4.Persepsi.docx
-
Upload
mona-ivana-pintubatu -
Category
Documents
-
view
12 -
download
0
description
Transcript of 4.Persepsi.docx
PENDAHULUAN
Persepsi sosial dalam arti mengenali dan mengerti orang lain,
merupakan aktivitas yang sangat kompleks karena orang lain juga
merupakan sesuatu yang kompleks. Tidak mudah mengenali orang lain
karena selain karakteristik yang dimiliki setiap orang sangat banyak, orang
juga tidak selalu menampilkan diri apa adanya dan bisa jadi
menyembunyikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Namun,
meskipun persepsi sosial merupakan tugas yang sangat kompleks kegiatan
ini merupakan hal yang perlu dan harus kita lakukan karena peran orang
lain sangat penting dalam hidup kita. Di mana pun kita berada, kita selalu
berada bersama orang lain. Dunia manusia adalah dunia bersama dan
untuk hidup di situ kita harus juga berhubungan erat serta mengerti orang
lain.
Persepsi sosial juga berhubungan erat dengan kesehatan mental.
Kesehatan mental salah satunya ditandai oleh fungsi sosial dari individu.
Fungsi sosial mensyarakatkan kemampuan untuk mengenali keadaan
emosional diri sendiri dan orang lain, sehingga diperlukan juga
kemampuan menganalisis ekspresi wajah. Sangat rendahnya kemampuan
mengenali keadaan emosi melalui ekspresi wajah merupakan karakteristik
utama pada penderita skizofrenia (Baudouin & Nicolas Franck, 2008).
Defisit kemampuan kita itu tampak ketika perasaan dikomunikasikan baik
Damelalui ekspresi wajah maupun melalui modalitas lainnya.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Persepsi Sosial
Dalam psikologi, persepsi secara umum merupakan proses
pemerolehan, penafsiran, pemiliihan dan pengaturan informasi indrawi.
Persepsi sosial dapat diartikan sebagai proses perolehan, penafsiran,
pemilihan dan pengaturan informasi indrawi tentang orang lain. Apa yang
diperoleh, ditafsirkan, dipilih dan diatur adalah informasi indrawi dari
lingkungan sosial serta yang menjadi fokusnya adalah orang lain.
Secara umum, persepsi sosial adalah aktivitas memersepsikan
orang lain dan apa yang membuat mereka dikenali. Melalui persepsi
sosial, kita berusaha mencari tahu dan mengerti orang lain. Sebagai bidang
kajian, persepsi sosial adalah studi terhadap bagaimana orang membentuk
kesan dan membuat kesimpulan tentang orang lain (Teiford, 2008). Teori-
teori dan penelitian sosial berurusan dengan kodrat, penyebab-penyebab
dan konsekuensi dari persepsi terhadap satuan-satuan sosial, seperti diri
sendiri, individu lain, kategori-kategori sosial dan kumpulan atau
kelompok tentang seseorang tergabung atau kelompok lainnya. Persepsi
sosial juga merujuk pada bagaimana orang mengerti dan
mengategorisasikan dunia. Seperti persepsi lainnya, persepsi sosial
merupakan sebuah konstruksi. Sebagai hasil konstruksi, pengetahuan dan
pemahaman yang diperoleh dari persepsi sosial tidak selalu sesuai dengan
kenyataan.
Dengan persepsi sosial kita berusaha
Mengetahui apa yang dipikirkan, dipercaya, dirasakan, dikehendaki
dan didambakan orang lain
Membaca apa yang ada di dalam diri orang lain berdasarkan
ekspresi wajah, tekanan suara, gerak-gerik tubuh, kata-kata dan
tingkah laku mereka
Menyesuaikan tindakan sendiri dengan keberadaan orang lain
berdasarkan pengetahuan dan pembacaan terhadap orang tersebut.
2. Persepsi Sosial Sebagai Proses
Persepsi sosial merupakan proses yang berlangsung pada diri kita
untuk mengetahui dan mengevaluasi orang lain. Dengan proses ini, kita
membentuk kesan tentang orang lain. Kesan yang kita bentuk didasarkan
pada informasi yang tersedia di lingkungan, sikap kita terdahulu tentang
rangsang-rangsang yang relevan dan mood kita saat ini. Manusia
cenderung beroperasi di bawah bias-bias tertentu keitka membentuk kesan
tentang orang lain. Contohnya, ketika cenderung berpersepsi bahwa orang
yang berpakaian rapi sebagai orang baik (baik hati, dermawan atau
menyenangkan) daripada orang yang pakaiannya berantakan.
Dalam psikologi sosial, kecenderungan menilai baik orang lain dari
penampilannya terdahulu yang dianggap baik disebut dengan efek halo. Di
ini lain, kita juga bisa menilai orang yang berpakaian tidak rapi,
mempunyai rambut gondrong dan acak-acakan, serta cara bicara yang apa
adanya sebagai orang yang tidak baik, sembarangan, atau tidak
berpendidikan. Apa yang ditampilkan orang lain secara fisik
mempengaruhi cara kita menilai aspek psikologisnya.
Proses persepsi sosial dimulai dari pengenalan terhadap tanda-
tanda nonverbal atau tingkah laku nonverbal yang ditampilkan orang lain.
Tanda-tanda nonverbal ini merupakan informasi yang dijadikan bahan
untuk mengenali dan mengerti orang lain secara lebih jauh. Dari
informasi-informasi nonverbal, kita membuat penyimpulan-penyimpulan
tentang apa kira-kira yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain.
Kemudian, ungkapan-ungkapan verbal melengkapi penyimpulan-
penyimpulan dari tanda-tanda nonverbal.
Dengan menggunakan informasi-informasi dari tingkah laku
nonverbal dan verbal, kita membentuk kesan-kesan tentang orang lain.
Kita bisa mendapatkan kesan apakah orang lain yang kita temui ramah,
baik hati, judes, pelit, pemarah, pintar, dan sebagainya. Kesan-kesan itu
tidak bisa kita kenali secara sendiri-sendiri, melainkan kita perbandingkan
satu sama lain untuk mendapatkan kesan yang lebih menyeluruh tentang
orang lain. Asch (1946) menunjukkan bahwa orang melakukan persepsi
terhadap sifat-sifat dalam hubungannya satu sama lain sehingga sifat-sifat
itu dipahami sebagai bagian yang terintegrasi dengan kepribadian orang-
orang yang memilikinya. Sekali kita membentuk kesan tentang orang lain,
kita cenderung tidak suka mengubahnya bahkan jika kita menenukan fakta
yang bertentangan dengan kesan itu.
Pembentukan kesan didasari oleh kegiatan atribusi. Dalam proses
persepsi sosial, atribusi merupakan langkah awal dari pembentukan kesan.
Istilah atribusi secara umum merujuk pada proses mengenai penyebab dari
tingkah laku orang lain dan sekaligus memperoleh pengetahuan tentang
sifat-sifat serta disposisi yang menetap pada orang lain (lihat di antaranya
Heider, 1958; Jones & Davis, 1965; Kelley 1972; Graham & Folkes, 1990;
Read & Miller, 1998).
3. Tingkah Laku dan Komunikasi Nonverbal
Ketika kita ingin mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain,
kita berusaha menemukan informasi-informasi tentang orang lain. Bisa saja kita
bertanya kepada orang lain tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Akan
tetapi, cara initidak selalu memberikan hasil yang tepat. Orang bisa saja
mengatakan sesuatu yang berbeda, bahkan bertentangan dari yang dialaminya.
Apalagi jika orang lain itu adalah orang yang baru kita kenal. Orang-orang
cenderung tidak menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain yang
baru dikenalnya. Mereka bahkan berusaha menutupi atau membantah informasi
tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya, terutama pada saat mereka merasa
emosi negatif. Usaha untuk menutupi dan menyembunyikan perikiran dan
perasaan juga dilakukan pada orang-orang yang melakukan kejahatan. Usaha
untuk menyembunyikan apa yang dipikirkan dan dirasakan hampir selalu
ditampilkan orang-orang yang sedang melakukan negosiasi, juga pada orang yang
sedang berjudi. Kita tidak dapat mengandalkan informasi verbal mereka untuk
mengetahui serta mengerti apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Apa yang
mereka katakan, tidak jarang bertolak belakang dengan apa yang mereka pikirkan
dan rasakan.
Dalam keadaan seperti itu, untuk memahami orang lain kita
mengendalkan informasi yang ditampilkan oleh penampilan fisik mereka;
kita mencoba mengenali mereka melalu tingkah laku nonverbal mereka,
seperti perubahan ekspresi wajah, kontak mata, postur tubuh dan gerakan
badan. Tingkah laku nonverbal dapat membantu kita untuk mencapai
beragam tujuan (Patterson, 1983), sebagai berikut.
a. Tingkah laku nonverbal menyediakan informasi tentang perasaan
dan niat secara ajek. Contohnya, emosi sedih yang dialami
seseorang dapat dikenali dari ekspresi wajanya meskipun orang itu
menyatakan ia tidak sedang sedih
b. Tingkah laku nonverbal dapat digunakan untuk mengatur dan
mengelola interaksi. Sebagai contoh, dalam kegitan diskusi,
ekspresi wajah atau seseorang yang mengangkat tangan dapat
menjadi tanda bahwa orang itu hendak ikut berbicara dalam diskusi
sehingga peserta diskusi lainnya dapat member kesepatan padanya.
c. Tingkah laku nonverbal dapat digunakan untuk menangkap
keintiman, misalnya melalui sentuhan, rangkulan dan tatapan mata.
d. Tingkah laku nonverbal dapat digunakan untuk menegakkan
dominasi atau kendali, seperti kita kenal dalam ancaman nonverbal
seperti mata melotot, rahang yang dikatupkan rapat-rapat dan
gerakan-gerakan yang diasosiasikan sebagai tindakan agresif
tertentu.
e. Tingkah laku nonverbal dapat digunakan untuk menfasilitasi
pencapaian tujuan, dengan menunjuk, member tanda pujian dengan
mengangkat jempol dan menampilkan senyum sebagai tanda
memberi dukungan positif.
Dari penampilan fisik tersebut, kita mengenai tanda-tanda
nonverbal untuk mencari tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan orang
lain. Di sisi lain, orang lain juga mencoba mengenali kita melalui tingkah
laku nonverbal. Aktivitas saling mengenali melalui tingkah laku nonverbal
itu disebut sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal
didefinisikan sebagai cara orang berkomunikasi tanpa kata-kata, baik
secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam komunikasi nonverbal kita
mencermati:
Ekspresi wajah
Kontak mata
Sentuhan
Postur
Gesture (gerakan-gerakan tubuh)
Tingkah laku nonverbal digunakan untuk mengungkapkan emosi,
menunjukkan sikap, mengomunikasikan sifat-sifat kepribadian, dan
menfasilitasi atau memperbaiki komunikasi verbal.
Dalam keseharian sehari-hari, kita sering melakukan komukikasi
nonverbal. Contohnya, saat melewati rumah tetangga dan orangnya sedang
duduk diteras depan, kita tersenyum kepadanya dan ia juga membalas
senyum. Di situ kita telah melakukan komunikasi nonverbal dengan
tetangga kita. Orang juga sering menggunakan komunikasi nonverbal pada
saat tertarik kepada lawan lain untuk menunjukkan kekaguman atau
kepedulian merupakan tanda-tanda nonverbal yang sering digunakan
dalam komunikasi non verbal.
Penelitian-penelitian tentang tingkah laku dan komunikasi
nonverbal banyak dilakukan oleh psikolog sosial (diantaranya Ekman &
Frieson, 1974; Izard, 1991; Keltner, 1995; Forest & Fieldman, 2000;
Neumann & Strack, 2000; DePaulo et al, 2003). Dari penelitian-penelitian
itu diperoleh pemahaman bahwa tanda-tanda nonverbal yang ditampilkan
orang lain dapat mempengaruhi perasaan kita, bahkan ketika kita tidak
member perhatian kepada hal itu secara sadar: Pengaruh tanda-tanda
nonverbal bekerja meskipun kita tidak memfokuskan atau memikirkannya.
Contohnya, ketika kita tiba-tiba bertemu dengan seseorang yang
menampilkan ekspresi wajah marah dan tekanan suara yang tinggi, ktia
bisa dengan tiba-tiba juga menampilkan ekspresi wajah marah atau kesal
dan tekanan suara kita pun meninggi. Kita bisa juga menjadi takut jika
orang lain itu adalah atasan kita. Dari contoh ini dapat dikatakan bahwa
tanda-tanda nonverbal memiliki efek penularan emosional. Neumann dan
Strack (2000) menunjukkan terjadinya penularan emosional itu melalui
penelitiannya. Mereka menemukan bahwa ketika orang mendengarkan
orang lain membaca pidato, tekanan suara orang yang membaca itu
(senang, netral, atau sedih) dapat mempengaruhi mood atau suasana hati si
pendengar meskipun si pendengar berkonsentrasi pada isi dari pidato yang
dibacakan. Penularan emosional adalah sebuah mekanisme transfer
perasaan yang seakan-akan berlangsung secara otomatis dari satu orang ke
orang lain.
Saluran Komunikasi Nonverbal
Ketika orang mengalami perasaan tertentu, apa yang mereka
rasakan terlihat dalam tingkah laku nonverbal mereka. Secara sadar atau
tidak sadar, mereka menyalurkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan
melalui bagian-bagian tubuh tertentu. Pada bagian-bagian tubuh itu,
aktivitas nonverbal berlangsung dengan memanfaatkan fungsi-fungsi
bagian tubuh itu masing-masing. Aktivitas-aktivitas nonverbal pada
bagian-bagian tubuh itu disebut saluran-saluran nonverbal karena
semuanya menyalurkan tanda-tanda nonverbal yang dapat menjadi
petunjuk tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan orang. Penelitian-
penelitian tentang komunikasi nonverbal menemukan ada lima saluran
komunikasi nonverbal : ekspresi wajah, kontak mata, gerakan badan,
postur dan sentuhan
Ekspresi Wajah sebagai Tanda dari Emosi Orang Lain
Melalui ekspresi wajah, kita dapat mengenali dan mengerti emosi
orang lain. Penelitian-penelitian tentang hubungan antara ekspresi wajah
dengan emosi menunjukkan bahwa ada lima emosi dasar yang jelas
diwakili oleh ekspresi wajah (Izard,1991; Rozin, Lowey & Ebert 19994)
yaitu marah, takut, bahagia, kaget, jijik. Ekspresi wajah selain
mengungkapkan emosi secara sendiri-sendiri, juga dapat mengungkapkan
kobinasi emosi, seperti marah bercampur kaget dan sedih bercampur takut.
Persoalan tentang apakah ekspresi wajah sebagai cerminan emosi
berlaku secara universal, banyak dikaji oleh para ahli komunikasi
nonverbal. Riset-riset awal tentang ekspresi emosi memberikan hasil yang
memperkuat pernyataan bahwa ekspresi wajah tidak universal (di
antaranya Ruseel 1994; Carol & Russel, 1996). Perbedaan budaya ikut
berperan dalam menentukan ekspresi wajah sperti apa yang ditampilkan
pada situasi emosional tertentu (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).
Kontak Mata sebagai tanda Nonverbal
“Mata adalah jendela jiwa”. Pernyataan dari penyair kuni ini
mendapat penguatan dari penelitian-penelitian tentang hubungan antara
kontak mata dan tatapan sebagai tanda-tanda nonverbal dengan keadaan
emosional. Kontak mata menyediakan informasi sosial dan emosional
(Zimbardo, 1977; Kleinke, 1986). Orang secara sadar atau tidak sadar
sering melakukan aktivitas yang melibatkan kontak mata. Contoh, pada
saat orang ingin mengetahui apakah suasana hati orang lain yang sedang
ditemuinya bervalensi negatif atau positif, orang melihat kepada mata
orang lain itu.
Dalam beberapa konteks, pertemuan dua mata membangkitakan
emosi kuat. Di beberapa bagian dunia, khususnya di Asia, kontak mata
dapat menimbulkan kesalahpahaman antara orang dari suku atau
kebangsaan yang berbeda. Mempertahankan kontak mata dengan
supervaisor di perusahaan atau dengan orang yang lebih tua dapat
membuat kita dianggap kasar, tidak sopan, dan agresif. Hal ini berbeda
dengan masyarakat barat.
Untuk masyarakat barat, pada level yang tinggi, kontak mata
mencerminkan persahabatan dan rasa suka. Kontak mata merupakan
unsur penting dalam penjajakan hubungan intim dan percintaan. Kontak
mata yang lama juga menjadi tanda dari ketertarikan dan keinginan
mengenal lebih jauh.
Gerak-gerik, Gerakan Badan, dan Postur
Tubuh kita merupakan salah satu alat untuk mengekspresikan
perasaan kita. Umumnya orang menampilkan gerakan yang berbeda pada
saat marah, kesal, senang, dan sedih. Posisi tubuh berubah, gerakan
berubah baik dari bentuk maupun kecepatannya. Gerakan badan
mencerminkan keadaan emosionalnya. Sebagai salah satu saluran
komunikasi nonverbal, gerakan badan memberikan kita tanda-tanda
nonverbal sehingga kita dapat mengenali dan mengartikan keadaan
emosional orang lain. Perpaduan posisi tubuh, gerakan badan, dan postur
biasa disebut juga bahasa tubuh (body language).
Bahasa tubuh dapat menunjukkan kepada kita keadaan emosional
orang lain. Banyaknya gerakan yang dilakukan orang dapat memberi kita
petunjuk tentang keadaan terangsang yang sedang dialami orang tersebut.
Gerakan dalam jumlah besar dan berulang-ulang yang ditampilkan
seseorang menunjukkan orang itu dalam keadaan terangsang. Semakin
besar frekuensi gerakan, semakin tinggi pula tingkat keterangsangan yang
dialami. Gerakan-gerakan kecil (gesture) yang berulang-ulang dapat
mencerminkan perasaan cemas dari orang yang melakukannya.
Aronoff, Woike, & Hyman mengatakan bahwa gerakan besar yang
melibatkan seluruh tubuh dapat juga menjelasakan perasaan orang yang
menampilkannya. Gerakan semacam itu dapat menunjukkan perasaan
terancam, keterbukaan, keinginan untuk menantang, rasa hormat, kagum,
dan sebagainnya. Sebagai contoh, seseorang yang mengerutkan dahi ketika
sedang kebingungan.
Gestur dapat memberikan informasi yang lebih banyak tentang
perasaan orang lain. Salah satu yang terpenting dari gestur adalah emblem,
yaitu gerakan tubuh yang membawa makna khusus dalam budaya tertentu.
Contoh, di budaya tertentu gerakan meloncat setelah mencapai
keberhasilan dianggap sebagai cara yang baik untuk menampilkan
kegembiraan, sedangkan pada budaya lain gerakan seperti itu bisa saja
dianggap ungkapan dari kesombongan.
Gestur tertentu memiliki makna yang berbeda untuk perempuan dan
laki-laki (Schubert, 2004). Untuk laki-laki, gestur yang menunjukkan
kekuatan seperti menghentakkan kedua tangan yang mengepal merupakan
ungkapan kekuatan sedangkan untuk perempuan mengungkapkan perasan
lemah atau panik.
Sentuhan
Pemahaman terhadap apa yang hendak diungkapkan melalui
sentuhan bergantung pada beberapa faktor, yaitu: (1) siapa yang
menampilkan sentuhan (keluarga,teman,orang asing,orang sesame jenis
kelamin, atau berbeda jenis kelamin); (2) jenis kontak fisik (lama atau
sebentar, lembut atau kasar, bagian tubuh mana yang disentuh); dan (3)
konteks yang ada pada saat sentuhan ditampilkan )situasi bisnis,situasi
social,atau ruang praktik dokter).
Pengenalan serta pemahaman terhadap pikiran dan perasaan orang lain
melalui sentuhan merupakan kegiatan yang sangat kompleks.Namun, dalam
beberapa budaya, jeni-jenis sentuhan tertentu secara konvensional dipahami
sebagai ekspresi dari pikiran dan perasaan tertentu. Pada masyarakat Barat,
sentuhan sering kali menghasilkan reaksi positif pada orang yang
disentuh(Alagna, Whitcher, & Fisher, 1979; Smith, Gier, & Willis, 1982).
Sedangkan pada masyarakat lain, reaksi terhadap sentuhan bisa berbeda.
Bentuk sentuhan yang umum di berbagai budaya ketika bertemu dengan
orang lain adalah berjabat tangan. Dari informasi tentang bagaimana orang
berjabat tangan, ada banyak pengetahuan yang kita dapat tentang orang lain.
Bahkan kita dapat mengetahui kepribadian orang dari caranya berjabat tangan.
Jabat tangan yang mantap merupakan cara jabat tangan yang baik untuk
memeberikan kesan positif terhadap orang lain (Chaplin. Et al, 2000). Semakin
mantap dan lama jabat tangan dilakukan, semakin kuat kesan positif yang
dihasilkan.
Komunikasi Nonverbal melalui Multi-saluran
Dalam interaksi sehari-hari, kita biasanya menerima informasi dari
beragam saluran dalam waktu bersamaan.Archer dan Arkert (1991) menunjukkan
bahwa orang mampu menafsirkan tanda-tanda yang ditampilkan melalui beragam
saluran komunikasi nonverbal dengan cukup tepat, dengan memanfaatkan
berbagai tanda meski ada perbedaan pada beberapa tipe orang. Misalnya, orang
ekstrovert lebih baik kemampuannya daripada yang introvert.
Perbandingan antara informasi dari saluran-saluran informasi yang
berbeda dapat meningkatkan ketepatan penafsiran terhadap tingkah laku
nonverbal. Dengan mencermati bergam tanda dari beragam saluran komunikasi
nonverbal, dapat diperoleh pengenalan dan pemahaman yang lebih komprehensif
tentang apa yag dirasakan orang lain.
A.ATRIBUSI: MEMAHAMI SEBAB-SEBAB DARI TINGKAH LAKU
ORANG LAIN
Atribusi adalah proses dimana kita mencoba untuk menafsirkan sebab-
sebab dari mengapa sebuah fenomena menampilkan gejala-gejala tertentu.
Terdapat beberapa teori atribusi, yaitu:
1. Teori Atribusi dari Heider
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Heider (1925). Dalam
tradisi fenomologi, pertanyaan yang dilakukan adalah bagaimana kita melakukan
kontak dengan dunia nyata jika pikiran kita hanya memiliki data indrawi (kesan
dan pengalaman). Psikologi gestalt mencoba untuk mengenali prinsip-prinsip
yang mengatur bagaimna pemikiran membuat penyimpulan tentang dunia dari
data indrawi. Heider bertanya, bagaimana kita “mengatribusi data-data indrawi
kepada objek-objek tertentu di dunia”. Atribusi dihubungkan kembali kapada
sumber asalnya.
Heider percaya bahwa orang seperti ilmuwan amatir, berusaha unruk
mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan
informasi-informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal
tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu.
Menurut Heider, ada dua sumbert atribusi tingkah laku, yaitu: atribusi
internal atau disposisional dan atribusi eksternal atau lingkungan. Pada atribusi
internal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh sifat-
sifat atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului tingkah laku). Pada atribusi
esternal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh situasi
tempat orang itu berada.
2. Teori Atribusi dari Kelley
Menurut Kelley, untuk menjadikan tingkah laku konsisten orang membuat
atribusi personal ketika konsensus dan kekhususan rendah. Sedangkan pada saat
konsensus dan kekhususan, orang membuat atribusi stimulus. Jadi, atribusi
dipengaruhi oleh faktor-faktor dari interaksi orang dengan situasi yang
dihadapinya, bukan pada faktor intensional.
Konsensus didefinisikan sebagai sejauh mana orang lain bereaksi terhadap
beberapa stimulus atau kejadian dengan cara yang sama dengan orang yang
sedang kita nilai. Sedangkan, kekhususan adalah sejauh mana seseorang
merespons dengan cara yang sama dengan stimulus atau kejadian yang berbeda.
Istilah yang juga penting konsistensi yang didefinisikan sebagai sejauh mana
seseorang merespons stimulus atau situasi dengan cara yang sama dalam berbagai
peristiwa. Konsistensi juga merupakan faktor penting dalam menentukan apakah
atribusi yang dihasilkan melibatkan faktor personal atau stimulus.
Dimensi Lain dari Atribusi Kausal
Selain ingin mengetahui apakah tingkah laku orang lain disebabkan oleh
faktor internal atau eksternal, kita juga biasanya ingin mengetahui apakah faktor
penyebab yang mememengaruhi tingkah laku itu menetap atau hanya sementara
dan apakah faktor-faktor itu dikendalikan atau tidak (Weiner, 1993 , 1995).
Dimensi atribusi kausal ini terlepas dari dimensi internal-eksternal. Ada faktor
penyebab internal yang stabil serta tidak berubah seiring waktu dan ruang, seperti
sifat kepribadian dan tempramen (Miles, & Carey, 1997). Di sisi lain, ada faktor
penyebab internal yang berubah-ubah seperti motif, kesehatan, kelelahan, dan
suasana hati. Hal serupa juga berlaku pada faktor-faktor penyebab eksternal.
Norma social serta kondisi geografis merupakan contoh factor penyebab eksternal
yang menetap, sedangkan nasib baik dan tutntutan orang lain merupakan contoh
penyebab eksternal yang berubah-ubah.
Kita dapat melakukan atribusi dengan menggunakan baragam penyebab
potensial yang berbeda. Contoh berikut ini dapat menunjukkan kepada kita
tentang hal tersebut. Ketika kita bertemu dengan seorang teman yang memuji kita
penampilan kita, kita merasa senang dan menilai usaha kita memilih baju tadi pagi
tidak sia-sia. Kita juga bisa menilai bahwa teman tersebut memiliki selera yang
relatif sama dengan kita. Akan tetapi, setelah bercakap-cakap beberapa saat,
teman kita mengajukan permintaan permohonan untuk mengerjakan sebuah
pekerjaan yang tidak mudah. Permintaannya itu membuat kta mempertanyakan
lagi mengapa ia memuji penampilan kita. Kita bisa saja berpikir, ’jangan-jangan,
ia memuji karena mau mengambil hati supaya saya mau membantunya?’ Namun
terlepas dari keinginannya meminta bantuan mungkin juga dia sungguh-sungguh
ingin memuji penampilan kita. Ada dua hal yang mungkin menjadi penyebab dari
tingkah laku teman kita tersebut. Kita bisa saja terlibat discounting, yaitu kita
menilai penyebab pertama bahwa ia punya selera yang relatif sama dan berbaik
hati memuji kita menjadi kurang penting atau meruapakan efek dari penyebab
lain, yaitu meminta bantuan kita. Banyak penelitian tentang gejala hal ini
menunjukkan bahwa discounting merupakan hal yang cukup umum terjadi
memberikan pengaruh yang besar terhadap atribusi kita dalam berbagai situasi.
Kita bayangkan kemungkinan kejadian lain. Jika teman kita yang
memeberikan pujian itu adalah orang yang setahu kita tidak pernah atau jarang
sekali memuji penampilan orang lain, maka kita bisa jadi menilai tingkah laku
memujinya itu sebagai tindakan yang tulus. Permintaan bantuannya mungkin
memang sudah sejak awal diniatkan untuk disampaikan kepada kita, tetapi hal
tersebut disampaikan belakangan karena ia sungguh-sungguh tergugah oleh
penampilan kita. Psikolog social menyebut gejala seperti ini sebagai augmenting,
yaitu kecenderungan untuk menambahkan bobot atau sifat penting terhadap
sebuah faktor yang mungkin memfasilitasi tingkah laku yang ditampilam ketika
bersamaan. Dengan pertimbangan bahwa tingkah laku itu tetap ditampilkan, kita
menilai bahwa faktor yang memfasilitasi tingkah laku itu jauh lebuh besar
pengaruhnya daripada factor yang menghambatnya.
TEORI KEPRIBADIAN TERSIRAT (IMPLICIT PERSONALITY
THEORIES)
Dari pendekatan kognisi sosial, penjelasan tentang bagaimana kita
mengenali dan mengerti orang lain dapat diperoleh dalam konsep tentang teori
kepribadian tersirat (implicit personality theory), yaitu sebuah jenis skema yang
digunakan orang untuk mengelompokkan beragam jenis sifat-sifat kepribadian.
Orang menggunakan teori itu untuk membentuk kesan tentang orang lain dalam
waktu cepat.
Menurut Rosenberg dan Sedlack, (1972), banyak orang berbagi teori
kepribadian tersirat dalam sebuah budaya. Hoffman (1986) menemukan bahwa
partisipan yang berbahasa bilingual Cina-Inggris membentuk penafsiran berbeda
terhadap orang yang sama, bergantung pada apakah mereka membaca deskripsi
dalam Bahasa Inggris atau Bahasa Cina. Dengan deskripsi berbahasa Inggris,
kesan artistik dibangkitkan, sedang dengan deskripsi berbahasa Cina, sebuah
kesan tentang Shi Gu (nama kota) dibangkitkan. Isi deskripsinya sama, hanya
bahasa yang digunakan berbeda. Bahasa sebagai perwujudan dari budaya
memberikan keramgka penafsiran terhadap objek-objek di dunia, juga penafsiran
terhadap orang lain.
Dalam membentuk kesan, kita dapat menggunakan jalan-pintas mental.
Ketika tingkah laku seseorang tampak ambigu, tidak jelas teori atau sifat apa yang
akan kita gunakan untuk memersepsikan orang tersebut. Dalam keadaan tersebut,
kesan bisa jadi ditentukan oleh seberapa mudah kita bisa mengakses sebuah
kategori sifat kepribadian, misalnya jika kita tahu orang itu dikenal sebagai orang
yang ramah, maka jika suatu kali ia tidak menegur temannya, kita memersepsikan
ia tidak melihat temannya atau sedang terburu-buru. Cara ini merupakan jalan-
pintas mental untuk memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan orang.
Beberapa sifat yang pernah dipersepsikan di masa lalu, digunakan untuk
memersepsikan tingkah laku saat ini. Sifat-sifat lain dapat dimunculkan melalui
priming, yaitu sebuah proses mengakses sifat-sifat khusus melalui pengalaman
saat ini. Higgins,dkk (1977) memberi ilustrasi operasi priming dalam studi
mereka. Ketika partisipan penelitian mengingat kata positif atau negatif dan
kemudian membaca paragraf yang ambigu tentang karakter bernama Donald, serta
membentuk kesan, maka mereka yang mengingat kata-kata positif akan
membentuk kesan positif lebih banyak tentang Donald daripada partisipan yang
mengingat kata0kata negatif.
B.BIAS-BIAS DALAM PERSEPSI SOSIAL
Kita sering menilai orang berdasarkan penampilan pertamanya. Orang
yang menampilkan kesan baik pada saat pertama kali bertemu, cenderung kita
anggap baik untuk seterusnya. Bias seperti ini biasanya disebut efek halo. Kita
juga cenderung menilai orang yang menampilkan kesan buruk pada saat kita
pertama kali bertemu dengannya, sebagai orang yang buruk seterusnya. Bias
seperti ini disebut negativitas. Kecenderungan mengandalkan penilaian terhadap
orang lain pada kesan pertama merupakan bias karena penyimpulan yang kita buat
tidak didasari informasi yang lengkap. Informasi tentang seseorang yang kita
peroleh pada saat pertama kali kita bertemu dengannya tidak mewakili
keseluruhan pikiran dan perasaan orang tersebut.
Dalam keseharian, tidak jarang kita menilai orang dari serangkaian
tindakannya yang dapat kita asosoasikan dengan sifat-sifat tertentu. Contohnya,
ketika kita sedang menghadiri sebuah rapat yang sudah berlangsung lebih dari
setengah jam, seorang peserta rapat yang tidak kita kenal baru datang. Ia masuk ke
ruangan rapat dengan gerakan yang tampak tergesa-gesamenuju tempat duduk
yang disediakan untuknya. Setelah duduk, ia membuka tasnya dan mencari
sesuatu di tas tersebut. Kemudian, ia mengeluarkan beberapa barang dari tasnya
untuk memasukkan kembali semua barang itu ke tasnya. Lalu, ia merogoh
sakunya dan sepertinya menemukan apa yang ia cari. Pakaian yang dkenakannya
tampak kusut dan rambutnya tidak tersisir rapi. Kita bisa saja dengan sangat
mudah menilainya sebagai orang yang tidak bisa mengatur dirinya dan
berantakan. Apakah penilaian kita akurat? Bisa jadi, tidak. Orang itu
menampilkan tingkah laku tersebut, bisa jadi karena faktor-faktor eksternal yang
tidak terhindarkan, misalnya pesawat yang ditumpangi ditunda keberangkatannya,
sehingga ia tidak sempat lagi mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadiri
rapat ini.
Kecenderungan untuk menempatkan faktor internal atau penyebab
disposisional, cukup besar ditampilkan oleh banyak orang. Fenomena yang
ditandai oleh kecenderungan kurang mempertimbangkan faktor penyebab
eksternal disebut oleh Jones (1979) sebagai bias korespondensi. Penelitian Gilbert
dan Malone (1995) menunjukkan bukti-bukti dari adanya kecenderungan
menunjuk faktor disposisional sebagai penyebab tampilnya tingkah laku, bahkan
dalam situasi yang jelas penyebabnya. Kecenderungan ini muncul dari konteks
yang luas dan cukup umum terjadi di berbagai situasi. Dalam psikologi sosial,
bias seperti ini merujuk pada kesalahan atribusi fundamental, yaitu kecenderunagn
untuk memersepsikan orang lain sebagaimana yang ditampilkannya karena sifat-
sifat yang dimiliki orang lain tersebut. Contohnya, orang yang menampilkan
tingkah laku yang umumnya dianggap baik pada waktu tertentu, cenderung
langsung dinilai sebagai orang baik, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor
eksternal yang mungkin menjadi penyebabnya.
Bila persepsi lain yang cenderung kita lakukan adalah apa yang disebut
sebagai in-group bias (bias terhadap kelompok sendiri) atau in-group favoritism
(favoritisme terhadap kelompok sendiri). Dengan kata lain, kita cenderung
menyukai anggota-anggota kelompok kita sendiri dibandingkan anggota-anggota
kelompok lain (Allen & Wilder, 1975; Billig & Tajfel, 1973; Brewer, 1979;
Tajfel, 1970; Wilder, 1981). Contohnya, ketika seseorang menilai calon anggota
DPR dua partai tertentu, X dan Y, yang setara dalam berbagai hal, orang tersebut
cenderung memilih calon dari partai Y jika ia sendiri adalah anggota partai Y.
Penilaian tersebut semata-mata karena calon dari partai Y sekelompok dengan
orang yang menilai.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah dalam keadaan tertentu, kita
mungkin juga menampilkan bias yang bertentangan dengan anggota in-group. Hal
tersebut mungkin saja terjadi ketika anggota dari kelompok sendiri bertingkah
laku secara negatif; khususnya, jika ia bergeser atau menyimpang dari norma
kelompok. Para teoretikus percaya bahwa hal ini terkait dengan identitas sosial
kita. Ketika seseorang dalam kelompok saya melakukan sesuatu yang baik, maka
saya juga merasa baik tentang diri saya. Akan tetapi, jika seseorang dari kelompok
saya melakukan hal yang buruk, maka saya merasa buruk. Bisa saja hal ini terjadi
karena saya mengetahui bahwa orang lain akan menilai saya berdasarkan tingkah
laku anggota-anggota kelompok tempat saya bergabung. Dalam keadaan tersebut,
saya mungkin memperlakukan atau mengevaluasi hal-hal buruk yang dilakukan
oleh anggota kelompok saya secara lebih negatif daripada hal-hal buruk serupa
yang ditampilkan orang dari kelompok lain. Dalam psikologi, fenomena ini
dikenal dengan sebutan efek kambing hitam (black sheep effect)(Marques, Y
zerbyt, & Leyens, 1988; Marques, Abrams, & Serodio, 2001; Marques, Robalo, &
Rocha, 1992; Marques & Yzerbyt,1988; Matthews & Dietz-Uhler, 1988; Coull et
al., 2001).
Bisa dalam persepsi sosial dapat juga terjadi karena adanya asimetri antara
kelompok sendiri dan kelompok lain (in-group-out-group asymetry), yaitu orang
cenderung memersepsikan kelompok sendiri dengan cara dan standar yang
berbeda dengan cara dan standar memersepsikan orang lain. Lokasi serta
pergerakan dari individu dan kelompok dalam lingkungan menghasilkan asimetri
dan hubungan-hubungan topografis. Bentuk topografi yang menonjol adalah
asimetri diri sendiri-orang lain yang diperoleh melalui pembelajaran sejak bayi.
Dalam psikologi sosial, asimetri antara kelompok sendiri dan kelompok lain,
penting untuk menjelaskan tentang stereotip, diskriminasi, dan hubungan
antarkelompok (Pettigrew, 1986; Tajfel & Turner, 1986). Jumlah dan struktur
informasi yang tersedia tentang kelompok sendiri (juga diri sendiri), berbeda dari
jumlah dan struktur informasi tentang kelompok lain (juga orang lain). Asimetri
ini memberi kontribusi kepada beragam jenis bias (Brewer, 1979; Zuckerman,
1979; Jones & Nisbett, 1972; Park & Rothbart, 1982; Watson, 1982; Judd & Park,
1988; Pronin, Gilovich, & Ross, 2004).
KESIMPULAN
Persepsi sosial adalah proses perolehan, penafsiran, pemilihan, dan pengaturan
informasi indrawi tentang orang lain. Apa yang diperoleh, ditafsirkan, dipilih, dan
diatur adalah informasi indrawi dari lingkungan sosial, serta yang menjadi
fokusnya adalah orang lain.
Persepsi sosial merupakan proses yang berlangsung pada diri kita untuk
mengenali dan memahami orang lain. Dengan proses tersebut, kita membentuk
kesan tentang orang lain. Kesan yang kita bentuk didasarkan pada informasi yang
tersedia di lingkungan, sikap kita terdahulu tentang rangsang-rangsang yang
relevan, dan mood kita saat ini.
Sebagai bidang kajian, persepsi sosial adalah studi terhadap bagaimana orang
membentuk kesan dan membuat penyimpulan tentang orang lain. Teori-teori serta
penelitian persepsi sosial berhubungan dengan kodrat, penyebab-penyebab, dan
konsekuensi dari persepsi terhadap satuan-satuan sosial, seperti diri sendiri,
individu lain, kategori-kategori sosial, dan kumpulan atau kelompok tempat
seseorang tergabung atau kelompok lainnya.
Wujud hubungan sosial kita dengan orang lain sangat tergantung pada bagaimana
kesan/ persepsi kita terhadap orang tersebut. Faktor yang mempengaruhi persepsi
tersebut adalah penampilan fisik dan sosial demografis.Komunikasi nonverbal
adalah cara orang berkomunikasi tanpa kata-kata, baik secara sengaja maupun
tidak. Dalam komunikasi nonverbal, kita mencermati tekana suara, sentuhan,
gestur (gerakan-gerakan tubuh), ekspresi wajah, dan tanda-tanda nonverbal
lainnya.
Orang mampu menafsirkan tanda-tanda yang ditampilkan melalui beragam
saluran komunikasi nonverbal secara cukup tepat dengan memanfaatkan berbagai
tanda meski ada perbedaan pada beberapa tipe orang.
Atribusi adalah proses mengenali penyebab dari tingkah laku orang lain serta
sekaligus memperoleh pengetahuan tentang sifat-sifat dan disposisi-disposisi yang
menetap pada orang lain.
Atribusi merupakan tindakan penafsiran, apa yang “terberi” (kesan dari data
indrawi) dihubungkan kembali kepada sumber asalnya.
Ada dua sumber atribusi terhadap tingkah laku: (1) atribusi internal atau
disposisional; (2) atribusi eksternal atau lingkungan.
Untuk menjadikan tingkah laku konsisten, orang membuat atribusi personal ketika
konsensus dan keberbedaan rendah. Sedangkan pada saat konsensus dan
keberbedaan tinggi, orang membuat atribusi stimulus.
Penjelasan tentang bagaimana kita mengenali dan mengerti orang lain dapat
diperoleh dalam konsep tentang teori kepribadian tersirat (implicit personality
thoery), yaitu sebuah jenis skema yang digunakan orang untuk mengelompokkan
beragam jenis sifat-sifat kepribadian. Orang juga dapat menggunaka jalan-pintas
mental untuk memahami apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan orang lain,
yaitu dengan menghubungkan tingkah laku yang ditampilkan saat ini dengan sifat-
sifat lain yang diketahui dimiliki oleh orang lain.
Persepsi sosial sering mengandung bias, di antaranya efek halo, negativitas, bias
korespondensi, kesalahan atribusi fundamental, in-group bias, dan efek kambing
hitam.