%). Adapula guru yang berpendidikan diploma sebanyak 16,13% dan sarjana (S1)

sebanyak 32,27% guru.

Tabel 2 Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan

Sekolah Usia Jenis Kelamin Pendidikan

≤ 30 31 - 50 ≥ 51 L P SMA Dipl. S1 S2

SDN Gunung Sari 01 6,45 12,90 3,23 9,68 12,90 9,68 3,23 9,68 0,00

SDN Gunung Bunder 03 19,35 3,23 3,23 6,45 19,35 16,13 6,45 3,23 0,00

SDN Gunung Bunder 04 9,68 16,13 3,23 12,90 16,13 19,35 0,00 9,68 0,00

SDN Gunung Picung 06 16,13 6,45 0,00 16,13 6,45 6,45 6,45 9,68 0,00

Total 51,61 38,71 9,68 45,16 54,84 51,61 16,13 32,27 0,00

b. Pengalaman mengajar

Pengalaman mengajar guru merupakan faktor kontekstual individu guru.

Pengalaman mengajar guru dilihat berdasarkan lama mengajar, kelas yang saat ini

diasuh, kelas yang pernah diasuh, mata ajaran yang saat ini diasuh, mata ajaran

yang pernah diasuh, dan pengalaman mengajar PLH (Tabel 3). Guru dari sekolah

contoh sebagian besar (70,97%) memiliki pengalaman mengajar selama ≤ 10

tahun. Satu orang guru (3,23%) belum memiliki pengalaman mengajar pada kelas

lainnya sebelumnya karena baru mengajar selama 1 tahun di sekolah tempatnya

mengajar. Sebesar 54,84 % guru tidak mengasuh mata ajaran khusus karena

bertugas sebagai guru kelas yang mengasuh hampir semua mata ajaran pada

tingkat kelas yang diasuhnya. Namun demikian ada guru yang bertugas

mengasuh mata ajaran khusus/tertentu, baik untuk semua tingkat maupun untuk

tingkat kelas tertentu, seperti mata ajaran agama, matematika, bahasa Inggris,

PJOK (olahraga) dan SBK (Seni Budaya dan Keterampilan).

37

Tabel 3 Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh

Jenis Pengalaman Jumlah %

Lama mengajar

<=10 tahun 22 70,97

11 - 20 tahun 4 12,90

21 -30 tahun 4 12,90

> 30 tahun 1 3,23

Saat ini mengajar pada kelas Kelas rendah (1 – 3 SD) 13 41,94

Kelas tinggi (4 – 6 SD) 15 48,39

Kelas rendah dan tinggi 3 9,68

Sebelumnya pernah mengajar kelas Kelas rendah (1 – 3 SD) 10 32,26

Kelas tinggi (4 – 6 SD) 9 29,03

Kelas rendah dan tinggi 11 35,48

belum ada pengalaman 1 3,23

Mata ajaran yang saat ini diasuh Tidak ada m.a. khusus 17 54,84

Agama 5 16,13

Olahraga 3 9,68

Bahasa Inggris 2 6,45

Lainnya 2 6,45

Agama dan Bahasa Inggris 1 3,23

Olahraga dan Lainnya 1 3,23

Mata ajaran yang pernah di asuh Tidak ada m.a. khusus 17 54,84

Agama 3 9,68

Olahraga 3 9,68

Bahasa Inggris 3 9,68

Lainnya 3 9,68

Agama dan Bahasa Inggris 1 3,23

Agama dan Lainnya 1 3,23

Pengalaman mengajar PLH Tidak Pernah (1) 4 12,90

Pernah (2) 27 87,10

38

Sebagian besar (87,10%) guru menyatakan pernah mengajar PLH (Tabel 3).

Pengalaman mengajar PLH tersebut berupa pengalaman mengajarkan materi-

materi mengenai lingkungan hidup yang terintegrasi dalam mata ajaran yang

diasuh oleh guru tersebut, maupun pemberian materi mengenai lingkungan hidup

yang dilaksanakan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Namun

demikian ada 4 orang guru (12,90%) yang menyatakan tidak memiliki

pengalaman mengajar PLH. Guru yang menyatakan tidak pernah mengajar PLH

tersebut satu orang bertugas khusus mengasuh mata ajaran matematika untuk

kelas 4 di SDN Gunung Sari 01, sedangkan 3 guru lainnya adalah guru agama,

guru kelas 1 dan guru kelas 3 dari SDN Gunung Bunder 03.

Mata ajaran Matematika memang sangat kurang relevansinya dengan PLH

sehingga sulit dijadikan wadah integrasi materi-materi PLH. Selain itu daya serap

siswa terhadap mata ajaran matematika biasanya tidak terlalu tinggi. Padahal

pertimbangan dalam memilih mata ajaran untuk dijadikan wadah integrasi materi-

materi PLH adalah relevansi mata ajaran tersebut dengan PLH dan daya serap

siswa terhadap mata ajaran tersebut tinggi, sehingga mempermudah guru

mengintegrasikan materi PLH ke dalam suatu mata ajaran.

Materi PLH pada dasarnya dapat diintegrasikan ke dalam mata ajaran

apapun, termasuk Matematika. Guru perlu memiliki penguasaan materi-materi

PLH dan kreativitas untuk dapat mengintegrasikan materi PLH ke dalam mata

ajaran inti yang diasuhnya. Relevansi mata ajaran dengan materi PLH, daya serap

siswa, dan kompetensi guru diduga menjadi penyebab guru matematika tersebut

tidak mengintegrasikan materi PLH ke dalam pengajarannya, sehingga

menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki pengalaman mengajar PLH.

Berkaitan dengan guru dari SDN Gunung Bunder 03, Kepala sekolah SDN

Gunung Bunder 03 dalam wawancara menyatakan bahwa pelaksanaan PLH di

sekolah tersebut memang belum intensif karena keterbatasan kondisi sekolah.

Kepala sekolah baru sebatas memberikan himbauan kepada para guru agar

menyisipkan materi-materi PLH ke dalam mata ajaran yang ada, namun belum

ada dorongan yang lebih kuat agar guru memperkaya pengajarannya dengan

materi-materi PLH lain. Sekolah ini juga belum pernah mendapatkan

intervensi/kegiatan PLH (Environmental Education intervention) dari lembaga

39

manapun sehingga guru-gurunya belum memiliki pemahaman maupun

kemampuan mengenai PLH. Selain itu, materi-materi terkait PLH pada tingkat

kelas 1 dan 3 terbatas pada topik mengenai kebersihan diri, lingkungan rumah dan

sekolah, yang sudah termuat dalam silabus tematik kurikulum tingkat kelas

tersebut. Hal-hal tersebut diduga menjadi penyebab guru kelas 1 dan 3 pada SDN

Gunung Bunder 03 tersebut merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH.

Penyebab lain yang membuat guru agama dari SDN Gunung Bunder 03

merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH berkaitan dengan kurikulum

mata ajaran agama. Mayoritas siswa di sekolah beragama Islam, sehingga

pengajaran yang diberikan adalah Agama Islam. Kurikulum pendidikan Agama

Islam di sekolah dasar lebih menekankan pada pengetahuan-pengetahuan

keagamaan dan ibadah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah

SWT. Bahasan mengenai hubungan manusia dengan alam/lingkungan memang

ada namun belum menjadi fokus pengajaran dalam mata ajaran Agama Islam.

Marten (2001) menyatakan bahwa Islam lebih mementingkan kehidupan setelah

kematian serta hubungan manusia dengan Tuhannya dibandingkan dunia materil

dan kehidupan manusia di bumi yang hanya sementara saja. Hal tersebut juga

menjadi salah satu sebab guru agama di SDN Gunung Bunder 03 merasa tidak

memiliki pengalaman mengajar PLH.

c. Pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan PLH

Pelaksanaan PLH oleh guru di sekolah akan dapat lebih efektif jika guru

memiliki bekal kemampuan untuk mengajarkan PLH. Guru bisa mendapatkan

bekal kemampuan tersebut melalui PLH formal maupun nonformal. Guru dari

sekolah-sekolah contoh sebagian besar (67,74%) belum pernah mendapatkan PLH

melalui jalur pendidikan formal sebelumnya, sebaliknya PLH non formal sudah

didapatkan oleh 58,06% guru melalui berbagai kegiatan (Tabel 4). Kegiatan-

kegiatan PLH non formal yang pernah diikuti sebagian guru dari sekolah contoh

adalah seminar PLH, pelatihan PLH, kegiatan tafakur alam saat masih SMA,

Search and Rescue (SAR) Sayaga Tagana dan Karang Taruna, Pecinta Alam,

kegiatan penanaman dan permainan alam dari pihak luar sekolah, serta kegiatan

terkait program WSLIC (Water Sanitation for Low Income Community) dari Bank

Dunia.

40

Tabel 4 PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru Jenis PLH Jumlah %

PLH formal

Tidak ada 21 67,74

PLH formal di SD/sederajat 6 19,35

PLH formal di SMP/sederajat 2 6,45

PLH formal di SMA/sederajat 0 0,00

PLH formal di Perguruan Tinggi 2 6,45

PLH non Formal

Tidak ada 13 41,94

Seminar PLH 3 9,68

Lokakarya/Workshop PLH 0 0,00

Pelatihan PLH 2 6,45

Seminar dan Lainnya 4 12,90

Lokakarya dan Lainnya 3 9,68

Lainnya 6 19,35

d. Pengalaman organisasi yang kegiatannya fokus pada alam

Pengalaman guru mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus pada

alam, seperti misalnya Saka Wana Bakti (organisasi Pramuka yang kegiatannya

fokus pada kehutanan) dan organisasi pecinta alam, juga dapat memberikan bekal

kemampuan untuk mengajarkan PLH kepada guru. Keikutsertaan dalam

kegiatan-kegiatan organisasi tersebut dapat menumbuhkan persepsi positif

terhadap lingkungan yang dapat ditransfer oleh guru kepada siswanya.

Pengalaman organisasi seperti itupun dapat menumbuhkan minat dan kesenangan

guru terhadap PLH.

Tabel 5 Pengalaman guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam

Pengalaman Organisasi Jumlah %

Tidak pernah 21 67,74

Saka Wana Bakti dan Pecinta Alam 1 3,23

Saka Wana Bakti, Pecinta Alam dan Lainnya 1 3,23

Pramuka 6 19,25

SAR 1 3,23

Kegiatan Penanaman pohon 1 3,23

41

Sebagian besar guru dari sekolah contoh (67,74%) tidak memiliki

pengalaman dalam organisasi yang kegiatannya fokus pada alam, sedangkan

sisanya menyatakan pernah mengikuti organisasi yang kegiatannya fokus pada

alam. Organisasi yang pernah diikuti oleh guru yaitu Saka Wana Bakti, Pecinta

Alam, Pramuka, dan SAR (Tabel 5).

e. Pengalaman berinteraksi dengan alam

Seorang tenaga pendidik lingkungan harus memiliki kemampuan untuk

mempelajari dan mengevaluasi permasalahan lingkungan serta peran serta dalam

pemecahan masalah lingkungan tersebut (NAAEE 2004). Kemampuan tersebut

dapat diasah dengan melakukan interaksi dengan alam/lingkungan. Pengalaman

guru berinteraksi dengan alam dapat menumbuhkan kepekaan guru terhadap

alam/lingkungan dan permasalahan terkait.

Tabel 6 Pengalaman guru berinteraksi dengan alam

Interaksi dengan Alam Jumlah %

Jenis Pengalaman

pengalaman positif 23 74,19

pengalaman negatif 2 6,45

pengalaman positif dan negatif 2 6,45

Tidak memberi jawaban 2 6,45

Jawaban tidak jelas 2 6,45

Waktu Mendapatkan Pengalaman

2005 – 2010 13 41,94

< 2005 3 9,68

Jawaban tidak jelas 9 29,03

Tidak memberi jawaban 6 19,35

Pengalaman positif saat berinteraksi dengan alam dinyatakan oleh 74,19%

guru, sedangkan masing-masing 6,45% guru menyatakan memiliki pengalaman

negatif, positif dan negatif, tidak memberikan jawaban, dan jawaban tidak

jelas/tidak dapat ditentukan positif atau negatifnya. Sebesar 41,94% guru

mendapatkan pengalaman pada kurun waktu 2005 – 2010 dan 9,68%

mendapatkan pengalaman interaksi dengan alam pada kurun waktu sebelum 2005.

42

f. Harapan guru

Pelaksanaan PLH di sekolah menumbuhkan berbagai harapan pada diri

guru. Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru untuk mengajar PLH kepada

siswanya di sekolah, sarana dan prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar

PLH di sekolah, dan harapan terhadap pelaksanaan PLH secara umum di sekolah.

Tabel 7 Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru, sarana prasarana dan

pelaksanaan PLH di sekolah

Harapan Guru Jumlah %

Berkaitan dengan Kapasitas Guru

Ada upaya peningkatan kapasitas guru 13 41,94

PLH dapat meningkatkan kapasitas siswa 10 32,26

Tidak memberi jawaban 4 12,90

Lainnya 4 12,90

Berkaitan dengan Sarana Prasarana

Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran 3 9,68

Ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran 2 6,45

Ketersediaan lahan yang luas 1 3,23

Peningkatan sarana prasarana 10 32,26

Ketersediaan kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu

pengajaran

2 6,45

Tidak memberi jawaban 4 12,90

Lainnya 9 29,03

Berkaitan dengan Pelaksanaan PLH

PLH dapat meningkatkan kapasitas guru, siswa 12 38,71

PLH membantu menciptakan lingkungan bersih, indah,

nyaman

3 9,68

Adanya peningkatan pelaksanaan PLH di sekolah 4 12,90

Ada keterlibatan pihak terkait 2 6,45

Tidak memberikan jawaban 4 12,90

Lainnya 6 19,35

Sebanyak 41,94% guru mengharapkan adanya upaya peningkatan kapasitas

guru melalui berbagai kegiatan. Selain itu 32,26% guru juga mengharapkan

adanya peningkatan sarana prasarana untuk mendukung kegiatan belajar mengajar

43

PLH di sekolah, tanpa menyebutkan secara spesifik sarana dan prasarana yang

dimaksud. Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran diharapkan oleh

9,68% guru, ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran dan ketersediaan

kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu pengajaran masing-masing

diharapkan oleh 6,45% guru (Tabel 7).

PLH diharapkan dapat meningkatkan kapasitas guru dan siswa (38,71%),

membantu menciptakan lingkungan yang bersih, indah dan nyaman (9,68%).

Guru juga berharap ada peningkatan pelaksanaan PLH tanpa menyebutkan secara

rinci peningkatan yang diharapkannya (12,90%). Keterlibatan pihak terkait dalam

pelaksanaan PLH di sekolah nampaknya dirasa masih kurang, sehingga ada 6,45%

guru yang mengharapkan adanya keterlibatan pihak terkait, seperti perguruan

tinggi dan instansi terkait lainnya.

Sekolah-sekolah contoh letaknya berdekatan dengan kawasan hutan yang

juga menjadi kawasan wisata alam, namun sekolah-sekolah tersebut belum

mendapatkan dukungan yang intensif dalam pelaksanaan dan pengembangan PLH

sekolah dari pihak pengelola hutan, baik Perum Perhutani, maupun Taman

Nasional Gunung Halimun Salak. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai

instansi yang bertanggung jawab terhadap perkembangan sekolah juga masih

lebih fokus pada pengembangan mata ajaran inti, sehingga belum menyentuh

PLH.

PLH adalah wadah dan sarana untuk membentuk generasi penerus yang

memiliki kemampuan untuk mengelola lingkungan dengan baik. Khusus untuk

sekolah di sekitar hutan, PLH dapat menjadi wadah untuk membentuk generasi

penerus yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk melakukan kegiatan

konservasi hutan. Para pengelola hutan dan institusi terkait seharusnya

mendukung sekolah sekitar hutan secara intensif dalam pengembangan dan

penyelenggaraan PLH agar sekolah dapat mengoptimalkan perannya dalam

menghasilkan SDM yang berkualitas.

5.1.2 Faktor Obyek/Sasaran yang Mempengaruhi Persepsi guru tentang

Penyelenggaraan PLH

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai obyek/sasaran persepsi guru

merupakan hal dan istilah yang relatif baru bagi sebagian besar guru pada sekolah

44

dasar contoh, meskipun pada dasarnya materi-materi mengenai lingkungan sudah

sejak lama diajarkan kepada siswa di sekolah dasar. PLH sebagai suatu program

pengajaran baru mulai diterapkan secara lebih intensif di sekolah-sekolah contoh

tersebut setelah terbitnya SK Gubernur Jawa Barat No. 25 tahun 2007 mengenai

PLH. PLH pada keempat sekolah contoh dilaksanakan dengan pendekatan

kurikuler secara integratif pada berbagai mata ajaran dan pendekatan

ekstrakurikuler pada kegiatan Pramuka.

a. Pelaksanaan PLH dengan pendekatan kurikuler

Integrasi/penyisipan materi PLH ke dalam berbagai mata ajaran yang ada

disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan dan relevansi mata ajaran dengan

materi PLH yang akan disisipkan. Kurikulum yang digunakan untuk tingkat kelas

1 – 3 SD menggunakan model silabus tematik, sedangkan kelas 4 – 6 sudah

menggunakan silabus masing-masing mata ajaran.

Materi PLH yang diberikan di keempat sekolah contoh bervariasi, mulai

dari materi yang murni bersumber dari kurikulum mata ajaran inti yang sudah ada,

sampai pengayaan dengan berbagai materi di luar kurikulum mata ajaran inti

namun masih memiliki relevansi kuat. Guru pada SDN Gunung Bunder 03 dan

Gunung Picung 06 masih mempergunakan materi yang murni bersumber dari

kurikulum mata ajaran inti yang ada, namun guru SDN Gunung Sari 01 mulai

memperkaya bahan ajarnya dengan mempergunakan materi dari buku ajar PLH

untuk sekolah dasar, sedangkan guru SDN Gunung Bunder 04 bahkan sudah

mempergunakan lebih banyak lagi buku sumber diluar buku ajar dari mata ajaran

inti yang ada guna memperkaya materi pengajarannya. Guru SDN Gunung

Bunder 04 juga sudah mulai menambah materi PLH pada mata ajaran inti seperti

Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK), dan Seni Budaya dan

Keterampilan (SBK), contohnya guru PJOK menambahkan indikator kemampuan

siswa untuk menirukan gerak binatang/satwa dalam kegiatan olahraga, dan guru

SBK memperkenalkan keterampilan berwawasan lingkungan dengan

mempergunakan bahan-bahan yang didapat dari lingkungan sekitar.

Metode instruksional yang sangat sesuai untuk mengajarkan PLH adalah

pengamatan dan penemuan langsung di lingkungan (NAAEE 2004). Metode

tersebut memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa dengan

45

lingkungan yang menjadi sumber belajarnya. Pembelajaran di alam membantu

siswa memahami metode ilmiah tertentu, mendapatkan pengalaman lapang dan

meningkatkan kepekaan terhadap alam/lingkungan (Kenney et al. 2003).

Guru dari sekolah contoh yang telah menggunakan metode dan media yang

memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi langsung dengan

lingkungan baru sebanyak 32,26% (Tabel 8). Guru yang terbanyak menggunakan

metode dan media yang memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa

dengan lingkungan/alam adalah guru dari SDN Gunung Bunder 04. Keterbatasan

sarana prasarana fisik bangunan dan lahan sekolah, serta lokasi sekolah SDN

Gunung Bunder 04 yang sangat dekat dengan hutan, mendorong guru untuk

memanfaatkan lingkungan sekitar (kawasan hutan) sebagai media dan sumber

belajar bagi siswanya.

Tabel 8 Penggunaan metode dan media untuk pengajaran PLH oleh guru

Metode dan Media

Persentase Guru pada Sekolah Contoh Persentase

Guru

Keseluruhan Gunung

Sari 01

Gunung

Bunder 03

Gunung

Bunder 04

Gunung

Picung 06

Metode dan media

tidak memberikan

kesempatan siswa

berinteraksi langsung

dengan alam

71,43 25,00 22,22 57,14 41,94

Metode dan media

yang digunakan

memberikan

kesempatan siswa

berinteraksi langsung dengan alam

14,29 37,50 44,44 42,86 32,26

Lainnya 14,29 37,50 33,33 0,00 25,81

b. Pelaksanaan PLH dengan pendekatan ekstrakurikuler

PLH juga dilaksanakan dengan pendekatan ekstrakurikuler melalui

Pramuka. Pembina Pramuka pada keempat sekolah contoh adalah guru di sekolah

tersebut. Pembina Pramuka di SDN Gunung Sari 01 adalah guru kelas 5 dibantu

guru kelas 2 sebagai pembina putri, pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 03

adalah guru bidang studi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan

(PJOK/Penjaskes), pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 04 adalah guru

46

PJOK/Penjaskes dan dibantu guru kelas 3 sebagai pembina putri, pembina

Pramuka di SDN Gunung Picung 06 adalah guru kelas 6 dan guru kelas 4.

Kegiatan PLH yang diintegrasikan dalam Pramuka antara lain dilaksanakan

dalam bentuk kemah, pengamatan, penjelajahan dan penanaman. Peserta

Pramuka yang ikut dalam kegiatan pengenalan lingkungan pada keempat sekolah

contoh adalah siswa kelas 4 – 6 yang memiliki minat terhadap Pramuka, sehingga

tidak semua siswa mendapatkan pengalaman yang sama. Sejak tahun 2008,

Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 seringkali mengadakan latihan

gabungan/bersama dengan pramuka dari SDN Gunung Bunder 03. Pada kegiatan

tersebut terjalin kerjasama antara guru pembina pramuka dari dua sekolah yang

berbeda tersebut. Kerjasama tersebut dapat terjadi karena letak kedua sekolah

yang cukup berdekatan (sekitar 1 km), dan guru pembina Pramuka pada SDN

Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Bunder 03 sama-sama mengajar pada SMP

terbuka yang diselenggarakan di SDN Gunung Bunder 03.

Pada dua sekolah contoh lainnya belum ada kegiatan latihan gabungan

semacam itu. Wawancara dengan Pembina Pramuka dari SDN Gunung Bunder

mengungkapkan bahwa anggota Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 lebih

sering terlibat dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan PLH dibandingkan

dengan ketiga sekolah lainnya. Hal tersebut juga berkaitan dengan seringnya

SDN Gunung Bunder menjadi lokasi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan

PLH non formal yang diadakan oleh pihak luar sekolah, seperti misalnya kegiatan

penanaman dan permainan di alam.

5.1.3 Faktor Situasi

Faktor situasi yang membentuk/mempengaruhi persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH diidentifikasi dari kondisi fisik, biologis dan sosial sekolah.

Identifikasi kondisi fisik dan biologis sekolah dibatasi pada keberadaan sarana-

prasarana fisik maupun lingkungan biologis yang dapat digunakan untuk

mendukung kegiatan belajar mengajar PLH. SDN Gunung Bunder 04 memiliki

sarana fisik berupa bangunan sekolah dengan jumlah lokal/ruang kelas yang

paling sedikit dan lahan yang paling sempit jika dibandingkan dengan ketiga

sekolah contoh lainnya, namun sekolah ini terletak pada tepi jalan utama dan

paling dekat dengan kawasan hutan yang sekaligus juga menjadi tempat kegiatan

47

rekreasi/wisata alam (Tabel 9). Hal tersebut membuat SDN Gunung Bunder 04

sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak luar

sekolah, seperti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, dan kegiatan

permainan alam yang diadakan oleh komunitas masyarakat peduli lingkungan.

Tabel 9 Kondisi umum sekolah contoh

Kondisi Sekolah

Sekolah Contoh

Gunung Sari

01

Gunung

Bunder 03

Gunung

Bunder 04

Gunung

Picung 06

Perkiraan jarak

dengan hutan (km)

1 2 0,8 2

Jumlah lokal/ruang kelas (ruang)

6 6 4 6

Lahan sisa Luas Agak luas Sempit Paling luas

Letak sekolah Agak masuk

gang

Tepi jalan

utama

Tepi jalan

utama

Masuk jauh ke

dalam gang

Buku sumber PLH Ada tambahan buku PLH

Buku ajar m.a. inti

Ada tambahan beberapa buku

sumber dari

berbagai pihak

Buku ajar m.a. inti

Intervensi PLH Guru, sebelum 2005

Belum ada Guru, 2009 Siswa, setelah 2005 (WSLic)

Gambar 5 Kondisi sekolah contoh: (a) SDN Gunung Sari 01; (b) SDN Gunung

Bunder 03; (c) SDN Gunung Bunder 04; (d) SDN Gunung Picung 06

(a) (b)

(c) (d)

48

Faktor lingkungan sosial pada keempat sekolah diidentifikasi berdasarkan

dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru. Dukungan kepala sekolah

dilihat dari rencana pengembangan PLH yang dimiliki oleh kepala sekolah pada

masing-masing sekolah contoh, sedangkan dukungan sesama guru dilihat dari

kerjasama guru dalam pelaksanaan PLH.

Kepala SDN Gunung Bunder 04 memiliki semangat dan keinginan yang

tinggi untuk pengembangan PLH di sekolahnya, dan memiliki rencana untuk

melaksanakan PLH secara monolitik bagi siswa di sekolahnya dengan

memanfaatkan cadangan waktu 2 jam pelajaran yang belum terpakai. Kepala

SDN Gunung Sari 01 merupakan kepala sekolah baru, masih beradaptasi dan

melanjutkan program dari kepala sekolah lama, namun memiliki keinginan untuk

mengembangkan berbagai kegiatan nonkurikuler yang dapat mendukung

pelaksanaan PLH di sekolah tersebut. Kepala sekolah SDN Gunung Bunder 03

dan SDN Gunung Picung 06 masih fokus pada pelaksanaan mata ajaran inti,

sehingga belum memiliki rencana untuk pengembangan PLH di sekolah.

Fasilitas untuk membangun dukungan dan kerjasama sesama rekan guru

sebetulnya sudah ada, yaitu berupa Kelompok Kerja Guru dan Himpunan Guru

Kelas yang mempertemukan para guru dari berbagai sekolah dalam suatu forum

untuk berdiskusi dan bertukar informasi dan pengetahuan, baik mengenai bahan

ajar maupun metode pengajaran, namun demikian diskusi serta tukar menukar

informasi dan pengetahuan yang terjadi dalam kedua forum tersebut masih

terbatas pada mata ajaran inti. Forum yang ada belum dimanfaatkan untuk

mendiskusikan mengenai pelaksanaan PLH.

Kerjasama dan dukungan antara sesama guru dalam pelaksanaan PLH

terutama terwujud pada SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Sari 01. Para

guru menyatakan bahwa materi mengenai lingkungan hidup pada mata ajaran inti

seperti Bahasa Indonesia, PKN, IPS dan Agama, biasanya diberikan dalam bentuk

teori di kelas. Kesempatan praktek dan interaksi langsung dengan lingkungan

terlaksana pada mata ajaran IPA, PJOK, serta Seni Budaya dan Keterampilan

(SBK). Selain itu, kegiatan Pramuka juga melengkapi siswa dengan pengalaman

berinteraksi dengan lingkungan melalui berbagai kegiatannya. Pelaksanaan PLH

pada dua sekolah contoh lainnya masih sebatas materi yang ada pada mata ajaran

49

inti. Guru di sekolah tersebut melaksanakan pengajaran sesuai tanggung jawab

masing-masing di kelas atau pada bidang studi tertentu yang diajar, belum ada

kerjasama antar guru untuk saling melengkapi pengajaran PLH-nya.

Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu peubah

untuk keperluan melakukan analisis statistik lebih lanjut. Peubah dimaksud

adalah sekolah, karena keempat sekolah contoh memiliki kondisi yang berbeda-

beda dalam kaitannya dengan penerapan PLH pada masing-masing sekolah.

5.2 Persepsi guru tentang Lingkungan

Persepsi guru tentang lingkungan diinterpretasikan dari gambar dan definisi

yang dibuat oleh guru mengenai lingkungan. Gambar digunakan untuk

mengidentifikasi model mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan,

sedangkan definisi lingkungan digunakan untuk mengidentifikasi

gagasan/pengetahuan yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan.

Analisis terhadap gambar maupun tulisan dilakukan berdasarkan konsep

lingkungan North American Association for Environmental Education (NAAEE).

Guideliness for the Preparation and Professional Development of Environmental

Educators - Panduan untuk Persiapan dan Pengembangan Profesional Pendidik

Lingkungan Hidup (NAAEE 2004) menyebutkan bahwa seorang tenaga pendidik

lingkungan hidup harus dapat menjelaskan mengenai lingkungan dengan

memasukkan konsep-konsep sistem, saling ketergantungan, serta interaksi

diantara manusia, organisme hidup lainnya, lingkungan fisik/abiotik, dan

lingkungan buatan. Analisis terhadap gambar dan tulisan dilakukan dengan

melihat keberadaan keempat komponen lingkungan (manusia, biotik, abiotik dan

lingkungan buatan) serta konsep interaksi dan saling ketergantungan diantara

komponen tersebut, dalam gambar dan tulisan yang dibuat oleh guru.

Moseley dan Desjean-Perotta (2010) menyatakan bahwa model kognitif atau

model mental dibentuk oleh setiap individu berdasarkan pengetahuan, gagasan-

gagasan yang dimiliki, dan pengalaman yang dimilikinya dalam upaya

menginterpretasikan dan menjelaskan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya.

Gambar yang dibuat oleh para guru hampir seluruhnya menunjukkan suasana

pegunungan, namun ada pula yang menggambarkan hutan, pemukiman dan

50

sekolah. Suasana pegunungan tersebut merupakan lingkungan di sekitar sekolah

tempat guru mengajar maupun lingkungan di sekitar tempat tinggal guru tersebut,

suasana yang sudah lekat dalam keseharian guru sehingga membentuk model

mental guru mengenai lingkungan.

Hasil analisis terhadap gambar yang dibuat oleh para guru dari sekolah contoh

menunjukkan hanya ada dua gambar (6,45%) yang mencerminkan adanya

pemahaman guru akan interaksi, dan hanya ada tiga gambar (9,68%) yang

menggambarkan manusia (Tabel 10). Berdasarkan jumlah komponen lingkungan

yang digambarkan oleh guru, ada dua gambar (6,45%) yang menunjukkan

keberadaan keempat komponen lingkungan, sedangkan 70,97% gambar

menunjukkan tiga komponen lingkungan.

Tabel 10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru

Hasil Jumlah %

Konsep lingkungan yang digambarkan

Manusia 3 9,68

Biotik 25 80,65

Abiotik 28 90,32

lingkungan buatan 24 77,42

interaksi (skor 5 - 8) 2 6,45

interaksi sistem (skor >8) 0 0,00

gambar tidak jelas 2 6,45

tidak menggambar 1 3,23

Jumlah komponen digambarkan

Satu 0 0,00

Dua 4 12,90

Tiga 22 70,97

Empat 2 6,45

Berdasarkan konsep lingkungan NAAEE, sebagian besar (83,87%) gambar

yang dibuat para guru menunjukkan bahwa model mental yang dimiliki oleh guru

mengenai lingkungan tidak utuh. Sebagian besar gambar yang dibuat tampak

menempatkan manusia pada posisi di luar lingkungan yang digambarkan. Hal ini

dikarenakan saat guru diminta untuk menggambarkan lingkungan menurut

pemikirannya, maka guru melihat lingkungan sebagai sesuatu yang ada di luar

dirinya, menempatkan diri sebagai pengamat yang melihat kondisi di luar.

51

Faktor penyebab lainnya karena guru kurang memiliki kemampuan untuk

mengekspresikan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimilikinya mengenai

lingkungan dalam bentuk gambar. Hal tersebut tampak pada saat pengambilan data,

ada guru yang secara terus terang menyatakan ketidakmampuannya untuk membuat

gambar dan bahkan ada guru yang tidak membuat gambar apapun. Konsekuensi

dari hal tersebut adalah skor untuk gambar guru sebagian besar rendah, rata-rata

skor gambar guru sebesar 3 dari total kemungkinan skor tertinggi sebesar 12.

Hanya ada dua gambar yang mendapatkan skor antara 5 – 8, yang menunjukkan

pemahaman guru akan adanya interaksi dalam lingkungan.

Hal berbeda terlihat pada definisi lingkungan yang dibuat oleh para guru dari

keempat sekolah contoh. Jika pada gambar hanya ada tiga gambar manusia,

definisi yang dibuat oleh guru menunjukkan hal sebaliknya. Manusia disebutkan

pada 14 (45,16%) definisi lingkungan yang dituliskan oleh guru, dengan 6 definisi

(19,35%) diantaranya menyebutkan manusia dan saling ketergantungan dengan

lingkungan sekitarnya tanpa penyebutan faktor lingkungan secara spesifik (Tabel

11). Marten (2001) menyebutkan mengenai persepsi umum mengenai alam pada

masyarakat tradisional yang menekankan fakta bahwa segala sesuatu di alam saling

berhubungan, segala kegiatan manusia ada konsekuensinya, namun pandangan

tersebut tidak menekankan pada hubungan tersebut secara rinci.

Tabel 11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru

Hasil Jumlah %

Konsep lingkungan yang disebutkan:

Manusia 14 45,16

Biotik 7 22,58

Abiotik 4 12,90

lingkungan buatan 2 6,45

interaksi dan saling ketergantungan 12 38,71

jawaban tidak jelas 15 48,39

Tidak memberi jawaban 1 3,23

Jumlah komponen lingkungan yang disebutkan: Satu 8 25,81

Dua 3 9,68

Tiga 3 9,68

Empat 1 3,23

52

Definisi yang dituliskan oleh guru 48,39% tidak jelas, sehingga keberadaan

faktor/komponen lingkungan tidak dapat diidentifikasi, dan satu guru (3,23%)

bahkan tidak menuliskan jawaban apapun (Tabel 11). Banyaknya jawaban guru

yang tidak jelas saat diminta untuk menuliskan definisi mengenai lingkungan

berdasarkan pemikirannya mengarah pada kesimpulan bahwa guru tidak memiliki

pemahaman yang baik tentang lingkungan. Guru tidak menguasai konsep

lingkungan secara utuh. Jika dibandingkan antara gambar dan tulisan yang dibuat

oleh guru, terlihat bahwa sebagian besar guru kurang memiliki kemampuan untuk

mengungkapkan gagasan, pemikiran ataupun persepsinya tentang lingkungan dalam

bentuk gambar maupun tulisan. Diskusi dengan guru juga menunjukkan bahwa

guru memang tidak terbiasa dan kurang mampu mengungkapkan pemikirannya

dalam bentuk gambar dan tulisan.

Instrumen DAET yang digunakan untuk mengukur persepsi guru tentang

lingkungan dikembangkan di negara maju yang masyarakatnya telah terbiasa

mengungkapkan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimiliki dalam bentuk

gambar ataupun tulisan. Penggunaan gambar dan tulisan sebagai bentuk

pengungkapan gagasan, pemikiran atau persepsi belum membudaya sebagai suatu

perilaku yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Masyarakat Indonesia

lebih terbiasa mengungkapkan pemikirannya secara lisan. Pendidikan di Indonesia

belum mendorong penggunaan bentuk ekspresi gambar dan tulisan tersebut. Hal

tersebut telah membuat guru tidak dapat mengekspresikan/mengungkapkan

pemahamannya mengenai konsep lingkungan dengan baik dalam DAET.

Kemampuan guru untuk dapat mengungkapkan pemikiran, ide/gagasan dan

persepsi dengan berbagai cara sesungguhnya akan membuka pilihan yang lebih luas

bagi guru untuk menggunakan cara yang dapat lebih dipahami oleh siswanya.

Analisis statistik dengan menggunakan Spearman correlation dilakukan

terhadap hasil skor persepsi dari gambar yang dibuat guru dengan menggunakan

Draw-An-Environment-Test Rubric (DAET-R) untuk mengetahui keberadaan

asosiasi atau hubungan antara persepsi lingkungan guru dengan peubah usia,

pendidikan, masa kerja dan lama mengajar. Hasil analisis korelasi menunjukkan

bahwa tidak ada satupun nilai dari keempat peubah tersebut yang secara statistik

berbeda nyata, artinya keempat peubah tersebut tidak memiliki asosiasi/hubungan

53

dengan persepsi lingkungan. Persepsi mengenai lingkungan pada guru-guru dari

sekolah contoh tidak dipengaruhi oleh usia guru tersebut, pendidikan yang pernah

diikuti, masa kerja maupun lama mengajar.

Uji statistik dengan Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis dilakukan untuk

melihat apakah peubah seperti tingkat pendidikan, sekolah tempat mengajar, jenis

kelamin, kelas yang pernah diasuh, kelas yang saat ini diasuh, mata ajaran khusus

yang pernah diasuh, mata ajaran khusus yang saat ini diasuh, tugas lainnya,

pengalaman mengajar PLH, PLH formal yang pernah diikuti, PLH non formal

yang pernah diikuti, pengalaman mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus

pada alam, serta pengalaman berinteraksi dengan alam dan waktu

mendapatkannya membentuk perbedaan persepsi lingkungan diantara guru. Hasil

analisis menunjukkan tidak ada satupun nilai yang secara statistik berbeda nyata,

sehingga dapat disimpulkan bahwa kesemua peubah tersebut tidak memberikan

perbedaan persepsi lingkungan pada guru.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah dilaksanakan oleh guru,

sehingga semestinya guru menguasai konsep lingkungan karena konsepsi

lingkungan atau persepsi lingkungan tersebutlah yang akan ditransfer kepada anak

didiknya. Guru juga perlu memiliki kemampuan untuk mengungkapkan

pemikirannya dengan berbagai bentuk ekspresi, yaitu lisan, tulisan, dan gambar,

sehingga guru memiliki pilihan yang lebih terbuka untuk menggunakan berbagai

kemampuannya bereskpresi yang dapat disesuaikannya dengan kondisi kelas dan

anak didiknya. Jika yang disampaikan oleh guru adalah persepsi yang tidak

utuh/terbatas, baik karena persepsi yang memang terbatas ataupun kemampuan

untuk mengungkapkannya yang terbatas, maka akan membentuk persepsi yang

juga tidak utuh/terbatas pada anak didik yang kemudian akan mempengaruhi

perilakunya terhadap lingkungan.

Persepsi lingkungan yang kurang lengkap atau terbatas, ataupun

kemampuan guru yang terbatas dalam mengungkapkan persepsinya tersebut

membutuhkan perhatian dari para pihak yang berkepentingan dengan pendidikan.

Tenaga pendidik lingkungan hidup harus memiliki pemahaman, keterampilan dan

sikap yang berkaitan dengan literasi lingkungan (NAAEE 2004). Para guru dari

sekolah contoh membutuhkan berbagai kegiatan untuk peningkatan kapasitasnya,

54

sehingga guru dapat memiliki pemahaman dan sikap yang baik mengenai

lingkungan, serta keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat menyampaikan

pemahaman tersebut kepada para siswa/anak didiknya dengan efektif.

5.3 Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) diidentifikasi

melalui motivasi dan sikap guru terhadap PLH. Motivasi diukur pada enam

subskala/peubah, sedangkan sikap terhadap PLH diukur pada dua

subskala/peubah. Analisis faktor dilakukan terhadap skor yang didapat oleh guru

sekolah contoh dari kedelapan subskala/peubah tersebut, sehingga didapatkan

faktor baru yang secara ringkas menggambarkan persepsi guru terhadap PLH.

5.3.1 Persepsi Guru berdasarkan Motivasi Mengajar PLH

Motivasi diukur pada enam subskala/peubah, yaitu interest/enjoyment,

perceived competence, effort/importance, pressure/tension, perceived choice, dan

value/usefulness. Persepsi guru berdasarkan keenam peubah tersebut diuraikan

sebagai berikut.

a. Minat/Kesenangan Guru terhadap PLH

Subskala interest/enjoyment (minat) digunakan untuk mengukur minat dan

kesenangan guru terhadap PLH yang dapat menumbuhkan motivasi intrinsik pada

guru dalam mengajarkan PLH. Subskala minat diwakili oleh pernyataan nomor 1,

7, 13 dan 19 pada kuesioner bagian motivasi.

Tabel 12 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala interest/enjoyment

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

1 Saya sangat menikmati kegiatan mengajar

PLH kepada siswa 35,48 51,61 9,68 3,23 0,00

7 Kegiatan mengajar PLH sangat

menyenangkan. 32,26 45,16 16,13 3,23 3,23

13 Saya rasa mengajar PLH adalah kegiatan

yang membosankan. 51,61 38,71 6,45 0,00 3,23

19 Mengajar PLH sama sekali tidak menarik

bagi saya. 74,19 25,81 0,00 0,00 0,00

Rata-rata 48,39 40,32 8,06 1,61 1,61

55

Skor 5 pada subskala interest/enjoyment yang diwakili oleh pernyataan

nomor 1, 7, 13 dan 19 berturut-turut menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH

selalu sangat dinikmati oleh guru, selalu sangat menyenangkan bagi guru, selalu

tidak membosankan bagi guru, dan selalu menarik bagi guru. Selanjutnya skor 4

menunjukkan kegiatan mengajar PLH seringkali sangat dinikmati, seringkali

sangat menyenangkan, seringkali tidak membosankan dan seringkali menarik

bagi guru. Skor 3 menunjukkan kegiatan mengajar PLH kadang sangat

dinikmati, kadang sangat menyenangkan, kadang tidak membosankan dan

kadang menarik bagi guru. Skor 2 menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH

seringkali tidak dapat dinikmati, seringkali tidak menyenangkan, seringkali

membosankan dan seringkali tidak menarik bagi guru, dan skor 1 menunjukkan

kegiatan mengajar PLH selalu tidak dapat dinikmati oleh guru, selalu tidak

menyenangkan, selalu membosankan dan selalu tidak menarik.

Sebagian besar guru mendapatkan skor 5 dan 4 pada keempat nomor

pernyataan subskala interest/enjoyment (Tabel 12). Hanya 8,06% guru yang

mendapatkan skor 3 dan masing-masing 1,61% guru yang mendapatkan skor 2

dan 1. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar guru dapat

menikmati kegiatan mengajar PLH dan merasa bahwa kegiatan tersebut sangat

menyenangkan, tidak membosankan, dan menarik. Hampir semua guru dari

sekolah contoh memiliki minat/kesenangan untuk mengajar PLH yang dapat

menumbuhkan motivasi intrinsik guru untuk mengajar PLH. Hal tersebut berarti

bahwa guru memiliki persepsi positif tentang PLH dalam hal minat/kesenangan

guru untuk mengajar PLH.

b. Kompetensi yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH

Subskala perceived competence (kompetensi) mengukur persepsi guru

tentang kompetensi/kemampuan guru untuk mengajar PLH kepada siswanya.

Subskala kompetensi diwakili oleh pernyataan nomor 2, 8, 14, 20 dan 25 dalam

kuesioner bagian motivasi. Skor 5, 4, 3, 2, dan 1 pada masing-masing pernyataan

tersebut berturut-turut berarti bahwa guru selalu, seringkali, kadang, seringkali

tidak, dan selalu tidak merasa sangat mampu mengajar PLH, merasa

kemampuannya mengajar PLH cukup baik jika dibandingkan guru lain, merasa

56

sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, merasa terampil

mengajar PLH, dan merasa dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya.

Guru yang merasa sangat mampu mengajar PLH (skor 5 dan 4) lebih sedikit

persentasenya dibandingkan guru yang merasa sebaliknya (skor 2 dan 1),

sedangkan persentase guru yang kadang merasa sangat mampu dan kadang

sebaliknya cukup besar, yaitu 38,71% (Tabel 13). Jika diminta membandingkan

kemampuannya mengajar PLH dengan guru lainnya (pernyataan nomor 8), lebih

dari 50% guru merasa kemampuannya mengajar PLH tidak cukup baik. Hal

tersebut berarti bahwa guru kurang percaya diri akan kemampuannya mengajar

PLH dibandingkan guru lainnya.

Tabel 13 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala perceived competence

No Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

2 Saya merasa sangat mampu mengajar

PLH. 3,23 25,81 38,71 25,81 6,45

8 Saya rasa kemampuan saya mengajar PLH

cukup baik jika dibandingkan dengan guru

lain. 0,00 6,45 29,03 38,71 25,81

14 Saya sangat puas dengan pengajaran PLH yang saya lakukan. 9,68 19,35 48,39 19,35 3,23

20 Saya merasa terampil mengajar PLH. 3,23 6,45 35,48 38,71 16,13

25 Saya tidak dapat mengajar PLH sebaik

materi lainnya. 0,00 25,81 48,39 12,90 12,90

Rata-rata 3,23 16,77 40,00 27,10 12,90

Persentase guru yang mendapatkan skor 5 (9,68%) pada pernyataan nomor

14 lebih besar daripada guru yang mendapatkan skor 1 (3,23%), sedangkan guru

yang mendapatkan skor 4 dan 2 sama banyak (19,35%). Persentase guru terbesar

(48,39%) mendapatkan skor 3. Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase guru

yang selalu merasa sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya lebih

besar dibandingkan guru yang selalu merasa sangat tidak puas dengan pengajaran

PLH yang dilakukannya. Hampir setengah jumlah guru terkadang merasa sangat

puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, yang juga berarti bahwa guru

kadang merasa sangat tidak puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya.

Kepuasan guru akan pengajaran PLH yang dilakukannya dapat bersumber dari

57

harapan dan upaya yang telah dilakukan dalam pengajaran PLH kepada siswa dan

hasil respon siswa yang didapatkan dari upayanya tersebut. Guru yang selalu

merasa sangat puas menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan sesuai dengan

harapan dan upaya yang telah dilakukannya, sebaliknya guru yang merasa tidak

puas mendapatkan respon yang tidak sesuai dengan harapan dan upaya yang telah

dilakukannya.

Penilaian guru terhadap keterampilannya mengajar PLH diwakili dalam

pernyataan nomor 20. Persentase guru yang mendapatkan skor tinggi pada

pernyataan ini lebih rendah dibandingkan guru yang mendapatkan skor rendah

(Tabel 13). Persentase guru yang seringkali merasa tidak terampil mengajar PLH

paling besar, yaitu sebesar 38,71%. Guru yang selalu merasa tidak terampil

mengajar PLH sebesar 16,13%, persentase yang lebih besar daripada guru yang

merasa terampil mengajar PLH. Ini berarti lebih banyak guru yang merasa tidak

terampil mengajar PLH.

Pernyataan nomor 25 mengacu pada kemampuan guru mengajar PLH

dibandingkan materi lainnya. Pada pernyataan ini persentase guru yang terbesar,

yaitu 48,39%, menyatakan bahwa guru kadang dapat mengajar PLH sebaik materi

lainnya. Tidak ada guru yang menyatakan selalu dapat mengajar PLH sebaik

materi lainnya, namun ada 25,81% guru yang seringkali dapat mengajar PLH

sebaik materi lainnya, dan masing-masing 12,90% guru menyatakan seringkali

tidak dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya dan selalu tidak dapat mengajar

PLH sebaik materi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru masih kurang

percaya diri dengan kemampuannya mengajar PLH dibandingkan pengajaran

materi lain.

Secara keseluruhan pada subskala kompetensi ini, lebih banyak guru yang

merasa kemampuan/kompetensi yang dimilikinya dalam mengajar PLH masih

kurang. Persepsi guru tentang kompetensi atau kemampuannya dalam mengajar

PLH sesungguhnya akan mempengaruhi cara guru mengajar PLH. Guru yang

merasa memiliki kemampuan akan lebih percaya diri dalam memberikan materi-

materi PLH kepada siswanya dan dapat menumbuhkan kepercayaan siswa

terhadap guru dan materi yang diberikannya, sehingga dapat memberikan respon

yang baik dari siswa.

58

c. Upaya/Arti Penting PLH bagi Guru

Effort/importance (upaya/arti penting) merupakan subskala yang mengukur

upaya yang dilakukan guru dalam mengajar PLH dan pandangan guru terhadap

arti PLH bagi dirinya. Subskala ini diwakili oleh pernyataan nomor 3, 9, 15, 21

dan 26. Pernyataan nomor 3, 9, dan 26 merujuk pada upaya keras yang dilakukan

guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa, pernyataan nomor 21 merujuk pada

energi yang harus dikeluarkan oleh guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa,

dan pernyataan nomor 15 mengacu pada arti penting pengajaran PLH bagi guru.

Sebagian besar guru (ditunjukkan oleh persentase guru yang mendapatkan

skor 5 dan 4) merasa selalu atau seringkali harus berupaya keras untuk

mengajarkan PLH kepada siswa, berusaha sangat keras untuk dapat mengajarkan

PLH kepada siswa dan mencoba sangat keras untuk dapat mengajar PLH dengan

baik (Tabel 14). Sebanyak 45,16% guru merasa harus mengeluarkan banyak

energi untuk mengajarkan PLH kepada siswa. Guru juga merasakan pentingnya

mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa.

Tabel 14 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala effort/importance

No Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

3 Saya harus berupaya keras untuk dapat

mengajarkan PLH kepada para siswa. 38,71 41,94 16,13 0,00 3,23

9 Saya tidak perlu berusaha sangat keras untuk

dapat mengajarkan PLH kepada para siswa. 45,16 41,94 9,68 3,23 0,00

15 Bagi saya, mengajar PLH dengan baik

adalah hal yang penting. 74,19 22,58 3,23 0,00 0,00

21 Saya tidak mengeluarkan banyak energi

untuk mengajar PLH kepada para siswa. 9,68 45,16 19,35 25,81 0,00

26 Saya mencoba sangat keras untuk dapat

mengajar PLH dengan baik. 32,26 41,94 25,81 0,00 0,00

Rata-rata 40,00 38,71 14,84 5,81 0,65

Hasil dari subskala upaya/arti penting ini menunjukkan bahwa pandangan

guru mengenai pentingnya mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa

nampaknya diwujudkan oleh guru dengan mencurahkan upaya keras dan energi

yang besar dalam mengajarkan PLH tersebut. Guru memiliki dorongan/motivasi

59

yang kuat dalam mengajarkan PLH kepada siswa dengan baik karena merasakan

pentingnya hal tersebut bagi guru.

d. Beban/Tekanan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH

Beban/tekanan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH diukur dengan

subskala pressure/tension (beban). Subskala ini mencoba menggali apakah guru

merasa bahwa mengajar PLH merupakan sebuah beban/tekanan bagi dirinya

dengan berbagai pernyataan yang merujuk pada perasaan gugup, tegang, tidak

tenang, gelisah dan tertekan yang dirasakan oleh guru jika harus mengajar PLH.

Skor 5 dan 4 menunjukkan bahwa mengajar PLH bukan merupakan beban bagi

guru. Guru selalu dan seringkali merasa tidak gugup, tidak tegang, tenang, tidak

gelisah dan tidak tertekan saat mengajar PLH. Skor 2 dan 1 menunjukkan hal

berlawanan, yaitu bahwa mengajar PLH merupakan beban bagi guru. Guru

seringkali dan selalu merasa gugup, tegang, tidak tenang, gelisah dan tertekan saat

mengajar PLH.

Tabel 15 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala pressure/tension

No Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

4 Saya sama sekali tidak merasa gugup saat

mengajar PLH. 25.81 35.48 19.35 12.90 6.45

10 Saya merasa sangat tegang saat mengajar

PLH. 35.48 32.26 29.03 3.23 0.00

16 Saya merasa tenang saat mengajar PLH. 16.13 45.16 35.48 3.23 0.00

22 Saya merasa gelisah jika mengajar PLH. 38.71 32.26 25.81 0.00 3.23

27 Saya merasa tertekan jika mengajar PLH. 48.39 32.26 12.90 0.00 6.45

Rata-rata 32.90 35.48 24.52 3.87 3.23

Secara keseluruhan lebih banyak guru yang merasakan bahwa mengajar

PLH bukan beban bagi dirinya, karena guru tidak merasa gugup, tegang, tidak

tenang, gelisah dan tertekan saat mengajar PLH (ditunjukkan oleh persentase guru

yang mendapatkan skor 5 dan 4 pada Tabel 15). Pada sekolah-sekolah tersebut

pengajaran PLH masih dilaksanakan secara integratif dalam berbagai mata ajaran

inti yang ada, belum menjadi sebuah program pengajaran tersendiri. Selain itu

tidak ada target pencapaian kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah berkaitan

60

dengan PLH, sehingga guru tidak harus mengejar target pencapaian kurikulum

seperti halnya pada mata ajaran inti. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian

besar guru tidak merasa pengajaran PLH menjadi suatu beban, namun ada juga

sebagian guru (24,52%) yang merasa PLH kadang menjadi beban. Hal tersebut

diduga berkaitan dengan kompetensi guru untuk mengajar PLH.

e. Pilihan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH

Subskala perceived choice (pilihan) mengukur pilihan yang dirasakan guru

dalam mengajar PLH, sehingga dapat memberikan gambaran motivasi yang

dimiliki guru untuk mengajar PLH. Ryan et al. (1991) menyatakan bahwa saat

termotivasi secara intrinsik, orang akan merasakan minat/kesenangan dan pilihan

terhadap sesuatu yang dilakukannya. Skor tinggi pada subskala minat

(interest/enjoyment) dan subskala pilihan ini menunjukkan bahwa guru memiliki

motivasi intrinsik.

Tabel 16 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala perceived choice

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

5 Saya percaya bahwa saya punya pilihan

dalam mengajarkan PLH. 16,13 29,03 22,58 19,35 12,90

11 Saya tidak punya pilihan dalam mengajar

PLH. 29,03 35,48 25,81 6,45 3,23

17 Saya merasakan adanya keharusan untuk

mengajar PLH. 6,45 3,23 19,35 22,58 48,39

23 Saya mengajar PLH karena saya tidak punya

pilihan lain. 58,06 25,81 9,68 6,45 6,45

28 Saya mengajar PLH karena saya ingin

melakukannya. 38,71 29,03 25,81 6,45 0,00

30 Saya mengajar PLH karena saya harus

melakukannya. 3,23 3,23 19,35 25,81 48,39

Rata-rata 25,3 21,0 20,4 14,5 19,9

Pernyataan nomor 5, 11 dan 23 mengukur pilihan yang dirasakan oleh guru

dalam mengajar PLH. Pernyataan 5 dan 11 berimplikasi pada pilihan pola

pengajaran PLH guru, sedangkan pernyataan 23 berimplikasi pada pilihan

mengajar PLH sebagai sebuah tugas. Tabel 16 menunjukkan bahwa pada ketiga

pernyataan yang berkaitan dengan pilihan tersebut persentase guru yang merasa

61

punya pilihan (skor 5 dan 4) terkait pengajaran PLH lebih besar daripada guru

yang merasa tidak punya pilihan (skor 2 dan 1). Lebih banyak guru yang merasa

punya pilihan dalam mengajar PLH, baik dalam kaitannya dengan pola pengajaran

maupun PLH sebagai sebuah tugas.

Pernyataan nomor 17 dan 30 berkaitan dengan keharusan yang dirasakan

guru dalam mengajar PLH. Pada kedua pernyataan tersebut guru yang merasakan

keharusan dalam mengajar PLH (skor 2 dan 1) lebih besar persentasenya

dibandingkan guru yang merasakan ketidak harusan mengajar PLH. Ryan et al.

(1991) menyatakan bahwa saat orientasi seseorang dalam melakukan sesuatu

bergeser dari keinginannya untuk melakukan sesuatu dengan baik menjadi

keharusan untuk melakukan sesuatu dengan baik untuk mempertahankan harga

dirinya, maka motivasi intrinsiknya menurun. Namun guru nampaknya

merasakan keharusan untuk mengajar PLH karena memandang PLH sebagai hal

yang penting untuk dilakukan, bukan semata-mata untuk mempertahankan harga

diri, mengingat PLH belum dibakukan dalam kurikulum standar dengan target

yang harus dikejar guru. Sebagian besar guru juga menyatakan mengajar PLH

karena ingin melakukannya (pernyataan nomor 28).

Secara keseluruhan pada subskala ini, rata-rata persentase guru yang

mendapatkan skor 5 dan 4 lebih besar dibandingkan persentase guru yang

mendapatkan skor 2 dan 1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan guru yang memiliki motivasi intrinsik untuk mengajar PLH lebih

besar persentasenya dibandingkan guru yang tidak memiliki motivasi intrinsik.

f. Nilai/Kegunaan PLH menurut Guru

Nilai/kegunaan PLH menurut guru diukur dengan menggunakan subskala

value/usefulness yang diwakili oleh pernyataan nomor 6, 12, 18, 24 dan 29.

Pernyataan nomor 6 merujuk pada kepercayaan guru bahwa mengajar PLH

bermanfaat bagi dirinya, pernyataan nomor 12 merujuk pada kepercayaan guru

bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap

lingkungan, pernyataan nomor 18 merujuk pada kepercayaan guru bahwa PLH

penting untuk diajarkan karena dapat memberi pengaruh positif bagi siswa,

pernyataan nomor 24 merujuk pada kesediaan guru untuk kembali mengajar PLH

62

karena dirasa bermanfaat bagi dirinya, dan pernyataan nomor 29 merujuk pada

pendapat guru bahwa pengajaran PLH merupakan hal yang penting.

Ada 9,68% guru yang menyatakan bahwa pernyataan nomor 6 selalu tidak

benar bagi dirinya, artinya guru tersebut merasa bahwa mengajar PLH selalu tidak

bermanfaat bagi dirinya (Tabel 17). Pernyataan tersebut diberikan oleh guru yang

mengajar pada tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD). Pada pernyataan nomor 12

“Saya rasa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap

lingkungan”, ada 3,23% guru yang menyatakan pernyataan nomor 12 kadang

benar (kadang tidak benar) bagi dirinya. Selebihnya guru menyatakan dengan

intensitas kebenaran berbeda (selalu benar dan seringkali benar) bagi dirinya

bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap

lingkungan.

Tabel 17 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala value/usefulness

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

6 Saya percaya mengajar PLH bermanfaat

bagi saya. 67,74 16,13 6,45 0,00 9,68

12 Saya rasa mengajar PLH berguna untuk

membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan 74,19 22,58 3,23 0,00 0,00

18 Saya rasa PLH penting untuk diajarkan

karena dapat memberi pengaruh positif bagi

siswa. 77,42 19,35 0,00 0,00 3,23

24 Saya akan bersedia untuk mengajar PLH lagi

karena mengajarkan PLH bermanfaat bagi

saya 41,94 32,26 19,35 3,23 3,23

29 Menurut saya mengajar PLH adalah hal

yang penting 64,52 19,35 12,90 3,23 0,00

Rata-rata 65,16 21,94 8,39 1,29 3,23

Pada pernyataan nomor 18 bahwa PLH penting untuk diajarkan karena

dapat memberi pengaruh positif bagi siswa, ada 3,23% guru yang menyatakan

selalu tidak benar. Pernyataan tersebut diberikan oleh guru kelas 2. Pengajaran

PLH yang diberikan oleh guru tersebut kepada siswa kelas 2 nampaknya belum

memberikan pengaruh positif pada siswa. Pernyataan nomor 24 merujuk pada

kesediaan guru untuk mengajar PLH lagi karena mengajarkan PLH bermanfaat

bagi dirinya. Ada masing-masing 3,23% guru yang mendapatkan skor 1 dan 2

63

pada pernyataan tersebut. Artinya ada guru yang merasa kondisi dalam

pernyataan tersebut selalu tidak benar dan seringkali tidak benar bagi dirinya.

Guru yang mendapatkan skor 1 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 1,

sedangkan guru dengan skor 2 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 3.

Ada 3,23% guru yang merasa mengajar PLH seringkali bukan menjadi hal

yang penting (pernyataan nomor 29), yang berimplikasi bahwa ada materi

pengajaran lain yang lebih penting baginya. PLH yang belum menjadi prioritas

pengembangan dan pelaksanaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai

instansi yang bertanggung jawab dalam pengembangan sekolah diduga sebagai

salah satu penyebab hal tersebut. Pada dinas tersebut mata ajaran inti masih

menjadi fokus untuk pengembangan dan pelaksanaannya. Selain itu target

kelulusan siswa dari sekolah dasar masih sepenuhnya berdasar pada mata ajaran

inti sehingga guru memiliki tekanan untuk mengejar target kurikulum mata ajaran

inti, yang mengakibatkan PLH tidak atau belum menjadi prioritas di sekolah,

sehingga guru merasa PLH menjadi tidak penting.

Persentase guru yang berpendapat bahwa mengajar PLH memiliki nilai dan

kegunaan/manfaat baik bagi dirinya maupun bagi siswanya secara keseluruhan

jauh lebih besar daripada guru yang merasa bahwa mengajar PLH kurang atau

tidak memiliki nilai dan kegunaan/manfaat bagi dirinya dan siswanya. Guru yang

merasa kurangnya nilai/manfaat PLH baik bagi dirinya maupun siswanya

merupakan guru yang mengajar tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD), pada SDN

Gunung Bunder 03 dan SDN Gunung Bunder 04.

Guru merasa pengajaran PLH pada kelas rendah tidak bermanfaat dan tidak

bersedia melakukan pengajaran PLH lagi dapat disebabkan beberapa hal.

Pertama, pengajaran PLH pada kelas rendah masih sangat terbatas pada materi

lingkungan yang terdapat dalam kurikulum mata ajaran inti yang sifatnya

sederhana dan teoritis diberikan di kelas, sehingga guru pada kelas rendah tidak

merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya. Kedua, pengajaran yang

bersifat teoritis di kelas belum dapat memberikan respon positif pada perilaku

siswa terhadap lingkungan.

Ketiga, anak usia 6 – 9 tahun (usia siswa SD pada tingkat kelas rendah, 1 –

3 SD) biasanya masih membawa perilaku masa balita yang masih sulit

64

memfokuskan perhatian dan mempertahankan perhatian dalam jangka waktu

lama. Anak usia tersebut biasanya masih senang bermain-main, meskipun sudah

mulai dapat diarahkan, karena anak usia 6 – 11 tahun (periode middle dan late

childhood) mulai menguasai keahlian membaca, menulis dan menghitung serta

semakin mampu mengendalikan diri (Santrock 2008). Santrock (2008) juga

menguraikan tahapan perkembangan kognitif Piaget yang menyatakan bahwa

anak usia 6 – 7 tahun berada pada tahap pra-operasional dan anak usia 8 – 9 tahun

berada pada tahap operasional konkret. Tahap pra-operasional, yaitu masa

seorang anak berpikir secara egoistis dan intuitif berdasarkan perspektif dirinya

sendiri, dan memusatkan perhatian hanya pada satu karakteristik dan

mengabaikan karakteristik lainnya dari sesuatu. Tahap operasional konkret adalah

tahap saat pemikiran logis mulai menggantikan pemikiran intuitif, namun pada

situasi konkret.

Karakteristik perkembangan siswa pada tingkat kelas rendah yang demikian

menuntut guru untuk memiliki kesabaran, kesediaan mencurahkan upaya dan

kemampuan mengendalikan perilaku siswa yang lebih besar. Hal tersebut dapat

dirasa sebagai sesuatu yang memberatkan guru, terutama dalam pengajaran PLH

yang menuntut dibukanya kesempatan bagi siswa untuk dapat berinteraksi

langsung dengan alam/lingkungan. Interaksi langsung dengan alam berarti

membawa siswa keluar kelas yang berarti adanya tuntutan curahan waktu dan

energi lebih dari guru dalam mengarahkan siswanya, terutama guru tingkat kelas

rendah tersebut. Pengajaran PLH dengan praktek interaksi langsung dengan alam

pada SDN Gunung Bunder 04 diberikan pada mata ajaran PJOK yang ditangani

oleh satu guru khusus, bukan oleh guru kelas, sehingga guru kelas rendah menjadi

tidak merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif

berdasarkan motivasinya untuk mengajar PLH, namun guru juga memiliki

persepsi bahwa kompetensinya rendah untuk mengajar PLH. Sebagian besar guru

memiliki pandangan bahwa mengajar PLH dapat dinikmati, menyenangkan, tidak

membosankan dan menarik. Guru juga memandang PLH sebagai program yang

penting dan memiliki manfaat, baik bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungan.

65

Guru merasa memiliki pilihan dalam mengajar PLH dan tidak merasa terbebani,

Persepsi tersebut berkembang karena PLH belum dibakukan dalam sebuah

kurikulum standar dengan target yang harus dicapai oleh guru, sehingga guru

masih memiliki kebebasan dan pilihan dalam mengajar PLH, baik berkaitan

dengan materi, maupun metode yang digunakan. Hal-hal tersebut menunjukkan

bahwa guru memiliki motivasi yang bersifat intrinsik atau otonomi yang dapat

menjadi modal dasar guru untuk melaksanakan PLH yang efektif.

Selain motivasi intrinsik atau otonomi sebagai modal dasar guru,

pelaksanaan PLH yang efektif juga harus didukung oleh kompetensi guru yang

baik. Persepsi positif guru terhadap kompetensinya dapat lebih meningkatkan

rasa percaya diri dan memperluas pilihan guru dalam mengajar PLH. Persepsi

guru yang merasa bahwa dirinya kurang atau tidak kompeten dalam mengajar

PLH menjadi permasalahan yang menyebabkan pengajaran PLH yang efektif

menjadi sulit untuk dicapai. Assor dan Oplatka (2003) diacu dalam Roth et al.

(2007) menyatakan bahwa kepala sekolah dapat membantu meningkatkan

motivasi otonomi guru untuk mengajar dengan mendorong keterlibatan guru

dalam pengambilan keputusan besar, mendelegasikan kewenangan, berupaya

memahami kebutuhan guru, dan membantu berkembangnya struktur organisasi

dan iklim yang mendukung rasa keterikatan dan kompetensi guru. Fasilitasi perlu

pula dilakukan agar guru dapat mengeksplorasi identitas profesionalnya dan

membentuk visi diantara guru, sehingga guru dapat mengeksplorasi nilai dan tipe

pengetahuan yang ingin mereka sampaikan kepada siswa, dan materi yang mereka

anggap penting dan dapat dinikmati/menyenangkan (Roth et al. 2007).

5.3.2 Persepsi Guru berdasarkan Sikap terhadap PLH

Sikap guru terhadap PLH diukur pada dua subskala, yaitu self-efficacy

belief/personal EE teaching efficacy (PETE) dan outcome expectancy/EE teaching

outcome expectancy (ETOE). Skor 5 pada kedua subskala tersebut menunjukkan

bahwa guru sangat setuju terhadap pernyataan positif dan sangat tidak setuju

terhadap pernyataan negatif, skor 4 menunjukkan bahwa guru setuju terhadap

pernyataan positif dan tidak setuju terhadap pernyataan negatif, skor 3

menunjukkan bahwa guru tidak dapat menentukan kesetujuannya, skor 2

menunjukkan bahwa guru tidak setuju terhadap pernyataan positif dan setuju

66

terhadap pernyataan negatif, skor 1 menunjukkan bahwa guru sangat tidak setuju

terhadap pernyataan positif dan sangat setuju terhadap pernyataan negatif. Skor 5

dan 4 menunjukkan bahwa guru memiliki sikap positif, skor 3 menunjukkan

bahwa guru tidak dapat menentukan sikap, sedangkan skor 2 dan 1 menunjukkan

bahwa guru memiliki sikap yang negatif.

a. Efektivitas Diri Guru dalam Mengajar PLH

Subskala self-efficacy belief/personal EE teaching efficacy (PETE),

mengukur kepercayaan diri guru terhadap kemampuannya untuk mengajar PLH

secara efektif. Subskala efektivitas diri ini diwakili 13 pernyataan, yaitu

pernyataan nomor 2, 3, 5, 6, 8, 12, 17, 18, 19, 20, 21, 22, dan 23 dalam kuesioner

bagian sikap.

Seluruh guru menyatakan kesetujuannya terhadap pernyataan nomor 2

dengan derajat kesetujuan masing-masing, yaitu 74,19% sangat setuju dan 25,81%

setuju (Tabel 18), artinya semua guru dari sekolah contoh akan terus berusaha

untuk menemukan cara yang lebih baik dalam mengajar PLH. Sebagian guru

(19,35%) memperoleh skor 5 dan lebih dari setengah jumlah guru (51,84%)

memperoleh skor 4 pada pernyataan nomor 3, artinya sebagian besar guru

memiliki persepsi bahwa jika berusaha keras, guru akan dapat mengajar PLH

sebaik pada mata ajaran lainnya. Namun adapula guru yang meragukan

kemampuannya mengajar PLH akan dapat sebaik pada mata ajaran lainnya

meskipun telah berusaha keras (19,35%), dan ada guru yang merasa bahwa

meskipun berusaha keras tetap tidak akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata

ajaran lain (6,45%). Guru tersebut tampaknya kurang memiliki kepercayaan diri

untuk mengajar PLH.

Pernyataan nomor 5 berkaitan dengan pengetahuan guru akan langkah

pengajaran PLH yang efektif. Sebanyak 12,90% guru sangat setuju dan 38,71%

guru setuju terhadap pernyataan tersebut. Artinya guru tersebut berpandangan

bahwa dirinya tahu langkah-langkah untuk mengajar PLH secara efektif. Namun

ada pula guru (45,16%) yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkah-

langkah mengajar PLH secara efektif, dan 3,23% guru yang merasa bahwa dirinya

tidak tahu. Persentase guru yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkah-

langkah mengajar PLH secara efektif cukup besar, sehingga perlu mendapatkan

67

perhatian. Guru yang meragukan pengetahuannya akan sulit untuk dapat

menerapkan pengajaran PLH yang efektif.

Tabel 18 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala personal EE teaching efficacy (PETE)

No. Pernyataan

Persentase Guru pada Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

2 Saya akan terus berupaya menemukan cara

yang lebih baik dalam mengajar PLH 74,19 25,81 0,00 0,00 0,00

3 Meskipun saya berusaha keras, saya tidak

akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata

ajaran lainnya 19,35 54,84 19,35 6,45 0,00

5 Saya tahu langkah-langkah yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif 12,90 38,71 45,16 3,23 0,00

6 Saya tidak bisa melakukan kegiatan

monitoring secara efektif 0,00 41,94 45,16 6,45 6,45

8 Secara umum saya tidak dapat mengajar PLH secara efektif 9,68 48,39 25,81 12,90 3,23

12 Saya memahami PLH dengan cukup baik

sehingga dapat mengajar PLH secara efektif 12,90 41,94 29,03 12,90 3,23

17 Saya akan menemui kesulitan untuk menjelaskan kepada siswa mengapa

percobaan ilmiah yang melibatkan topik

lingkungan dapat dilakukan 3,23 25,81 32,26 29,03 9,68

18 Biasanya saya bisa menjawab pertanyaan

siswa tentang PLH 12,90 61,29 25,81 0,00 0,00

19 Saya tidak yakin apakah saya memiliki

ketrampilan yang diperlukan untuk mengajar

PLH 3,23 38,71 51,61 3,23 3,23

20 Jika diberi pilihan, saya tidak akan meminta

kepala sekolah untuk mengevaluasi

pengajaran PLH saya 12,90 61,29 12,90 12,90 0,00

21 Jika siswa mengalami kesulitan untuk

memahami suatu konsep PLH, biasanya saya

tidak tahu bagaimana cara membantu siswa

tersebut. 25,81 48,39 19,35 6,45 0,00

22 Saat mengajar PLH, biasanya saya memberi

kesempatan kepada siswa untuk bertanya 48,39 48,39 0,00 0,00 3,23

23 Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan

untuk menarik minat siswa pada PLH 6,45 51,61 29,03 6,45 6,45

Rata-rata 18,61 45,16 25,81 7,94 3,23

Kemampuan guru untuk melakukan kegiatan monitoring secara efektif

dinyatakan pada pernyataan nomor 6. Sebanyak 41,94% guru setuju terhadap

pernyataan tersebut, namun 45,16% guru ragu akan kemampuannya melakukan

kegiatan monitoring secara efektif, dan masing-masing 6,45% guru tidak setuju

68

dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Artinya lebih dari setengah

jumlah guru merasa kurang atau tidak dapat melakukan kegiatan monitoring

secara efektif.

Guru yang merasa dirinya secara umum dapat mengajar PLH secara efektif

(pernyataan 8) sebesar 9,68% (skor 5) dan 48,39% (skor 4). Sebanyak 25,81%

guru menyatakan keraguan, 12,90% guru tidak setuju dan 3,23% guru sangat tidak

setuju. Persentase guru yang menyatakan memahami PLH dengan cukup baik

sehingga dapat mengajar PLH secara efektif (pernyataan 12) lebih dari

setengahnya (total 54,84%). Namun cukup besar pula persentase guru yang ragu

akan pemahamannya terhadap PLH, dan bahkan ada pula yang tidak memahami

PLH dengan cukup baik. Sebanyak 32,26% guru meragukan kemampuannya

untuk menjelaskan kepada siswa mengenai relevansi percobaan ilmiah dengan

topik yang dibahas, dan sebesar total 38,71% merasa tidak mampu melakukannya.

Guru memandang kemampuannya menjelaskan relevansi metode dan materi

kepada siswanya rendah.

Persepsi positif terhadap kemampuan guru untuk menjawab pertanyaan

siswa mengenai PLH dimiliki oleh total 74,19% guru, dan 25,81% guru ragu akan

kemampuannya untuk menjawab pertanyaan PLH dari siswa (Tabel 18).

Sebagian besar guru (51,61%) meragukan dirinya memiliki keterampilan yang

diperlukan untuk mengajar PLH. Jika diberi pilihan, 74,19% guru akan meminta

kepala sekolah untuk mengevaluasi pengajaran PLH yang dilakukannya.

Sebagian besar guru menyatakan dirinya mengetahui cara membantu siswa

memahami suatu konsep PLH (25,81% sangat setuju dan 48,39% setuju). Namun

ada sebesar 19,35% guru ragu-ragu dan 6,45% tidak setuju. Sebagian besar guru

setuju pada pernyataan bahwa guru biasanya memberikan kesempatan kepada

siswa untuk bertanya saat guru mengajar PLH, namun ada 3,23% guru yang

menyatakan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 6,45%

guru sangat setuju dan 51,61% setuju pada pernyataan bahwa guru tahu apa yang

harus dilakukan untuk menarik minat siswa pada PLH. Ada 29,03% guru ragu-

ragu, dan masing-masing 6,45% tidak setuju dan sangat tidak setuju pada

pernyataan tersebut, yang artinya guru tersebut merasa tidak tahu apa yang harus

dilakukannya untuk menarik minat siswa pada PLH.

69

Subskala ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa guru memiliki

persepsi positif terhadap kemampuannya mengajar PLH secara efektif pada 10

pernyataan (lebih dari 50% guru setuju dengan derajat kesetujuan berbeda), dan

persepsi negatif pada 3 pernyataan (total lebih dari 50% guru yang menyatakan

ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju). Kecenderungan persepsi negatif

dinyatakan guru berkaitan dengan kemampuan guru untuk melakukan monitoring

secara efektif, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan materi

yang diajarkan, dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar

PLH secara efektif.

Sebagian besar guru menyatakan akan terus berusaha keras menemukan

cara yang lebih baik dalam mengajar PLH, guru percaya akan dapat mengajar

PLH sebaik pada mata ajaran lainnya jika berusaha keras, guru percaya dirinya

mengetahui langkah-langkah yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif

dan secara umum dapat mengajar PLH secara efektif, guru percaya bahwa dirinya

memahami PLH dengan cukup baik sehingga dapat mengajar PLH secara efektif,

dapat menjawab pertanyaan siswa tentang PLH, dapat membantu siswa

memahami suatu konsep PLH, memberikan kesempatan bertanya kepada siswa

dan tahu apa yang harus dilakukan untuk menarik minat siswa pada PLH. Namun

demikian guru mengakui bahwa dirinya kurang menguasai kemampuan untuk

melakukan monitoring, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan

materi yang diajarkan dan kurang menguasai keterampilan yang diperlukan untuk

mengajar PLH secara efektif.

Sia (1992) menemukan bahwa calon guru memiliki persepsi rendah

(persepsi positif hanya pada 3 pernyataan dari 13 pernyataan) terhadap

kemampuannya mengajar PLH. Moseley et al. (2002) menemukan hal yang

berlawanan, yaitu bahwa calon guru memiliki persepsi tinggi terhadap

kemampuannya mengajar PLH (self-efficacy) di luar kelas sebelum dan setelah

program pengajaran PLH di luar kelas, namun persepsi tersebut menurun saat

diukur 7 minggu setelah program pengajaran yang diduga disebabkan oleh

evaluasi ulang yang dilakukan calon guru terhadap kemampuannya mengajar PLH

sejalan dengan pembelajaran yang didapat calon guru tersebut mengenai metode

pengajaran.

70

Hasil temuan dalam penelitian ini sejalan dengan Moseley et al. (2002)

dalam hal guru memiliki persepsi tinggi/positif terhadap efektivitas dirinya dalam

mengajar PLH secara umum. Temuan dalam penelitian ini juga sejalan dengan

temuan Sia (1992) dalam hal persepsi rendah/negatif yang dimiliki guru berkaitan

dengan penguasaan keterampilan, monitoring dan kemampuan menjelaskan

relevansi metode dan materi yang dimiliki oleh guru. Persepsi guru yang

rendah/negatif terhadap kemampuan dirinya dalam ketiga hal tersebut

menunjukkan bahwa guru membutuhkan peningkatan kemampuan berkaitan

dengan ketiga hal tersebut, yang bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan.

b. Harapan Guru terhadap Hasil Pengajaran PLH

Harapan guru terhadap hasil pengajaran PLH diukur dengan menggunakan

subskala EE teaching outcome expectancy (ETOE). Outcome expectancy adalah

harapan seseorang bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan luaran yang

diinginkan (Sia 1992). Subskala ETOE diwakili oleh 10 pernyataan, yaitu

pernyataan nomor 1, 4, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, dan 16.

Persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4 pada sembilan pernyataan

(1, 4, 7, 9, 11, 13, 14, 15 dan 16) lebih besar daripada guru yang mendapatkan

skor 3 serta skor 2 dan 1 (Tabel 19). Persentase guru yang mendapatkan skor 3

(ragu-ragu) pada salah satu dari kesembilan pernyataan tersebut (pernyataan

nomor 7) sebesar 25,81%. Persentase yang cukup besar, sehingga jika ditotalkan

persentase guru yang mendapatkan skor 3, 2 dan 1 menjadi sebesar 51,61%.

Dengan demikian pada pernyataan ini guru dapat dikelompokkan memiliki

persepsi negatif atau rendah. Pada pernyataan nomor 10 persentase guru yang

mendapatkan skor 5 dan 4 sama dengan persentase guru yang mendapatkan skor 2

dan 1. Artinya pada pernyataan tersebut jumlah guru yang setuju dengan

pernyataan tersebut sama dengan jumlah guru yang tidak setuju, dan dengan

adanya guru yang ragu akan pernyataan tersebut, maka persepsi guru pada

pernyataan tersebut digolongkan kedalam persepsi negatif. Jadi pada subskala ini,

guru memiliki persepsi negatif pada dua pernyataan, yaitu pernyataan nomor 7

dan 10.

71

Tabel 19 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala EE teaching outcome expectancy (ETOE)

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

1 Saat siswa menunjukkan hasil yang lebih

baik dalam PLH dibandingkan biasanya,

seringkali karena gurunya telah melakukan upaya lebih dalam mengajar. 45,16 54,84 0,00 0,00 0,00

4 Saat hasil belajar PLH siswa meningkat, seringkali karena gurunya telah

menemukan cara mengajar yang lebih

efektif 48,39 48,39 0,00 0,00 3,23

7 Jika siswa tidak dapat mencapai tujuan

pembelajaran PLH, kemungkinan karena

pengajaran PLHnya tidak efektif 9,68 38,71 25,81 19,35 6,45

9 Kurangnya latarbelakang PLH siswa

dapat diatasi dengan pengajaran yang baik 32,26 45,16 16,13 3,23 3,23

10 Guru tidak dapat disalahkan atas rendahnya hasil belajar sebagian

siswanya. 9,68 32,26 16,13 32,26 9,68

11 Jika seorang siswa yang hasil belajarnya

rendah menunjukkan kemajuan belajar

dalam PLH, biasanya disebabkan

perhatian ekstra yang diberikan oleh gurunya. 12,90 51,61 12,90 19,35 3,23

13 Peningkatan upaya pengajaran PLH hanya menghasilkan sedikit perubahan

pada hasil belajar sebagian siswa. 9,68 64,52 12,90 12,90 0,00

14 Secara umum guru bertanggung jawab

terhadap hasil belajar siswa dalam PLH. 32,26 51,61 0,00 16,13 0,00

15 Hasil belajar siswa dalam PLH berhubungan langsung dengan efektivitas

gurunya dalam pengajaran PLH 32,26 64,52 0,00 3,23 0,00

16 Jika orangtua berkomentar bahwa

anaknya menunjukkan minat yang lebih

terhadap PLH di sekolah, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kinerja

gurunya. 22,58 70,97 3,23 3,23 0,00

Rata-rata 25,48 52,26 8,71 10,97 2,58

Pernyataan nomor 7 terkait dengan pandangan guru bahwa pengajaran PLH

yang tidak efektif sebagai penyebab siswa tidak dapat mencapai tujuan

pembelajaran. Sebesar 25,81% guru menyatakan ragu-ragu, 19,35% guru

menyatakan tidak setuju dan 6,45% guru menyatakan sangat tidak setuju.

72

Pernyataan nomor 10 berkaitan dengan kesalahan guru atas rendahnya hasil

belajar sebagian siswa. Persentase guru yang merasa bahwa rendahnya hasil

belajar siswa merupakan kesalahan guru seimbang dengan persentase guru yang

merasa bahwa guru tidak dapat disalahkan atas rendahnya hasil belajar sebagian

siswa, dan ada 16,13% guru yang menyatakan keraguannya akan pernyataan

tersebut.

Persentase guru yang menyatakan kesetujuan dengan derajat kesetujuan

masing-masing pada 8 pernyataan lainnya lebih besar dari pada guru yang

menyatakan ketidak setujuan. Persentase guru yang menyatakan kesetujuan

berkisar antara 9,68% sampai 48,39% (skor 5) dan 32,26% sampai 70,97% (skor

4), sedangkan guru yang menyatakan ragu-ragu (skor 3) berkisar antara 0,00%

sampai 16,13%, tidak setuju (skor 2) berkisar antara 0,00% - 19,35%, dan sangat

tidak setuju berkisar antara 0,00% sampai 3,23%. Hasil tersebut menunjukkan

guru percaya bahwa hasil belajar siswa dalam PLH dapat ditingkatkan dengan

pengajaran PLH yang efektif, namun merasa bahwa hasil belajar siswa yang

rendah bukan sepenuhnya kesalahan guru maupun pengajaran PLH yang tidak

efektif.

Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH yang diukur menggunakan

subskala PETE dan ETOE menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi tinggi

terhadap efektivitas dirinya (persepsi positif pada 10 dari 13 pernyataan), serta

persepsi tinggi terhadap luaran yang diharapkannya (persepsi positif pada 8 dari

10 pernyataan). Guru menyadari bahwa kemampuannya terkait monitoring,

keterampilan mengajar PLH serta penguasaan metode dan materi PLH rendah

(persepsi negatif pada 3 pernyataan dalam subskala PETE), namun guru percaya

bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam

PLH (persepsi positif pada subskala ETOE). Paduan persepsi tersebut semakin

menegaskan adanya kebutuhan guru akan peningkatan kapasitas guru dalam

pengajaran PLH. Hal tersebut juga berimplikasi pada kesediaan dan kesiapan

guru untuk menerima berbagai program kegiatan untuk meningkatkan

kapasitasnya.

73

5.3.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Faktor yang

Mempengaruhinya

Ekstraksi dengan analisis faktor terhadap skor yang didapat guru pada enam

peubah dari subskala motivasi dan dua peubah dari subskala sikap guru berkaitan

dengan PLH menghasilkan tiga faktor/variate baru (Lampiran 1). Peubah

kompetensi (perceived competence), beban/tekanan (pressure/tension), pilihan

(perceived choice) dan efektivitas diri guru dalam pengajaran PLH (personal EE

teaching efficacy/PETE) mengelompok pada faktor 1 (satu), yang selanjutnya

disebut sebagai faktor efektivitas pengajaran PLH. Peubah yang mengelompok

pada faktor 2 (dua) adalah minat/kesenangan (interest/enjoyment), upaya/arti

penting (effort/importance), dan nilai/manfaat (value/usefulness) yang selanjutnya

disebut sebagai faktor manfaat PLH. Faktor 3 (tiga) hanya terdiri dari satu

peubah, yaitu luaran pengajaran PLH yang diharapkan (EE teaching outcome

expectancy/ETOE). Faktor 3 (tiga) selanjutnya disebut sebagai faktor luaran

pengajaran PLH yang diharapkan. Analisis korelasi dengan Spearman

correlation (Lampiran 2), serta uji denganUji Kruskal-Wallis (Lampiran 3) dan

Uji Mann-Whitney (Lampiran 4) dilakukan untuk melihat peubah-peubah dari

faktor individu maupun obyek/sasaran dan situasi yang mempengaruhi ketiga

faktor/variate persepsi tersebut.

a. Persepsi Guru tentang Efektivitas Pengajaran PLH dan Faktor yang

Mempengaruhinya

Persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH (faktor 1) dibangun dari 3

peubah motivasi dan 1 peubah sikap, yaitu kompetensi, beban/tekanan, pilihan

dan efektivitas diri. Guru SD sekitar hutan memiliki persepsi positif tentang

efektivitas pengajaran PLH dalam kaitannya dengan beban/tekanan dan pilihan.

Guru memandang bahwa mereka tidak terbebani ataupun tertekan jika mengajar

PLH, dan mereka merasa memiliki pilihan dalam mengajar PLH. Penerapan

PLH di sekolah dasar yang sampai saat ini belum diformalisasikan dalam

kurikulum baku memberi sumbangan terhadap persepsi guru terhadap PLH

tersebut. Kurikulum berimplikasi pada target yang harus dicapai guru yang

seringkali bersifat kaku, membebani dan memberikan tekanan pada guru.

Kurikulum yang belum dibakukan berarti guru tidak dibebani dengan target yang

74

harus dicapai, sehingga guru dapat lebih lentur, tidak terbebani dan memiliki

pilihan dalam mengajar PLH.

Guru SD sekitar hutan juga memiliki persepsi/pandangan bahwa kompetensi

dan efektivitas dirinya rendah. Secara khusus efektivitas diri yang rendah

dirasakan oleh guru pada tiga hal, yaitu kemampuan untuk melakukan monitoring

secara efektif, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan materi

yang diajarkan, dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar

PLH secara efektif.

Analisis korelasi dengan Spearman correlation yang dilakukan antara

peubah usia, pendidikan, masa kerja, lama mengajar dan persepsi lingkungan

terhadap persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH menunjukkan satu nilai

korelasi yang secara statistik signifikan/berbeda nyata pada taraf uji 0,05, yaitu

korelasi antara persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH dengan

pendidikan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,441. Persepsi guru tentang

efektivitas pengajaran PLH dipengaruhi oleh pendidikan yang dimiliki oleh guru

dengan korelasi yang cukup kuat. Uji Kruskal-Wallis dengan taraf uji 10%

menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi pada guru dengan PLH formal

berbeda. Guru yang mendapatkan PLH formal di perguruan tinggi memiliki

persepsi tertinggi (mean skor sebesar 3,75) dibandingkan tingkat pendidikan

lainnya.

Hasil analisis dengan korelasi Spearman dan uji Kruskal-Wallis

menunjukkan adanya pengaruh tingkat pendidikan formal dan PLH yang diterima

guru dalam pendidikan formalnya tersebut terhadap persepsi guru tentang

efektivitas pengajaran PLH. Persepsi guru yang memandang kompetensi dan

efektivitas dirinya rendah dalam mengajar PLH dapat ditingkatkan melalui

pendidikan formal dan PLH dalam pendidikan formal tersebut. Perguruan tinggi,

khususnya perguruan tinggi bidang keguruan dan ilmu pendidikan, yang

mengintegrasikan PLH dalam kurikulumnya dapat meningkatkan kemampuan

guru untuk melakukan pemantauan dan evaluasi, meningkatkan keterampilan

mengajar PLH yang memungkinkan guru memilih metode yang sesuai untuk

materi tertentu, dan berbagai kemampuan lainnya yang dibutuhkan untuk

75

melakukan pengajaran PLH yang efektif. Hal tersebut lebih lanjut akan dapat

meningkatkan persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH.

b. Persepsi Guru tentang Manfaat PLH dan Faktor yang

Mempengaruhinya

Peubah minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat

membangun persepsi guru tentang manfaat PLH. Sebagian besar guru memiliki

persepsi positif tentang manfaat PLH, baik bagi dirinya, siswanya, maupun

lingkungannya. Persepsi yang positif tercermin dari persetujuan guru terhadap

pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan minat, kesediaan untuk

mencurahkan upaya dan energi, serta pandangan positif terhadap manfaat PLH.

Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi guru

tentang manfaat PLH diantara guru yang mengajar/mengasuh tingkat kelas

berbeda (taraf uji 10%), guru dengan berbagai pengalaman PLH non formal (taraf

uji 1%), serta guru dengan pengalaman organisasi yang kegiatannya berfokus

pada alam (taraf uji 10%).

Tingkat kelas yang saat ini diasuh oleh guru dikelompokkan dalam tiga

kategori, yaitu tingkat kelas rendah (1 – 3 SD), tingkat kelas tinggi (4 – 6 SD),

serta keduanya (tingkat kelas rendah dan tinggi). Guru yang mengajar kedua

tingkat kelas sekaligus memiliki mean skor persepsi tertinggi. Perbedaan tersebut

timbul akibat tingkat kesulitan mengajar dan respon siswa yang berbeda. Lemke

1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008 menyatakan bahwa tingkat kelas

yang diajarkan oleh guru dapat mempengaruhi upaya dan investasi yang

dicurahkan oleh guru, karena guru dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan

kisaran yang sempit ataupun lebar. Guru yang mengajar pada kedua tingkat kelas

memiliki kesempatan untuk mengajar dengan kisaran tingkat kesulitan lebar yang

memberikan pengalaman lebih beragam bagi guru dalam menghadapi siswa

dengan tingkat perkembangan berbeda. Ada tantangan lebih bagi guru untuk

dapat dengan cepat menyesuaikan pola pengajarannya terhadap tingkat kelas yang

berbeda tersebut, sehingga guru lebih merasakan manfaat pengajaran PLH bagi

perkembangan profesionalitasnya serta bisa merasakan adanya respon positif yang

nyata dari para siswa pada tingkat kelas yang lebih tinggi dibandingkan para siswa

yang masih duduk di tingkat kelas yang lebih rendah.

76

Kegiatan PLH non formal yang pernah diikuti juga memberikan perbedaan

persepsi diantara guru. Guru yang pernah mendapatkan pengalaman mengikuti

kegiatan PLH non formal berupa seminar, pelatihan dan kegiatan lainnya yang

memberikan kesempatan guru berinteraksi langsung dengan alam memiliki mean

skor persepsi yang lebih tinggi dibandingkan guru yang tidak pernah mengikuti

kegiatan PLH non formal sebelumnya, sedangkan kegiatan PLH non formal

berupa lokakarya tidak memberikan persepsi yang lebih tinggi dibandingkan tidak

adanya pengalaman PLH non formal. Lokakarya yang umumnya berupa

pendalaman atau diadakan untuk merumuskan sesuatu nampaknya tidak dapat

memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai PLH kepada guru. Kegiatan

PLH non formal dalam bentuk berbagai kegiatan yang memberikan kesempatan

bagi guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, seperti kegiatan penanaman

dan permainan di alam membuahkan guru dengan mean skor persepsi paling

tinggi diantara kegiatan PLH non formal lainnya. Kegiatan PLH non formal

untuk peningkatan kapasitas guru sebaiknya didesain agar dapat memberikan

kesempatan kepada guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, sehingga guru

dapat mengembangkan kepekaan terhadap alam dan lebih lanjut meningkatkan

persepsi guru terhadap manfaat PLH.

Peubah lainnya yang mempengaruhi persepsi guru tentang manfaat PLH

adalah pengalaman organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam. Guru yang

memiliki pengalaman organisasi dalam Pramuka memiliki mean skor persepsi

tertinggi (4,5817), diikuti pengalaman organisasi dalam Saka Wana Bakti dan

Pecinta Alam (4,5700), pengalaman organisasi lainnya (4,5700), dan terendah

adalah guru yang tidak memiliki pengalaman organisasi apapun (4,1590).

Kegiatan-kegiatan dalam organisasi tersebut memberikan kesempatan kepada

guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, sehingga meningkatkan kepekaan

guru terhadap alam. Hal tersebut membuka wawasan guru tentang manfaat PLH

bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungannya.

c. Persepsi Guru tentang Luaran Pengajaran PLH yang Diharapkan dan

Faktor yang Mempengaruhinya

Peubah Environmental Education (EE) teaching outcome expectancy/ETOE

atau luaran pengajaran PLH yang diharapkan merupakan satu-satunya peubah

77

yang membangun faktor 3, yaitu persepsi guru tentang luaran pengajaran PLH

yang diharapkan. Mean skor guru pada peubah ETOE cukup tinggi, yaitu sebesar

3,8710. Guru berpendapat bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat memberikan

respon positif dari siswa (hasil belajar tinggi). Namun demikian guru berpendapat

bahwa penyebab kegagalan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran PLH

(hasil belajar rendah) bukan hanya PLH yang tidak efektif, dan bukan sepenuhnya

tanggung jawab guru. Artinya ada faktor lain yang dipandang oleh guru menjadi

penyebab rendahnya hasil belajar siswa dalam PLH tersebut. Uji statistik dengan

menggunakan korelasi Spearman, uji Kruskal-Wallis, maupun Mann-Whitney

tidak menunjukkan adanya nilai yang secara statistik berbeda nyata, sehingga

faktor yang berpengaruh terhadap persepsi guru SD sekitar hutan tentang luaran

pengajaran PLH yang diharapkan tidak dapat ditentukan.

5.4 Upaya untuk Peningkatan Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH

PLH bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kesadaran,

pengetahuan, sikap dan keterampilan serta peran serta dalam memecahkan

permasalahan lingkungan dan mencegah timbulnya permasalahan baru. Manusia

pada dasarnya adalah makhluk yang penuh rasa ingin tahu dan minat, yang secara

alamiah senang belajar dan memiliki hasrat untuk menjadikan pengetahuan,

budaya dan nilai-nilai yang ada di sekitarnya sebagai bagian internal dari dirinya

(Niemic dan Ryan 2009). Cara guru menyampaikan PLH bisa memberikan

pengaruh positif ataupun negatif terhadap perilaku lingkungan dari anak didiknya

(Desjean-Perrotta et al. 2008). Darner (2009) merangkum dari berbagai sumber

bahwa PLH dapat berhasil meningkatkan kemauan/keinginan siswa untuk

bertindak dengan cara yang ramah lingkungan apabila dalam proses belajar-

mengajar PLH tersebut siswa dilibatkan sebagai peserta aktif. Menurut Niemic

dan Ryan (2009) dalam dunia pendidikan guru seringkali menggunakan kendali

eksternal, supervisi dan monitoring yang ketat, serta evaluasi yang dibarengi

penghargaan dan hukuman untuk memastikan siswanya belajar, yang

menyebabkan rasa senang, antusiasme dan minat belajar seringkali berubah

menjadi keresahan, kejenuhan dan rasa keterasingan, sehingga siswa tidak lagi

tertarik pada materi yang diajarkan dan guru harus menggunakan kendali

eksternal untuk memastikan terjadinya pembelajaran.

78

Ryan dan Brown (2005) diacu dalam Niemic dan Ryan (2009) menyatakan

bahwa penyebab utama guru menggunakan strategi pengajaran terkendali

dibandingkan strategi pengajaran yang mendukung otonomi siswa di kelas adalah

adanya tekanan eksternal pada guru. Pelletier et al. (2002) diacu dalam Niemic

dan Ryan (2009) menyatakan bahwa semakin besar tekanan yang dirasakan oleh

guru dari atas (misalnya, harus mengejar target kurikulum, adanya tekanan dari

standar kinerja), guru akan semakin kurang mendukung otonomi siswa dalam

pengajarannya, dan lebih mengendalikan siswanya. Padahal motivasi intrinsik

dan motivasi ekstrinsik tipe otonomi (motivasi otonomi) sangat mendukung

keterlibatan dan pembelajaran optimal siswa dalam konteks pendidikan (Niemic

dan Ryan 2009).

Roth et al. (2007) menyatakan bahwa motivasi otonomi untuk mengajar

berhubungan positif dengan motivasi otonomi siswa untuk belajar, artinya

motivasi otonomi untuk mengajar akan meningkatkan pengajaran yang

mendukung otonomi siswa sehingga meningkatkan motivasi otonomi siswa untuk

belajar yang selanjutnya akan meningkatkan respon pembelajaran siswa. Roth et

al. (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa motivasi otonomi untuk mengajar

meningkatkan pengajaran yang mendukung otonomi siswa dengan melibatkan

beberapa proses, yaitu:

1. Proses pertama melibatkan peningkatan pemahaman guru akan nilai materi

yang mereka ajarkan dan keragaman cara untuk menguasai materi tersebut.

Guru yang termotivasi secara otonomi akan mengembangkan pemahaman

yang mendalam akan manfaat dari materi yang mereka ajarkan dan metode

yang digunakan, sehingga mereka dapat memberikan penjelasan dan contoh

yang meyakinkan bagi siswa mereka mengenai nilai dan relevansi materi

tersebut dan metode pengajaran yang digunakan. Pemahaman guru tersebut

terhadap materi yang diajarkan juga akan membuat mereka memahami

berbagai faset/bagian dari materi tersebut dan berbagai cara untuk

mempelajarinya, sehingga guru dapat memberikan pilihan bagi siswa mereka.

2. Proses kedua melibatkan pemahaman guru terhadap motivasi otonomi dan

manfaatnya berdasarkan pengalaman pribadi guru. Guru yang telah

merasakan manfaat motivasi otonomi akan menginginkan siswanya juga

79

bertindak dan belajar dengan motivasi otonomi karena guru tersebut

memahami bahwa tipe motivasi tersebut akan mengarah pada pembelajaran

yang berkualitas tinggi dan meningkatkan apresiasi terhadap materi yang

mereka ajarkan dan cintai. Guru tersebut akan melakukan tindakan

pengajaran yang mendukung otonomi siswa, seperti menjelaskan relevansi

berbagai materi dengan tujuan siswa, dan mengijinkan siswa memilih

aktivitas belajar yang mereka sukai.

3. Proses ketiga melibatkan daya tahan yang lebih besar, yang dimiliki oleh guru

dengan motivasi otonomi, terhadap tekanan untuk pencapaian dan

keprihatinan akan pembentukan kesan, serta investasi lebih besar yang

dicurahkan guru dalam pembelajaran berkualitas tinggi. Guru yang lebih

termotivasi secara otonomi akan lebih bersedia untuk memberikan pilihan

bagi siswanya dan menggunakan lebih banyak waktu untuk menjelaskan

relevansi berbagai materi karena mereka tidak terlalu merasakan tekanan

untuk memberikan pencapaian formal yang cepat dan mengesankan, dan

mereka lebih berkeinginan untuk memperdalam pemahaman akan materi

yang mereka ajarkan.

Guru perlu menggunakan strategi pengajaran yang mendukung otonomi

siswa dalam belajar untuk dapat mencapai pembelajaran PLH efektif. Hal

tersebut dapat dilakukan jika guru memiliki motivasi intrinsik ataupun motivasi

otonomi (motivasi eksternal yang bersifat otonomi) dalam mengajar PLH, serta

sikap yang positif pula terhadap PLH. Motivasi intrinsik dan sikap positif

berkaitan dengan pengajaran PLH berarti bahwa guru memiliki persepsi yang

positif tentang efektivitas pengajaran PLH dan manfaat PLH baik bagi dirinya,

siswanya, maupun lingkungannya, serta luaran pengajaran PLH yang diharapkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi lingkungan

yang terbatas, sebagian besar karena guru kurang mampu mengungkapkan

gagasan/pemikiran melalui gambar dan tulisan, yang berarti bahwa kompetensi

guru rendah dalam mengungkapkan pemikiran melalui gambar dan tulisan. Guru

seharusnya memiliki kemampuan untuk mengungkapkan pemikirannya melalui

berbagai macam cara, termasuk gambar dan tulisan, sehingga guru memiliki lebih

banyak pilihan cara untuk mengungkapkan persepsi/pemikirannya mengenai

80

lingkungan dan materi terkait kepada siswanya. Hal ini lebih lanjut akan dapat

meningkatkan persepsi guru tentang kompetensi dirinya dalam mengajar PLH.

Persepsi positif tentang lingkungan yang diwujudkan dalam perilaku yang positif

akan menjadikan guru sebagai teladan yang baik bagi siswanya dalam

pembelajaran PLH.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif

terhadap penyelenggaraan PLH, namun guru juga memiliki persepsi bahwa

kompetensi dan efektivitas dirinya rendah dalam mengajar PLH. Guru seharusnya

juga memiliki persepsi yang tinggi terhadap kompetensi dan efektivitas diri dalam

mengajar PLH. Persepsi tinggi terhadap kompetensi dan efektivitas diri dalam

mengajar PLH dapat berkembang jika guru memahami dasar-dasar PLH serta cara

mengimplementasikan PLH, termasuk berbagai metode dan media yang sesuai

untuk digunakan dalam pengajaran PLH. NAAEE (2004) menyatakan bahwa

seorang tenaga pendidik lingkungan hidup seharusnya menguasai literasi

lingkungan, menguasai dasar-dasar PLH, memahami tanggung jawab profesional

seorang tenaga pendidik lingkungan hidup, mampu membuat perencanaan dan

melaksanakan PLH, dapat membantu pembelajaran, dan memiliki pengetahuan,

kemampuan dan komitmen untuk melakukan penilaian dan evaluasi.

Agar guru dapat memenuhi kriteria sebagai seorang tenaga pendidik

lingkungan hidup yang berkualitas, maka perlu dilakukan peningkatan persepsi

guru yang berarti peningkatan kapasitas guru berkaitan dengan PLH. Peningkatan

kapasitas guru dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan dalam jalur pendidikan

formal maupun non formal. Guru perlu diberikan kesempatan dan dukungan

untuk dapat meningkatkan kompetensinya melalui PLH formal di perguruan

tinggi, ataupun berbagai kegiatan PLH non formal.

Kenney et al. (2003) menguraikan bahwa ada beberapa unsur kunci yang

perlu diperhatikan agar program pelatihan/pendidikan bagi guru efektif sehingga

guru bisa mengaplikasikan hasil dari program tersebut kepada siswanya di

sekolah, antara lain:

1. Pendidikan bagi guru sebaiknya didesain secara spesifik agar sesuai dengan

karakteristik dan isu-isu lingkungan lokal, dan dapat memenuhi kurikulum

sekolah dan standar PLH yang ditetapkan.

81

2. Materi yang diberikan mencakup materi-materi mengenai lingkungan hidup

dan praktek-praktek instruksional/pengajaran yang efektif, termasuk cara

mengajar di luar kelas. Guru diberi materi mengenai berbagai strategi

pengajaran di luar kelas, seperti strategi mengendalikan perilaku siswa,

melakukan peralihan antara satu kegiatan ke kegiatan lainnya, menjaga fokus

pada tujuan pembelajaran, serta menjadi fleksibel/lentur dan kreatif pada

kondisi luar kelas yang terus menerus berubah.

3. Model pelatihan on-the-job terbukti efektif dalam membangun kepercayaan

diri guru untuk melaksanakan pengajaran PLH. Model ini memungkinkan

guru mempelajari pola pengajaran PLH yang efektif dengan mengamati

instruktur PLH berpengalaman dan kemudian mengambil alih praktek

pengajaran dengan bimbingan instruktur tersebut. Dengan demikian guru

tidak perlu meninggalkan kelas, mencurahkan waktu yang lama setelah

selesai kegiatan di sekolah, atau menggunakan waktu yang biasanya

diperuntukkan untuk membuat perencanaan kegiatan belajar mengajar di

rumah untuk mengikuti pelatihan, dan pihak administrasi sekolah juga tidak

perlu mencarikan guru pengganti untuk mengajar selama guru tersebut

mengikuti pelatihan.

4. Lokakarya untuk memperkenalkan materi dan membahas berbagai proses

terkait (misalnya, cara membantu siswa menemukan tempat untuk eksplorasi

di luar kelas) harus dilakukan terlebih dahulu sebelum guru mengikuti

kegiatan pengamatan dan praktek pengajaran.

5. Guru diakrabkan dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya dengan cara

mengajak guru mengikuti kegiatan jalan-jalan singkat secara periodik dengan

dipandu oleh instruktur berpengalaman.

Program-program pendidikan dan pelatihan yang diperuntukkan bagi guru

dengan demikian seharusnya didesain tidak hanya memasukkan materi-materi

lingkungan hidup yang spesifik sesuai lingkungan lokal guru ke dalam

kurikulumnya, namun juga materi mengenai strategi pengajaran dan metode

instruksional yang efektif untuk mengajarkan PLH, khususnya strategi pengajaran

di luar kelas, sehingga guru dapat melaksanakan pengajaran PLH secara efektif.

Program-program PLH untuk guru sebaiknya juga didesain untuk memberikan

82

kesempatan kepada guru agar dapat berinteraksi langsung dengan lingkungan

sekitar sehingga dapat meningkatkan pengalaman guru dengan hutan yang lebih

lanjut diharapkan dapat meningkatkan kepekaan guru terhadap hutan dan

permasalahannya.

Secara khusus pada sekolah sekitar hutan, peningkatan pengetahuan, sikap

dan keterampilan yang spesifik sesuai lingkungan lokal artinya meningkatkan

pengetahuan dan sikap guru mengenai hutan, konservasi hutan dan berbagai

permasalahan terkait, serta peningkatan keterampilan untuk melakukan upaya-

upaya konservasi. Sebagai contoh, guru perlu dibekali pengetahuan mengenai

cara melakukan penyelamatan terhadap satwa langka, sehingga dapat

mengarahkan siswanya untuk melakukan tindakan yang tepat jika menemukan

satwa langka yang perlu diselamatkan, seperti apa yang harus dilakukan, siapa

yang harus dihubungi, dan sebagainya.

Guru SD sekitar hutan perlu dibekali keterampilan untuk dapat

memanfaatkan kawasan hutan sebagai sarana dan media pembelajaran konservasi

hutan bagi siswanya, seperti cara menemukan lokasi yang tepat untuk

melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan topik bahasan. Guru juga

perlu dibekali keterampilan mengajar di hutan, seperti cara untuk mengendalikan

perilaku siswa di hutan, bersikap fleksibel dalam menghadapi kondisi hutan yang

selalu berubah, menjaga fokus pembelajaran pada tujuan dari topik bahasan yang

sedang dipelajari, dan sebagainya.

Kemampuan guru untuk melakukan monitoring/pemantauan dan evaluasi

terhadap kegiatan belajar mengajar (KBM) yang diasuhnya juga perlu

ditingkatkan. Evaluasi untuk materi-materi konservasi hutan mestinya tidak

hanya diarahkan pada ranah kognitif saja. Evaluasi juga perlu dilakukan untuk

melihat pencapaian ranah afektif dan psikomotorik, misalnya melalui pengamatan

perilaku siswa sehari-hari di sekolah ataupun di rumah dengan melibatkan

keluarga dan masyarakat sekitar.

Peningkatan kompetensi guru akan meningkatkan persepsi guru tentang

kompetensi dan efektivitas dirinya dalam penyelenggaraan PLH, khususnya dalam

mengajarkan berbagai materi tentang konservasi hutan. Hal tersebut akan

mengarah pada terwujudnya pola pengajaran PLH yang lebih terpusat pada siswa,

83

melibatkan siswa sebagai peserta didik yang aktif dalam kegiatan belajar

mengajar PLH di sekolah, sehingga akan terwujud pengajaran PLH yang efektif

Pada SD sekitar hutan, pengajaran PLH yang efektif, dengan fokus materi tentang

konservasi hutan, akan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa

terkait berbagai permasalahan hutan dan konservasinya, serta menanamkan sikap

dan motivasi untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan konservasi hutan sesuai

tahapan perkembangan siswa tersebut.