5 BAB 1

download 5 BAB 1

of 6

description

hhh

Transcript of 5 BAB 1

5

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Salah satu target dari Tujuan Pembangunan Millenium atau Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia, terkhusus di bidang kesehatan yaitu mendorong perbaikan kesehatan anak dan ibu melahirkan dengan cara menurunkan Angka Kematian Anak (untuk Bayi dan Balita) dan menurunkan Angka Kematian Ibu. Ukuran keberhasilan suatu pelayanan kesehatan terlihat dari adanya penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) sampai batas terendah yang dapat dicapai sesuai kondisi dan situasi tempat tersebut. Saat ini, Angka Kematian Bayi di Indonesia tercatat sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Padahal, target dari MDGs pada tahun 2015 adalah sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menargetkan yaitu 2/3 angka kematian balita dalam kurun waktu 1990 dan 2015. Target ini belum bisa tercapai seperti yang diharapkan sehingga perlu adanya upaya keras agar target tersebut bisa tercapai ( Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Sedangkan menurut laporan WHO pada tahun 2014 Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia mencapai 289.000 jiwa. Untuk negara-negara di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, AKI masih tergolong cukup tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di Indonesia, AKI mencapai 214 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan di Filipina 170 per 100.000 kelahiran hidup, Vietnam 160 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand 44 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 60 per 100.000 kelahiran hidup, dan Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup ( WHO, 2014). Di Provinsi Sumatera Selatan pun AKI masih cukup tinggi. Menurut Asisten IV Sekretaris Daerah Bidang Administrasi dan Umum, tercatat bahwa Angka Kematian Ibu tahun 2013 sebesar 146 per 100.000 jumlah kelahiran. Walaupun AKI mengalami fluktuasi atau naik turun setiap tahunnya, namun hal ini merupakan masalah yang harus segera ditindaklanjuti (Republika Online : Edisi Rabu, 12 Agustus 2015).Himpunan Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesia (HOGSI) di Palembang tahun 2009 mengungkapkan bahwa masih tingginya AKI karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang proses kehamilan sampai proses persalinan yang sehat. Salah satunya adalah ketuban pecah dini yang sebenarnya dianggap normal sesaat sebelum persalinan, namun pada kondisi tertentu dianggap patologis.Menurut Oxorn (2010) definisi dari ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) atau Premature Rupture of The Membrane (PROM) adalah ketuban yang pecah spontan 1 jam atau lebih sebelum dimulainya persalinan. Definisi lain menurut Prawirohardjo (2013), ketuban pecah dini adalah selaput ketuban yang pecah pada saat sebelum permulaan persalinan tanpa memandang apakah pecahnya selaput ketuban terjadi pada kehamilan 24 minggu atau 44 minggu. Adapun definisi lain yang dikemukakan oleh Mochtar (2013) ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm.Di dalam bukunya, Mochtar (2013) menyebutkan bahwa insiden terjadinya ketuban pecah dini di Indonesia berkisar dari 4,5 % - 7,6 % dari seluruh kehamilan, sedangkan di luar negeri insiden terjadinya KPD adalah antara 6 % sampai 12 %. Penelitian yang dilakukan Eastman (dalam Mochtar,2013) menyebutkan bahwa insiden terjadinya KPD mencapai 12 % dari semua kehamilan. Walaupun etiologi atau penyebab terjadinya KPD masih belum jelas, tapi KPD tergolong dalam kasus kedaruratan obstetrik karena dapat mempengaruhi mortalitas dan morbiditas baik ibu maupun janin. Pada kebanyakan kasus masalah infeksi pada ibu tidak serius dan segera bisa diatasi dengan pemberian antibiotik serta pengosongan rahim (Oxorn, 2013). Namun pada bayi yang baru lahir komplikasi yang paling utama terjadi dengan ibu yang mengalami pecah ketuban sebelum waktunya adalah infeksi, sehingga dapat dikatakan bahwa angka mortalitas dan morbiditas pada bayi lebih tinggi dibandingkan angka mortalitas dan morbiditas ibu. Kematian pada bayi yang baru lahir ini, selain karena infeksi yang meningkat karena partus lama, partus tidak maju, dan partus buatan, juga bisa disebabkan karena kematian akibat kurang bulan (Smith Joseph & Bruce Elizabeth, 2001-2002). Menurut Departement Kesehatan Republik Indonesia, faktor lain yang menyebabkan masih tingginya AKB adalah pertumbuhan janin yang lambat (23,53%), kurangnya oksigen dalam rahim/ hipoksia intrauterin (21,24%), dan kegagalan bernafas secara spontan dan teratur pada saat lahir/ asfiksia neonatorum (29,23%) dan masalah kesehatan lainnya selama periode perinatal (Depkes RI, 2010).Selain karena infeksi, ketuban pecah dini bisa terjadi karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau bisa juga keduanya. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh infeksi yang berasal dari vagina dan serviks ( Prawirohardjo, 2013). Ketuban pecah dini erat kaitannya dengan periode laten. Menurut Oxorn (2010) periode laten adalah jarak antara waktu pecahnya ketuban dengan waktu terjadinya persalinan. Periode laten yang terlalu jauh dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi yang pada bayi baru lahir akan mempengaruhi nilai Apgar-nya. Insiden naik secara bermakna setelah periode laten melebihi dari 48 jam. Hal ini juga berhubungan dengan umur kehamilan yang menurut Mochtar (2013) bahwa makin muda umur kehamilan maka makin memanjang periode latennya. Sedangkan lama persalinan pada umur kehamilan muda, akan lebih pendek dari biasanya, yaitu pada primi 10 jam dan multi 6 jam.Selain etiologinya yang belum jelas, tatalaksana pada ketuban pecah dini juga masih diperdebatkan dikalangan para ahli. Hal ini menyebabkan preventif atau pencegahan pada kasus ketuban pecah dini juga belum jelas terkecuali dalam usaha menekan infeksi yang terjadi ( Mochtar, 2013). Ketuban pecah dini adalah satu faktor penyebab terjadinya asfiksia pada bayi yang baru lahir atau istilah lainnya disebut asfiksia neonatorum. Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana fetus atau bayi baru lahir mengalami gangguan oksigen atau gangguan perfusi dari berbagai organ yang berhubungan dengan hipoksia jaringan dan asidosis. Semakin lama terjadinya KPD maka semakin besar insiden terjadinya infeksi pada neonatus sehingga setelah persalinan, juga akan beresiko terjadinya asfiksia pada bayi yang dilahirkan (Akbar dkk, 2004). Nilai Apgar adalah nilai yang digunakan untuk mengukur keadaan bayi yang baru lahir termasuk juga untuk mengukur derajat asfiksia pada neonatus. Nilai Apgar pada menit pertama menunjukkan toleransi bayi terhadap proses kelahirannya dan menit kelima menunjukkan adaptasi bayi terhadap lingkungan barunya (Mary, 2006). Nilai Apgar juga dipakai untuk melihat keadaan bayi pada usia 1 menit dan 5 menit, tetapi tidak dipakai untuk menentukan apakah bayi baru lahir perlu resusitasi atau tidak. Nilai Apgar pada menit ke-5 dapat digunakan untuk menentukan prognosis ( Buku Ajar Neonatologi IDAI, 2014).Masih cukup tinggi angka kejadian ketuban pecah dini dan adanya penelitian yang menyatakan bahwa ada pengaruh periode laten pasien ketuban pecah dini terhadap nilai Apgar bayi karena periode laten yang terlalu jauh dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi yang pada bayi baru lahir, menjadi latar belakang penelitian ini sehingga membuat peneliti ingin meneliti lebih dalam tentang perbandingan nilai Apgar bayi lahir aterm berdasarkan lama periode laten pada ibu dengan ketuban pecah dini di RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang periode Januari - Desember 2014.

1.2 Rumusan masalahBerdasarkan uraian latar belakang, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :Apakah ada perbedaan nilai Apgar bayi lahir aterm berdasarkan lama periode laten pada ibu dengan ketuban pecah dini di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode Januari Desember 2014?

1.3 Tujuan penelitian1.3.1 Tujuan umumUntuk mengetahui adakah perbedaan nilai Apgar bayi lahir aterm berdasarkan lama periode laten pada ibu dengan ketuban pecah dini di RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang periode Januari Desember 2014.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis adakah pengaruh periode laten ketuban pecah dini terhadap nilai Apgar bayi lahir aterm.2. Menganalisis adakah pengaruh jumlah gravida, jumlah paritas, dan berat badan lahir bayi terhadap ketuban pecah dini dan nilai apgar bayi.3. Mengetahui insiden ibu hamil aterm yang bersalin dengan riwayat ketuban pecah dini di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode Januari Desember 2014.4. Mengetahui variasi nilai Apgar bayi lahir aterm pada ibu dengan riwayat ketuban pecah dini di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode Januari Desember 2014.5. Mengetahui variasi berapa lama periode laten pada ibu hamil aterm dengan riwayat ketuban pecah dini di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode Januari Desember 2014.

1.4 Hipotesis1.4.1 H0: Tidak ada perbedaan nilai Apgar bayi lahir aterm berdasarkan lama periode laten pada ibu dengan ketuban pecah dini.1.4.2 H1: Ada perbedaan nilai Apgar bayi lahir aterm berdasarkan lama periode laten pada ibu dengan ketuban pecah dini.

1.5 Manfaat penelitian1.5.1 Manfaat akademisMeningkatkan wawasan dan pemahaman penulis serta pembaca mengenai perbedaan nilai Apgar bayi lahir aterm berdasarkan lama periode laten pada ibu dengan ketuban pecah dini di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode Januari Desember 2014.

1.5.2 Manfaat terapan1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi manajemen rumah sakit.2. Sebagai informasi awal bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Obstetri dan Ginekologi dan bagi institusi pendidikan.3. Sebagai referensi atau acuan peneliti lainnya untuk melakukan penelitian selanjutnya.